Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penyakit Jantung Koroner
1. Definisi dan Tanda Gejala Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan keadaaan arteri koroner
yang menyempit dan tersumbat, sehingga menyebabkan aliran darah ke
area jantung yang disuplai arteri tersebut berkurang (Black & Hawks, 2014).
Hal ini disebabkan oleh proses ateroskerosis atau spasme atau kombinasi
keduanya, arteri koronaria merupakan lokasi plak tersering kedua setelah
aorta abdominalis (Dan et al, 2012). Penyebab paling utama PJK adalah
dislipidemia. Dislipidemia merupakan faktor resiko yang utama penyakit
jantung. Perubahan gaya hidup masyarakat erat hubungannya dengan
peningkatan kadar lipid (Irmalita, 2015).

Gambar 1. Gambaran dari arteri koroner jantung dengan


penumpukan plak dan bekuan darah (Sumber: Erasta (2012))
Penyakit jantung koroner ditandai dengan angina pectoris, sindrom
koroner akut, dan atau infark miokardium (Lemone, Burke, Bauldoff, 2015).
Gejala awal dari adanya PJK ialah nyeri di bagian dada sebelah kiri yang
dapat menjalar ke lengan kiri atau ke leher atau ke punggung. Nyeri dada ini
bersifat subjektif, ada yang merasa seperti ditekan benda berat, panas seperti
terbakar, sakit seperti tertusuk jarum, rasa tidak enak di dada dan ada yang
mengatakan seperti masuk angin. Lokasinya bisa juga terjadi di pertengahan
dada, di leher saja, punggung, dada kanan, dan bisa juga di ulu hati seperti
sakit maag (Irmalita, 2015).

2. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner


Awal perjalanan penyakit jantung koroner walaupun tampak
mendadak, sebenarnya melalui proses yang telah lama (kronik). Terjadinya
penyakit jantung koroner berkaitan erat dengan adanya gangguan yang
mengenai pembuluh darah yang disebut aterosklerosis. Aterosklerosis bisa
terjadi di pembuluh arteri lainnya, tidak hanya pada arteri koroner, namun
pada pasien PJK arteri yang mengalami gangguan adalah arteri koroner,
yang bertugas untuk mensuplai darah ke jantung (Herman, dkk, 2015).
Dalam perjalanannya, kejadian aterosklerosis tidak hanya
disebabkan oleh faktor tunggal, akan tetapi juga disertai dengan banyak
faktor lain, seperti hipertensi, kadar lipid, rokok, kadar gula darah yang
abnormal, umur semakin tua, dan wanita sesudah menopause (Naga, 2013).
Perkembangan penyakit jantung koroner (PJK) dimulai dari
penyumbatan pembuluh jantung oleh plak pada pembuluh darah.
Penyumbatan pembuluh darah pada awalnya disebabkan peningkatan kadar
lemak (lipid) darah berlebihan dan menumpuk pada dinding arteri sehingga
aliran darah terganggu dan juga dapat merusak pembuluh darah. Kondisi
ini dapat menyebabkan dinding arteri kehilangan elastisitasnya dan menjadi
kurang responsif terhadap tekanan dan volume (Wijaya & Putri, 2013)
Biasanya penyakit jantung koroner juga merupakan kondisi
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan miokard. Pasokan oksigen
miokard dapat menurun atau suplai oksigen miokard dapat melebihi batas
cadangan perfusi koroner, dan aliran darah harus ditingkatkan untuk
memenuhi peningkatan suplai oksigen miokard. Jika akar atau cabang
utama arteri koroner tersumbat hingga 70% atau lebih, kerusakan suplai
darah arteri koroner dianggap berbahaya. Mempersempit <50% mungkin
tidak menunjukkan gangguan yang jelas. Kondisi ini tergantung pada
tingkat keparahan arteriosklerosis dan tingkat masalah jantung. Pasokan
darah yang tidak mencukupi juga disebut iskemia (Wihastuti et al., 2016).

3. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner


Dalam "The Atlas of Heart Disease And Stroke" Organisasi
Kesehatan Dunia, lebih dari 300 faktor risiko yang terkait dengan penyakit
jantung koroner dijelaskan. Penentuan faktor risiko didasarkan pada tiga
kriteria utama berikut: faktor dengan kejadian tertinggi pada populasi
terbesar, pengaruh paling nyata sebagai penyebab risiko penyakit jantung
koroner dan stroke, serta tindakan pengobatan dan pengendalian yang dapat
menurunkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke pengaruh. Faktor
risiko penyakit jantung koroner dibedakan menjadi dua jenis, yaitu yang
dapat diubah dan yang tidak dapat diubah (WHO, 2015). Berikut akan
dibahas mengenai faktor risiko aterosklerosis dan hubungannya dengan
penyakit kardiovaskuler yaitu penyakit jantung koroner
Gambar 2. Progresi dari Faktor Risiko menuju Aterosklerosis dan
PenyakitKardiovaskular (Park, 2015).

a. Usia
Menurut Lubna (2014) wanita premenopause (≤ 40 tahun)
memiliki risiko yang jauh lebih rendah dalam mengembangkan PJK
dibandingkan wanita pasca menopause. Skenario serupa pada pria, pria
muda dan normal (≥25 thn) memiliki risiko PJK paling sedikit
dibandingkan dengan pria yang lebih tua. Usia Menengah seperti pria
dan wanita paruh baya (antara 40-65 tahun) menunjukkan risiko yang
lebih besar untuk terjadinya PJK dibandingkan yang lebih muda, tetapi
kurang dari rekan-rekan yang lebih tua, karena insiden yang lebih besar
dari komorbiditas seperti hipertensi dan diabetes. Secara umum risiko
PJK meningkat dua kali lipat setiap 10mm Hg peningkatan tekanan
darah untuk individu antara 40-70 tahun. Usia yang lebih tua, orang tua
(≥65 tahun) biasanya dikaitkan dengan insiden PJK dan HF yang tinggi,
yang mengakibatkan tingkat mortalitas PJK yang tinggi.

b. Dyslipidemia
Menurut Survei Konsumsi Pangan Indonesia (SKMI) (2014)
menunjukkan bahwa proporsi penduduk Indonesia yang mengonsumsi
lebih dari 67 gram lemak setiap hari adalah 26,5%. Lemak yang tidak
normal dalam darah dapat menyebabkan penurunan elastisitas pembuluh
darah. Kolesterol sebenarnya merupakan zat yang dibutuhkan oleh tubuh
manusia, namun jumlahnya tidak banyak (Purba, 2013). Kolesterol
adalah bagian dari lemak darah. Tubuh kita memang membutuhkan
kolesterol untuk membuat berbagai bahan penting, seperti hormon,
membran sel, vitamin D, asam empedu, dll. Kolesterol sendiri
merupakan antioksidan. Namun kadar kolesterol yang tinggi dalam
darah dapat menyebabkan gangguan kesehatan (Carpo, 2014).
Menurut Kabo (2014), kolesterol dalam darah dibawa oleh
protein. Kombinasi kolesterol dan protein disebut lipoprotein. ada dua
jenis utama lipoprotein, yaitu high-density lipoprotein (HDL) dan low-
density lipoprotein (LDL). Lipoprotein densitas tinggi membawa
kolesterol keluar dari sel dan kembali ke hati, di mana kolesterol dipecah
atau dihilangkan dari tubuh sebagai limbah. Oleh karena itu HDL
disebut kolesterol baik. Semakin tinggi level HDL, semakin baik
efeknya. LDL membawa kolesterol ke sel-sel yang dibutuhkannya,
namun jika terlalu banyak kolesterol yang digunakan akan menumpuk di
dinding arteri dan menyebabkan penyakit arteri, sehingga LDL disebut
kolesterol jahat.
Menurut Kabo (2014) kolesterol LDL adalah bahan utama dalam
proses pembentukan plak menunjukkan bahwa kadar kolesterol darah
tinggi secara linier meningkatkan kejadian PJK. Saat ini nilai rujukan
kolesterol total adalah <200 mg/dl, trigliserida 150 mg/dl, sedangkan
kolesterol HDL adalah >40 mg/dl. Dari penelitian dilaporkan bahwa
bukan kolesterol total atau trigliserida tetapi kolesterol LDL yang
teroksidasi lah yang paling berbahaya karena mudah terjebak masuk
kedalam dinding pembuluh darah dan menyebabkan plak atheroma, dan
bilamana plak atheroma mengalami peradangan, maka mudah menjadi
tidak stabil.

c. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit
jantung koroner. Thun et al (2013) menggunakan beberapa studi kohort
dan hasilnya menunjukkan bahwa hubungan antara merokok dan
penyakit kardiovaskular semakin kuat dari waktu ke waktu. Untuk
penyakit jantung koroner, risiko relatif sebelumnya untuk pria
diperkirakan 1,78, tetapi dalam studi kohort baru-baru ini, risiko relatif
untuk wanita adalah 2,50, dan risiko relatif untuk wanita adalah 2,0
sebelumnya dan sekarang 2,86 (Hackshaw, 2018). Ketika seseorang
merokok, zat iritasi dalam asap rokok tidak hanya berdampak langsung
pada paru-paru yang menyebabkan batuk, sesak napas dan kanker paru-
paru, tetapi juga masuk ke aliran darah, yang bermuara pada alasan
berikut: detak jantung lebih cepat, pembuluh darah cepat dan kaku dan
mudah kram, sel darah lebih cenderung menggumpal, dan oksigen
dalam darah berkurang karena tempatnya digantikan oleh karbon
monoksida. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa perokok dua kali
lebih mungkin mengalami serangan jantung dibandingkan non-perokok
(Carpo, 2014). Penelitian yang di lakukan oleh Kasron (2012)
mendapatkan hasil kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner
pada laki-laki perokok 10 kali lebih besar dan perempuan 4,5 kali lebih
besar daripada yang bukan perokok. Efek rokok menyebabkan beban
miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan
menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi karbon monoksida.
d. Hipertensi
Menurut penelitian Andarmoyo (2012) pria dengan riwayat
keluarga yang menderita PJK mempunyai risiko 1,75 kali lebih besar
untuk menderita PJK dan wanita dengan riwayat PJK 1,83 kali lebih
besar untuk menderita PJK. Faktor genitik mempunyai peran bermakna
dalam patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan
penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK.
Penyakit jantung koroner kadang-kadang bisa merupakan manifestasi
kelainan gen tunggal spesifik yang berhubungan dengan mekanisme
terjadinya arterisklerotik (Andarmoyo, 2012 dalam Carolina 2014).
Di Indonesia, angka kejadian hipertensi juga cukup tinggi, hasil
penelitian dari Monitoring Trands and Determinants in Cardiovascular
Disease (MONICA) melaporkan bahwa angka kejadian hipertensi di
Indonesia berkisar 2-18% di berbagai daerah atau setara dengan 25 juta
orang yang menderita hipertensi di Indonesia (Kabo, 2014).
Klasifikasi Tekanan Tekanan
Tekanan Darah Darah
Darah Sistol (mmHg) Diastol
(mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre-Hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi Stage 1 140 – 159 90 – 99
≥ 160 ≥ 100
Hipertensi Stage 2

Tabel 1 (Klasifikasi tekanan darah JNC VII 2014)

e. Jenis Kelamin
Penyakit jantung koroner pada laki-laki dua kali lebih besar
dibandingkan pada perempuan dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun
lebih dini pada laki-laki daripada perempuan. Esterogen endogen
bersifat protektif pada perempuan, namun setelah menopause insidensi
PJK meningkat dengan cepat sebanding dengan insidensi pada laki-laki
(Leatham, 2006 dalam Oktavia 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh ira dwi dkk (2012) PJK pada laki-
laki lebih dari dua kali lipat dari pada perempuan, disebabkan oleh
pengaruh estrogen yang meningkatkan imunitas wanita. Berdasarkan
penelitian Hariadi dan Ali (2008) di dapatkan angka kejadian laki-laki
lebih tinggi di bandingkan perempuan yaitu 64,7% berbanding dengan
35,3%, hal ini berbeda dengan hasil penelitian Siregar dkk (2009) yang
mengatakan bahwa penderita pjk didominasi perempuan, yaitu sebesar
64,3% perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan karakteristik
penderita dan pola hidup.
f. Aktifitas Fisik
Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan
memperbaiki kolateral koroner sehingga dapat dikurangi resiko penyakit
jantung koroner. Olahraga memperbaiki fungsi paru dan pemberian
oksigen ke miokard, menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh
yang berlebihan dengan menurunnya LDL kolesterol, menurunkan
kolesterol, trigliserida dan kadar gula darah, menurunkan tekanan darah,
meningkatkan kesegaran jasmani (Djohan T.B.A, 2004 dalam Milasari
2017). Aktivitas fisik dianjurkam terhadap setiap orang untuk
mempertahankan dan meningkatkan kesegaran tubuh. Aktifitas fisik
berguna untuk melancarkan peredaran darah dan membakar kalori
dalam tubuh.dengan bertambahnya umur, tubuh akan kurang efisien
untuk mengambil oksigen kedalam sistem. Tetapi latihan fisik yang
teratur dapat mengurangi dampak tersebut (Hermansyah, 2007 dalam
Carolina, 2014).
g. Obesitas
Obesitas dapat mempercepat terjadinya penyakit jantung koroner
melalui berbagai cara (Djohan T.B.A 2004 dalam Oktavia, 2017)
1) Obesitas mengakibatkan terjadinya perubahan lipid darah, yaitu
peningkatan kadar kolesterol darah, kadar LDL- kolesterol
meningkat (kolesterol jahat, yaitu zat yang mempercepat
penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah), penurunan
HDL-kolesterol (kolesterol baik, yaitu zat yang mencegah terjadinya
penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah).
2) Obesitas mengakibatkan terjadinya hipertensi (akibat penambahan
volume darah, peningkatan kadar renin, peningkatan kadar
aldosterone dan insulin, meningkatnya tahanan pembuluh darah
sistemik, serta penekanan mekanis oleh lemak pada dinding
pembuluh darah tepi).
3) Obesitas pada masa kanak-kanak biasanya mempunyai efek atau
pengaruh yang lebih buruk terhadap jantung dibanding obesitas yang
didapat setelah usia dewasa. Hal ini disebabkan oleh efek samping
obesitas yang ditentukan oleh berat dan lamanya obesitas. Orang
menjadi gemuk karena menumpuknya zat lemak secara berlebihan
didalm tubuh. Obesitas menurunkan kualitas hidup dan
menyebabkan berbagai penyakit berbahaya. Pada orang gemuk, zat
lemak ditubuh lebih banyak tersimpan dalam jaringa lemak subcuta,
didalam rongga perut, rongga dada, dan disekitar organ-organ
didalam tubuh. Lemak yang membungkus jantung akan menghambat
pergerakan jantung. Lagi pula jantung akan bekerja kerasa karena
jaringan lemak juga perlu suplai darah. Kadar kolestrol biasanya
juga tinggi, karena banyak trigkiserida di dalam jaringan adiposa.
Itulah sebabnya obesitas faktor risiko penyakit jantung koroner
(Sayoga, 2013) .
Di Indonesia IMT di klasifikasi menjadi 3 klasifikasi yaitu :
Kurus dibagi menjadi 2 klasifikasi yaitu kurus berat dengan nilai
IMT <17,0, kurus ringan dengan nilai 17,0 - 18, normal nilai IMT
18,5-25,0 dan gemuk ringan dengan nilai IMT 25,1 - 27,0, gemuk
berat dengan nilai IMT >27,0 (Kemenkes RI 2019).
h. Diabetes
Kencing manis atau gangguan toleransi gula dapat disebabkan
oleh obesitas. Menurut Nicholay Sen and Westlund, obesitas sedang
akan meningkatkan resiko penyakit jantung koroner 10 kali lipat, jika
berat badan lebih besar 45% dari berat badan standar, maka resiko
terjadinya penyakit kencing manis akan meningkat menjadi 30 kali
lipat. Mekanismenya belum jelas tetapi terjadinya peningkatan tipe IV
hiperlipidemia dan hipertrigliserid, pembentukan platelet yang
abnormal dan DM yang disertai obesitas dan hipertensi (Djohan
T.B.A,2004 dalam Milasari, 2017).
i. Stress
Saat ini stress prikososial tampaknya turut berperan. Sudah
diketahui bahwa stress menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi
masih dipertanyakan apakah stress masih bersifat aterogenik atau
hanya mempercepat serangan. Teori bahwa aterogenesis disebabkan
oleh stress dapat merumuskan pengaruh neuroendokrin terhadap
dinamika sirkulasi, lemak serum dan pembekuan darah (Price &
Wilson, 2006). Dengan penuaan, risiko berkembangnya penyakit dan
meninggal akibat penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular
meningkat secara dramatis. Di banyak negara di dunia, proporsi
populasi untuk penyakit kardiovaskular yang lebih tua dari 60 tahun
meningkat lebih cepat daripada kelompok usia lainnya. Rendahnya
aktivitas fisik setidaknya sebagian mendefinisikan kelemahan pada
orang tua, yang dikaitkan dengan hasil kesehatan yang lebih buruk
termasuk kehilangan mobilitas. Jelas, strategi untuk memaksimalkan
kesehatan dan kapasitas fungsional orang dewasa yang lebih tua
diperlukan untuk mengoptimalkan kesehatan dan kualitas hidup serta
menjaga otonomi dan kemandirian (Miranda, 2015).
4. Pencegahan dan Penatalaksanaan
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2019), pencegahan PJK dapat
dilakukan melalui upaya CERDIK meliputi:
C = Cek kesehatan secara rutin
Bagi yang sehat/berisiko direkomendasikan cek kesehatan secara
rutin minimal 1 kali dalam setahun. Sedangkan yang sudah
menderita PJK direkomendasikan cek kesehatan rutin 1 kali dalam
sebulan.
E = Enyahkan asap rokok
Perokok atau bentuk lainnya segera berhenti. Bagi yang bukan
perokok tidak memulai untuk merokok. Segera dilaksanakan
penerpan kawasan tanpa rokok.
R = Rajin aktivitas fisik
Lakukan aktivitas fisik minimal 30 menit/hari selama 5
hari/minggu atau setara dengan 150 menit/minggu. Lakukan
aktivitas fisik di rumah, di perjalanan atau di tempat kerja.
D = Diet yang sehat dengan kalori seimbang
Per hari batasi konsumsi gula (4 sendok makan, garam (1 sendok
teh) dan lemak (5 sendok makan minyak). Konsumsi buah dan
sayur 5 porsi/hari.
I= Istirahat cukup
Lakukan tidur selama 7- 8 jam/hari.
K = Kelola stress
Seimbangkan antara waktu untuk bekerja, istirahat,
olahraga/rekreasi dan sosial. Beribadah sesuai agama/keyakinan.
Bersikap terbuka dan berpikiran positif.
Menurut Majid (2008), pedoman tatalaksana yang ada pada
umumnya merekomendasikan terapi obat sebagai berikut:
1) Aspirin dosis Rendah
Dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih
merupakan obat utama untuk pencegahan thrombosis. Meta-analisis
menunjukkan, bahwa dosis 75-150 mg sama efektivitasnya
dibandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin
disarankan untuk diberikan pada semua pasien PJK kecuali bila
ditemui kontraindikasi. Cardioaspirin juga disarankan diberi jangka
lama namun perlu diperhatikan efek samping iritasi gastrointestinal
dan perdarahan, serta alergi Cardiosapirin memberikan efek samping
yang lebih minimal dibanding aspirin lainnya.
2) Obat Penurun Kolesterol
Pengobatan dengan statin digunakan untuk mengurangi resiko
baik pada prevensi primer maupun prevensi sekunder. Statin selain
sebagai penurun kolestrerol, juga mempunyai mekanisme lain
(pleiotropic effect) yang dapat berperan sebagai anti inflamasi, anti
trombolitik, dll. Pemberian atorvastatin 40 mg 1 minggu sebelum
PCI dapat mengurangi kerusakan miokard akibat tindakan.
3) ACE Inhibitor/ARB
Peranan ACE/I sebagai kardioproteksi untuk prevensi
sekunder pada pasien dengan PJK.
4) Nitrat
Nitrat pada umumnya disarankan, karena nitrat memiliki efek
venodilator sehingga preload miokard dan volume akhir bilik kiri
dapat menurun sehingga dengan demikian konsumsi oksigen
miokard juga akan menurun. Nitrat juga melebarkan pembuluh
darah normal dan yang mengalami aterosklerotik. Menaikkan aliran
darah kolateral, dan menghambat agregasi trombotit. Bila serangan
angina tidak respon dengan nitrat jangka pendek, maka harus
diwaspadai infark miokard. Efek samping obat adalah sakit kepala.
5) Revaskularisasi
Ada dua cara revaskularisasi yang telah tebukti baik pada PJK
stabil yang disebabkan atreosklerotik coroner yaitu tindakan
revaskularisasi pembedahan, bedah pintas coroner (coronary artery
bypass surgery CABG), dan tindakan intervensi perkutan
(percutaneous coronary intervention = PCI).

