Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

Coronary Heart Disease (CHD) / Penyakit Jantung Koroner (PJK)


PK 2 KMB 1

OLEH :
MARIA REGOLINDA OLO
P07220218012

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN


KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN 2020
A. Pengertian
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau dikenal juga sebagai Coronary
Heart Disease (CHD) merupakan penyakit yang disebabkan penyumbatan salah
satu atau beberapa pembuluh darah yang menyuplai aliran darah ke otot jantung.
Pada umumnya manifestasi kerusakan dan dampak akut sekaligus fatal dari PJK
disebabkan gangguan pada fungsi jantung, menurut (WHO, 2012) dalam Kemal
Al fajar (2013).
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung akibat
jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah coroner
(Fandika Nadianto, 2018). Disaat jantung bekerja lebih keras, terjadi
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan oksigen, yang dapat
menyebabkan nyeri dada. Serangan jantung dapat terjadi ketika tersumbatnya
pembuluh darah yang menyebabkan pemasokan darah ke jantung akan terhenti.
Adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dan kebutuhan jantung
memicu timbulnya PJK (Huon, 2002).

B. Etioliogi Penyakit Jantung Koroner


Etiologi penyakit jantung coroner adalah adanya penyempitan,
penyumbatan, atau kelainan pembuluh arteri coroner yang menyebabkan
pengerasan dinding arteri yang diakibatkan oleh adanya atheroma (plak
kekuningan yang mengandung lemak, kolesterol, sel-sel kalsium, dll para arteri
koroner). Hal ini dinamakan aterosklesis. Penyempitan atau penyumbatan
pembuluh darah tersebut dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang
sering ditandai dengan nyeri. Dalam kondisi yang parah, kemampuan jantung
memompa darah dapat hilang. Hal ini dapat merusak sistem pengontrol irama
jantung dan berakhir dengan kematian (Hermawatirisa, 2014).
Penyebab yang lain dapat pula berupa robekan lapisan endotel yang
menyebabkan thrombus coroner yang dapat menghambat aliran darah ke otot-otot
jantung.

Faktor-faktor utama penyebab serangan jantung yaitu perokok berat,


hipertensi dan kolesterol. Factor pendukung lainnya meliputi obesitas, diabetes,
kurang olahraga, genetic, stress, pil kontrasepsi oral dan gout ( Huon, 2002),
dalam Fandika Nadianto, (2018).
Faktor resiko berupa umur, keturunan, jenis kelamin, anatomi pembuluh
coroner, dan factor metabolism adalah factor-faktor alamiah yang sudah tidak
dapat diubah. Factor resiko lainnya dapat berupa gaya hidup sehari-sehari yang
tidak sehat misalnya pola konsumsi lemak yang berlebih, perilaku merokok,
kurang olahraga, atau pengelolaan stress yang buruk (Anies, 2005) dalam Fandika
Nadianto, (2018).
Dari factor resiko tersebut terdapat dua factor yang dikenal dengan factor
risiko mayor dan factor resiko minor. Factor resiko mayor meliputi hipertensi,
hyperlipidemia, merokok, dan obesitas. Sedangkan factor resiko minor meliputi
DM, stress, kurang olahraga, riwayat keluarga, usia, dan jenis kelamin.
Menurut penelitian yang dilakukan Rosjidi dan Isro’is (2014) Perempuan
lebih rentan terserang penyakit kardiovaskuler disbanding laki-laki. Beban factor
resiko penyakit kardiovaskuler perempuan lebih besar dari laki-laki adalah
tingginya LDL, TG, dan kurangnya aktifitas fisik. Tiga factor resiko dominan
penyakit kardiovaskuler pada perempuan adalah umur, hipertensi, dan kolesterol
tinggi.

