1. Latar Belakang
Penyakit jantung koroner termasuk ke dalam kelompok penyakit
kardiovaskuler, dimana penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama
kematian di negara dengan pendapaan rendah dan menengah seperti Indonesia
(Delima, Mihardja dan Siswoyo, 2009). Menurut World Health Organization (WHO)
(2013) kematian akibat penyakit kardiovaskuler mencapai 17,1 juta orang per tahun.
Penyakit kardiovaskuler diantaranya penyakit jantung koroner dan stroke menjadi
urutan pertama dalam daftar penyakit kronis di dunia. Di Indonesia sendiri prevalensi
penyakit jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis oleh dokter sebesar
0,5% sedangkan berdasarkan terdiagnosis atau gejala sebesar 1,5% (Riskesdas, 2013).
Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang memiliki fungsi sangat
penting terutama untuk manusia. Salah satu fungsi jantung yaitu memompa dan
mengalirkan darah yang berisikan oksigen dan nutrisi dari jantung ke seluruh tubuh.
Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, pola makan salah, gaya hidup tidak
sehat, kurangnya aktivitas akan dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah.
Hal itu akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan fungsi jantung. Kemampuan
fungsi jantung akan terus menerus menurun yang kemudian dapat menimbulkan
penyakit jantung koroner (Wiarto, 2014).
Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery Disease
(CAD) merupakan suatu penyakit yang terjadi ketika arteri yang mensuplai darah
untuk dinding jantung mengalami pengerasan dan penyempitan (Lyndon, 2014).
Arteri yang mensuplai miokardium mengalami gangguan, sehingga jantung tidak
mampu untuk memompa sejumlah darah secara efektif untuk memenuhi perfusi darah
ke organ vital dan jaringan perifer secara adekuat. Pada saat oksigenisasi dan perfusi
mengalami gangguan, pasien akan terancam kematian. Kedua jenis penyakit jantung
koroner tersebut melibatkan arteri yang bertugas mensuplai darah, oksigen dan nutrisi
ke otot jantung. Saat aliran melewati arteri koronaria tertutup sebagian atau
keseluruhan oleh plak, bisa trejadi iskemia atau infark pada otot jantung (Ignatavicius
& Workman, 2010).
Penyakit jantung koroner merupakan pembunuh nomor satu di dunia. Tahun
2010 penyakit jantung koroner mengakibatkan kematian pada pria sebanyak 13,1 %,
di prediksi tahun 2020 menjadi 14,3% dan 14,9% pada tahun 2030. Untuk wanita
kematian akibat penyakit jantung koroner pada tahun 2010 mencapai 13,6% dan di
prediksi pada tahun 2020 mencapai 13,9% dan 14,1% pada tahun 2030 (Rilantono,
2012). Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian utama di Amerika
Serikat, Negara Eropa, Jepang dan Singapura (Rao, 2011).
Di negara Amerika Serikat diperkirakan 16.300.000 orang atau 7% dari
populasi penduduk Amerika Serikat yang berumur lebih dari 20 tahun terdiagnosa
penyakit jantung koroner. Dari angka tersebut 18,3% adalah pria dan 6,1% adalah
wanita. Di prediksi tahun 2030, 8 juta warga Amerika Serikat lainnya akan
terdiagnosa penyakit jantung koroner yang merupakan presentasi dari peningkatan
sebesar 16,6% dari tahun 2010 dan pada tahun 2011 terdapat 785.000 kasus baru
penyakit jantung koroner, sementara 470.000 merupakan kasus serangan berulang
(Roger dkk, 2011).
Menurut WHO (2007) upaya pencegahan sekunder PJK terdiri dari perubahan
gaya hidup dan medikamentosa. Perubahan gaya hidup meliputi penghentian
merokok, perubahan pola makan, pengontrolan berat badan, aktivitas fisik, dan
kurangi konsumsi minuman beralkohol. Tindakan medikamentosa terdiri dari
pemberian obat antihipertensi, obat menurunkan kadar kolesterol,
antiplatelet/antikoagulan, beta bloker, obat menurunkan gula darah. Untuk itu,
pencegahan sekunder sangat diperlukan walaupun pasien telah mendapat penanganan
medis terlebih dahulu.
b) Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Keadaan umum klien mulai pada saat pertama kali bertemu dengan
klien dilanjutkan mengukur tanda-tanda vital. Kesadaran klien juga
diamati apakah kompos mentis, apatis, samnolen, delirium, semi koma
atau koma. Keadaan sakit juga diamati apakah sedang, berat, ringan
atau tampak tidak sakit.
