Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

MODUL HEMATO-ONKOLOGI
PEMICU 2

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK DISKUSI 8
Hayati I11112053
Christina Wiyaniputri I11112070
Ridhallah I11112079
Sandi Apriadi I1011131005
Siti Hani Amiralevi I1011131048
Hafitz Al Khairi I1011131049
Andreas Theo Yudapratama I1011131058
Siti Aulia Rahmah I1011131063
Risa Muthmainah I1011131067
Lisa Florencia I1011131072
Dara Agusti Maulidya I1011131086

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016

0
BAB I
PENDAHULUAN

Pemicu 2
Dina bayi perempuan, 6 bulan, dibawa ibunya ke dokter RS Untan dengan
keluhan pucat dan tampak lemah.
Dina diberikan ASI selama 4 bulan kemudian karena ibu melihat berat
badan Dina naik hanya sedikit setiap bulannya sehingga ibu memberikan tambahan
susu formula di usia 5 bulan.
Dina adalah anak ke-3 dari 3 bersaudara. Kedua kakaknya selama ini sehat
dan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang baik.
Riwayat Kehamilan
Selama hamil Ibu Dina juga mengalami anemia, pada pemeriksaan darah di
Puskesmas setempat didapatkan rata-rata nilai Hb Ibu Dina dibawah 10 gr/dL
sehingga Ibu Dina dianjurkan untuk melahirkan di RS. Pasca persalinan Ibu Dina
mendapat transfusi darah merah sebanyak 2 kantong.
Riwayat Persalinan
Bayi Dina, lahir spontan pervaginam dengan berat lahir 2450 gram, panjang
badan 48 cm, lingkar kepala 33 cm, lingkar dada 32 cm dan lingkar perut 28 cm.
Apgar skor bayi 7/9. Berdasarkan skor Ballard, usia gestasi bayi Dina adalah 38-39
minggu. Ketuban putih jernih.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar yang sudah diberikan: HepB 2x, BCG 1x, DPT 2x, Polio
2x, Hib 2x.
Riwayat Nutrisi
Minum ASI ekslusif hingga usia 4 bulan kemudian mulai diberikan
tambahan susu formula sejak usia 5 bulan.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Berat lahir 2450 gram. Usia 1 bulan BB 2700 gram panjang 49 cm, usia 3
bulan BB 3900 gram dan panjang 51 cm, usia 5 bulan BB 4400 gram dan panjang
badan 52 cm.

1
Saat tiba di RS Untan: Pemeriksaan Fisik: Nadi 156x/menit, Pernapasan 58x/menit,
suhu 36,7oC.
Tampak pucat. Pemeriksaan jantung paru dalam batas normal. Pemeriksaan
abdomen ditemukan adanya splenomegali (Schuffner 1).

1.1.Klarifikasi dan Definisi


-

1.2.Kata Kunci
a. Bayi perempuan, 6 bulan
b. Pucat
c. Tampak lemah
d. Riwayat ibu anemia
e. Splenomegali
f. Susu formula sejak usia 5 bulan
g. Berat lahir 2450 gram

1.3.Rumusan Masalah
Bayi perempuan, usia 6 bulan datang dengan keadaan pucat, tampak
lemah, terdapat splenomegali disertai riwayat kenaikan berat badan yang sedikit
tiap bulan.

2
1.4.Analisis Masalah

Wanita Riwayat Kehamilan


Anemia: Hb ± 10g/dL
Partus: transfusi 2 kantong darah
Riwayat Imunisasi Bayi (pr), 6 bulan Riwayat Persalinan
Hep 3x, BCG 1x, DPT 2x. Pervaginam
Polio 2x, Hib 2x BL: 2450 gram, PB: 48cm,
LK: 33cm, LD: 32cm, LP: 28 cm.
Riwayat Nutrisi
KU APGAR:7/9, Ballard score:38-39 mg
ASI ekslusif selama 4 bulan
Susu formula sjk usia 5 bulan Pucat
Tampak lemah
Riwayat Tumbuh Kembang Pemeriksaan Fisik
0:2450 gr P:48 cm Nadi : 156x/menit
1:2700 gr P:49 cm Pernapasan: 58x/menit
3:3900 gr P:51 cm Suhu : 36,7oC
5: 4400 gr P:52 cm Anemia Abdomen :Splenomegali
(Schuffner 1)

Kehilangan Produksi
Darah Inadekuat
Def. Besi Pemeriksaan Penunjang
Def As.Folat RDW
Perdarahan Hemolisis Plasma Ferritin
Anemia P.Kronik
Thalasemia HPLC
Intrinsik Ekstrinsik
Thalasemia Infeksi/Obat

Diagnosis
Thalasemia

Tatalaksana

Edukasi

Konseling
genetik

3
1.5.Hipotesis
Bayi perempuan, usia 6 bulan mengalami thalassemia dan diperlukan
pemeriksaan penunjang.

1.6. Learning Issue


1. Hematopoiesis
2. Hemoglobin
3. Penyebab utama anemia pada bayi
4. Thalasemia
a. Definisi h. Tatalaksana
b. Epidemiologi i. Prognosis
c. Etiologi j. Komplikasi
d. Faktor resiko k. Edukasi
e. Klasifikasi l. Pencegahan
f. Patofisiologi
g. Manifestasi klinis
h. Diagnosis
5. Anemia hemolitik
6. Anemia defisiensi besi
7. Pemeriksaan penunjang pada kasus
8. Perbedaan hasil lab thalassemia & anemia defisiensi besi (ADB)
9. Hubungan status imunokompromais dengan thalassemia
10. Konseling genetik
11. Studi kasus:
a. Interpretasi data tambahan
b. Penyebab terjadinya splenomegali
c. Status tumbuh kembang anak
d. Hubungan MPASI dengan kasus
e. Hubungan riwayat kehamilan dengan kasus
f. Pengaturan nutrisi pada kasus

4
Data tambahan:
Laboratorium
a. Hb 7,5 gr/dL
b. Hematokrit 23%
c. Leukosit 7800/µL
d. Eritrosit 5,3 juta/ µL
e. MCV 68
f. MCH 24
g. MCHC 30 gr/dL
Gambaran apusan darah tepi:

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hematopoiesis1
Sistem hematopoitik mempunyai karakteristik berupa pergantian sel
yang konstan dengan konsekuensi untuk mempertahankan populasi leukosit,
trombosit dan eritrosit. Sistem hematopoitik dibagi menjadi 3 (gambar 2.1),
yaitu:
1. Sel stem (progrenitor awal) yang menyokong hematopoisis.
2. Colony forming unit (CFU) sebagai pelopor yang selanjutnya berkembang
dan berdiferensiasi dalam memproduksi sel.
3. Faktor regulator yang mengatur agar sistem berlangsung beraturan.

Gambar 2.1 Hirarki hematopoisis. Secara skematis diperlihatkan beberapa


progrenitor.1

6
Sel stem merupakan satu sel induk (klonal) yang mempunyai
kemampuan berdiferensiasi menjadi beberapa turunan, membelah diri dan
memperbaharui populasi sel stem di bawah pengaruh faktor pertumbuhan
hematopoitik. Hematopoitik membutuhkan perangsang untuk pertumbuhan
koloni granulosit dan makrofag yang disebut “Colony Stimulating Factor”
(CSF) yang merupakan glikoprotein. Dalam proses selanjutnya diketahui
regulasi hematopoisis sangat kompleks dan banyak faktor pertumbuhan yang
berfungsi tumpang tindih serta banyak tempat untuk memproduksi faktor-faktor
tersebut, termasuk organ hematopoitik.
Perkembangan sistem vaskuler dan hematopoisis dimulai pada awal
kehidupan embrio dan berlangsung secara paralel atau bersamaan sampai masa
dewasa dan mempunyai hubungan dengan lokasi anatomi yang menyokong
hematopoisis tersebut (gambar 2.2).

Gambar 2.2. Hematopoisis prenatal dan postnatal.1

Secara garis besar, hematopoisis dibagi dalam 3 periode:


1. Hematopoisis yolk sac (mesoblastik atau primitif)
Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah
fertilisasi. Mula-mula terbentuk dalam blood island yang merupakan

7
pelopor dari sistem vaskuler dan hematopoisis. Selanjutnya sel eritrosit dan
megakariosit dapat diidentifikasi dalam yolk sac pada masa gestasi 16 hari.
Sel induk primitif hematopoisis berasal dari mesoderm mempunyai
respons terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoetin, IL-3, IL-6,
dan faktor sel stem. Sel induk hematopoisis (blood borne pluripotent
hematopoetic progrenitors) mulai berkelompok dalam hati janin pada masa
gestasi 5-6 minggu dan pada masa gestasi 8 minggu blood island mengalami
regresi.
2. Hematopoisis hati (definitif)
Hematopoisis hati berasal dari sel stem pluripoten yang berpindah
dari yolk sac. Perubahan tempat hematopoisis dari yolk sac ke hati dan
kemudian ke sumsum tulang mempunyai hubungan dengan regulasi
perkembangan oleh lingkungan mikro, produksi sitokin dan komponen
merangsang adhesi dari matriks ekstraseluler dan ekspresi pada reseptor.
Pada masa gestasi 9 minggu, hematopoisis sudah terbentuk dalam
hati. Hematopoisis dalam hati yang terutama adalah eritropoisis, walaupun
masih ditemukan sirkulasi granulosit dan trombosit. Hematopoisis hati
mencapai puncaknya pada masa gestasi 4-5 bulan kemudian mengalami
regresi perlahan-lahan. Pada masa pertengahan kehamilan, tampak pelopor
hematopoitik terdapat di limpa, timus, kelenjar limfe dan ginjal.
3. Hematopoisis medular
Merupakan periode terakhir pembentukan sistem hematopoisis dan
dimulai sejak masa gestasi 4 bulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang
rawan dan tulang panjang dengan proses reabsorpsi. Pada masa gestasi 32
minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang diisi jaringan
hematopoitik yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel darah. Dalam
perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah diambil alih oleh
sumsum tulang, sedangkan hepar tidak berfungsi membuat sel darah merah
lagi.
Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel
darah menjadi kurang, tetapi tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa,

8
kelenjar getah bening dan dinding usus, dikenal sebagai sistem
retikuloendotelial. Pada bayi dan anak, hematopoisis yang aktif terutama
pada sumsum tulang termasuk bagian distal tulang panjang. Hal ini berbeda
dengan dewasa normal di mana hematopoisis terbatas pada vertebra (tulang
belakang), tulang iga, tulang dada (sternum), pelvis, scapula, skull (tulang
tengkorak kepala) dan jarang yang berlokasi pada humerus dan femur.
Selama masa intra uterin, hematopoisis terdapat pada tulang
(skeletal) dan ekstraskeletal dan pada waktu lahir hematopoisis terutama
pada skeletal. Secara umum hematopoisis ekstramedular terutama pada
organ perut, terjadi akibat penyakit yang menyebabkan gangguan produksi
satu atau lebih sel darah, seperti eritroblastosis fetalis, anemia pernisiosa,
talasemia, sickle cell anemia, sferositosis herediter dan variasi leukemia.
Perubahan lokasi anatomi hematopoisis disertai perpindahan populasi sel
sampai saat ini belum diketahui mekanismenya.

