Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN KASUS PENYAKIT JANTUNG KORONER

(CASE REPORT OF CORONARY ARTERY DISEASE)


RATNA MARYANTIKA

PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab nomor 1 kematian secara global.
Tahun 2015, WHO menunjukkan bahwa 70% kematian di dunia disebabkan oleh
Penyakit Tidak Menular (39,5 juta dari 56,4 kematian. Diperkirakan 17,9 juta
orang meninggal karena penyakit kardiovaskuler pada tahun 2016, mewakili 31%
dari semua kematian secara global. Dari kematian tersebut, 85% disebabkan
karena serangan jantung dan stroke (WHO, 2017). Dari seluruh kematian akibat
Penyakit Tidak Menular (PTM) tersebut, 45% nya disebabkan oleh Penyakit
jantung dan pembuluh darah, yaitu 17,7 juta dari 39,5 juta kematian (Kemenkes,
2019).
Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis
dokter di Indonesia sebesar 1,5%, dengan peringkat prevalensi tertinggi berada di
provinsi Aceh 2,2%. Sedangkan untuk daerah Jawa Tengah prevalensi penyakit
jantung mencapai 1,6%, dimana Jawa Tengah termasuk satu dari delapan provinsi
dengan prevalensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi nasional
(Kemenkes, 2019).
Sample Registration System (SRS) Indonesia tahun 2014 menunjukkan penyakit
jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian tertinggi kedua setelah
stroke, yaitu sebesar 12,9% dari seluruh penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Data BPJS menunjukan adanya peningkatan biaya kesehatan untuk PJK dari tahun
ke tahun. Pada tahun 2014 PJK menghabiskan dana BPJS sebesar 4,4 Triliun
Rupiah, kemudian meningkat menjadi 7,4 Triliun Rupiah pada tahun 2016 dan
masih terus meningkat pada tahun 2018 sebesar 9,3 Triliun. Hal ini menunjukkan
besarnya beban negara terhadap penanggulangan PJK, yang seharusnya dapat
dikendalikan dengan mengendalikan faktor risiko (Kemenkes, 2019).
Menurut IHME (2017), dari 11 faktor risiko yang paling banyak menyebabkan
kematian dan kecacatan, dietary risk menempati urutan pertama yang masuk
kedalam risiko perilaku. Dietary risk ini merupakan faktor risiko yang mengalami
peningkatan dibandingkan pada tahun 2007 dimana peningkatannya mencapai
18,7%. Faktor lain yang masuk kedalam risiko perilaku adalah rokok yang masuk
ke urutan keempat dan malnutrisi diurutan kelima.
PRESENTASI KASUS
Seorang laki-laki berusia 59 tahun, bekerja sebagai penjahit, datang ke fasilitas
kesehatan BP Paru mengeluhkan sesak dan perasaan tidak nyaman serta
mengeluarkan keringat banyak. Berdasarkan hasil x-ray, terjadi pembesaran pada
jantung. Kemudian klien dirujuk menuju fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.
Diketahui klien pernah mengalami serangan jantung dengan gejala nyeri pada
dada sebelah kiri lalu menjalar hingga ke bahu dan lengan kiri. Klien juga sempat
kehilangan kesadaran pada saat serangan berlangsung. Namun, setelah dirawat
dan kondisinya stabil, klien tidak melanjutkan pengobatan. Sebelumnya, klien
memiliki kebiasaan makan makanan daging-dagingan berlemak, jarang olahraga
dan ada riwayat merokok semenjak menikah (± 15 tahun). Dan kebiasaan tersebut
masih berlangsung pasca mengalami serangan jantung pertama meskipun
intensitasnya tidak sesering dahulu.
Setelah diketahui terdapat pembesaran pada jantung, klien segera dirujuk ke
fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan,
terjadi stenosis pada arteri koroner kiri (LAD). Klien disarankan untuk dilakukan
tindakan PCI/angioplasti koroner. Saat ini klien mengeluh cepat lelah dan keluar
keringat meski cuaca tidak panas.
