Anda di halaman 1dari 10

Gagal jantung kongestif atau yang dikenal juga dengan Congestive Heart Failure (CHF)

merupakan suatu keadaan dimana terdapat ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
secara adekuat ke seluruh tubuh.
Brown Suzanne SRP. Improving medication Compliance in Patients With Heart Failure. The
America Journal of Cardology. 2008.

Gagal jantung kongestif merupakan suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien yang
mengalami abnormalitas (baik akibat keturunan atau didapat) pada struktur dan fungsi jantung,
sehingga menyebabkan terjadinya perkembangan serangkaian gejala klinis (kelemahan dan
sesak) dan tanda klinis (edema dan ronkhi) yang mengakibatkan harus dirawat inap, kualitas
hidup yang buruk, dan harapan hidup yang memendek.
Grossman WDSB. Cardiac catheterization,angiography, and intervention. 2009;7.
Philbin. Prediction Of Hospital Readmission For Heart Failure: Developpment Of A Simple Risk
Score Based On Administrative Data. 2004.

Berdasarkan Hasil Riskesdas Kemenkes RI (2013), prevalensi penyakit jantung coroner di


Indonesia mencapai 0,5% dan gagal jantung sebesar 0,13% dari total penduduk berusia 18 tahun
keatas.
Menurut data WHO menunjukkan bahwa sebanyak 17,3 juta orang di dunia meninggal karena
penyakit kardiovaskuler dan diperkirakan akan mencapai 23,3 juta penderita yang meninggal
tahun 2020, dan lebih dari 23 juta orang akan meninggal setiap tahun dengan gangguan
kardiovaskuler. Indonesia menempati nomor empat Negara dengan jumlah kematian akibat
penyakit kardiovaskuler.
World Health Organization. USRDS Anual Data Report. 2013.

Prevalensi penyakit jantung di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun (2013), provinsi dengan prevalensi penyakit jantung koroner
pada umur ≥ 15 tahun menurut diagnosis dokter ialah Provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4%).
Kemudian disusul oleh Sulawesi Tengah (3,8%) dan Sulawesi Selatan (2,9%). Sedangkan
prevalensi terendah terdapat di Provinsi Riau (0,3%), Lampung (0,4%), Jambi (0,5%), dan
Banten (0,2%).
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta:
Kemenkes RI; 2013.

Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) merupakan penyebab kematian
nomor satu di dunia (PUSDATIN, 2013). Gagal jantung berkontribusi terhadap 287.000
kematian per tahun. Sekitar setengah dari orang yang mengalami gagal jantung meninggal dalam
waktu lima tahun setelah di diagnosis (Emory Health Care, 2018). Negara Indonesia menduduki
peringkat keempat penderita gagal jantung kongestif terbanyak di Asia Tenggara setelah negara
Filipina, Myanmar dan Laos (Lam, 2015) Prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun
2013 sebesar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan gejala yang di diagnosis oleh dokter yaitu
sebesar 530.068 orang. Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi dengan jumlah terbanyak
nomor 3 yaitu sebanyak 43.361 orang, setelah Jawa Timur dengan jumlah 54.826 orang dan
Jawa Barat dengan jumlah 45.027 orang dari 33 provinsi yang ada di Indonesia (PUSDATIN,
2013). Gagal jantung kongestif disebabkan oleh kelainan otot jantung, aterosklerosis koroner,
hipertensi sistemik atau pulmonal, peradangan, penyakit jantung lain seperti gangguan aliran
darah, ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah atau pengosongan jantung abnormal
(Brunner & Suddarth, 2013). Rampengan (2014) menyebutkan gagal jantung kongestif
disebabkan oleh anemia, diet natrium, infeksi, gaya hidup, dan kelelahan fisik. Faktor risiko yang
memicu terjadinya penyebab gagal jantung diantaranya adalah merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, obesitas, kurang aktivitas fisik, diabetes melilitus, dan stres emosi (Aspiani,
2015).
American Heart Association (2016), mencatat 17,5 juta orang di dunia meninggal akibat
gangguan kardiovaskular. Lebih dari 75% penderita kardiovaskular terjadi di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah, dan 80% kematian kardiovaskuler disebabkan oleh
serangan jantung dan stroke. Jumlah kejadian penyakit jantung di Amerika Serikat pada tahun
2012 adalah 136 per 100.000 orang, di negara-negara Eropa seperti Italia terdapat 106 per
100.000 orang, Perancis 86 per 100.000. Selanjutnya jumlah kejadian penyakit jantung di Asia
seperti di China ditemukan sebanyak 300 per 100.000 orang, Jepang 82 per 100.000 orang,
sedangkan di Asia Tenggara menunjukkan Indonesia termasuk kelompok dengan jumlah
kejadian tertinggi yaitu 371 per 100.000 orang lebih tinggi dibandingkan Timur Leste sebanyak
347 per 100.000 orang 2 dan jauh lebih tinggi dibandingkan Thailand yang hanya 184 per
100.000 orang
Berdasarkan data Riskesdes tahun 2018, rata-rata gagal jantung di Indonesia (1,5) persen.

