Anda di halaman 1dari 22

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah salah satu penyakit kardiovaskular yang

paling umum dan mematikan di dunia saat ini. PJK terjadi ketika pembuluh darah yang

memasok jantung dengan oksigen dan nutrisi, dikenal sebagai arteri koroner, menjadi

penyumbat atau terhambat oleh penumpukan plak aterosklerotik. Gejala PJK dapat

bervariasi, tetapi sering kali melibatkan nyeri dada atau angina, dan dalam kasus yang

lebih serius, dapat menyebabkan serangan jantung fatal. Penyakit ini merupakan

penyebab utama morbiditas dan kematian di negara industri yang mengakibatkan lebih-

kurang 30% kematian di Amerika Serikat (Robbins, 2009), tahun 2008 diperkirakan

17,3 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular, mewakili 30% dari semua

kematian, dan dari kematian ini 7,3 juta karena penyakit jantung koroner (WHO, 2013).

Hasil Riset Kesehatan Dasar didapatkan prevalensi jantung koroner berdasarkan

wawancara yang terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan

terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan

diagnosis dokter tertinggi Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta,

Aceh masing-masing 0,7% kemudian diikuti sumatra barat, bangka belitung, DIY,

sulawesi selatan sebanyak 0,6%. Sedangkan untuk wilayah jawa timur sebanyak 0,5%

(Kemenkes, 2013).

2
Ada banyak faktor resiko yang bisa menyebabkan penyakit jantung koroner,

resiko yang sangat berpengaruh adalah resiko akibat dari perilaku gaya hidup,

khususnya pola makan yang tidak sehat. Belakangan ini banyak orang yang

mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak dan malas untuk berolahraga,

akibatnya kadar lemak dalam darah meningkat atau sering disebut hiperkolesterolemia

(Febry, 2010). Pevalensi angka kejadian hiperkolestrolemia di tahun 2003- 2004 adalah

15,5% dan tahun 2008 - 2009 adalah 19,4% (Roth dalam Firdiansyah, 2014). Suatu

survei kesehatan dan kesejahteraan Indonesia menyatakan bahwa masyarakat Indonesia

ternyata paling takut bila kadar kolestrolnya tinggi. Sebanyak 23% masyarakat

menyatakan bahwa kolestrol tinggi menjadi tantangan kesehatan terbesar yang akan

dihadapi dalam lima tahun yang akan datang. Lemak yang ada dalam tubuh terdiri dari

empat fraksi (unsur) yaitu; koleterol total, trigliserida, LDL dan HDL. Dari empat fraksi

lemak tersebut kadar LDL dan HDL yang lebih berperan menjadi faktor resiko Penyakit

Jantung Koroner (Kurniadi, 2015). Dalam sebuah penelitian didapatkan hasil bahwa

LDL dan kolesterol tinggi adalah dua komponen lemak dengan proporsi tinggi pada

perempuan, masing-masing 41,1% dan 35,7%, sedangkan pada laki-laki kolesterol

tinggi dan HDL rendah merupakan resiko utama pada komponen lemak darah masing-

masing 61,4% dan 56,8%. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa, kedua

kelompok sama-sama beresiko tinggi (Rosjidi, 2014).

LDL atau yang sering disebut sebagai lemak jahat mengangkut lemak paling

banyak didalam darah. Tingginya kadar LDL menyebabkan pengendapan lemak dalam

arteri. Sementara HDL mengangkut lemak lebih sedikit dari LDL dan sering disebut

3
lemak baik karena dapat membuang kelebihan lemak jahat di pembuluh darah arteri

kembali kehati, untuk diproses dan dibuang (Kurniadi, 2015). Rasio lemak LDL

terhadap HDL yang menjadi faktor resiko jantung koroner apabila rasionya > 3

(Ramayulis, 2016). Rasio lemak ini sangatlah penting untuk menganalisis kemungkinan

terjadinya penyakit jantung. Semakin tinggi rasionya maka akan beresiko mengalami

penyakit jantung (Larry, 2012). Ketika kadar LDL dalam aliran darah meningkat,

beberapa diantaranya akan menuju ke arteri koroner dan akan menyebabkan dinding

arteri koroner melemah. Setelah itu akan terjadi peradangan pada dinding arteri koroner.

