Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN

KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN ACUTE HEART
FAILURE (AHF)/ GAGAL JANTUNG
AKUT

OLEH :
K. SRI AYU ARI
SUSANTHI
0802105065

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
UDAYANA
2012
A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang
adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Smeltzer,
2002).

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi dimana jantung gagal


mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan
pengisian cukup (Paul Wood, 1958). Gagal jantung juga dikatakan sebagai suatu
sindroma dimana fungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi
latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup (Jay Chon,
1988). European Society of Cardiology, 1995 juga menjelaskan adanya gejala
gagal jantung yang reversible dengan terapi, dan bukti objektif adanya disfungsi
jantung.

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi dimana jantung gagal


mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan
pengisian cukup (Paul Wood, 1958). Gagal jantung juga dikatakan sebagai suatu
sindroma dimana fungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi
latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup (Jay Chon,
1988).

Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset) dari
gejala-gejala atau tanda-tanda (symptoms and sign) akibat fungsi jantung yang
abnormal. Gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru dari
gagal ginjal akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) (Manurung. D, 2006).

Acute Heart failure (AHF) atau Gagal jantung akut didefinisikan sebagai
serangan cepat (rapid onset) dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi
jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung
sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik. Gagal jantung akut dapat berupa serangan pertama gagal jantung, atau
perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya. Pasien yang mengalami gagal
jantung akut dapat memperlihatkan kedaruratan medik (medical emergency)
seperti edema paru akut (acute pulmonary oedema). (Manurung, 2006)

Keadaaan irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan dari preload


atau afterload, seringkali memerlukan pengobatan penyelamatan jiwa dan perlu
pengobatan segera. GJA dapat berupa acute de noro (serangan baru dari GJA,
tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari GJK, GJA
dapat timbul dengan satu atau beberapa kondisi klinis yang berbeda.

Gagal jantung akut ( acute heart failure(AHF)) secara garis besar sama dengan
gagal jantung kiri dan disebabkan oleh kegagalan memepertahankan curah
jantung yang terjadi mendadak

Gambar 1. Gagal jantung Akut (AHF)

2. Epidemiologi
Gagal jantung akut telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia sekaligus
penyebab signifikan jumlah perawatan di rumah sakit dengan menghabiskan
biaya yang tinggi. Penyakit ini merupakan penyebab utama perawatan pada
penyakit kardiovaskuler di Eropa. Di Eropa dan Amerika Serikat angka
kematian di rumah sakit akibat penyakit ini berkisar antara 4-7 % . Sekitar 10 %
dari pasien yang bertahan hidup beresiko mengalami kematian dalam waktu 60
hari berikutnya. 2,3 Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa sekitar 1 –
2%. Diperkirakan bahwa 5,3 juta warga Amerika saat ini memiliki gagal jantung
kronik dan setidaknya ada 550.000 kasus gagal jantung baru didiagnosis setiap
tahunnya. Pasien dengan gagal jantung akut kira-kira mencapai 20% dari seluruh
kasus gagal jantung. Prevalensi gagal jantung meningkat seiring dengan usia, 80
% berumur lebih dari 65 tahun.4

Di Indonesia belum ada data epidemiologi untuk gagal jantung, namun pada
Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil
Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan
ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah
sakit di Indonesia.5

Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu, takikardia
serta cemas, pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi.
Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta
cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok
kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya
timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun
ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun
defek septum ventrikel pasca infark.1,6

Meningkatnya harapan hidup disertai makin tingginya angka yang selamat


(survival) dari serangan infark jantung akut akibat kemajuan pengobatan dan
penatalaksanaannya, mengakibatkan semakin banyak orang yang hidup dalam
keadaan disfungsi ventrikel kiri, yang selanjutnya masuk kedalam gagal ginjal
kronis. Gagal jantung akut dan gagal jantung kronis sering merupakan
kombinasi kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik.
Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam
satu randomized trial yang besar, pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung
yang mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari adalah 9,6%, dan apabila
dikombinasi dengan mortalitas dan perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%.
Sekitar 45% pasien gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu kali,
15% paling tidak dua kali dalam dua belas bulan pertama. Estimasi risiko
kematian dan perawatan ulang antara 60 hari berkisar 30-60%, tergantung dari
studi populasi (Manurung, D, 2006).
3. Etiologi
Penyebab dari gagal jantung akut adalah:
✓ Dekompensasi pada gagal ginjal kronis yang sudah ada (kardiomiopati).
✓ Sindrom Koroner akut
- Infark miokard/ angina pektoris tidak stabil dengan iskemia yang
bertambah luas dan disfungsi iskemik
- Komplikasi kronik infark miokard akut
- Infark ventrikel kanan
✓ Krisis Hipertensi
✓ Aritmia akut (takikardia ventricular, fibrilasi ventricular, dibrilasi atrial)
✓ Regurgitasi valvular/endokarditis
✓ Stenosis katup aorta berat
✓ Miokarditis berat akut
✓ Tamponade jantung
✓ Diseksi aorta
✓ Kardiomiopati pasca melahirkan
✓ Faktor presipitasi non kardiovaskuler:
- Pelaksanaan pengobatan kurang
- Overload volume
- Infeksi terutama pneumonia
- Penurunan fungsi ginjal
- Asma
- Penyalahgunaan obat
- Penggunaan alcohol
✓ Sindrom high output (Manurung, D, 2006).

4. Patofisiologi
Bila cadangan jantung untuk berespon terhada stres tidak adekuat dalam
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, maka jantung gagal untuk melakukan
tugasnya sebagai pompa, akibat terjadilah gagal jantung. Juga pada tingkat awal,
disfungsi komponen pompa dapat mengakibatkan kegagalan. Jika cadangan
jantung normal mengalami payah dan kegagalan, respon fisiologis tertentu pada
penurunan curah jantung adalah penting. Semua respon ini menunjukkan upaya
tubuh untuk mempertahankan perfusi organ vital normal.
Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme respon primer, yaitu:
1. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis
2. Meningkatnya beban awal akibat aktivasi neurohormon
3. Hipertrofi ventrikel

Meningkatnya Aktivitas Adrenergik Simpatis


Menurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon
simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis
merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
medula adrenal. Denyut jantung akan meningkat secara maksimal untuk
mempertahankan curah jantung. Juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk
menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi
aliran darah ke organ-organ yang rendah metabolisme (kulit dan ginjal) agar
perfusi kejantung dan otak dapat dipertahankan. Kadar katekolamin yang
beredar akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung
akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam sirkulasi untuk
mempertahankan kerja ventrikel. Namun pada akhirnya respon miokardium
terhadap rangsangan simpatis akan menurun. Pada keadaan gagal jantung,
baroreseptor diktivasi sehingga menyebabkan peningkatan aktivasi simpatis
pada jantung, ginjal, dan pembuluh darah perifer. Angiontensin II dapat
menyebabkan makin meningkatnya aktivitas simpatis tersebut. Aktivitas yang
berlebihan dari system saraf simpatis menyebabkan peningkatan kadar
noradrenalin plasma. Sebagai akibatnya terjadi vasokontriksi, takikardia, serta
retensi garam dan air serta dapat menyebabkan nekrosis sel otot jantung.