Gagal jantung adalah sindrom klinis kompleks yang diakibatkan oleh gangguan jantung
fungsional atau struktural, yang mengganggu pengisian ventrikel atau pengeluaran darah ke
sirkulasi sistemik untuk memenuhi kebutuhan sistemik. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
penyakit endokardium, miokardium, perikardium, katup jantung, pembuluh darah, atau gangguan
metabolisme. Sebagian besar pasien gagal jantung memiliki gejala akibat gangguan fungsi
miokard ventrikel kiri.
Malik A, Brito D, Chhabra L. Congestive Heart Failure]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls. 2020.

CFF
Definisi
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari fungsi struktural jantung atau
sebagai kegagalan jantung dalam mendistribusikan oksigen sesuai dengan yang dibutuhkan pada
metabolisme jaringan, meskipun tekanan pengisian normal atau adanya peningkatan tekanan
pengisian (Mc Murray et al., 2012). Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis progresif
yang disebabkan oleh ketidakmampuan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh (Dipiro et al., 2015).

McMurray, JV., Adamopoulos, S., Anker, D.S., Auricchio, A., Bohm, M., Dickstein, K., et
al.European Society of Cardiology Guidelines .Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure.EHJ. 2012; 33, 1787–1847. Diakses 10 january 2021, dari
http://www.escardio.org/Guidelines-&-Education/Clinical-Practice Guidelines/Acute-and-
Chronic-Heart-Failure
Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., & Dipiro, C.V. Pharmacotherapy Handbook.
9th Ed. Heart Failure. MC Graw Hill Education. 2015.

Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif Menurut (Agustina, Alfiyanti, & Ilmi,
2017) sebagai berikut:
a. Penyakit jantung koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita penyakit gagal
jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36%
pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung
kongestif.
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya gagal jantung.
Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan
diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya infark
miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif.
c. Cardiomiopathy
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan oleh penyakit
jantung koroner, hipertensi, atau kelainan kongenital. Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis.
Diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering
terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated Cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri
dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium
dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis.
d. Kelainan katup jantung
Dari beberapa kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan gagal jantung kongestif
ialah regurgitasi mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan
volume di jantung. peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat
agar darah tersebut dapat di distribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama
menyebabkan gagal jantung kongestif.
e. Aritmia
Atrial fibrasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu adanya faktor
concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala
awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 50% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial
fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab
gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan mordibitas
dan mortalitas
f. Alkohol dan obat-obatan
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial fibrilasi ataupun gagal
jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy.
Didapatkan 2- 3% kasus gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka
panjang. Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap miokardium
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk menyebabkan penyakit gagal
jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada wanita belum ada fakta yang konsisten.
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan kejadian rawat inap
ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari
miokardium. selain itu, obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko
penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif
Agustina, A., Afiyanti, Y., & Ilmi, B. Pengalaman Pasien Gagal Jantung Kongestif Dalam
Melaksanakan Perawatan Mandiri. Healthy-Mu Journal. 2015; 1((1).
Etiologi GJK dapat dibedakan dalam kelompok dalam yang terdiri dari kerusakan kontraktilitas
ventrikel, peningkatan afterload, dan kerusakan relaksasi dan pengisian ventrikel (kerusakan
pengisian diastolik). Kerusakan kontraktilitas dapat disebabkan oleh coronary artery disease
(miokard infark dan transient miokard iskemia), chronic volume overload (mitral dan aorta
regurgitasi), dan cardimyopathies. Peningkatan afterloadterjadi karena stenosis aorta, mitral
regurgitasi, hipervolemia, ventrikel septal defek, paten duktus arterious dan tidak terkontrolnya
hipertensi berat. Sedangkan kerusakan fase diastolik ventrikel disebabkan karena hipertropfi
ventrikel kiri, restrictive cardiomyopathy, fibrosis miokard, transient myocardial ischemia,
kontriksi perikardial atau tamponade (Lilly, 2011; Black & Hwaks, 2009).