Tanda-tanda vital
Kesadaran compos mentis, penampilan tampak obesitas, tekanan darah
180/110 mmHg,frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi nafas 20
kali/menit, suhu 36,2 C.
Pemeriksaan fisik per sistem
1) Sistem persyarafan
meliputi kesadaran, ukuran pupil, pergerakan seluruh ekstermitas
dan kemampuan menanggapi respon verbal maupun non verbal.
2) Sistem penglihatan
pada klien PJK mata mengalami pandangan kabur.
3) Sistem pendengaran
pada klien PJK pada sistem pendengaran telinga , tidak mengalami
gangguan.
4) Sistem abdomen
bersih, datar dan tidak ada pembesaran hati.
5) Sistem respirasi
pengkajian dilakukan untuk mengetahui secara dini tanda dan
gejala tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi. Pengkajian
meliputi persentase fraksi oksigen, volume tidal, frekuensi
pernapasan dan modus yang digunakan untuk bernapas. Pastikan
posisi ETT tepat pada tempatnya, pemeriksaan analisa gas darah
dan elektrolit untuk mendeteksi hipoksemia.
6) Sistem kardiovaskuler
pengkajian dengan tekhnik inspeksi, auskultrasi, palpasi, dan
perkusi perawat melakukan pengukuran tekanan darah; suhu;
denyut jantung dan iramanya; pulsasi prifer; dan tempratur kulit.
Auskultrasi bunyi jantung dapat menghasilkan bunyi gallop S3
sebagai indikasi gagal jantung atau adanya bunyi gallop S4 tanda
hipertensi sebagai komplikasi. Peningkatan irama napas merupakan
salah satu tanda cemas atau takut.
7) Sistem gastrointestinal
pengkajian pada gastrointestinal meliputi auskultrasi bising usus,
palpasi abdomen (nyeri, distensi).
8) Sistem muskuloskeletal
pada klien PJK adanya kelemahan dan kelelahan otot sehinggah
timbul ketidak mampuan melakukan aktifitas yang diharapkan atau
aktifitas yang biasanya dilakukan.
9) Sistem endokrin
biasanya terdapat peningkatan kadar gula darah.
10) Sistem integumen
pada klien PJK akral terasa hangat, turgor baik.
11) Sistem perkemihan
mengkaji ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah
pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen bawah
untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang jenis cairan
yang keluar .
c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat meliputi: pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan pencitraan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk tujuan skrining,
diagnosis, evaluasi dan menilai ‘prognosis’.
Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG tidak dapat mendeteksi adanya sumbatan
koroner secara langsung namun dapat mendeteksi adanya gangguan
aktifitas listrik jantung yang terjadi akibat adanya sumbatan di arteri
koroner jantung.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mendiagnosis klinis pada
mereka yang mengeluh ‘angina’, disertai dengan adanya faktor risiko
PJK. Pemeriksaan ini dapat menghasilkan suatu ‘negatif palsu’, pada
orang yang saat diperiksa tidak mempunyai keluhan.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium seperti memeriksa profil kolesterol
dilakukan untuk menilai besarnya risiko seseorang, dan bukan
dilakukan untuk mendiagnosis adanya PJK. Pemeriksaan kadar
kolesterol-LDL untuk menilai keberhasilan target terapi kadar
kolesterol tinggi. Pemeriksaan gula darah untuk penapisan diabetes
melitus. Bila mempunyai diabetes melitus, pemeriksaan HbA1c
dilakukan untuk menilai kendali gula darah dalam 3 bulan terakhir.
Pemeriksaan Pencitraan
Sumbatan koroner dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
pencitraan. Yang dimaksud dengan pemeriksaan pencitraan adalah
pemeriksaan yang memperlihat citra (gambar) anatomis dari suatu
organ.
