Anda di halaman 1dari 27

TUGAS OT PADA PENYAKIT DALAM DAN BEDAH

“Meningkatkan Endurance pada Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner”

Disusun Oleh :

Asep Matoni P27228016 139


Ayu Kumala Sari P27228016 141
Eka Nur Novitasari P27228016 146
Esha Nafisatul Muna P27228016 147
Farid Fadhlurrahman P27228016 148
Ilmi Iqlima P27228016 154
Miftahul Jannah Lubis P27228016 162
Nadila Puspa Andrianis P27228016 164
Tri Alissa Qodrun Nada P27228016 177
Wahyu Zulmi Muharom P27228016 181

D-IV A Okupasi Terapi

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Menyelesiakan Mata Kuliah OT pada Penyakit Dalam dan Bedah

PROGRAM STUDI DIV JURUSAN OKUPASI TERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA

2018
PENDAHULUAN

Jantung sanggup berkontraksi tanpa henti berkat adanya suplai bahan bahan energi
secara terus menerus. Suplai bahan energi berupa oksigen dan nutrisi ini mengalir melalui suatu
pembuluh darah yang disebut pembuluh koroner. Apabila pembuluh darah menyempit atau
tersumbat proses transportasi bahan - bahan energi akan terganggu. Akibatnya sel-sel jantung
melemah dan bahkan bisa mati. Gangguan pada pembuluh koroner ini yang disebut penyakit
jantung koroner (Yahya, 2010).

Penyakit jantung sering kali terkait dengan substansi yang di kenal sebagai kolesterol
dan lemak yang merupakan penyebab utama dari penyempitan atau pengapuran pada pembuluh
darah dan arteri. Penyempitan atau pengapuran oleh timbunan lemak dan kolesterol
berlangsung secara perlahan lahan selama bertahun tahun dan mungkin berawal semenjak usia
remaja. Bila tidak mendapatkan perhatian dan perawatan yang benar, peristiwa di atas dapat
memuncak menjadi penyakit jantung Koroner dan serangan jantung.

Pada saat ini penyakit jantung merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia.
Pada tahun 2005 sedikitnya 17,5 juta atau setara dengan 30% kematian di seluruh dunia
disebabkan oleh penyakit jantung. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), 60% dari seluruh
penyebab kematian penyakit jantung adalah penyakit jantung koroner (WHO,2001).

Untuk menghindari serangan jantung berulang maka perlu melakukan pencegahan


dengan program rehabilitasi jantung (cardiac rehabilitation). Berdasarkan panduan American
Heart Association (AHA) dan American College of Cardiology (ACC) tentang manajemen
dan pencegahan penyakit jantung koroner, rehabilitasi jantung terbukti berguna dan efektif
(rekomendasi kelas 1) dilakukan setelah sindrom koroner akut, post-PCI (percutaneous
coronary intervention), post-CABG (coronanry artery bypass grafting), dan angina stabil.
Rehabilitasi jantung juga diindikasikan untuk pasien gagal jantung, riwayat operasi katup
jantung, atau transplantasi jantung, termasuk untuk kondisi selain penyakit jantung koroner,
seperti diabetes melitus, hipertensi pulmonal, penyakit jantung kongenital, dan penyakit arteri
perifer.
BAB I
LANDASAN TEORI

I. Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner adalah suatu keadaan dimana terjadi penyempitan,
penyumbatan, atau kelainan pembuluh darah koroner, penyempitan atau penyumbatan
ini dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa
nyeri. Kondisi lebih parah jika kemampuan jantung dalam memompa darah akan
hilang, sehingga sistem kontrol irama jantung akan terganggu dan darah akan hilang,
sehingga sistem kontrol irama jantung akan terganggu dan selanjutnya bisa
menyebabkan kematian (Soeharto, 2001).

II. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit jantung, disebabkan oleh 2 faktor :
1. Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri
koroneria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan
lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga secara progresif
mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi
terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium
(Brown,2006).

2. Trombosis
Endapan lemak dan pengerasan pembuluh darah terganggu dan lama-kelamaan
berakibat robek di dinding pembuluh darah. Pada mulanya, gumpalan darah
merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegah pendarahan berlanjut pada
saat terjadinya luka. Berkumpulnya gumpalan darah dibagian yang robek tersebut,
kemudian bersatu dengan keping-keping darah menjadi trombus. Trombosis ini
menyebabkan serangan jantung mendadak, dan bila sumbatan terjadi di pembuluh
darah otak akan menyebabkan stroke (Kusrahayu, 2004).
III. Patofisiologis Penyakit Jantung
1. Angina Pectoris stabil
Angina Pectoris berdasarkan keluhan nyeri yang khas, yaitu rasa tertekan atau
berat didada yang sering kali menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada terutama saat
melakukan kegiatan fisik, terutama bekerja keras atau ada tekanan emosional dari luar
yang menyebabkan kurangnya oksigen ke otot. Biasanya serangan angina pectoris
berlangsung 1-5 menit, bila serangan lebih dari 20 menit, kemungkinan terjadi
serangan infark akut. Keluhan hilang setelah istirahat (Kusrahayu,2004).
.
2. Angina Pectoris tidak stabil
Pada Angina Pectoris tidak stabil serangan rasa sakit dapat timbul pada waktu
istirahat, waktu tidur, atau aktifitas yang ringan. Lama sakit dada lebih lama daripada
angina bias, bahkan sampai beberapa jam. Frekuensi serangan lebih sering dibanding
dengan Angina Pectoris biasa ((Kusrahayu,2004).
Keadaan akan yang lebih buruk jika Angina Pectoris tidak stabil disebabkan
oleh PJK. Sehingga harus ditangani secara serius. Pada Angina Pectoris tidak stabil,
kekurangan oksigen ke otot jantung meniadi acute atau parah, oleh karena itu akan
sangat berbahaya, karena resiko komplikasi terjadinya serangan jantung sangat besar.