Dalam upaya menghambat peradangan ini, tubuh memberi sinyal kepada sel-sel otot

polos untuk memperbanyak diri dan membuat lebih banyak materi berserat untuk

menahan prosesnya. Pada akhirnya suatu tutup terbentuk diatas peradangan tadi yang

sering disebut dengan plak. Plak tersebut akan mempersempit arteri dan akan

mengurangi aliran darah, hal ini dapat membebani jantung. Walaupun demikian, hal

tersebut tidak selalu menyebakan serangan jantung. Serangan jantung (penyakit jantung

koroner) baru akan terjadi ketika plak itu pecah dan terjadi sumbatan pada arteri koroner

(Kurniadi, 2015).

Apabila seseorang menderita penyakit jantung koroner pasti akan merasakan

gejala dari penyakitnya. Gejala yang dirasakan bisa memberikan efek atau dampak bagi

pasien. Dampak psikologis yang dialami pada pasien dengan jantung koroner

kemungkinan akan mengakibatkan suatu kecemasan yang mendalam sampai terjadi

depresi. Sedangkan dampak sosial yang dialami yaitu pasien penyakit jantung koroner

sering dianggap lemah oleh orang sekitarnya. Hal ini terjadi karena pasien tidak

4
diperbolehkan untuk beraktivitas yang berat. Selain dampak dari penyakit jantung

koroner tersebut apabila penyakit jantung koroner tidak segera ditangani atau

penanganannya yang tidak tepat, maka akan terjadi beberapa komplikasi diantaranya

yaitu; disfungsi ventricular, aritmia pasca stemi, gangguan hemodinamik, ekstrasistol

ventrikel sindroma koroner akut elevasi st tanpa elevasi st infark miokard angina tak

stabil takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel, syok kardiogenik, gagal jantung

kongestif, perikarditis, dan yang terakhir kematian mendadak (Karikaturijo, 2010).

Sebaiknya sebelum terjadi penyakit jantung koroner perlu dilakukan pencegahan

yaitu dengan menerapkan pola hidup sehat, berhenti merokok, membatasi konsumsi

alkohol, kurangi berat badan apabila berat badan berlebih (obesitas), menjaga pola

makan yang benar, kontrol atau kendalikan tekanan darah tinggi, mengendalikan kadar

lemak yang tinggi dengan menjaga pola makan (mengurangi makanan yang

mengandung lemak) dan rajin berolah raga (Utaminingsih, 2015). Agar kadar koleterol

kembali dalam batas yang normal, volume total aktivitas fisik dan olahraga terencana

yang diperlukan setiap minggunya, yaitu 1.200-1.500 kkal energi atau 250 kkal per hari

kira-kira 30-45 menit aktivitas fisik dan olahraga terencana (Larry, 2012). Apabila

penyakit Jantung Koroner sudah terjadi maka bisa dilakukan penatalaksanaan dengan

medikamentosa dan revaskularisasi seperti pemakaian trombolitik, prosedur invasive,

operasi (Wijaya, 2013).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Jantung Koroner

a. Definisi

Serangan jantung adalah suatu keadaan dimana secara tiba-tiba terjadi pembatasan

atau pemutusan aliran darah ke jantung, yang menybabkan otot jantung (miokardium)

mati karena kekurangan oksigen. Serangan jantung biasanya terjadi jika suatu sumbatan

pada arteri koroner menyebabkan terbatasnya atau terputusnya aliran darah ke suatu

bagian dari jantung (Utaminingsih, 2015).

Penyakit jantung koroner adalah perubahan variabel intima arteri yang merupakan

pokok lemak (lipid), pokok komplek karbohidrat darah dan hasil produk darah, jaringan

fibrus dan defosit kalsium yang kemudian diikuti dengan perubahan lapisan media

(Wijaya, 2013).