Peningkatan Beban Awal Melalui Sistem RAA


Aktivitas RAA menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan
volume ventrikel, serta regangan serabut. Mekanisme pasti RAA pada gagal
jantung belum diketahui secara pasti. Namun beberapa faktor yang diperkirakan
adalah perangsangan simpatis andrenergik pada reseptor beta di dalam apparatus
jukstaglomerulus, terhadap perubahan pelepasan natrium tubulus distal. SRAA
bertujuan untuk mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit yang adekuat serta
mempertahankan tekanan darah. Renin adalah enzim yang disekresikan oleh sel-
sel juxtaglomerulus. Renin akan memecahkan empat asam amino dari
angiotensinogen dalam sirkulasi, suatu precursor angiotensin peptide yang
dihasilkan oleh hati membentuk angiotensin I. Angiotensin I dirubah diparu-paru
menjadi angiotensin II, suatu zat yang paten oleh angiotensin converting enzyme
(ACE). Angiotensin II memegang peranan dalam SRAA karena meningkatkan
tekanan darah dengan beberapa macam cara: vasokontriksi, retensi garam, dan
cairan, serta takikardia. Efek ini secara langsung maupun tidak langsung melalui
system simpatis, antidiuretik hormone (ADH), aldosteron, atau penghambat
vagal.
Aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan ekskresi
kalium. Aldosteron dapat meningkatkan natrium intraseluler dan dapat
menyebabkan penurunan complien paru yang merupakan karakteristik gagal
jantung. Pada gagal jantung sekresi ADH kurang berespon terhadap perubahan
osmolaritas plasma. Angiotensin II menjadi stimulus penting terhadap sekresi
ADH. Golongan obat penghambat ACE menyebabkan menurunkan kadar ADH.
Kadar ADH yang tinggi adalah gambaran umum yang terdapat pada gagal
jantung yang diobati dengan diuretik dan dapat menyebabkan hiponatremia.

Hipertrofi Ventrikel
Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium,
bergantung pada jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung.
Pola terjadinya hipertrofi ventrikel secara fungsional merupakan respon secara
remodeling disebabkan hal dibawah ini:
✓ Overload Tekanan
Overload tekanan (hipertensi, stenosis aorta) dapat menyebabkan
peningkatan ketebalan dinding ventrikel kiri yang biasanya disebut hipertrofi
konsentrik.

✓ Overload Volume
Misalnya keadaan curah jantung yang tinggi. Overload volume
menyebabkan pelebaran ruang (hipertrofi eksentrik).(Arif, M, 2009)
5. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan dominasi gagal jantung yang kiri atau
kanan yaitu:
- Gagal jantung kanan (Right heart backward failure) ; ditandai dengan adanya
edema perifer, ascites, dan peningkatan tekanan vena jugularis
Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti visera dan
jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi semua darah secara normal kembali dari sirkulasi vena.
- Gagal jantung kiri (Left heart backward failure) ; ditandai dengan terdapat
bendungan paru, hipotensi, dan vasokontriksi perifer dengan penurunan
perfusi jaringan
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak
mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam
sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru.
- Gagal jantung kongestif (Forward) : gabungan kedua gambaran tersebut
Gagal jantung kongestif dimaksud sebagai sindrom klinik yang disebabkan
oleh kekurangan volume pemompaan jantung untuk keperluan relative tubuh,
disertai hilangnya curah jantung dalam mempertahankan aliran balik vena dan
bersamaan terjadinya pengurangan pengisian percabangan arteri.
(Arif, M, 2009)

Gagal jantung biasanya digolongkan menurut derajat atau beratnya gejala


seperti klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA):

KELAS DEFINISI ISTILAH


I Klien dengan kelainan jantung tetapi Disfungsi ventrikel kiri
tanpa pembatasan aktivitas fisik yang asimtomatik
II Klien dengan kelainan jantung yang Gagal jantung ringan
menyebabkan sedikit pembatasan
aktivitas fisik
III Klien dengan kelainan jantung yang Gagal jantung sedang
menyebabkan banyak pembatsan
aktivitas fisik
IV Klien dengan kelainan jantung yang Gagal jantung berat
segala bentuk aktivitas fisiknya akan
menyebabkan keluhan
(Manurung, D, 2006).
Klasifikasi yang ketiga yang telah divalidasi pada perawatan kardiomiopati,
yang berdasarkan penemuan klinis, yaitu berdasarkan sirkulasi perifer
(perfusion) dan auskultasi paru (congestion). Pasien diklasifikasi menjadi :
a. Class I (Group A) (warm and dry),
b. Class II (Group B) (warm and wet),
c. Class III (Group L) (cold and dry),
d. Class IV (Group C) (cold and wet).
Klasifikasi ini sudah divalidasi untuk prognosis dari kardiomiopati, dan dapat
diaplikasikan pada pasien rawat jalan atau rawat inap.

6. Manifestasi Klinis
✓ Secara umum manifestasi klinis dari AHF atau gagal jantung akut dapat
berupa :
a. Dekompensasi atau perburukan dari gagal jantung. Bisa terdapat tanda
kongesti perifer dan kongesti paru. Terdapat riwayat perburukan gagal
jantung kronis yang sudah ada pada pasien sebelumnya. Tekanan darah
yang rendah saat admisi berhubungan dengan prognosis yang buruk
b. Edema pulmoner. Terdapat tanda-tanda distress respirasi, takipneu,
ortopneu dengan ronki pada auskultasi paru. SaO2 biasanya < 90%
sebelum mendapat terapi oksigen
c. Gagal jantung hipertensif. Tanda dan gejala gagal jantung disertai
dengan tekanan darah yang tinggi dan fungsi ventrikel kiri yang relatif
baik. Terdapat tanda-tanda meningkatnya tonus simpatis seperti
takikardia dan vasokonstriksi. Pasien dapat euvolemik ataupun
hipervolemik, dan tanda kongesti paru yang lebih dominan tanpa tanda
kongesti sistemik.
d. Syok kardiogenik. Didefinisikan sebagai hipoperfusi jaringan yang
disebabkan oleh gagal jantung, walaupun preload dan aritmia mayor
telah dikoreksi. Biasanya, syok kardiogenik ditandai oleh tekanan darah
sistolik <90 mmHg atau turunnya mean arterial pressure > 30 mmHg dan
absent atau rendahnya urin output (< 0,5 ml/kg/jam). Hipoperfusi organ
dan kongesti paru berkembang dengan cepat.
e. Gagal jantung kanan terisolasi. Ditandai dengan low output syndrome
dan absennya tanda-tanda kongesti paru dengan meningkatnya tekanan
vena jugular, dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian
ventrikel kiri yang rendah.
f. Gagal jantung dan sindrom koroner akut. Banyak pasien dengan gagal
jantung akut yang memiliki manifestasi klinis dan laboratoris dari
sindrom koroner akut. Pada pasien SKA, episode gagal jantung akut
sering dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia, AF atau VT)
g. Gejala lain dapat berupa :
- Tekanan darah tinggi
- Edema paru akut
- Ronchi
- Ortopnea
✓ Manifestasi AHF berdasarkan dominasi gagal jantung yang kiri atau kanan
adalah sebagai berikut :
Gagal jantung kongestif:
- Kongesti jaringan akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat
turunnya curah jantung pada kegagalan jantung. Batuk dan nafas pendek
akibat edema paru oleh karena peningkatan vena pulmonal dapat
menyebabkan cairan mengalir dari paru ke alveoli.
- Edema perifer dan peningkatan berat badan karena penekanan vena
sistemik.
- Turunnya curah jantung ada gagal jantung dimanifestasikan karena darah
tidak dapat mencapai jaringan dan organ (perfusi rendah) untuk
menyampaikan oksigen yang dibutuhkan. Beberapa efek yang timbul
karena perfusi rendah adalah pusing, konfusi, kelelahan, tidak toleran
terhadap latihan dan panas, ekstremitas dingin, dan haluaran urine
berkurang (oliguri). Tekanan perfusi ginjal menurun mengakibatkan
pelepasan renin dari ginjal, yang akan menyebabkan sekresi aldsteron,
retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler.