B. Tingkat Keparahan Lesi Koroner pada PJK


Lesi biasanya diklasifikasikan sebagai endapan lemak, plak fibrosa, dan
lesi komplikata. Endapan lemak adalah awal dari terbentuknya aterosklerosis
yang dicirikan dengan adanya makrofag dan sel-sel otot polos yang
mengandung lemak. Endapan lemak terlihat seperti bercak kekuningan dan
dapat terus berkembang atau berkurang, endapan lemak yang berkembang
akhirnya menjadi plak fibrosa (ateromatosa) atau daerah penebalan tunika
intima yang meninggi dan dapat diraba. Lesi yang semakin matang
menyebabkan terjadinya penyempitan pada arteri dan pembatasan aliran
darah. Lesi lanjut atau komplikata terjadi jika plak fibrosa mengalami
gangguan akibat kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan, thrombosis dan
ulserasi yang dapat menyebabkan infark miokardium (Brown, 2006).
Klasifikasi lesi aterosklerosis menurut American Heart Assosiation
(AHA) (2015) sebagai berikut:
1. Lesi tahap awal
a) Tipe I : Lesi dini juga disebut fatty streaks atau early lessions,
mengandung sel busa makrofag yang terisolasi.
b) Tipe IIa dan Iib (progession pone and progession resistant type II),
terutama dijumpai akumulasi lipid intraseluler.
c) Tipe III : Intermediate lessions atau preateroma, merupakan lesi
tipe II yang disertai akumulasi lipid ekstraseluler.
2. Lesi tahap lanjut (lesi yang merusak tunika intima)
a) Tipe IV : Ateroma (atheromatous plaque, fibrolipid plaque),
merupakan perubahan lesi tipe II disertai terbentuknya inti lipid di
tengahnya.
b) Tipe V
1) Va(fibroateroma) : pembentukan jaringan ikat fibrosa baru
2) Vb: Ditandai dengan terjadinya mineralisasi yang hebat
(kalsifikasi)
3) Vc (lesi fibrotik) : Tunika intima normal digantikan oleh
jaringan ikat fibrous yang menebal, dengan akumulasi lipid
yang minimal.
c) Tipe VI (Complicated lessions) : Lesi tipe IV atau V disertai
perubahan:
1) VIa : Rusaknya permukaan tunika intima (fissura,
ulserasi)
2) VIb : Perdarahan atau hematom
3) Vic : Trombosis
Angiografi koroner adalah prosedur invasif yang digunakan untuk
melihat lumen arteri koroner dan merupakan metode akurat untuk mendiagnosis
penyakit jantung koroner. Prosedur ini merupakan metode standar untuk
memandu prosedur revaskularisasi, seperti percutaneous coronary intervension
(PCI) dan coronary artery bypass graft (CABG) (Tanaka, 2011). Biasanya ada
beberapa metode yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan lesi
arteri koroner pada angiografi koroner, termasuk skor SYNTAX, tipe lesi
AHA / ACC dan skor modifikasi Gensini. Skor SYNTAX biasanya digunakan
untuk menentukan jenis strategi pengobatan yang akan direkomendasikan pada
pasien PJK yaitu PCI atau CABG (Mohr, 2013). Klasifikasi AHA/ACC lesion
type digunakan untuk memprediksi tingkat keberhasilan tindakan PCI, yaitu lesi
tipe A memiliki angka keberhasilan >85%, lesi tipe B 60 – 85%, dan lesi tipe C
<60% Skor Gensini yang dimodifikasi merupakan sistem penilaian yang paling
komprehensif untuk menilai beratnya penyakit arteri koroner, karena
melibatkan jumlah segmen arteri stenosis, derajat stenosis lumen arteri, dan
lokasi segmen stenosis. Evaluasi skor modifikasi Gensini (Gambar 3) meliputi
delapan segmen arteri koroner yang diklasifikasikan menurut beratnya
obstruksi, yaitu nilai stenosis <50% 1, nilai stenosis 50-74% 2, dan stenosis 75-
Skor 99% adalah 3 dan nilai stenosis adalah 4 untuk okludi total Jumlahkan
setiap segmen pembuluh darah yang derajat stenosisnya telah diukur, lalu
kalikan dengan nilai yang ditentukan sesuai dengan luas arteri koroner yang
terlibat, yaitu arteri koroner utama kiri (LM) x 5; arteri koroner desendens
anterior kiri proksimal 2,5; arteri sirkumfleksa proksimal (LCx) x 2,5; LAD
tengah x 1,5; kanan (RCA), LAD distal, arteri posterolateral (PLA) dan obtuse
maarginal arteri (OM) x 1, segmen yang lain x 0.5. Penilaian skor Gensini
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu skor 1-6 untuk lesi koroner ringan, 7-13
untuk lesi koroner sedang, dan >13 untuk lesi koroner berat (Gensini, 1983;
Feng-lian, 2013).

Gambar 3. Skor keparahan stenosis arteri koroner dan cara perhitungannya


berdasarkan lokasi pada percabangan-percabangan arteri koroner menurut
skor Gensini (Sullivan R, 1990).