Penyakit jantung koroner adalah penyakit dimana pembuluh darah yang menyuplai

makanan dan oksigen untuk otot jantung mengalami sumbatan. Sumbatan paling sering

terjadi diakibatkan karena adanya penumpukan kolesterol di dinding pembuluh darah

koroner (Kurniadi, 2015).

6
b. Epidemiologi

Penyakit jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan kematian di negara

industri dan mengakibatkan lebih-kurang 30% kematian di Amerika Serikat (Robbins,

2009). Diperkirakan 20.000 - 40.000 orang dari 1 juta penduduk Eropa menderita

penyakit jantung koroner (Wahyuni, 2017). Tahun 2008 diperkirakan 17,3 juta orang

meninggal akibat penyakit kardiovaskular, mewakili 30% dari semua kematian, dan dari

kematian ini 7,3 juta karena penyakit jantung koroner (WHO, 2013). Hasil Riset

Kesehatan Dasar didapatkan prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara

terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan terdiagnosis dokter

atau gejala sebesar 1,5 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis

dokter tertinggi Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh

masing-masing 0,7% kemudian diikuti sumatra barat, bangka belitung, DIY, sulawesi

selatan sebanyak 0,6%. Sedangkan untuk wilayah jawa timur sebanyak 0,5%

(Kemenkes, 2013). Dari data yang diperoleh dari dinkes kabupaten Ponorogo pada

tahun 2015 terdapat 3220 pasien yang menderita penyakit jantung koroner dan di tahun

2016 menjadi 3165.

7
c. Klasifikasi

Penyakit jantung koroner diklasifikasikan menjadi 2 (Kurniadi, 2015), yaitu:

1. Chronic stable angina (angina pektoris stabil)

Chronic stable angina terjadi ketika cadangan aliran dari arteri koroner

dibatasi oleh stenosis struktural yang signifikan akibat terjadianya

aterosklerosis. Stenosis biasanya terbentuk pada regio epikardial arteri dan

akan menyebabkan obstruksi menetap dan tidak dapat berdilatasi. Pada

keadaan ini biasanya akan mereda dalam 5-10 menit setelah istirahat atau

dengan pemberian nitrogliserin, yang berfungsi menurunkan kebutuhan

oksigen jantung (Aaronson, 2010).

Stable angina ditandai dengan nyeri dada rasa tidak enak pada rahang,

bahu, punggung, lengan saat beraktivitas fisik atau stress emosi akibat

kurangnya aliran darah ke jantung. Pada kasus ini tidak disertai dengan

krusakan sel-sel jantung. Gambaran EKG chronic stable angina tidak khas,

tetapi ada kelainan (Kurniadi, 2015).

2. Acute coronary syndrome

Acute coronary syndrome merupakan kondisi yang sangat berbahaya

karena penurunan aliran darah melalui pembuluh koroner terjadi secara

mendadak (Aaronson, 2010). Kondisi ini dibagi menjadi:

a. Unstable angina

Nyeri timbul saat beristirahat dan semakin hari nyeri lebih sering

muncul dan nyeri dirasakan lebih berat dari yang sebelumnya

8
(Kurniadi, 2015). Pada gambaran EKG tidak terdapat segmen ST

elevasi dan juga tidak terjadi peningkatan penanda nekrosi miokard.

Pada kasus ini obstruksi koroner luas dan durasinya terbatas (<20

menit) dan cukup menyebabkan iskemia namun nekrosis tidak

terdeteksi (Aaronson, 2010).

b. Acute non ST elevasi myocardial infraction

Terdapat kerusakan pada sel otot jantung ditandai dengan adanya

enzim yang keluar dari sel otot jantung seperti CK,CKMB, Trop T,

dan lain-lain (Kurniadi, 2015). Pada gambaran EKG tidak terdapat

segmen ST elevasi, namun ditemukan peningkatan kadar penanda

troponin (Aaronson, 2010).

c. Acute ST elevasi myocardial infraction

Kondisi ini terjadi karena trombus menyumbat arteri koroner

secara komplet dalam waktu yang signifikan, dan gejalanya lebih

berat dari unstable angina. Acute ST elevasi myocardial infraction

ditandai dengan adanya peningkatan kadar penanda troponin. Pada

gambaran EKG terdapat segmen ST elevasi yang menetap, hal ini

menunjukkan bahwa area miokard, dan dinding ventrikel telah

mengalami nekrosis (Aarenson, 2010).