3. Angina Varian (prinzmental)


Terjadi hipoksia dan iskemik miokardium disebabkan oleh vaso spasme(kekuan
pembuluh darah), bukan karena penyempitan progresif arteria koroneria. Terjadi pada
waktu-waktu istirahat atau pada jam-jam tertentu tiap hari (Sutedja,2008)

4. Sindrom Koroner Akut


Sindrom klinik yang mempunyai dasar patofisiologi yang sama yaitu erosi,
fisur, ataupun robeknya plak atheroma sehingga menyebabkan thrombosis yang
menyebabkan ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard.
Termasuk Sindrom Koroner Akut adalah angina pektoris stabil dan infark miokard
akut (Majid, 2007). Sindrom Koroner Akut adalah salah satu manifestasi klinis
Penyakit Jantung Koroner yang utama dan paling sering menyebabkan kematian.
IV. Faktor – Faktor Resiko PJK
Secara statistik, seseorang dengan faktor resiko kardiovaskuler akan memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk menderita gangguan koroner dibandingkan mereka
yang tanpa faktor resiko. Semakin banyak faktor resiko yang dimiliki, semakin berlipat
pula kemungkinan terkena penyakit jantung koroner (Yahya, 2010). Faktor-faktor
resiko yang dimaksud adalah merokok, alkohol, aktivitas fisik, berat badan, kadar
kolesterol, tekanan darah (hipertensi) dan diabetes.
1. Faktor resiko lain yang masih dapat diubah :
a. Hipertensi
Tekanan darah yang terus meningkat dalam jangka waktu panjang akan
mengganggu fungsi endotel, sel-sel pelapis dinding dalam pembuluh darah
(termasuk pembuluh koroner). Disfungsi endotel ini mengawali proses
pembentukan kerak yang dapat mempersempit liang koroner. Pengidap
hipertensi beresiko dua kali lipat menderita penyakit jantung koroner. Resiko
jantung menjadi berlipat ganda apabila penderita hipertensi juga menderita DM,
hiperkolesterol, atau terbiasa merokok.Selain itu hipertensi juga dapat
menebalkan dinding bilik kiri jantung yang akhirnya melemahkan fungsi pompa
jantung (Yahya, 2010). Resiko PJK secara langsung berhubungan dengan
tekanan darah, untuk setiap penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5mmHg
resiko PJK berkurang sekitar 16% (Leatham, 2006).

b. Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) berpotensi menjadi ancaman terhadap beberapa
organ dalam tubuh termasuk jantung. Keterkaitan diabetes mellitus dengan
penyakit jantung sangatlah erat. Resiko serangan jantung pada penderita DM
adalah 2-6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan orang tanpa DM. Jika seorang
penderita DM pernah mengalami serangan jantung, resiko kematiannya menjadi
tiga kali lipat lebih tinggi. Peningkatan kadar gula darah dapat disebabkan oleh
kekurangan insulin dalam tubuh, insulin yang tidak cukup atau tidak bekerja
dengan baik (Yahya, 2010). Penderita diabetes cenderung memiliki pravalensi
prematuritas, dan keparahan arterosklerosis lebih tinggi.
Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan secara bermakna
meningkatkan kemungkinan timbulnya arterosklerosis. Diabetes mellitus juga
berkaitan dengan proliferasi sel otot polos dalam pembuluh darah arteri koroner,
sintesis kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid. Peningkatan kadar LDL dan
turunnya kadar HDL juga disebabkan oleh diabetes milletus. Biasanya penyakit
jantung koroner terjadi di usia muda pada penderita diabetes dibanding non
diabetes (Leatham, 2006).

c. Merokok
Sekitar 24% kematian akibat PJK padalaki-laki dan 11% pada perempuan
disebabkan kebiasaan merokok. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama
perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan resiko sebesar 20-30%. Resiko
terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang
merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari memiliki resiko sebesar dua
hingga tiga kali lebih tinggi menderita PJK dari pada yang tidak merokok
(Leatham, 2006).
Nikotin yang masuk dalam pembuluh darah akan merangsang katekolamin
dan bersama-sama zat kimia yang terkandung dalam rokok dapat merusak lapisan
dinding koroner. Nikotin berpengaruh pula terhadap syaraf simpatik sehingga
jantung berdenyut lebih cepat dan kebutuhan oksigen meninggi. Karbon
monooksida yang tersimpan dalam asap rokok akan menurunkan kapasitas
penggangkutan oksigen yang diperlukan jantung karena gas tersebut
menggantikan sebagian oksigen dalam hemoglobin. Perokok beresiko mengalami
seranggan jantung karena perubahan sifat keping darah yang cenderung menjadi
lengket sehingga memicu terbentuknya gumpalan darah ketika dinding koroner
terkoyak/robek (Yahya, 2010).

d. Hiperlipidemia
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak
bebas berasal eksogen dari makanan dan endogen dari sintesis lemak. Kolesterol
dan trigliserida adalah dua jenis lipid yang relatif mempunyai makna klinis yang
penting sehubungan dengan arteriogenesis. Lipid tidak larut dalam plasma tetapi
terikat pada protein sebagai mekanisme transpor dalam serum.
Peningkatan kolesterol LDL, dihubungkan dengan meningkatnya resiko
terhadap koronaria, sementara kadar kolesterol HDL yang tinggi tampaknya
berperan sebagai faktor perlindung terhadap penyakit arteri koroneria (Muttaqin,
2009).

e. Obesitas
Kelebihan berat badan memaksa jantung bekerja lebih keras, adanya
beban ekstra bagi jantung. Berat badan yang berlebih menyebabkan
bertambahnya volume darah dan perluasan sistem sirkulasi sehingga berkolerasi
terhadap tekanan darah sistolik (Soeharto, 2001).