Black, J. M & Hawks, J. H. Medikal surgical nursing, Edisi 8.Philadelpia: WB Saunders


Company. 2009.

Faktor Resiko
a. Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi,
hipertrofi pada LV, infark miokard, obesitas, diabetes.
b. Faktor resiko minor meliputi merokok, dislipidemia, gagal ginjal kronik, albuminuria, anemia,
stress, lifestyle yang buruk.
c. Sistem imun, yaitu adanya hipersensitifitas.
d. Infeksi yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri.
e. Toksik yang disebabkan karena pemberian agen kemoterapi
(antrasiklin, siklofosfamid, 5 FU), terapi target kanker (transtuzumab, tyrosine kinase inhibitor),
NSAID, kokain, alkohol.
f. Faktor genetik seperti riwayat dari keluarga. (Ford et al., 2015)

Ford, I., Robertson, M., Komadja et, al., Top ten risk factors for morbidity and mortality in
patients with chronicsystolic heart failure and elevated heart rate: The SHIFT Risk Model, IJC.
2015; 184, 163-169

Patofisiologi
Menurut (Mariyono & Santoso, 2007) kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena
ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam
sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru, dispnea dapat terjadi akibat
penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Sedangkan menurut
muttaqin (2012) di jelaskan bahwa mudah lelah dapat terjadi akibat curah jantung yang kurang
menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme, juga terjadi akibat meningkatkan energi yang digunakan untuk bernafas dan terjadi
insomnia akibat distress pernafasan dan batuk. bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah
kongesti viscera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasikan semua
darah secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak dapat meliputi
edema ekstremitas bawah, peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena leher, asites,
anoreksia, mual dan nokturia.

Maryono, H.H & Santoso, A. Gagal Jantung. Denpasar ; Fakultas Kedokteran UNUD.2007

Patofisiologi GJK diuraikan berdasarkan tipe GJK yang dibedakan atas gagal jantung akut dan
kronik, gagal jantung kanan dan kiri, high output and low output heart failure, backward and
forward heart failure, serta gagal jantung sistolik dan diastolik (Ignatavisius & Workman, 2010;
Crawford, 2009). Sebagian besar kondisi GJK dimulai dengan kegagalan ventrikel kiri dan dapat
berkembang menjadi kegagalan kedua ventrikel. Hal ini terjadi karena kedua ventrikel jantung
hadir sebagai dua sistem pompa jantung yang berbeda fungsi satu sama lain (Ignatavisius &
Workman, 2010).
Kegagalan ventrikel kiri terjadi karena ketidakmampuan ventrikel untuk mengeluarkan isinya
secara adekuat sehingga menyebabkan terjadinya dilatasi, peningkatan volume akhir diastolik
dan peningkatan tekanan intraventrikuler pada akhir diastolik. Hal ini berefek pada atrium kiri
dimana terjadi ketidakmampuan atrium untuk mengosongkan isinya kedalam ventrikel kiri dan
selanjutnya tekanan pada atrium kiri akan meningkat. Peningkatan ini akan berdampak pada
vena pulmonal yang membawa darah dari paru-paru ke atrium kiri dan akhirnya menyebabkan
kengesti vaskuler pulmonal ( Hudak & Gallo, 2010).
Kegagalan jantung kanan kanan sering kali mengikuti kegagalan jantung kiri tetapi bisa juga
disebabkan oleh karena gangguan lain seperti atrial septal defek dan cor pulmonal (Lilly, 2011;
Crawford, 2009). Pada kondisi kegagalan jantung kanan terjadi after load yang berlebihan pada
ventrikel kanan karena peningkatan tekanan vaskular pulmonal sebagai akibat dari disfungsi
ventrikel kiri, ketika ventrikel kanan mengalami kegagalan, peningkatan tekanan diastolik akan
berbalik arah ke atrium kanan yang kemudian menyebabkan terjadinya kongesti vena sistemik
(Lilly, 2011).
Beberapa kasus GJK ditemukan low output, sebaliknya high output heart failure sangat jarng
terjadi, biasanya dihubungkan dengan kondisi hiperkinetik sistem sirkulasi yang terjadi karena
meningkatnya kebutuhan jantung yang disebabkan oleh kondisi lain seperti anemia atau
tirotoksikosis. Vasokontriksi dapat terjadi pada kondisi low output heart failure sedangkan high
output heart failure terjadi vasodilatasi (Crawford, 2009). Tipe backward GJK merupakan
kondisi dimana terjadi peningkatan dalam sistem pengosongan satu atau kedua ventrikel. Tidak
adekuatnya cardiac output pada sistem forward disebut sebagai forward heart failure
(Crawford,2009).
Tipe diastolic heart failure (heart failure with preserved left ventricular function) terjadi ketika
ventrikel kiri tidak dapat berelaksasi secara adekuat selama fase diastole. Tidak adekuatnya
relaksasi atau stiffening ini mencegah pengisian darah secukupnya oleh ventrikel yang menjamin
adekuatnya cardiacoutput meskipun ejeksi fraksi lebih dari 40% tetapi ventrikel sering
mengalami kekurangan kemampuan untuk memompakan darah karena banyaknya tekanan yang
dibutuhkan untuk mengeluarkan isi jantung sesuai jumlah yang dibutuhkan pada kondisi jantung
dalam keadaan sehat (Ignatavisius & Workman, 2010