9
d. Etiologi

Obstruksi aterosklerotik pembuluh epikardium (lapisan bagian dalam jantung)

merupakan penyebab tersering penyakit arteri koroner. Spasme arteri coronaria

akibat berbagai mediator seperti serotinin dan histamin sering terjadi pada orang

jepang. Meskipun jarang kelainan kongenital dapat menyebabkan penyakit arteri

koroner (Mcphee, 2010).

Ada beberapa faktor resiko yang bisa menyebabkan penyakit jantung koroner.

Semakin banyak faktor resiko yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin besar

kemungkinan berkembangnya penyakit jantung koroner pada orang tersebut. Jika

seseorang memiliki tiga faktor resiko, kemungkinan mengalami penyakit jantung

koroner enam kali lebih besar dari mereka yang hanya memiliki satu macam faktor

resiko (Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI, 2010). Faktor resiko penyakit

jantung koroner terbagi dalam faktor yang dapat dicegah, faktor yang tidak dapat

dicegah dan faktor tamabahan yang mempengaruhi jantung (Kurniadi, 2015):

1. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner yang Dapat Dicegah:

a. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor resiko penyakit jantung

koroner. Merokok dianggap sebagai salah satu penyebab utama yang

bisa memperbesar resiko seseorang terkena penyakit jantung koroner

karena, menyebabkan penurunan kadar HDL, meningkatkan

koagulabilitas darah, dan merusak endotel. Merokok dapat

menyebabakan terjadinya stimulasi jantung akibat induksi nikotin,

10
serta terjadi penurunan kapasitas darah pengangkut oksigen akibat

mediasi karbon monoksida (Aaronson, 2010). Selain itu, perokok

mempunyai resiko 10 tahun lebih cepat mengalami penyakit jantung

dibandingkan orang yang tidak merokok (Kurniadi, 2015).

b. Hipertensi

Hipertensi merupakan keadaan ketika tekanan darah diatas

140/90 mmHg, dan terjadi pada lebih-kurang 25% populais dunia

(Aaronson, 2010). Orang yang mempunyai darah tinggi beresiko

mengalami penyakit jantung. Hal ini dikarenakan tekanan darah

tinggi membuat jantung bekerja dengan berat sehingga lama

kelamaan jantung akan kelelahan. Bahkan jika ada sumbatan di

pembuluh darah yang lain, tekanan darah tinggi akan berakibat pada

pecahnya pembuluh darah (Kurniadi, 2015).

c. Kolesterol

Kolesterol yang tinggi merupakan faktor resiko terjadinya

penyakit jantung koroner. Untuk itu, setiap orang harus menjaga agar

kadar kolesterolnya tetap normal sehingga resiko penyakit jantungnya

tetap rendah. Seperti halnya tekanan darah, kolesterol sekarang sudah

menjadi kewaspadaan masyarakat umum (Kurniadi, 2015). Kadar

kolesterol lebih dari 300 mg/dl mempunyai resiko 4 kali lebih besar

dari kadar kolesterol dibawah 200 mg/dl (Baradero, 2008).

11
d. Kelebihan Berat Badan (obesitas)

Obesitas yang didefinisiskan dengan indeks massa tubuh (IMT)

30 Kg (Lemone, 2016), merupakan potensi untuk gangguan

kesehatan. Berdasarkan penelitian, orang dengan kelebihan berat

badan beresiko mengalami seranga jantung (Kurniadi, 2015), karena

kelebihan berat badan cenderung mengalami diabetes melitus,

hipertensi, dan hiperkolesterol yang bisa meningkatkan resiko

penyakit jantung koroner (Baradero, 2008).

e. Kurang Olahraga

Apabila tubuh kurang berolahraga kadar HDL plasma akan

menurun, tekanan darah meningkat (hipertensi) dan terjadi resistensi

insulin, hal ini bisa menjadi faktor resiko penyakit jantung koroner.