C. Patofisiologi
Perkembangan PJK dimulai dari penyumbatan pembuluh jantung oleh plak
pada pembuluh darah. Penyumbatan pembuluh pada awalnya disebabkan
peningkatkan kadar kolesterol LDL (low-density lipoprotein) darah berlebihan
dan menumpuk pada dinding arteri sehingga aliran darah terganggu dan juga
dapat merusak pembuluh darah (Al fajar, 2015).
Penyumbatan pada pembuluh darah juga dapat disebabkan oleh
penumpukan lemak sertai klot trombosit yang diakibatkan kerusakan dalam
pembuluh darah. Kerusakan pada awalnya berupa plak fibrosa pembuluh darah,
namun selanjutnya dapat menyebabkan ulserasi dan pendarahan di bagian dalam
pembuluh darah yang menyebabkan klot darah. Pada akhirnya, dampak akut
sekaligus fatal dari PJK berupa serangan jantung (Naga, 2012).
Pada umumnya PJK juga merupakan ketidakseimbangan antara
penyediaan dan kebutuhan oksigen miokardium. Penyediaan oksigen miokardium
bisa menurun atau kebutuhan oksigen miokardium bisa meningkat melebihi batas
cadangan perfusi coroner peningkatan aliran darah. Gangguan suplai darah arteri
coroner dianggap berbahaya bila terjadi penyumbatan sebesar 70% atau lebih
pada pangkal atau cabang utama arteri coroner. Penyempitan <50% kemungkinan
belum menampakkan gangguan yang berarti. Keadaan ini tergantung kepada
beratnya arteriosclerosis dan luasnya gangguan jantung (Saparina, 2010).
Menurut Saparina (2010) gambaran klinik adanya penyakit jantung coroner dapat
berupa :
a. Angina Pectoris : nyeri dada seperti tertekan benda berat atau terasa
atauapundiremas. Rasa nyeri sering menjalar ke lengan kiri atas atau
bawah bagian medial, ke leher, daerah maksila hingga ke dagu atau ke
punggung, tetapi jarang menjalar ke tangan kanan. Angina pectoris terjadi
berulang-ulang. Setiap kali keseimbangan antara ketersediaan oksigen
dengan kebutuhan oksigen terganggu.
b. Infark Miokard Akut : Merupakan PJK yang sudah masuk dalam kondisi
gawat. Pada kasus ini disertai dengan nekrosis miokardium (kematian otot
jantung) akibat gangguan suplai darah yang kurang. Penderita IMA sering
didahului oleh keluhan dada tidak enak (chest disconfort) selain itu
penderita sering mengeluh rasa lemah dan kelelahan
c. Payah Jantung : disebabkan oleh adanya beban volume atau tekanan
darah yang berlebihan atau adanya abnormalitas dari sebagian struktur
jantung. Pada kondisi ini, fungsi ventrikel kiri mundur secara drasrtis
sehingga mengakibatkan gagalnya sistem sirkulasi darah
d. Kematian Mendadak Penderita : terjadi pada 50% PJK yang
sebelumnya tanpa diawali dengan keluhan. Tetapi 20% diantaranya adalah
berdasarkan iskemia miokardium akut yang biasanya didahului dengan
keluhan berapa minggu atau beberapa hari sebelumnya.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah angina pectoris ialah suatu
sindroma klinis dimana didapatkan nyeri dada yang timbul pada waktu melakukan
aktifitas karena adanya iskemik miokard. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi
>70% penyempitan pembuluh darah koronaria. Keadaan ini bisa bertambah
menjadi lebih berat dan menimbulkan sindroma coroner akut (SKA) atau yang
dikenal sebagai serangan jantung mendadak (Anies, 2006).
Sindrom coroner akut ini biasanya berupa nyeri seperti tertekan benda berat, rasa
tercekik, ditinju, ditikam, diremas, atau seperti terbakar pada dada. Umumnya rasa
nyeri dirasakan dibelakang tulang dada (sternum) disebelah kiri yang menyebar ke
seluruh dada. Rasa nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung dan
lengan kiri. Keluhan lain dapat berupa rasa nyeri atau tidak nyaman di ulu hati
yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan. Sebagian kasus disertai mual dan
muntah, disertai sesak nafas, banyak berkeringat, bahkan kesadaran menurun
(Huon, 2005).
Menurut Hermawatirisa (2014) : hal 3, Gejala penyakit jantung coroner
1. Timbulnya rasa nyeri di dada (Angina pectoris)
2. Sesak nafas (Dispnea)
3. Keanehan pada irama denyut jantung
4. Pusing
5. Rasa lelah berkepanjangan
6. Sakit perut, mual dan muntah

E. Pemeriksaan dan Penentuan Diagnosis PJK


Mendiagnosis PJK dapat dilakukan dengan memperhatikan hasil
pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) dan Angiografi untuk mengetahui adanya
penyumbatan pada pembuluh darah coroner (National Heart, Lung and Bood
Institute, 2014). Menurut Rilantoni Lily, 2013 pemeriksaan EKG adalah modalitas
dalam mendiagnosis PJK yang seyogyanya dikuasai oleh para dokter dan tersedia
disemua pelayanan kesehatan primer.
Pada kasus STEMI, gambaran EKG menunjukkan adanya ST Elevasi pada
arteri coroner. Namun pada UAP atau NSTEMI gambaran EKG menunjukkan ada
ST depresi dan adanya T infersion. Untuk membedakan UAP dan NSTEMI dapat
dilakukan pemeriksaan CK-MB. Jika terdapat peningkatan CK-MB, tetapi pada
gambaran EKG tidak menunjukkan ST Elevasi, hal itu dimakan NSTEMI. Pada
kasus UAP tidak terdapat peningkatan CK-MB.

