Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka mortalitas

dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia.

Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika

disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.1 Prevalensi dari gagal jantung sendiri

semakin meningkat karena pasien yang mengalami kerusakan jantung yang bersifat akut

dapat berlanjut menjadi gagal jantung kronik. World Health Organization (WHO)

menggambarkan bahwa meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung di dunia, termasuk

Asia diakibatkan oleh meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas, dislipidemia, dan

diabetes. Angka kejadian gagal jantung meningkat juga seiring dengan bertambahnya usia.

(PERKI, 2020)

Gagal jantung merupakan sindrom klinik yang bersifat kompleks, dapat berakibat

dari gangguan pada fungsi miokard (fungsi sistolik dan diastolik), penyakit katup ataupun

perikard, atau hal-hal yang dapat membuat gangguan pada aliran darah dengan adanya

retensi cairan, biasanya tampak sebagai kongesti paru, edema perifer, dispnu, dan cepat

lelah. Siklus ini dipicu oleh meningkatnya regulasi neurohumoral yang awalnya berfungsi

sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan sistem Frank–Starling, tetapi justru

menyebabkan penumpukan cairan yang berlebih dengan gangguan fungsi jantung.(PERKI,

2020)

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih

dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti

proteinuria. Berbagai faktor yang mempengaruhi kecepatan kerusakan serta penurunan


fungsi ginjal dapat berasal dari genetik, perilaku, lingkungan maupun proses degenerative

(Efendi, et al, 2009).

Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan dunia dengan

peningkatan insidensi, prevalensi serta tingkat morbiditas dan mortalitas. Prevalensi global

telah meningkat setiap tahunnya. Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit

gagal ginjal kronis telah menyebabkan kematian pada 850.000 orang setiap tahunnya. Angka

tersebut menunjukkan bahwa penyakit gagal ginjal kronis menduduki peringkat ke-12

tertinggi sebagai penyebab angka kematian dunia. Prevalensi gagal ginjal di dunia menurut

ESRD Patients (End-Stage Renal Disease) pada tahun 2011 sebanyak 2.786.000 orang,

tahun 2012 sebanyak 3.018.860 orang dan tahun 2013 sebanyak 3.200.000 orang. Dari data

tersebut disimpulkan adanya peningkatan angka kesakitan pasien gagal ginjal tiap tahunnya

sebesar sebesar 6 %. Sekitar 78,8% dari pasien gagal ginjal kronik di dunia menggunakan

terapi dialisis untuk kelangsungan hidupnya

Kejadian GGK banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian di Asia

menunjukkan bahwa hipertensi sistolik, peningkatan IMT (index masa tubuh) hiperurikemia,

hiperkholesterolemia merupakan faktor resiko GGK di Thailand. Usia, hiperlipidemia, jenis

kelamin pria, hipertensi merupakan faktor risiko di Jepang. Usia tua, riwayat keluarga, etnis,

jenis kelamin, diabetes mellitus, sindrom metabolik, status hiperfiltrasi (tekanan darah >

125/75 mmHg, obesitas, diet tinggi protein, anemia), dislipidemia, nefrotoxin, penyakit

ginjal primer, kelainan urologis (obstruksi dan infeksi saluran kencing berulang) dan

penyakit kardiovaskular merupakan faktor prediktor inisiasi GGK.


BAB

TINJAUAN PUSTAKA

1. Congestive Heart Failure (CHF)

1. Definisi

Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari fungsi struktural jantung

atau sebagai kegagalan jantung dalam mendistribusikan oksigen sesuai dengan yang

dibutuhkan pada metabolisme jaringan, meskipun tekanan pengisian normal atau adanya

peningkatan tekanan pengisian (Mc Murray et al., 2012).

Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis progresif yang disebabkan oleh

ketidakmampuan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme

tubuh (Dipiro et al., 2015).

Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari struktur jantung atau

fungsi yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen ke

seluruh tubuh. Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks

dimana seseorang memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung; tanda khas gagal jantung

dan adanya bukti obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat

(PERKI,2020)

Gagal Jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan tampilan

(PERKI,2020):

1. Gejala khas gagal jantung: Sesak nafas saat istirahat atau aktivitas, kelelahan,

edema

2. Tanda khas gagal jantung: takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura,

peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali.

3. Tanda objektif gangguan struktur atau fungsional jantung saat istirahat,


kardiomegali, suara jantung tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam

gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida natriuretik.

Tabel 1. Manifestasi Klinis Gagal Jantung Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis

and treatment of acute and chronic heart failure 2012

GEJALA TANDA
Tipikal Spesifik
•Sesak nafas • Peningkatan JVP
• Ortopneu • Refluks hepatojugular
•Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe • Suara jantung S3 (gallop)
•Toleransi aktivitas yang •Apex jantung bergeser ke lateral
berkurang • Murmur jantung
•Cepat lelah
• Bengkak pada pergelangan kaki
Kurang Tipikal Kurang Tipikal
•Batuk di malam hari/dini hari • Edema erifer
•Mengi • Krepitasi pulmonal
• Berat badan bertambah > 2 kg/ •Suara pekak di basal paru pada saat
minggu perkusi
•Berat badan turun •Takikardia
(gagal jantung stadium lanjut) • Nadi ireguler
•Kembung/begah • Nafas cepat
•Nafsu makan menurun • Hepatomegali
•Perasaan bingung •Asites
(terutama pasien usia lanjut) • Kaheksia
•Depresi
•Berdebar
•Pingsan

b. Epidemiologi
Angka kejadian gagal jantung di Amerika Serikat mempunyai insidensi yang besar

tetapi tetap stabil selama beberapa dekade terakhir yaitu >650.000 pada kasus baru

setiap tahunnya. Meskipun angka bertahan hidup telah mengalami peningkatan, sekitar

50% pasien gagal jantung dalam waktu 5 tahun memiliki angka kematian yang mutlak

(Yancy et al., 2013).

c. Faktor Resiko

1. Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi, hipertrofi pada LV,

infark miokard, obesitas, diabetes.

2. Faktor resiko minor meliputi merokok, dislipidemia, gagal ginjal kronik,

albuminuria, anemia, stress, lifestyle yang buruk.

3. Sistem imun, yaitu adanya hipersensitifitas.

4. Infeksi yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri.

5. Toksik yang disebabkan karena pemberian agen kemoterapi (antrasiklin,

siklofosfamid, 5 FU), terapi target kanker (transtuzumab, tyrosine kinase inhibitor),

NSAID, kokain, alkohol.

6. Faktor genetik seperti riwayat dari keluarga. (Ford, et al., 2015)

d. Etiologi

Mekanisme fisiologis yang menjadi penyebab gagal jantung dapat berupa :

1. Meningkatnya beban awal karena regurgitasi aorta dan adanya cacat septum

ventrikel.

2. Meningkatnya beban akhir karena stenosis aorta serta hipertensi sistemik.

3. Penurunan kontraktibilitas miokardium karena infark miokard, ataupun

kardiomiopati.

Gagal jantung dan adanya faktor eksaserbasi ataupun beberapa penyakit lainnya,
mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam penanganannya dan seharusnya dilakukan

dengan penuh pertimbangan.

e. Patofisiologi

Patofisiologi dari gagal jantung dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :

a) Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan (failure)

1. Gagal jantung kiri (Left-Sided Heart Failure)

Bagian ventrikel kiri jantung kiri tidak dapat memompa dengan baik sehingga

keadaan tersebut dapat menurunkan aliran dari jantung sebelah kiri keseluruh

tubuh. Akibatnya, darah akan mengalir balik ke dalam vaskulator pulmonal

(Berkowitz, 2013).

Pada saat terjadinya aliran balik darah kembali menuju ventrikular pulmonaris,

tekanan kapiler paru akan meningkat (>10 mmHg) melebihi tekanan kapiler

osmotik (>25 mmHg). Keadaan ini akan menyebabkan perpindahan cairan

intravaskular ke dalam interstitium paru dan menginisiasi edema (Porth, 2007).

2. Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)

Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling berkaitan dengan disfungsi

ventrikel kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan yang diderita oleh kedua

sisi jantung, misalnya setelah terjadinya infark miokard atau tertundanya komplikasi yang

ditimbulkan akibat adanya progresifitas pada bagian jantung sebelah kiri. Pada gagal

jantung kanan dapat terjadi penumpukan cairan di hati dan seluruh tubuh terutama di

ekstermitas bawah (Acton, 2013).

b) Mekanisme neurohormonal

Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas, dimana neurohormon pada gagal

jantung diproduksi dari banyak molekul yang diuraikan oleh neuroendokrin (Mann,
2012). Renin merupakan salah satu neurohormonal yang diproduksi atau dihasilkan

sebagai respon dari penurunan curah jantung dan peningkatan aktivasi sistem syaraf

simpatik.

c) Aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)

Pelepasan renin sebagai neurohormonal oleh ginjal akan mengaktivasi RAAS.

Angiotensinogen yang diproduksi oleh hati dirubah menjadi angiotensin I dan

angiotensinogen II.Angiotensin II berikatan dengan dinding pembuluh darah ventrikel dan

menstimulasi pelepasan endotelin sebagai agen vasokontriktor. Selain itu, angiotensin II

juga dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk mensekresi hormon aldosteron. Hormon

inilah yang dapat meningkatkan retensi garam dan air di ginjal, akibatnya cairan didalam

tubuh ikut meningkat. Hal inilah yang mendasari timbulnya edema cairan pada gagal

jantung kongestif (Mann, 2012).

d) Cardiac remodeling

Cardiac remodeling merupakan suatu perubahan yang nyata secara klinis sebagai

perubahan pada ukuran, bentuk dan fungsi jantung setelah adanya stimulasi stress ataupun

cedera yang melibatkan molekuler, seluler serta interstitial (Kehat dan Molkentin, 2010).

a. Klasifikasi

Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), klasifikasi dari gagal

jantung kongestif yaitu sebagai berikut :

 Stage A

Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi belum

ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda dan gejala

(symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A

umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus,

atau pasien yang mengalami keracunan pada jantungnya (cardiotoxins).


 Stage B

Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya kerusakan

struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari gagal jantung

tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien dengan infark miokard, disfungsi

sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik.

 Stage C

Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung

bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan. Gejala yang

timbul dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat.