Sebuah penelitian menunjukkan tingkat kebugaran yang sedang

hingga tinggi bisa menurunkan kematian akibat penyakit jantung

koroner hingga setangah kalinya (Aaronson, 2010), karena ketika

berolahraga lemak-lemak yang berlebihan dalam tubuh akan terbakar.

Bila lemak tersebut dibakar, maka pembuluh darah akan terbebas dari

lemak jahat sehingga keelastisannya menjadi terjaga. Pembuluh darah

yang sehat (terbebas dari lemak) akan membuat jantung menjadi

sehat (Kurniadi, 2015).

12
f. Diabetes

Penyakit diabetes merupakan penyakit yang berpotensi menjadi

penyakit jangka panjang yang bisa memunculkan komplikasi. Salah

satu komplikasi penyakit diabetes adalah penyakit jantung (Kurniadi,

2015). Sekitar 75% pasien dengan diabetes akhirnya meninggal

karena penyakit jantung koroner. Pada pasien diabetes mengalami

kerusakan endotel dan peningkatan kadar LDL teroksidasi akibat dari

mekanisme hiperglikemi pada pasien (Aaronson, 2010).

2. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner yang Tidak Dapat Dicegah

a. Penuaan

Penuaan merupakan faktor resiko yang tidak dapat dihindari.

Penuaan berkaitan dengan penambahan waktu yang diguanakan

untuk proses pengendapan lemak pada dinding pembuluh nadi. Jadi

semakin tua seseorang semakin beresiko terkena penyakit jantung

(Kurniadi, 2015).

b. Menopause

Penurunan kadar estrogen didalam darah pada wanita usia

menopause menambah resiko penyakit jantung koroner (Kurniadi,

2015). Selain itu pada wanita yang mengalami menopause terjadi

peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar HDL (Lemone, 2016).

13
c. Riwayat Keluarga

Jika dalam kelurga ada yang mempunyai penyakit jantung, maka

anggota keluarga lain juga mempunyai resiko untuk mempunyai

penyakit yang sama (Kurniadi, 2015). Hal ini terjadi karena gaya

hidup dan kebiasaan di dalam keluarga biasanya memiliki kemiripan.

Sehingga apabila ada anggota keluarga memiliki gaya hidup bisa

yang bisa menyebabkan beresiko penyakit jantung koroner, maka

anggota kelurga lain juga akan memiliki gaya hidup yang sama

(Pudiastuti, 2013).

3. Faktor Tambahan yang Mempengaruhi Jantung

a. Stress

Tuntutan hidup yang meningkat di era modernisasi ini seringkali

menyebabkan stress (Kurniadi, 2015). Stress dan kecemasan bisa

mengganggu fungsi biologis tubuh. Saat stress terjadi peningkatan

tekanan darah yang disertai dengan peningkatan kadar kolesterol.

Strees yang dialami bisa menjadi salah satu faktor yang bisa

menyebabkan penyakit jantung koroner (Pudiastuti, 2013).

b. Alkohol

Mengkonsumsi alkohol mempunyai efek bagi kesehatan yang

sangat berbahaya. Efek yang ditimbulakn mulai dari yang ringan

seperti mabuk, sakit perut, pusing hingga yang berbahaya seperti

kerusakan jantung, hati, pankreas hingga otak. Alkohol yang

14
dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang dapat merusak otot-

otot jantung (Kurniadi, 2015).

c. KB Hormonal

Pada sebuah penelitian menunjukkan penggunaan KB hormonal

dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping diantaranya

yaitu meningkatkan berat badan, timbunan kolesterol, hipertensi dan

diabetes. Pada jantung dan pembuluh darah, KB hormonal dapat

meningkatkan kejadian sumbatan pada pembuluh darah (Kurniadi,

2015).

e. Patofisiologi

Patofisologi penyakit jantung koroner meliputi berbagai kondisi patologi yang

menghambat aliran darah dalam arteri yang mensuplai jantung. Atherosklerosis

ditandai dengan akumulasi bahan lemak (lipid) dan jaringan fibrosa pada dinding

arteri, karena atherosklerosis bertambah dan lumen dari pembuluh darah menjadi

sempit dan aliran darah terhambat ke daerah miokardium yang disuplai oleh arteri.