f. Gaya hidup tidak aktif


Ketidakaktifan fisik meningkatkan resiko PJK yang setara dengan
hiperlipidemia, merokok, dan seseorang yang tidak aktif secara fisik memiliki
resiko 30%-50% lebih besar mengalami hipertensi. Aktivitas olahraga teratur
dapat menurunkan resiko PJK. Selain meningkatkan perasaan sehat dan
kemampuan untuk mengatasi stres, keuntungan lain olahraga teratur adalah
meningkatkan kadar HDL dan menurunkan kadar LDL. Selain itu, diameter
pembuluh darah jantung tetap terjaga sehingga kesempatan tejadinya
pengendapan kolesterol pada pembuluh darah dapat dihindari (Leatham, 2006).

2. Faktor Resiko yang tidak dapat dirubah


a. Jenis kelamin
Penyakit jantung koroner pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan
pada perempuan dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada laki-laki
daripada perempuan. Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan, namun
setelah menopause insidensi PJK meningkat dengan cepat dan sebanding dengan
insidensi pada laki-laki (Leatham, 2006)
b. Genetik
Riwayat jantung koroner pada keluarga meningkatkan kemungkinan
timbulnya aterosklerosis prematur (Brown, 2006).

c. Usia
Kerentanan terhadap penyakit jantung koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Namun dengan demikian jarang timbul penyakit serius
sebelum usia 40 tahun, sedangkan dariusia 40 hingga 60 tahun, insiden
Miocardiac Infarktion meningkat lima kali lipat. Hal ini terjadi akibat adanya
pengendapan aterosklrerosis pada arteri koroner (Brown, 2006).

V. Tanda dan Gejala


Sumber rasa sakit berasal dari pembuluh koroner yang menyempit atau tersumbat.
Rasa sakit tidak enak seperti ditindih beban berat di dada bagian tengah adalah keluhan
klasik penderita penyempitan pembuluh darah koroner. Kondisi yang perlu diwaspadai
adalah jika rasa sakit di dada muncul mendadak dengan keluarnya keringat dinggin yang
berlangsung lebih dari 20 menit serta tidak berkurang dengan istirahat. Serangan jantung
terjadi apabila pembuluh darah koroner tiba-tiba menyempit parah atau tersumbat total.
Sebagian penderita PJK mengeluh rasa tidak nyaman di ulu hati, sesak nafas, dan
mengeluh rasa lemas bahkan pingsan (Yahya, 2010).

VI. Komplikasi Penyakit Jantung Koroner


 Rasa sakit di dada terulang. Sakit dada yang berulang atau berkelanjutan adalah
amat berbahaya karena ini mengindikasikan ketidakcukupan aliran darah ke
jantung yang menambah kerusakan organ tersebut.
 Aritmia. Serangan jantung sering kali merusakkan sistem listrik jantung yang
mengontrol irama jantung. Hal ini dapat menyebabkan problem seperti terjadinya
aritmia. Bila sistem listrik tersebut lenyap, kondisinya akan amat berbahaya.
 Gagal jantung. Bila serangan jantung merusak organ jantung demikian parah,
gagal jantung dapat terjadi, di mana pemompaan normal yang biasanya 75—80%
menurun secara drastis dan cenderung menjadi gagal jantung.
 Tekanan darah rendah. Penurunan kapasitas karena serangan jantung mungkin
menyebabkan tekanan darah menjadi amat rendah sedemikian rupa, sehingga
menyebabkan darah tidak cukup mengalir "ke arteri koroner maupun bagian-
bagian tubuh yang lain. Kondisi ini disebut hypotension.
 Mengacau bekerjanya klep jantung. Keempat klep jantung yang mengontrol
masuk dan keluarnya aliran darah dari jantung dioperasikan oleh sejumlah otot
yang mungkin rusak akibat serangan jantung. Bila hal ini terjadi, satu atau
beberapa klep tidak dapat berfungsi secara normal. Dalam situasi inl, aliran darah
mungkin berbalik arah dan dapat menimbulkan persoalan serius pada waktu
serangan jantung
VII. Klasifikasi Gangguan Jantung Berdasarkan Tingkat Resiko
Pada gangguan jantung koroner terdapat variasi tingkat atherosklerosis, derajat
iskemik myokard, gangguan fungsi ventrikel jantung, frekuensi dan derajat gejala
gangguan jantung seperti disritmia, kenaikan tekanan darah serta respon frekuensi denyut
jantung terhadap latihan dan kelelahan (Williams, 2001:415). Keadaan-keadaan tersebut
perlu dievaluasi untuk memperkirakan resiko terjadinya infark lanjutan, cardiac arrestdan
gagal jantung.
Keputusan klinis tentang program latihan, jenis dan tipe latihan terutama
didasarkan pada perhitungan resiko (prognosis) dan kapasitas fungsional pasien. Tujuan
dari program latihan pasien dengan gangguan jantung koroner adalah untuk
mengoptimalkan keamanan, manfaat serta kepuasan dan kepatuhan pasien dalam
mengikuti program latihan. Dalam hal ini, kemananan pasien adalah fokus utama
sehingga faktor yang menyangkutprognosis harus diutamakan. Tujuan untuk
mengklasifikasikan pasien dalam program rehabilitasi adalah untuk menilai resiko
terjadinya infark myokardial, cardiac arrestdan gagal jantung di kemudianhari. Penilaian
resiko ini ditujukan untuk menilai tingkat kemungkinan bahwa latihan akan mencetuskan
hal-hal yang tersebut (Ades, 2001:892).