2.2 Hemoglobin1,2
Hemoglobin adalah suatu bahan yang berwarna merah yang ditemukan
dalam eritrosit, berupa suatu tetramer dengan ukuran 50 x 55 x 64 Ao dan berat
molekul 64.400 Dalton. Hemoglobin terdiri dari persenyawaan hem dan globin.
Hem ialah suatu persenyawaan kompleks yang terdiri atas 4 buah gugusan pyrol
dengan Fe ditengahnya, sedangkan globin terdiri atas 2 pasang rantai
polipeptida yang berbeda: 2α (alfa) dan 2β (beta) untuk Hb A (α2β2); 2α dan 2γ
(gama) untuk Hb F (α2γ2), dan 2α dan 2δ (delta) untuk HbA2 (α2δ2).
Setiap hem terikat pada setiap rantai polipeptida, pada asam amino
tertentu, umpamanya pada asam amino Histidin ke 58 dan 87 untuk polipeptida
a, dan Histidin ke 67 dan 92 untuk rantai b. Dalam keadaan besi tereduksi (ferro)
hemoglobin dapat mengikat oksigen atau karbon monoksida. Dalam bentuk
teroksidasi (ferri), hemoglobin tidak dapat mengikat oksigen, tapi mudah
mengikat anion seperti Cyan. Fungsi hemoglobin adalah mengangkut O 2 ke
jaringan tubuh dan CO2 dari jaringan ke paru.

9
Di samping rantai α, β, γ dan δ yang membentuk Hb A, HbA2 dan HbF
(hemoglobin normal) dikenal pula rantai ε (epsilon) dan rantai Z (zeta) yang
membentuk Hb Gower 1 (Z2ε2), Hb Gower 2 (α2ε2) dan Hb Portland (Z2γ2)
yang dibentuk dalam masa embrional dan masa fetal.
Pada perkembangan embrional dikenal 2 jenis rantai “α”; rantai Z yang
primitif, kemudian diganti oleh rantai α pada kehamilan 8 minggu yang terus
berlangsung selama dalam kandungan dan kehidupan dewasa. Pada kelainan
talasemia α yang berat (homozigot), pembuatan rantai Z bisa berlangsung terus
dalam kandungan; rantai Z ini kemudian bergabung dengan rantai γ,
membentuk hemoglobin Portland.
Ada 2 gen yang berperan pada pembentukkan rantai α, keduanya
terletak pada kromosom 16; gen-gen yang mengatur rantai “non- α” semuanya
terletak pada kromosom 11. Gen ε hanya aktif sampai kehamilan 8 minggu,
selanjutnya kedua gen γ yang letaknya berdekatan dengan gen ε akan diaktifkan.
Kedua gen γ itu membentuk rantai polipeptida yang sama, dengan satu
perbedaan yakni asam amino pada posisi 136; rantai yang satu mengandung
alanine (Aγ) dan yang satunya lagi mengandung glycine (Gγ) pada posisi
tersebut. Gen berikutnya yang berperan dalam membentuk hemoglobin pada
kromosom 11 ini ialah gen β dan δ; tetapi gen δ hanya membuat rantai sebanyak
1/30 daripada rantai yang dibuat gen β, sehingga HbA2 (α2δ2) merupakan
hemoglobin yang minor pada orang dewasa. Gen δ dan β diaktifkan sedikit pada
saat gen γ mulai aktif pada kehamilan 6 minggu,sehingga selama dalam
kehidupan intra uterin Hb A selalu ditemukan dalam jumlah 5-10%. Pada
kehamilan ±35 minggu kedua rantai γ kegiatannya mulai berkurang dan rantai
β dan δ mulai lebih aktif. Perubahan kadar HbF ke HbA selesai terjadi pada usia
6 bulan, sehingga kadar normal HbA pada dewasa akan berkisar antara 96-98%
dan HbA2 kurang dari 3% sedangkan kadar HbF kurang dari 1%.

10
Gambar 2.3. Perubahan tetramer hemoglobin (A) dan subunit globin (B) selama
perkembangan dari embrio sampai awal kehamilan.2

Gambar 2.4. Perubahan pre dan post natal dalam persentase total hemoglobin yang
ditandai oleh hemoglobin fetus (HbF)(kuning). Segitiga menandakan produksi
retikulosit postnatal pada bayi prematur, dan lingkaran menandakan produksi darah
dan retikulosit postnatal pada bayi cukup bulan.2

11
2.3 Penyebab utama anemia pada bayi3,4
Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin atau massa sel
darah merah kurang dari jumlah normalnya sesuai umur. Kadar hemoglobin
bervariasi pada setiap umur dan kadar hemoglobin pasien harus dibandingkan
dengan kadar normalnya sesuai umur untuk mendiagnosis anemia.

Gambar 2.5. Nilai Hemoglobin, hematokrit dan MCV3,4

Penyebab anemia bervariasi sesuai dengan umur. Anemia tidak


seharusnya digolongkan sebagai diagnosis, tetapi harus dicari penyebab dari
anemia tersebut. Pada anak-anak biasanya disebabkan oleh berkurangnya
produksi sel darah merah atau meningkatnya pergantian (turnover) dari sel
darah merah. Defisiensi besi merupakan penyebab paling umum dari
berkurangnya produksi sel darah merah. Faktor resikonya antara lain,
prematuritas, diet yang buruk, konsumsi lebih dari 24 ons susu sapi per hari dan
perdarahan kronik. Penyebab lain dari berkurangnya produksi sel darah merah

12
adalah kondisi inflamasi, gagal ginjal, pengobatan, penyakit virus dan kelainan
sumsum tulang.
Tabel 2.1. Penyebab anemia pada umur spesifik3,4

13
2.4 Thalasemia
a. Definisi5
Istilah "thalassemia" mengacu pada sekelompok penyakit darah
yang ditandai dengan penurunan atau tidak adanya sintesis rantai globin
normal. Menurut rantai yang sintesis terganggu, talasemia menjadi
talasemia α, β, γ, δ, δβ, atau εγδβ. Kebanyakan talasemia diwariskan sebagai
sifat resesif. Dari sudut pandang klinis, jenis yang paling relevan adalah
talasemia α dan βa, yang diakibatkan oleh penurunan salah satu dari dua
jenis rantai polipeptida (α atau β) yang membentuk molekul hemoglobin
pada manusia dewasa yang normal.

14
b. Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO) sekitar 5% dari seluruh
populasi di dunia adalah karier talasemia. United nations International
Children’s Emergency Fund (UNICEF) memperkirakan sekitar 29,7 juta
pembawa talasemia beta berada di India dan sekitar 10.000 bayi lahir
dengan talasemia beta mayor. Jumlah penderita talasemia di Yayasan
Talasemia Indonesia pada tahun 2008 terdapat 44 penderita. Tahun 2009
meningkat 32,3% menjadi 65 penderita. Tahun 2010 penderita talasemia
meningkat lagi 53,85% menjadi 100 penderita dan tahun 2011 meningkat
menjadi 63%.6
Terdapat >200 mutasi untuk talasemia β, meskipun sebagian besar
jarang terjadi. Dua puluh alel yang mengalami mutasi ini merupakan 80%
dari talasemia yang dikenal di seluruh dunia; 3% dari populasi dunia
membawa gen talasemia β, dan di Asia Tenggara 5-10% dari populasi
membawa gen untuk talasemia α. Di Amerika Serikat, diperkirakan 2.000
orang mengalami talasemia β.7
c. Etiologi8
Thalasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan orangtua
kepada anaknya. Anak yang mewarisi gen thalasemia dari salah satu
orangtua dan gen normal dari orangtua yang lain adalah seorang pembawa
(carriers). Anak yang mewarisi gen thalasemia dari kedua orangtuanya
akan menderita thalasemia sedang sampai berat.
Kelainan yang akan ditemukan pada penderita thalasemia adalah
gangguan sintesis jumlah hemoglobin pada rantai alpha atau rantai beta
sehingga hemoglobin yang terbentuk dalam sel darah merah mempunyai
jumlah rantai protein yang tidak sempurna (kekurangan atau tidak
mempunyai rantai protein).
d. Faktor resiko1
Thalasemia αo ditemukan terutama di Asia Tenggara dan kepulauan
Mediterania, talasemia α+ tersebar di Afrika, Mediterania, Timur Tengah,
India dan Asia Tenggara. Angka kariernya mencapai 40-80%.

15
Thalasemia β memiliki distribusi sama dengan thalasemia α, dengan
kekecualian di beberapa negara, frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di
Mediterania dan bervariasi di Timur Tengah, India dan Asia Tenggara. HbE
merupakan varian thalassemia sangat banyak dijumpai di India, Birma dan
beberapa negara Asia Tenggara.
Thalasemia diturunkan berdasarkan hukum Mendel, resesif atau ko-
dominan. Heterozigot biasanya tanpa gejala, homozigot atau gabungan
heterozigot gejalanya lebih berat dari talasemia α atau β.
e. Klasifikasi1
Secara klinis bisa dibagi menjadi 3 grup :
1. Talasemia mayor, sangat tergantung pada transfusi
2. Talasemia minor/ karier tanpa gejala
3. Talasemia intermedia
Talasemia juga bisa diklasifikasikan secara genetik menjadi α-, β-,
δβ- atau talasemia εγδβ sesuai dengan rantai globin yang berkurang
produksinya. Pada beberapa talasemia sama sekali tidak terbentuk rantai
globin disebut αo atau βo talasemia, bila produksinya rendah α+ atau β+
talasemia.
f. Patofisiologi9
Talasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik
hemoglobin yang ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu
rantai globin atau lebih, sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah rantai
globin yang terbentuk. Mutasi gen pada globin alfa akan menyebabkan
penyakit alfa-talasemia dan jika itu terjadi pada globin beta maka akan
menyebabkan penyakit beta-talasemia.
Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat
disebabkan karena kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16
yang ditempati lokus gen globin. Kerusakan pada salah satu kromosom
homolog menimbulkan terjadinya keadaan heterozigot, sedangkan
kerusakan pada kedua kromosom homolog menimbulkan keadaan
homozigot (-/-).