Beberapa parameter klinis dan pemeriksaan non-invasif seperti


ekokardiografi diketahui dapat memprediksi keparahan stenosis arteri koroner.
Sebuah penelitian di Mayo Clinic menemukan llima parameter klinis yang dapat
memprediksi adanya stenosis berat, yaitu usia, jenis kelamin laki-laki, diabetes,
angina tipikal, dan riwayat infark. Selain parameter klinis, ekokardiografi juga
dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keparahan stenosis. Global
Longitudinal Strain (GLS) adalah parameter baru ekokardiografi dua dimensi
berdasarkan speckle tracking echocardiography (STE). Metode ini dapat
mengevaluasi regangan, yang merupakan persentase perubahan panjang segmen
miokard dalam arah dan periode tertentu. Dalam kasus iskemia miokard, yang
paling awal terkena adalah subendokardium, yang merupakan penentu utama
regangan longitudinal, sehingga pemeriksaan GLS yang sensitif dapat
mendeteksi iskemia secara dini.

Hasil penelitian Maestana (2017) menggunakan skor gensini untuk


menilai tingkat keparahan lesi PJK menyebutkan bahwa jenis kelamin laki-laki,
riwayat keluarga PJK, merokok, obesitas, hsCP dan penggunaan kontrasepsi
hormonal merupakan faktor risiko yang dapat dijadikan prediktor tingkat
keparahan berat lesi koroner. Kombinasi 3 faktor risiko yaitu riwayat keluarga,
merokok, obesitas merupakan prediktor kuat untuk tingkat keparahan lesi
koroner berat untuk kejadian PJK usia dewasa muda jika dibandingkan 2 atau 1
faktor risiko saja. Penelitian serupa dilaporkan oleh Mosa et al (2015) yang
menyebutkan jenis kelamin laki-laki berisiko untuk keparahan lesi koroner yang
berat (OR = 3,38, C.I 1,96-7,22). Pada penelitian yang dilaporkan Yuka et al
(2015) diketahui riwayat keluarga PJK merupakan prediktor kuat untuk
keparahan lesi koroner yang berat (OR = 2,71, C.I 1,65-4,45). Penelitian yang
dilakukan Kianoosh et al (2008) juga menunjukkan beratnya lesi koroner pada
subjek dengan riwayat keluarga (OR = 1,44, C.I 1,14-1,83). Penelitian oleh
Iqbal et al (2017) juga melaporkan merokok berisiko untuk keparahan lesi
koroner yang berat.