PEMBAHASAN
Pengertian
Penyakit arteri koroner (jantung koroner) adalah kondisi penyempitan pembuluh
darah besar (arteri koroner) yang memasok oksigen ke jantung. Arteri yang
menjadi sangat sempit dapat menyebabkan sesak napas dan nyeri dada selama
aktivitas fisik. Jika arteri koroner tiba-tiba tersumbat total, itu dapat menyebabkan
serangan jantung (IQWiG, 2013).
Penyakit jantung koroner adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri
jantung yang dapat menyebabkan serangan jantung (AHA, 2015).
Sedangkan menurut Kemenkes (2018) jantung koroner adalah adalah gangguan
fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena penyumbatan atau
penyempitan pada pembuluh darah koroner akibat kerusakan lapisan dinding
pembuluh darah (Aterosklerosis).
Jadi, jantung koroner merupakan kondisi gangguan fungsi jantung akibat
kekurangan suplai O2 dari darah yang disebabkan oleh penyempitan arteri
koroner akibat arteroskeloris yang dapat menyebabkan serangan jantung.
Faktor Risiko
Faktor risiko penyebab jantung koroner dapat dibedakan menjadi faktor yang bisa
dikendalikan dan faktor yang tidak bisa dikendalikan. Faktor yang bisa
dikendalikan diantaranya tekanan darah tinggi, kadar kolesterol darah tinggi,
merokok, diabetes, kelebihan berat badan atau obesitas, kurangnya aktivitas fisik,
diet dan stres. Sedangkan faktor yang tidak bisa dikendalikan diantaranya Usia
(semakin tua semakin meningkatkan risiko); jenis kelamin (pria umumnya
berisiko lebih besar terkena penyakit arteri koroner); sejarah keluarga; dan ras
(Hajar, 2017).
Sedangkan menurut AHA (2015), faktor risiko untuk penyakit jantung koroner
adalah kolesterol LDL tinggi, kolesterol HDL rendah, tekanan darah tinggi ,
riwayat keluarga, diabetes , merokok , menjadi pasca-menopause (wanita) dan
usia > 45 tahun (pria) dan obesitas.
Tanda dan Gejala
Gejala yang mungkin muncul adalah sesak nafas hingga nyeri dada. Nyeri dada
yang timbul merupakan manifestasi lanjutan akibat terjadinya infark miokard.
Nyeri biasanya timbul di dada, tangan kanan-kiri dan leher, belakang leher
menjalar ke bahu dan scapula, rahang bawah hingga ke perut bagian kiri atas
(IQWiG, 2013).
AHA (2015) juga menyebutkan tanda-tanda khas selain nyeri dada dan sesak
nafas adalah jantung berdebar hingga kelelahan.
Sedangkan menurut Kemenkes (2019) tanda dan gejala khas PJK adalah keluhan
rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada (angina) yang berlangsung selama lebih
dari 20 menit saat istirahat atau saat aktivitas yang disertai gejala keringat dingin
atau gejala lainnya seperti lemah, rasa mual, dan pusing.

Gambar 1. Lokasi Nyeri pada Episode Angina pada Penyakit Jantung Koroner

Patofisiologi
Pembuluh darah terdiri dari lumen, endotelium, dibawahnnya terdapat tunica
intima dan tunica media. LDL yang beredar bersama dengan trombosit dalam
darah menempel pada dinding pembuluh darah dan masuk melalui endotelium
menuju tunica intima. Pada kondisi disfungsi endotelium, endotelium akan
melepaskan metaloprotease yakni sejenis enzim untuk mengoksidasi LDL di
dalam tunica intima. Ketika LDL teroksidasi, ia terperangkap di dalam tunica
intima.