16
Pada talasemia homozigot, sintesis rantai menurun atau tidak ada
sintesis sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non
alpha, khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan
kurangnya pembentukan Hb.
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta
disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita
penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika
hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi
pembawa/carier.
1. Talasemia Beta (β)
Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya
biosintesis dari unit  globin pada Hb A. Pada thalasemia β heterozigot,
sintesis β globin kurang lebih separuh dari nilai normalnya. Pada thalasemia
β homozigot, sintesis β globin dapat mencapai nol. Karena adanya defisiensi
yang berat pada rantai β, sintesis Hb A total menurun dengan sangat jelas
atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan talasemia β homozigot
mengalami anemia berat. Sebagai respon kompensasi, maka sintesis rantai
γ menjadi teraktifasi sehingga hemoglobin pasien mengandung proporsi Hb
F yang meningkat. Namun sintesis rantai γ ini tidak efektif dan secara
kuantitas tidak mencukupi.
Pada talasemia β homozigot, sintesis rantai α tidak mengalami
perubahan dan tidak mampu membentuk Hb tetramer. Ketidak seimbangan
sintesis dari rantai polipeptida ini mengakibatkan kelebihan adanya rantai α
bebas di dalam sel darah merah yang berinti dan retikulosit. Rantai α bebas
ini mudah teroksidasi. Mereka dapat beragregasi menjadi suatu inklusi
protein (haeinz bodys), menyebabkan kerusakan membran pada sel darah
merah dan destruksi dari sel darah merah imatur dalam sumsum tulang
sehingga jumlah sel darah merah matur yang diproduksi menjadi berkurang,
menyebabkan sel darah merah yang beredar menjadi kecil, terdistorsi,
dipenuhi oleh inklusi α globin, dan mengandung komplemen hemoglobin
yang menurun dan memberikan gambaran dari Anemia Cooley atau anemia

17
mikrositik hipokrom yaitu hipokromik, mikrosisitk dan poikilositik. Sel
darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa, hepar,
dan sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit ini.
Sel darah merah yang mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi
mempunyai umur yang lebih panjang.
Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan kapasitas
pembawaan oksigen dari setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah
matur (yang jumlahnya sedikit) mengalami hemolisa secara prematur.
Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum
tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih banyak.
Namun mekanisme kompensasi ini tidak efektif karena adanya kematian
yang prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu ekspansi sumsum
tulang yang masif yang memproduksi sel darah merah baru.
Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi
bagian kortikal dari tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat besar
pada umur-umur yang kritis pada pertumbuhan dan perkembangan,
mengalihkan sumber-sumber biokimia yang vital dari tempat-tempat yang
membutuhkannya dan menempatkan suatu stress yang sangat besar pada
jantung. Secara klinis terlihat sebagai kegagalan dari pertumbuhan dan
perkembangan, kegagalan jantung high output, kerentanan terhadap infeksi,
deformitas dari tulang, fraktur patologis, dan kematian di usia muda tanpa
adanya terapi transfusi. Jika seseorang memiliki 1 gen beta globin normal,
dan satu lagi gen yang sudah termutasi, maka orang itu disebut carier/trait.

18
Gambar 2.6. Gambar di atas menunjukkan bahwa kedua orangtua
merupakan carier/trait. Maka anaknya 25% normal, 50% carier/trait,
25% mewarisi 2 gen yang termutasi (thalasemia mayor).9

2. Talasemia Alpha (α)


Rantai globin yang berlebihan pada talasemia α adalah rantai γ dan
yang kurang atau hilang sintesisnya dalah rantai α. Rantai γ bersifat larut
sehingga mampu membentuk hemotetramer yang meskipun relatif tidak
stabil, mampu bertahan dan memproduksi molekul Hb yang lain seperti Hb
Bart (γ4) dan Hb H (β4). Perbedaan dasar inilah yang mempengaruhi lebih
ringannya manisfestasi klinis dan tingkat keparahan penyakitnya
dibandingkan dengan talasemia beta.
Patofisiologi talasemia α sebanding dengan jumlah gen yang
terkena. Pada talasemia α homozigot (-/-) tidak ada rantai α yang diproduksi.
Pasiennya hanya memiliki Hb Bart’s yang tinggi dengan Hb embrionik.
Meskipun kadar Hb nya tinggi tapi hampir semuanya adalah Hb Bart’s
sehingga sangat hipoksik yang menyebabkan sebagian besar pasien lahir
mati dengan tanda hipoksia intrauterin. Bentuk thalasemia α heterozigot (α0

19
dan -α+) menghasilkan ketidakseimbangan jumlah rantainya tetapi
pasiennya dapat mampu bertahan dengan HbH dimana kelainan ini ditandai
dengan adanya anemia hemolitik karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai
pembawa oksigen. Mutasi yang terjadi pada gen alpha globin disebut delesi.

Gambar 2.7
Gambar disamping
menunjukkan bahwa
kedua orang tua yang
pada gen nya terdapat
masing-masing 2 gen
yang sudah termutasi.
Maka anaknya :
25% normal,
25% carrier,
25% 2 gen delesi,
25% menderita HbH
disease.9

• Delesi 1 gen α : Tidak ada dampak pada kesehatan, tetapi orang tersebut
mewarisi gen (Carier/Trait)
• Delesi 2 gen α : Hanya berpengaruh sedikit pada kelinan fungsi darah
• Delesi 3 gen α : Anemia berat, disebut juga Hemoglobin H (Hbh) disease
• Delesi 4 gen α : Berakibat fatal pada bayi karena alpha globin tidak dihasilkan sama
sekali

g. Manifestasi klinis1
1.Thalassemia Beta
Hampir semua anak dengan talasemia β homozigot dan heterozigot,
memperlihatkan gejala klinis sejak lahir, gagal tumbuh, kesulitan makan,
infeksi berulang dan kelemahan umum. Bayi Nampak pucat dan didapatkan
splenomegali. Pada stadium ini tidak ada tanda klinis lain dan diagnosis
dibuat berdasarkan adanya kelainan hematologi. Bila menerima transfusi
berulang, pertumbuhannya biasanya normal sampai pubertas. Pada saat itu
bila mereka tidak cukup mendapat terapi kelasi (pengikat zat besi), tanda-
tanda kelebihan zat besi mulai nampak. Bila bayi tersebut tidak mendapat

20
cukup transfusi, tanda klinis khas thalassemia mayor mulai timbul.
Sehingga gambaran klinis thalassemia β dapat dibagi menjadi dua:
1. Cukup mendapat transfusi
2. Dengan anemia kronis sejak anak-anak
Pada anak yang cukup mendapat transfusi, pertumbuhan dan
perkembangannya biasanya normal, dan splenomegali biasanya tidak ada.
Bila terapi kelasi efektif, anak ini bisa mencapai pubertas dan terus
mencapai usia dewasa secara normal. Bila terapi kelasi tidak adekuat, secara
bertahap akan terjadi penumpukkan zat besi. Efeknya mulai nampak pada
akhir dekade pertama. Adolescent growth spurt tidak akan tercapai,
komplikasi hati, endokrin dan jantung akibat kelebihan zat besi mulai
Nampak. Termasuk diabetes, hipertiroid, hipoparatiroid dan kegagalan hati
progresif. Tanda-tanda seks sekunder akan terlambat atau tidak timbul.
Kausa kematian tersering pada penimbunan zat besi ini adalah gagal jantung
yang dicetuskan oleh infeksi atau aritmia, yang timbul di akhir dekade
kedua atau awal dekade ketiga.
Gambaran klinis pasien yang tidak mendapat transfusi adekuat
sangat berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan sangat terlambat.
Pembesaran lien yang progresif sering memperburuk anemianya dan
kadang-kadang diikuti oleh trombositopenia. Terjadi perluasan sumsum
tulang yang mengakibatkan deformitas tulang kepala, dengan zigoma yang
menonjol, memberikan gambaran khas mongoloid. Perubahan tulang ini
memberikan gambaran radiologis yang khas, termasuk penipisan dan
peningkatan trabekulasi tulang-tulang panjang termasuk jari-jari. Dan
gambaran hair on end pada tulang tengkorak. Anak-anak ini mudah
terinfeksi, yang bisa mengakibatkan penurunan mendadak kadar
hemoglobin. Karena peningkatan jaringan eritropoesis yang tidak efektif,
pasien mengalami hipermetabolik, sering demam dan gagal tumbuh.
Kebutuhan folatnya meningkat dan kekurangan zat ini bisa memperburuk
anemianya. Karena pendeknya umur eritrosit, hiperurikemi dan gout
sekunder sering timbul. Sering terjadi gangguan perdarahan, yang bisa

21
disebabkan oleh trombositopenia maupun kegagalan hati akibat
penimbunan zat besi, hepatitis virus maupun hemopoesis ekstramedular.
Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul komplikasi akibat
penimbunan zat besi. Dalam hal ini berasal dari kelebihan absorpsi di
saluran pencernaan.
Perubahan hematologi
Pertama kali datang biasanya Hb berkisar 2-8 g/dl. Eritrosit terlihat
hipokromik dengan berbagai bentuk dan ukuran, beberapa makrosit yang
hipokromik, mikrosit dan fragmentosit. Didapatkan basophilic stippling dan
eritrosit berinti selalu nampak di darah tepi, setelah splenektomi sel-sel ini
akan muncul dalam jumlah yang lebih banyak. Hitung retikulosit hanya
sedikit meningkat, jumlah leukosit dan trombosit masih normal, kecuali bila
didapatkan hipersplenisme. Pemeriksaan sumsum tulang memperlihatkan
peningkatan sistem eritroid dengan banyak inklusi di precursor eritrosit,
yang lebih nampak dengan pengecatan metil-violet yang bisa
memperlihatkan endapan α globin.
Kadar HbF selalu meningkat dan terbagi diantara eritrosit. Pada
thalassemia βo tidak didapatkan HbA, hanya HbF dan HbA2. Pada
thalassemia β- kadar HbF berkisar 20>90%. Kadar HbA2 biasanya normal
dan tidak memiliki arti diagnosis. Penelitian in vitro sintesis globin
memperlihatkan kelebihan rantai α diatas rantai non α.
2.Karier thalassemia beta
Hampir tanpa gejala, dengan anemia ringan dan jarang didapatkan
splenomegali. Didapatkan penurunan ringan kadar Hb, dengan penurunan
MCH dan MCV yang bermakna. Hapusan darah memperlihatkan
hipokromik, mikrositik dan basophilic stippling dalam berbagai tingkatan.
Pada 4-6% kasus, HbA2 meningkat 2 kali normal, 50% kasus
memperlihatkan peningkatan HbF. Di daerah Mediterania karier
thalassemia βα biasanya memiliki kadar HbA2 normal. Penyebab
terseringnya adalah gabungan dengan kelainan gen thalassemia δ. Dalam