Gagal jantung kiri


a. Dispnea
Penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas.
Manifestasi kongesti pulmonalis sekunder dari kegagalan ventrikel kiri
dalam melakukan kontraktilitas sehingga mengurangi volume sekuncup.
Dispnea bisa terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan minimal
atau sedang.

b. Ortopnea
Kesulitan bernafas saat berbaring. Pasien tidak akan mau berbaring tetapi
menggunakan bantal agar bisa tegak ditempat tidur. Merupakan keluhan
lain dari gagal ventrikel kiri yang berhubungan dengan kongesti vascular
pulmonal. Hal ini penting untuk menentukan apakah benar ortopnea benar-
benar berhubungan dengan penyakit jantung atau apakah peninggian
kepala untuk tidur adalah kebiasaan belaka.

c. Dispnea Nokturnal Paroksimal (DNP)


Pasien mengalami ortupnea pada malam hari. Diperkirakan disebabkan
oleh perpindahan cairan dari jaringan ke dalam kompartemen intravascular
sebagai akibat posisi terlentang. Selama siang hari, tekanan vena tinggi
khususnya pada bagian dependen tubuh. Hal ini terjadi karena gravitasi,
peningkatan volume cairan, dan peningkatan tonus sismpatetik. Dengan
peningkatan tekanan hidrostatik, beberapa cairan keluar masuk area
jaringan. Dengan posisi terlentang, tekanan pada kapiler-kapiler dependen
menurun, dan cairan diserap kembali kedalam sirkulasi. Peningkatan
volume memberikan jumlah tambahan darah yang diberikan kejantung
untuk memompa tiap menit( peningkatan preload). Dan memberikan beban
tambahan pada vascular pulmonal yang sudah kongestif.

d. Keluhan batuk
Batuk iritasi adalah salah satu gejala kongesti vascular pulmonal yang
sering terlewatkan, tetapi bisa gejala dominan. Batuk ini dapat produktif
dan bisa juga tidak produktif (kering). Gejala timbulnya batuk produktif
karena kongesti mukosa bronchial dan berhubungan dengan peningkatan
mukus.

e. Mudah lelah
Penurunan curah jantung yang menghambat jaringan dari sirkulasi normal
dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Akibat
peningkatan energy yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang
terjadi akibat distress pernafasan dan batuk.

f. Kegelisahan dan kecemasan


Gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan
pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.

Gagal Jantung Kanan


a. Edema
Dimulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap
bertambah ke atas tungkai dan paha akhirnya ke tubuh bagian bawah.
Edema sacral sering terjadi pada pasien berbaring lama, karena daerah
sacral menjadi daerah yang dependen.
b. Hepatomegali
Nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran
vena dihepar. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam pembuluh
portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen, suatu
kondisi yang dinamakan ascites. Pengumpulan cairan dalam rongga
abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress
pernafasan.
c. Anoreksia
Hilangnya selera makan dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan
stasis vena di dalam rongga abdomen .
d. Nokturia
Rasa ingin kencing pada malam hari terjadi karena perfusi renal didukung
oleh posisi penderita saat berbaring. Diuresis terjadi paling serius pada
malam hari karena curah jantung akan membaik dengan istirahat
(Smeltzer, 2002).

7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terdiri dari keadaan umum dan pengkajian B1-B6
Keadaan umum  klien dengan gagal jantung biasanya didapatkan kesadaran
yang baik atau compos mentis dan akan berubah sesuai tingkat gangguan yang
melibatkan perfusi system saraf pusat.
B1 (Breathing) : Pengkajian yang didapat adanya tanda kongesti vascular
pulmonal adalah dispnea, ortopnea, dispnea nocturnal paroksimal, batuk, dan
edema pulmonal akut. Hal ini karena kegagalan ventrikel kiri.
B2 (Bleeding) :Pemeriksaan yang dilakukan pada pemeriksaan jantung dan
pembuluh darah

Inspeksi: kegagalan ventrikel kiri dihubungkan dengan gejala tidak spesifik


yang berhubungan dengan penurunan curah jantung. Klien dapat mengeluh
lemah, mudah lelah, apatis, letargi, kesulitan berkonsentrasi, deficit memori, dan
penurunan toleransi latihan. Distensi vena jugularis terjadi bila ventrikel kanan
tidak mampu berkompensasi, maka akan terjadi dilatasi ruang, peningkatan
volume, dan tekanan pada diastolic akhir ventrikel kanan., tahanan untuk
mengisi ventrikel dan peningkatan lanjut untuk tekanan atrium kanan. Edema
yang berhubungan dengan kegagalan ventrikel kanan, bergantung pada
lokasinya. Bila klien berdiri atau bangun, perhatikan pergelangan kakinya dan
tinggikan kaki bila kegagalan makin buruk. Bila klien berbaring ditempat tidur
bagian yang bergesekan dengan tempat tidur menjadi daerah sacrum.
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema
dependen), yang biasanya pitting edema (edema yang akan tetap cekung bahkan
setelah penekanan ringan), pertambahan berat badan, hepatomegali, anoreksia,
mual, nokturia dan kelemahan.

Palpasi: Perubahan nadi  pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung


merupakan denyut yang cepat dan lemah. Denyut jantung yang cepat
(takikardia) mencerminkan respon terhadap perangsangan saraf simpatis.
Penurunan yang bermakna dari curah sekuncup dan adanya vasokontriksi perifer
mengurangi tekanan nadi (perbedaan tekanan sistolik dan diastolik). Sehingga
menghasilkan denyut yang lemah.

Auskultasi: tekanan darah biasanya menurun karena penurunan isi sekuncup,


tanda fisik yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri dapat dikenali dengan
mudah dibagian yang meliputi: bunyi jantung ketiga dan keeempat (S3, S4) serta
crackles pada paru-paru.
Perkusi: batas jantung ada pergeseran yang menandakan adanya hipertrofi
jantung (kardiomegali).

B3 (Brain) : Kesadaran composmentis, didapatkan sianosis perifer apabila


gangguan perfusi jaringan berat. Pengkajian obyektif klien: wajah meringis,
merintih, meregang, dan menggeliat

B4 (Bladder)
Pengukuran volume keluaran urine berhubungan dengan asupan cairan, perlu
pemantauan adanya oliguri karena merupakan tanda awal dari syok kardiogenik.
Adanya edema ekstremitas menandakan adanya retensi cairan yang parah.

B5 (Bowel)
Biasanya didapatkan mula dan muntah, penurunan nafsu makan akibat
pembesaran vena dan stasis vena di dalam rongga abdomen serta penurunan
berat badan, ascites yang menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress
pernafasan.

B6 (Bone)
Berkurangnya perfusi organ –organ seperti kulit, dan otot-otot rangka, kulit
pucat dan dingin diakibatkan vasokontriksi perifer, penurunan lebih lanjut dari
curah jantung, dan meningkatnya kadar hemoglobin terendah mengakibatkan
sianosis. Vasokontriksi kulit menghambat kemampuan tubuh untuk melepaskan
panas. Oleh krena itu demam ringan dan berkeringat sering ditemukan. Mudah
lelah sering terjadi akibat curah jantung menurun sehingga menghambat jaringan
dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme. Juga terjadi akibat peningkatan energy yang digunakan untuk
bernafas yang terjadi akibat distress pernafasan dan batuk. Perfusi kurang pada
otot rangka menyebabkan kelemahan. (Arif, M, 2009)

8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium pada pasien gagal jantung akut menurut (Doenges,
1999):
 EKG: Hipertrofi atrial atau ventrikuar, penyimpangan aksis, iskemia, dan
kerusakan mungkin sering terdapat KVP, kenaikan segmen ST/T persisten 6
minggu atau lebih setelah infark miokard menunjukkan adanya aneurisme
ventricular (dapat menyebabkan gagal/disfungsi jantung).
 Sonogram (ekokardiogram, ekokardiogram dopple): Dapat menujukkan
dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katup, atau area
penurunan kontraktilitas ventricular.
 Scan jantung: (Multigated acquisition [MUGA]): Tindakan penyuntikkan
fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.
 Kateterisasi jantung : Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan versus sisi kiri, dan stenosis katup
atau insufisiensi. Juga mengkaji patensi arteri koroner. Zat kontras
disuntikkan kedalam vartikel menunjukkan ukuran abnormal dan ejeksi
fraksi/perubahan kontraktifilitas.
 Rontgen dada: Dapat menunjukkan perbesaran jantung, bayangan
mencerminkan dilatasi/hipertrofi bilik, atau perubahan dalam pembuluh
darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal. Kontur abnormal,
mis,. Bulging pada perbatasan jantung kiri, dapat menunjukkan aneurisme
ventrikel.
 Enzim Hepar: Meningkat dalam gagal/kongesti hepar.
 Elektrolit: Mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi
ginjal, terapi diuretic.
 Oksimetri nadi: Saturasi oksigen mungkin rendah, terutama jika GJK akut
memperburuk PPOM atau GJK kronis.
 AGD: Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan
(dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
 BUN, kreatinin: Peningkatan BUN menandakan penurunan perfusi ginjal,
kenaikan baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.
 Albumin/transferin serum: Mungkin menurun sebagai akibat penurunan
masukan protein atau penurunan sistesis protein dalam hepar yang
mengalami kongesti.
 HSD: Mungkin menunjukkan anemia, polisitemia atau perubahan kepekatan
menandakan retensi air. SDP mungkin meningkat. Mencerminkan MI
baru/akut, perikarditis, atau status inflamasi atau infeksius lain.
 Kecepatan sedimentasi (ESR): Mungkin meningkat, menandakan reaksi
inflamasi akut.
 Pemeriksaan tiroid: Peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas
tiroid sebagai pre-penoetus GJK.