T-sel dan LDL teroksidasi memicu adhesi sel darah putih yakni monosit untuk
melekat pada reseptor T-sel lalu masuk ke tunica intima. Ketika sudah masuk ke
tunica intima, monosit berubah menjadi makrofag. Makrofag memiliki reseptor
yakni scavenger reseptor yang akan memakan LDL teroksidasi dan berubah
bentuk menjadi foam sel (makrofag yang didalamnya terdapat lipid) (Baixeras et
al, 2014).
Foam sel memiliki peran sebagai berikut: a) Melepaskan kemokin untuk menarik
lebih banyak makrofag ke tunica intima. b) Melepaskan IGF-1 (growth hormone)
yang memicu smooth muscles (SMC) bermigrasi dan berproliferasi di tunica
intima. Banyaknya SMC yang berproliferasi menyebabkan meningkatknya
produksi kolagen, c) Setelah waktu tertentu, foam sel akan mati dan melepaskan
material lipid dan DNA. DNA akan menarik neutrofil karena proses kematian
foam sel merupakan salah satu proses menuju peradangan, d) Foam sel juga akan
melepaskan sitokin yakni agen pro-inflamasi dan spesi oksigen reaktif atau
radikal bebas. Bersamaan dengan neutrofil, hal tersebut dapat meningkatkan
proses inflamasi pada area tersebut, e) Secara umum, kerusakan dinding
pembuluh darah menyebabkan proses inflamasi, kondisi ini menarik neutrofil ke
daerah inflamasi dan serangkaian proses diatas akan terulang kembali hingga
akhirnya timbul plak di tunica intima (Baixeras et al, 2014; Smeltzer et al, 2010).
Selain foam sel, T-sel juga memiliki peran mengikat reseptor adhesi yang ada di
endotelium sehingga bisa masuk ke area plak. T-sel dapat diaktifkan oleh
makrofag dan ia akan melepaskan substansi lain seperti interferon gamma yang
dapat memicu inflamasi dan akhirnya mengaktifkan endotelium untuk menarik
lebih banyak lagi neutrofil. Hal ini menyebabkan pembentukan plak akan terus
terjadi, menyebabkan stenosis dan suatu saat dapat mengalami ruptur, timbulah
trombus. Trombus yang keluar dan menempel pada dinding pembuluh darah akan
menarik platelet, trombosit, clotting factors, yang nantinya akan menempel satu
sama lain membentuk gumpalan yang membendung/menghambat aliran darah.
Jika hal ini terjadi di arteri koroner, maka miokardium kekurangan O2 dan
berisiko timbulnya iskemia bahkan infark. Inilah yang menyebabkan terjadinya
serangan jantung ataupun gagal jantung (Baixeras et al, 2014; Libby and Theroux,
2005; Smeltzer et al, 2010).
Manifestasi lanjutan dari timbulnya arteroskeloris adalah minimnya O2 yang
mengalir menuju miokardium sehingga miokardium rentan mengalami iskemia
bahkan infark. Kematikan jaringan jantung menyebabkan penurunan kontraktilitas
jantung sehingga terjadi penumpukan darah pada jantung kiri. Hal ini
menyebabkan peningkatan volume darah pada paru. Penumpukan darah pada paru
menyebabkan terganggunya pertukaran O2 dan CO2 sehingga timbulah sesak
(dispnea). Sesak ini juga dapat terjadi akibat kompensasi tubuh untuk memenuhi
kebutuhan O2. Sebagai akibat peningkatan kerja jantung, jantung juga akhirnya
berkomepensasi dengan mengeluarkan keringat untuk menjaga tubuh dalam suhu
normal. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa aliran darah yang terhambat
membuat pasokan O2 ke sel terganggu. Hal ini mengganggu proses metabolisme
sehingga pembentukan ATP menurun. Pasien kekurangan energi sehingga
timbulah kelelahan (Albrecht, 2013; Smeltzer et al, 2010).
Proses peradangan kronis dan pembentukan ateroma yang terus menerus
menyebabkan dinding arteri menebal. Dinding arteri yang menebal ini
menyebabkan pelebaran arteri yang kompensatif tanpa perubahan lumen (juga
disebut "remodeling"). Namun, setelah periode renovasi yang berkepanjangan,
dinding arteri tidak bisa lagi melebar. Akhirnya, lesi mengubah darah dengan
mengganggu di lumen dan mengurangi area (Regmi & Siccardi, 2019).
Ketidakseimbanagn antara pasokan dan kebutuhan O2 membuat ATP terhidrolisis
menjadi ADP dan lebih lanjut menjadi AMP. Jika banyak ATP terhidrolisis
namun kurang pasokan O2 makan AMP akan diubah menjadi adenosin. Tingkat
adenosin yang tinggi ini mengaktifkan neuron aferen jantung simpatis, melalui
penggunaan reseptor adenosin A1. Aliran saraf yang dihasilkan tampaknya
bertanggung jawab atas sensasi nyeri visceral yang dihasilkan, yang
bermanifestasi secara klinis sebagai angina pektoris (Leach & Fisher, 2013).
Penanganan
Penyakit jantung koroner biasanya terdeteksi ketika klien terkena episode angina.
Penanganan pertama tenaga medis akan memberikan nitrogliserin &pemberian O2
sebagai pertolongan pertama. Jika kondisi telah stabil akan dilakukan pemeriksaan
EKG, pemeriksaan laboratorium, x-ray dan mungkin MRI. Jika telah terdiagnosa
secara pasti bahwa terdapat arteroskeloris, dokter mungkin akan menyaran
pemeriksaan catheter lab/angiografi untuk mengetahui letak stenosis dan
disarankan klien untuk dilakukan angioplasti koroner/Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) apabila stenosis tidak memungkinkan dihilangkan dengan
terapi farmakologi (Higuera, 2018; NHS, 2020; Smeltzer et al, 2010)
Selanjutnya, penanganan lebih lanjut untuk mencegah episode jantung koroner
dan angina perlu dilakukan. American College of Cardiology Foundation (ACCF)
dan American Heart Association (AHA) telah mengembangkan pedoman untuk
menangani penyakit jantung koroner. Pedoman ini membahas modifikasi gaya
hidup, kontrol tekanan darah, manajemen lipid dan diabetes, dan farmakoterapi
(Fihn et al, 2012).
ACCF dan AHA merekomendasikan 30 hingga 60 menit olahraga intensitas
sedang seperti jalan cepat 7 hari seminggu (minimal 5 hari). Selain berolahraga
tekanan darah harus dikontrol dengan batasan <140/90 mmHg atau <130/80
mmHg untuk pasien dengan diabetes atau kronis penyakit ginjal. Untuk pasien
dengan penyakit arteri koroner dan tekanan darah tinggi, terapi obat mungkin
diperlukan. Kontrol lipid juga diperlukan dengan batasan kolesterol total <200
mg/dl, LDL < 100 mg/dl. Jika lebih dari itu, peresepan obat mungkin diperlukan.
Obat-obatan seperti antikoagulan juga mungkin akan diresepkan jika tidak ada
kontraindikasi, yakni untuk mencegah terbentuknya trombus. Obat-obatan
antihipertensi juga akan diresepkan untuk mengontrol tekanan darah (Fihn et al,
2012).
KESIMPULAN & SARAN
Penyakit jantung koroner merupakan kondisi penyempitan pembuluh arteri
koroner akibat arterosklerosis yang menyebabkan terganggunya aliran darah dan
pasokan oksigen ke jaringan miokardium. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat
mengarah ke iskemia bahkan infark miokardium. Kondisi ini pula yang
menyebabkan episode angina dengan gejala nyeri dada dan sesak. Penanganan
pertama secara tepat dan cepat dapat menyelematkan pasien. Namun, jika kondisi
telah stabil harus diimbangi dengan perubahan pola hidup, diet yang sesuai,
kontrol tekanan darah dan lipid secara rutin serta patuh meminum obat untuk
mencegah episode angina kembali kambuh.