22
konseling genetik, keadaan ini harus dibedakan dengan karier thalassemia
α.
3.Bentuk intermedia thalassemia beta
Tidak semua thalassemia β homozigot dan heterozigot memerlukan
transfusi sejak lahir. Istilah thalassemia β intermedia dipakai mulai kondisi
yang hampir seberat talasemia β, dengan anemia berat dan gangguan
pertumbuhan, sampai kondisi yang hampir seringan karier thalassemia β,
yang hanya bisa diketahui dari pemeriksaan rutin hematologi. Pada varian
yang lebih berat didapatkan gangguan pertumbuhan, perubahan tulang dan
gagal tumbuh sejak awal, penatalaksanaannya tidak dibedakan dengan
thalassemia yang tergantung transfusi. Pada kasus lain didapatkan pasien
dengan tumbuh kembang baik, keadaan yang hampir stabil dan
splenomegali ringan maupun sedang. Pada pasien ini komplikasi bisa timbul
dengan bertambahnya umur. Termasuk perubahan tulang, osteoporosis
progresif sampai fraktur spontan, luka di kaki, defisiensi folat,
hipersplenisme, anemia progresif, dan efek penimbunan zat besi karena
peningkatan absorpsi di saluran cerna.
4.Homozigot talasemia αo
Sindrom hidrops Hb Bart’s ini biasanya terjadi di dalam rahim. Bila
hidup hanya dalam waktu pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops
fetalis dengan edem permagna dan hepatosplenomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl
dengan eritrosit hipokromik dan beberapa berinti. Kadar Hb Bart’s 80%
sisanya Hb Portland. Kelainan ini sering disertai toksemia gravidarum,
perdarahan post partum, dan masalah karena hipertrofi plasenta.
Pemeriksaan otopsi memperlihatkan peningkatan kelainan bawaan.
5.HbH disease (Talasemia αα/ α+)
Ditandai dengan anemia dan splenomegali sedang. Memiliki variasi
klinis, beberapa tergantung transfusi, sedangkan sebagian besar bisa tumbuh
normal tanpa transfusi. Gambaran darah tepi khas talasemia dengan
perubahan eritrosit, dengan HbH bervariasi, sedikit Hb Bart’s dan HbA2
rendah sampai sedang. HbH bisa diketahui dengan bantuan brilian cresil

23
blue yang akan menyebabkan pengendapan dan pembentukkan badan
inklusi. Setelah splenektomi bentukan ini makin banyak pada eritrosit.
6.Karier talasemia alfa
Karier talasemia alfa bisa berasal dari talasemia αo (-/αα) atau
talasemia a+ (-α/- α). Biasanya asimtomatis, didapatkan anemia hipokromik
ringan dengan penurunan MCH dan MCV yang bermakna. Hb
elektroforesis normal dan pasien hanya bisa didiagnosis dengan analisis
DNA. Pada masa neonatus didapatkan Hb Bart’s 5-10% tapi tidak
didapatkan HbH pada masa dewasa. Kadang bisa didapatkan inklusi pada
eritrosit karier talasemia α.
h. Diagnosis10
Untuk menegakkan diagnosis thalassemia diperlukan berbagai
pendekatan. Riwayat penderita dan keluarga perlu digali untuk
mendiagnosis thalassemia. Pemeriksaan fisik mengarahkan ke diagnosis
thalassemia , bila dijumpai gejala dan tanda pucat yang menunjukkan
anemia, ikterus yang menunjukkan hemolitik, splenomegali yang
menunjukkan adanya penumpukan (pooling) sel abnormal, dan deformitas
skeletal terutama pada pasien thalassemia-β yang menunjukkan ekspansi
rongga sumsum tulang pada thalassemia mayor.
Penderita sindrom thalassemia umumnya menunjukkan anemia
mikrositik hipokrom. Kadar hemoglobin dan hematokrit menurun tetapi
hitung jenis eritrosit biasanya secara disproporsi relatif tinggi terhadap
derajat anemia, yang menyebabkan MCV sangat rendah. MCHC biasanya
sedikit menurun. Pada thalassemia mayor yang tidak diobati, relatove
distribution width (RDW) meningkat karena anisosotosis yang nyata.
Namun pada thalassemia minor RDW biasanya normal.
Pada pewarnaan wright, eritrosit khas mikrositik dan hipokrom,
kecuali pada fenotip pembawa sifat tersembunyi. Pada thalassemia-β
heterozigot dan HbH disease, eritrosit mikrositik dengan poikilositosis
ringan sampai dengan menengah. Pada thalassemia-α0 heterozigot terdapat
mikrositik dan hipokrom ringan tetapi kurang poikilositosis. Pada

24
thalassemia-β homozigot dan heterozigot berganda, dapat ditemukan
poikilositosis yang ekstrim termasuk sel target dan eliptosit dan juga
polikromasi, basophilic stippling, dan nRBCs.
Elektroforesis dengan selulosa asetat pada pH basa penting untuk
menapis diagnosis HbH disease, Bart’s, Constant spring, Lepore dan variasi
lainnya. Prosedur khusus lainnya seperti tes rantai globin dan analisis DNA
dikerjakan untuk mengidentifikasi genotip spesifik.
i. Tatalaksana11-14
1. Medikamentosa
a. Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) diberikan setelah
kadar feritin serum sudah mencapai 1000mg/l atau saturasi
transferin lebih 50% atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat bedan/hari subkutan
melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama
5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
b. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi
c. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat
d. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
a. Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,
menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya
terjadinya ruptur.
b. Hiperplasia ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah
atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat
badan dalam satu tahun.
Suspensi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita
thalasemia dengan lebih dari seribu penderita talasemia mayor
berhasil tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi besi

25
dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada anak
usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak yang memiliki HLA-spesifik
dan cocok dengan saudara kandungnya dianjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.
3. Suportif
Transfusi darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9 g/dl. Dengan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat
akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan
perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC, 3 ml/kg
BB untuk kenaikan Hb 1 g/dl.
4. Pemantauan
 Terapi
a. Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecendrungan
kelebihan besi sebagai absorbsi besi meningkat dan transfusi darah
berulang
b. Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit
kepala, gatal, sukar bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi
dihentikan.
 Tumbuh kembang
Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang,
karenanya diperlukan dan pemantauan tumbuh kembang penderita.
 Gangguan jantung, hepar, dan endokrin
Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan
fungsi jantung (gagal jantung), hepar (gagal hepar), gangguan
endokrin ( DM, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.
j. Prognosis15
Prognosis thalassemia tergantung pada tingkat keparahan penyakit
dan sejauh mana seorang individu mengikuti pengobatan secara tepat.
Individu dengan beta thalassemia mayor (bentuk yang paling parah dari
thalassemia), dapat bertahan hidup sampai usia lima puluh tahun dengan

26
transfusi darah, terapi kelasi zat besi, dan splenektomi. Tanpa terapi kelasi
zat besi, kelangsungan hidup dibatasi oleh derajat kelebihan zat besi dalam
jantung , dengan kematian sering terjadi antara usia 20 dan 30.Transplatasi
sumsum tulang dengan sumsum dari donor yang cocok menawarkan tingkat
kelangsungan hidup mencapai 54% sampai 90% untuk orang dewasa.
Hampir semua bayi yang lahir dengan thalasemia alfa mayor akan
mati karena anemia. Ada juga yang selamat namun hanya sejumlah kecil
yang dapat bertahan hidup setelah menerima transfusi prenatal
(intrauterine) darah. Prognosis untuk pasien dengan HbH tergantung pada
komplikasi dari transfusi darah, splenomegali (pembesaran limpa), atau
splenektomi (pengangkatan limpa) dan derajat anemia.
k. Komplikasi1,16
Pemberian transfusi darah yang berulang-ulang dapat menimbulkan
komplikasi hemosiderosis dan hemokromatosis, yaitu penumpukan zat besi
dalam jaringan tubuh akibat penyerapan besi yang berlebih oleh saluran
cerna yang dapat menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh seperti: hati,
limpa, ginjal, jantung, tulang, dan pankreas. Penyebab kematian tersering
akibat penimbunan zat besi adalah gagal jantung yang disebabkan oleh
kardiomiopati.16 Komplikasi lain yang terjadi adalah gangguan
pertumbuhan, gangguan endokrin dan infeksi virus Hepatitis B, C, dan HIV.
Komplikasi tersebut terjadi akibat pemberian transfusi yang tidak benar,
deposit hemosiderin pada organ-organ yang berperan dalam pertumbuhan
atau karena tidak mendapat zat pengikat besi yang adekuat.1
l. Edukasi1
Edukasi pasien dengan thalassemia minor mengenai penyakit
genetik/keturunan yang dialaminya dan beritahukan bahwa anggota
keluarga (orang tua, saudara,anak) juga mungkin terkena. Keberadaan
thalassemia beta minor menandakan bahwa kedua orang tua memiliki
peluang seperempat kali mendapatkan seorang anak dengan thalassemia
mayor. Informasikan kepada pasien thalassemia minor bahwa mereka tidak

