Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

Pengertian jantung

Sistem kardiovaskuler merupakan sistem yang memberi fasilitas proses

pengangkutan berbagai substansi dari, dan ke sel-sel tubuh. Sistem ini terdiri dari

organ penggerak yang disebut jantung, dan sistem saluran yang terdiri dari arteri

yang mergalirkan darah dari jantung, dan vena yang mengalirkan darah menuju

jantung (Fauziyah, 2012).

Jantung (bahasa Latin: cor) adalah sebuah rongga, rongga organ berotot yang

memompa darah lewat pembuluh darah oleh kontraksi berirama yang berulang. Darah

menyuplai okisgen dan nutrisi pada tubuh, juga membantu menghilangkan sisa-sisa

metabolisme. Istilah kardiak berarti berhubungan dengan manusia yang berperan dalam

sistem peredaran darah, terletak di rongga dada agak sebelah kiri (Wikipedia, 2018).
Anatomi fisiologi jantung

Jantung terletak dalam ruang mediastinum rongga dada, yaitu diantara

paru. Perikardium yang meliputi jantung terdiri dari dua lapisan. Kedua lapisan

perikardium ini dipisahkan oleh sedikit cairan pelumas, yang mengurangi gesekan

akibat gerakan pemompaan jantung. Perikardium perietalis melekat ke depan

pada sternum, ke belakang pada kolumna vertebralis, dan ke bawah pada

diafragma. Perlekatan ini menyebabkan jantung terletak stabil pada tempatnya.

Perikardium viseralis melekat secara langsung pada permukaan jantung.

Perikardium juga melindungi terhadap penyebaran infeksi atau neoplasma dari

organ-organ sekitarnya ke jantung. Jantung terdiri dari tiga lapisan. Lapisan

terluar (epikardium), lapisan tengah merupakan lapisan otot yang disebut

miokardium, sedangkan lapisan terdalam adalah lapisan endotel yang disebut juga

endokardium
Sistem peredaran darah membentuk siklus tertutup sehingga darah dipompa keluar dari

jantung melalui pembuluh darah dan kembali lagi ke jantung melalui pembuluh darah

yang berbeda. Terdapat dua jalur yang berasal dan berakhir di jantung yang terbagi atas

dua ruang, yakni atrium dan ventrikel. Sirkulasi paru- paru diawali dengan darah yang

dipompa dari ventrikel kanan menuju ke paru- paru dan kemudian menuju ke atrium kiri.

Kemudian dilanjutkan dengan sirkulasi sistemik yakni darah dipompa dari ventrikel kiri

menuju ke seluruh tubuh dan berakhir di atrium kanan. Pembuluh darah yang membawa

darah dari jantung disebut dengan arteri dan yang membawa darah dari organ menuju

jantung disebut dengan vena (Widmaier et al., 2019)

Pengertian IMA ( Infark miokard akut)

Infark Miokard Akut (IMA) atau Acute Myocardial Infarction (AMI)


merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infark Miokard
Akut (IMA) didefinisikan sebagai iskemia miokard yang terjadi karena oklusi
total dari arteri koroner yang disebabkan karena pecahnya plak pada pembuluh
darah. Setelah oklusi koroner terjadi, kematian jaringan miokard menyebar dari
lapisan endokardial hingga ke lapisan epikardial seiring berjalannya waktu
(Minatoguchi, 2019; Longo, 2019)
Menurut (Ibanez et al., 2018), pada tahun 2015 Swedia merupakan negara
Eropa yang memiliki kejadian ST-Segment Elevation Myocardial Infarction
(STEMI) cukup tinggi, yakni 58 dari 100.000 kasus per tahun jika dibandingkan
dengan negara-negara Eropa lainnya, yakni berkisar antara 43 dari 100.000 kasus
per tahun. Sebaliknya, di Amerika Serikat dilaporkan mengalami penurunan nilai
prevalensi dari 133 per 100.000 orang pada tahun 1999 menjadi 50 per 100.000
orang pada tahun 2018, tetapi pada kejadian Non ST-Segment Elevation
Myocardial Infarction (NSTEMI) tidak mengalami penurunan atau bahkan sedikit
meningkat. Tingkat kematian pasien ST-Segment Elevation Myocardial Infarction
(STEMI) dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi usia, penundaan atau
terlambatnya waktu pengobatan, diabetes melitus, dan masih banyak lagi.
Di Indonesia, Infark Miokard Akut (IMA) dilaporkan telah menjadi
penyebab utama dan pertama dari seluruh kasus kematian. Nilai prevalensi dari
kasus kematian yang disebabkan Infark Miokard Akut (IMA) sekitar 26,4 %, nilai
prevalensi tersebut empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan
oleh kanker. Dengan kata lain, Infark Miokard Akut (IMA) telah mengakibatkan
lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal akibat penyakit tidak
menular (PERKI, 2019).