F. Pathway
G. Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan Non-Farmakologis
Penatalaksanaan menurut Hermawatirisa, 2014 : hal 12
a. Hindari makanan kandungan kolesterol yang tinggi
Kolesterol jahat LDL dikenal sebagai penyebab utama terjadinya proses
aterosklerosis, yaitu proses pengerasan dinding pembuluh darah, terutama
di jantung, otak, ginjal, dan mental.
b. Konsumsi makanan yang berserat tinggi
c. Hindari mengonsumsi alcohol
d. Merubah gaya hidup, memberhentikan kebiasaan merokok
e. Berolahraga yang teratur dapat meningakatkan kadar HDL kolesterol dan
memperbaiki kolateral coroner sehingga PJK dapat dikurang
f. Olahraga bermanfaat karena :
 Memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard
 Menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh yang berlebih
 Meningkatkan kesegaran jasmani
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Rekomendasi terapi farmakologis anti-iskemia pada APS
Indikasi Kelas Level
Rekomendasi umum
Terapi medis optimal setidaknya 1 obat untuk pereda I C
angina/iskemia + obat untuk pencegahan
Direkomendasikan untuk mengedukasi pasien mengenai I C
penyakitnya, factor resiko dan strategi
Diindikasikan untuk mengevaluasi respon terapi setelah I C
memberikan terapi (2-4 minggu setelah iisiasi obat)
Rekomendasi Khusus
Direkomendasikan pemberian nitrat kerja cepat I B
Terapi lini pertama diinkasikan dengan pemberian penyekat I A
beta dan atau CCB untuk mengendalikan laju jantung dan
gejala
Jika gejala angina tidak dapat terkontrol dengan penyekat beta IIa C
atau CCB, maka kombinasi penyekat beta dan CCB perlu
dipertimbangkan
Terapi lini pertama dengan menggunakan kombinasi penyekat IIb B
beta dan CCB dapat dipertimbangkan
Nitrat kerja panjang dipertimbangkan sebagai lini kedua jika IIa B
terapi inisial dengan penyekat beta dan/atau CCB non-DHP
dikontraindikasikan, tidak dapat ditoleransi, maupun tidak
adekuat dalam mengendalikan gejala angina
Jika menggunakan nitrat kerja panjang, interval bebas nitrat IIa B
maupun interval nitrat dosis rendah harus dipertimbangkan
untuk mengurangi toleransi
Nicorandil, ranolazine, ivabradine, atau trimetazidine harus IIa B
dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua untuk menurunkan
frekuensi angina dan memperbaiki toleransi latihan, pada
pasien yang tidak dapat menoleransi, memiliki kontra
indikasi, maupun yang gejalanya tidak dapat dikendalikan
secara adekuat dengan menggunakan penyekat beta, CCB,
dan nitrat kerja panjang
Pada pasien dengan laju jantung yang rendah dan tekanan IIb C
darah yang rendah, ranolazine atau trimetazidine dapat
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk
mengurangi frekuensi angina dan meningkatkan toleransi
latihan
Pada pasien tertentu, kombinasi penyekat beta atau CCB IIb B
dengan obat lini kedua (Ranolazine, nicorandil, trimetadizine)
dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pertama
tergantung pada laju jantung, tekanan darah, dan toleransi
pada masing-masing obat tersebut.
Nitrat tidak direkomendasikan pada pasien dengan III B
kardiomiopati hipertrofik obstruktif atau dengan kombinasi
inhibitor fosfodiesterase

