Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah masalah besar bagi masyarakat di dunia
terutama di Indonesia. Statistik dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa
penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian tertinggi nomor satu di dunia. Angka
kematian kardiovaskuler mencapai 17,7 juta orang di tahun 2015 dengan 7,4 juta orang
diantaranya meninggal karena penyakit jantung koroner. Data yang sama juga menunjukkan
bahwa tiga per empat dari total kematian akibat penyakit kardiovaskuler terjadi di negara
dengan pendapatan menengah dan rendah karena belum berkembangnya pelayanan
kesehatan dan penanganan pasien dengan faktor risiko.
PCI (Percutaneous Coronary Intervention) merupakan suatu teknik untuk
menghilangkan dan melebarkan pembuluh darah koroner yang menyempit. Tindakan ini
dapat menghilangkan penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi
normal kembali, sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari (Majid, 2007), namun
pemasangan PCI pada pasien yang menderita penyakit jantung dapat mempengaruhi aktivitas
fisik pasien hingga kualitas hidupnya (Quality of Life) (Burhani, 2013).
Menurut World Health Organization (WHO) melalui WHOQOL (World Health
Organization Quality of Life) kualitas hidup merupakan suatu persepsi individu tentang
keberadaannya dalam hidup yang terkait dengan budaya dan sistem nilai di lingkungan dia
berada dalam hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal menarik lainnya
(Lucas, 2012). Kualitas hidup dipengaruhi oleh persepsi individu mengenai keadaan mereka
dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai tempat mereka hidup.
Kualitas hidup terdiri dari empat domain, yaitu domain kesehatan fisik yang meliputi
nyeri dan ketidaknyamanan, tenaga dan lelah, tidur dan istirahat, pergerakan, aktivitas sehari-
hari, ketergantungan, dan kapasitas pekerjaan. Domain psikologis yang meliputi perasaan
positif, berfikir, harga diri, penampilan, perasaan negatif, dan spiritual. Domain hubungan
sosial yang meliputi hubungan perorangan, dukungan sosial, dan kerusakan atau komplikasi
lebih lanjut seperti; miokard infark (kematian sel jantung) hingga gagalnya otot jantung
dalam mendapatkan suplai oksigen yang dapat mengakibatkan kematian seseorang (Corwin,
2008).
Upaya pencegahan komplikasi lebih lanjut pada jantung dapat berupa komplikasi
aktivitas sosial. Domain lingkungan yang meliputi keamanan fisik, lingkungan rumah,
sumber penghasilan, kesehatan, keterampilan, rekreasi, lingkungan fisik, dan transportasi
(Makkau, 2014). Kualitas hidup pasien yang optimal berdasarkan empat domain di atas
menjadi isu penting yang harus diperhatikan dalam memberikan pelayanan keperawatan yang
komprehensif (Ibrahim, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Weintraub, et all (2008) pada tahun 1999 hingga
tahun 2004, mengenai Effect of PCI on Quality of Life in Patients with Stable Coronary
menyimpulkan bahwa dari 35,539 pasien dengan CAD, mengalami peningkatan secara
signifikan setelah dilakukan pemasangan PCI terjadi peningkatan baik secara fisik, frekuensi
terjadinya angina dan kualitas hidup pasien (Weintraub et al, 2008).
Hasil wawancara yang dilakukan di Rumah Sakit Dustira Cimahi pada lima orang
pasien yang mempunyai penyakit jantung dan sudah menjalani Percutaneous Coronary
Intervention (PCI). Pada saat sebelum tindakan Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
pasien mengatakan bahwa mereka mengalami berbagai macam gangguan baik fisik maupun
psikologis seperti terganggu dalam malakukan aktivitas sehari-hari, sering lelah dan sering
merasa cemas. Setelah dilakukan tindakan Percutaneous Coronary Intervention (PCI),
merasakan adanya perubahan pada dirinya, mereka mengatakan dengan kondisi yang
sekarang merasa lebih baik tetapi masih ada sedikit kecemasan karena kurang mengetahui
kemungkinan yang akan terjadi setelah dilakukan tindakan Percutaneous Coronary
Intervention (PCI).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Brilinta efektif sebagai antiplatelet untuk pasien dengan pemasangan ring jantung
(PCI)?
2. Apakah Brilinta mempunyai efek samping untuk pasien dengan pemasangan ring
jantung (PCI)?
C. Tujuan
1. Mengetahui efektifitas Brilinta sebagai antiplatelet untuk pasien dengan pemasangan ring
jantung (PCI).
2. Mengetahui efek samping Brilinta untuk pasien dengan pemasangan ring jantung (PCI).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. IHD
IHD (Ischemic Heart Disease) atau Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan
kondisi ketidakcukupan suplai darah dan oksigen di sebagian otot jantung, biasanya
muncul ketika terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen otot
jantung. Penyebab paling sering daro Iskemik Miokardium yaitu ateroskelorosis pada
salah satu atau beberapa arteri koroner yang cukup berat sehingga aliran darah ke otot
jantung yang disuplai arteri tidak mencakupi (Ummah, 2016).
Etiologi penyakit jantung koroner dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
Penyempitan (stenosis) dan penciutan (spasme) arteri koronaria, tetapi penyempitan
bertahap akan memungkinkan berkembangnya kolateral yang cukup sebagai pengganti;
Ateroskelerosis, menyebabkan sekitar 98% kasus PJK; Penyempitan arteri koronaria pada
sifilis, berbagai jenis arteritis yang mengenai arteri coronaria (Ummah, 2016).