C. Self Management Pada PJK


1. Definisi Self Management
Self management (perawatan diri) adalah apa yang dilakukan
individu untuk diri mereka sendiri guna menjaga kesehatan dan
kesejahteraan mereka, untuk mempertahankan fungsi fisik mereka dan
untuk mencegah penyakit lebih lanjut (Conn, 2011; Departemen Kesehatan,
2005). Dickson et al (2007) mendefinisikannya sebagai: “Proses aktif yang
dimaksudkan untuk menjaga kesehatan melalui kepatuhan pengobatan,
pemantauan gejala, pengenalan dan pengobatan dan proses evaluatif di
mana pembelajaran terjadi sebagai tanggapan terhadap perawatan diri.
2. Komponen
Self-care maintenance, self-care monitoring, and self-care management
adalah elemen inti dari perawatan diri penyakit kronis. Menurut Riegel
(2012) dalam teorinya yaitu A Middle-Range Theory of Self-Care of
Chronic Illnes seperti penyakit jantung koroner, membagi dalam 3 elemen
inti yaitu:
a. Self care maintenance
Self care maintenance mengacu pada perilaku yang
digunakan oleh individu dengan penyakit kronis untuk menjaga
stabilitas kesehatan fisik dan mental (Riegel et al., 2012), termasuk
mengikuti rekomendasi dari penyedia layanan kesehatan serta
praktik promosi kesehatan yang otonom. Item pada skala self care
maintenance mencerminkan 10 perilaku umum yang
direkomendasikan untuk menjaga stabilitas bagi orang dengan PJK:
menjaga kepatuhan pengobatan, minum aspirin atau pengencer darah
lainnya, memeriksakan tekanan darah, berolahraga, minum obat,
makan makanan rendah lemak, menggunakan sistem pengingat
pengobatan seperti alarm, makan buah-buahan dan sayuran, hindari
rokok dan perokok, dan kontrol berat badan. Item-item tersebut
diambil dari Simple Heart Seven dari American Heart Association
dan pedoman klinis untuk PJK.
Terdapat bukti kuat untuk efektivitas perilaku ini dalam
pencegahan sekunder dan pengurangan risiko (Maddox & Ho,;
Smith et al., dalam Riegel, 2012) misalnya, di antara pasien dengan
PJK, kepatuhan terhadap obat pencegahan sekunder (mis., Agen
antiplatelet, statin, beta blocker) dikaitkan dengan penurunan
morbiditas dan mortalitas (Fraker et al., 2007). Menurut pedoman
American Heart Association 2011, teratur dalam 30-60 menit
aktivitas aerobik intensitas sedang, seperti jalan cepat, ditambah
dengan peningkatan aktivitas fisik umum, dapat meningkatkan
kebugaran kardiorespirasi dan mengurangi risiko (Smith et al, dalam
Riegel, 2012).
b. Self care monitoring
Self care monitoring adalah proses mengamati dan memantau
tubuh secara teratur dan rutin. Kegiatan monitoring, seperti
memeriksa kadar gula darah pada pasien diabetes, memeriksa
tekanan darah bagi pasien hipertensi, menimbang berat badan setiap
hari pada pasien gagal jantung, dan memantau gejala emosi pada
penyakit mental agar membantu dalam mencapai stabilitas fisik dan
emosional. Tiga kriteria diperlukan untuk monitoring perawatan diri
yang efektif. Pertama, perubahan signifikan secara klinis dari waktu
ke waktu harus dimungkinkan. Kedua, metode untuk mendeteksi
perubahan pada diri sendiri harus ada. Terakhir, tindakan yang layak
harus dimungkinkan sebagai respon.
Tujuan self care monitoring adalah untuk membentuk
perubahan. Perubahan terkait dengan penyakit kronis atau tidak serta
perubahan yang terjadi karena penyakit kronis. Individu dengan
penyakit kronis, saat tanda atau gejala mulai nampak maka
dibutuhkan proses pengambilan keputusan tentang tindakan apa yang
diperlukan. Ketika tanda dan gejala terdeteksi dini dan kondisinya
serius, tindakan dapat diambil sebelum situasi memburuk. Pasien
yang terampil dalam self care monitoring dapat mengkomunikasikan
informasi kepada tenaga profesional perawatan kesehatan yang akan
memfasilitasi kemampuan layanan untuk memberikan perawatan
terbaik. Self care monitoring adalah penghubung antara self care
maintenance dan self care management.
c. Self Care Management
Manajemen diri dari Cardiovascular disease dan penyakit
kronis lainnya mengharuskan pasien untuk memiliki (1) pengetahuan
tentang proses dan manajemen penyakit mereka, (2) keterampilan
manajemen diri untuk menerapkan pengetahuan ini dalam kehidupan
sehari-hari mereka, dan (3) keyakinan bahwa mereka dapat
mempertahankan diri Perilaku manajemen untuk mempertahankan
dan meningkatkan status kesehatan mereka (Barnason, et al, 2017).
self care management didalamnya termasuk mengevaluasi perubahan
tanda dan gejala, menentukan tindakan yang diperlukan,
memperhatikan efektivitas pengobatan, dan mengevaluasi hasil dari
tindakan itu dan apakah harus digunakan jika terjadi kekambuhan.
Perubahan ini mungkin karena penyakit, perawatan, atau lingkungan.
Jika diperlukan respon, self care management memerlukan
implementasi perawatan dan evaluasi perawatan. Perawatan spesifik
sering kali untuk tanda dan gejala penyakit kronis tertentu,
contohnya sesak napas karena asma mungkin memerlukan
penggunaan bronkodilator tetapi sesak napas karena gagal jantung
mungkin memerlukan diuretik tambahan.
Item pada skala manajemen perawatan diri menggabungkan
konsep pemantauan dan manajemen, dengan pertanyaan tentang
pengenalan gejala dan tindakan dalam merespon gejala (yaitu, rileks,
beristirahat, mengambil nitrogliserin jika diresepkan, hubungi
layanan sesuai panduan, mengambil aspirin) dan evaluasi efektivitas
tindakan untuk digunakan di masa depan (Dickson, 2016). Terakhir,
self care management memerlukan perhatian pada efektivitas
pengobatan untuk mengevaluasi apakah pendekatan itu harus
digunakan lagi jika suatu saat terjadi kekambuhan.
3. Pentingnya Self Management
Pentingnya dilakukan self management agar penderita PJK tidak
mengalami serangan jantung berulang, apabila kejadian serangan jantung
berulang dapat dikendalikan maka dapat meminimalkan angka kematian serta
meminimalkan terjadinya re-hospitalisasi dan beban re-hospitalisasi (Susanti
dkk, 2020).
4. Instrumen Self Management
Instrument self management merupakan modifikasi dari alat ukur generik
maupun spesifik dalam mengukur Self care pada pasien PJK ataupun pada
pasien post PCI pada penelitian Harsono (2020) diantaranya:
a. Self Care of Coronary Artery Disease Inventory Patient version (SC-
CHDI)
Alat ukur ini dikembangkan oleh Victoria Vaughan Dickson
et al (2016). Nilai validitas kuesioner ini adalah r = 0.44 – 0,81.
Kuesioner ini dikembangkan Berdasarkan In the middle-range theory
of self-care of chronic illness, dalam kuesioner ini terdapat 22 item
untuk mengukur self maintenance, self management, dan self
confidence pada pasien dengan PJK. Item pada SC-CHDI dirancang
dalam dua skala untuk merefleksikan dua konstruksi teoretis:
Maintenance dan management perawatan diri. Selain itu, skala yang
ada untuk mengukur self confidence perawatan diri diadaptasi untuk
PJK. Setiap skala diberi skor secara terpisah dan terstandarisasi
untuk skor 0-100, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan
perawatan diri atau kemandirian perawatan diri yang lebih baik
(McDowel, 2006).
Pada domain self maintenance, responden menilai seberapa
sering mereka terlibat dalam setiap perilaku pada skala ordinal mulai
dari satu (tidak pernah atau jarang) hingga empat (selalu atau setiap
hari). Skala empat poin digunakan untuk menghindari jawaban yang
netral. Nilai reliabel pada domain self maintenance adalah 0,87
(Dickson, 2016). Pada domain self management pengenalan nilai
pada skala ordinal 0-4(tidak mengenali, tidak cepat, agak cepat,
dengan cepat, sangat cepat mengenali), Perilaku manajemen dinilai
dalam hal seberapa besar kemungkinan responden untuk mengambil
tindakan sebagai respons terhadap suatu gejala 1-4 (tidak mungkin,
agak mungkin, mungkin, sangat mungkin). Efektivitas pengobatan
dinilai dengan satu item yang meminta jaminan atas tindakan yang
dilakukan, diberi peringkat pada skala ordinal 0-4 (saya tidak
mencoba apapun, tidak yakin, agak yakin, yakin, sangat yakin). Nilai
reliabel pada domain self Management adalah 0,76 (Dikson, 2016).
Domain self confidence, Skala kepercayaan diri perawatan,
yang mengukur efikasi diri perawatan diri (Eller, Lev, Yuan, &
Watkins, 2016), digunakan untuk menilai kepercayaan pada
kemampuan untuk secara efektif melakukan semua elemen
perawatan, maintenance, monitoring, dan management, termasuk
kemampuan untuk tetap bebas dari gejala, mengikuti saran
perawatan, mengenali perubahan kesehatan tubuh, mengevaluasi
pentingnya gejala, melakukan sesuatu untuk meredakan gejala, dan
mengevaluasi efektivitas pengobatan.
Item pada skala kepercayaan diri dinilai pada skala ordinal
mulai dari 1-4 (tidak percaya diri, agak percaya diri, sangat percaya
diri, dan amat sangat percaya diri). Nilai reliabel self confidence
adalah 0,84 (Dickson, 2016).
b. Coronary Artery Disease Self-Management Scale (CSMS)
CSMS awalnya dikembangkan oleh Ren Hongyan (2009)
dalam versi Mandarin, dan banyak digunakan pada pasien PJK yang
dirawat di rumah sakit. CSMS yang dimodifikasi adalah 26 item
skala dibagi menjadi 3 dimensi termasuk (a) perilaku manajemen diri
emosional dengan 4 item yang mengukur kegiatan rekreasi, tekanan
emosional dan gaya koping; (b) perilaku swadaya kehidupan sehari-
hari dengan 8 item menangani gaya hidup sehari-hari, termasuk
kebiasaan diet, konsumsi alkohol, penggunaan tembakau, bekerja,
istirahat dan kebiasaan olahraga; (c) Perilaku manajemen diri medis
dengan 14 item mengukur gejala perilaku manajemen diri,
pengetahuan tentang penyakit dan perawatan kesehatan, kepatuhan
pengobatan dan perilaku manajemen diri darurat. Setiap item dinilai
pada Skala Likert 0 hingga 5 di mana 0 buruk dan 5 bagus. Skor total
dari terendah berkisar antara 26 hingga tertinggi 130, dengan skor
yang lebih tinggi menunjukkan perilaku manajemen diri yang lebih
baik (Ren et al., 2009). Hasil tes psikometri menghasilkan
konsistensi internal (Cronbach's alpa = 0,913), kriteria terkait
validitas (r = 0,271-0,573) (Ren et al., 2009).
c. Health promoting lifestyle profile II (HPLP II)
HPLP II telah digunakan secara luas untuk mengukur gaya
hidup yang mempromosikan kesehatan seseorang. HPLP II pertama
kali dirancang oleh Walker et al (1987). HPLP II mencakup 52 item
yang mencakup 6 domain: tanggung jawab kesehatan, aktivitas fisik,
nutrisi, pertumbuhan spiritual, hubungan interpersonal, dan
manajemen stres. Setiap domain berisi 9 item, tidak termasuk
aktivitas fisik dan manajemen stres, yang hanya berisi 8 item. Setiap
item dinilai pada skala 4 poin (tidak pernah = 1, kadang-kadang = 2,
sering = 3, dan secara rutin = 4). Skor total HPLP II berkisar dari
minimal 52 hingga maksimal 208. Skor rendah menunjukkan tingkat
gaya hidup yang meningkatkan kesehatan. Pada penelitian
sebelumnya HPLP II pada pasien post PCI memiliki nilai reliabilitas
alpha Cronbach adalah 0,90 (Xiao et al, 2018). Koefisien korelasi
Pearson antara HPLP-II yang direvisi dan item-itemnya berada
dalam kisaran 0,27- 0,65 (Tanjani et al, 2016).
d. Appraisal of Self Care Scale (A.S.A)
Kuisioner ini pertama kali dirancang oleh Isenberg dan Evers
(1989). Kemudian Evers melakukan uji validitas dan reliabilitas
skala versi Belanda. Skala ini telah digunakan di berbagai negara
seperti Norwegia, Cina dan Turki (Akyol 2007, soderhamn 2001).
Orem sendiri juga menyetujui kuesioner ini dan percaya bahwa ia
telah menilai dengan baik semua komponen agensi perawatan-diri
meliputi domain kuesioner tersebut yaitu kekuatan untuk terlibat,
operasi perawatan-diri yang diperkirakan dan operasi perawatan-diri
yang produktif (Evers 1989). Skala ini memiliki 24 item dan itu
adalah kuesioner Likert lima respons. Setiap pertanyaan memiliki
lima jawaban yang berkisar dari sangat tidak setuju hingga
sepenuhnya setuju. Nilai-nilainya antara 1 (sama sekali tidak setuju)
sampai 5 (sepenuhnya setuju) (Soderhamn, 2001). Skor yang lebih
tinggi menunjukkan agensi perawatan diri yang lebih besar.
Kuesioner ini juga sudah tersedia dalam versi revised nya ( the
appraisal self care agency scale-ASAS-R 15 item) yang direvisi dari
versi aslinya (ASAS) oleh Sousa (2010). Empat item ASAS direvisi
berdasarkan rekomendasi dari temuan penelitian kami sebelumnya
(Sousa et al, 2008). Keempat item yang direvisi adalah: (1) Ketika
dibutuhkan, saya berhasil meluangkan waktu untuk mengurus diri
sendiri; (2) Selama bertahun-tahun, saya telah mengembangkan
lingkaran teman yang dapat saya panggil untuk membantu saya
merawat diri sendiri; (3) Ketika menerima informasi mengenai
kesehatan saya, saya jarang meminta klarifikasi persyaratan yang
saya tidak mengerti untuk merawat diri sendiri secara memadai; dan
(4) saya tidak selalu bisa merawat diri dengan cara yang saya
inginkan. Kuesioner ini memiliki alfa (a) Cronbach keseluruhan
sebesar 0,89 dan Semua korelasi antar item dan item-ke-total
memenuhi kriteria yang direkomendasikan r = 0,30 hingga r = 0,70
(Sousa, 2010).
e. The Cardiac Health Behaviour Scale (CHB)
CHB awalnya dikembangkan pada tahun 2000 (Song & Lee,
2000) untuk menilai perilaku kesehatan terkait jantung dari individu
dengan penyakit arteri koroner yang berpartisipasi dalam rehabilitasi
jantung di Korea. The Cardiac Health Behavior Scale digunakan
untuk mengukur kemungkinan terlibat dalam lima jenis perilaku
kesehatan perawatan diri berikut ini: tanggung jawab kesehatan (5
item), konsumsi diet sehat (8 item), olahraga (4 item) , manajemen
stres (5 item), dan berhenti merokok (3 item). Skala laporan diri 25-
item ini menggunakan format respons 4-titik dari 1 (tidak pernah)
hingga 4 (secara rutin), dan menggunakan skor terangkum, di mana
dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan frekuensi perilaku
berperforma yang lebih tinggi yang menguntungkan bagi kesehatan
jantung. Nilai Content Validity Index (> 0.80) (Song et al, 2001) dan
nilai cronbach alfa pada penelitian sebelumnya dari kuesioner ini
adalah 0,87 ( Ahn, 2016).
f. The Medical Outcome Study Patient Adherence
The Medical Outcome Study Patient Adherence pertama kali
dibuat oleh hays dari RAND Health care (1994). Baik ukuran umum
dan khusus, instrumen ini dikembangkan untuk menilai kepatuhan
pasien dengan penyakit jantung (gagal jantung kongestif atau infark
miokard baru-baru ini), diabetes, dan hipertensi. Keandalan
konsistensi internal dari skala dapat diterima (cronbach alpha = 0,81)
(Hays, 1994). Korelasi antara kepatuhan spesifik dan kepatuhan
umum cenderung sangat kecil, berkisar antara -0,12 hingga 0,29
(Hays, 1994). Skala kepatuhan umum MOS menggunakan enam
tanggapan mulai dari "tidak ada waktu" hingga "sepanjang waktu"
dan memasukkan hal-hal berikut: (1) "Saya mengalami kesulitan
melakukan apa yang disarankan oleh dokter kepada saya"; (2) "Saya
merasa mudah untuk melakukan hal-hal yang disarankan dokter saya
lakukan"; (3) "Saya tidak dapat melakukan apa yang diperlukan
untuk mengikuti rencana perawatan dokter saya"; (4) "Saya
mengikuti saran dokter saya dengan tepat"; dan (5) "Secara umum,
seberapa sering selama 4 minggu terakhir Anda dapat melakukan
apa yang dokter katakan kepada Anda?" (Kravitz et al, 1993). The
Medical Outcomes Study (MOS) Measures of Patient Adherence
memiliki 6 perilaku kesehatan melliputi (1) diet rendah garam, (2)
diet rendah lemak dan / atau diet penurunan berat badan, (3)
olahraga teratur, (4) pengurangan stres dalam kehidupan sehari-hari,
( 5) minum secukupnya, dan (6) berhenti merokok (Lee, 2018).
g. The Self-Care of Chronic Illness Inventory
The Self-Care of Chronic Illness Inventory pertama kali dibuat
oleh Riegel et al (2018). Kuesioner ini bersifat generik untuk
mengukur self care pada penyakit kronis secara umum. The SC-CII
mencerminkan perawatan diri seperti yang dijelaskan dalam in the
middle range theory of chronic illnes (Riegel et al. 2012). Instrumen
ini memiliki 3 domain diantaranya self maintenance (8 item), self
monitoring (5 item) dan self management (7 item) dengan nilai
reliability nya berkisar antara 0,67 sampai 0,81 dan untuk content
validity index masing-masing domain juga berkisar antara 0,88
sampai 0,96 (Riegel et al, 2018). Semua item dinilai pada skala
respons ordinal 5 poin. Skor yang lebih tinggi menunjukkan
perawatan diri yang lebih baik.