 Stage D

Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupun

intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat, serta pasien

yang perlu dimonitoring secara ketat. The New York Heart Association (Yancy et al., 2013)

mengklasifikasikan gagal jantung dalam empat kelas, meliputi :

a. Kelas I

Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak

menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.

b. Kelas II

Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal menyebabkan

kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF).

c. Kelas III

Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu

menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).

d. Kelas IV

Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun,
bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat (severe CHF).

Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA maupun NYHA memiliki

perbedaan yang tidak signifikan. Klasifikasi menurut AHA berfokus pada faktor resiko dan

abnormalitas struktural jantung, sedangkan klasifikasi menurut NYHA berfokus pada

pembatasan aktivitas dan gejala yang ditimbulkan yang pada akhirnya kedua macam

klasifikasi ini menentukan seberapa berat gagal jantung yang dialami oleh pasien.

b. Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium pada pasien gagal jantung harus mencakup evaluasi awal

pada jumlah darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum (termasuk pemeriksaan kalsium,

magnesium), blood urea nitrogen (BUN), kreatinin serum, glukosa, profil lipid puasa, tes

fungsi ginjal dan hati, x-ray dada, elektrokardiogram (EKG) dan thyroid-stimulating

hormone (Yancy et al., 2013). Pasien yang dicurigai mengalami gagal jantung, dapat pula

dilakukan pemeriksaan kadar serum natrium peptida (NICE, 2010).

e) TATALAKSANA

1. TATALAKSANA NON-FARMAKOLOGI (PERKI, 2020)

a) Manajemen Perawatan Mandiri

Manajemen perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang

bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk

kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung. Manajemen perawatan

mandiri mempunyai peran penting dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat

memberi dampak bermakna untuk perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional,

kualitas hidup, morbiditas, dan prognosis.

b) Ketaatan pasien berobat

Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada terapi farmakologi

maupun non-farmakologi

c) Pemantauan berat badan mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan > 2

kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan dokter (kelas

rekomendasi I, tingkatan bukti C).

d) Asupan cairan

Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan) dipertimbangkan terutama pada

pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua

pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas

rekomendasi IIb, tingkatan bukti C).

e) Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk

mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup

(kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C).

f) Kehilangan berat badan tanpa rencana

Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat. Kaheksia jantung

(cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka mortalitas. Jika selama 6 bulan

terakhir terjadi kehilangan berat badan >6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa

disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus

dinilai dengan hati-hati (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).

g) Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil. Program

latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah

(kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).


h) Aktvitas seksual

Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan pulmonal tetapi

tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh dikombinasikan dengan

preparat nitrat (kelas rekomendasi III, tingkatan bukti B)

TATA LAKSANA FARMAKOLOGI

Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan

mortalitas. Tindakan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian

penting dalam tata laksana penyakit jantung.

a. Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE I)

Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja menurunkan sekresi

angiotensin II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim yang dapat mengubah

angiotensin I menjadi angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi kejadian remodeling

jantung serta retensi air dan garam.

b. Beta bloker

Berdasarkan guideline dari ACC/AHA direkomendasikan menggunakan β-blocker pada

semua pasien gagal jantung kongestif yang masih stabil dan untuk mengurangi fraksi

ejeksi jantung kiri tanpa kontraindikasi ataupun adanya riwayat intoleran pada β-

blockers. Mekanisme kerja dari β- blocker sendiri yaitu dengan menghambat

adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh darah perifer sehingga efek

vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat konduksi dari sel jantung dan

juga mampu meningkatkan periode refractory.

c. Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)

Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada subtipe AT1.


Penggunaan obat golongan ARB direkomendasikan hanya untuk pasien gagal jantung

dengan stage A, B, C yang intoleran pada penggunaan ACE I. Food and Drug Approval

(FDA) menyetujui penggunaan candesartan dan valsartan baik secara tunggal maupun

kombinasi dengan ACE I sebagai pilihan terapi pada pasien gagal jantung kongestif.

d. Diuretik

Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan meningkatkan

retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik sistemik maupun paru.

Penggunaan diuretik pada terapi gagal jantung kongestif ditujukan untuk meringankan

gejala dyspnea serta mengurangi retensi air dan garam (Figueroa dan Peters, 2006). Diuretik

yang banyak digunakan yaitu dari golongan diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid (HCT)

dan golongan diuretik lengkungan yang bekerja pada lengkung henle di ginjal seperti

furosemid.

e. Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat reabsorpsi Na

dan eksresi K. Spironolakton merupakan obat golongan antagonis aldosteron dengan

dosis inisiasi 12,5 mg perhari dan 25 mg perhari pada kasus klinik yang bersifat mayor.

f. Digoksin

Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat inotropik

positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan meningkatkan dari

kerja jantung. Digoxin memiliki indeks terapi sempit yang berarti dalam penggunaan

dosis rendah sudah memberikan efek terapi. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian

pada penggunaan digoxin dan diperlukan monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi

toksik.

g. Nitrat dan hidralazin

Nitrat dan hidralazin mempunyai efek hemodinamik yang saling melengkapi.

Hidralazin sebagai vasodilator pembuluh darah arteri yang dapat mengurangi resisten
pembuluh darah sistemik serta meningkatkan stroke volum dan cardiac output.

Hidralazin memiliki mekanisme yaitu dengan menghambat inositoltrifosfat (IP3)

pada retikulum sarkoplasma yang berfungsi untuk melepaskan ion kalsium intraseluler

dan terjadi penurunan ion kalsium intraseluler. Nitrat sebagai venodilator utama (dilatasi

pembuluh darah) dan menurunkan preload (menurunkan beban awal jantung) dengan

mekanisme aktivasi cGMP (cyclic Guanosine Monophosphate) sehingga menurunkan kadar

ion kalsium intraseluler (Yancy et al. (2013) juga memaparkan mengenai algoritma terapi

dari penggolongan obat-obat CHF berdasarkan klasifikasi AHA (Tabel 2) dan NYHA

(Gambar 3). Algoritma dari kedua klasifikasi tersebut dapat disesuaikan dengan keluhan

dan perburukan penyakit yang dialami oleh pasien CHF.

Tabel 1.Terapi CHF klasifikasi AHA (Yancy et al., 2013)

Stage A ACE Inhibitor atau ARB


Stage B ACE Inhibitor, Beta Blocker
Stage C ACE Inhibitor, Beta Blocker Diuretik,
Digoksin
Alternatif lain : ARB, Spironolakton,
Nitrat+Hidralazin
Stage D Terapi stage A, B, C dengan tambahan
infus iv inotropik (digoksin) untuk terapi paliatif

B. GAGAL GINJAL KRONIS

a. Defenisi

Gagal ginjal kronis adalah kondisi ketika fungsi ginjal menurun secara bertahap

akibat kerusakan jaringan ginjal. Secara medis, gagal ginjal kronis didefinisikan sebagai

penurunan laju penyaringan ginjal selama 3 bulan atau lebih. 

Fungsi utama ginjal adalah menyaring limbah (zat sisa metabolisme tubuh) dan

kelebihan cairan dari darah untuk dibuang melalui urine. Setiap hari, kedua ginjal menyaring

sekitar 120-150 liter darah dan menghasilkan sekitar 1-2 liter urine.
Di dalam ginjal, terdapat unit penyaring bernama nefron yang terdiri dari glomerulus

dan tubulus. Glomerulus menyaring cairan dan limbah untuk dikeluarkan, tetapi mencegah

sel darah dan protein darah keluar dari tubuh. Selanjutnya, mineral yang dibutuhkan tubuh

akan diserap di tubulus agar tidak terbuang bersama urine.

Selain menyaring limbah dan kelebihan cairan, ginjal juga berfungsi untuk:

 Menghasilkan enzim renin yang menjaga tekanan darah dan kadar garam dalam

tubuh tetap normal

 Membuat hormon eritropoietin yang merangsang sumsum tulang untuk

memproduksi sel darah merah

 Memproduksi vitamin D dalam bentuk aktif yang bermanfaat untuk menjaga

kesehatan tulang

Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal kronis (PGK) menyebabkan cairan,

elektrolit, dan limbah menumpuk di dalam tubuh dan menimbulkan banyak gangguan.

Gejala dapat lebih terasa ketika fungsi ginjal sudah semakin menurun. Pada tahap lanjut,

GGK dapat membahayakan jika tidak ditangani, salah satunya dengan cuci darah.

b. Epidemiologi

Gagal ginjal kronis merupakan masalah kesehatan global yang jumlahnya terus

meningkat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 oleh Kementerian

Kesehatan RI, sebanyak 0,2% dari seluruh penduduk Indonesia menderita gagal ginjal

kronis.

Survei yang dilakukan oleh perkumpulan dokter ginjal se-Indonesia menunjukkan,

kebanyakan gagal ginjal kronis di Indonesia terjadi akibat hipertensi dan diabetes (nefropati

diabetik) yang tidak terkontrol.

c. Gejala dan Penyebab Gagal Ginjal Kronis


Gejala pada penderita gagal ginjal kronis stadium 1-3 biasanya tidak begitu terlihat.

Biasanya, gejala gagal ginjal kronis baru terasa ketika sudah mencapai stadium 4 dan 5

akibat beratnya gangguan metabolisme tubuh.

Gejala yang ditemukan pada penderita GGK antara lain:

 Tekanan darah tinggi yang tidak terkendali

 Bengkak di kaki dan pergelangan kaki

 Buang air kecil menjadi sedikit

 Ditemukan urine dalam darah

Gagal ginjal kronis disebabkan oleh kerusakan jaringan ginjal yang dipicu oleh

penyakit jangka panjang. Beberapa penyakit yang bisa menjadi penyebab gagal ginjal adalah

diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit asam urat.

Gejala gagal ginjal kronis disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal. Karena terjadi

secara perlahan, penyakit ginjal kronis biasanya tidak menimbulkan gejala di tahap awal.

Penurunan fungsi ginjal di tahap awal juga masih bisa ditoleransi oleh tubuh.

