Anda di halaman 1dari 6

KUMPULKAN KE EMAIL : saskyamaulidya@yahoo.

com

PALING LAMBAT HARI KAMIS TANGGAL 2 MEI 2019 PUKUL 16.00 WIB 

GANTI NAMA FILE MENJADI NAMA KALIAN 

1. Komponen homeostasis darah (Saskya, agung,eci)


2. Komponen pembekuan darah ( andreas, cahya,irfan)
3. Proses pembeukan darah ( dita, anggi,agung)
Mekanisme Pembekuan Darah
Lebih dari 50 macam zat penting yang mempengaruhi pembekuan darah telah ditemukan
dalam darah dan jaringan, beberapa di antaranya mempermudah terjadinya pembekuanm
disebut prokoagulan dan yang lain menghambat pembekuan, disebut antikoagulan.
Dalam keadaan normal, antikoagulan lebih dominan sehingga darah tidak membeku,
tetapi bila pembuluh darah rusak, prokoagulan di daerah yang rusak menjadi teraktivasi
dan melebihi aktivitas antikoagulan, dan bekuan pun terbentuk.
Peneliti-peneliti dalam bidang pembekuan darah semuanya setuju bahwa pembekuan
darah terjadi melalui tiga langkah utama:
1) Sebagai respons teradap rupturnya pembuluh darah atau kerusakan darah itu sendiri,
maka rangkaian reaksi kimiawi yang kompleks terjadi dalam darah yang melibatkan lebih
dari selusin faktor pembekuan darah. Hasil akhirnya adalah terbentuknya suatu kompleks
substansi teraktivasi yang secara kolektif disebut activator protrombin.
2) Activator protrombin mengkatalisis pengubahan protrombin mejadi trombin.
3) Trombin bekerja sebagai enzim untuk mengubah fibrinogen menjadi benang fibrin
yang merangkai trombosit, sel darah, dan plasma untuk membentuk bekuan..

Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology 11th ed. Mississippi: Elsevier;
2006.
4. Respon tubuh ketika terjadi pendarahan ( eci, rosy,andreas)
5. Hemophilia :
a. Definisi (wawan,anggi)
b. Epidemiologi (irfan,rita)
c. Etiologi (saskya,cahya)
d. Faktor risiko (agung,andreas)
Faktor yang diduga berperan
terhadap timbulnya inhibitor yaitu:
a) Tipe mutasi
Predisposisi genetik berkembangnya inhibitor adalah adanya mutasi pada gen faktor
VIII dan gen yang melibatkan respon imun seperti lokus gen MHC kelas I dan II.9
Timbulnya inhibitor diduga ada korelasi antara terjadinya mutasi pada gen faktor
VIII, respon imun, dan epitop antibodi FVIII. Halotip H3 dan H4 dari faktor VIII
pada penderita hemofilia A, 3,4 kali lebih besar berisiko untuk terbentuknya inhibitor.
Tipe mutasi pada penderita hemofilia A berat yaitu inversi intron 22, point mutation,
stop codon, missense, large deletion, small deletion, insertion, mutation not
characterized, dan mutation not identified. Risiko terbesar terbentuknya inhibitor
berdasarkan mutasi yang terjadi adalah large deletions >2 ekson, iatrogenic
inversions, small insersion atau deletions, missesnse mutations, dan nonsense
mutation (light atau heavy chain), hal ini dikarenakan sistem imun penerima
pengganti faktor VIII mengenalinya sebagai protein asing, sedangkan risiko lebih
rendah untuk terbentuknya inhibitor adalah splice-site mutations, small insertions,
atau deletions.
b) Berat ringannya derajat hemofilia
Selama ini telah diketahui bahwa inhibitor paling banyak ditemukan pada penderita
hemofilia A berat dibandingkan dengan hemofilia A sedang atau ringan. Inhibitor
terhadap replacement therapy terjadi pada sekitar 25-30% penderita hemofilia A
berat, dan 5% pada penderita hemophilia A sedang dan ringan.
c) Riwayat keluarga
Risiko membentuk inhibitor makin meningkat secara bermakna pada penderita
hemofilia yang mempunyai riwayat keluarga membentuk inhibitor dengan risiko
relatif (RR) 3,2. Dilaporkan bahwa insiden terbentuknya inhibitor makin tinggi pada
saudara kandung (50%), dibandingkan dengan yang lebih jauh hubungan
kekerabatannya (9%).
d) Ras
Pada bangsa Afrika, insiden penderita hemofilia berat membentuk inhibitor, dua kali
lebih tinggi daripada Kaukasian (51,9% dibandingkan 25,8%).15
e) Molekul Major Histocompability Complex (MHC)
MHC kelas II DR15 dan DQB0602 sering ditemukan pada mereka yang membentuk
inhibitor daripada yang tidak membentuk inhibitor, sehingga struktur ini dikatakan
‘risk allele’ dengan RR 2,2 dan 3,7.
f) Usia saat pertama kali diberikan replacement therapy
Insiden terbentuknya inhibitor lebih tinggi pada mereka yang mendapat replacement
therapy sebelum berusia 6 bulan. Inhibitor timbul pada 41, 29, dan 12 % jika terapi
pengganti diberikan pada usia < 6 bulan, antara 6-12 bulan, dan > 12 bulan.
g) Jenis konsentrat
Modifikasi dalam proses manufaktur berpotensi memicu pembentukan inhibitor. Pada
produk faktor VIII yang diperoleh dari plasma, masih didapatkan Von Willebrand
(VWF) yang terikat pada faktor VIII sehingga produk faktor VIII dari plasma belum
dapat sepenuhnya digantikan oleh rekombinan faktor VIII, karena belum dapat
disingkirkan kemungkinan pasien mendapat keuntungan dari VWF yang bersifat
imunosupresif atau mencegah timbulnya inhibitor.
h) intensitas dan cara pemberian replacement therapy
Replacement therapy yang dilakukan secara intensif kemungkinan menjadi faktor
risiko terbentuknya inhibitor faktor VIII pada penderita hemofilia A ringan atau
sedang. Terapi profilaksis sejak dini diperkirakan mempunyai efek protektif.
Pemberian terapi profilaksis sebelum berusia 35 bulan lebih jarang membentuk
inhibitor dibandingkan dengan mereka yang diberi terapi profilaksis setelah usia
tersebut.
Veny K Yantie, Ariawati K. Inhibitor in hemofilia. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
2012;43:31-36.
e. Klarifikasi ( dita,rosy)
f. Patofisiologi (eci, anggi)
g. Manifestasi klinis (wawan, rita)
h. Diagnosis (irfan, cahya)
i. Komplikasi (saskya, andreas)
j. Tatalaksana (agung, dita)
Penanganan penderita hemofilia dengan inhibitor bertujuan untuk menghilangkan
inhibitor, terdiri dari 2 komponen yaitu penanganan perdarahan akut dan immune
tolerance induction. Penanganan perdarahan akut diberikan berdasarkan titer
inhibitor. Terapi pengganti yang bisa diberikan pada perdarahan yang sedang
berlangsung antar lain high purity factor VIII concentrates, konsentrat porcine faktor
VIII, prothrombin complex concentrates (PCCs) dan activated prothrombin complex
concentrates (aPCCs), recombinant human factor VIIa, terapi immune tolerance
induction, terapi gen10,21-23 Immune tolerance induction dilakukan dengan cara
penderita diberikan faktor VIII dosis tinggi secara berulang dengan atau tanpa obat
sitostatika.
Terapi akibat perdarahan akut adalah pemberian F VIII. Sekarang sudah ada F VIII
yang dapat di berikan secara intra vena, dan apabila tidak mempunyai F VIII maka
dapat diberikan kriopresipitat (plasma yang didinginkan) atau diberikan transfusi
darah segar.
Menghindari obat-obatan yang dapat mengganggu fungsi trombosit seperti aspirin
dan ibuprofen.
Fauci, Anthony S. principles of Internal medicine. McGraw-Hill's company.2008
ISBN 978-0-07-147691-1.
k. Prognosis ( rosy, anggi)
l. Pencegahan (eci, wawan)
m. Edukasi (rita, irfan)
i) Trombositopenia :
a. Definisi (saskya,rosy)
b. Etiologi (andreas,eci)
c. Patofisiologi (cahya,anggi)
d. Manifestasi klinis (rosy,wawan)
e. Diagnosis (rita, dita)
f. Tatalaksana (irfan, agung)
A. ITP Akut :
1.Ringan: observasi tanpa pengobatan → sembuh spontan.
2. Bila setelah 2 minggu tanpa pengobatan jumlah trombosit belum naik, maka
berikan kortikosteroid.
3.Bila tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka berikan immunoglobulin per IV.
4.Bila keadaan gawat, maka berikan transfuse suspensi trombosit.
B. ITP Menahun
1.Kortikosteroid diberikan selama 5 bulan. Misal: prednisone 2 – 5 mg/kgBB/hari
peroral. Bila tidak berespon terhadap kortikosteroid berikan immunoglobulin (IV).
2. Imunosupressan: 6 – merkaptopurin 2,5 – 5 mg/kgBB/hari peroral.
a.Azatioprin 2– 4 mg/kgBB/hari per oral.
b.Siklofosfamid 2 mg/kgBB/hari per oral.
c.Splenektomi
indikasi :
a.Resisten terhadap pemberian kortikosteroid dan imunosupresif selama 2 – 3 bulan.
b.Remisi spontan tidak terjadi dalam waktu 6 bulan pemberian kortikosteroid saja
dengan gambaran klinis sedang sampai berat.
c.Penderita yang menunjukkan respon terhadap kortikosteroid namun perlu dosis
tinggi untuk mempertahankan klinis yang baik tanpa perdarahan. Kontra indikasi:
Anak usia sebelum 2 tahun: fungsi limpa terhadap infeksi belum dapat diambil alih
oleh alat tubuh yang lain (hati, kelenjar getah bening dan thymus.