Rekomendasi Farmakologi untuk pencegahan kejadian kardiovaskuler


Rekomendasi Kelas Level
Terapi antitrombotik pada pasien dengan APS dan irama sinus
Aspirin 75-100 mg setiap hari direkomendasikan pada pasien I A
yang sebelumnya pernah infark miokardium atau yang telah
menjalani revaskularisasi
Clopidogrel 75 mg setiap hari direkomendasikan sebagai I B
alternative aspirin pada pasien yang intoleransi terhadap
aspirin
Clopidogrel 75 mg setiap hari dapat direkomendasikan IIb B
sebaagai preferensi terhadap aspirin, pada pasien yang
simptomatis maupun asimptomatis, atau dengan PAD
(Peripheral Artery Disease) ataupun dengan riwayat stroke
iskemia atau dengan TIA (Transient Ischemic Attack)
Aspirin 75-100 mg dapat dipertimbangkan pada pasien tanpa IIb C
riwayat infark miokardium atau revaskularisasi, namun dengan
bukti definitive adanya PJK pafa pencitraan
Menambahkan terapi antitrombotik pada aspirin untuk IIa A
pencegahan sekunder dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan resiko kejadian iskemia dan tanpa risiko perdarahan
Penambahan obat antitrombolitik pada aspirin untuk IIb A
pencegahan sekunder jangka panjang dapat dipertimbangkan
pada pasien yang setidaknya memiliki resiko peningkatan yang
sedang terhadap kejadian iskemia dan tanpa resiko pendarahan
Terapi antitrombolitik paska IKP pada pasien dengan APS dan
irama sinus
Aspirin 75-100 mg setiap hari direkomendasikan setelah I A
pemasangan stent
Clopidogrel 75 mg setiap hari setelah loading (misalnya 600 I A
mg atau >5 hari untuk terapi lanjutan) direkomendasikan
sebagai tambahan terhadap aspirin, untuk 6 bulan setelah
pemasangan stent coroner, tidak terkecuali untuk jenis stent,
kecuali jika durasi yang lebih singkat (1-3 bulan) diindikasikan
karena pendarahan yang mengancam nyawa
Clopidogrel 75 mg setiap hari setelah loading yang tepat IIa A
dipertimbangkan pada pasien untuk 3 bulan pada pasien
dengan risiko tinggi perdarahan yang mengancam nyawa.
Clopidogrel 75 mg setiap hari setelah loading harus IIb C
dipertimbangkan selama 3 bulan pada pasien dengan risiko
yang sangat tinggi untuk perdarahan yang mengancam nyawa
Prasugrel atau ticagrelor dapat dipertimbangkan, setidaknya IIb C
sebagai terapi inisial, untuk situasi yang spesifik yang berisiko
tinggi (misalnya stent suboptimal atau prosedur lain yang
menyebabkan risiko trombosis stent tinggi, left main yang
rumit, atau stent untuk multivesel) atau jika obat antiplatelet
ganda tidak dapat digunakan karena intoleransi aspirin
Terapi antitrombotik pada pasien APS dan Fibrilasi atrium
Jika antikoagulan oral diinisiasi pada pasien dengan AF yang I A
diindikasikan untuk mendapatkan NOAC (Novel Oral Anti-
coagulant), maka NOAC lebih dipilih dibandingkan VKA
(Vitamin K antagonist)
Terapi antikoagulan oral (NOAC atau VKA dengan rentang I A
waktu terapi >70%) direkomendasikan pada pasien dengan AF
dan yang skor CHA2DS2-VASc nya ≥2 pada pria dan ≥3 pada
wanita.
Antikoagulan oral jangka panjang dipertimbangkan pada IIa B
pasien AF dan dengan Skor CHA2DS2-VASc 1 pada pria dan
2 pada wanita.
Aspirin 75-100 mg setiap hari (atau clopidogrel 75mg) dapat IIb B
dipertimbangkan sebagai tambahan terapi antikoagulan oral
pada pasien dengan AF, riwayat infark miokardium, dan yang
memiliki risiko rekurensi kejadian iskemik yang tinggi yang
tidak memiliki risiko perdarahan yang tinggi.
Terapi antitrombotik pada pasien paska IKP dengan AF atau
indikasi lain dari obat antikoagulan oral
Direkomendasikan untuk memberikan aspirin dan clopidogrel I C
periprosedural pada pasien yang menjalani implantasi stent
coroner
Pada pasien yang memenuhi syarat untuk diberikan NOAC, I A
direkomendasikan dengan NOAC (apixaban 5 mg 2 kali
sehari, dabigatran 150 mg 2 kali sehari, edoxaban 60 mg sehari
sekali, atau rivaroxaban 20 mg sehari sekali) lebih dipilih
dibandingkan VKA dengn kombinasi dengan terapi
antiplatelet.
Jika risiko perdarahan ditimbang lebih besar daripada IIa B