Gejala GGK biasanya akan lebih jelas jika penurunan fungsi ginjal sudah memasuki

tahap lanjut. Berikut ini adalah gejala yang bisa muncul ketika fungsi ginjal sudah turun

cukup signifikan:

 Tekanan darah tinggi yang sulit dikendalikan

 Hilang nafsu makan

 Berat badan menurun

 Gangguan tidur atau insomnia

 Sering merasa lelah

 Buang air kecil lebih sering, terutama di malam hari

 Terdapat darah atau busa dalam urine

 Kulit kering dan gatal (pruritus) yang berkepanjangan


 Sering mengalami kram otot

 Mual dan muntah

 Buang air kecil semakin sedikit (tanda sudah memasuki gagal ginjal tahap akhir)

 Pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki yang dapat memburuk, bahkan

hingga tangan, wajah, atau seluruh tubuh (edema anasarka)

 Berat badan meningkat akibat penumpukan cairan

 Nyeri dada, terutama jika ada penumpukan cairan di jaringan jantung

 Sesak napas, jika ada penumpukan cairan di paru-paru

Gagal ginjal kronis umumnya terjadi akibat penyakit yang menyebabkan kerusakan

pada ginjal. Kerusakan ini biasanya akan terus memburuk dengan kecepatan yang berbeda-

beda bagi setiap orang. Jika penyakit penyebab gagal ginjal kronis ini tidak diatasi dengan

baik, kerusakan ginjal dapat memburuk dengan lebih cepat.

Penyakit penyebab gagal ginjal kronis meliputi:

 Diabetes, karena kadar gula dalam darah yang terlalu tinggi dapat merusak penyaring

dalam ginjal

 Hipertensi atau tekanan darah tinggi, karena kondisi ini seiring waktu akan

menambah tekanan pada pembuluh darah kecil di ginjal dan menghambat ginjal

untuk bekerja secara normal.

 Glomerulonefritis atau peradangan pada glomerulus ginjal

 Nefritis intersititial, yaitu peradangan pada tubulus ginjal dan jaringan sekitarnya.

 Infeksi ginjal berulang yang akhirnya merusak jaringan ginjal

 Penyakit ginjal polikistik, yaitu pertumbuhan kista dalam jumlah yang banyak pada

ginjal

 Gangguan saluran urine yang berkepanjangan, contohnya karena batu ginjal,

pembesaran prostat, kanker serviks, atau kelainan bentuk saluran kemih sejak lahir
 Gagal ginjal akut yang tidak sembuh

 Penggunaan obat-obatan yang berpotensi merusak ginjal, seperti lithium dan obat

antiinflamasi nonsteroid (OAINS), dalam jangka panjang

 Penyakit pembuluh darah ginjal, seperti penyempitan pembuluh arteri ginjal

(stenosis arteri ginjal) atau gumpalan darah di pembuluh vena ginjal (trombosis vena

ginjal).

 Lupus nefritis

 Penyakit asam urat

d. Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronis

Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal

kronis:

 Menderita diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung

 Merokok

 Memiliki berat badan berlebih (obesitas)

 Memiliki keluarga dengan riwayat penyakit ginjal

 Menderita cacat struktur ginjal

 Berusia lanjut

e. Patofisiologi

1. Penurunan GFR (Glomelulaar Filtration Rate)

Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksa

klirens kreatinin. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens kreatinin akan menurun,

kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan meningkat.

2. Gangguan klirens renal


Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah

glumeri yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens (substansi darah yang

seharusnya dibersihkan oleh ginjal)

3. Retensi cairan dan natrium

Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin

secara normal. Terjadi penahanan cairan dan natrium, meningkatkan resiko terjadinya

edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.

4. Anemia

Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi yang tidak adekuat, memendeknya usia

sel darah merah, difisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk terjadi perdarahan akibat status

uremik pasien, terutama dari saluran.

5. Ketidakseimbangan kaliem dan fosfat

Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan yang saling timbal balik,

jika salah satunya meningkat, yang lain akan turun,. Dengan menurunya GFR (Glomelulaar

Filtration Rate), maka terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan

kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium ini akan memicu sekresi peratormon, namun dalam

kondisi gagal ginjal, tubuh tidak berespon terhadap peningkatan sekresi parathornom,

akibatnya kalsium di tulang menurun menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit

tulang.

6. Penyakit tulang uremik (osteodistrofi)

Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormone.

Patofisiologi GGK beragam, bergantung pada proses penyakit penyebab. Tanpa

melihat penyebab awal, glomeruloskerosis dan inflamasi interstisial dan fibrosis adalah cirri

khas GGK dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Copsted & Banasik, 2010) dalam

(Nuari &Widayati, 2017). Seluruh unit nefron secara bertahap hancur. Pada tahap awal, saat
nefron hilang, nefron fungsional yang masih ada mengalami hipertrofi. Aliran kapiler

glomerulus dan tekanan meningkat dalam nefron ini dan lebih banyak pertikel zat larut

disaring untuk mengkompensasi massa ginjal zat yang hilang. Kebutuhan yang meningkat

ini menyebabkan nefron yang masih ada mengalami sklerosis (jaringan parut) glomerulus,

menimbulkan kerusakan nefron pada akhirnya. Proteinuria akibat kerusakan glomelurus

diduga menjadi penyebab cedera tubulus. Proses hilangya fungsi nefron yang kontinu ini

dapat terus berlangsung meskipun setelah proses penyakit awal teratasi (Faunci et al, 2008)

dalam (Nuari & Widayati, 2017).

Perjalanan GGK beragam, berkembang selama periode bulanan hingga tahunan. Pada tahap

awal, seringkali disebut penurunan cadangan ginjal, nefron yang tidak terkena

mengkompensasi nefron yang hilang. GFR sedikit turun dan pada pasien asimtomatik

disertasi BUN dan kadar kreatinin serum normal. Ketika penyakit berkembang dan GFR

(Glomelulaar Filtration Rate) turun lebih lanjut, hipertensi dan beberapa manifestasi

insufisiensi ginjal dapat muncul. Serangan berikutnya pada ginjal ditahap ini (misalnya

infeksi, dehidrasi, atau obstruksi saluran kemih) dapat menurunkan fungsi dan memicu

awitan gagal ginjal atau uremia nyata lebih lanjut. Kadar serum kreatinin dan BUN naik

secara tajam, pasien menjadi oguria, dan manifestasi uremia muncul. Pada (ESRD), tahap

akhir GGK, GFR kurang dari 10% normal dan tetapi penggantian ginjal diperlukan untuk

mempertahankan hidup (LeMone, Dkk, 2015).

Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal gangguan

keseimbangan cairan, penanganan gram, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi

yang bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25%

normal, manifestasi kinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron- nefron yang

sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan
kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi (Muttaqin & Sari,

2011).

Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa

menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nerfon yang ada untuk meningkatkan

reabsorpsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan

jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang. Pelepasan rennin akan meningkat

bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi

akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtrasi

protein-protein plasma. Kondisi akan bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk

jaringan parut sebagai respon dari kerusakan nefron dan secara progresif fungsi ginjal

menurun secara derastis dengan manifestasi penumpukan metabolit-metabolit yang

seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang

memberikan banyak manifestasi pada setiap organ tubuh (Muttaqin & Sari, 2011).

Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Menurut Natoinal Kidney Foundation Classification of Chronic Kidney Disease,

GGK dibagi dalam lima stadium:

Table 2. Stadium GGK (Black & Hawks, 2005) dalam (Bayhakki, 2012).

Stadium Deskripsi Istilah lain GFR


(ml/mnt/1,73m2)
Kerusakan ginjal dengan Beresiko
I GFR Normal >90
Kerusakan ginjal dengan Infusiensi ginjal
II GFR turun ringan kronik (IGK) 60-89
GFR turun sedang IGK, gagal
III ginjal kronik 30-59
GFR turun berat Gagal ginjal
IV Kronik 15-29
V Gagal ginjal Gagal ginjal tahap Akhir <15
(End Stage Renal Disease

Rumus menghitung GFR (Glomelulaar Filtration Rate) berdasarkan alat kalkulasi

GFR adalah untuk laki-laki : (140-umur) x BB(kg) / 72 x serum kreatinin, dan untuk

perempuan : (140-umur) x BB(kg) /72 x Serum kreatinin x 0,85.

f. Diagnosis Gagal Ginjal Kronis

Diagnosis GGK dilakukan dengan menanyakan gejala, serta riwayat penyakit pasien

dan keluarganya, diikuti dengan pemeriksaan fisik. Dokter juga akan melakukan

pemeriksaan penunjang untuk menilai fungsi ginjal  dan mendeteksi kerusakan ginjal.

Pemeriksaan tersebut meliputi:

1. Tes darah

Tes darah dilakukan untuk mengetahui kerja ginjal dengan memeriksa kadar limbah dalam

darah, seperti kreatinin dan ureum.

2. Tes urine

Dalam tes ini, kadar albumin (protein darah), kreatinin, dan sel darah merah dalam urine

akan diperiksa. Hasil pemeriksaan tersebut bisa menunjukkan seberapa parah kerusakan

ginjal yang dialami pasien.

3. Pemindaian

Pemindaian ini bertujuan melihat struktur dan ukuran ginjal. Umumnya, pemeriksaan yang

dilakukan adalah USG ginjal,  tetapi bisa juga menggunakan MRI atau CT scan.

4. Biopsi ginjal

Biopsi ginjal dilakukan dengan mengambil sampel kecil dari jaringan ginjal. Sampel ini

selanjutnya akan dianalisis di laboratorium, agar penyebab kerusakan ginjal bisa diketahui.
Melalui hasil pemeriksaan di atas, dokter dapat menghitung perkiraan laju filtrasi

glomerulus (LFG). Perhitungan ini dapat menentukan stadium gagal ginjal kronis pasien dan

metode pengobatan yang tepat.

Berdasarkan pemeriksaan LFG, stadium gagal ginjal dapat dikategorikan menjadi:

 Stadium 1, nilai LFG di atas 90 mL/menit/1,73 m2

 Stadium 2, nilai LFG 60 hingga 89 mL/menit/1,73 m2

 Stadium 3, nilai LFG 30 hingga 59 mL/menit/1,73 m2

 Stadium 4, nilai LFG 15 hingga 29 mL/menit/1,73 m2

 Stadium 5, nilai LFG di bawah 15 mL/menit/1,73 m2

Perlu diketahui, nilai kisaran di atas tidak dapat digunakan untuk menentukan stadium gagal

ginjal kronis. Hal ini karena orang yang berusia lanjut bisa memiliki nilai LFG yang setara

dengan GGK stadium 2, meski ia tidak menderita penyakit ginjal.

Sebagai gambaran, berikut ini adalah nilai rata-rata LFG yang normal berdasarkan usia:

 Usia 20-29, nilai LFG rata-rata 116

 Usia 30-39, nilai LFG rata-rata 107

 Usia 40-49, nilai LFG rata-rata 99

 Usia 50-59, nilai LFG rata-rata 85

 Usia diatas 70 tahun, nilai LFG rata-rata 75

g. Pengobatan dan Pencegahan Gagal Ginjal Kronis

Penanganan GGK bertujuan untuk meredakan gejala dan mencegah penyakit ini

bertambah buruk akibat limbah yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh. Untuk itu, deteksi

dini dan penanganan secepatnya sangat diperlukan.