5. Gambaran Self Management pada PJK


Fernandes et al (2008) dalam Mufarokhah dkk (2016)
mengembangkan self management program pada PJK dan menunjukkan
keberhasilan berupa penerapan program berbasis pada perubahan sumber
daya mandiri dengan memberikan pelatihan ketrampilan untuk
memodifikasi faktor risiko kesehatan seperti merokok, physical activity, dan
asupan makanan yang dikonsumsi. Mufarokhah dkk (2016) melalui hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa penerapan self management pada pasien
PJK dapat meningkatkan koping secara signifikan, perbaikan juga terjadi
pada niat dan kepatuhan penderita PJK yang berada di level baik. Berbagai
dampak PJK yang diuraikan sebelumnya dapat dihindari apabila penderita
PJK mampu melakukan adaptasi dengan dirinya dalam melakukan self
management.
Skala Manajemen Mandiri Penyakit Jantung Koroner versi China
digunakan untuk menilai perilaku manajemen diri pasien PJK lansia. Skala
ini dikembangkan oleh sarjana Cina pada tahun 2009 untuk pasien PJK
Cina, Skala terdiri dari 27 item yang mencakup tiga dimensi: manajemen
kehidupan sehari-hari, manajemen medis penyakit, dan manajemen emosi.
Setiap item dinilai Skor total berkisar dari 27 hingga 135 poin, dengan skor
yang lebih tinggi menunjukkan tingkat perilaku pengelolaan diri yang lebih
tinggi. Skor <81 poin menunjukkan tingkat perilaku pengelolaan diri yang
rendah, 81 hingga 107 menunjukkan tingkat perilaku pengelolaan diri
sedang, dan> 107 menunjukkan tingkat perilaku pengelolaan diri yang
tinggi Skor rata-rata SOC pasien adalah 62,20 ( ± 9.61), menunjukkan
tingkat SOC yang rendah di antara pasien. Skor rata-rata konfrontasi adalah
19,55 ( ± 3.15). Skor rata-rata perilaku self management adalah
76,17(±10.63), menunjukkan rendahnya praktek manajemen diri pada
pasien penyakit jantung koroner lanjut usia.

6. Hubungan Self Management dengan Keparahan Lesi


Hasil penelitian Brillianti (2015) menyebutkan bahwa pada subjek
penelitian yang memiliki self management yang baik berpengaruh signifikan
pada kualitas hidup pasca serangan stroke khususnya pada domain bahasa (rata-
rata skor= 4,2), domain penglihatan (rata-rata skor = 4,3), domain kognitif (rata-
rata skor = 3,8) dan domain fungsi ekstrimitas atas (skor rata-rata = 3,2), domain
mood, domain kepribadian, domain perawatan diri. Dengan perbaikan domain
penglihatan, bahasa, fungsi ekstrimitas atas, kognitif ini artinya telah terjadi
perbaikan pada fungsi fisiologi tubuh penderita stroke. Hasil tersebut sejalan
dengan Arwani dkk (2011) yang meneliti kualitas hidup pasien pasca stroke
pada fase rehabilitasi di Kota Semarang. Dari hasil penelitian mereka terlihat
bahwa responden sebagian besar tidak mengalami kesulitan atau gangguan pada
aspek bahasa, suasana hati, perawatan diri, berpikir, penglihatan, produktifitas,
spiritual.
Pada penelitian Hersanti & Asriyadi (2019) menyebutkan bahwa
sebanyak 48,5% pasien DM yang memiliki self management buruk, mengalami
komplikasi peyakit lain yang lebih besar. Hal ini serupa dengan hasil penelitian
Sulitria (2013) yang menjelaskan penyakit DM dapat menyebabkan komplikasi
bila tidak ditangani dan dilakukan self management yang baik. Komplikasi bisa
saja terjadi dengan seiringnya waktu. Citra et al (2018) menambahkan bahwa
konsekuensi fisik dari penyakit DM bisa direpresentasikan melalui perilaku
hidup sehat dalam self management yakni dengan cara mengikuti pola makan
sehat, meningkatnya aktivitas fisik, menggunakan obat-obatan pada keadaan
khusus secara aman teratur, rutin mengontrol kadar gula darah serta melakukan
perawatan kali berkala, ini akan meminimalisir keparahan lesi yang terjadi pada
penyakit DM.

D. Physical Activity

1. Definisi
Terdapat beberapa pengertian dari beberapa ahli mengenai aktivitas fisik
diantaranya menurut (Almatsier, 2003) aktivitas fisik ialah gerakan fisik yang
dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Aktivitas fisik adalah
setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan
pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada (kurangnya aktivitas fisik)
merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kronis, dan secara
keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara global (WHO,
2010). Jadi, kesimpulan dari pengertian aktivitas fisik ialah gerakan tubuh
oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya yang memerlukan pengeluaran
energi.

Adapun pengertian aktifitas fisik menurut para ahli yaitu : aktifitas fisik
adalah suatu bentuk gerakan tubuh yang dilakukan oleh otot – otot rangka
yang merupakan bentuk pengeluaran tenaga (yang dinyatakan dengan kilo
kalori) seperti melakukan suatu pekerjaan, waktu senggang dan aktifitas
sehari hari lainnya (Adi Sapoetra, 2005). Aktifitas fisik adalah gerakan tubuh
yang dihasilkan otot rangka yang memerlukan suatu pengeluaran energi.
Kurangnya aktifitas fisik akan menjadi salah satu factor risiko independen
dalam suatu penyakit kronis yang bisa menyebabkan kematian secara global
(pengertian aktifitas fisik menurut WHO 2008). Gerakan aktifitas fisik yang
dilakukan oleh berbagai macam otot serta system yang menunjangnya
(Almatsier 2003). Aktifitas fisik adalah kerja fisik yang menyangkut system
lokomotor yang bertujuan untuk menjalankan aktifitas hidup sehari-hari
(Lesmana 2002).
Aktifitas fisik adalah setiap pergerakan tubuh akibat aktifitas otot – otot
skelet yang mengakibatkan pengeluaran energi. Setiap orang melakukan
aktifitas fisik antara individu satu dengan yang lain tergantung gaya hidup
perorangan dan faktor lainnya. Aktifitas fisik terdiri dari aktifitas selama
bekerja, tidur, dan pada waktu senggang. Latihan fisik yang terencana,
terstruktur, dilakukan berulang-ulang termasuk olahraga fisik merupakan
bagian dari aktifitas fisik. Aktifitas fisik sedang yang dilakukan secara terus
menerus dapat mencegah resiko terjadinya penyakit tidak menular seperti
penyakit pembuluh darah, diabetes, kanker dan lainnya (Kristanti et al. 2002).