Akibat atherosklerosis bentuk dinding arteri juga kehilangan elastisitas dan menjadi

kurang respontif terhaap perubahan volume dan tekanan (Wijaya, 2013).

15
f. Manifestasi Klinis

Gejala penyakit jantung koroner terjadi sesuai dengan lokasi dan derajat

penyempitan lumen arteri, pementukan trombus dan obstruksi aliran darah ke

miokardium. Manifestasinya mencakup (Brunner, 2017):

1. Iskemik,

2. Nyeri dada: angina pektoris,

3. Gejala atipikal berupa iskemia miokardium (sesak napas, mual, dan lemah),

4. Infark miokardium,

5. Disritmia, kematian mendadak

g. Pemeriksaan Diagnostik

Untuk mendiagnosis penyakit jantung koroner pertama yang dilakukan yaitu

tanya jawab atau anamnesa untuk mengetahui keluhan dan riwayat yang pernah

diderita sebelumnya, termasuk keluhan utama, keluhan tambahan, riwayat penyakit

keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan juga riwayat sosio-ekonomi. Sedangkan

untuk mengetahui gambaran umum keadaan fisik pasien dilakukan pemeriksaan

fisik meliputi pengamatan umum, palpasi (perabaan bagian atas jantung), perkusi

jantung (ketuk pada batas jantung untuk menentukan gambaran besar jantung), dan

auskultasi (mendengarkan bunyi jantung menggunakan stetoskop). Tes tambahan

juga dilakukan seperti pemeriksaan tekanan darah dan tekanan vena. Selain itu juga

16
perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk medeteksi penyakit jantung koroner

(Pudiastuti, 2013):

1. Ekokardiografi

Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit karena menggunakan

pemantulan gelombang suara (ultrasound) dari bagian jantung. Dari

pemeriksaan ini bisa diketahui gambaran fungsi pompa jantung dan

kontraksi yang terganggu apabila suplai darah terganggu akibat adanya

sumbatan.

2. Elektrokardiografi (EKG)

Pada pemeriksaan EKG akan diketahui gamabaran listrik yang

ditimbulkan oleh jantung saat jantung berkontraksi. Dengan pemerikaan ini

akan didapatkan gambaran seperti denyut, ritme, dan apakah otot jantung

berkontraksi dengan normal.

3. Radioaktif isotop

Dalam pemeriksaan ini menggunakan zat kimia atau isotop yang

disuntikkan pada pasien, kemudian zat tersebut akan dideteksi menggunakan

kamera khusus. Zat yang biasanya digunakan adalah thallium dan

technetium. Pada otot jantung yang mengalami infark, zat radioaktif lebih

sedikit dibandingkan pada bagian otot jantung yang normal.

4. Angiografi

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi langsung kelainan jantung pada

pembuluh arteri jantung, seperti gambaran radiologis, yaitu dengan

17
menggunakan alat angiogram. Penggunaan angigram ini yaitu dengan cara

memasukkan kateter ke dalam pembuluh arteri atau vena kemudian didorong

sampai ke berabagai tempat pada jantung. Tes ini termasuk dalam tindakan

infasif (pembedahan). Hasil pemeriksaan ini akan terlihat gambaran arteri

jantung yang mengalirkan darah ke jantung.

h. Prognosis

Perubahan gaya hidup dan medikasi secara signifikan dapat mepengaruhi resiko

individual. Perubahan diet, aktivitas dan medikasi dapat membantu mengubah

proses penyakit. Apabila tidak menghentikan kebisaan buruk maka keparahan

penyakitnya akan bertambah (Digiulio, 2014).

i. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada penyakit jantung koroner (Wijaya, 2013):