27
mengalami defisiensi besi dan suplementasi besi tidak dapat memperbaiki
gejala anemia yang dialami.
m. Pencegahan1,17
WHO menganjurkan dua cara pencegahan yakni pemeriksaan
kehamilan dan penapisan (screening) penduduk untuk mencari pembawa
sifat talasemia. Program itulah yang diharapkan dimasukkan ke program
nasional pemerintah. Konseling genetik penting dilakukan bagi pasangan
yang berisiko mempunyai seorang anak yang menderita suatu defek
hemoglobin yang berat. Jika seorang wanita hamil diketahui menderita
kelainan hemoglobin, pasangannya harus diperiksa untuk menentukan
apakah dia juga membawa defek. Jika keduanya memperlihatkan adanya
kelainan dan ada resiko suatu defek yang serius pada anak (khususnya
Talasemia-β mayor) maka penting untuk menawarkan penegakkan
diagnosis antenatal.
a) Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari talasemia:
1. Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah, penapisan
populasi dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila
heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa menjadi homozigot atau
gabungan heterozigot.
2. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa
diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis
prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan Talasemia β berat.
Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan
penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting
menyediakan program konseling verbal maupun tertulis mengenai hasil
penapisan Talasemia.
Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda
berdasarkan ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit, bila MCV
dan MCH sesuai gambaran talasemia, perkiraan kadar HbA2 harus diukur,
biasanya meningkat pada talasemia β. Bila kadarnya normal, pasien dikirim

28
ke pusat yang bisa menganalisis gen rantai α. Penting untuk membedakan
talasemia αo(-/αα) dan talasemia α+(-α/-α), pada kasus pasien tidak
memiliki risiko mendapat keturunan talasemia αo homozigot. Pada kasus
jarang dimana gambaran darah memperlihatkan talasemia β heterozigot
dengan HbA2 normal dan gen rantai α utuh, kemungkinannya adalah
talasemia α non delesi atau talasemia β dengan HbA2 normal. Kedua hal ini
dibedakan dengan sintesis rantai globin dan analisa DNA. Penting untuk
memeriksa Hb elektroforesis pada kasus-kasus ini untuk mencari
kemungkinan variasi struktural Hb.
b) Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk talasemia, dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai globin
pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-
20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan
dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel villi chorion
(CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini
berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan pada janin.1
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS,
mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis pertama
yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin menggunakan
restriction fragment length polymorphism (RELPs), dikombinasikan
dengan analisis linkage atau deteksi langsung dari mutasi. Yang lebih baru,
perkembangan dari polymerase chain reaction (PCR) untuk
mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi pemutusan oleh enzim
restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai bentuk α
dan β dari talasemia secara langsung dengan analisis DNA janin.
Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan oligonukleotida
untuk mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam pendekatan
baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan deteksi karier dan diagnosis
prenatal. Contohnya diagnosis menggunakan hibridasi dari ujung
oligonukleotida yang diberi label 32P spesifik untuk memperbesar region

29
gen globin β melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari gen globin β dapat
diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi sampai 1 jam dan
seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2 jam.1 Terdapat berbagai
macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis prenatal. Contohnya, tehnik
ARMS (Amplification refractory mutation system), berdasarkan
pengamatan bahwa pada beberapa kasus, oligonukleotida.1 Angka
kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini, kurang dari 1%.
Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada DNA janin, non-
paterniti, dan rekombinasi genetik jika menggunakan RELP linkage
analysis.1 Program pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa strategi,
yakni : (1) penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia,
(2) konsultasi genetik (genetic counseling), dan
(3) diagnosis prenatal.
Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan
retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif pembawa sifat
thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan secara
retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga
penderita talasemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan
informasi dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa depannya.
Suatu program pencegahan yang baik untuk talasemia seharusnya
mencakup kedua pendekatan tersebut. Program yang optimal tidak selalu
dapat dilaksanakan dengan baik terutama di negara-negara sedang
berkembang, karena pendekatan prospektif memerlukan biaya yang tinggi.
Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha program pencegahan di negara
berkembang dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan
lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program
prospektif.
Konsultasi genetik meliputi skrining pasangan yang akan kawin atau
sudah kawin tetapi belum hamil. Pada pasangan yang berisiko tinggi
diberikan informasi dan nasehat tentang keadaannya dan kemungkinan bila
mempunyai anak. Diagnosis prenatal meliputi pendekatan retrospektif dan

30
prospektif. Pendekatan retrospektif, berarti melakukan diagnosis prenatal
pada pasangan yang telah mempunyai anak talasemia, dan sekarang
sementara hamil. Pendekatan prospektif ditujukan kepada pasangan yang
berisiko tinggi yaitu mereka keduanya pembawa sifat dan sementara baru
hamil. Dalam rangka pencegahan penyakit talasemia, ada beberapa masalah
pokok yang harus disampaikan kepada masyarakat, ialah :
(1) bahwa pembawa sifat talasemia itu tidak merupakan masalah baginya;
(2) bentuk talasemia mayor mempunyai dampak mediko-sosial yang besar
penanganannya sangat mahal dan sering diakhiri kematian;
(3) kelahiran bayi talasemia dapat dihindarkan.
Pemeriksaaan akan sangat dianjurkan bila terdapat riwayat : (1) ada
saudara sedarah yang menderita Talasemia, (2) kadar hemoglobin relatif
rendah antara 10-12 g/dl walaupun sudah minum obat penambah darah
seperti zat besi, (3) ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun
keadaan Hb normal .

2.5 Anemia hemolitik1


Anemia hemolitik didefinisikan sebagai suatu kerusakan sel eritrosit
yang lebih awal. Bila tingkat kerusakan lebih cepat dari kapasitas sumsum
tulang untuk memproduksi sel eritrosit maka akan menimbulkan anemia. Umur
eritrosit normal rata-rata 110-120 hari, setiap hari terjadi kerusakan sel eritrosit
1% dari jumlah sel eritrosit yang ada dan diikutioleh pembentukan di sumsum
tulang. Selama terjadi proses hemolisis, umur eritrosit lebih pendek dan diikuti
oleh aktivitas yang meningkat dari sumsum tulang ditandai dengan
meningkatnya jumlah sel retikulosit tanpa disertai perdarahan yang nyata.
Anemia hemolitik didalam klinik dibagi menurut faktor penyebabnya :
1. Anemia hemolitik defek imun
Kerusakan sel eritrosit pada anak maupun dewasa sering disebabkan
oleh adanya mediator imun baik akibat adanya autoimun maupun alloimun
antibodi. Aloimunisasi secara pasif terjadi akibat masuknya antibodi (IgG)

31
secara transplasental dari darah ibu ke darah fetus intra uterin atau secara
aktif pada kondisi ketidak cocokan darah pada transfusi tukar.
Gambaran klinik anemia hemolitik dengan antibodi tipe warm
merupakan sindrom pucat, ikterik, splenomegali dan anemia berat. Dua
pertiga dari kasus dihubungkan dengan IgG, yang merupakan antibodi
langsung yang bereaksi terhadap antigen sel eritrosit dari golongan Rh.
Berbeda dengan IgG autoantibodi, IgM pada cold reactive antibody tidak
menimbukan kerusakan secara langsung terhadap sel retikuloendotelial
pada sistem imun.
2. Anemia hemolitik defek membran
a. Sferositosis herediter
Sferositosis herediter merupakan salah satu anemia hemolitik
yang paling sering dijumpai. Penyakit ini biasanya diturunkan secara
dominan autosom dan sebagian kecil diturunkan secara resesif autosom.
Herediter sferositosis pada bayi baru lahir seringkali menunjukkan
gejala anemia dan hiperbilirubinemia. Derajat beratnya penyakit secara
klinis ini sangat bervariasi. Pada kasus yang berat akan dijumpai
gambaran diploe pada kepala atau bagian tulang lainnya.
b. Eliptositosis herediter
Eliptositosis herediter merupakan kelainan yang jarang
ditemukan dan mempunyai gambaran klinis yang sangat bervariasi.
Defek membran yang bersifat herediter ini menunjukkan adanya
defisiensi a- dan b- spektrin, serta adanya defek dari spectrin
heterodimer self-associations yang menyebabkan terjadinya
fragmentasi eritrosit. Pada eliptositosis herediter yang ringan tidak
menunjukkan gejala klinis yang khas, sedangkan pada eliptosistosis
herediter yang berat dapat memberikan gambaran poikilositosis,
hemolisis serta anemia hemolitik sporadik.
c. Stomatosis herediter

32
d. Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria merupakan penyakit
didapat yang mencerminkan adanya abnormalitas dari sistem sel yang
berakibat terhadap berbagai kelainan darah. Kelainan ini ditandai
dengan adanya defek pada membran sel eritrosit dan beberapa
komplemen akibat defisiensi beberapa protein penting diantaranya C8
binding protein.

2.6 Anemia defisiensi besi10


a. Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai oleh anemia
hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan
besi kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat penyakit kronik
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang oleh karena pelepasan besi
dari sistem retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih
normal. Pada anemia sideroblastik penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang karena gangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi
besi ke dalam heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini
digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolisme besi.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling senng
dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, oleh
karena Sangat berkaitan erat dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini
mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak
kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.
b. Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
masukan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan
menahun:

33
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
a. saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NS
AID, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan
infeksi cacing tambang.
b. saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia.
c. saluran kemih: hematuria
d. saluran napas: hemoptoe.
2. Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak
serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir
identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan
kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan
paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara
tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan pada
lapangan dengan ADB di rumah sakit atau praktek klinik. ADB di lapangan
pada umumnya disertai anemia ringan atau sedang, sedangkan di klinik
ADB pada umumnya disertai anemia derajat berat. Di lapangan faktor
nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan. B akta, pada
penelitian di Desa Jagapati, Bali, mendapatkan bahwa infeksi cacing
tambang mempunyai peran hanya pada sekitar 30% kasus, faktor nutrisi
mungkin berperan pada sebagian besar kasus, terutama pada anemia derajat
nngan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya pada praktek
swasta ternyata perdarahan kronik memegang peran penting, pada laki-laki
ialah infeksi cacing tambang (54%) dan hemoroid (27%), sedangkan pada
perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan cacing tambang masing-
masing 17%.

34
c. Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga
cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan im
disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai
oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus,
serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan
besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali,
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi,
keadaan ini disebut sebagai: iron deficient erythropoiesis. Pada fase im
kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor
transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka
eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun,
akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron
deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel
serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel
mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
d. Gejala Klinis
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan
besar, yaitu: Gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala
penyakit dasar.
1. Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu,
cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada
anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi
secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia tidak terlalu

35
menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar
hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi
tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika
hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah
kuku.
2. Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai
pada anemia jenis lain adalah:
a. koilonyehia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh,
bergaris- garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti
sendok.
b. atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
c. stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
d. disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
e. atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
f. pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti:
tanah liat, es, lem, dan lain-lain.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson
Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik
mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
3. Gejala Penyakit Dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia
akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis
membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.
Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai
gejala gangguan kebiasaan buang besar atau gejala lain tergantung dari
lokasi kanker tersebut.