Berbagai pemeriksaan pencitraan mempunyai keunggulan dan
kekurangan. Saat ini pemeriksaan angiografi koroner merupakan ‘gold
standar’ yang akurasinya tinggi dalam mendeteksi adanya sumbatan
koroner, namun merupakan pemeriksaan invasif dan paparan radiasi
sinar X yang ditimbulkannya cukup tinggi.
Pemeriksaan Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan pemeriksaan pencitraan
dengan alat ekokardiogram. Pemeriksaan ini dilakukan bukan untuk
tujuan melihat adanya sumbatan koroner secara langsung. Otot-otot
jantung yang tidak cukup mendapatkan pasokan darah akan mengalami
gangguan kontraksi.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila dokter ingin mengamati struktur
jantung:
- Katup jantung
- Otot jantung, seperti penebalan otot jantung
- Sekat jantung (yang embagi jantung menjadi 4 ruangan jantung)
- Kantung jantung
Angiografi Koroner
Pemeriksaan angiografi koroner sering disebut juga sebagai
pemeriksaan kateterisasi jantung, sebab pada pemeriksaan ini suatu
kateter akan dimasukkan melalui pembuluh darah di lipat paha atau
lengan hingga menuju jantung. Ketika ujung kateter telah mencapai
arteri koroner jantung, suatu zat kontras di injeksikan sehingga
gambaran sumbatan di pembuluh darah pada hasil foto Rontgent akan
tampak dengan jelas.
Pemeriksaan angiografi merupakan ‘gold standar’ atau
pemeriksaan baku emas yang sangat akurat untuk mendiagnosis
adanya sumbatan di arteri koroner jantung.
2. Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) berpotensi menjadi ancaman terhadap beberapa organ
dalam tubuh termasuk jantung. Keterkaitan diabetes mellitus dengan penyakit
jantung sangatlah erat. Resiko serangan jantung pada penderita DM adalah 2-6
kali lipat lebih tinggi dibandingkan orang tanpa DM. Jika seorang penderita
DM pernah mengalami serangan jantung, resiko kematiannya menjadi tiga kali
lipat lebih tinggi. Peningkatan kadar gula darah dapat disebabkan oleh
kekurangan insulin dalam tubuh, insulin yang tidak cukup atau tidak bekerja
dengan baik (Yahya, 2010). Penderita diabetes cenderung memiliki pravalensi
prematuritas, dan keparahan arterosklerosis lebih tinggi. Diabetes mellitus
menginduksi hiperkolesterolemia dan secara bermakna meningkatkan
kemungkinan timbulnya arterosklerosis. Diabetes mellitus juga berkaitan
dengan proliferasi sel otot polos dalam pembuluh darah arteri koroner, sintesis
kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid. Peningkatan kadar LDL dan turunnya
kadar HDL juga disebabkan oleh diabetes milletus. Biasanya penyakit jantung
koroner terjadi di usia muda pada penderita diabetes dibanding non diabetes.
3. Merokok
Sekitar 24% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11% pada
perempuan disebabkan kebiasaan merokok. Orang yang tidak merokok dan
tinggal bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan resiko sebesar
20-30%. Resiko terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis
dimana orang yang merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari memiliki
resiko sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi menderita PJK dari pada yang
tidak merokok. Setiap batang rokok mengandung 4.800 jenis zat kimia,
diantaranya karbonmonoksida (CO), karbon dioksida (CO2), hidrogen sianida,
amoniak, oksida nitrogen, senyawa hidrokarbon, tar, nikotin, benzopiren, fenol
dan kadmium. Reaksi kimiawi yang menyertai pembakaran tembakau
menghasilkan senyawa-senyawa kimiawi yang terserap oleh darah melalui
proses difusi.
Nikotin yang masuk dalam pembuluh darah akan merangsang
katekolamin dan bersama-sama zat kimia yang terkandung dalam rokok dapat
merusak lapisan dinding koroner. Nikotin berpengaruh pula terhadap syaraf
simpatik sehingga jantung berdenyut lebih cepat dan kebutuhan oksigen
meninggi. Karbon monooksida yang tersimpan dalam asap rokok akan
menurunkan kapasitas penggangkutan oksigen yang diperlukan jantung karena
gas tersebut menggantikan sebagian oksigen dalam hemoglobin. Perokok
beresiko mengalami seranggan jantung karena perubahan sifat keping darah
yang cenderung menjadi lengket sehingga memicu terbentuknya gumpalan
darah ketika dinding koroner terkoyak.