9. Diagnosis/ Kriteria Diagnosis


Diagnosis GJA ditegakkan berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung
oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarkers dan
ekokardiografi dopler (gambar 2). Pasien segera diklasifikasikan apakah
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik (gambar 3) dan karakteristik forward
atau backward, left or right heart failure

10. Komplikasi
Jika tidak ditangani dapat menyebabkan syok kardiogenik, serta berdampak pada
fungsi organ yang lain dan menimbulkan kematian.

11. Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaaan pasien dengan gagal jantung adalah sebagai
berikut:
1. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
2. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-bahan
farmakologis.
3. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebigan dengan terapi diuretik,
diet, dan istirahat.
a. Therapy Farmakologis
 Diuretik: Untuk mengurangi penimbunan cairan dan pembengkakan
dengan memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Diuretic
memiliki efek antihipertensi dengan meningkatkan pelepasan air dan
garam natrium.
Intervensi keperawatan yang dilakukan:
- Pantau tanda-tanda vital, terutama tekanan darah
dan denyut jantung. Diuretic dapat menyebabkan penurunan
tekanan darah, jika volume cairan banyak berkurang, denyut
jantung akan meningkat untuk mengkompensasi kehilangan
cairan.
- Laporkan adanya peningkatan denyut jantung dan
periksa adanya tanda-tanda dan gejala terjadinya renjatan.
- Pantau berat klien. Dengan pengeluaran cairan dan
pengurangan edema perifer karena dieresis, diharapkan terjadi
penurunan berat badan.
- Pantau pengeluaran urine. Diuretic meningkatkan
pengeluaran urine.
 Penghambat ACE (ACE inhibitors): untuk menurunkan tekanan
darah dan mengurangi beban kerja jantung
 Penyekat beta (beta blockers): Untuk mengurangi denyut jantung
dan menurunkan tekanan darah agar beban jantung berkurang

 Digoksin: Memperkuat denyut dan daya pompa jantung

 Digitalis: meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan


memperlambat frekuensi jantung.
Intervensi keperawatan yang dilakukan:
- Periksa tanda vital dasar untuk menemukan hasil
abnormal dan bandingkan hasil pemeriksaan sebelumnya.
- Periksa elektrolit serum. Laporkan penurunan
kalium.
- Periksa anggota gerak untuk menemukan pitting
edema.
- Periksa bunyi pernafasan untuk menemukan
kelainan (suara yang disebabkan oleh pengumpulan cairan di
paru-paru). Bila positif bias menunjukkan adanya gagal jantung
kongestif.
 Terapi vasodilator untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap
penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki
pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena, sehingga
tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan dan dapat dicapai
penurunan dramatis kongesti paru dengan cepat. Vasodilator yang
sering digunakan adalah natriun nitroprosida dan nitrogliserin.
 Pemberian oksigen: pemberian oksigen terutama pada klien gagal
jantung disertai dengan edema paru. Pemenuhan akan mengurangi
kebutuhan miokardium dan membantu memenuhi kebutuhan oksigen
tubuh.

 Sedatif  mengurangi kegelisahan

b. Non farmakologis
 Tirah baring
 Diet dan aktivitas, pasien sebaiknya membatasi garam (2 gr natrium
atau 5 gr garam). Pada gagal jantung berat dengan pembatasan
aktivitas, tetapi bila pasien stabil dianjurkan peningkatan aktifitas
secara teratur
Bila diet sangat dibatasi terhadap lemak dan natrium. Klien pasti
merasa makanan menjadi tidak enak dan menolak makanan.
Berbagai penyedap makanan seperti jus melon dan rempah yang
digunakan untuk menambah selera makan.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
✓ B1 (Breathing) :
Pengkajian yang didapat adanya tanda kongesti vascular pulmonal adalah
dispnea, ortopnea, dispnea nocturnal paroksimal, batuk, dan edema pulmonal
akut. Hal ini karena kegagalan ventrikel kiri.
✓ B2 (Bleeding) :
Pemeriksaan yang dilakukan pada pemeriksaan jantung dan pembuluh darah
Inspeksi: kegagalan ventrikel kiri dihubungkan dengan gejala tidak spesifik
yang berhubungan dengan penurunan curah jantung. Klien dapat mengeluh
lemah, mudah lelah, apatis, letargi, kesulitan berkonsentrasi, deficit memori, dan
penurunan toleransi latihan. Distensi vena jugularis terjadi bila ventrikel kanan
tidak mampu berkompensasi, maka akan terjadi dilatasi ruang, peningkatan
volume, dan tekanan pada diastolic akhir ventrikel kanan., tahanan untuk
mengisi ventrikel dan peningkatan lanjut untuk tekanan atrium kanan. Edema
yang berhubungan dengan kegagalan ventrikel kanan, bergantung pada
lokasinya. Bila klien berdiri atau bangun, perhatikan pergelangan kakinya dan
tinggikan kaki bila kegagalan makin buruk. Bila klien berbaring ditempat tidur
bagian yang bergesekan dengan tempat tidur menjadi daerah sacrum.
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema
dependen), yang biasanya pitting edema (edema yang akan tetap cekung bahkan
setelah penekanan ringan), pertambahan berat badan, hepatomegali, anoreksia,
mual, nokturia dan kelemahan.
Palpasi: Perubahan nadi  pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung
merupakan denyut yang cepat dan lemah. Denyut jantung yang cepat
(takikardia) mencerminkan respon terhadap perangsangan saraf simpatis.
Penurunan yang bermakna dari curah sekuncup dan adanya vasokontriksi perifer
mengurangi tekanan nadi (perbedaan tekanan sistolik dan diastolik). Sehingga
menghasilkan denyut yang lemah.
Auskultasi: tekanan darah biasanya menurun karena penurunan isi sekuncup,
tanda fisik yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri dapat dikenali dengan
mudah dibagian yang meliputi: bunyi jantung ketiga dan keeempat (S3, S4) serta
crackles pada paru-paru.
Perkusi: batas jantung ada pergeseran yang menandakan adanya hipertrofi
jantung (kardiomegali).
✓ B3 (Brain) :

Kesadaran composmentis, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi


jaringan berat. Pengkajian obyektif klien: wajah meringis, merintih, meregang,
dan menggeliat

✓ B4 (Bladder)

Pengukuran volume keluaran urine berhubungan dengan asupan cairan, perlu


pemantauan adanya oliguri karena merupakan tanda awal dari syok kardiogenik.
Adanya edema ekstremitas menandakan adanya retensi cairan yang parah.

✓ B5 (Bowel)

Biasanya didapatkan mula dan muntah, penurunan nafsu makan akibat


pembesaran vena dan stasis vena di dalam rongga abdomen serta penurunan
berat badan, ascites yang menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress
pernafasan.