Berikut beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan resiko timbulnya gejala klinis :

Jenis Karakteristik
Resiko Rendah Paska bedah by pass atau infark myocardial tanpa komplikasi .
Kapasitas fungsional ≥ 8 METS pada exercise test selama 3 minggu.
Tidak adanya gejala klinis selama exercise testing setara pada aktivitas
vocational sehari-hari.
Tidak adanya iskemia, disfungsi ventricular kiri dan disatrimia
kompleks.
Resiko Sedang Kapasitas fungsional < 8 METS pada exercise test selama 3 minggu
Shock atau PJK selama infrak myocardial (< 6 bulan)
Ketidakmampuan untuk memonitor denyut jantung
Ketidakmampuan untuk melaksanakan program latihan
Terjadinya iskemia yang dipiju oleh latihan (ST< 2mm)
Resiko Tinggi Fungsi ventrikel kiri yang sangat rendah (fraksi ejeksi < 30 %)
Disritmia ventrikel pada saat istirahat
Hipotensi pada saat latihan (≥ 15 mmHg)
Infrak myocardial baru (< 6 bulan) dengan komplikasi distritmia
ventrikel
Terjadinya iskemia yang dipicu oleh latihan ( ST > 2mm)
Pernah mengelami serangan jantung

VIII. Kerangka Acuan yang Digunakan


Pada pasien penyakit jantung koroner ini, kerangka acuan yang digunakan
adalah keangka acuan cardiac rehabilitation. Dipilihnya kerangka acuan ini karena pada
pasien dengan penyakit jantung koroner dalam melakukan aktivitas kurang maksimal dan
kurang puas dikarenakan kondisinya yang cepat lelah sehingga pasien selalu
memerlukan bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan pemakaian kerangka
acuan ini adalah pasien diharapkan mampu melakukan beberapa aktivitas dan dapat
memodifikasi gaya hidup seperti rajin berolahraga untuk mempertahankan dan
meningkatkan endurance, mengontrol makanan serta mereduksi faktor resiko lainnya
sehingga pasien dapat mencapai kondisi fisik, mental, dan sosial terbaik yang dapat
diraih, serta dapat melanjutkan kehidupan sosial yang selayaknya, dan berperan aktif
dalam kehidupan dengan mandiri.
Program komprehensif, rehabilitasi jantung ini yaitu melibatkan proses edukasi,
latihan fisik dan modifikasi faktor resiko untuk membatasi efek fisiologis dan psikologis
pada pasien dengan penyakit jantung koroner.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Pasien berinisial Ny.SW berusia 45 tahun. Berjenis kelamin perempuan dan
status pasien sudah menikah. Beragama Islam dan pendidikan terakhir Diploma
III.Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan wiraswasta.Beralamat di jalan
Blulukan II RT 3 RW 6 Colomadu Karanganyar.

B. DIAGNOSIS PASIEN
Diagnosis medis pasien adalah Coronary Artery Disease (CAD), diagnosis
topisnya adalah Artery Coronaria, dan diagnosis Kausatifnya adalah Colestrol dan
Hypertensi.

C. DATA SUBJEKTIF
Initial Assessment :
- Interview (keluhan, riwayat kondisi pasien, harapan)
Berdasarkan hasil interview pada hari Rabu tanggal 3 Maret 2018. Posisi duduk
pasien tanpa tegak dan tidak bersandar pasien memiliki kemampuan coping skill yang
baik.Pasien pertama kali mengalami serangan jantung pada Juli 2014 tepatnya ketika
Pemilu Presiden. Saat itu pasien merasakan dada bagian kiri terasa nyeri, jantung
berdebar, keringat dingin serta sesak napas dan pusing. Kemudian pasien dilarikan ke
UGD RS Dr. Moewardi dan di diagnosis mengalami penyakit jantung koroner.

Semenjak dinyatakan terkena penyakit jantung koroner, pasien rutin mengikuti


saran dokter untuk melakukan senam jantung setiap hari minggu di RS Kasih ibu dan
melakukan pemeriksaan rutin di Rumah Sakit, terkait pemeriksaan tanda – tanda vital
hingga kolestrol. Pasien juga sering berkonsultasi ke dokter jantung mengenai
penyakitnya dan mengikuti saran yang dokter berikan untuk tidak melakukan aktivitas
yang berlebih dan mengontrol pola makan. Sebelumnya pasien telah memiliki riwayat
penyakit asma yang di deritanya sejak SMP dan riwayat penyakit lambung karena efek
dari obat asma yang dikonsumsi serta penyakit hipertensi.
- Observasi Klinis (hal-hal yang ditemukan saat pertama kali bertemu pasien:
penampilan, cara bicara, mobilitas, perilaku, dll)

Berdasarkan observasi klinis pada hari rabu 3 Maret 2018, penampilan pasien
rapi, sopan, dan bersih. Pasien memiliki masalah pada penglihatan sehingga
mengharuskan pasien menggunakan kacamata. Pasien dapat kooperatif dan tidak
memiliki masalah kognitif, setiap pertanyaan yang kami ajukan bisa dijawab dengan
baik oleh pasien. Memori jangka panjang dan jangka pendek pasien baik, dan tidak
memiliki hambatan dalam berkomunikasi. Tidak adanya keterbatasan fisik yang di
alami oleh pasien sehingga mobilitas pasien dikatakan baik dan dapat mandiri tanpa
bantuan dari orang lain ataupun alat. Namun untuk dapat melakukan aktifitas sehari-
hari secara mandiri tapi tidak maksimal, perilaku pasien sangat baik, sopan, ramah,
bahkan pasien bersifat humoris.

- Screening test (hasil sesuai blanko screening)

Pasien dapat mandiri tanpa modifikasi pada kemampuan Self care, Kontrol
spincter dan Mobility. Locomotion, pasien mampu berjalan dan berpindah tanpa
adannya bantuan. Dalam berkomunikasi pasien mampu secara komprehensif ataupun
berekspresi. Pasien memiliki ingatan cukup baik dan dapat bersosialisai dengan
lingkungan sekitarnya.