Crawford, M.H. Current diagnosis & treatment cardiologi. 3rd Ed. UK : McGraw-Hill
companies,Inc. 2009.
Ignatavicius Donna D & M Linda Workman. Medical surgical nursing patient – centered
collaborative care.sixth edition vol 1. St Louis, Missouri : Sauders Elseiver. 2010.
Hudak & Gallo. Keperawatan kritis Edisi 6. Jakarta; EGC. 2010.
Lilly, Leonard S. Pathophysiology of heart disease. Lippincots William & Wilkins, Inc. 2011
b. Mekanisme neurohormonal
Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas, dimana neurohormon pada gagal jantung
diproduksi dari banyak molekul yang diuraikan oleh neuroendokrin (Mann, 2012). Renin
merupakan salah satu neurohormonal yang diproduksi atau dihasilkan sebagai respon dari
penurunan curah jantung dan peningkatan aktivasi sistem syaraf simpatik.
c. Aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS) Pelepasan renin sebagai
neurohormonal oleh ginjal akan mengaktivasi RAAS. Angiotensinogen yang diproduksi oleh
hati dirubah menjadi angiotensin I dan angiotensinogen II.Angiotensin II berikatan dengan
dinding pembuluh darah ventrikel dan menstimulasi pelepasan endotelin sebagai agen
vasokontriktor. Selain itu, angiotensin II juga dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk
mensekresi hormon aldosteron. Hormon inilah yang dapat meningkatkan retensi garam dan air di
ginjal, akibatnya cairan didalam tubuh ikut meningkat. Hal inilah yang mendasari timbulnya
edema cairan
pada gagal jantung kongestif (Mann, 2012).
Mann, D.L., 2012, Braunwalds Heart Disease a textbook of Cardiovascular
Medicine (9theds), 487-489
d. Cardiac remodeling
Cardiac remodeling merupakan suatu perubahan yang nyata secara klinis sebagai perubahan
pada ukuran, bentuk dan fungsi jantung setelah adanya stimulasi stress ataupun cedera yang
melibatkan molekuler, seluler serta interstitial (Kehat dan Molkentin, 2010).
Kehat, I.Molkentin, J.D., 2010, Molecular Pathways Underlying Cardiac Remodeling During
Pathophysiological Stimulation, AHA Circulation, 122, 2727-2735. Diakses 25 Mei 2015, dari
http://circ.ahajournals.org/

Manifestasi Klinis
Tanda gejala yang muncul pada pasien CHF antara lain dispnea, fatigue, dan gelisah. Dyspnea
merupakan gejala yang paling sering dirasakan oleh penderita CHF yang menyatakan bahwa
dispnea selama menjalankan aktivitas sehari-sehari sering terganggu. CHF mengakibatkan
kegagalan fungsi pulmonal sehingga terjadi penimbunan cairan di alveoli. Hal ini menyebabkan
jantung tidak dapat berfungsi dengan maksimal dalam memompa darah, dampak lain yang
muncul adalah perubahan yang terjadi pada otot-otot respiratoti. Hal-hal tersebut terganggu
sehingga terjadi dispnea (Wendy, 2010).