✓ B6 (Bone)

Berkurangnya perfusi organ –organ seperti kulit, dan otot-otot rangka, kulit
pucat dan dingin diakibatkan vasokontriksi perifer, penurunan lebih lanjut dari
curah jantung, dan meningkatnya kadar hemoglobin terendah mengakibatkan
sianosis. Vasokontriksi kulit menghambat kemampuan tubuh untuk melepaskan
panas. Oleh krena itu demam ringan dan berkeringat sering ditemukan. Mudah
lelah sering terjadi akibat curah jantung menurun sehingga menghambat jaringan
dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme. Juga terjadi akibat peningkatan energy yang digunakan untuk
bernafas yang terjadi akibat distress pernafasan dan batuk. Perfusi kurang pada
otot rangka menyebabkan kelemahan. (Arif, M, 2009)

Pengkajian lengkap di lampirkan di pengkajian Keperawatan intensif dibawah


ini
2. Diagnosa Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
1 Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel
kiri, perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikal ditandai dengan
peningkatan frekuensi jantung (takikardia), disritmia (perubahan pola EKG),
perubahan tekanan darah (hipotensi/takikardia), fungsi jantung ekstra (S3, S4),
penurunan pengeluaran urine, nadi perifer tidak teraba, kulit dingin, (kusam,
diaphoresis, ortopnea, krakels, distensi vena jugularis, pembesaran hepar, edema
ekstremitas, nyeri dada.
2 Nyeri dada berhubungan dengan kurangnya suplai darah ke miokardium,
perubahan metabolism, dan peningkatan produksi asam laktat ditandai dengan
secara subyektif menyatakan nyeri dada, skala 0-10, tampak meringis, gelisah,
peningkatan perfusi perifer.
3 Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perembesan cairan, kongesti paru
sekunder, perubahan membrane kapiler alveoli, dan retensi cairan intersetitil
ditandai dengan mengeluh sesak, edema paru, AGD abnormal
4 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal,
kelebihan cairan di paru ditandai dengan mengeluh sesak, tampak menggunakan
otot bantu pernafasan, dispnea, peningkatan frekuensi nafas, pernafasan cuping
hidung, tampak gelisah.
5 Gangguan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan menurunnya curah
jantung ditandai dengan mengeluh pusing, sianosis, CRT > 3 detik, oliguri.
6 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan perfusi organ ditandai
dengan Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria, edema, Peningkatan berat badan,
hipertensi, Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal
7 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan intake, mual, dan anoreksia ditandai dengan penurunan nafsu makan,
anoreksia, mual, mengatakan rasa penuh diperut
8 Ansietas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian, penurunan status
kesehatan, situasi krisis, ancaman, dan perubahan kesehatan.
9 Sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan ketidak mampuan klien
melakukan ADL.

3. Perencanaan
1) Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikal
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan curah
jantung efektif, dengan kriteria hasil:
Status kardiopulmonal
- Tekanan darah sistolik dalam batas normal (120 mmHg) (skala 5 = no
deviation from normal range)
- Tekanan darah diastolik dalam batas normal (80 mmHg) (skala 5 = no
deviation from normal range)
- Denyut nadi perifer teraba normal (skala 5 = no deviation from normal
range)
- Denyut nadi apikal teraba normal (skala 5 = no deviation from normal
range)
- Irama jantung normal (skala 5 = no deviation from normal range)
- Frekuensi pernapasan dalam batar normal (12-20 x/mnt) (skala 5 = no
deviation from normal range)
- Irama pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range)
- Output urine normal 0,5-1 cc/kgBB/jam (skala 5 = no deviation from normal
range)
- Index jantung normal (skala 5 = no deviation from normal range)
- Saturasi oksigen dalam batas normal (90-100%) (skala 5 = no deviation from
normal range)
- Tidak ada sianosis (skala 5 = none)
- Tidak ada distensi vena jugularis (skala 5 = none)
- Tidak ada edema (skala 5 = none)
- Tidak ada dispnea (skala 5 = none)

Intervensi
Cardiac care
1) Catat adanya disritmia jantung
Rasional: menunjukkan penurunan kondisi jantung.
2) Monitor tanda-tanda vital secara berkala
Rasional: menunjukkan keadaan umum pasien
3) Monitor status kardiovaskular
Rasional: mengetahui kondisi tingkat keparahan kondisi jantung
4) Monitor disritmia jantung, termasuk gangguan dari irama dan konduksi
jantung.
Rasional: disritmia dan irama jantung menggambarkan kondisi jantung
5) Monitor status pernapasan.
Rasional: gangguan pada pernafasan menunjukkan adanya gannguan pada
hemodinamika
6) Monitor balance cairan.
Rasional: masalah pada keseimbangan cairan mempengaruhi kondisi
kardiovaskuler
7) Monitor hasil laboratorium, seperti: enzim jantung, level elektrolit.
Rasional:keadaan yang tidak normal pada hasil laboratorium yang berkaitan
dengan kerja jantung menunjukkan adanya keabnormalan pada jantung
8) Monitor adanya dispnea, fatig, takipnea, dan ortopnea.
Rasional: keadaan abnormalitas pada pernafasan dapat menunjukkan
kelainan pada hemodinamika

Regulasi hemodinamik
1) Kenali adanya perubahan tekanan darah.
Rasional: perubahan tekanan darah dapat mempengaruhi keadaan
hemodinamika pasien
2) Auskultasi suara paru terhadap krekels dan bunyi lain.
Rasional: untuk mengetahui penyebab kelainan kemodinamika pada pasien.
3) Auskultasi bunyi jantung.
Rasional: untuk mengetahui penyebab kelainan kemodinamika pada pasien.
4) Monitor level elektrolit.
Rasional: level elektrolot mempengaruhi kondisi balance cairan pada tubuh
pasien
5) Kolaborasi dalam pemberian medikasi positive inotropic/contractility, serta
medikasi anti aritmia.
Rasional: untuk mengurangi gejala disritmia yang dialami pasien
6) Pantau efek samping dari pemberian medikasi positive
inotropic/contractility, serta medikasi anti aritmia.
Rasional: mencegah adanya anfilaktif syok
7) Monitor nadi perifer, CRT, serta warna dan suhu ekstremitas.
Rasional: hal-hal tersebut berkaitan dengan kondisi sistem kardiovaskular
pasien.
8) Monitor edema perifer, distensi vena jugularis, dan suara jantung S1, S2.
Rasional: hal-hal tersebut berkaitan dengan kondisi sistem kardiovaskular
pasien.
9) Berikan posisi semi-fowler.
Rasional : Menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah jantung.

2) Nyeri akut berhubungan dengan kurangnya suplai darah ke miokardium,


perubahan metabolisme, dan peningkatan produksi asam laktat.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama…..x 24 jam diharapkan klien
dapat mengontrol nyeri, dengan kriteria hasil:
Pain level (level nyeri):
- Klien tidak melaporkan adanya nyeri (skala 5 = none)
- Klien tidak merintih ataupun menangis (skala 5 = none)
- Klien tidak menunjukkan ekspresi wajah terhadap nyeri (skala 5 = none)
- Klien tidak tampak berkeringat dingin (skala 5 = none)
- RR dalam batas normal (16-20 x/mnt) (skala 5 = normal)
- Nadi dalam batas normal (60-100x/mnt) (skala 5 = normal)
- Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg) (skala 5 = normal)
Pain control (kontrol nyeri):
- Klien dapat mengontrol nyerinya dengan menggunakan teknik manajemen
nyeri non farmakologis (skala 5 = consistently demonstrated)
- Klien dapat menggunakan analgesik sesuai indikasi. (skala 5 = consistently
demonstrated)
- Klien melaporkan nyeri terkontrol (skala 5 = consistently demonstrated)

Intervensi:
Kontrol nyeri:
1) Kaji faktor pencetus nyeri
Rasional: mengetahui hal-hal nonfisik yang mungkin mencetuskan nyeri
klien
2) Ajarkan klien teknik manajemen nyeri
Rasional: meningkatkan relaksasi, memberikan rasa kontrol dan
meningkatkan kemampuan koping
3) Kolaborasi penggunaan analgetik
Rasional: membantu mengurangi nyeri

Level nyeri:
1) Kaji ketidaknyaman klien (ekspresi wajah)
Rasional: mengetahui tingkat ketidaknyamanan klien secara nonverbal
2) Lakukan pengkajian nyeri secara menyeluruh (lokasi, pencetus durasi,
kualitas, frekuensi,dll)
Rasional: mendapatkan data akurat tentang nyeri klien untuk menentukan
intervensi
3) Anjurkan klien menggunakan obat antinyeri secara adekuat sesuai terapi
yang dijalani klien
Rasional: penggunaan obat sesuai dengan dosis dan waktu pakai dapat
meningkatkan efektifitas penggunaan analgetik

Vital sign:
1) Pantau perubahan tanda-tanda vital dan respirasi klien saat nyeri berlangsung
Rasional: nyeri dapat menstimulli perubahan tanda –tanda vital, seperti
peningkatan nadi, peningkatan TD, serta peningkatan frekuensi pernafasan.