- Model treatment yang akan digunakan (pemilihan kerangka acuan)

Pada pasien dengan penyakit jantung koroner ini, kami menerapkan kerangka
acuan cardiac rehabilitation. Kami menggunakan kerangka acuan ini karena pada
kondisi yang dialami pasien menyebabkan pasien kurang maksimal dalam melakukan
aktivitas sehari-hari sehingga pasien cepat lelah.

Tujuan pemakaian kerangka acuan cardiac rehabilitation ini adalah agar pasien
dapat mempertahankan dan meningkatkan endurance dan dapat mereduksi faktor
resiko penyakit jantung koroner sehingga ketika melakukan aktivitas sehari-hari seperti
aktivitas menyapu, pasien tidak cepat lelah dan dapat melakukan aktivitas tersebut
secara mandiri.
D. DATA OBJEKTIF
Blanko pemeriksaan yang kami gunakan adalah :
1) Blanko screening kondisi dewasa
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan pada hari Sabtu, 2 Maret 2018, dengan
menggunakan blangko pemeriksaan LGS dan KO. Lingkup gerak sendi sisi kanan dan
kiri pasien pada ekstremitas atas dan bawah dapat full ROM. Kekuatan otot ekstremitas
bawah dan atas bernilai 5.
2) Blanko pemeriksaan Neurologi
Pemeriksaan dilakukan tanggal 3 Maret 2018, pasien tidak ada masalah pada
proprioceptive, stereognosis, kinesthesis, sensory pain awareness yang bernilai 10/10.
Pemeriksaan graps pasien normal,.Pasien tidak mengalami gangguan sensori.
3) Blanko FIM
Pemeriksaan pertama dilakukan tanggal 3 maret 2018 pada area self care, kontrol
spingter, mobility, locomotion, komunikasi dan kognitif sosial pasien bernilai 7 yang
artinya mandiri tanpa modifikasi alat/bantu.
4) Blanko Interest Cheklist
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 3 maret 2018, pasien tidak mengalami
masalah dalam memanfaatkan waktu luangnya. Dari blanko ini pasien memiliki
ketertarikan pada aktivitas seperti menyulam, memasak, menyanyi serta mendengarkan
musik.

E. ASSESSMENT / PENGKAJIAN DATA


Prioritas Masalah
Dari hasil pemeriksaan dari blangko diatas, dapat dibuat suatu prioritas
permasalahan pasien yaitu pada area ADLdalamaktivitas menyapu rumah di karenakan
endurance yang tidak maksimal.

Aset :

Aset yang dimiliki pasien antara lain pasien tidak memliki keterbatasan fisik,
kekuatan otot pasien bernilai 5, LGS pasien mampu full ROM, tidak tergolong dalam
kelompok sedentary dan memiliki hobi berolahraga. Kognitif dan memori pasien baik,
tidak memiliki masalah pada sensori dan atensi, ambulansi dan mobilisasi yang baik,
dapat kooperatif, support penuh dari keluarga, dan memiliki motivasi untuk sembuh
yang tinggi serta pasien berada dalam ekonomi menengah keatas dan kemampuan
koping skill pasien baik.

Limitasi :
Limitasi yang dimiliki pasien antara lain memiliki kelemahan dalam melakukan
aktivitas fisik sehari-hari seperti menyapu dikarenakan endurance pasien yang lemah.
Selain itu pasien memiliki riwayat penyakit asma, kolesterol dan hipertensi.

Diagnosis OT :

1. Area Produktivitas : tidak mengalami hambatan saat berdagang di karenakan


pasien tidak banyak melakukan aktivitas sebab ia memiliki
karyawan di kios nya.
2. Area Leisure : tidak ada hambatan pada area ini karena pasien masih
mampu memanfaatkan waktu luangnya.
3. Area ADL : pada area ini, pasien mengalami hambatan ketika menyapu
lantai rumah di karenakan endurance yang kurang
maksismal.

F. PERENCANAAN TERAPI
Tujuan Jangka Panjang (ke arah occupation) :

Pasien mampu melakukan aktivitas menyapu seluruh lantai rumah berukuran


20 x 20 m2 selama 45 menit (2 kali istirahat) secara mandiridalam 12 kali sesi terapi.

Tujuan Jangka Pendek (ke arah occupation / occupational component):

1. Pasien mampu menyapu lantai ruang tengah rumah (ukuran x m2) dengan waktu
istirahat 2 menit secara mandiri dalam 3 kali sesi terapi.
2. Pasien mampu menyapu lantairuang tamu sampai teras rumah (ukuran 7x4 m2)
denganwaktu istirahat 2 menit secara mandiri dalam 3 kali sesi terapi (dengan sesi
terapi yang ke 2 dan 3 tanpa istirahat).
3. Pasien mampu menyapu halaman rumah (ukuran 8x10 m) tanpa istirahat
dengansupervisi minimal dalam 3 kali sesi terapi.
4. Pasien mampu melakukan aktivitas menyapu seluruh lantai rumah berukuran 20 x
20 m2 tanpa istirahat secara mandiri dalam 3 kali sesi terapi.

Strategi/Teknik :
Strategi yang dilakukan unuk tercapainya program terapi yaitu dengan
modifikasi lingkungan untuk keamanan pasien, modifikasi aktivitas dengan teknik
konservasi energi untuk mencegah timbulnya cepat lelah, memberikan program latihan
fisik untuk mempertahankan dan meningkatkan endurance.

Frekuensi :
Selama 4 minggu dengan jadwal 3 kali dalam seminggu.