2. CHF
Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) adalah keadaan
patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya
ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Kondisi ini disertai
peninggian volume diastolik secara abnormal. Gagal jantung kongestif menunjukkan
adalah ketidakmampuan jantung untuk untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen
dan nutrisi (Pangestu & Nusadewiarti, 2020).
Prevalensi gagal jantung cenderung mengikuti pola eksponensial seiring usia,
karena bertambahnya usia seseorang akan mengakibatkan penuruan fungsi jantung. Usia
merupakan faktor resiko utama terhadap penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya
termasuk gagal jantung. Pertambahan umur dikarakteristikkan dengan disfungsi progresif
dari organ tubuh dan berefek pada kemampuan mempertahankan homeostasis.

Gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor.


Berdasarkan tipe gangguannya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung
sistolik dan diastolik. Berdasarkan letak jantung, gagal jantung kongestif diklasifikasikan
sebagai gagal jantung kanan dan kiri. Sedangkan menurut New York Heart Association
(NYHA), gagal jantung kongestif dibagi atas 4 kelas berdasarkan gejala dan aktivitas
fisik berikut:
Kelas I: Tidak terdapat batasan melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik seharihari tidak
menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas II: Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun
aktivitas sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas III: Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas IV: Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.

3. ACS STEMI
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit dimana terjadi
perubahan patologis atau kelainan dalam dinding arteri koroner yang dapat menyebabkan
terjadinya iskemik maupun infark miokardium. Sindrom Koroner Akut merupakan
penyebab kematian tertinggi di dunia, World Health Organization (WHO) pada tahun
2015 melaporkan penyakit kardiovaskuler menyebabkan 17,5 juta kematian atau sekitar
31% dari keseluruhan kematian secara global dan yang diakibatkan sindrom koroner akut
sebesar 7,4 juta. ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan suatu kondisi yang
mengakibatkan kematian sel miosit jantung karena iskemia yang ber-kepanjangan akibat
oklusi koroner akut. STEMI terjadi akibat stenosis total pembuluh darah koroner
sehingga menyebabkan nekrosis sel jantung yang bersifat irreversible. Terjadinya
sindrom koroner akut dihubungkan oleh beberapa faktor risiko meliputi faktor yang tidak
dapat dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin, keturunan, dan faktor yang dapat
dimodifikasi seperti merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dis-lipidemia, dan obesitas.
Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya SKA ini telah dijelaskan dalam
Frammingham Heart Study dan studi-studi lainnya. Studi-studi ini men-jelaskan bahwa
faktor resiko yang dapat dimodifikasilah yang berpengaruh kuat terjadinya sindrom
koroner akut (Mulia et al, 2021).

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram


(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation


myocardial infarction).
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris) Infark
miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi
total pembuluh darah arteri koroner.

Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran


darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak
memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung (PERKI, 2015).
(Sumber : PERKI, 2018)
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau
bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan
NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T
atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan
bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non
ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka
jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang
untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal
atas (upper limits of normal, ULN) (PERKI, 2015).

4. CAD 3 VD
Coronary Artery Disease (CAD) merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang
disebabkan karena otot miokard kekurangan suplai darah akibat adanya penyempitan
arteri koroner dan tersumbatnya pembuluh darah jantung (AHA, 2017). Bash (2015)
dalam studi Biopsycosocial Spiritual Factors Impacting African American Patient’s
Cardiac Rehabilitation Refferal and Participation menyatakan bahwa sebagian besar dari
pasien CAD memiliki historical assessment obesitas (35%), gaya hidup (30%), hipertensi
(33%), sindrom metabolik (35%), pre diabetes melitus (38,2%), diabetes melitus (8,3%),
dan merokok (20,5%) laki-laki dan (15,9%) wanita berkontribusi pada peningkatan
prevalensi Atherosclerotic Cardiovascular Disease (ASCVD). Selain itu, sebagian besar
pasien CAD juga memiliki clinical assessment seperti nyeri dada, sesak napas, TD
systole < 100 - 150 mmHg, dan dyastole > 90 mmHg, denyut nadi dalam rentang 50 – 90
x/menit, saturasi O2 < 85%, peningkatan HDL dan LDL, peningkatan enzim jantung
Troponin I, Troponin T, dan CK-CKMB (Bash, 2015).

Coronary arterial disease (CAD) merupakan penyakit yang dikarenakan


sumbatan pada arteri koroner. Salah satu metode untuk menilai keparahan CAD adalah
dengan klasifikasi vessel score. Vessel skor didefinisikan sebagai nomor pembuluh darah
dengan lesi arteri koroner 70% stenosis. Rentang skornya adalah: 0-3 poin tergantung
pada jumlah arteri koroner terlibat. Skor 0 VD (angiogram normal/CAD tidak signifikan)
menunjukkan bahwa ada tidak ada arteri koroner dengan >70% stenosis; 1-VD (single
vessel disease) menunjukkan bahwa ada 1 pembuluh darah dengan >70% stenosis; 2-VD
(double vessel disease) menunjukkan bahwa ada dua pembuluh darah dengan >70%
stenosis dan 3-VD (triple vessel disease) menunjukkan bahwa ada tiga kapal dengan>
70% stenosis (Isnanta et al., 2014). CAD 3VD merupakan suatu penyakit yang
menyebabkan angina pektoris yang disebabkan oleh ≥ 70% pada 3 pembuluh darah
koroner yang besar (Montalescot, 2013). Hal yang paling berbahaya dari suatu infark
miokard adalah biasanya disebabkan oleh oklusi pada pembuluh darah left main, ataupun
CAD 3VD (Ginting, 2019).

5. TAVB
6. Angina Pectoris
7. Oedom Pulmo
8. Diastole HF
9. UAP
DAFTAR PUSTAKA
Burhani. (2013). Pemetaan Kebutuhan Stent Dan Memprediksikan Jumlah Permintaan Stent
Di Masa Mendatang. Jurnal Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Lucas, R. (2012). The WHO Quality Of Life(Whoqol)Questionnaire: Spanish Development
And Validation Studies. Quality Life Resp, 21, 161–165. Doi.Org/10.1017/
S1041610212001809.
Makkau, A.M. (2014). Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Orang Dengan Hiv Dan
Aids (Odha) Di Yayasan Peduli Kelompok Dukungan Sebaya Kota MakassarTahun
2014. Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin,Makasar.
Pangestu, M.D. & Nusadewiarti, A. (2020). Penatalaksanaan Holistik Penyakit Congestive Heart
Failure pada Wanita Lanjut Usia Melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga.
Ummah, D. F. (2016). Gambaran Angiografi Pada Pasien Penyempitan Pembuluh Darah
Koroner Pasien Usia Muda.
Weintraub, S.W.Et Al., (2008). Effect Of PCI On Quality Of Life In Patients With Stable
Coronary Disease. The New England Journal Of Medicine.

Anda mungkin juga menyukai