Manajemen lingkungan: kenyamanan


1) Batasi kunjungan orang yang menjenguk jika diperlukan
Rasional: membatasi pengunjung dapat memberikan ketenangan dan
membantu mengurangi stimulus nyeri
2) Berikan lingkungan yang nyaman dan bersih
Rasional: lingkungan yang nyaman dan bersih dapat memberikan
ketenangan dan membantu mengurangi stimulus nyeri
3) Berikan posisi yang nyaman untuk memfasilitasi klien seperti imobilisasi
bagian yang nyeri
Rasional: imobilisasi bagian yang nyeri dapat membantu mengurangi
stimulus nyeri.

3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perembesan cairan,


kongesti paru skunder, perubahan membrane kapiler alveoli, dan retensi
cairan interstisal.
Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x 3 menit diharapkan
pertukaran gas klien adekuat dengan kriteria hasil:
Respiratory status: Gas Exchange
- RR 16-20 x/menit (skala 5 = no deviation from normal range)
- Tidak terjadi sianosis (skala 5 = none)
- PaO2 normal 80-100 mmHg (skala 5 = no deviation from normal range)
- PaCO2 normal 35-45 mmHg (skala 5 = no deviation from normal range)
- Ph 7,35-7,45 (skala 5 = no deviation from normal range)
- SatO2 95-100% (skala 5 = no deviation from normal range)
Tanda-tanda vital
- Frekuensi pernapasan klien dalam batas normal (16-20x/mnt)

Intervensi
Manajemen asam basa
1) Lakukan pemeriksaan AGD
Rasional: pemeriksaan AGD diperlukan untuk memantau adanya kelainan
pH yaitu kondisi asidosis dan alkalosis.
2) Lakukan pemeriksaan pulse oksimetri
Rasional: mengetahui saturasi oksigen klien
3) Pantau nilai Ph, PaO2, dan PCO2 melalui hasil laboratorium
Rasional: mengetahui adanya kelainan pada hasil analisa gas darah
4) Pantau adanya gejala gagal nafas
Rasional: Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida
(PaCO2) dan pH yang adekuat.
5) Kaji frekuensi dan kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori,
napas bibir, ketidak mampuan berbicara / berbincang
Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan
6) Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, serta mencatat adanya
sianosis perifer (kuku) atau sianosis pusat (circumoral)
Rasional : Sianosis kuku menggambarkan vasokontriksi/respon tubuh
terhadap demam. Sianosis cuping hidung, membran mukosa, dan kulit
sekitar mulut dapat mengindikasikan adanya hipoksemia sistemik
7) Observasi kondisi yang memburuk dan catat adanya hipotensi, pucat,
sianosis, perubahan dalam tingkat kesadaran, serta dispnea berat dan
kelemahan.
Rasional : Mencegah kelelahan dan mengurangi komsumsi oksigen untuk
memfasilitasi resolusi infeksi.
8) Siapkan untuk dilakukan tindakan keperawatan kritis jika diindikasikan
Rasional : Shock dan oedema paru-paru merupakan penyebab yang sering
menyebabkan kematian memerlukan intervensi medis secepatnya. Intubasi
dan ventilasi mekanis dilakukan pada kondisi insufisiensi respirasi berat.
9) Kolaborasi pemberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan, misalnya: nasal
kanul dan masker
Rasional : Pemberian terapi oksigen untuk menjaga PaO2 diatas 60 mmHg,
oksigen yang diberikan sesuai dengan toleransi dengan pasien.

Memfasilitasi ventilasi
1) Memberikan posisi semifowler atau menyarankan duduk pada klien saat
mengalami sesak napas.
Rasional : Posisi semifowler dan posisi duduk dapat membantu
meningkatkan toleransi tubuh untuk inspirasi dan ekspirasi.
2) Memberikan dan pertahankan masukan oksigen pada klien sesuai indikasi
Rasional : Pemberian oksigen sesuai indikasi diperlukan untuk
mempertahankan masukan O2 saat klien mengalami perubahan status
respirasi.
3) Kolaborasi pemasangan alat bantú pernafasan O2 sungkup 6 – 8 liter.
Rasional : untuk membantu klien dalam mempertahankan masukan oksigen
saat terjadi pernapasan yang tidak spontan.

4) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru tidak


optimal, kelebihan cairan di paru sekunder pada edema paru akut.
Tujuan
Setelah diberikan askep selama 3 x 24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali
efektif dengan kriteria hasil:
Respiratory Status
- RR dalam batas normal sesuai usia (16-20x/mnt) (skala 5 = no deviation from
normal range)
- Kedalaman pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range)
- Tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan (skala 5 = no deviation from
normal range)
- Tidak tampak retraksi dinding dada (skala 5 = no deviation from normal
range)
Vital Sign
- TD : 110-130/80-90 mmHg (skala 5 = no deviation from normal range)
- Nadi : 60-100 x/menit (skala 5 = no deviation from normal range)
- RR 16-20 x/menit (skala 5 = no deviation from normal range)

Intervensi
Respiratory Status: Ventilation
1) Kaji frekuensi, kedalaman
pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan, termasuk penggunaan
otot bantu/pelebaran nasal
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat. Dispnea dan terjadi penigkatan
kerja nafas (pada awal atau hanya tanda Efusi Pleura subakut). Kedalaman
pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Ekspansi dada terbatas
yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada pleuritik
2) Auskultasi bunyi napas dan
catat adanya napas ronchi
Rasional : Suara napas bronkial normal diatas bronkus dapat juga, ronkhi,
terdengar sebagai respon dari akumulasi cairan, sekresi kental, dan
spasme/obstruksi saluran napas.
3) Pantau tanda vital
Rasional : Takikardia, takipnea dan perubahan pada tekanan darah terjadi
dengan beratnya hipoksemia dan asidosis
4) Berikan posisi semifowler
pada klien
Rasional : Posisi semifowler dapat membantu meningkatkan toleransi tubuh
dan mempermudah pasien mengambi O2
5) Berikan oksigen sesuai
indikasi yang tepat
Rasional : Memaksimalkan sedíaan oksigen untuk klien.

Monitoring respirasi
1. Memantau status pernapasan, RR, irama dan kedalaman pernapasan klien
Rasional: Ketidakefektifan pola napas dapat dilihat dari peningkatan atau
penurunan RR, serta perubahan dalam irama dan kedalaman pernapasan
2. Memantau adanya penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi dinding
dada pada klien.
Rasional : Penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi dinding dada
menunjukkan terjadi gangguan ekspansi paru.

5) Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke jaringan
ditandai dengan akral dingin, CRT > 2 detik.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan perfusi
jaringan perifer klien adekuat dengan kriteria hasil :
a. Circulation Status :
- Frekuensi Nadi 120-160x/menit (dalam batas normal) (skala 5 = no
deviation from normal range)
- CRT <2 detik (skala 5 = no deviation from normal range)
b. Tissue Perfusion : Peripheral
- Ekstremitas teraba hangat. (skala 5 = no deviation from normal range)
- Nadi teraba kuat pada ekstremitas. (skala 5 = no deviation from normal
range)

Intervensi :
Cicurlation Precaution
1. Melakukan pemeriksaan sirkulasi periferal secara komprehensif, seperti:
mengecek nadi perifer, edema, CRT, warna, dan temperatur pada ekstremitas
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan status pefusi di jaringan perifer
2. Pertahankan hidrasi yang adekuat.
Rasional: untuk mencegah peningkatan viskositas darah
3. Elevasi anggota badan 20 derajat atau lebih tinggi dari jantung
Rasional : Untuk meningkatkan venous return
4. Pantau data laboratorium, contoh: GDA, BUN, creatinin, dan elektrolit.
Rasional : Indikator perfusi atau fungsi organ

Shock Management
1. Monitor tanda-tanda vital, tekanan darah ortostatik, status mental, haluaran
urin
Rasional: untuk mengetahui secara dini tanda-tanda terjadinya shock
2. Monitor hasil-hasil lab yang menunjukkan ketidakadekuatan perfusi jaringan
Rasional: untuk menentukan intervensi lanjutan yang akan diberikan kepada
klien.
3. Kolaborasi pemberian cairan kristaloid intravena sesuai kebutuhan
Rasional: mempertahankan status cairan dalam jaringan tetap adekuat.
6) Kelebihan volume cairan
berhubungan dengan melemahnya mekanisme pengaturan ginjal, ditandai
dengan klien mengalami edema, terjadi peningkatan berat badan dengan
cepat, distensi vena jugularis, oliguria.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x … jam diharapkan tercapai
keseimbangan antara asupan dan haluaran cairan, dengan kriteria hasil:
a. Fluid balance
- Tekanan darah normal (120/80 mmHg) (skala 5=not compromised)
- Denyut nadi normal (60-100x/menit) (skala 5= not compromised)
- Tercapai keseimbangan intake dan output cairan (skala 5= not
compromised)
- Turgor kulit elastis (skala 5= not compromised)
- Membran mukosa lembab (skala 5= not compromised)
- Hematokrit normal (skala 5= not compromised)
- Tidak ada asites (skala 5= none)
- Tidak ada hipotensi orthostatik (skala 5= none)
- Tidak ada distensi vena jugularis (skala 5= none)
- Tidak ada edema perifer (skala 5= none)

b. Cardiopulmonary status
- Tekanan darah sistolik normal (120 mmHg) (skala 5= no deviation from
normal range)
- Tekanan darah diastolik normal (80 mmHg) (skala 5= no deviation from
normal range)
- Respiratory rate normal (16-20x/mnt) (skala 5= no deviation from
normal range)
- Kedalaman dari inspirasi normal (skala 5= no deviation from normal
range)
- Haluaran urine seimbang dengan input (skala 5= no deviation from
normal range)
- Tidak terjadi intoleransi aktivitas (skala 5= none)
- Tidak ada sianosis (skala 5= none)
- Tidak ada edema perifer (skala 5= none)
Intervensi:
1) Fluid management
a. Pertahankan keakuratan intake dan output.
Rasional : untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh.
b. Monitor hasil lab yang berhubungan dengan retensi cairan
(peningkatan BUN, peningkatan hematokrit, peningkatan osmolaritas
urine)
Rasional : menunjukkan adanya retensi cairan dan dapat
menunjukkan derajat edema sehingga dapat menentukan intervensi
selanjutnya.
c. Monitor tanda-tanda vital
Rasional : kelebihan volume cairan dapat menyebabkan perubahan
tanda-tanda vital seperti peningkatan TD, nadi, dan respirasi rate.
d. Monitor indikasi dari kelebihan volume cairan/retensi seperti
peningkatan CVP, edema, distensi vena jugularis.
Rasional : tanda-tanda seperti peningkatan CVP, edema, distensi
vena jugularis dapat mengindikasikan terjadinya kelebihan volume
cairan.
e. Kaji lokasi dan faktor pemicu edema.
Rasional: untuk mengetahui kondisi edema dan factor pemicunya
sehingga dapat memberikan intervensi selanjutnya.
2) Fluid monitoring
a. Monitor intake dan output tiap hari.
Rasional : untuk memantau cairan masuk dan keluar klien agar
seimbang.
b. Monitor serum albumin dan total protein level.
Rasional : penurunan serum albumin dan level protein dapat
menyebabkan retensi cairan sehingga menimbulkan edema.
c. Monitor serum dan osmolalitas urine.
Rasional : retensi cairan dapat menyebabkan peningkatan osmolalitas
serum dan osmolaritas urine.
3) Hypervolemia management
a. Monitor perubahan pada edema perifer
Rasional : untuk mengetahui status edema sehingga dapat
menentukan intervensi selanjutnya.
b. Elevasi tungkai yang mengalami edema
Rasional : untuk melancarkan aliran darah balik dari tungkai
sehingga mengurangi edema.
c. Kolaborasi pemberian diet rendah garam.
Rasional: diet rendah garam untuk mengurangi retensi cairan
sehingga mengurangi edema.
d. Anjurkan klien untuk meningkatkan istirahat.
Rasional : untuk mengurangi penekanan pada tungkai.
e. Lakukan kompresi pada bagian tubuh yang edema.
Rasional : untuk mengurangi risiko peningkatan volume edema.
f. Kolaborasi pemberian diuretic
Rasional : untuk membantu mengeluarkan cairan berlebih dalam
tubuh

7) Nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak mampuan dalam
memasukkan dan mencerna makanan karena factor biologi ditandai
dengan pasien tidak dapat menyusu, minum atau makan, dan
memuntahkan setiap intake yang masuk.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan kebutuhan
nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria hasil :
a. Status nutrisi:
- Masukan nutrisi adekuat (skala 5 = no deviation from normal range)
- Masukan makanan dalam batas normal (skala 5 = no deviation from
normal range)
b. Status nutrisi : masukan nutrisi:
- Masukan kalori dalam batas normal (skala 5 = totally adekuat)
- Nutrisi dalam makanan cukup mengandung protein, lemak,
karbohidrat, serat, vitamin, mineral, ion, kalsium, sodium (skala 5 =
totally adekuat)
c. Status nutrisi : hitung biokimia
- Serum albumin dalam batas normal (3,4-4,8 gr/dl) (skala 5 = no
deviation from normal range)

Intervensi :
1) Terapi nutrisi:
a. Kaji status nutrisi klien
Rasional: pengkajian penting untuk mengetahui status nutrisi klien dapat
menentukan intervensi yang tepat.
b. Monitor masukan makanan atau cairan dan hitung kebutuhan kalori
harian.
Rasional: dengan mengetahui masukan makanan atau cairan dapat
mengetahui apakah kebutuhan kalori harian sudah terpenuhi atau belum.
c. Tentukan jenis makanan yang cocok dengan tetap mempertimbangkan
aspek agama dan budaya klien.
Rasional: memenuhi kebutuhan nutrisi klien dengan tetap
memperhatikan aspek agama dan budaya klien sehingga klien bersedia
mengikuti diet yang ditentukan.
d. Anjurkan untuk menggunakan suplemen nutrisi sesuai indikasi.
Rasional: dapat membantu meningkatkan status nutrisi selain dari diet
yang ditentukan..
e. Jaga kebersihan mulut, ajarkan oral higiene pada klien/keluarga.
Rasional: menjaga kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu makan.
f. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Rasional: untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang sesuai
dengan kebutuhan klien.
2) Penanganan berat badan:
1. Pantau konsumsi kalori harian.
Rasional: membantu mengetahui masukan kalori harian klien
disesuaikan dengan kebutuhan kalori sesuai usia.
2. Pantau hasil laboratorium, seperti kadar serum albumin, dan elektrolit.
Rasional: kadar albumin dan elektrolit yang normal menunjukkan status
nutrisi baik. Sajikan makanan dengan menarik.