36
e. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus
dilakukan an-amnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama
adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin
atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih,
apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan
adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan
penyebab dari defisiensi besi yang terjadi. Secara laboratoris untuk
menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua)
dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari
kriteria Kerlin et al) sebagai berikut: Anemia hipokromik mikrositer pada
hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC <31% dengan salah satu
dari gejala berikut:
1. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
a. Besi serum <50 mg/dl
b. TIBC >350 mg/dl
c. Saturasi transferin: <15%, atau
2. Feritin serum <20 mg/1, atau
3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain)
menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau lebih
dari 2 g/dl.
4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab
defisiensi besi. Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang
memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang
sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang
membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20%
kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.

37
f. Terapi
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi.
Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah:
1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya
pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan
menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia
akan kambuh kembali
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
(iron replacemen therapy):
a. Terapi besi oral.
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena
efektif, murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat
(sulfas ferosus) merupakan preparat pilihan pertama oleh karena
paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap
200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian
sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari
yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal.
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi
efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah
makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat
diberikan saat makan atau setelah makan. Pengobatan besi diberikan
3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan,
setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh.
Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika
tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali.
Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat
vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan
pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging yang
banyak mengandung besi.

38
b. Terapi besi parenteral
Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai risiko
lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi
parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian
besi parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral;
(2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3) gangguan pencernaan
seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi; (4)
penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi; (5)
keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup
dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada
hereditary hemorrhagic teleangiectasia: (6) kebutuhan besi yang
besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau
sebelum operasi; (7) defisiensi besi fungsional relatif akibat
pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia
akibat penyakit kronik. Terapi besi parenteral bertujuan untuk
mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500
sampai 1000 mg.

2.7 Pemeriksaan penunjang pada kasus18,19


The 1975 International Committee for Standardization dalam panel ahli
hematologi mengenai Hbs abnormal dan thalassemia membuat rekomendasi
diagnostik mengenai pemeriksaan laboratorium kondisi ini. Diagnosis awal
yang direkomendasikan termasuk hitung jenis lengkap (CBC : Complete Blood
Count), tes elektroforesis pada pH 9,2 untuk solubilitas dan sickling, dan
kuantifikasi HbA2 dan HbF. Jika Hb abnormal ditemukan pada tes awal, akan
direkomendasikan tes selanjutnya untuk mengidentifikasi variannya. Teknik ini
termasuk elektroforesis pada pH 6.0-6.2, pemisahan rantai globin, dan
isoelectric focusing (IEF). Tes tambahan termasuk tes stabilitas panas dan
isopropanol, direkomedasikan untuk deteksi Hbs tidak stabil atau Hbs dengan
afinitas oksigen yang berubah.

39
a. CBC (Complete Blood Count)
Hemoglobinopati struktural memiliki pengaruh terhadap indeks sel
darah merah, dan indeks tersebut berpengaruh terhadap diagnosis
thalassemia. Kunci utama CBC yaitu : Hb, jumlah eritrosit, mean
corpuscular volume (MCV) dan distribusi eritrosit (RDW).
Thalassemia umumnya diklasifikasikan sebagai anemia hipokromik
dan mikrositik sehingga MCV merupakan indikator kunci diagnosis. Pasien
thalassemia memiliki MCV yang menurun, dan salah satu penelitian
menyatakan bahwa MCV 72 fl merupakan diagnosis presumptif yang
sensitif dan spesifik untuk sindrom thalassemia.
Pengukuran RDW dilakukan untuk mengukur derajat variasi ukuran
eritrosit. Thalasemia umumnya menghasilkan eritrosit yang seragam dan
mikrositik tanpa peningkatan dalam RDW (pada sindrom thalassemia) dan
menunjukkan peningkatan yang khusus pada penyakit Hb H dan δ β-
thalasemia minor.
Hitung eritrosit juga berguna karena thalassemia menghasilkan
anemia mikrositik dengan peningkatan jumlah eritrosit. Penyebab anemia
mikrositik lainnya, termasuk defisiensi besi dan anemia penyakit kronik
lebih dihubungkan dengan penurunan jumlah eritrosit yang proporsional
dengan penurunan konsentrasi Hb.
Konsentrasi Hb menurun pada thalassemia. Thalassemia minor
menyebabkan penurunan sedikit pada konsentrasi Hb, sedangkan
thalassemia intermedia dan mayor dihubungkan dengan penurunan
konsentrasi Hb yang sedang hingga berat.

40
Gambar 2.8 1)Apusan darah tepi pada thalassemia minor β0 menunjukkan
mikrosit (M), sel target (T) dan poilokilosit. 2)Apusan darah tepi pasien dengan
thalassemia major β0 menunjukkan mikrositosis (M) yang lebih banyak dan
anisopoikilositosis (P) dibandingkan thalassemia minor. Sel target (T) dan
hipokromia jelas.19

Gambar 2.9. 1) Homozigot thalassemia : hipokromia berat dengan deformasi


sel darah merah dan normoblast. 2) Penyakit hemoglobin H ( thalassemia ):
anisopoikilositosis dengan sel target.2

41
Gambar 2.9. Apusan darah tepi dari pasien
dengan penyakit Hemoglobin H
menunjukkan sel target, mikrositosis,
hipokromia, dan anisopoikilositosis.
Abnormalitas morfologi mirip dengan
thalassemia beta. Pada karier asimtomatik,
hanya mikrositosis ringan yang terlihat.19

b. Inklusi Hb H
Hb H dirujuk pada tetramer Hb yang tidak dapat dipecah, yang
terdiri dari 4 rantai globin β. Hb H meningkat pada thalassemia α dimana
penurunan produksi rantai α menyebabkan kelebihan rantai β. Oksidasi
tetramer ini menyebabkan presipitasi, yang dapat terlihat secara
mikroskopis. Inklusi Hb H dapat dicapai melalui pewarnaan sel dengan
pewarna oksidatif seperti New methylene blue atau brilliant cresyl blue.
Pada keadaan penyakit Hb H, kelainan dimana 3 dari 4 rantai globin
α tidak diekspresikan, 30-100% eritrosit mengandung inklusi khusus.
Sedangkan pada thalassemia α minor dihubungkan dengan 1 sel inklusi pada
1000-10000 sel.
c. Elektroforesis
Metode elektroforesis cepat dilakukan untuk pemisahan pada ph
8.4(basa) dan pH 6.2 (asam) pada gel agarose. Hal ini memberikan latar
yang jelas sehingga memudahkan kuantifikasi Hb melalui scan
densitometrik. Visualisasi pita Hb dilakukan dengan pewarnaan Amino
Black dan Acid Violet. Pada pH basa, terjadi migrasi HbC, HbE, HbA2 ,
HbO, HbS, Hb D, dan HbG. Pada pH asam, terjadi pemisahan HbC dari
HbE, dan HbO dan HbS dari HbD dan HbG.

42
d. IEF
IEF adalah teknik elektroforesis dengan resolusi yang baik untuk
identifikasi dan kuantifikasi HbS. IEF adalah proses keseimbangan dimana
Hb bermigrasi pada gradient pH keposisi 0. Migrasi Hb pada IEF sama
dengan elektroforesis basa dengan resolusi HbC dari HbE dan HbO dan HbS
dari HbD dan HbG dengan tambahan HbA dan HbF yang betul-betul
terpisah sehingga lebih akurat bila dibandingkan dengan elektroforesis
standar.
e. HPLC
Cation-exchange HPLC merupakan metode pilihan untuk skrining
awal varian Hb dan kuantifikasi konsentrasi HbA2 dan HbF. The Bio-Rad
Variant (Bio-Rad Laboratories) adalah alat otomatis yang digunakan untuk
mengukur jumlah HbA2, HbF, HbS dan HbC.
f. Analisis DNA
DNA dari leukosit, amniosit, atau jaringan korion dapat digunakan
untuk diagnosis berbagai abnormalitas rantai globin α dan β. Mutasi delesi
menyebabkan sindrom thalassemia α dan beberapa thalassemia β langka
didiagnosis menggunakan Southern Blot hybidrization dari restriksi enzim
tertentu dengan melabeli gen probe. Teknik PCR menggunakan probe alel
spesifik setelah amplifikasi gen globin, primer alel spesifik atau amplifikasi
delesi-dependen dengan primer yang digunakan dalam rantai globin
mutasi/delesi yang diketahui, termasuk HbS, E, D dan O dan beberapa
thalassemia β.

2.8 Perbedaan hasil lab thalassemia & anemia defisiensi besi (ADB)1,2
Pada penderita talasemia β, saat pertama kali datang biasanya Hb
berkisar antara 2-8 g/dL. Eritrosit terlihat hipokromik dengan berbagai bentuk
dan ukuran, beberapa makrosit yang hipokromik, mikrosit dan fragmentosit.
Didapatkan basophilic stippling dan eritrosit berinti selalu tampak di darah tepi,
setelah splenektomi sel-sel ini akan muncul dalam jumlah yang lebih banyak.
Hitung retikulosit hanya sedikit meningkat, jumlah leukosit dan trombosit

43
masih normal, kecuali bila didapatkan hipersplenisme. Pemeriksaan sumsum
tulang memperlihatkan peningkatan sistem eritroid dengan banyak inklusi di
prekursor eritrosit, yang lebih tampak dengan pewarnaan metal-violet yang bisa
memperlihatkan endapan a globin.

Gambar 2.10 Gambaran darah tepi penderita thalassemia mayor yang khas20

Sedangkan pada anemia defisiensi besi (ADB), nilai indeks eritrosit


MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah
retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya
meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik,
mikrositik, anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target,
ovalosit, mikrosit dan sel fragmen). Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi
pada ADB yang berlangsung lama dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan
yang disebabkan infestasi cacing sering ditemukan eosinofilia. Jumlah
trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal. Trombositosis hanya ditemukan
pada penderita dengan perdarahan yang masif. Pada pemeriksaan status besi,
didapatkan kadar Fe serum menurun dan saturasi transferin meningkat.

44
Tabel 2.2. Perbedaan hasil laboratorium anemia mikrositik2

Untuk membedakan antara talasemia dan ADB, dilakukan perhitungan


indeks Mentzer, dengan rumus MCV dibagi dengan eritrosit (juta). Apabila
hasil lebih dari 13, maka ADB. Apabila hasil kurang dari 13, maka talasemia.
Pada kasus, nilai MCV adalah 68 dan eritrosit sebanyak 5,3 juta/µL, maka
indeks Mentzer sebesar 12,83. Hal ini mengindikasikan talasemia.

2.9 Hubungan status imunokompromais dengan thalassemia21


Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien thalassemia
terhadap infeksi, baik karena penyakit thalassemia ataupun dampak
pengobatan. Sebagai bagian dari sistem retikuloendotelial, fungsi limpa dapat
dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu fagositosis dan klirens materi yang tidak
teropsonisasi, perkembangan respons imun spesifik dan produksi opsonin.
Limpa merupakan lokasi respons imun awal (IgM primer). Pada orang normal,
sekuestrasi bakteri selama infeksi akan merangsang sintesis antibodi awal
secara cepat. Setelah splenektomi, kadar imunoglobulin (IgA, IgM, IgG)
menurun secara bervariasi. Banyak data menunjukkan penurunan kadar IgM.

45
Terjadi gangguan produksi antibodi terhadap pneumokokus, akan tetapi respons
antibodi terhadap antigen yang berasal dan paparan kulit terlihat normal pada
kasus thalassemia pasca splenektomi, yang menunjukkan respons antibodi pada
limpa terutama penting dalam responsnya terhadap antigen intravaskular. Suatu
studi prospektif untuk menilai fungsi imun pada kasus thalassemia yang
mengalami splenektomi memperlihatkan kesan bahwa splenektomi tidak
mengubah status imun. Kelebihan besi yang terjadi dapat mempengaruhi sistem
imun. Besi yang berlebihan dalam tubuh bukan saja merupakan nutrien esensial
untuk pertumbuhan bakteri tetapi juga menekan aksi kemotaksis, fagositosis,
mikrobisidal leukosit mononuklear dan polimorfonuklear. Efek kelebihan besi
terhadap sel limfosit T adalah ditemukannya penurunan rasio CD4 : CD8 . Pada
thalassemia hal ini disebabkan terutama akibat penurunan jumlah sel CD4 ,
walaupun peningkatan jumlah sel CD8 juga dilaporkan. Kemungkinan lain
yang dapat menyebabkan keadaan tersebut adalah stimulasi alloantigen kronis
karena transfusi darah yang berulang.

2.10 Konseling genetik22


Pada konseling genetik yang di lakukan terdapat 3 hal pokok yang harus
di informasikan yaitu:
1. Tentang penyakit talasemia itu sendiri,bagaimana cara penurunannya,dan
masalah masalah yang akan di hadapi oleh seorang penderita thalasemia
mayor.konselor juga harus terlebih dahulu mengumpulkan data medis dari
kliennya terutama riwayat keluarga sang klien,agar informasi yang di
sampaikan tepat dan bersifat khusus pasangan tersebut
2. Menberi jalan keluar cara mengatasi masalah yang sedang di hadapi oleh
sang klien dan menbiarkan mereka yang menbuat keputusan sendiri
sehubungan dengan tindakan yang akan dilakukan. Seorang konselor tidak
selayaknya menberikan jalan keluar yang kira-kira tidak mungkin
terjangkau atau dapat di lakukan orang sang klien.
3. Menbantu mereka agar keputusan yang telah di ambil dapat di laksanakan
dengan baik dan lancar.

46
Secara umum sasaran konseling genetik adalah pasangan pranikah
terutama yang berasal dari populasi atau etnik yang berpotensial tinggi
menderita thalasemia,atau kepada mereka yang menpunyai anggota keluarga
yang berpenyakit thalasemia.Kepada pasangan tersebut perlu dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan indeks hematologis terlebih dahulu sebelum menikah
untuk memastikan apakah mereka mengemban cacat genetik thalasemia.

2.11 Studi kasus:


a. Interpretasi data tambahan23
Tabel 2.3 Interpretasi data tambaahan
Nilai normal pada
Nilai yang tertera Interpretasi
anak usia 6 bulan
Hb 7,5 gr/dL 10,5-14 gr/dL Menurun
Hematokrit 23% 32-42 % Menurun
Leukosit 7800/µL 6000-17500/ µL Normal
Eritrosit 5,3 juta/ µL 3,5-5,4 juta/ µL Normal
MCV 68 fL 72-88 fL Menurun
MCH 24 pg 24-30 pg Normal
MCHC 30 % 32-36% Menurun

b. Penyebab terjadinya splenomegali24


Adanya hepatomegali dan splenomegali merupakan salah satu tanda
dari anemia hemolitik di mana disertai adanya penurunan kadar
hemoglobin. Pada pasien ditemukan splenomegali sebesar 1 shuffner
(satuan splenomegali yang diukur dengan membuat garis diagonal antara
arcus costarum dengan crista illiaca melewati umbilicus, lalu dari garis
tersebut dibagi menjadi delapan bagian. Satu bagian dinamakan satu
shuffner).
Splen atau limpa secara normal bertugas menghancurkan eritrosit
tua maupun abnormal sehingga dapat melepaskan hemoglobin yang akan
dimetabolisme menjadi biliribun di hati/hepar, menjadi reservoir cadangan

47
eritrosit, sintesis limfosit dan sel plasma dalam sistem imun, dan
membentuk eritrosit baru saat masa janin dan bayi baru lahir.
Adanya hemolisis menyebabkan proses perombakan eritrosit secara
cepat. Eritrosit abnormal cepat dihancurkan oleh limpa dan hati dengan
bantuan makrofag sehingga semakin banyak eritrosit abnormal maka kerja
limpa akan semakin berat. Hal inilah yang menyebabkan adanya
splenomegali.
Peningkatan produksi Hb F sebagai respon terhadap anemia berat,
menimbulkan mekanisme lain untuk melindungi sel darah merah pada
penderita dengan thalassemia-β. Peningkatan level Hb F akan
meningkatkan afinitas oksigen, menyebabkan terjadinya hipoksia, dimana,
bersama-sama dengan anemia berat akan menstimulasi produksi dari
eritropoetin. Akibatnya, ekspansi luas dari massa eritroid yang inefektif
akan menyebabkan ekspansi tulang berat dan deformitas. Baik penyerapan
besi dan laju metabolisme akan meningkat, berkontribusi untuk menambah
gejala klinis dan manifestasi laboratorium dari penyakit ini. Sel darah merah
abnormal dalam jumlah besar akan diproses di limpa, yang bersama-sama
dengan adanya hematopoesis sebagai respon dari anemia yang tidak
diterapi, akan menyebabkan splenomegali masif yang akhirnya akan
menimbulkan terjadinya hipersplenisme.
Selain destruksi eritrosit di limpa juga terdapat di hati. Selain itu
sebagai kompensasi atau umpan balik dari penurunan kadar hemoglobin
akibat oksigenasi ke jaringan kurang merangsang terjadinya eritropoesis 6-
8 kali lipat oleh sumsum tulang. Untuk menunjang dan membantu kerja
sumsum tulang dalam eritropoesis sehingga terbentuk eritropoesis
ekstramedular pada limpa dan hati sehingga merupakan salah satu penyebab
hepatosplenomegali.

c. Status tumbuh kembang anak25


Berdasarkan standar antroprometri penilaian status gizi anak
menurut Menkes Indonesia tahun 2010 :

48
Standar panjang badan menurut umur anak perempuan :
Umur Normal Pendek Sangat pendek
(bulan) (cm) (cm) (cm)
1 49,8-57,6 47,8-49,7 < 47,8
3 56,6-64,0 53,5-55,5 < 53,5
5 59,6-68,5 57,4-5,96 < 57,4

Standar berat badan menurut umur anak perempuan:


Umur Normal Gizi kurang Gizi buruk
(bulan) (kg) (kg) (kg)
1 3,2-5,5 2,7-3,1 < 2,7
3 4,5-7,5 4,0-4,4 < 4,0
5 5,4-8,8 4,8-5,3 <4,8

Interpretasi pada kasus


Umur 1 bulan : Panjang badan anak 49 cm termasuk normal
Berat badannya 2,7 kg termasuk gizi kurang.
Umur 3 bulan: Panjang badan anak 51 cm termasuk sangat pendek.
Berat badannya 3,9 kg termasuk gizi buruk.
Umur 5 bulan: Panjang badan anak 52 cm termasuk sangat pendek.
Berat badannya 4,4 termasuk gizi buruk.

d. Hubungan MPASI dengan kasus1


Tubuh bayi yang baru lahir (cukup bulan) mengandung 0,5 gram
besi, sementara dewasa mengandung 5 gram besi. Pada bayi, ketika
pertumbuhan berlangsung pesat, kira-kira 1 mg/L besi dalam ASI dan susu
sapi tidak cukup untuk mempertahankan zat besi dalam tubuh. Bayi yang
mengkonsumsi ASI memiliki keuntungan dibandingkan susu sapi
dikarenakan dapat menyerap zat besi 2-3 kali lebih efisien. Bayi yang
dicurigai mengalami anemia yang berat dan terjadi lebih cepat dapat
dicurigai diakibatkan oleh asupan zat besi yang tidak adekuat. Oleh karena

49
itu dapat dicegah dengan pemberian ASI atau dengan menunda pemberian
susu sapi selama 1 tahun awal kehidupan dan membatasi jumlah susu sapi
yakni <24 oz/24 jam.
Pada kasus dalam pemicu, bayi Dina telah diberikan ASI selama 4
bulan, namun masih mengalami kenaikan berat badan yang sedikit tiap
bulannya. Hal ini menandakan bahwa penyebabnya bukanlah nutrisi yang
kurang, dimana ASI merupakan asupan terbaik bagi bayi selama 6 bulan
kehidupan. Selain itu, hal ini juga menguatkan bahwa bayi Dina tidak
mengalami anemia defisiensi besi.