Wendy C. Dyspnoea and Oedema in Chronic Heart Failure. Pract Nurse. 2010. 39(9).

a.Gagal jantung kiri


Manifestasi klinis gagal jantung kiri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penurunan curah
jantung dan kongesti pulmonal. Penurunan curah jantung memberikan manisfestasi berupa
kelelahan, oliguria, angina, konfusi, dan gelisah, takikardi dan palpitasi, pucat, nadi perifer
melemah, dan akral dingin. Kongesti pulmonal memberikan manifestasi klinis berupa batuk yang
bertambah buruk saat malam hari (paroxymal noctural dyspnea), dispnea, krakels, takipnea,
orthopnea.
b. Gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan manifestasi klinisnya adalah kongesti sistemik yaitu berupa: distensi vena
jugularis, pembesaran hati dan lien, anoreksia dan nausea, edema menetap, distensi abdomen,
bengkak pada tangan dan jari, poliuri, peningkatan berat badan, peningkatan tekanan darah
(karena kelebihan cairan) atau penurunan tekanan darah ( karena kegagalan pompa jantung).
c. Gagal jantung kongestif
Manifestasi pada gagal jantung kongestif adalah terjadinya kardiomegali, dan regurgitasi
mitral/trikuspid sekunder. Penurunan otot skelet bisa substansial dan menyebabkan fatigue,
kelelahan dan kelemahan.
Lilly, Leonard S. Pathophysiology of heart disease. Lippincots William & Wilkins, Inc. 2011
Ignatavicius Donna D & M Linda Workman. Medical surgical nursing patient – centered
collaborative care.sixth edition vol 1. St Louis, Missouri : Sauders Elseiver. 2010.
Davey, Patrick. Medicine at a glance. Edisi ke 4. Oxford: John Wiley & Sons. 2014.

Komplikasi
Dampak masalah potensial menurut yang mungkin terjadi pada CHF ini dapat berupa:
a. Syok kardiogenik
Merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kongstif, terjadi bila
ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas. Otot jantung kehilangan kekuatan
kontraktilitasnya, menimbulkan penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang tidak
adekuat ke organ vital (jantung, otak, ginjal).pada keadaan syok, hipoperfusi yang terjadi pada
miokardium dan jaringan perifer akan mendorong terjadinya metabolisme anaerobik sehingga
dapat menyebabkan asidosis laktat

b. Efusi parkardial dan tamponade jantung


Efusi perikardium mengacu pada masuknya cairan ke dalam kantung perikardium. Secara normal
kantong perikardium berisi cairan sebanyak kurang dari 50 ml. Cairan perikardium akan
terakumulasi secara lambat tanpa menyebabkan gejala yang nyata. Namun demikian
perkembangan efusi yang cepat dapat meregangkan perikardium sampai ukuran maksimal dan
menyebabkan penurunan curah jantung serta aliran balik vena ke jantung. Hasil akhir dari proses
ini adalah tamponade jantung (Mariyono & Santoso, 2007)
Maryono, H.H & Santoso, A. Gagal Jantung, Denpasar, Fakultas Kedokteran UNUD. 2007.

Klasifikasi
Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al.,
2013), klasifikasi dari gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut :
a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi belum
ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda dan gejala (symptom)
dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A umumnya terjadi pada
pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien yang
mengalami keracunan pada jantungnya (cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B
apabila ditemukan adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan
gejala dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien dengan infark
miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik.
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan
struktural pada jantung bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi
kerusakan. Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan
aktivitas berat. d.
Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupun intervensi khusus
dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat, serta pasien yang perlu dimonitoring
secara ketat

The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan gagal jantung dalam
empat kelas, meliputi :
a. Kelas I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara
normal tidak menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
b. Kelas II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal menyebabkan kelelahan,
dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF).
c. Kelas III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu menimbulkan gejala
yang berat (moderate CHF).
d. Kelas IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun, bahkan dalam
keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat (severe CHF).
Yancy., et al. Management of Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. 2013 Diakses 11
Mei 2015, dari http://circ.ahajournals.org

Tatalaksana Terapi CHF Tujuan Terapi


Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif (CHF) berdasarkan American Heart
Association (Yancy et al., 2013) antara lain sebagai berikut :
a. Mencegah terjadinya CHF pada orang yang telah mempunyai
faktor resiko.
b. Deteksi dini asimptomatik disfungsi LV.
c. Meringankan gejala dan memperbaiki kualitas hidup.
d. Progresifitas penyakit berjalan dengan lambat.