Durasi :
Dilakukan selama 60 menit dalam 1 kali pertemuan

Media Terapi :
Sapu, serokan, laptop, tensimeter

HOME PROGRAM :
 Pasien dianjurkan untuk rutin melakukan senam dalam seminggu sekali secara rutin
selama 20 menit dan jalan santai disekitar rumah dengan jarak maksimal 700 meter
dengan ditemani orang terdekat secara berkesinambungan untuk mempertahankan
dan meningkatkan endurance pada pasien.
 Pasien diedukasi untuk menjaga pola makan benar dan menghindari makan-
makanan yang berlemak.
 Pasien diedukasi untuk menerapkan pola hidup sehat.

G. Safety Precaution
H. Alat Ukur
Instrumen yang digunakan adalah six minutes walking test. Suatu instrumen
terstandar yang digunakan untuk mengukur jarak berjalan dalam 6 menit sebagai
submaksimal kapasitas aerobic atau ketahanan (Read et al., 2010).

Six minutes walking test dilakukan dengan protokol standard ruangan yang
lantainya diberi pita sepanjang kurang lebih 100 kaki. Hasil pemeriksaan dapat dilihat
dari pengkuran pre dan post jarak tempuh yang mampu ditempuh pasien. Yang
memiliki kebugaran jasmani yang lebih baik dapat melakukan aktifitas fisik secara terus
menerus dalam waktu yang lama tanpa mengalami kelelahan dan tubuh masih memiliki
energi melakukan aktifitas.
Tujuan :

1. Menentukan keterbatasan fungsi kardiorespirasi terkait aktivitas


2. Menentukan level/tingkat kebugaran kardiorespirasi
3. Monitor keberhasilan terapi

Indikasi

- Orang normal
- Atlet
- Sedentary
- Geriatri
- Gangguan fungsi respirasi
- Gangguan kardiovaskular
- Sebelum peresapan latihan kebugaran pada orang difabel

Kontraindikasi test jalan 6 menit yaitu :

1. Ketidakstabilan fungsi jantung


2. Infark miokardial
3. Resting HR > 120
4. Tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan Diastolik 100 mmHg

Peralatan
1. Pengukur jarak
2. Penanda untuk berputar (2 buah )
3. Kursi
4. Stopwatch
5. Tensimeter,
6. Area cukup luas untuk jalan (min panjang 30 ).

Prosedur

1. Informed to consent dan informed consent


2. Persiapan alat dan tempat uji latih
 Tandai awal dan akhir (jarak tempuh)
 Kursi diantara jarak tempuh
3. Pemeriksaan tanda vital pre tes
4. Pelaksanaan Uji Jalan 6 menit
1. Sebelum dilakukan Uji jalan 6 menit pasien diperiksa secara seksama
termasuk tanda vital seperti Tekanan darah, Denyut jantung, Respirasi,
Suhu
2. Jika diperlukan pengulangan Uji jalan 6 menit, maka uji ulang harus
dilakukan pada hari yang sama. Hal ini berguna untuk mengurangi
perbedaan atau hasil karena kemungkinan timbul perubahan seperti kondisi
fisik, waktu latihan .
3. Tidak dianjurkan melakukan periode pemanasan sebelum dilakukan uji
latih.
4. Pasien harus beristirahat dengan duduk dikursi, dekat dengan garis start,
kurang lebih 5 – 10 menit sebelum uji jalan dimulai
5. Berikan instruksi pada pasien sebelum uji latih dimulai dan informasikan
yang utama adalah jalan sejauh mungkin selama 6 menit, jangan lari
ataupun jogging.
6. Posisikan pasien pada garis start.
7. Selama uji dilakukan, penguji harus tetap berdiri di dekat garis start. Tidak
diperkenankan berjalan bersama pasien. Hal ini guna mencegah adu balap
antara pasien dengan penguji sehingga akan mempengaruhi hasil yang
sebenarnya. Pada saat pasien mulai berjalan, nyalakan stopwatch.
8. Penguji tidak diperkenankan bicara kepada siapapun selama uji latih.
Pusatkan perhatian pada pasien, jangan sampai salah menghitung jumlah
putaran

5. Pemeriksaan tanda vital dan saturasi O2 post test


 Indikasi terminasi uji latih
1. TD sistolik >200 mmhg
2. TD diastolik turun > 10 mmhg
3. Saturasi O2 < 90% / turun 4 dari baseline
4. Skala borg

Penilaian :

- Hasil pengukuran : jarak (meter)


- Dikonversi  nilai VO2max
- Dikonversi  nilai Metabolic Equivalent (METs)  Level energi
Expendicture

Penyakit jantung :

VO2 max = 0,03 x jarak (m) + 3,98


METs = VO2 max /3,5
Tabel Vo2 max (House, 2013)

Vo2 Max Wanita

Usia Very Poor Poor Fair Good Excellent Superior


13-19 <25,0 25,0 – 30,9 31,0 – 34,9 35,0 – 38,9 39,0 – 41,9 >41,9
20-29 < 23,6 23,6 – 28,9 29,0 – 32,9 33,0 – 36,9 37,0 – 41 >41,0
30-39 < 22,8 22,8 – 26,9 27,0 – 31,4 31,5 – 35,6 35,7 – 40 >40,0
40-49 < 21,0 21,0 – 24,4 24,5 – 28,9 29,0 – 32,8 32,9 – 36,9 >36,9
50-59 < 20.2 20,2 – 22,7 22,8 – 26,9 27,0 – 31,4 31,5 – 34,7 >35,7
+60 < 17,5 17,5 – 20,1 20,2 – 24,4 24,5 – 30,2 30,3 – 31,4 > 31,4

Vo2 Max Pria

Usia Very Poor Poor Fair Good Excellent Superior


13 – 19 < 35 35,0 – 38,3 38,4 – 45,1 45,2 – 50,9 51,0 – 55,9 >55,9
20 -29 < 33,0 33,0 – 36,4 36,5 – 42,4 42,5 – 46,4 46,5 – 52,4 >52,4
30- 39 < 31,5 31,5 – 35,4 35,5 – 40,9 41,0 – 44,9 45,0 – 49,4 >49,4
40 – 49 < 30,2 30,2 – 33,5 33,6 – 38,9 39,0 – 43,7 43,8 – 48,0 >48,0
50 – 59 < 26,1 26,1 – 30,9 31,0 – 35,7 35,8 – 40,9 41,0 – 45,3 >45,3
+ 60 < 20,5 20,5 – 26,0 26,1 – 32,2 32,3 – 36,4 36,5 – 44,2 > 44,2

I. Hasil Pengukuran six minutes walking test


 Tes dilakukan di sekitar rumah pasien
 Sebelum melakukan tes jalan selama 6 menit, kami melakukan pemeriksaan tanda-
tanda vital, hasilnya :
HR : 53 kali/menit
BP : 120/80 mmHg
RR : 19 kali/menit
 Saat test berlangsung, pasien berjalan santai dengan pandangan tertunduk dan
belum menunjukan ekspresi tanda-tanda kelelahan.
 Memasuki menit 4, pasien menunjukan kelelahan dengan usaha langkah sedikit
berat, nafas sedikit berat, dan kaki mulai terlihat lelah. Pada pertengahan menit ke-
4 pasien beristirahat dengan duduk dikursi sekitar 15 detik, sebelum melanjutkan
tes kembali.
 Setelah tes berakhir,kami melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital kemb9ali,
hasilnya :
HR : 79 kali/menit
BP : 130/70 mmHg
RR : 22 kali/menit
Tampak dari ekspresi pasien cukup lelah dan napas berat tetapi tidak mengeluarkan
bunyi (wheezing).
 Total jarak yang ditempuh oleh pasien yaitu sebesar 660 m sekitar 11,5 putaran,
sehingga diidapat :

VO2 max = 0,03 x jarak (m) + 3,98 cc/KgBB/mt


= (0,03 x 660 m) + 3,98 cc/KgBB/mt
= 23,78
Jadi, VO2 max Ny. SW dengan usia 45 tahun adalah 23,78 sehingga dikategorikan
rendah.

Usia Very Poor Poor Fair Good Excellent Superior


13-19 <25,0 25,0 – 30,9 31,0 – 34,9 35,0 – 38,9 39,0 – 41,9 >41,9
20-29 < 23,6 23,6 – 28,9 29,0 – 32,9 33,0 – 36,9 37,0 – 41 >41,0
30-39 < 22,8 22,8 – 26,9 27,0 – 31,4 31,5 – 35,6 35,7 – 40 >40,0
40-49 < 21,0 21,0 – 24,4 24,5 – 28,9 29,0 – 32,8 32,9 – 36,9 >36,9
50-59 < 20.2 20,2 – 22,7 22,8 – 26,9 27,0 – 31,4 31,5 – 34,7 >35,7
+60 < 17,5 17,5 – 20,1 20,2 – 24,4 24,5 – 30,2 30,3 – 31,4 > 31,4

J. Program Latihan Aerobik Pada Pasien


Aerobic exercise activity merupakan serangkaian aktivitas yang terstruktur dan
berirama dengan intensitas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan untuk
meningkatkan kebugaran jasmani yang dilakukan dengan cara aerobik. Aktivitas
aerobik merupakan aktivitas yang menggunakan oksigen dalam penyediaan energi dan
pernafasan (Kelly & Tracey, 2005). Keberhasilan mencapai kebugaran sangat
ditentukan oleh kualitas latihan yang meliputi tujuan latihan, pemilihan model latihan,
penggunaan sarana latihan dan yang lebih penting lagi adalah takaran atau dosis latihan
yang dijabarkan dalam konsep FITT (Sumintarsih, 2006). Sebelum dimulai latihan
aerobik, diukur tekanan darah.Tekanan darah diukur sebelum dan sesudah latihan
aerobik.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan aerobic activity adalah suatu
aktivitas yang membutuhkan oksigen dan berfungsi untuk merangsang jantung dan
paru-paru menjadi lebih sehat.
Untuk meningkatkan kebugaran cardiorespirasi sangat dianjurkan untuk terlibat
dalam program latihan endurance. Hasil dari program latihan tersebut berupa
peningkatan V02 peak yang berhubungan dengan penurunan resiko kematian (lee
et.,2011).

1) Walking atau jalan


Walking atau jalan kaki merupakan olahraga yang sangat baik untuk
meregangkan otot-otot kaki dan jika temponya semakin cepat bermanfaat untuk
daya tahan tubuh atau endurance (Maryam et al., 2008). Selain itu, kelenturan
tubuh terlatih karena olahraga berjalan membutuhkan koordinasi gerak
ekstremitas. Jalan kaki, jika dilakukan dengan tempo yang sedikit lebih cepat
merupakan latihan yang berguna untuk mempertahankan kesehatan dan
kebugaran jasmani. Olahraga ini merupakan latihan yang aman,murah dan
menyenangkan.
2) Senam aerobic low impact
Menurut Wicaksono(2011) senam aerobic adalah olahraga yang
dilakukan secara terus-menerus dimana kebutuhan oksigen masih dapat
dipenuhi. Pefrosky (2005) menjelaskan karakteristik senam aerobic
diantaranya adalah mempunyai tujuan meningkatkan kemampuan jantung dan
paru serta menggunakan irama musik. Senam aerobic low impact merupakan
senam yang gerakannya ringan, bisa dilakukan mulai dari usia anak-anak ,
dewasa, bahkan lansia. Gerakannya berupa gerakan-gerakan kaki, seperti jalan
ditempat, jalan maju mundur tepuk tangan serta dikombinasikan dengan
gerakan-gerakan tangan dan bahu, sehingga olahraga sejenis ini cocok
digunakan untuk orang yang menderita penyakit jantung maupun hipertensi
(Sunarto, 2009). Menurut Gilang (2007).

 Jadwal Latihan Pasien

Pasien melakukan latihan dengan aktivitas jalan santai sejauh kurang lebih
700 m dengan frekuensi 4 kali dalam sebulan serta latihan senam dengan durasi
20 menit setiap latihannya dengan frekuensi 4 kali sebulan. Dengan jadwal, hari
Sabtu aktivitas jalan santai dan hari Minggu

K. Pelaksanaan Terapi
Terapi dilaksanakan di rumah Ny. SW. Sebelum terapi, kami mengetes endurance
pasien menggunakan instrumen
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit jantung koroner adalah suatu keadaan dimana terjadi penyempitan,


penyumbatan, atau kelainan pembuluh darah koroner, penyempitan atau penyumbatan
ini dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa
nyeri.

Pada tugas ini pasien berinisial Ibu SW dengan diagnosis medis pasien adalah
Coronary Artery Disease (CAD), diagnosis topisnya adalah Artery Coronaria, dan
diagnosis Kausatifnya adalah Colestrol dan Hypertensi. Tujuan terapi pasien mampu
melakukan aktivitas menyapu seluruh lantai rumah berukuran 20 x 20 m2 selama 45
menit (2 kali istirahat) secara mandiridalam 12 kali sesi terapi.

Terapi dilaksanakan dalam waktu 4 minggu dengan jadwal 3 kali dalam


seminggu dilakukan selama 60 menit dalam 1 kali pertemuan dirumah pasien yang
beralamat di jalan Blulukan II RT 3 RW 6 Colomadu Karanganyar. Terapi dilakukan
dengan menggunakan media sapu, serokan, laptop, tensimeter. Program terapi belum
mencapai keberhasilan yang optimal dikarenakan waktu yang terbatas dan beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi oleh karena itu kami hanya bisa
melakukan terapi sebanyak 6 kali pertemuan. Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh
faktor penggunaan kerangka acuan dan strategi yang sesuai, pemeriksaan atau
assesment yang digunakan serta sikap kooperatif pasien.

B. Saran

1. Pasien
Pasien disarankan agar mau melakukan aktifitas olahraga secara rutin
minimal 2 kali dalam seminggu, pasien disarankan agar lebih mengkrontrol makanan
dan minuman yang di konsumsi supaya tidak terjadi kontraindikasi yang dapat
membahayakan pasien, dan disarankan untuk menjalankan terapi secara ruin supaya
bisa meningkatkan endurance dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari.

2. Keluarga
Keluarga diharapkan agar selalu memberikan dukungan kepada pasien
dalam melakukan aktifitas terapi dirumah, serta meningkatkan kemandirian pasien
dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

3. Okupasi Terapis
Terapis memberikan treatment yang sesuai dengan permasalahan dan
kesulitan yang dialami oleh pasien. Karena kebutuhan dan permasalahan pasien
satu dengan yang lain dapat berbeda sehingga diperlukan kecermatan dalam
melakukan pemeriksaan, dari anamnesis hingga evaluasi. Program terapi yang
dilakukan akan lebih efektif dan efisien jika terdapat kerjasama yang baik antara
pasien dan terapis.
DAFTAR PUSTAKA

Petrosky, J. S. (2005). Combined Diet and Low Impact Aerobic Exercise Programs Impact on
Weight, Girth and Muscular Strenght. The journal of applied research,journals of the
American Medical Association. Vol. 5(1):34-41.

Pollock, (1987). Training for endurance.Sport Med Sci Sport-Exercise.320-325.

Roma, M. F.,Busse,A. L.,Betoni, R. A., Melo, A.c.,Kong, J…..,Jacob,F. W.(2013). Effects of


resistence training and aerobic in elderly people concering physical fitness and ability : a
prospective clinical trial. Einstein (Sao Paulo) Vol.11: 153-7.

Seals, D. R.,Hagberg, J. M., Hurley, B. F., Ehsani, A.A., Holloszy, J. O. (1984).Endurance


training in older men and mowen : Cardiovascular responses to exercise. Journal Appl
Physical.57: 1024-1031.

Semantik, P. a. Chang, R. w., Dunlop, D.D (2012). Aerobicactivity in prevention and


symptom control of osteoarthritis. PMR.Vol 4, S37- S44.

Sukadarwanto. (2010). Pengaruh Aktivitas Fisik terhadap Daya Tahan Jantung Paru,
Fleksibilitas Punggung, Keseimbangan dan Kualitas Hidup Anggota Paguyuban Ngundi
Waras, Tohudan Kulon.

Jorsi, A. C., Compbell, W. W., Joseph,.L.., Davey, S.L., Evans, J. W (1999).Changes in


Power with Resistence Training in Older and Younger Men and Women. Journals of
gerontology. Medical Science. Vol 54A (11): M591-M596.

Karavirta, L., Costa,M. D.,Coldberger, A. L.,Tulppo, M.P., Lakksonen, D. E.,Hakkinen, K.


(2013). Heart Rate Dynamics after Combined Strenght and Endurance Training in Middle
Aged Women : Heterogeneity of Responses. PLOS One. Vol.8 : 8.

Kohrt, R.,Pantelic , S., Uzunovic, S., Djuraskovic, R.(2011). A Comparative Analysis of The
Indication of The Functional Fitness of The Elderly. FactaUnivSerPhys Edu Sport.Vol 9
(2):161-171.
LAMPIRAN BLANKO PEMERIKSAAN
LAMPIRAN FOTO

Anda mungkin juga menyukai