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (AHA). (2015). Coronary Artery Disease - Coronary
Heart Disease. Retrieved Mei 18, 2020, from,
https://www.heart.org/en/health-topics/consumer-healthcare/what-is-
cardiovascular-disease/coronary-artery-disease
Baixeras, Sergi S., & Carla L.Ganella. (2014). Pathogenesis of coronary artery
disease: focus on genetic risk factors and identification of genetic
variants. The Application of Clinical Genetics. Vol. 7 (15): 15-32. doi:
10.2147/TACG.S35301
Fihn S., Gardin JM., Abrams J., Berra K., Blankenship JC., Dallas AP., Douglas
PS., JM Foody., TC Gerber., Hinderliter AL., King SB 3., Kligfield
PD., Krumholz HM., Kwong RY., Lim MJ., Linderbaum JA., Mack
MJ., Munger MA., Prager RL., Sabik JF., Shaw LJ., Sikkema JD.,
Smith CR Jr., Smith SC Jr., Spertus JA., Williams SV., Anderson JL.
(2012). ACCF/AHA/ACP/AATS/PCNA/SCAI/STS guideline for the
diagnosis and management of patients with stable ischemic heart
disease: a report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines, and the American College of Physicians, American
Association for Thoracic Surgery, Preventive Cardiovascular Nurses
Association, Society for Cardiovascular Angiography and
Interventions, and Society of Thoracic Surgeons. Circulation. Vol. 126
(16) :e463. DOI: 10.1161 / CIR.0b013e318277d6a0
Hajar, Rachel. (2017). Risk Factors for Coronary Artery Disease: Historical
Perspectives. Heart Views. Vol. 18 (3): 109–114. doi:
10.4103/HEARTVIEWS. HEARTVIEWS_106_17
Higuera, Valencia. (2018). What Is Coronary Artery Disease?. Reviewed by
Stacy Simpson, DO. Retrieved Mei 14, 2020, from,
https://www.healthline.com /health/coronary-artery-disease
Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME). (2017). IHME: Indonesia.
Retrieved Mei 14, 2020, from, http://www.healthdata.org/indonesia
Institute for Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG). (2013). Coronary
artery disease: Overview. Retrieved Mei 11, 2020, from,
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK355313/
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2018). Apa itu
Penyakit Jantung Koroner?. Retrieved Mei 11, 2020, from,
http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/hipertensi-penyakit-
jantung-dan-pembuluh-darah/apa-itu-penyakit-jantung-koroner
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2019). Hari Jantung
Sedunia (HJS) Tahun 2019 : Jantung Sehat, SDM Unggul. Retrieved
Mei 14, 2020, from, http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-
p2ptm/pusat-/hari-jantung-sedunia-hjs-tahun-2019-jantung-sehat-sdm-
unggul
Leach, Austin., & Mike Fisher. (2013). Myocardial ischaemia and cardiac pain – a
mysterious relationship. British Journal of Pain. Vol. 7 (1): 23-30. doi:
10.1177/2049463712474648
Libby, Peter., & Pierre Theroux. (2005). Pathophysiology of Coronary Artery
Disease. Circulation. Vol. 111 (25): 3481–3488. doi: 10.1161/
CIRCULATIONAHA.105.537878
National Health Center (NHS). (2020). Treatment-Coronary heart disease.
Retrieved Mei 14, 2020, from, https://www.nhs.uk/conditions/coronary-
heart-disease/treatment/
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, F. H. (2010). Brunner and
Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing (12th ed.).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
World Health Organization (WHO). (2017). Cardiovascular diseases (CVDs).
Retrieved Mei 14, 2020, from, https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/cardiovascular-diseases-(cvds)

Anda mungkin juga menyukai