thrombosis dan atau stroke iskemik, maka penggunaan
rivaroxaban 15 mg sehari sekali lebih dipilh dibandingkan 20
mg sehari sekali, dengan kombinasi antiplatelet tunggal atau
ganda
Jika risiko perdarahan ditimbang lebih besar dibanding IIa B
thrombosis, dabigatran 110 mg 2 kali sehari lebih
direkomendasikan dibandingkan dengan dabigatran 150 mg 2
kali sehari, dengan kombinasi antiplatelet tunggal atau ganda.
Setelah IKP tanpa komplikasi, penghentian awal aspirin (≤1 IIa B
minggu) dan pemberian antiplatelet ganda menggunakan
antikoagulan oral dan clopidogrel dapat dipertimbangkan jika
risiko thrombosis rendah, atau jika risiko perdrahan ditimbang
lebih besar dibandingkan risiko thrombosis tanpa
mempertimbangkan jenis stent
Terapi triple dengan menggunakan aspirin, clopidogrel, dan IIa C
antikoagulan oral untuk durasi ≥1 bulan dapat
dipertimbangkan ketika risiko thrombosis stent melebihi risiko
perdarahan, dengan durasi total (≤6 bulan) diputuskan
berdasarkan penilaian terhadap risiko dan diputuskan
saatkeluar dari rumah sakit.
Pada pasien dengan indikasi pemberian VKA dengan IIa B
kombinasi dengan aspirin dan/atau clopidogrel, dosisintensitas
VKA harus dirgulasi dengan teliti dengan rentang target INR
(international normalized ratio) 2.0-2.5 dan dengan rentang
terapi >70%
Terapi ganda dnegan antikoagulan oral dan ticagrelor atau IIb C
prasugrel dapat dipertimbangkan sebagai alternatif terapi triple
dengan antikoagulan oral, aspirin, dan clopidogrel pada pasien
dengan risiko sedang atau risiko tinggi untuk thrombosis stent,
tanpa mempertimbangkan jenis stent.
Penggunaan ticagrelor atau prasugrel tidak direkomendasikan III C
sebagai bagian dari terapi antitrombotik tripel dengan aspirin
dan antikoagulan oral. III C Penggunaan PPI (Proton Pump
Inhibitor)
Penggunaan PPI (Proton Pump Inhibitor)
Penggunaan PPI bersamaan direkomendasikan untuk pasien I A
yang menerima monoterapi aspirin, antiplatelet ganda, atau
antikoagulan oral tunggak yang berisiko tinggi terhadap
perdarahan saluran pencernaan.
Obat penurun lipid
Statin direkomendasikan pada semua pasien APS I A
Jika target tidak tercapai dengan statin dosis maksimal yang I B
dapat ditoleransi, kombinasi dengan ezetimibe
direkomendasikan
Untuk pasien dengan risiko sangat tinggi, yang tidak mencapai I A
target pada dosis maksimal yang dapat ditoleransi dari statin
dan ezetimibe, maka kombinasi dengan inhibitor PCSK9
direkomendasikan.
ACEI
ACEI (atau ARB) direkomendasikan jika pasien memiliki I A
kondisi penyerta (gagal jantung, hipertensi, atau diabetes)
ACEI harus dipertimbangkan pada pasien APS dengan risiko IIa A
sangat tinggi terhadap kejadian kardiovaskular.
Obat-obat lain
Penyekat beta direkomendasikan pada pasien dengan disfungsi I A
ventrikel kiri atau gagal jantung sistolik
Pada pasien dengan IMA-EST sebelumnya, terapi oral jangka IIa B
panjang dengan penyekat beta harus dipertimbangkan.
H. Komplikasi
Menurut Karikaturijo, 2010 : hal 11, komplikasi PJK adalah sebagai berikut :
1. Disfungsi ventrivular
2. Aritmia pasca STEMI
3. Gangguan hemodinamik
4. Ekstrasistol ventrikel Sindroma Koroner Akut Elevasi ST tanpa Elevasi
ST Infark miokard Angina tak stabil
5. Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel
6. Syok kardiogenik
7. Gagal jantung kongestif
8. Pericarditis
9. Kematian mendadak.
DAFTAR PUSTAKA
Risa Hermawati, Haris Candra Dewi. 2014. Penyakit Jantung Koroner. Jakarta :
Kandas Media (Imprint agromedia pustaka).
Nadianto, Fandika. 2018. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Oral dengan
Kejadian PJK di Poli Jantung RSUD Hardjono Ponorogo. Skripsi
Fajar, Al Kemal. 2015. Hubungan Aktivitas Fisik dan Kejadian Penyakit Jantung
Koroner di Indonesia. Skripsi
Kemenkes RI, 2013. Pedoman Manajemen Data Riset Kesehatan Dasar 2013.
Kemenkes RI
Kemenkes RI, 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013. Kemenkes RI
Naga, S., 2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Diva
Press hal : 143

Anda mungkin juga menyukai