Secara umum, pengobatan gagal ginjal kronis meliputi:

 Pemberian obat-obatan
 Cuci darah

 Transplantasi ginjal

GGK dapat dicegah dengan menjalani pola hidup sehat dan mengontrol penyakit yang dapat

meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal kronis.

Penyakit ginjal tidak dapat disembuhkan dan kondisi ginjal yang rusak tidak dapat kembali

seperti semula. Penanganan GGK yang dilakukan oleh dokter bertujuan untuk:

 Memperbaiki gangguan yang terjadi akibat kerusakan ginjal, seperti

ketidakseimbangan mineral dan elektrolit, anemia, dan hipertensi

 Mengendalikan penyakit yang menyebabkan gagal ginjal kronis

 Menghambat perkembangan gagal ginjal kronis menjadi lebih parah.

 Mempertahankan laju filtrasi ginjal sebaik mungkin

Adapun metode pengobatan yang dapat dilakukan oleh dokter meliputi:

Pemberian Obat-obatan

Pemberian obat-obatan dilakukan untuk mengendalikan penyakit penyebab gagal ginjal

kronis dan gangguan yang muncul akibat kerusakan ginjal. Jenis obat yang diberikan antara

lain:

 Obat hipertensi

Tekanan darah tinggi dapat menurunkan fungsi ginjal lebih parah dan mengubah

komposisi elektrolit dalam tubuh. Obat yang dapat diberikan untuk mencegah ini

adalah ACE inhibitor atau ARB.

 Suplemen untuk anemia

Dokter dapat memberikan suntikan hormon eritropoietin dan terkadang ditambah

suplemen besi untuk mengatasi anemia pada penderita GGK.

 Suplemen kalsium dan vitamin D

Kedua suplemen ini diberikan untuk mengatasi kekurangan kalsium dan vitamin D
akibat kerusakan ginjal. Salah satu manfaatnya adalah untuk mencegah

pengeroposan tulang (osteoporosis) yang bisa meningkatkan risiko patah tulang.

 Obat diuretik

Obat ini dapat mengurangi penumpukan cairan pada bagian tubuh. Contoh obat ini

adalah furosemide.

 Obat kortikosteroid

Obat ini diberikan pada penderita GGK akibat glomerulonefritis atau penyakit lain

yang menyebabkan peradangan pada ginjal.

Perubahan Pola Hidup

Di samping pemberian obat, penderita gagal ginjal kronis juga disarankan untuk melakukan

perubahan pola hidup, antara lain dengan:

 Menjalani diet khusus, yaitu dengan mengurangi konsumsi garam, serta membatasi

asupan protein dan kalium dari makanan untuk meringankan kerja ginjal

 Berhenti merokok

 Membatasi konsumsi minuman beralkohol

 Berolahraga secara teratur, setidaknya 150 menit dalam seminggu

 Menurunkan berat badan jika berat badan berlebih atau obesitas

 Tidak mengonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yang dapat

menyebabkan gangguan pada ginjal

 Memeriksakan tekanan darah secara berkala

 Menerima vaksinasi, seperti vaksinasi flu dan pneumonia, karena GGK membuat

tubuh rentan terserang infeksi

 Berkonsultasi dan melakukan pemeriksaan diri ke dokter secara teratur

Terapi Pengganti Ginjal


Untuk pasien gagal ginjal kronis tahap akhir atau stadium 5, penanganan yang dapat

dilakukan adalah mengganti tugas ginjal dalam tubuh dengan terapi pengganti ginjal. Terapi

ini terdiri dari:

1. Dialisis

Dialisis adalah proses penyaringan limbah dan cairan dalam tubuh. Terdapat dua jenis

dialisis, yakni:

 Hemodialisis atau biasa dikenal dengan cuci darah, yakni prosedur dialisis yang

menggunakan mesin

 CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis), yaitu dialisis yang dilakukan

dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam perut melalui lubang buatan

2. Tranplantasi ginjal

Pada transplantasi ginjal, ginjal pasien diganti dengan ginjal sehat dari pendonor. Pasien

tidak perlu lagi menjalani cuci darah seumur hidup setelah transplantasi. Namun, pasien

perlu mengonsumsi obat imunosupresif dalam jangka panjang, untuk menghindari risiko

penolakan organ cangkok.

Selama penanganan berlangsung, pasien perlu menjalani pemeriksaan secara rutin agar

kondisinya senantiasa terpantau.

Komplikasi Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronis dapat memicu sejumlah komplikasi, yaitu:

 Gangguan elektrolit, seperti penumpukan fosfor dan hiperkalemia atau kenaikan

kadar kalium yang tinggi dalam darah

 Penyakit jantung dan pembuluh darah

 Penumpukan kelebihan cairan di rongga tubuh, misalnya edema paru atau asites

 Anemia atau kekurangan sel darah merah


 Kerusakan sistem saraf pusat yang bisa menyebabkan kejang

Komplikasi Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronis dapat memengaruhi hampir seluruh anggota tubuh. Komplikasi yang

dapat ditimbulkan antara lain:

 Penumpukan cairan pada bagian tubuh (edema) atau organ dalam, termasuk di paru-

paru (edema paru)

 Hiperkalemia (tingginya kadar kalium dalam darah) yang dapat mengganggu fungsi

jantung, bahkan bisa menyebabkan henti jantung

 Anemia

 Kerusakan sistem saraf pusat, yang dapat menimbulkan gangguan mulai dari sulit

berkonsentrasi hingga perubahan kepribadian atau kejang

 Penurunan daya tahan tubuh sehingga penderita rentan terserang infeksi

 Perikarditis atau peradangan pada perikardium (lapisan yang menyelimuti jantung)

 Tulang menjadi lemah dan rentan patah

 Disfungsi ereksi atau penurunan kesuburan pada pria


BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. H A

Umur : 57 Tahun

Jenis Kelamin : Laki laki

Alamat : Jl.xxx

Tanggal masuk : 6 Oktober 2021

Tanggal keluar : 11 Oktoberr 2021

No. Rekam Medik : 0014xx

3.2 Anamnesa

Seorang pasien laki-laki berinisial HA dibawa oleh keluarganya ke Rumah Sakit Otak

DR.DRS.M. Hatta Bukittinggi dengan keluhan sesak nafas sejak 4 bulan yang lalu,mual,

muntah setiap makan.

3.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang

- Sesak memberat 3 hari Sebelum masuk RS

- Susah berjalan
- makan, minum dimuntakan

- Batuk (+)

3.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu

3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga

3.2.4 Riwayat Pengobatan

Pasien sebelum masuk kerumah sakit telah melakukan pengobatan ke Puskesmas dan

menggunakan obat herbal

3.3 Pemeriksaan Fisik

Hasil pemeriksaan fisik di Rumah Sakit pada tanggal 6 September 2021 :

a. Pemeriksaan fisik

Kondisi Umum : Sedang

GCS : E : 4; M : 5; V: 6

Kesadaran : Compos Mentis

Frekuensi Nadi : 151x/ menit

Frekuensi Nafas : 40x / menit

Saturasi Oksigen : 98 %

Suhu : 36,5 oC

Tekanan Darah : 115/86 mmHg

b. Pemeriksaan Umum

Kepala : Tidak ditemukan kelainan (normal)

Rambut : Warna : Hitam

Mudah dicabut : Tidak

Muka : Tidak ditemukan kelainan (normal)


Mata : Tidak ditemukan kelainan (normal)

Telinga : Tidak ditemukan kelainan (normal)

Hidung : Tidak ditemukan kelainan (normal)

Mulut : Tidak ditemukan kelainan (normal)

Gigi : Tidak ditemukan kelainan (normal)

Lidah :Tidak ditemukan kelainan (normal)

Tenggorokan :Tidak ditemukan kelainan (normal)

Dada : Tidak ditemukan kelainan (normal)

Respirasi : Dyspnea,

Takpnea

Jantung : Tackiardia

Abdomen : Tidak ditemukan kelainan ( normal)

3.4 Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan Hematologi

Nama Test Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 14.2 11.0-16.5 g/dl

Leukosit 11.57 3.50-9.50 ribu/ul

Hematocrit 41 37-47 %

Eritrosit 4.96 4.5-6.5 juta/ul

Trombosit 216 150-450 ribu/ul

- Pemeriksaan Kimia Klinik

Nama Test Hasil Nilai rujukan

Ureum 130 10-50 mg/dl

Kreatinine 1.7 0.7-1.2 mg/dl

Glukosa sewaktu 95 <200 mg/dl


Glukosa Puasa 136 70-110 mg/dl

SGOT 7 <38u/l

SGPT 25 <41 u/l

Uric Acid 13.1 3.0-7.0 mg/dl

Triglycerides 66 50-150 ng/dl

Cholesterol 132 <220 mg/dl

HDL Cholesterol 14 0-55 mg/dl

LDL Cholesterol 74 <150 mg/dl

3.5 Diagnosa

Diagnosa Utama : CHF dengan edema pulmonal

Diagnose sekunder : CKD Stage 1 , AF RVR

3.6 PENATALAKSANAAN

3.6.1 Terapi/Tindakan yang diberikan

- IVFD dextrose : EAS Pfrimmer 1: 1

- ISDN

- Asam Folat

- NAC

- Ramipril

- Ceftriaxon

- Furosemid

- Spironolakton

- Simarc

- Digoxin

Terapi pulang
- Asam folat 1 x tab

- NAC 1X 1

- Ramipril 1x1

- Spironolactone 25 mg 1 x 1

- Simarc 1 x 1

- Furosemide 40 mg 1 x 1

- Digoxin 0.25 mg 1 x 1

3.7 Pemantauan

- Hari ke-1 (6 Oktober 2021)

S : Sesak berkurang

O : BP : 139/90

A : CHF dengan edema pulmonal

AF RVR,

Azotemia ec AKI dd CKD

P : inj D 5 : EAS 1 : 1

SP furosemide

Inj digoxin

Asam folat 1 x 2 tab

Inj ceftriaxone

Inj ranitidine

ISDN 3 x 5

NAC 1 X 1

Hari ke 2 ( 7 oktober 2021 )

S : Sesak berkurang , makan (+)\

O : GCS : E4V6M6
A : CHF, AF

F : Terapi lanjut

Hari ke 3 ( 8 oktober 2021)

S : Sesak berkueang

O : KU : CM , TD : 100/70 mmHg, N : 64x/i

A : CHF,AF RVR

P : Simarc 1 x 2 mg

Hari ke 3 ( 8 oktober 2021)

S : Sesak berkurang

O : KU : CM , GCS : E4V6M5, BP : 100/70 mmHg

A : CHF dengan edema pulmo

AF RVR

Azotemia ec AKI dd CKD

P : Terapi lanjut

Hari ke 4 ( 9 oktober 2021)

S : Sesak berkurang , batuk berdahak

O : KU : CM , GCS : E4V6M5, BP : 100/60

A : CHF dengan edema pulmo

CKD stage 1

AF RVR

P : asam folat 1 x 2 tab

NAC 1 X1

Ramipril 1 x 2,5 mg

Spironolacton 1 x 25 mg

Simarc 1 X 1
ACC BLBP

Hari ke 5 10 oktober 2021

S : Sesak berkurang

O : TD : 100/70 mmHg

A : CHF dengan edema pulmo

CKD stage 1, AF RVR

P : boleh pulang oleh DJDP

Aff infus

Inj furosemide stop

Furosemide tab 1 x 40 mg

Pasien boleh pulang


BAB IV

DISKUSI

4.1. Drug Related Problem

Drug Therapy Problem Check


No Keterangan/Rekomendasi
list
1. Terapi Obat Yang Tidak Diperlukan
Tidak ada terapi obat tanpa indikasi medis

Terdapat terapi tanpa


indikasi medis Terapi/tindakan yang diberikan:

- ISDN 3x1 (PO) merupakam obat

vasodilator, Pemilihan vasodilator pada

penderita gagal jantung dilakukan

berdasarkan gejala gagal jantung dan

tanda yang ada. Pada penderita dengan

tekanan pengisian tinggi sehingga sesak

nafas, vasodilator dapat membantu

mengurangi gejala.

- Asam folat 1x1 (PO) malam

merupakan suplemen

- Acetylsistein 1x1 (PO) malam

Merupakan Obat Yang bekerja sebagai

mukolitik atau pengencer dahak,

sehingga dahak bisa lebih mudah

dikeluarkan melalui batuk. Perlu

dicatat, obat ini tidak cocok diberikan


pada batuk kering

- Furosemid 40 1x1 (PO) pagi,

- Furosemid inj SP 200 mg kec 0,5

cc/jam :obat diuretik utama untuk

mengatasi gagal jantung akut yang

selalu disertai dengan kelebihan

(overload) cairan yang menyebabkan

kongesti paru atau edema perifer.

Penggunaan diuretik dapat

menghilangkan sesak nafas dan

meningkatkan kemampuan untuk

melakukan aktivitas fisik. Diuretik

mengurangi retensi air dan garam

sehingga mengurangi volume cairan

ekstrasel, alir balik vena, dan tekanan

pengisian ventrikel (preload). Diuretik

loop seperti furosemide, bumetanide,

dan torsemide biasanya diperlukan

untuk memulihkan dan

mempertahankan euvolemia pada gagal

jantung

- Ramipril 1x2,5 mg (PO) merupakan

ACE-Inhibitor: ACE-inhibitor pada

gagal jantung kongestif mengurangi

mortalitas dan morbiditas pada semua


pasien gagal jantung sistolik.

Mekanisme kerja ACE-inhibitor

mengurangi pembentukan angiotensin

II di reseptor AT1 maupun AT2. ACE-

inhibitor pada gagal jantung dapat

mencegah terjadinya remodeling dan

menghambat perluasan kerusakan

miokard serta dapat menurunkan

sekresi aldosteron (sehingga

meningkatkan ekskresi natrium) dan

menurunkan sekresi vasopresin yang

semuanya berguna untuk penderita

gagal jantung kongestif . ACE-inhibitor

merupakan terapi lini pertama untuk

pasien dengan fungsi ventrikel yang

menurun, yaitu dengan fraksi ejeksi di

bawah normal (<40-45%) dengan atau

tanpa gejala. Pada pasien dengan gejala

gagal jantung tanpa retensi cairan, obat

ini harus diberikan bersama diuretik.

- Spironolakton 1x25 mg (PO)

diberikan Pada pasien gagal jantung

dan kadar plasma aldosteron

meningkat akibat aktivitas sistem renin-


angiotensin-aldosteron. Aldosteron

menyebabkan retensi Na dan air serta

mengekskresi K dan Mg. Retensi Na

dan air menyebabkan edema dan

peningkatan preload jantung.

Aldosteron memacu remodeling dan

disfungsi ventrikel melalui peningkatan

preload dan efek langsung yang

menyebabkan fibrosis miokard dan

proliferasi fibroplas . Ada dua

antagonis aldosteron, yaitu diuretik

hemat kalium seperti spironolakton dan

penghambat konduksi natrium seperti

amilorin, triamteren yang

menghilangkan sekresi kalium dan ion

hidrogen di ginjal. Obat-obat ini

umumnya digunakan untuk

mengimbangi efek kehilangan kalium

dan magnesium dari diuretik loop

- Digoxin 3x1/2 (IV) Digoksin pada

pengobatan gagal jantung yaitu

inotropik positif, konotropik negatif

(mengurangi frekuensi denyut ventrikel

pada takikardi atau fibrilasi atrium),


dan mengurangi aktivitas saraf

simpatis. Digoksin harus digunakan

bersamaan dengan terapi gagal jantung

standar (ACE inhibitor, β-bloker, dan

diuretik) pada pasien dengan gejala

gagal jantung untuk mengurangi rawat

inap.

- Ceftriaxon 1x2 gr (PO) merupakan

antibiotik untuk infeksi yang

disebabkan oleh patogen yang sensitif

terhadap ceftriaxon seperti infeksi

ginjal, saluran kemih dan saluran

pernafasan.

- Ranitidin inj SP 2x1 (IV), Injeksi

Ranitidin untuk mengatasi gejala nyeri

lambung atau nyeri ulu hati akibat

peningkatan asam lambung

- Dextrosa 5% Eas primer/12 jam 1:1

Untuk mengatasi hipoglikemia

- Simarc notisil (Warfarin) 1x1 malam

Merupakan obat antikoagulan dengan

menghambat koagulasi dengan

mencegah reduksi vitamin K secara

enzimatik didalam hati. Vitamin K

(dalam bentuk reduksi) adalah kofaktor


yang bertanggung jawab dalam aktivasi

faktor pembekuan darah II, VII, IX, dan

X.

Pasien mendapatkan terapi Pasien tidak mendapatkan terapi tambahan

tambahan yang tidak di yang tidak diperlukan

perlukan -

Pasien masih memungkinkan Pasien tidak memungkinkan menjalani terapi

menjalani terapi non non farmakologi, pasien sangat memerlukam

terapi farmakologi
-
Farmakologi
Tidak terdapat duplikasi terapi

Terdapat duplikasi terapi

-
- Selama pemantauan efek samping obat,

Pasien mendapatkan pasien merasakan adanya efek

samping angiodema akibat penggunaan

ramipril.

penanganan terhadap Untuk mengatasi efek samping obat ramipril

dengan menggunakan furosemid agar

mengurangi pembengkakan.
efek samping yang -
seharusnya dapat di
Cegah
2. Kesalahan Obat
Bentuk sedian sudah disesuaikan dengan

Bentuk sediaan tidak kondisi


pasien.
Tepat

Tidak terdapat kontraindikasi antar obat dan


-
Terdapat kontraindikasi kondisi pasien
Kondisi pasien tidak dapat Kondisi pasien dapat disembuhkan dengan obat

disembuhkan oleh obat karena semakin hari keadaan pasien makin

- membaik ditandai dengan sesak nafas

berkurang dan
Obat tidak diindikasi untuk Tidak ada obat yang tidak diindikasikan untuk

kondisi pasien - pasien, semua obat sudah diindikasikan untuk


kondisi pasien
Obat yang diberikan sudah efektif dalam proses

Terdapat obat lain yang efektif pengobatan pasien, dimana terapi obat yang
-
diberikan telah sesuai dengan kondisi pasien

yang dapat dilihat pada follow up harian pasien


3. Dosis Tidak Tepat
Dosis terlalu rendah - Terapi/tindakan yang diberikan di IGD

- Dosis yang diberikan tidak


Dosis terlalu tinggi -
melebihi dosis maksimal.

ISDN 3x1 (PO)

- Asam folat 1x1 (PO) malam

 Dosis awal 5 mg setiap hari

selama 4 bulan.

- Acetylsistein 1x1 (PO) malam

 Dosis 3x1 kapsul sehari

- Furosemid 40 1x1 (PO) pagi,

 Furosemide dosis awal (20-40 mg)

dan dosis maksimal (40-240 mg)

- Furosemid inj SP 200 mg kec 0,5

cc/jam

- Ramipril 1x2,5 mg (PO)

- (Ramipril dosis awal (2,5 mg 1 kali

sehari) dan maksimum 10 mg 1 kali

sehari)

- Spinorolakton 1x25 mg (PO)

- Spironolaktone dosis awal (12,5-25


mg 1 kali sehari) dan dosis

maksimal (25 mg 1 kali sehari

- Digoxin 3x1/2 (IV)

a) Dosis digoksin untuk mencapai

konsentrasi plasma yaitu 0,5

sampai 1 ng/ mL (0,6-1,3 nmol/

L). Pasien dengan fungsi ginjal

normal dapat mencapai tingkat

ini dengan dosis 0,125 mg/hari.

Pasien dengan fungsi ginjal

menurun, lanjut usia atau

menerima obat yang berinteraksi

misalnya amiodarone harus

menerima 0,125 mg setiap hari

- Ceftriaxon 1x2 gr (PO)

b) Dosis 1-2 gram/hari.

- Ranitidin inj SP 2x1 (IV)

- Dextrosa 5% Eas primer/12 jam 1:1

- Simarc notisil (Warfarin) 1x1 malam

c) Dosis awal 5-10 mg/hari selama

2 hari.

Penyesuaian dosis dilakukan

menurut hasil INR dikisaran 2-3

sudah dianggap dosis teraupetik.

Dosis pemeliharaan 2-10mg/hari


Fekuensi sudah tepat

Frekuensi penggunaan tidak - ISDN 3x1 (PO)


tepat - Asam folat 1x1 (PO) malam

- Acetylsistein 1x1 (PO) malam

- Furosemid 40 1x1 (PO) pagi,

- Furosemid inj SP 200 mg kec

0,5 cc/jam

- Ramipril 1x2,5 mg (PO)

- Spinorolakton 1x25 mg (PO)

- Digoxin 3x1/2 (IV)

- Ceftriaxon 1x2 gr (PO)

- Ranitidin inj SP 2x1 (IV)

- Dextrosa 5% Eas primer/12

jam 1:1
-
- Simarc notisil (Warfarin) 1x1

malam

Durasi penggunaan obat sudah tepat

Durasi penggunaan tidak tepat

- ISDN 3x1 (PO)

- Asam folat 1x1 (PO) malam

- Acetylsistein 1x1 (PO) malam

- Furosemid 40 1x1 (PO) pagi,

- Furosemid inj SP 200 mg kec

0,5 cc/jam
- Ramipril 1x2,5 mg (PO)

- - Spironolakton 1x25 mg (PO)

- Digoxin 3x1/2 (IV)

- Ceftriaxon 1x2 gr (PO)

- Ranitidin inj SP 2x1 (IV)

- Dextrosa 5% Eas primer/12

jam 1:1

- Simarc notisil (Warfarin) 1x1

malam
Penyimpanan tidak tepat Penyimpanan obat sudah tepat, dimana

- obat disimpan didalam tempat obat

pasien yang telah disediakan


4. Reaksi Yang Tidak Diinginkan
Obat tidak aman untuk pasien Tidak ada obat yang tidak aman untuk

- pasien, pemberian terapi pada pasien

sudah disesuaikan dengan dosis yang

tepat untuk kondisi pasien


Tidak terjadi reaksi alergi, pasien
-
Terjadi reaksi alergi tidak memiliki riwayat alergi sehingga

obat aman digunakan


Terdapat interaksi obat

Terjadi interaksi obat - Sedang

1. Digoxin - Furosemid

Interaksi antara digoksin dan furosemid

meningkatkan ekskresi kalium dan

magnesium sehingga meningkatkan

toksisitas digoksin yang mengakibatkan

hipokalemia, untuk terapi pengobatan


gagal jantung kombinasi antara digoksin

dan furosemid selalu diresepkan karena

mekanisme dari keduanya yang sangat

cepat terutama pada pasien gagal

jantung parah.

Hipokalemia dari efek samping kedua

obat tersebut dapat dicegah dengan

pemberian suplemen kalium dan

magnesium atau diuretik hemat kalium.

Sedang

2. (ISDN (isosorbide dinitrat) –

ramipril)

Menggunakan isosorbidedinitrat dan ra

mipril bersama-sama dapat menurunkan

tekanan darah dan memperlambat detak

jantung.hal ini dapat menyebabkan sakit

kepala berdenyut, sulit atau lambat

bernapas, pusing, pingsan, dan detak

jantung tidak teratur. Jika menggunakan

kedua obat bersama-sama, beri tahu

dokter jika memiliki gejala-gejala ini.

mungkin memerlukan penyesuaian dosis

atau perlu memeriksakan tekanan darah

lebih sering.

Sedang
3. Digoxin - ramipril

Ramipril dapat meningkatkan kadar

darah dan efek digoksin. Maka di

perlukan penyesuaian dosis atau

pemantauan yang lebih sering oleh

dokter untuk menggunakan kedua obat

dengan aman. Jika

mengalami mual, muntah, diare,

kehilangan nafsu makan, gangguan

penglihatan (penglihatan kabur;

lingkaran cahaya di sekitar objek;

penglihatan hijau atau kuning), atau

detak jantung yang cepat atau lambat

atau tidak rata secara tidak normal,

karena ini mungkin merupakan tanda-

tanda. dan gejala kadar digoxin yang

berlebihan.

Sedang

4. cefTRIAXone  furosemide

Antibiotik sefalosporin seperti

cefTRIAXone terkadang dapat

menyebabkan masalah ginjal, dan

menggunakannya dengan furosemide

dapat meningkatkan risiko tersebut.

interaksi lebih mungkin terjadi ketika


sefalosporin diberikan dalam dosis

tinggi melalui injeksi ke dalam vena

atau ketika diberikan kepada orang tua

atau individu dengan gangguan fungsi

ginjal yang sudah ada sebelumnya. tanda

dan gejala kerusakan ginjal mungkin

termasuk mual, muntah, kehilangan

nafsu makan, peningkatan atau

penurunan buang air kecil, kenaikan

atau penurunan berat badan secara tiba-

tiba, retensi cairan, pembengkakan,

sesak napas, kram otot, kelelahan,

kelemahan, pusing, kebingungan, dan

irama jantung yang tidak teratur.


Dosis obat dinaikan atau diturunkan Tidak terdapat dosis yang dinaikan

terlalu cepat - ataupun diturunkan, semua dosis sudah

di sesuaikan dengan kondisi pasien


Muncul efek yang tidak diinginkan Selama pemberian terapi tidak ada

- muncul efek yang tidak diinginkan

Administrasi obat yang diberikan telah

Administrasi obat yang tidak tepat tepat

- ISDN 3x1 diberikan secara oral

untuk mengurangi gejala sesak

nafas pada pasien

- Asam folat 1x1 diberikan secara


oral karena untuk suplemen

- Acetylsistein diberikan secara

oral umtuk pengencer dahak,

sehingga dahak bisa lebih mudah

dikeluarkan melalui batuk.

- Furosemid diberikan secara oral

untuk mengurangi,

menghilangkan sesak nafas dan

meningkatkan kemampuan untuk

melakukan aktivitas fisik.


-
- Furosemid inj diberikan untuk

mengurangi retensi air dan garam

sehingga mengurangi volume

cairan ekstrasel, alir balik vena,

dan tekanan pengisian ventrikel

(preload).

- Ramipril diberikan secara oral

pada gagal jantung dapat

mencegah terjadinya remodeling

dan menghambat perluasan

kerusakan miokard serta dapat

menurunkan sekresi aldosteron

(sehingga meningkatkan ekskresi

natrium) dan menurunkan sekresi

vasopresin yang semuanya


berguna untuk penderita gagal

jantung kongestif.

- Spinorolakton diberikan secara

oral untuk meningkatkan

reabsorpsi dari natrium dan

ekskresi kalium pada tubuli

ginjal.

- Digoxin diberikan secara IV

untuk membantu mengembalikan

irama jantung yang tidak normal

dan memperkuat detak jantung.

- Cetriaxon diberikan secara oral

karena untuk infeksi yang

disebabkan oleh patogen yang

sensitif terhadap cetriaxon

seperti infeksi ginjal, saluran

kemih dan saluran pernafasan.

- Ranitidin Injeksi diberikan untuk

mengatasi gejala nyeri lambung

atau nyeri ulu hati akibat

peningkatan asam lambung

- Dextrosa 5% Eas primer/12 jam

1:1

- Simarc (Warfarin) diberikan

secara oral karena dapat


menghambat koagulasi dengan

mencegah reduksi vitamin K

secara enzimatik didalam hati.

Vitamin K (dalam bentuk

reduksi) adalah kofaktor yang

bertanggung jawab dalam

aktivasi faktor pembekuan darah

II, VII, IX, dan X.


5. Ketidaksesuaian Kepatuhan Pasien
Tidak ada obat yang tidak tersedia,

Obat tidak tersedia - semua obat yang dibutuhkan oleh pasien

tersedia di apotek rumah sakit


Pasien tidak mampu Pasien mampu menyediakan obat

menyediakan obat - karena ditanggung BPJS

Pasien tidak bisa menelan obat atau Pasien mampu mengkonsumsi obat

menggunakan obat dengan baik, karena pasien masih dalam

- kesadaran yang normal.


Pasien tidak mengerti intruksi Instruksi penggunaan obat sudah

penggunanan obat dijelaskan kepada keluarga pasien

-
Pasien tidak patuh atau memilih Pasien patuh dalam menggunakan obat,

untuk tidak menggunakan obat obat-obatan untuk pasien rawat inap

- disiapkan dalam bentuk satu kali

pemakaian, sehingga ketidak patuhan

pasien dapat teratasi.


6. Pasien Membutuhkan Terapi Tambahan
Terdapat kondisi yang tidak diterapi Tidak ada kondisi yang tidak
- mendapatkan terapi, semua kondisi

pasien sudah mendapatkan terapi yang

sesuai dengan kondisi pasien.


Pasien membutuhkan obat lain Pasien tidak membutuhkan obat lain

yang sinergis - yang sinergis

Pasien membutuhkan terapi Pasien telah mendapatkan terapi

profilaksis - profilaksis
4.2 Follow Up Pemakaian Obat

Nama Tanggal Pemberian Obat


Frekuensi Rute
Dagang/ 06/10 07/10 08/10 09/10 10/10 11/10
Generik P S SO M P S SO M P S SO M P S SO M P S SO M P S SO M
1 ISDN 3x1 Po √ √ √ √ √ √ √ stopp
2 Asam Folat 1x1 Po √ √ √ √ √
3 Acetylsistein 1 x 1 Po √ √ √ √ √
4 Furosemid 1x1 Po √
(40 mg)
5 Ramipril (2,5 1 x 1 Po √ √ √ √
mg)
6 Spironolakton 1 x 1 Po √ √ √ √
(25 mg)
7 Digoxin 3x½ IV √ √ √ stopp
8 Ceftriaxon Inj 1 x 2 gr IV √ √ √ stopp
9 Ranitidin Inj 2x1 IV √ √ √ √ √ √ √ √
10 Furosemid Inj 1 x 1 IV √ stopp
11 Dextrosa 5% 1 : 1 IV √ √ √
Eas Primer/12
Jam
12 Simarc 1x1 Po √ √ √
13 Furosemid Inj 1 x 1 IV √ √ √
(40 mg)

4.3 Rencana Asuhan Kefarmasian


4.3.1 efek terapi
Nilai yang Frekuensi
No Tujuan Terapi Rekomendasi Parameter
diinginkan Pemantauan
Menangani IVFD Cairan tubuh Cairan tubuh dan
1. Tiap hari
hipokalemia Dektrosa 5 % dan nutrisi nutrisi terpenuhi
Berkurang/ tidak
Memenuhi asam EAS Nutrisi
2. terjadi peradangan Tiap hari
amino essensial Pfrimmer terpenuhi
pada glomerulus
Keluhan Pasien tidak
Mencegah stress Injeksi nyeri mengalami nyeri
3. Tiap hari
ulser Ranitidin epigastrium, epigastrium,mual,m
mual,muntah untah
Menurunkan
preload
Mengurangi
Injeksi ventikuler
4. kongestif Udem berkurang Tiap hari
furosemid serta
pulmonal
mengatasi
udema
5. Meningkatkan Digoxin Irama Irama jantung Tiap hari
normal 60-
kerja jantung jantung
80x/menit
Penurunan
Meningkatkan
curah
ekskresi
6. Spironolakton jantung dan Kondisi tungkai Tiap hari
natrium, air,
tekanan
klorida
darah
Mencegah Tekanan Tekanan darah
7 peningkatan Ramipril darah normal 120/80 Tiap hari
tekanan darah mmHg
Mengatasi sesak Pemeriksaan Sesak napas
8 ISDN Tiap hari
napas fisik berkurang
Pemeriksaan Frekuensi batuk dan
9 Mengatasi batuk NAC Tiap hari
fisik cairan batuk
Mencegah Nilai INR
10 SIMARC Nilai INR normal Tiap hari
fibrilasi atrium
Mengurangi
Mencegah
11 Asam Folat gejala yang Tidak terjadi anemia Tiap hari
anemia
timbul
Injeksi Suhu tubuh Suhu tubuh normal
Antiinfeksi Tiap hari
ceftriaxon pasien 36-37,5 ℃
4.3.2 Pemantauan efek terapi

Hasil pemeriksaan
Frekuensi
Rekomendasi Parameter Nilai yang diinginkan 06-10- 08-10- 09-10-
Pemantauan 07-10-21 10-10-21
21 21 21
IVFD Dektrosa 5 %
Cairan tubuh dan Cairan tubuh dan nutrisi terpenuh terpenu terpenu Terpenuh
: EAS Pfrimmer 1 : Tiap hari terpenuhi
nutrisi terpenuhi i hi hi i
1
Mencegah strees
ulcer Keluhan Pasien tidak mengalami
Injeksi Ranitidin nyeri nyeri Tiap hari normal normal normla normal Normal
epigastrium,mual, epigastrium,mual,muntah
muntah
Menurunkan
Injeksi furosemide, Udem Udem Udem Udem Udem
preload ventikuler
furosemide oral, Udem berkurang Tiap hari pada pada pada pada pada
serta mengatasi
Spironolakton tungkai tungkai tungkai tungkai tungkai
udema
Digoxin Irama jantung Irama jantung normal Tiap hari
Ramipril Tekanan darah Tekanan darah normal Tiap hari Jam 8 : Jam 10 Jam 9 : Jam Jam 10 :
132/97 139/90 100/70 14 : 100/60
mmHg mmhg mmHg 110/60 mmHg
Jam 10 : Jam 13 : Jam mmHg
139/90 102/64 12 :
mmHg mmHg 160/10
Jam 21 :
0
109/64
mmHg
mmHg
Pemeriksaan fisik Sesak Sesak Sesak Sesak Sesak
nafas nafas nafas nafas nafas
ISDN Sesak napas berkurang Tiap hari
berkuran berkuran berkura berkura berkuran
g g ng ng g
Pemeriksaan fisik Tiap hari Batuk Batuk Batuk Batuk Batuk
Frekuensi batuk dan cairan
NAC berkuran berkuran berkura berkura berkuran
batuk
g g ng ng g
SIMARC Nilai INR Nilai INR normal Tiap hari - - - - -
Mengurangi gejala
Asam Folat Mencegah anemia Tiap hari normal normal normal normal Normal
timbul
Injeksi ceftriaxone Suhu tubuh pasien Suhu tubuh normal Tiap hari normal normal Normal Normal Normal
4.4 Pembahasan

Seorang pasien berinisial HA dibawa oleh keluarga ke Rumah Sakit Otak

DR.DRS.M.HATTA. Pasien baru masuk ICU jam 17.00 pada tanggal 05 oktober

2021 dari IGD dengan keluhan utama sesak nafas saat beraktifitas selama ± 3 bulan

ini dan bertambah berat 3 hari ini dan nafsu makan berkurang. Kemudian pasien di

pindahkan ke ruang rawat HCU pada tanggal 06 oktober 2021. Hasil pemeriksaan

fisik di IGD pada tanggal 05 Oktober 2021 didapatkan kondisi umum : Sedang, GCS :

E4 M6 V5, kesadaran : Compos Mentis, frekuensi nadi: 164 kali/menit, Frekuensi

Nafas: 46 kali/menit, Suhu : 36 0C, Tekanan Darah : 115/85 mmHg, saturasi : 98%,

Berat Badan : 70 kg, Udem kedua kaki, Dekubitus tidak ada. Hasil pemeriksaan

laboratorium di IGD tanggal 05 oktober 2021 didapatkan kadar leukosit 11, 57 ribu/uL

, Netrofil 84,6 %, Eosinofil 0,3 %, Limfosit 9,1 %, Ureum 130 mg/dl, Creatinine 1,7

mg/dl, Natrium 135 mmol/L.

Pasien di diagnosa utama oleh dokter adalah CHF (Congestive Heart Failure)

atau Gagal Jantung Kongestif, dan diagonsa sekunder adalah Atrial Fibrilasi (AF) atau

Fibrilasi Atrium dan CKD (Chronic Kidney Disease) atau Gagal Ginjal Kronis yang

diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

Gagal jantung (heart failure) merupakan sindroma klinis komplek yang

disebabkan gangguan struktur dan fungsi jantung sehingga mempengaruhi

kemampuan jantung untuk memompakan darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.

Kondisi ini ditandai dengan gangguan hemodinamik berupa penurunan curah jantung

dan peningkatan tekanan pengisian ventrikel. Keluhan napas pendek, sesak napas

terkait dengan aktivitas, mudah lelah serta kaki membengkak merupakan gejala yang

sering dikeluhkan.
Baru-baru ini didapatkan bahwa Congestive Heart Failure terkait dengan

penurunan kardiak output dan vasokonstriksi perifer yang berlebihan (Haji dan

Mohaved, 2000). Gagal jantung sering diakibatkan karena adanya defek pada

kontraksi miokard atau diakibatkan karena abnormalitas dari otot jantung seperti

pada kasus kardiomiopati atau viral karditis (Kasper et al., 2004). Gagal jantung

karena disfungsi miokard mengakibatkan kegagalan sirkulasi untuk mensuplai

kebutuhan metabolisme jaringan. Hal ini biasanya diikuti kerusakan miokard bila

mekanisme kompensasi gagal. Penyebab kerusakan pada miokard antara lain infark

miokard, stress kardiovaskular (hipertensi, penyakit katub), toksin (konsumsi

alkohol), infeksi atau pada beberapa kasus tidak diketahui penyebabnya (Crawford,

2002). Penyebab lain adalah arteroskerosis pada koroner, congenital, kelainan katub,

hipertensi atau pada kondisi jantung normal dan terjadi peningkatan beban melebihi

kapasitas, seperti pada krisis hipertensi, ruptur katub aorta dan pada endokarditis

dengan masif emboli pada paru. Dapat pula terjadi dengan fungsi sistolik yang

normal, biasanya pada kondisi kronik, misal mitral stenosis tanpa disertai kelainan

miokard (Kasper et al., 2004).

Terapi/tindakan yang diberikan adalah ISDN 3x1 (PO) merupakam obat

vasodilator, Isosorbide dinitrate (ISDN) bekerja dengan cara melebarkan pembuluh

darah (vasodilator) agar aliran darah dapat mengalir lebih lancar ke otot jantung. Obat

ini juga dapat digunakan menjadi obat tambahan untuk pasien gagal jantung.

Acetylsistein 1x1 (PO) malam Merupakan Obat Yang bekerja sebagai

mukolitik dengan memecah ikatan disulfida pada mukoprotein dengan cara

memisahkan agregasi  molekul glikoprotein inter dan intra disulfida. Dengan

mendepolimerisasi kompleks mukoprotein dan asam nukleat yang berperan dalam

viskositas mukus, maka mukus dapat mudah dikeluarkan dari saluran napas.
Furosemid 40mg 1x1 (PO) pagi, Furosemid inj SP 200 mg kec 0,5 cc/jam :

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala

kongesti tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia

dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien

untuk menghindari dehidrasi atau retensi. Pada golongan diuretik penggunaan obat

furosemid ini untuk mengurangi udema pada pasien Gagal Jantung. Mekanisme kerja

obat furosemide dengan cara menghambat reabsorbpsi NaCl dalam ansa Henle

asendens segmen tebal. Furosemid bekerja dengan cara menghambat kotranspor

Na+/K+/Cl-. Na+ secara aktif ditranspor keluar sel ke dalam interstisium oleh pompa

yang tergantung pada Na+/K+-ATPase di membrane basolateral. Hal ini akan

menyebabkan terjadinya diuresis dan berakhir dengan penurunan tekanan darah

(Guyon, 2008). obat diuretik utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu

disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang menyebabkan kongesti paru atau

edema perifer. Penggunaan diuretik dapat menghilangkan sesak nafas dan

meningkatkan kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik. Diuretik mengurangi

retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik vena,

dan tekanan pengisian ventrikel (preload). Diuretik loop seperti furosemide,

bumetanide, dan torsemide biasanya diperlukan untuk memulihkan dan

mempertahankan euvolemia pada gagal jantung.

Ramipril 1x2,5 mg (PO) Ramipril memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas

hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan

meningkatkan angka kelangsungan hidup. obat golongan ACE inhibitor yang bekerja

dengan cara menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II.

Angiotensin berperan dalam menyempitkan pembuluh darah. Cara kerja ini akan

membuat pembuluh darah melebar, aliran darah lebih lancar, dan tekanan darah pun
menurun. merupakan ACE-inhibitor pada gagal jantung kongestif mengurangi

mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung sistolik. Mekanisme kerja

ACE-inhibitor mengurangi pembentukan angiotensin II di reseptor AT1 maupun

AT2. ACE-inhibitor pada gagal jantung dapat mencegah terjadinya remodeling dan

menghambat perluasan kerusakan miokard serta dapat menurunkan sekresi aldosteron

(sehingga meningkatkan ekskresi natrium) dan menurunkan sekresi vasopresin yang

semuanya berguna untuk penderita gagal jantung kongestif . ACE-inhibitor

merupakan terapi lini pertama untuk pasien dengan fungsi ventrikel yang menurun,

yaitu dengan fraksi ejeksi di bawah normal (<40-45%) dengan atau tanpa gejala. Pada

pasien dengan gejala gagal jantung tanpa retensi cairan, obat ini harus diberikan

bersama diuretik.

Spinorolakton 1x25 mg (PO) Spironolakton merupakan obat hemat kalium

yang dapat dikombinasikan dengan furosemide. Mekanisme kerja obat spironolakton

adalah dengan cara memblokade ikatan aldosteron pada reseptor sitoplasma sehingga

meningkatkanekskresi Na+ (Cl- dan H2O) dan menurunkan sekresi K+ yang

diperkuat oleh listrik (Guyon, 2008)(Kabo, 2012). Hal ini menyebabkan pengeluaran

kalium akan ditahan sehingga tidak terjadi

hipokalemia (Kabo, 2012). Diberikan Pada pasien gagal jantung dan kadar plasma

aldosteron meningkat akibat aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron. Aldosteron

menyebabkan retensi Na dan air serta mengekskresi K dan Mg. Retensi Na dan air

menyebabkan edema dan peningkatan preload jantung. Aldosteron memacu

remodeling dan disfungsi ventrikel melalui peningkatan preload dan efek langsung

yang menyebabkan fibrosis miokard dan proliferasi fibroplas . Ada dua antagonis

aldosteron, yaitu diuretik hemat kalium seperti spironolakton dan penghambat

konduksi natrium seperti amilorin, triamteren yang menghilangkan sekresi kalium dan
ion hidrogen di ginjal. Obat-obat ini umumnya digunakan untuk mengimbangi efek

kehilangan kalium dan magnesium dari diuretik loop.

Digoxin 3x1/2 (IV) Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoxin

dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain

(seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Digoxin merupakan obat glikosida jantung

yang bekerja dengan cara memengaruhi beberapa jenis mineral yang penting dalam

kerja jantung, yaitu natrium dan kalium. Cara kerja ini akan membantu

mengembalikan irama jantung yang tidak normal dan memperkuat detak jantung.

Digoksin pada pengobatan gagal jantung yaitu inotropik positif, konotropik negatif

(mengurangi frekuensi denyut ventrikel pada takikardi atau fibrilasi atrium), dan

mengurangi aktivitas saraf simpatis. Digoksin harus digunakan bersamaan dengan

terapi gagal jantung standar (ACE inhibitor, β-bloker, dan diuretik) pada pasien

dengan gejala gagal jantung untuk mengurangi rawat inap.

Ceftriaxon 1x2 gr (PO) merupakan antibiotik untuk infeksi yang disebabkan

oleh patogen yang sensitif terhadap cetriaxon seperti infeksi ginjal, saluran kemih dan

saluran pernafasan.

Ranitidin inj SP 2x1 (IV), Injeksi Ranitidin untuk mengatasi gejala nyeri

lambung atau nyeri ulu hati akibat peningkatan asam lambung.

Simarc notisil (Warfarin) 1x1 malam Merupakan obat antikoagulan dengan

menghambat koagulasi dengan mencegah reduksi vitamin K secara enzimatik

didalam hati. Vitamin K (dalam bentuk reduksi) adalah kofaktor yang bertanggung

jawab dalam aktivasi faktor pembekuan darah II, VII, IX, dan X. Warfarin adalah

antikoagulan oral yang kerap kali diberikan pada pasien atrial fibrilasi untuk

pencegahan stroke. Pada atrial fibrilasi, terjadi stasis darah, hipokontraktilitas atrial,

remodelling struktur atrial, serta aktivasi platelet dan kaskade koagulasi. Kondisi-
kondisi tersebut akan meningkatkan risiko terbentuknya trombus dan terjadinya gagal

jantung.

Asam folat 1x1 (PO) malam merupakan suplemen penambah darah. Asam

folat menstimulasi produksi sel darah putih, sel darah merah, dan platelet. Sel darah

merah dan hormon eritropoietin adalah dua komponen tubuh yang saling berkaitan dan

melengkapi satu sama lain. Hormon ini diproduksi oleh ginjal untuk dibawa menuju sumsum

tulang ketika jumlah oksigen atau sel darah merah di dalam darah berkurang. Hormon ini juga

diproduksi oleh hati, namun dalam jumlah sedikit. Produksi eritropoietin bisa berkurang

atau bahkan tidak dihasilkan sama sekali ketika ginjal mengalami gangguan, misalnya

akibat gagal ginjal kronis. Akibatnya, jumlah sel darah merah akan berkurang hingga

menyebabkan anemia.

Dextrosa 5% Eas primer/12 jam 1:1 Salah satu indikasi pemberian dextrosa

adalah hipoglikemia. Dalam 1000 ml Dextrosa 5% mengandung Anhidrous Glucose

50 g. Peningkatan serum glukosa secara cepat setelah pemberian bolus dextrosa

melalui intravena akan menyebabkan peningkatan insulin secara mendadak dengan

puncak pada menit ke 3-5 dan mulai reda dalam 10 menit. Apabila peningkatan

glukosa telah stabil, maka fase kedua sekresi insulin akan terjadi. Eas Pfrimmer

digunakan sebagai terapi nutrisi pada pasien CKD. Cairan ini mengandung asam

amino karena pada pasien CKD protein dipecah dengan cepat menjadi asam amino,

namun sel tidak dapat menggunakan asam amino dengan efisien sehingga kadar

ureum dalam darah meningkat. Pada pasien ini kadar ureum tinggi sehingga perlu

diberikan EAS pfrimmer untuk menurunkan kadar ureum dalam darah. EAS

pfrimmer mengandung larutan asam amino dengan asam amino total 69 g/L, nitrogen

8,3 g/L, xylitol 10 g/L.

1.000 mL larutan mengandung:


L-Histidine 5,49 g
L-Isoleucine 7,00 g
L-Leucine 11,00 g
L-Lysine monoacetate 11,30 g
L-Methionine 11,00 g
L-Phenylalanine 11,00 g
L-Threonine 5,00 g
L-Tryptophan 2,51 g
L-Valine 8,00 g
Xylitol 10,00 g
Glycerine 10,00 g
Patogenesis gagal ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD)

melibatkan penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal

yang progersif. Total laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan klirens menurun,

Blood Urea Nitrogen dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami

hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya, ginjal

kehilangan kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan ekresi,

sejumlah besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan pasien mengalami kekurangan

cairan. Tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit.

Biasanya, urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri

berlebih. Oleh karena gagal ginjal berkembang dan jumlah nefron yang berfungsi

menurun, GFR total menurun lebih jauh. Dengan demikian tubuh menjadi tidak

mampu membebaskan diri dari kelebihan air, garam, dan produk sisa metabolisme

(Bayhakki, 2013).

Penghitungan kreatinin klirens diperlukan untuk mengetahui apakah pasien

mengalami penurunan fungsi ginjal, serta bagaimana regimen obat yang tepat untuk

memperoleh tujuan terapi yang direncanakan.


( 140−Umur ) x Berat Badan
CrCl =
72 x SerumCreatinin

( 140−57 ) x 70 kg
=
72 x 1,7 mg/dl

5810
=
122,4

= 47,46 ml/menit (Stage 3 Moderate/Sedang)

Stage 3 penyakit ginjal kronis (CKD) terjadi ketika perkiraan laju filtrasi

glomerulus (eGFR) turun antara 30-59, menunjukkan kerusakan ginjal sedang dan kehilangan

fungsi ginjal yang nyata. Tahap ini dipisahkan menjadi 2 sub-tahap: gagal ginjal stage 3a

dengan eGFR 45-59 dan stage 3b dengan eGFR 30-44.

BAB V

EDUKASI

1. Menjelaskan pada pasien cara pemakaian obat dan aturan pemakaiannya

2. Lakukan diet dengan mengurangi makanan yang mengandung purin tinggi antara lain

seperti seafood, junkfood, makanan asin dan jeroan

3. Menjelaskan pada keluarga pasien bahwa menyimpan obat pada tempat yang sejuk,

kering dan terlindungi dari cahaya matahari

4. Olahraga ringan pagi hari seperti jalan santai sebisanya


5. Istirahat yang cukup

6. Kontrol kesehatan secara rutin

7. Hindari stress

BAB VI

KESIMPULAN

1. Dari hasil pemeriksaan fisik dimana pasien mengalami sesak nafas dan udem pada

aktifitas ringan, pasien didiagnosa menderita gagal jantung kongestif (Congestive Heart

Failure) derajat III

2. Terdapat DRP pada terapi yang diberikan yaitu berupa interaksi obat antara digoksin dan

furosemid, interaksi ISDN dan ramipril, interaksi digoksin dan ramipril

3. Pasien mengalami gagal ginjal kronis dengan hasil kreatinin klirens adalah 47,46

ml/menit (Stage 3 Moderate/Sedang) menunjukkan kerusakan ginjal sedang dan

kehilangan fungsi ginjal yang nyata


DAFTRA PUSTAKA

1. Effendi I, Pasaribu R. Edema patofisiologi dan penanganannya. Dalam: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II. Edisi Ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Centers for Disease Control and Prevention (2021). Kidney Disease. Chronic Kidney
Disease Initiative
3. National Health Services UK (2019). Health A to Z. Chronic Kidney Disease.
4. PERKI, 2020, Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Edisi II, Indonesia
5. .McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012: the Task Force for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012 of the European Society of Cardiology.
Developed in collaboration with the Heart Failure Association of the ESC (HFA). Eur J
Heart Fail 2012; 14:803 – 869.
6. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2013 ACCF/AHA guideline for the management
of heart failure: a report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association task force on practice guidelines. J Am Coll Cardiol
2013;62(16):e155.
7. Yancey C, Januzzi Jr J, Allen L, Butler J, Davis L, Fonarow G, et al. ACC Expert
consensus decision pathway for optimization of heart failure treatment: answers to 10
pivotal issues about heart failure with reduced ejection Fraction. J Am Coll Cardiol.
2018;71(2):201-30.
8. Mullens W, Damman K, Harjola VP, Mebazaa A, Brunner-La Rocca HP, Martens P,
Testani JM, Tang WHW, Orso F, Rossignol P, Metra M, Filippatos G, Seferovic PM,
Ruschitzka F, Coats AJ. The use of diuretics in heart failure with congestion - a position
statement from the Heart Failure Association of the European Society of Cardiology. Eur
J Heart Fail. 2019 Feb;21(2):137-155

Anda mungkin juga menyukai