4. Hiperlipidemia
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas
berasal eksogen dari makanan dan endogen dari sintesis lemak. Kolesterol dan
trigliserida adalah dua jenis lipid yang relatif mempunyai makna klinis yang
penting sehubungan dengan arteriogenesis. Lipid tidak larut dalam plasma
tetapi terikat pada protein sebagai mekanisme transpor dalam serum.
Peningkatan kolesterol LDL, dihubungkan dengan meningkatnya resiko
terhadap koronaria, sementara kadar kolesterol HDL yang tinggi tampaknya
berperan sebagai faktor perlindung terhadap penyakit arteri koroneria.
5. Obesitas
Kelebihan berat badan memaksa jantung bekerja lebih keras, adanya beban
ekstra bagi jantung. Berat badan yang berlebih menyebabkan bertambahnya
volume darah dan perluasan sistem sirkulasi sehingga berkolerasi terhadap
tekanan darah sistolik
2) Keturunan (Genetik)
Riwayat jantung koroner pada keluarga meningkatkan kemungkinan
timbulnya aterosklerosis prematur. Riwayat keluarga penderita jantung
koroner umumnya mewarisi faktor-faktor resiko lainnya, seperti abnormalitas
kadar kolesterol, peningkatan tekanan darah, kegemukan dan DM. Jika
anggota keluarga memiliki faktor resiko tersebut, harus dilakukan
pengendalian secara agresif. Dengan menjaga tekanan darah, kadar kolesterol,
dan gula darah agar berada pada nilai ideal, serta menghentikan kebiasaan
merokok, olahraga secara teratur dan mengatur pola makan
3) Usia
Kerentanan terhadap penyakit jantung koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Namun dengan demikian jarang timbul penyakit serius
sebelum usia 40 tahun, sedangkan dari usia 40 hingga 60 tahun, insiden MI
meningkat lima kali lipat. Hal ini terjadi akibat adanya pengendapan
aterosklrerosis pada arteri koroner
c) Menghindari stress
Stress merupakan salah satu pemicu timbulnya berbagai macam penyakit.
Stress memang merupakan salah satu hal yang sangat susah untuk dihindari.
Disaat stress terjadi, tubuh akan mengeluarkan hormon cortisol yang bisa
mengakibatkan otot menjadi kaki. Dan hormon norepinephrine yang akan
dihasilkan oleh tubuh disaat sedang mengalami stress yang pada akhirnya
mengakibatkan tekanan darah menjadi naik. Maka menjadi hal yang sangat baik
dengan cara mengatasi stress.
e) Menghindari obesitas
Penyakit jantung koroner dan pengobatannya dengan menghindari obesitas.
Kelebihan dari berat badan atau obesitas yang bisa meningkatkan terjadinya resiko
tekanan darah tinggi dan juga masalah ketidaknormalan lemak. Dan menghindari
atau juga mengobati obesitas serta kegemukan merupakan salah satu cara yang
paling utama dalam mencegah penyakit diabetes. Penyakit diabetes yang bisa
meningkatkan resiko penyakit jantung koroner dan bisa meningkatkan suatu
resiko pada terjadinya serangan jantung.
Dalam beberapa kasus penyakit jantung koroner memerlukan penanganan yang lebih
serius seperti pemasangan ring pada arteri koroner, angiopati atau operasi bypass
arteri koroner yang tentunya membutuhkan biaya yang sangat banyak. Ring yang
dipasang bertujuan untuk membuka arteri yang menyempit dengan tujuan untuk
meningkatkan aliran darah.
Daftar Pustaka
http://www21.ha.org.hk/smartpatient/EM/MediaLibraries/EM/EMMedia/Coronary-
Heart-Disease-Indonesian.pdf?ext=.pdf diakses pada tanggal 23 September 2018
Ghani, L., dkk. 2016. Faktor Risiko Dominan Penyakit Jantung Koroner di Indonesia.
Buletin Penelitian Kesehatan. 44(3): 153-164