2. Rekomendasi Physical Activity untuk PJK


Individu yang telah didiagnosis menderita PJK, American Heart
Association (AHA) dan American College of Sport Medicine (ACSM)
merekomendasikan bagi para penderita untuk mengkonsultasikan dan
mendapat persetujuan dokter tentang latihan fisik yang diperbolehkan. Hal ini
disebabkan, latihan fisik yang tanpa pengawasan dapat menjadi menakutkan
bagi penderita PJK yang pernah mengalami serangan jantung. Namun
terdapat penelitian tentang penderita PJK yang melakukan olahraga secara
tepat, menunjukan bahwa hanya terdapat satu kematian dan serangan
jantung setiap 294.000 jam latihan (Shipe, 2012).
Baik olahraga aerobik maupun resistance training aman bagi penderita
PJK, dengan catatan olahraga tersebut dilakukan secara benar dan program
latihannya disesuaikan dengan kebutuhan penderita. Dengan memberikan
program latihan yang tepat, diharapkan pada penderita untuk dapat mengelola
atau mengurangi beban penyakit, meningkatkan toleransi latihan, fungsi fisik
dan kualitas hidup, dan mengurangi resiko terjadinya serangan jantung
sekunder. Latihan aerobik atau cardio dapat meningkatkan kemampuan tubuh
dalam menggunakan oksigen untuk menghasilkan energi yang digunakan
untuk bergerak. Latihan aerobik meningkatkan daya tahan kardiorespirasi.
Rekomendasi latihan untuk penderita PJK adalah 30-60 menit per hari, dan
dilakukan 3-5 kali seminggu. Dalam sesi yang lebih pendek bisa dilakukan 5-
10 menit dan diakumulasikan sampai satu hari (exercisemedicine.org.au,
2014).
Konsensus terbaru dari AHA menyatakan, untuk mencegah serangan
jantung dan kematian pada pasien dengan PJK disarankan minimal dilakukan
aktivitas sedang selama 30-60 menit dan dilakukan 3-4 kali seminggu,
ditambah peningkatan aktivitas sehari-hari seperti jalan pada saat istirahat
kerja, naik tangga, berkebun dan pekerjaan rumah tangga. Aktifitas tersebut
dilakukan 5-6 jam seminggu (Franklin et al, 2015).
Intensitas latihan dapat dimulai mulai latihan yang paling ringan, dan
selanjutnya dapat ditingkatkan ke tahap yang lebih berat dengan proporsi
denyut jantung maksimal (50-80%). Penderita yang mengalami angina pada
saat aktifitas, disarankan melakukan aktifitas yang mencapai denyut jantung
maksimal 10 denyut per menit dibawah denyut jantung pada saat terjadi
iskemia atau gejala abnormal lainnya. Kekuatan otot pada penderita PJK
dapat ditingkatkan dengan melakukan kombinasi latihan ketahanan dinamik
dan aerobik. Sedangkan latihan isometrik (statis) harus dihindari karena dapat
menyebabkan tekanan berlebihan pada otot jantung. Latihan ketahanan harus
dimulai dari 30-50% satu repetisi maksimal (1 RM), dan intensitas tidak
boleh melebihi berat yang dapat diangkat 12-15 pengulangan.. Hal tersebut
dapat dilakukan 2- 3 hari dalam seminggu dan termasuk satu set 8-10 latihan
untuk melatih semua kelompok otot. Dengan melihat perkembangan pasien,
jumlah set dapat ditingkatkan sampai 3 set dan intensitas latihan dapat
ditingkatkan hingga 60-70% satu repetisi maksimal (1RM). Sertakan jeda
pemulihan minimal 1 menit pada setiap set nya (exercisemedicine.org.au,
2014).
Latihan jalan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bentuk
latihan yang lainnya pada fase awal program latihan jantung. Program latihan
jalan cepat dapat menghasilkan perbaikan yang substansial dalam kondisi
fisik penderita PJK. Latihan berjalan dapat dilakukan dengan mudah, dan
resiko cedera lebih rendah dibandingkan jogging atau lari. Latihan aerobik
(jalan) dapat meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan, peningkatan fungsi
kardiovaskular, mengurangi denyut jantung, dan tekanan darah pada
penderita PJK (Franklin et al, 2015).

3. Instrumen Physical Activity


Aktivitas fisik dapat diukur dengan menggunakan Global Physical
Activity Questionnare (GPAQ) dengan mengukur skor MET (metabolic
equivalent) dari jenis aktivitas fisik berat dan sedang yang dilakukan oleh
individu. MET biasa digunakan untuk mengekspresikan intensitas dari
aktivitas fisik. MET merupakan rasio seseorang yang bekerja dengan tingkat
metabolisme relative terhadap metabolisme istirahat. Satu MET didefinisikan
sebagai energi yang dipakai untuk duduk diam, setara dengan konsumsi dari
1 kalori/kg/jam (World Health Organization, 2011).
Berdasarkan standar Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ)
tahun 2009 nilai MET untuk masing-masing kategori aktivitas fisik berat dan
sedang adalah 8 dan 4. Total MET diperoleh dengan mengalikan antara
jumlah menit beraktivitas dalam seminggu, dengan jumlah hari beraktivitas,
dan nilai MET untuk masing-masing kategori aktivitas (World Health
Organization, 2012).
Dalam kuesioner ini berisi 16 pertanyaan dengan domain yang dinilai
adalah aktivitas fisik waktu melakukan pekerjaan, aktivitas fisik waktu
melakukan perjalanan, aktivitas fisik waktu luang/rekreasi dan aktivitas
duduk dan berbaring (World Health Organization, 2012).
Jenis Perhitungan Aktivitas Fisik MET
Aktivitas Value
Fisik
Berat Durasi Jumlah hari 8
Sedang beraktivitas x beraktivitas dalam x 4
(menit/hari) seminggu
Ringan Tidak termasuk jenis aktivitas fisik berat maupun sedang

Perhitungan skor MET berdasarkan jenis aktivitas fisik


Sumber : (World Health Organization, 2012)

Jenis aktivitas fisik pada tabel diatas sebagai berikut:


a. Kegiatan ringan: hanya memerlukan sedikit tenaga dan biasanya tidak
menyebabkan perubahan dalam pernapasan atau ketahanan (endurance).
Contoh: berjalan kaki, menyapu lantai, mencuci baju/piring, mencuci
kendaraan, meditasi.
b. Kegiatan sedang: membutuhkan tenaga intens atau terus menerus, gerakan
otot yang berirama atau kelenturan (flexibility). Contoh: berlari kecil,
berenang, bersepeda santai, bermain musik, jalan cepat.
c. Kegiatan berat: biasanya berhubungan dengan olahraga dan membutuhkan
kekuatan (strength), membuat berkeringat. Contoh: berlari, bermain sepak
bola, aerobik, bela diri (misal karate, taekwondo, pencak silat) dan
outbond.

4. Gambaran Physical Activity pada PJK


Kurang beraktivitas fisik merupakan faktor risiko terhadap PJK,
sebaliknya beraktivitas fisik cukup secara teratur dapat menurunkan risiko
PJK. Secara substansial, beraktivitas fisik secara rutin dapat menurunkan
risiko PJK dengan cara meningkatkan kesehatan jantung dan pembuluh darah
(Riddigan et al.,2001:Ignarro et al.,2007). Tubuh yang sehat harus dibarengi
dengan aktifitas fisik yang cukup. Olahraga membuat kebugaran semakin
meningkat, badan terasa lebih nyaman, dan tidur menjadi lebih nyenyak
(Herman & Elfrida, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh Diyan dkk (2018)
menunjukan bahwa physical activity memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian PJK di indonesia (p=0,00), prevalensi PJK lebih banyak di
temukan pada kelompok orang yang tidak melakukan aktifitas fisik berat
tetapi kurang dari 80 menit di setiap minggunya dibandingkan dengan mereka
yang jauh lebih aktif. Mayoritas penderita PJK merupakan kelompok orang
yang kurang aktif secara fisik. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa
aktivitas fisik yang rendah dan peningkatan aktivitas menjadi faktor prediksi
utama dalam kematian dini akibat PJK (Niklet Ej, dkk 2012).
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara penelitian
Damayanti (2019) diketahui bahwa banyak narasumber yang jarang
melakukan aktivitas fisik atau olahraga karena disibukkan dengan
kegiatan dan pekerjaannya sehari-hari. Beberapa narasumber hanya
melakukan olahraga setidaknya satu kali dalam seminggu atau bahkan disaat
ada waktu luang saja. Mereka juga hanya melakukan aktivitas fisik ringan
yang biasa dilakukan di kehidupan sehari-hari seperti sekadar jalan kaki dan
menaiki tangga. Kurangnya melakukan aktivitas fisik dan olahraga
mempengaruhi tingkat kebugaran seseorang yang terkait fungsi atau kinerja
jantung dan paru-paru. Tingkat kebugaran seseorang dapat dikatakan baik
apabila ketika melakukan aktivitas fisik atau sesaat setelah melakukan
aktivitas fisik, frekuensi nadi dan napas orang tersebut cenderung tetap
atau meningkat namun tidak terlalu tinggi. Tingkat kebugaran juga dapat
dilihat melalui tingkat kelelahan seseorang setelah melakukan aktivitas fisik
serta waktu yang dibutuhkan orang tersebut untuk mengembalikan keadaan
tubuh menjadi normal kembali. Physical activity pada penderita PJK masih
rendah dan belum baik terbukti dari banyak ditemukannya penderita PJK
dengan riwayat physical activity yang rendah.