e. Hubungan riwayat kehamilan dengan kasus26


Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar
hemoglobin dibawah 11gr % pada trimester 1 dan 3 atau kadar < 10,5 gr %
pada trimester 2, nilai batas tersebut dan perbedaannya dengan kondisi
wanita tidak hamil, terjadi karena hemodilusi, terutama pada trimester 2.
Akibat anemia bisa berbeda-beda pada setiap tahap kehidupan. Seperti pada
wanita hamil, anemia menyebabkan risiko perdarahan sebelum atau saat
melahirkan, risiko bayi lahir dengan berat badan rendah atau prematur, cacat
bawaan, dan cadangan zat besi bayi yang rendah.
Anemia menyebabkan jumlah oksigen yang diikat dan dibawa
hemoglobin berkurang, sehingga tidak dapat memenuhi keperluan jaringan.
Beberapa organ dan proses fisiologis memerlukan oksigen dalam jumlah
besar. Bila jumlah oksigen yang dipasok berkurang maka kinerja organ yang
bersangkutan akan menurun, sedangkan kelancaran proses tertentu akan
terganggu. Anemia dapat menyebabkan perdarahan karena efektifitas sel
darah merah berkurang yang disebabkan oleh penurunan Hb, padahal fungsi
Hb adalah mengikat oksigen untuk didistribusikan ke organ-organ vital
seperti otak dan seluruh tubuh. Distribusi oksigen yang menurun dapat
menyebabkan efek buruk bagi uterus. Otot uterus tidak berkontraksi
adekuat, sehingga mengalami atonia uteri yang dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan post partum. Atonia ini disebabkan karena pembuluh

50
darah plasenta berada di antara otot, seharusnya kontraksi dan retraksi otot-
otot uterus menekan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka, sehingga
lumennya tertutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anemia
dalam kehamilan, misalnya anemia defisiensi besi, perdarahan, penyakit
kronis, dan sebagainya. Apabila diperlukan, ibu hamil juga bisa
berkonsultasi dengan hematolog untuk mengetahui adanya kemungkinan
anemia tersebut diakibatkan oleh talasemia minor.

f. Pengaturan nutrisi pada kasus27


Nutrisi merupakan faktor lingkungan yang penting untuk mecapai
tumbuh kembang yang optimal. Walaupun sangat banyak nutrien yang
dikenal namun masih belum jelas nutrien yang terbukti secara tersendiri
mempengaruhi pertumbuhan fisik. Nutrisi mutlak diperlukan oleh setiap
makhluk hidup untuk bertumbuh dan berkembang serta berfungsi secara
maksimal. Pada talasemia terjadi hemolisis sehingga terjadi anemia kronis
yang mengakibatkan hipoksia jaringan. Hipoksia kronis menyebabkan
gangguan penggunaan nutrien pada tingkat sel, sehingga terjadi gangguan
pertumbuhan. Nutrisi yang optimal sangat penting untuk kasus talasemia
sebagai modalitas dalam pengobatan jangka panjang dan untuk mencegah
gangguan gizi, gangguan pertumbuhan, perkembangan pubertas terlambat,
dan defisiensi imun yang mungkin berhubungan dengan malnutrisi
sekunder. Asupan nutrisi yang seimbang, mengandung vitamin, serta
pemberian suplemen kalsium dan vitamin D yang adekuat, dapat
meningkatkan densitas tulang dan mencegah osteoporosis, namun pasien
talasemia harus menghindari makanan dengan kandungan besi tinggi.
Kasus talasemia pada masa pertumbuhannya, memerlukan masukan
protein dan kalori yang tinggi, kalori terutama berasal dari karbohidrat,
sedangkan lemak cukup diberikan dalam jumlah normal. Pemberian kalori
untuk talasemia dianjurkan 20% lebih tinggi dari angka kecukupan gizi
harian (AKG). WHO menganjurkan konsumsi lemak sebanyak 15-30% dari

51
total kalori. Jumlah ini memenuhi kebutuhan asam lemak esensial dan untuk
membantu penyerapan vitamin yang larut dalam lemak. Setelah dewasa
masukan karbohidrat sebaiknya dibatasi, sebagai upaya untuk mencegah
atau mengatasi intoleransi glukosa. Tahun 1997 Fuchs di Thailand
melakukan penelitian tentang asupan nutrisi pada kasus talasemia usia 20-
36 bulan dengan status gizi kurang yang diberi 150 kalori/kg BB/hari dan
protein 4 g/kg BB/hari selama 1 bulan. Hasilnya terjadi peningkatan berat
badan yang bermakna, yaitu sekitar 1,2 kg.
Selain tinggi kalori dan tinggi protein, nutrisi yang perlu diberikan
juga adalah kalsim, seng, vitamin A, vitamin D, vitamin E, dan rendah besi.
Sedangkan vitamin C harus dibatasi karena dapat meningkatkan absorbsi
besi.
Makanan yang harus dihindari oleh pasien thallassemia adalah
makanan dengan kandungan besi tinggi:
• Organ dalam (hati, ginjal, limpa) 5-14 mg/dl/100 g
• Daging sapi 2,2 mg/100 g
• Hati dan ampela ayam 2-10 mg/100 g
• Ikan pusu (dengan kepala dan tulang) 5,3 mg/100 g
• Kerang 13,2 mg/100 g
• Telur ayam 2,4 mg/butir
• Telur bebek 3,7 mg/butir
• Buah kering / kismis, kacang 2,9 mg/100 g
• Kacang-kacangan yang digoreng 4-8 mg/100 g
• Kacang-kacangan yang dibakar 1,9 mg/100 g
• Biji-bijian yang dikeringkan 21,7 mg/100 g
• Sayuran berwarna hijau (bayam, kailan, kangkung) > 3 mg/100 g
Makanan yang diperbolehkan bagi pasien thallassemia adalah
makanan dengan kandungan jumlah pemberian besi sedang:
• Daging ayam, daging babi 2 potong/hari
• Tahu 1 potong
• Sawi, kacang panjang 1-2 porsi (0,5 cup)/hari

52
• Ikan pusu tanpa kepala dan tulang
• Bawang, gandum jumlah sedang
Makanan dengan kandungan besi rendah:
• Nasi, mie, roti, biskuit
• Umbi-umbian (wortel, lobak, bengkoang)
• Semua jenis ikan
• Semua jenis buah (yang tidak dikeringkan)
• Susu, keju, minyak, lemak

53
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bayi perempuan, usia 6 bulan mengalami thalassemia β mayor.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Permono BH, Sutaryo, Ugrasena IDG. Buku Ajar Hematologi-onkologi Anak.


Jakarta. Badan Penerbit IDAI, 2010.
2. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Behrman RE, Joseph W. Nelson Textbook
of Pediatrics 19th Edition. USA: Elsevier, 2011.
3. Oski FA, Brugnara C, Nathan DG. A diagnostic approach to the anemic patient In:
Nathan and Oski’s Hematology of Infancy and Childhood 6th Edition. Philadelphia:
Elsevier, 2003.
4. Bizzarro MJ, Colson E, Ehrenkranz RA. Differential diagnosis and management of
anemia in the newborn. Pediatr Clin North Am; 2004;51(4):1087-107.
5. Cappellini MD, Cohen A, Porter J, Taher A, Viprakasit V, editor. Guidelines for
the Management of Transfusion Dependent Thalassaemia (TDT) 3rd Edition.
Nicosia (CY): Thalassaemia International Federation; 2014 [dikutip 17 Mei 2016].
Diambil dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/ NBK269382/
6. Kesehatan Masyarakat. Studi epidemiologi tentang talasemia. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. 2012; 7(3).
7. Kliegman R, Behrman RE, Nelson WE. Nelson textbook of pediatrics 20th Edition.
Phialdelphia,: Elsevier, 2016.
8. Muncie, HL Jr. Campbell, J. Alpha and Beta Thalassemia. USA : American Family
Physician; 2009 : 80(4) : 339-44.
9. Kliegman RM., Behrman RE, Jenson HB and Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics 18th Edition. Philadelphia: Elsevier, 2009.
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid II edisi VI. Jakarta : Interna Publishing, 2014.
11. Rudolph C. D, Rudolph A. M, Hostetter M. K, Lister G and Siegel N. J. Rudolph’s
Pediatric’s 21st Edition. North America: McGraw-hill, 2002.
12. Hassan R dan Alatas H. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. Jakarta :Bagian ilmu
kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
13. Behrman R.E, Kliegman R.M and jenson H.B. Nelson textbook of pediatrics 17th
Edition.USA : Elsevier, 2004.

55
14. Hay W.W, Hayward A.R, Levin M..J and Sandheimer J.M. Current pediatric
diagnosis and treatment 16th edition. North America : Lange medical
books/McGraw-hill, 2003.
15. National Heart, Lung, and Blood Institute. What Are Thalassemias? 2012. [dikutip
16 Mei 2016]. Diambil dari http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-
topics/topics/thalassemia/.
16. Abetz L, Baladi JF, Jones P, Rofail D. The impact of iron overload and its treatment
on quality of life : results from a literature review. Biomed.;2006; 4:1-6.
17. Tamam.M, Pekan Cegah Thalasemia. Thalassemia. Indonesia Rotari Internasional.;
2009:3410-20 .
18. Clarke GM and Higgins TN. Laboratory Investigation of Hemoglobinopathies and
Thalassemias: Review and Update. Clin Chem 2000; 46: 1284-90.
19. Muncie HL Jr, Campbell J. Alpha and beta thalassemia. Am Fam Physician; 2009:
80(4):339-44.
20. Chansung, Kanchana. Blood Smear Interpretation. [dikutip 15 Mei 2016]. Diambil
dari Home.kku.ac.th/acamed/kanchana/bsi.html.
21. Aisyi M, Tumbelaka AR.. Pola Penyakit Infeksi pada Thalassemia Pola Penyakit
Infeksi pada Thalassemi. Sari Pediatri, 5(1), 27 – 33.
22. Ganie R.A,Kamaluddin N,Zakaria Z,Dalimunthe D,Hariman H,George E.
Thalassaemia gene (South-East Asian type) in Medan. International Journal of
Hematology;2002: 76 (supl 1).
23. Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015.
24. Permono B, Ugrasena IDG , A Mia. Talasemia.Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak:
Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya.
25. Keputusan menteri kesehatan republik Indonesia. Standar antropometri penilaian
status gizi anak No 1995/MENKES/SK/XII/2010. Jakarta, 2010.
26. Wasnidar. Buku Saku Anemia Pada Ibu Hamil, Konsep dan Penatalaksanaan,
Jakarta: Trans Info Media; 2007.
27. Arijanty & Nasar. Masalah Nutrisi pada Thalasemia. Sari Pediatri; 2003: 5(1).

56

Anda mungkin juga menyukai