j) Van wille broad’s disease


a. Definisi (eci,dita)
b. Etiologi (andreas,saskya)
c. Patofisiologi (cahya,agung)
Tipe 1
Secara genetik, vWF diubah sedemikian rupa sehingga tingkat faktornya rendah.
Mutasi mengganggu transportasi intraseluler dari subunit glikoprotein ini, pada tipe
berat dominan 1.
Mekanisme lain adalah pembersihan cepat faktor dari plasma, yang mengarah ke
waktu pembelahan yang lebih pendek dari multimer dalam sirkulasi oleh ADAMTS-
13. Akibatnya, pola distribusi perubahan multimer. Hasil akhirnya adalah penurunan
aktivitas vWF.
Tipe 2
Di sini level vWF plasma normal tetapi cacat secara struktural dan fungsional. Jenis
cacat adalah dasar untuk subklasifikasi lebih lanjut:
Tipe 2A
Tipe ini menunjukkan penurunan adhesi trombosit yang dimediasi oleh defisiensi
multimer vWF dengan berat molekul tinggi dalam sirkulasi. Pengurangan ini
mungkin karena cacat dalam perakitan multimer atau peningkatan tingkat
pembelahan multimer. Yang pertama disebabkan oleh mutasi, baik homozigot atau
heterozigot, yang mencegah pembentukan multimer di aparat Golgi.
Tipe 2B
Di sini multimer besar berkurang secara signifikan dalam sirkulasi, sementara tingkat
katabolisme tinggi. Hal ini disebabkan oleh mutasi yang memungkinkan
multimerisasi normal terjadi pada aparatus Golgi, tetapi menghasilkan pengikatan
multimer yang disekresikan ke trombosit di mana mereka dibelah oleh ADAMTS-3.
Hal ini menyebabkan kegagalan adhesi trombosit yang efektif oleh multimer kecil
yang abnormal, dengan kegagalan berikutnya untuk mengikat jaringan ikat.
Tipe 2M
Pada tipe ini, adhesi platelet yang tergantung vWF berkurang meskipun level normal
multimer berat molekul tinggi dalam plasma. Hal ini disebabkan oleh sekresi normal
dan perakitan multimer, tetapi kehilangan fungsi yang bergantung pada mutasi yang
mencegah pengikatan normal vWF ke platelet.
Ini mengekspos lebih sedikit multimer pada enzim pemecah ADAMTS-13, yang
mengarah pada persistensi multimer besar dalam distribusi yang hampir identik
dengan ketika mereka pada awalnya disekresikan oleh sel endotel.
Tipe 2N
Tipe ini ditandai oleh afinitas pengikatan vWF yang sangat rendah untuk faktor VIII.
Kedua mutasi homozigot dan heterozigot yang bertanggung jawab atas cacat ini telah
diakui. Kedua alel mungkin terpengaruh dalam beberapa kasus, tetapi ini jarang
terjadi. Kegagalan untuk mengikat faktor VIII menyebabkan katabolisme yang cepat,
sehingga kadar plasma faktor VIII sangat rendah.
Tipe 3
Bentuk ini disebabkan oleh mutasi resesif yang mengakibatkan hampir tidak adanya
vWF, itulah sebabnya sering disebut vWD parah.
vWD yang diadapat
Hal ini disebabkan oleh pembersihan cepat faktor von Willebrand dari plasma setelah
plasma membentuk kompleks dengan antibodinya. Ini mungkin karena adhesi sel-sel
tumor, atau karena adanya antibodi vWF yang mengganggu multimer, atau bahkan
memperlambat protein, dan juga terlihat pada pasien dengan stenosis aorta.

K. Pavani Bharati and U. Ram Prashanth. Von Willebrand Disease: An Overview.


Indian J Pharm Sci. 2011 Jan-Feb; 73(1): 7–16. doi: 10.4103/0250-474X.89751
d. Manifestasi klinis (rosy, rita)
e. Diagnosis (anggi, irfan)
f. Tatalaksana (dita, wawan)
k) Defisiensi vitamin K :
a. Definisi (rita,cahya)
b. Etiologi (rosy, eci)
c. Patofisiologi (andreas, dita)
d. Manifestasi klinis (saskya, wawan)
e. Diagnosis (agung, irfan)
f. Tatalaksana (anggi, cahya)
l) Hubungan riwayat paman andi terhadap kasus? (rita,rosy)
m) Jelaskan patofisiologi :
a. Bengkak (eci, andreas)
b. Kemerahan (dita,saskya)
c. Nyeri (wawan, agung)
Patofisiologi Nyeri secara Umum
Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi maupun
rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami
nekrotik akan merilis K + dan protein intraseluler . Peningkatan kadar K +
ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada
beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan
peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien,
prostaglandin E2, dan histamin yang akan merangasng nosiseptor sehingga
rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia
atau allodynia). Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga
bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi
oklusi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi
K + ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin,
bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan
meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosisepto. Bila nosiseptor terangsang maka
mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida
(CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi
dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh serotonin),
diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain .
Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri.
Silbernagl/Lang. Pain in Color Atlas of Pathophysiology. Thieme New York.
200;320-321.
d. Pendarahan (irfan, cahya)
n) Jelaskan mengenai tranfusi darah! (anggi,wawan,rita)

Anda mungkin juga menyukai