5. Hubungan Phisycal Activity dan Keparahan Lesi pada PJK


Melakukan olahraga akan membuat lemak-lemak yang berlebihan dalam
tubuh kita dibakar, maka pembuluh darah akan terbebas dari lemak jahat
sehingga keelastisannya menjadi terjaga. Pembuluh darah yang sehat akan
membuat jantung kita menjadi lebih sehat. (Herman & Elfrida, 2015).
Hal ini juga dibuktikan pada sebuah studi literasi yang menjelaskan
bahwa semakin berat aktivitas fisik maka makin besar kebutuhan energi
untuk otot. Jantung sebagai pemompa darah yang menjadi tansporter bahan
makanan dan oksigen harus lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Denyutan jantung yang semakin kuat dan cepat saat melakukan
aktivitas olahraga menjadikan otot yang berada pada organ jantung
mengalami hiperthropi sehingga otot jantung menjadi lebih kuat. Dengan
meningkatnya kekuatan otot jantung tersebut maka kualitas pompa
jantung juga akan meningkat. Jantung menjadi tidak perlu bekerja berat lagi
untuk memenuhi suplai kebutuhan energi ke otot karena otot jantung lebih
kuat. Peningkatan kualitas jantung dapat dilihat dari menurunnya jumlah
denyut nadi per menit saat istirahat. Bentuk latihan untuk meningkatkan daya
tahan jantung-paru adalah olahraga dengan intensitas ringan tetapi durasinya
lama. Dengan melakukan aktivitas fisik pembuluh darah kapiler pada
otot bertambah banyak, sehingga memungkinkan difusi oksigen di dalam
otot dapat lebih mudah, akibatnya mempunyai kemampuan untuk
mengangkut dan mempergunakan rata-rata oksigen lebih besar daripada
orang yang tidak biasa melakukan aktivitas fisik. Sehingga oksigen yang
dikonsumsi menjadi lebih banyak per-unit massa otot dan juga dapat bekerja
lebih tahan lama (Hidayat & Indardi, 2015).
Olahraga menyebabkan sel-sel otot dan organ hati menjadi lebih sensitif
terhadap insulin. Sebagai hasilnya organ itu dapat menggunakan atau
menyimpan glukosa dengan lebih efektif, sehingga dapat membantu
menurunkan kadar glukosa. Keadaan ini dapat berlangsung untuk beberapa
jam setelah melakukan olahraga. Respon fisiologis tambahan yang terkait
dengan kurangnya PA yang membawa efek patogen potensial pada
aterosklerosis berkaitan dengan berkurangnya fungsi endotel, peningkatan
trombogenisasi, ketidakseimbangan sistem saraf otonom yang meningkat,
peningkatan peradangan endogen dan faktor koagulasi (VII, IX, vWF) (Li, et
al., 2012).
Studi klinis menunjukkan bahwa aktivitas fisik dapat menurunkan risiko
PJK melalui mekanisme mencegah atau menunda perkembangan hipertensi
pada subjek normotensi dan penurunan tekanan darah pada pasien dengan
hipertensi, meningkatkan level kolesterol high- density lipoprotein (HDL) dan
kontrol adiposit, membantu mengontrol berat badan, menurunkan risiko
perkembangan diabetes mellitus tipe 2 dengan meningkatkan toleransi
glukosa dan sensitivitas insulin, serta berkontribusi pada kekuatan otot dan
mobilitas yang menunjang kualitas hidup (huffman, 2003 dan waren, 2010).
Aktivitas fisik selama 30 menit yang dilakukan secara rutin 3-5 hari dalam
seminggu dapat menurunkan jumlah kolesterol low-density lipoprotein (LDL)
hingga 10 mg/dL dan meningkatkan kolesterol HDL hingga 4 mg/dL.
Penurunan signifikan profil kolesterol secara keseluruhan dan LDL yang
diikuti peningkatan kolesterol HDL diketahui memiliki pengaruh positif pada
kesehatan kardiovaskuler.
Hasil penelitian Anakonda dkk (2019) menunjukkan bahwa aktivitas
olahraga berhubungan dengan kadar kolesterol pasien PJK (p= 0,051).
Aktivitas aerobik meningkatkan penggunaan lemak sebagai sumber energi
sehingga menurunkan kadar trigliserida. Latihan fisik aerobik dapat
meningkatkan kadar HDL 5-10% karena adanya peningkatan produksi dan
kerja enzim yang berperan dalam transportasi kolesterol. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian Kartoni dkk (2017) bahwa meningkatkan aktivitas
lipoprotein yang membawa trigliserida sehingga mempercepat pemindahan
komponen dari lipoprotein lain ke trigliserida.
Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki
kolateral koroner sehingga dapat dikurangi risiko penyakit jantung koroner.
Olahraga memperbaiki fungsi paru dan pemberian oksigen ke miokard,
menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh yang berlebihan dengan
menurunnya LDL kolesterol, menurunkan kolesterol, trigliserida dan kadar
gula darah pada penderita DM, menurunkan tekanan darah, meningkatkan
kesegaran jasmani. Di Amerika Serikat, menyimpulkan orang dengan latihan
fisik yang adekuat kemungkinan menderita serangan PJK lebih kecil
dibandingan dengan yang kurang melakukan aktifitas (Djohan, 2004).
Aktivitas fisik dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner sebesar
41% (HR 0.59 95% CI 0.49–0.71) (Mora et al., 2007).
Aktivitas fisik reguler jangka panjang memberikan banyak manfaat
fisiologis. Aktivitas fisik memiliki tindakan langsung pada fungsi jantung
dengan meningkatkan kontraksi miokardium, suplai oksigen miokard dan
stabilitas listrik. Selain itu, sebagian besar faktor risiko untuk penyakit
kardiovaskular dimodifikasi oleh aktivitas fisik biasa, termasuk tekanan
darah, kadar lipoprotein aterogenik, adipositas (terutama lemak visceral),
sensitivitas insulin, fungsi endotel, dan peradangan. Beberapa mekanisme
untuk manfaat ini termasuk sensitisasi insulin otot skeletal, pemeliharaan atau
pembangunan massa otot tanpa lemak, dan pengurangan lemak visceral, yang
bersama-sama mengurangi infiltrasi jaringan adiposa sel pro-inflamasi,
meningkatkan produksi dan pembebasan myokin anti-inflamasi, dan
mengurangi ekspresi reseptor Toll-like pada monosit dan makrofag (Miranda,
2015).
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa olahraga menyehatkan badan,
sebaliknya kurang aktifitas fisik (physical inactivity) menimbulkan berbagai
macam penyakit, termasuk PJK. Dalam hubungannya dengan PJK, orang
yang tidak aktif memiliki risiko 1,9 kali lebih besar untuk menderita PJK
dibandingkan 70 orang yang aktif berolahraga (Kabo, 2014). Hasil penelitian
Harvard Alumny Study dengan jelas menunjukkan bahwa aktifitas
fisik/olahraga (bahkan pada waktu singkat) dapat mengurangi risiko PJK.
Aktifitas fisik/olahraga meningkatkan konsentrasi HDL-kolesterol dan
mengurangi risiko PJK. Risiko mengalami PJK dua kali lipat pada wanita
yang kurang aktifitas fisiknya. Dengan industrialisasi, otomatisasi, dan
mekanisasi transportasi, kegiatan fisik dalam beberapa puluh tahun terakhir
ini telah berkurang banyak sekali. Tidak banyak lagi orang yang bekerja berat
secara manual. Di negara berteknologi maju kebanyakan pekerjaaz ringan.
Sehingga masih banyak waktu tersisa untuk bersantai (Patel dalam Nababan,
2008). Di Amerika Serikat, menyimpulkan orang dengan latihan fisik yang
adekuat kemungkinan menderita serangan PJK lebih kecil dibandingan
dengan yang kurang melakukan aktifitas (Djohan, 2004).

Anda mungkin juga menyukai