8) Ansietas yang
berhubungan dengan perubahan status kesehatan karena pengeluaran
urine yang abnormal yang ditandai dengan urin yang bercampur darah
dan saat miksi urine keluar bersama dengan batu kristal.
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ..x.. jam, diharapkan kecemasan
klien terhadap penyakit klien dapat berkurang dengan kriteria hasil :
Anxiety Level
✓ Mengatakan secara verbal tentang kecemasan, skala 5 (none)
✓ Mengatakan secara verbal tentang ketakutan, skala 5 (none)
✓ Kepanikan, skala 5 (none)
Anxiety Self –Control
✓ Mampu mengurangi penyebab cemas skala 5 (Consistently demonstrated)
✓ Mengontrol respon cemas skala 5 ( Consistently demonstrated )

Intervensi :
Anxiety Reduction
1. Observasi adanya tanda – tanda cemas/ansietas baik secara verbal maupun
nonverbal.
Rasional : pengungkapan kecemasan secara langsung tentang kecemasan
dari klien, dapat menandakan level cemas klien.
2. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang dapat menstimulus
kecemasan.
Rasional : agar pasien dapat mengatasi dan menanggulangi kecemasan
pasien.
3. Jelaskan segala sesuatu mengenai penyakit yang klien derita.
Rasional : menambah wawasan klien tentang penyakit klien dapat
meningkatkan pengertian klien tentang penyakitnya, sehingga dapat
mengurangi kecemasan klien.
4. Ajarkan klien teknik relaxasi, seperti menarik nafas dalam.
Rasional : dapat memberi efek ketenangan pada klien.
5. Kolaborasi pemberian medikasi berupa obat penenang.
Rasional : untuk menurunkan ansietas klien yang terjadi secara berlebihan.

9) Defisit perawatan diri:


berhubungan dengan intoleransi aktifitas
Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan
perawatan diri klien terpenuhi, dengan kriteria hasil:
Perawatan diri (ADL) :
- Kebutuhan makan klien tidak mengalami gangguan
- Kebutuhan berpakaian klien tidak mengalami gangguan
- Kebutuhan toileting klien tidak mengalami gangguan
- Kebersihan klien tidak mengalami gangguan
- Tidak ada dekubitus

Intervensi:
Bantuan perawatan diri: hygiene.
1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan perawatan kebersihan.
Rasional: pengkajian penting dilakukan untuk mengetahui tingkat
kemampuan klien dalam melakukan aktivitas kebersihan diri serta untuk
melakukan intervensi yang tepat.
2) Bantu klien dalam melakukan aktivitas perawatan kebersihan diri.
Rasional: membantu klien dalam melakukan perawatan diri bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan perawatan diri klien.
3) Ajarkan klien dan keluarga mengenai pentingnya melakukan perawatan
kebersihan diri dengan benar pada kondisi klien, seperti mandi,
membersihkan mulut dan gigi, membersihkan kuku kaki.
Rasional: menghindari klien dari factor infeksi yang terjadi bila klien tidak
menjaga kebersihan dirinya.

Bantuan perawatan diri: toileting


1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan toileting.
Rasional: pengkajian penting dilakukan untuk mengetahui tingkat
kemampuan klien dalam melakukan aktivitas kebersihan diri serta untuk
melakukan intervensi yang tepat
2) Bantu klien melepaskan pakaian bawahnya sebelum melakukan toileting.
Rasional: klien tidak mampu melepas pakaian bawah secara mandiri
sehingga perlu dibantu untuk memudahkan saat toileting.
3) Bantu klien dalam melakukan toileting
Rasional: klien yang mengalami paralisis pada ektremitas tidak dapat
melakukan toileting secara mandiri sehingga perlu dibantu untuk
memudahkan klien.
4) Fasilitasi kebersihan klien dalam toileting setelah proses berkemih selesai.
Rasional: mengurangi risiko terjadi infeksi dan mempertahakan kebersihan
alat kelamin klien.
5) Bantu klien menggunakan pakaian bawah setelah melakukan toileting.
Rasional: klien tidak mampu memakai pakaian secara mandiri sehingga
perlu dibantu.
6) Bersihkan peralatan toileting klien.
Rasional: peralatan toileting yang bersih dapat mengurangi risiko
penyebaran infeksi dan hal ini penting dalam mempertahankan toilet dalam
keadaan bersih dan siap digunakan kembali.
7) Sediakan peralatan yang memudahkan klien melakukan toileting seperti
pispot atau kateter.
Rasional: memudahkan klien saat toileting.
PATHWAY
Ketidakseimbangan suplai
dan kebutuhan

Infark Miokard

Hipertensi Fungsi Ventrikel kiri &


Waktu pengisian Malfungsi katup,
gangguan kontraktilitas:
diastolik defek septum (Daya kontraksi, perubahan
ventrikel, perikarditis daya kembang dan gerakan
Nekrosis sel otot dinding ventrikel, curah
jantung sekuncup)
Penurunan isi
sekuncup
Meningkatnya tekanan
Peningkatan beban
Hipertrofi ventrikel ventrikel kiri
awal
Meningkatkan
beban ventrikel
Disfungsi diastolic,
dan sistolik, iskemia
miokard, dan aritmia

Gagal Jantung Akut

Aritmia ventrikular Kongesti pulmonal


Kematian mendadak 1
2

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gagal Jantung Akut
1
2

Curah Jantung menurun Tekanan hidrostatik


meningkat dari tekanan
osmotik
Aktivasi system Renin Hipertrofi ventrikel Perembesan cairan ke alveoli
Peningkatan aktivitas
Andrenergik simpatik Angiotensin - Aldosteron
Pemendekan miokard
Angiotensin I ACE  II Kerusakan
Vasokontriksi sistemik Pengisian LV menurun Pertukaran
Pengeluaran Aldosteron Gas
Aliran tidak adekuat Edema paru
Penurunan GFR Nefron Vasokontriksi ginjal Meningkat reabsorpsi Na+
ke jantung dan otak
dan H2O oleh tubulus
Pengembangan paru
Menurun ekskresi Resiko Resiko Tinggi penurunan curah jantung tidak optimal
Ketidakse Penurunan aliran darah ke
Na+ dan H2O urine
i gastrointestinal
mbangan
nutrisi; Peristaltik usus Kelemahan fisik
Urine output menurun, kurang menurun, Pola nafas
volume plasma dari anoreksia tidak
meningkat, tekanan
hidrostatik meningkat
Kelebihan
Intoleransi aktivitas volume
Edema sistemik- Risiko cidera
ekstremitas

Kelebihan
volume
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gagal Jantung Akut
Aliran tidak adekuat ke Resiko Tinggi Kelemahan fisik Pengembangan paru
jantung dan otak penurunan curah tidak optimal
jantung

Kondisi dan prognosis


Penurunan aliran darah Perubahan metabolisme Peningkatan hipoksia penyakit
ke kulit miokardium jaringan miokardium Sesak saat istirahat dan
berbagai posisi
Kurang Pengetahuan
Sianosis, kulit dingin Penurunan suplai O2 ke
Nyeri dada miokardium
Kecemasan Gangguan
Gangguan Pemenuhan
iskemia miokardium
Perfusi istirahat dan
perifer

infark miokardium

Kematian

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gagal Jantung Akut
4. Implementasi
Pelaksanaan implementasi disesuaikan dengan perencanaan yang telah
disusun

5. Evaluasi
Merupakan hasil perkembangan dengan berpedoman pada hasil dan tujuan
yang hendak dicapai
Hasil yang diharapkan pada proses keperawatan klien dengan gagal jantung
akut adalah:
b. Bebas dari nyeri
c. Terpenuhi aktivitas
sehari-hari
d. Menunjukkan
peningkatan curah jantung: tanda-tanda vital kembali normal, terhindar
dari risiko penurunan perfusi perifer, tidak terjadi kelebihan volume
cairan, tidak sesak, edema ekstremitas tidak terjadi.
e. Menunjukkan
penurunan kecemasan
f. Memahami penyakit
dan tujuan keperawatannya.
 Mematuhi semua aturan medis
 Mengetahui kapan harus meminta bantuan medis bila nyeri menetap
atau sifatnya berubah
 Memahami cara mencegah komplikasi dan menunjukkan tanda-tanda
bebas dari komplikasi.
 Menjelaskan alasan tindakan pencegahan komplikasi
 Mematuhi program perawatan diri
 Menunjukkan pemahaman mengenai terapi farmakologis
 Kebiasaan sehari-hari mencerninkan penyesuaian gaya hidup

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta :
EGC
Guyton. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Arif. M. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika
NANDA. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Price, Sylvia A, dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume II.
Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, dkk. 2002. Keperawatan Medikal - Bedah Brunner &
Suddarth, Edisi 8, Volume 3. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai