Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gagal jantung adalah merupakan ketidakmampuan jantung untuk


mempertahankan curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik jaringan dan organ, dan merupakan stadium akhir dari sebagian
besar penyakit jantung. Merupakan gangguan kesehatan yang terus meningkat
di dunia dengan penyandang lebih dari 20 juta jiwa. Prevalensi gagal jantung
sangat meningkat seiring dengan bertambahnya usia dengan 6-10% pada usia
di atas 65 tahun. Menurut World Health Organisation (WHO) pada tahun
2016, menyebutkan bahwa 17,5 juta orang meninggal akibat penyakit
kardiovaskular pada tahun 2008, yang mewakili dari 31% kematian di dunia.
Di Amerika Serikat penyakit gagal jantung hampir terjadi 550.000 kasus
pertahun. Di negara-negara berkembang di dapatkan kasus sejumlah 400.000
sampai 700.000 per tahun (WHO,2016).
Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi penyakit gagal
jantung di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan sebesar 0,13% atau sekitar
229.696 orang. Akan tetapi, bila dilihat dari gejala gagal jantung, angka
tersebut meningkat menjadi 0,3% atau setara 530.068 orang. Berdasarkan
diagnosis, estimasi jumlah penderita gagal jantung tertinggi ada di Provinsi
Jawa Timur, yakni sebanyak 54.826 orang (Badan Litbangkes Kemenkes RI,
2013).
Beberapa komorbid yang dapat menyebabkan ADHF meliputi penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK), diabetes mellitus (DM), dan penyakit kolagen
pembuluh darah. Adanya stresor baru seperti infeksi, penyakit tiroid, operasi
atau trauma juga dapat menyebabkan pasien stabil menjadi tidak stabil
(Rahko, 2014).

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana alur diagnosis dan tatalaksana Congestif Heart Failure dengan
Diabetes Melitus?
1.3. Tujuan
Tujuan dari laporan kasus besar ini adalah agar penulis dan sejawat
mampu memahami alur diagnosis dan tatalaksana dari Congestif Heart
Failure dengan Diabetes Melitus.

1.4. Manfaat
Sebagai wahana pendidikan sebagai proses pembelajaran khususnya bagi
dokter internsip dan sejawat dalam penanganan pasien gagal jantung dengam
komplikasi.
BAB II
TINJAUAN PUSAKA
2.1. Gagal Jantung
2.1.1. Definisi Gagal Jantung
Jantung merupakan suatu organ otot berongga yang terletak di pusat dada.
Bagian kanan dan kiri jantung masing-masing memiliki ruang sebelah atas (atrium
yang mengumpulkan darah dan ruang sebelah bawah (ventrikel) yang
mengeluarkan darah. Fungsi utama jantung adalah menyediakan oksigen ke
seluruh tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbondioksida).
Jantung melaksanakan fungsi tersebut dengan mengumpulkan darah yang
kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam paru- paru,
dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang karbondioksida. Jantung
kemudian mengumpulkan darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan
memompanya ke jaringan di seluruh tubuh.

Gambar 2.1
Gagal jantung adalah kumpulan sindrom klinis yang ditandai dengan
gejala sesak napas (saat istirahat atau aktfitas), edema kaki, kelemahan dan dapat
disertai tanda peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), ronki pada paru, efusi
pleura, dan edema perifer. Hal ini disebabkan oleh karena gangguan struktur dan
fungsi dari jantung yang menimbulkan efek penurunan curah jantung (cardiac
output) dan peningkatan tekanan di dalam jantung baik saat istirahat maupun
beraktivitas (ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure, 2016).
a. gejala gagal jantung: sesak nafas saat istirahat atau aktivitas, kelelahan,
dan edema tungkai.
b. tanda khas gagal jantung: takikardia, takipneu, ronki paru, efusi pleura,
peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, dan hepatomegali.
c. bukti obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat,
kardiomegali, suara jantung tiga (gallop), murmur jantung, abnormalitas
dalam gambaran elektrokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida
natriuretik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gagal jantung adalah kontraktilitas
miokard, denyut jantung (irama dan kecepatan/ menit) beban awal dan beban
akhir.

2.1.2 Etiologi Gagal Jantung


ADHF bisa merupakan onset baru gagal jantung, atau eksaserbasi akut
dari gagal jantung kronis yang sudah stabil sebelumnya. Oleh karena itu, salah
satu etiologinya diperkirakan adalah ketidakpatuhan minum obat gagal jantung
yang dapat menyebabkan overload cairan. Namun, penyebab lain ADHF yang
lebih berbahaya harus dipertimbangkan terlebih dahulu seperti (a) progresivitas
penyebab mendasar gagal jantung, (b) kondisi komorbid yang memperparah gagal
jantung, (c) konsumsi substansi berbahaya, (d) aritmia baru atau rekuren, (e)
kehamilan pada wanita usia reproduksi, lalu terakhir (f) ketidakpatuhan konsumsi
obat (Dorobantu, et al. 2019).
Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimptomatik. Gejala klinis
dapat muncul karena adanya faktor presipitasi yang menyebabkan peningkatan
kerja jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen, seperti infeksi, aritmia, kerja
fisik, cairan, lingkungan, emosi yang berlebihan, infark miokard, emboli paru,
anemia, tirotoksikosis, kehamilan, hipertensi, miokarditis dan endocarditis infektif
(Dorobantu, et al. 2019).
Progresivitas penyakit mendasar gagal jantung harus ada dalam diagnosis
banding ADHF. Sindrom koroner akut dapat menyebabkan gejala gagal jantung
yang memburuk tanpa adanya nyeri dada yang bermakna. Hipertensi juga dapat
menyebabkan ADHF. Harus digali lebih dalam apakah pasien meminum obat
hipertensinya dengan benar, ataukah pasien mengkonsumsi makanan atau
minuman yang dapat meningkatkan tekanan darahnya. Progresivitas penyakit
katup atau penyakit jantung kongenital juga bisa menjadi penyebab ADHF
(Dorobantu, et al. 2019).
Menurut beberapa penelitian penyakit jantung disebabkan oleh beberapa hal yaitu
(Panggabean, 2009) :
a. Usia, jenis kelamin, keturunan, obesitas, merokok, alkohol
b. hiperaktivitas system syaraf simpatis,
c. hipertensi,
d. ischaemic heart disease,
e. Hypothyroidsm,
f. penyakit jantung kongenital
g. Kardiomiopati

2.1.3. Macam-Macam Gagal Jantung


2.1.3.1 Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari
gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat
terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi
jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik . Diagnosis
gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan gejala dan penilaian klinis,
didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto thoraks,
biomarker dan ekokardiografi Doppler. Pasien segera diklasifikasikan
apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik (Panggabean, 2009).
2.1.3.2 Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat
kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan
jaringan. Gagal jantung kronis juga didefinisikan sebagai sindroma klinik
yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatique
baik dalam keadaan istirahat maupun beraktifitas (Panggabean, 2009).

2.1.4 Klasifikasi Gagal Jantung


2.1.4.1 Klasifikasi berdasarkan Forrester Hemodinamik
Pada Gagal Jantung Akut pasien dapat diklasifikasikan menurut
ada tidaknya kongesti dan/atau hipoperfusi. Pasien disebut warm-dry bila
tidak ada kongesti maupun hipoperfusi, disebut warm-wet bila ada
kongesti tanpa hipoperfusi, disebut cold-dry bila ada hipoperfusi tanpa
kongesti, dan disebut cold-wet bila terdapat kongesti dan hipoperfusi.
Gejala dan tanda dari hipoperfusi adalah ekstremitas dingin disertai
diaphoresis, oliguria, gangguan keadaan mental, pusing, dan penyempitan
tekanan nadi. Gejala dan tanda kongesti adalah kongesti pulmoner, sesak
saat berbaring, sesak malam hari, edema perifer bilateral, dilatasi vena
jugularis, hepatomegali, ascites, dan refluks hepatojugular. Pasien
umumnya datang pada keadaan warm-wet (Ponikowski, 2016).
2.1.4.2 Klasifikasi berdasarkan kelainan struktural jantung (PERKI,
2015)
Tabel 2.1 Klasifikasi berdasarkan kelainan struktur jantung.
Stadium Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal
A jantung. Tidak terdapat gangguan struktural atau
fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala.
Stadium Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang
B berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak
terdapat tanda atau gejala.
Stadium Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan
C penyakit struktural jantung yang mendasari.
Stadium Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal
D jantung yang sangat bermakna saat istrahat walaupun
sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter).

2.1.4.3 Klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional New York Heart


Association (PERKI, 2015)
Tabel 2.2 klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional
Kelas Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik.
1 Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas
Kelas Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
2 istrahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
Kelas Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan
3 saat istrahat, tetapi aktfitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak
Kelas Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat
4 gejala saat istrahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktifitas

2.1.5 Patofisiologi Gagal Jantung


Pada gagal jantung terjadi suatu kelainan multisistem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik
terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan
cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta
kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Panggabean, 2009).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal (Aru Sudoro W., et al, 2006).
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Aru Sudoro
W., et al, 2006).
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel
kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada
penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 %
penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada
penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang
timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri (Pangabean, 2009).

2.1.6 Diagnosis Gagal Jantung


Diagnosis gagal jantung dapat dilakukan dengan dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Gejala yang didapatkan pada pasien dengan
gagal jantung antara lain sesak nafas, Edema paru, peningkatan JVP ,
hepatomegali , edema tungkai (Maeder MT., et al, 2009).
Tabel 2.3 Kriteria Framingham untuk Diagnosis Gagal Jantung.
Mayor Minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea atau Edema pergelangan kaki bilateral
ortopnea
Distensi vena leher Efusi pleura
Ronkhi (>10 cm dari basal paru) Batuk malam hari
Edema paru akut Dispnea saat beraktivitas
Gallop S3 Hepatomegali
Penurunan berat badan >4,5 kg setelah Takikardia >120x/menit
pengobatan CHF
Tekanan vena sentral >16 cm H2O Penurunan berat badan >4,5 kg karena
Ekokardiografi: disfungsi ventrikel kiri gagal jantung namun faktor selain
pengobatan CHF dapat mengakibatkan
penurunan berat badan ini

Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio


kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis.
Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau
kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan
fungsi ventrikel kiri (Maeder MT., et al, 2009).
Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian
besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV,
gangguan konduksi, aritmia (Maeder MT., et al, 2009).
Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal
jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan
abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat
disinggirkan (Maeder MT., et al, 2009).
Tes darah direkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai
fungsi ginjal sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal
jantung sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan.
Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi ventrikel
dan sangat berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi sulit diperoleh.
Pemindahan perfusi dapat membantu dalam menilai fungsional penyakit jantung
koroner (Maeder MT., et al, 2009).

2.1.7 Pengobatan Gagal Jantung


Tujuan umum penanganan gagal jantung adalah: meniadakan tanda klinik
seperti batuk dan dispne, memperbaiki kinerja jantung sebagai pompa,
menurunkan beban kerja jantung, dan mengontrol kelebihan garam dan air. Obat
yang digunakan untuk penanganan gagal jantung bervariasi tergantung pada
etiologi, keparahan gagal jantung, spesies penderita, dan faktor lainnya (Dickstein
K., et al, 2008).
Untuk mencapai tujuan dalam penanganan gagal jantung dapat dilakukan dengan
cara:
1. Membatasi aktivitas fisik
2. Membatasi masukan garam
3. Menghilangkan penyebab atau faktor pemicu gagal jantung.
4. Menurunkan preload
Pengobatan dilakukan agar penderita merasa lebih nyaman dalam
melakukan berbagai aktivitas fisik, dan bisa memperbaiki kualitas hidup serta
meningkatkan harapan hidupnya. Pendekatannya dilakukan melalui 3 segi, yaitu
mengobati penyakit penyebab gagal jantung, menghilangkan faktor-faktor yang
bisa memperburuk gagal jantung dan mengobati gagal jantung. Tujuan
pengobatan gagal jantung adalah untuk mengurangi gejala- gejala gagal jantung
sehingga memperbaiki kualitas hidup penderita. Cara dan golongan obat yang
dapat diberikan antara lain mengurangi penumpukan cairan (dengan pemberian
diuretik), menurunkan resistensi perifer (pemberian vasodilator), memperkuat
daya kontraksi miokard (pemberian inotropik) (Dickstein K., et al, 2008).
1. Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki peningkatan
pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung. Diuterik
yang sering digunakan golongan diuterik loop dan thiazide. Diuretik Loop
(bumetamid, furosemid) meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal
dengan tempat kerja pada ansa henle asenden, namun efeknya bila
diberikan secara oral dapat menghilangkan pada gagal jantung berat
karena absorbs usus. Diuretik ini menyebabkan hiperurisemia. Diuretik
Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid, mefrusid,
metolazon). Menghambat reabsorbsi garam di tubulus distal dan
membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik ini kurang efektif dibandingkan
dengan diuretic loop dan sangat tidak efektif bila laju filtrasi glomerulus
turun dibawah 30%. Penggunaan kombinasi diuretic loop dengan diuretic
thiazude bersifat sinergis. Tiazide memiliki efek vasodilatasi langsung
pada arterior perifer dan dapat menyebabkan intoleransi karbohidrat.
2. Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham
menemukan penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea). Glikosida
seperti digoksin meningkatkan kontraksi miokard yang menghasilkan
inotropisme positif yaitu memeperkuat kontraksi jantung, hingga volume
pukulan, volume menit dan dieresis diperbesar serta jantung yang
membesar menjadi mengecil. Digoksin tidak meneyebabkan perubahan
curah jantung pada subjek normal karena curah jantung ditentukan tidak
hanya oleh kontraktilitas namun juga oleh beban dan denyut jantung. Pada
gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas dan
menghilangkan mekanisme kompensasi sekunder yang dapat
menyebabkan gejala.
3. Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan dinding
ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan oksigen moikard,
menurunkan konsumsi oksigen miokard dan meningkatkan curah jantung.
Vasodilator dapat bekerja pada system vena (nitrat) atau arteri (hidralazin)
atau memiliki efek campuran vasodilator dan dilator arteri (penghambat
ACE, antagonis reseptor angiotensin, prazosin dan nitroprusida).
Vasodilator menurukan prelod pada pasien yang memakan diuterik dosis
tinggi, dapat menurunkan curah jantung dan menyebabkan hipotensi
postural. Namun pada gagal jantung kronis, penurunan tekanan pengisian
yang menguntungkan biasanya mengimbangi penurunan curah jantung dan
tekanan darah. Pada gagal jantung sedang atau berat, vasodilator arteri
juga dapat menurunkan tekanan darah.
4. Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta
adrenoreseptor biasanya dihindari pada gagal jantung karena kerja
inotropik negatifnya. Namun, stimulasi simpatik jangka panjang yang
terjadi pada gagal jantung menyebabkan regulasi turun pada reseptor beta
jantung. Dengan memblok paling tidak beberapa aktivitas simpatik,
penyekat beta dapat meningkatkan densitas reseptor beta dan
menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih tinggi terhadap simulasi
inotropik katekolamin dalam sirkulasi. Juga mengurangi aritmia dan
iskemi miokard. Penggunaan terbaru dari metoprolol dan bisoprolol adalah
sebagai obat tambahan dari diuretic dan ACE-blokers pada dekompensasi
tak berat. Obat- obatan tersebut dapat mencegah memburuknya kondisi
serta memeperbaiki gejala dan keadaan fungsional. Efek ini bertentangan
dengan khasiat inotrop negatifnya, sehingga perlu dipergunakan dengan
hati-hati.
5. Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah
dengan jalan menghambat pembentukan fibrin. Antagonis vitamin K ini
digunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk
memebeku yang meningkat, misalnya pada trombosis. Pada trobosis
koroner (infark), sebagian obat jantung menjadi mati karena penyaluran
darah kebagian ini terhalang oleh tromus disalah satu cabangnya. Obat-
obatan ini sangat penting untuk meningkatkan harapan hidup penderita.
6. Antiaritmia dapat mencegah atau meniadakan gangguan tersebut dengan
jalan menormalisasi frekuensi dan ritme pukulan jantung. Kerjanya
berdasarkan penurunan frekuensi jantung. Pada umumnya obat-obatn ini
sedikit banyak juga mengurangi daya kontraksinya. Perlu pula
diperhatikan bahwa obat-obatan ini juga dapat memeperparah atau justru
menimbulkan aritmia. Obat antiaritmia memepertahankan irama sinus
pada gagal jantung memberikan keuntungan simtomatik, dan amiodaron
merupakan obat yang paling efektif dalam mencegah AF dan memperbaiki
kesempatan keberhasilan kardioversi bila AF tetap ada.

2.1.8 Diet Pada Pasien Gagal Jantung


Di Indonesia menurut data dari Indonesian Society of Hypertension
asupan garam harian mencapai 15 gr hingga dua kali liat yang direkomendasikan
WHO yaitu 5 sampai 6 gr per hari. Ada tiga tahap diet rendah garam yakni terdiri
dari diet ringan (konsumsi garam 3,75-7,5 gram per hari), menengah (1,25-3,75
gram per hari) dan berat (kurang dari 1,25 gram per hari) (Beard TC, 2008).
2.1.8.1 Diet Rendah Garam
Yang dimaksud disini adalah diet tanpa penggunaan garam dapur
baik dalam proses pengolahan makanan maupun saat makanan tersebut akan
dikonsumsi. Selain itu, konsumsi makanan dengan kandungan Natrium yang
tinggi juga dikurangi. Bahan makanan yang diolah dengan menggunakan
garam seperti kecap, margarin, mentega, keju, terasi, petis,dan sebagainya
tidak boleh dikonsumsi. Demikian juga dengan bahan maknan awetan yang
menggunakan garam seperti ikan asin, sardines, corned beef, sosis dan
sebagainya. Konsumsi bahan makanan yang kandungan natriumnya tinggi
baik bahan makanan hewani maupun nabati harus dibatasi jumlahnya karena
kandungan natrium didalamnya cukup tinggi (Beard TC, 2008).
2.1.8.2 Diet Rendah Natrium
Dalam diet rendah garam, kandungan Natrium dalam makanan
masih dalam jumlah tinggi, yaitu sekitar 2500mg. Pada diet rendah natrium,
kandungan Na adalah antara 600 mg hinga 1200 mg. Akan tetapi dengan
hanya mengunakan bahan makanan tertentu dalam diet, kandungan Na
dalam makanan dapat ditekan sampai batas minimal (Beard TC, 2008).

2.2. Diabetes Mellitus


2.2.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu gejala klinis yang ditandai
dengan peningkatan glukosa darah plasma (hiperglikemia). Kondisi
hiperglikemia pada DM yang tidak dikontrol dapat menyebabkan gangguan
serius pada sistem tubuh, terutama saraf dan pembuluh darah (World Health
Organization, 2017). Menurut American Diabetes Association (ADA)
diabetes sangatlah kompleks dan penyakit kronik yang perlu perawatan
medis secara berlanjut dengan strategi pengontrolan indeks glikemik
berdasarkan multifaktor resiko.
Diabetes Mellitus terbagi menjadi dua kategori, yaitu Diabetes
Tipe 1 dan Diabetes Tipe 2, disebut insulin-dependen atau
juvenile/childhood-onset Diabetes, ditandai dengan kurangnya produksi
insulin. Diabetes tipe 2, disebut non-insulin dependent atau adult-onset
Diabetes, disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh.
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan 90% dari seluruh penderita Diabetes
(Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014).

2.2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Organisasi profesi yang berhubungan dengan Diabetes Melitus
seperti American Diabetes Association (ADA) telah membagi jenis
Diabetes Melitus berdasarkan penyebabnya. PERKENI dan IDAI sebagai
organisasi yang sama di Indonesia menggunakan klasifikasi dengan dasar
yang sama seperti klasifikasi yang dibuat oleh organisasi yang lainnya
(Perkeni, 2015). Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan etiologi menurut
Perkeni (2015) adalah sebagai berikut :
2.2.2.1 Diabetes melitus (DM) tipe 1
Diabetes Melitus yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel
beta di pancreas kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi
insulin yang terjadi secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel
beta antara lain autoimun dan idiopatik.
2.2.2.2 Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab Diabetes Melitus tipe 2 seperti yang diketahui adalah
resistensi insulin. Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak
dapat bekerja secara optimal sehingga menyebabkan kadar gula
darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi
secara relatif pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 dan sangat
mungkin untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
2.2.2.3 Diabetes melitus (DM) tipe lain
Penyebab Diabetes Melitus tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini
dapat disebabkan oleh efek genetik fungsi sel beta, efek genetik
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas,
obat, zat kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom genetik
lain yang berkaitan dengan Diabetes Melitus.
2.2.2.4 Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes yang muncul pada saat hamil. Keadaan ini terjadi karena
pembentukan beberapa hormone pada ibu hamil yang
menyebabkan resistensi insulin.

2.2.3 Etiologi Diabetes Mellitus


Etilogi atau penyebab Diabetes Melitus (DM) adalah yaitu genetik atau
faktor keturunan, yang mana penderita Diabetes Melitus yang sudah dewasa lebih
dari 50% berasal dari keluarga yang menderita Diabetes Melitus dengan begitu
dapat dikatakan bahwa Diabetes Melitus cenderung diturunkan, bukan ditularkan.
Faktor lainnya yaitu nutrisi, nutrisi yang berlebihan (overnutrition) merupakan
faktor risiko pertama yang diketahui menyebabkan Diabetes Melitus, semakin
lama dan berat obesitas akibat nutrisi berlebihan, semakin besar kemungkinan
terjangkitnya Diabetes. Sering mengalami stress dan kecanduan merokok juga
merupakan faktor penyebab Diabetes Melitus (Alberti et al, 2010).

2.2.4 Faktor Resiko Diabetes Mellitus


Seseorang yang mengidap penyakit Diabetes Mellitus akan memiliki
penderitaan yang lebih berat jika semakin banyak faktor resiko yang
menyertainya. Para ahli mengklasifikasikan faktor resiko pemicu timbulnya
Diabetes Mellitus menjadi faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak
dapat di modifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor keturunan,
umur, jenis kelamin dan kehamilan. Seseorang memiliki resiko berat untuk
terserang Diabetes Mellitus jika salah satu atau kedua orang tuanya menderita
penyakit tersebut. Faktor usia juga merupakan pemicu yang tidak dapat dikontol.
Faktor yang dapat dimodifikasi antaranya seperti obesitas, faktor gizi, aktivitas
fisik dan gaya hidup (Alberti et al, 2010).

2.2.5 Patofisiologi Diabetes Mellitus


Insulin dan glukagon adalah hormon utama yang mempertahankan
homeostasis glukosa untuk mengontrol kadar gula darah setelah mengkonsumsi
makanan. Kebanyakan makanan dicerna di saluran pencernaan bagian atas,
terhidrolisis menjadi monoskarida dan di serap ke dalam aliran darah melalui
berbagai transporter glukosa (GLUT). Pankreas kemudian menyekresikan insulin
mengirim sinyal untuk menurunkan glukosa darah dengan meningkatkan
penyerapan glukosa pada jaringan perifer (otot rangka, jaringan adiposa, dan
ginjal) dibantu GLUT 4 ke sel, glukosa juga ada yang disimpan di hati (misalnya,
glikogenesis untuk penyimpanan glukosa menjadi glikogen). Ketika konsentrasi
glukosa darah menurun, glukagon diskresi dari sel a pulau pankreas. Glukagon
meningkatkan glukosa darah dengan memproduksi glukosa memecah glikogen di
hati dan meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas (FFA) dari
jaringan adiposa. Oleh karena itu,kedua hormon ini sangat penting dalam proses
mengatur glukosa dalam jaringan pankreas, hati, otot rangka atau adiposa karena
dapat mempengaruhi homeostasis glukosa (Fatima R.N., 2015).
Diabetes Mellitus Tipe 2, yaitu jenis Diabetes yang paling sering
ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama
yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya
jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor gaya hidup
dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan terjadinya hiperglikemia.
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 ini juga terjadi stress oksidatif berasal dari
peningkatan produksi radikal bebas akibat auto oksidasi glukosa, penurunan
konsentrasi antioksidan berat molekul rendah di jaringan dan gangguan aktivitas
pertahanan antioksidan enzimatik. Stress oksidatif juga memiliki kontribusi pada
perburukan dan perkembangan kejadian komplikasi. Aktivitas insulin pada
Diabetes Mellitus Tipe 2 ini terganggu maka menyebabkan beberapa hal yaitu
(Fatima R.N., 2015):
a. Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan
pengeluaran glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Karena sebagaian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa tanpa bantuan insluin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi
kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel.
b. Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang
difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan
menyebabkan glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan
glukosuria.
c. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O
bersamanya. Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urin (poliuria).
d. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan
dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi
perifer karena volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila
tidak diperbaiki dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran
darah ke otak atau menimbulkan ggal ginjal sekunder akibat tekanan
filtrasi yang tidak adekuat. Selain itu, se-sel kehilangan air karena tubuh
mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke
cairan ekstrasel yang hipertonik. Akibatnya timbul polipdisia (rasa haus
berlebihan) sebagai mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
e. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan "sel kelaparan" akibatnya nafsu
makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan
makanan yang berlebihan)
f. Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan
sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan
mobilisasi besar-besaran asam lemak dari simpanan trigliserida.
Peningkatan asam lemak dalam darah sebagaian besar digunakan oleh sel
sebagai sumber energi alternatif karena glukosa tidak dapat masuk ke
dalam sel. Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan
pergeseran netto kearah katabolsime protein. Penguraian protein-protein
otot menyebabkan otot rangka lisut dan melemah sehingga terjadi
penurunan berat badan.

2.2.6 Diagnosis Diabetes Mellitus


Diagnosis klinis Diabetes Mellitus ditegakkan bila ada gejala khas Diabetes
Mellitus berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan
Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥200 mg/dl diagnosis Diabetes Mellitus sudah
dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥126 mg/dl
juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis Diabetes Mellitus. Untuk pasien
tanpa gejala khas Diabtes Mellitus, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal
satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis Diabetes Mellitus.
Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada
hari yang lain atau hasil Tes Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl (Ndraha, 2014).
Kecurigaan adanya Diabetes Melitus perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan seperti (Perkeni, 2015):
a. Keluhan klasik Diabetes Melitus: poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus (Perkeni,2015)

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP). (B)

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria


Diabetes Melitus digolongkan kedalam kelompok prediabetes yang
meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO
glukosa plasma 2 jam
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa.
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%

2.2.7 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada Diabetes
Mellitus Tipe 2, dan sebagaian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka
tatalaksana Diabetes Mellitus Tipe 2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai
kendali glikemik dan kendali faktor resiko kardiovaskular. Dalam konsesus
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2011,
penatalaksanaan dan pengelolaan Diabetes Mellitus dititik beratkan pada 4 pilar
penatalaksanaan Diabetes Mellitus yaitu : edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani dan intervensi farmakologis (Fatimah, 2015).
2.2.7.1 Edukasi
Tujuan dari edukasi Diabetes adalah mendukung usaha pasien
penyandang Diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan atau komplikasi yang
mungkin timbul secara dini saat masih reversible, ketaatan perilaku
pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri dan perubahan
perilaku atau kebiasaan kesehatan yang diperlukan.
Edukasi pada penyandang Diabetes meliputi pemantauan glukosa
mandiri, perawatan kaki, ketaatan penggunaan obat-obatan, berhenti
merokok, meningkatkan aktivitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan
diet tinggi lemak.
2.2.7.2 Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang Diabetes yaitu
makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing- masing
individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45%-65%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g dan diet
cukup serat.
2.2.7.3 Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing
selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat
aerobik seperti berjalan santai, jogging, dan bersepeda. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
meningkatkan sensitifitas insulin.
2.2.7.4 Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan
pengetahuan pasien, pengatiran makan dan latihan jasmani. Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini
ada antara lain :
1. Obat Hiperglikemik Oral
a. Sulfonilura
1) Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas
2) Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
3) Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua,
gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi.
b. Glinid
1) Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
2) Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan
pada sekresi insulin fase pertama
3) Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
c. Biguanid
1) Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah
Metformin
2) Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati
3) Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes
gemuk, disertai dislipidemia dan disertai resistensi insulin.
d. Tiazolidinedion
1) Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan
glukosa perifer.
2) Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
meningkatkan retensi cairan.
e. Acarbose
1) Bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus
2) Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia
seperti golongan sulfonilurea.
3) Acarbosemempunyaiefeksampingpadasaluranpencernaan yaitu
lambung dan flatulens.
4) Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like
peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptide yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila
ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat
bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara
cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim
DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan pengelepasan
insulin dan menghambat pelepasan glukagon (Ndraha, 2014).
2. Obat Suntikan
a. Insulin
Insulin merupakan proyein kecil dengan berat molekul
5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang
tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan jembatan
disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut.
Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian
hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obatan lain bisa
sangat efektif. Insulin kadang kala dijadikan pilihan sementara,
misalnya selama kehamilan.
Namun pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang
memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan Insulin
merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara
lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagaian
besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif
menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta
mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan
protein dan lemak dari glukosa.
b. Agonis GLP-1
1) Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan
hipoglikemia, dan menghambat berat badan seperti insulin dan
sulfonilurea
2) Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual
muntah

Dengan memahami 4 pilar tatalaksana DM tipe 2 ini, maka dapat


dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat
(GHS). Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri
dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan
secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur.
Sebagaian penderita DM tipe 2 dapat terkendali kadar glukosa darahnya
dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS glukosa darah belum
terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.

2.2.8 Komplikasi
DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun
komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Di
Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease
(ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness (Ndraha, 2014).
Komplikasi- komplikasi tersebut antara lain seperti (Ndraha, 2014) :
a. Kerusakan saraf (Neuropathy)
Neuropathy adalah salah satu komplikasi Diabetes Mellitus. Kerusakan
pada sistem saraf ini lebih mengacu pada saraf sensorik (saraf perasa),
menimbulkan rasa sakit, kesemutan, serta baal (mati rasa) pada kaki dan
tangan.
b. Retinopaty
Retinopathy disebabkan memburuknya kondisi mikro sirkulasi
sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini bahkan
bisa menjadi salah satu penyebab kebutaan. Retinopathy sebenarnya
merupakan kerusakan yang unik pada diabetes karena selain oleh
gangguan mikrovaskuler, penyakit ini juga disebabkan adanya biokimia
darah sehingga terjadi penumpukan zat-zat tertentu pada jaringan retina.
Katarak dan glaucoma (meningkatnya tekanan pada bola mata) juga
merupakan salah satu dari komplikasi mata pada pasien Diabetes.
c. Gangguan Fungsi Jantung
Gangguan pada pembuluh darah akan mengakibatkan aliran darah ke
jantung terhambat atau terjadi ischemia (kekurangan oksigen di otot
jantung), timbul angina pectoralis (sakit di daerah dada, lengan, dan
rahang), bahkan pada akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung.
Terkadang still infarct (infark jantung) muncul tanpa keluhan angina
pectoris.
d. Gangguan Fungsi Pembulu Darah Otak
Pasien sering merasakan berat di belakang kepala, leher, dan pundak,
pusing (vertigo), serta pendengaran dan penglihatan terganggu. Jika hal
ini dibiarkan, gangguan neurologis akan muncul, misalnya dalam
bentuk stroke yang disebabkan oleh penyumbatan atau perdarahan.
e. Gangguan Fungsi Pembuluh Darah Kaki
Berkurangnya sirkulasi darah dan oksigen ke kaki atau betis
menyebabkan rasa sakit di betis muncul sewaktu berjalan kaki. Pasien
harus berhenti atau duduk untuk menghilangkan rasa sakit tersebut.
Selain penyumbatan pembuluh darah besar pada kaki, mikro sirkulasi di
kaki juga mudah terhambat. Hal ini adalah penyebab utama gangren
(pembusukan jaringan) yang sering diderita oleh pasien Diabetes
Mellitus.
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Anamnesis

3.1.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 53 tahun
Pekerjaan : Anggota TNI
Alamat : Jl. Kali Butuh no.19
Tanggal MRS : Kamis, 22 September 2022
DPJP : dr. Feranti, SpJP(K) dan dr. Hadiati Setyorini,Sp.PD
No. RM : 068479

3.1.2. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan utama: Sesak Nafas

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3 bulan yang lalu, dan
memberat sejak 1 minggu ini, sesak nafas dirasakan ketika melakukan aktivitas
dan tidak membaik ketika pasien beristirahat. Pasien mengatakan susah tidur
karena sesak ketika berbaring dan sering terbangun malam hari karena sesak nafas
dan biasa tidur dengan 2-3 bantal.

Pasien juga mengeluhkan adanya batuk (+) sejak 2 hari yang lalu, batuk
berdahak. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua kaki sejak 3 hari yang
lalu dan semakin membesar. Bengkak awalnya tidak terasa nyeri namun beberapa
hari berikutnya kaki terasa berat dan nyeri terutama saat dibuat berjalan.

Demam (-), BAB dan BAK dalam batas normal. dada berdebar (-), mual
muntah (-), nyeri dada (-), penurunan berat badan (-), batuk darah (-), pingsan (-).

3.1.3. Riwayat Peyakit Dahulu

Diabetes Melitus sejak 5 Tahun yang lalu

3.1.4. Riwayat Penyakit Keluarga

Orang tua pasien juga memiliki riwayat diabetes mellitus dari ibu pasien

3.1.5. Riwayat Pengobatan

Metformin rutin sejak 2 bulan

3.1.6. Riwayat Psikologis

Pasien tidak merokok dan jarang berolahraga

3.1.7. Riwayat Alergi

Riwayat alergi makanan maupun obat disangkal

3.2. Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : Compos mentis

Kesan umum : sedang

Tanda-Tanda Vital

Tekanan Darah : 125/85 mmHg

Nadi : 100 Reguler, Kuat angkat

Temperature : 36,6 C

Respiratory Rate : 25x/menit


SpO2 : 97%

Kepala

Bentuk : bulat

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik-/-, edema palpebra -/-,


reflek cahaya -/-

Hidung : sekret(-), pendarahan (-) pernafasan cuping hidung (-)

Telinga : sekret (-), pendarahan (-)

Mulut : sianosis (-), lidah kotor (-)

Leher

Kelenjar limfe : Pembesaran KGB (-)

Tiroid : Pembesaran (-)

JVP : tidak meningkat

Tidak tampak retraksi suprasternal dan kontraksi M. subpectoralis mayor

Thoraks

Cordis

ictus cordis tidak nampak

S1/S2 tunggal, reguler, Ekstra sistole (-), Murmur (-), Gallop (-)

Pulmo

I : simetris, retraksi +/+

P : fremitus raba : Simetris +/+

P : Sonor +/+

A : Suara nafas Vesiculer +/+. Ronki +/+, Wheezing -/-

Abdomen

I : Distensi (-)

A : BU (+) normal

P : timpani
P : soepel, nyeri tekan (-)

Ekstremitas

Superior : Akral Hangat, kering, merah

edema (-)

CRT < 2 detik

Inferior : Akral Hangat, kering, merah

pitting edema +/+

3.3. Pemeriksaan Penunjang

3.3.1. Hematologi (22/9/2022)

Hb : 11.6
Leu : 7.34
Plt : 206
GDS : 411
Faal Ginjal (22/9/2022)
BUN/SK: 21.4/1.0
Faal Hepar (22/9/2022)
OT/PT: 21/42
3.3.2. SE (22/9/22)
Na : 138
K : 4.3
Ca : 1.2
Cl : 101
3.3.3. Foto Toraks

Kesimpulan : Kardiomegali

3.3.4. Elektrokardiogram

Kesimpulan:

 Irama sinus 85 bpm


3.3.5. Ekokardiografi
Hasil ekokardiografi:

 LV Dilatasi Sedang
 Global Hipokinetik
 MR trivial
 EF Menurun
3.4. Daftar Masalah

● Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3 bulan yg lalu memberat
sejak 1 minggu ini, sesak saat beraktivitas dan tidak membaik saat
istirahat. Pasien tidur menggunakan 2-3 bantal dan sering terbangun di
malam hari dan seperti tersedak lalu batuk-batuk. Ada batuk seperti ada
dahak namun tidak bisa keluar. Kedua kaki bengkak sejak 3 hari yg lalu.

● Pasien mengatakan memiliki riwayat diabetes mellitus sejak tahun 2018 (5


tahun yang lalu)

● Orang tua pasien juga memiliki riwayat diabetes mellitus dari ibu pasien
● Metformin rutin diminum sejak 2 bulan
● Tekanan Darah : 125/85 mmHg, Nadi: 100 Reguler, Kuat angkat,
Temperature: 36,6 C, Respiratory Rate: 25x/menit,
SpO2: 97%

● Pitting edema pada kedua tungkai bawah

● GDA 411

● CXR: kardiomegali

● Ekokardiografi: LV dilatasi sedang, Global Hipokinetik, EF Menurun.


Pada katup mitral didapatkan trivial MR.
3.5. Diagnosa

Congestive Heart failure + Diabetes Mellitus tipe II (GDA 411)

3.6. Tatalaksana

3.6.1. Planning terapi

 O2 nasal kanul 4 lpm


 Infus PZ 14 Tpm

Advis dr. Feranti, Sp.JP:

 inj. furosemide 2 x 10 Mg iv
 tab spironolactone 25 mg 1-0-0
 Aspilet 1-0-0
 Simvastatin 20 mg
 Consul Sp.PD

Advis dr. Hadiati, Sp.PD


 RCI 2x6 Unit
 Lantus 0-0-20 Unit
 Codein 3x10 mg

3.6.2. Planing monitoring

 Klinis
 Tanda Vital
 GDA

3.7. Prognosis

dubia ad bonam

3.8. Monitoring

Tgl S O A P

23/09 Sesak KU: cukup Congesif Heart Failur P. Tx:


/2022 berkurang, + DM Tipe II
Batuk (+), Kes: kompos mentis Infus PZ 14 Tpm
Kaki
TD: 100/70 inj. furosemide 3 x 1 amp iv
Bengkak (+)
N: 98x/menit Aspilet 1-0-0

RR: 20x Simvastatin 20 mg

T: 36ºC tab spironolactone 25 mg 1-


0-0
K/L: a/i/c/d -/-/-/-
Inj. Lantus 0-0-15 Unit
Tho: ves/ves +/+ rh+/+
wh-/- S1S2 normal, Codein 3x10 mg
murmur(-) gallop(-)

Abd: flat, BU(+)N,


timpani, soepel P.Mx: Klinis, TTV, GDP,
Ekstremitas: P.Dx: GDA, GD 2JPP

Atas :AHKM +/+ edema


-/-

Bawah :AHKM +/+


edema +/+

Laboratorium :

GDP : 267

24/09 Sesak KU cukup Congesif Heart Failur P. Tx:


/2022 berkurang, + DM Tipe II
Batuk (+), GCS 456 Infus PZ 14 Tpm
kaki
TD: 120/80 inj. furosemide 3 x 1 amp iv
bengkak
berkurang N: 106x/menit Aspilet 1-0-0

SpO2: 99% Simvastatin 20 mg

RR: 20x/menit Spironolactone 25 mg 1-0-0

K/L: a/i/c/d -/-/-/- Inj. Lantus 0-0-15 Unit

Tho: ves/ves, rh-/- wh-/-, Codein 3x10 mg


S1S2 tunggal, murmur (-)
gallop(-) P.Mx: Klinis, TTV, GDP,

Abd: BU(+)normal, P.Dx: GDA


soepel, nyeri tekan (-)

Eks: AHKM, edema -+/-+

Laboratorium :

GDP : 236

GD2JPP : 253

25/0 Sesak KU cukup Congesif Heart Failur P. Tx:


9/202 membaik, + DM Tipe II
2 Batuk (+) GCS 456 Infus PZ 14 Tpm
berkurang,
TD: 110/80 inj. furosemide 3 x 1 amp iv
kaki sudah
tidak N: 114x/menit Aspilet 1-0-0
bengkak
SpO2: 97% Simvastatin 20 mg

RR: 20x/menit tab spironolactone 25 mg 1-


K/L: a/i/c/d -/-/-/- 0-0

Tho: ves/ves, rh-/- wh-/-, Inj. Lantus 0-0-15 Unit


S1S2 tunggal, murmur (-)
gallop(-) Codein 3x10 mg

Abd: BU(+)normal,
soepel, nyeri tekan (-)
Acc KRS
Eks: AHKM, edema -/-
- Aspilet 1x1
Laboratorium :
- Simvastatin 20mg 0-0-1
GDP : 69 ml/dL
-Bisoprolol 2,5mg 0-0-1

- Inj. Lantus 10 Unit

- Codein 3x10 mg

BAB IV
RESUME

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3 bulan yang lalu, dan
memberat sejak 1 minggu ini, sesak nafas dirasakan ketika melakukan aktivitas
dan tidak membaik ketika pasien beristirahat. Pasien mengatakan susah tidur
karena sesak ketika berbaring dan sering terbangun malam hari karena sesak nafas
dan biasa tidur dengan 2-3 bantal.Pasien juga mengeluhkan adanya batuk (+)
sejak 2 hari yang lalu, batuk berdahak. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada
kedua kaki sejak 3 hari yang lalu dan semakin membesar. Bengkak awalnya tidak
terasa nyeri namun beberapa hari berikutnya kaki terasa berat dan nyeri terutama
saat dibuat berjalan.Pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus sejak 5 taun yang
lalu, ibu pasien juga mempunyai riwayat Diabetes Melitus. Pasien rutin
mengkonsumsi obat metformin sejak 2 bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, keadaan
umum sedang. Pada Tanda Vital didapatkan Tekanan Darah: 125/85 mmHg,
Nadi: 100 Reguler Kuat angkat, Temperature: 36,6 C, Respiratory Rate:
25x/menit, SpO2: 97%, Pada pemeriksaan kepala leher dalam batas normal,
pemeriksaan Torax didapatkan dada tampak simetris, tidak ada jejas, sonor pada
kedua lapang paru, dan di dapatkan ronki pada 2/3 bawah lapang paru bilateral,
abdomen dalam batas normal, akral hangat pada keempat ektremitas, dan
ditemukan ada pitting edema pada kedua tungkai bawah.
Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi ati, dan
serum elektrolit tidak ditemuklan kelainan, tetapi pada pemeriksaan gula darah
acak didapatkan peningkatan kadar gula (411 mg/dL) pada Foto toraks
menunjukkan adanya kardiomegali. Elektrokardiografi menunjukkan adanya
irama sinus 85 Bpm. Pada hari kedua MRS di ruangan dilakukan ekokardiografi
dengan hasil LV dilatasi sedang, Global Hipokinetik, EF Menurun. Pada katup
mitral didapatkan trivial MR.
Saat masuk IGD pasien diberi terapi oksigen nasal kanul 4 lpm dan
dipasang infus PZ. Pasien dikonsultasikan ke dr. Feranti, Sp.JP dan diberkan
terapi injeksi Furosemid 2x1 ampul, Tablet Spironolacton 1x25 mg pagi hari,
Aspilet, dan Simvastatin 20 mg, dan konsul ke dokter spesialis penyakit dalam.
Kemudian dikonsulkan ke dr. Hadiati, Sp. PD dengan diagnosa Diabetes Militus
tipe II kemudian diberikan terapi RCI 2x6 Unit insulin dan lantus 20 unit malam
hari, codein 3x10mg. Terapi dilakukan dengan monitoring klinis, Tanda Vital, dan
Gula Darah Puasa.

Anda mungkin juga menyukai