2. AlgoritmaTerapi
Penggolongan obat sangat erat kaitannya dengan algoritma pada terapi gagal jantung kongestif.
Berdasarkan Pharmacoterapy Handbook edisi 9tahun 2015 (Dipiro et al., 2015), penggolongan
obat pada terapi gagal jantung kongestif (CHF) adalah sebagai berikut :
Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L. Pharmacotherapy Handbook (9th ed) : Heart
Failure, MC Graw Hill Education. 2015; 75-81.
a. Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE I)
Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja menurunkan sekresi angiotensin
II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim yang dapat mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi kejadian remodeling jantung serta retensi air
dan garam.
b. Beta bloker
Berdasarkan guideline dari ACC/AHA direkomendasikan menggunakan β-blocker pada semua
pasien gagal jantung kongestif yang masih stabil dan untuk mengurangi fraksi ejeksi jantung kiri
tanpa kontraindikasi ataupun adanya riwayat intoleran pada β-blockers. Mekanisme kerja dari β-
blocker sendiri yaitu dengan menghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh
darah perifer sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat konduksi dari
sel jantung dan juga mampu meningkatkan periode refractory.
c. Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada subtipe AT1. Penggunaan obat
golongan ARB direkomendasikan hanya untuk pasien gagal jantung dengan stage A, B, C yang
intoleran pada penggunaan ACE I. Food and Drug Approval (FDA) menyetujui penggunaan
candesartan dan valsartan baik secara tunggal maupun kombinasi dengan ACE I sebagai pilihan
terapi pada pasien gagal jantung kongestif.
d. Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan meningkatkan retensi air dan
garam yang dapat menimbulkan edema baik sistemik maupun paru. Penggunaan diuretik pada
terapi gagal jantung kongestif ditujukan untuk meringankan gejala dyspnea serta mengurangi
retensi air dan garam (Figueroa dan Peters, 2006). Diuretik yang banyak digunakan yaitu dari
golongan diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid (HCT) dan golongan diuretik lengkungan yang
bekerja pada lengkung henle di ginjal seperti furosemid.
e. Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat reabsorpsi Na dan eksresi K.
Spironolakton merupakan obat golongan antagonis aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg
perhari dan 25 mg perhari pada kasus klinik yang bersifat mayor.
f. Digoksin
Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat inotropik positif yang
dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan meningkatkan dari kerja jantung. Digoxin
memiliki indeks terapi sempit yang berarti dalam penggunaan dosis rendah sudah memberikan
efek terapi. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan digoxin dan diperlukan
monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik.
g. Nitrat dan hidralazin
Nitrat dan hidralazin mempunyai efek hemodinamik yang saling melengkapi. Hidralazin sebagai
vasodilator pembuluh darah arteri yang dapat mengurangi resisten pembuluh darah sistemik serta
meningkatkan stroke volum dan cardiac output. Hidralazin memiliki mekanisme yaitu dengan
menghambat inositoltrifosfat (IP3) pada retikulum sarkoplasma yang berfungsi untuk
melepaskan ion kalsium intraseluler dan terjadi penurunan ion kalsium intraseluler. Nitrat
sebagai venodilator utama (dilatasi pembuluh darah) dan menurunkan preload (menurunkan
beban awal jantung) dengan mekanisme aktivasi cGMP (cyclic Guanosine Monophosphate)
sehingga menurunkan kadar ion kalsium intraseluler.
Yancy., et al,. Management of Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. 2013. Diakses 10
January 2021, dari http://circ.ahajournals.org

PUSDATIN. Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta: kemenkes. 2013.


Emory Health Care. Heart Failure Statistics. 2018. www.emoryhealthcare.org.
Lam, S. C. Heart failure in Southeast Asia: facts and numbers. ESC Heart Failure.2015; 2 (46 –
49). DOI: 10.1002/ehf2.12036.
Brunner, & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC. 2013.
Rampengan, S. H. Buku Praktis Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2014.
Aspiani, R. Y. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskuler Aplikasi NIC
& NOC. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC. 2015.
Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Kementerian Kesehatan Republik Indinesia. 2013. d
dari www.depkes.go.id pada 7 Januari 2021
American Heart Association (AHA). Ejection Fraction Heart Failure Measurement. 2016.
Diakses tanggal 9 Januari 2021.
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/Symptom
sDiagnosisofHeartFailure/Ejekction-Fraction- HeartFailureMeasurementUCM
Rikesdas. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Kementrian Kesehatan Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan. 2018.

Anda mungkin juga menyukai