1. Gagal jantung kongestif

2. Syok kardiogenik

3. Disfungsi otot papilaris

4. Defek septum ventrikel

5. Ruptur jantung

6. Anuerisma ventrikel

7. Tromboembolisme

8. Perikarditik

9. Sindrom dressler

10. Aritmia

18
j. Pencegahan

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan penyakit jantung koroner

belum tentu sesuai harapan. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha pencegahan agar

tidak terjadi penyakit jantung koroner. Pencegahan penyakit jantung koroner bisa

dilakukan dengan pencegahan primer dan sekunder. Yang dimaksud dengan

pencegan primer adalah usaha untuk menjaga agar tidak terjadi penyakit jantung

koroner dan usaha ini bisa dilakukan sejak dini (saat masih remaja). Sedangkan

pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan agar tidak terjadi serangan

jantung dan komplikasi bagi pasien yang sudah terdiagnosis penyakit jantung

koroner. Pencegahan juga bisa dilakukan dengan mencegah faktor resiko yang bisa

menyebabkan penyakit jantung koroner seperti strees, hiperternsi dan diabetes

(Kabo, 2008).

19
B. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori

Makan berlebih
Kegemukan
Kurang olahraga

Diabetes

Aterosklerosis
Merokok
Asupan tinggi garam Tekanan
Asupan tinggi lemak Darah
Tinggi
Penuaan

Asupan tinggi
kolesterol

Asupan tinggi lemak


jenuh
KB Hormonal
Menopause Kolesterol darah
Stress tinggi

Alkohol Penyakit jantung


Riwayat Keluarga koroner

Sumber : Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI (2010)

Pada gambar 2.1 dapat dijelaskan bahwa ada beberapa faktor resiko yang bisa

menyebebkan penyakit jantung koroner diantaranya: makan berlebih, kurang olahraga,

20
diabetes, merokok, konsumsi alkohol, riwayat keluarga dan asupan tinggi garam, lemak,

kolesterol, lemak jenuh.

Apabila tubuh kurang olahraga dan makan berlebih maka akan menyebabkan

kegemukan yang kemudian terjadi aterosklerosis sehingga beresiko terjadi penyakit

jantung koroner. Ada beberapa faktor lain yang bisa menyebabkan aterosklerosis yaitu

diabetes dan merokok. Hipertensi juga merupakan faktor resiko yang menyebabkan

penyakit jantung koroner. Yang menjadi faktor penyebab tekanan darah menjadi tinggi

bisa disebabkan karena kebiasaan merokok, asupan tinggi garam, penuaan dan lemak.

Dan yang terakhir yang bisa menjadi faktor resiko penyakit jantung koroner adalah

kolesterol darah yang tinggi. Faktor-faktor yang bisa menyebabkan tingginya kadar

kolesterol darah adalah asupan tinggi lemak, kolesterol, menaupause, stress, KB

hormonal dan lemak jenuh.

21
BAB III

KESIMPULAN

C. Kesimpulan

1. Berdasarkan umur dari pasien, penyakit jantung koroner banyak ditemukan

pada kelompok usia lansia (56- 65 tahun) yakni 13 pasien (36,1 %).

2. Berdasarkan jenis kelamin pasien yang menderita penyakit jantung koroner

didapatkan pasien sebanyak perempuan 20 orang (55,5 %) dan pasien laki-

laki sebanyak 16 orang (44,5 %).

3. Penyakit penyerta yang ditemukan pada pasien penyakit jantung koroner

yaitu Congestive Heart Failure (22,22%), Hipertensi (11,11%), Diabetes

mellitus (2,78%), Dislipidemia (2,78%), Ulkus peptikum (2,78 %) dan

dispepsia (2,78 %).

4. Kejadian Drug Related Problems yang ditemukan pada pasien penyakit

jantung koroner di Poliklinik Jantung RSUD dr. Rasidin tahun 2017 yang

terjadi yaitu ketidaktepatan pemilihan obat (57,92%) dan ketidaktepatan

dosis obat (42,08%).

5. Kejadian DRPs dan outcome klinis pasien PJK didapatkan bahwa pasien

yang mengalami DRPs memiliki peluang untuk tercapainya kontrol tekanan

darah 0,84 kali dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami DRPs.

22
23

Anda mungkin juga menyukai