ETIOLOGI IMA

Aterosklerosis merupakan istilah umum yang menggambarkan


sejumlah gangguan yang melibatkan pengerasan arteri dan pada beberapa kasus
dapat menyebabkan pembentukan ateroma. Secara klinis, aterosklerosis ditandai
dengan adanya penumpukan plak yang progresif pada dinding arteri yang dapat
menyebabkan aliran darah terhambat dan menyebabkan gejala klinis. Penyakit
kardiovaskular dan serebrovaskular telah menjadi penyebab utama kematian di
seluruh dunia dan pada tahun 2030 telah diperkirakan angka kematian yang
disebabkan karena aterosklerosis akan meningkat menjadi 22 juta per tahun
(Haevrich and Boyle, 2019).
Penyebab utama dari aterosklerosis masih belum diketahui secara pasti.
Akan tetapi, ada beberapa faktor yang cukup berpengaruh dalam proses terjadinya
plak aterosklerosis. Faktor-faktor tersebut meliputi koagulasi, inflamasi,

Aterosklerosis merupakan istilah umum yang menggambarkan sejumlah gangguan


yang melibatkan pengerasan arteri dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan
pembentukan ateroma. Secara klinis, aterosklerosis ditandai dengan adanya
penumpukan plak yang progresif pada dinding arteri yang dapat menyebabkan
aliran darah terhambat dan menyebabkan gejala klinis. Penyakit kardiovaskular
dan serebrovaskular telah menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia dan
pada tahun 2030 telah diperkirakan angka kematian yang disebabkan karena
aterosklerosis akan meningkat menjadi 22 juta per tahun (Haevrich and Boyle,
2019).
Penyebab utama dari aterosklerosis masih belum diketahui secara pasti.
Akan tetapi, ada beberapa faktor yang cukup berpengaruh dalam proses terjadinya
plak aterosklerosis. Faktor-faktor tersebut meliputi koagulasi, inflamasi,
metabolisme lemak, cedera pada tunika intima dan proliferasi dari otot polos
(Ladich et al., 2019).
Menurut (Bergheanu et al., 2017), terdapat beberapa faktor resiko yang
ditimbulkan penyakit aterosklerosis diantaranya meliputi dislipoproteinemia,
diabetes, merokok, hipertensi, dan keturunan. Senyawa di dalam tubuh yang
sangat berkaitan dengan timbulnya plak aterosklerosis adalah Low-Density
Lipoprotein (LDL). Tingginya kandungan Low-Density Lipoprotein (LDL) dalam
darah termasuk salah satu dari faktor resiko utama penyebab aterosklerosis (Karel
et al., 2020).
Patofisiologi IMA

Infark Miokard Akut (IMA) terjadi karena perkembangan aterosklerosis


yang sering dikaitkan dengan faktor lingkungan dan genetik. Aterosklerosis
merupakan proses kronis yang ditandai dengan akumulasi lipid, elemen berserat
(fibrous), dan molekul inflamasi di dinding arteri serta terbentuknya ateroma
yakni plak yang berada di tunika intima dengan ukuran yang sedang hingga besar.
Terdapat tiga tahapan proses terbentuknya ateroma, yaitu inisiasi, progresi, dan
komplikasi Aterosklerosis diawalidengan pengeluaran kolesterol Low
Density Lipoprotein (LDL) ke ruang sub-endotel yang dapat diubah dan
dioksidasi. Partikel Low Density Lipoprotein (LDL) yang
teroksidasi/termodifikasimendorong ekspresi molekul adhesi sel vaskular dan
molekul adhesi antar sel pada permukaan endotel dan merangsang adhesi monosit
yang akan bermigrasi ke ruang sub-endotel. Monosit berubah menjadi makrofag
di media intima. Makrofag yang terbentuk akan mengikat Low Density
Lipoprotein (LDL) yang teroksidasi menjadi sel busa (foam cell). Sel busa (foam
cell) merupakan prekursor terbentuknya ateroma yang selanjutnya akan
melepaskan sitokin pro inflamasi termasuk interleukin dan faktor nekrosis. Proses
berlanjut dengan migrasi sel otot polos dari lapisan medial arteri ke intima
mengikuti fatty streak menuju lesi yang lebih kompleks. Proses ini menghasilkan
pembentukan lesi aterosklerotik kedua, yaitu plak fibrosa. Ekstrusi jenis plak
fibrosa ke dalam lumen arteri menghasilkan pembatasan aliran (stenosis). Plak
yang stenosis berkelanjutan akan menyebabkan oklusi pembuluh darah sehingga
menyebabkan iskemia pada jaringan dan dinyatakan secara klinis sebagai angina
stabil. (Themistocleous et al., 2017)
Dua jenis plak dapat didefinisikan sebagai plak stabil dan plak tidak stabil
atau rentan berdasarkan keseimbangan antara pembentukan dan degradasi tutup
berserat. Plak stabil memiliki tutup berserat utuh dan tebal yang disintesis dari sel
otot polos dalam matriks yang kaya akan kolagen tipe I dan III. Plak yang akan
kaya kolagen cenderung berkontraksi dan memperparah penyempitan luminal.
Sedangkan plak tidak stabil atau rentan terdiri dari tutup berserat tipis yang
sebagian besar terbuat dari kolagen tipe I. Plak yang rentan cenderung pecah dan
akan menyebabkan trombosis serta terjadinya oklusi lumen arteri yang mendadak
sehingga menyebabkan sindrom koroner akut. Selain itu, perdarahan intraplaque
juga merupakan faktor potensial untuk perkembangan aterosklerosis, yang terjadi
ketika vasa vasorum menyerang lapisan intima dari lapisan adventitia (Gambar
2.7) (Falk and Fuster, 2017; Themistocleous et al., 2017; Al Qahtany et al., 2018;
Prameswari, 2019).

Klasifikasi Klinis IMA


Infark Miokard Akut (IMA) diklasifikasikan menjadi dua yakni berdasarkan
spektrum klinis dan dalam strategi pengobatannya. Pada klasifikasi berdasarkan
spektrum klinis data Electrocardiogram (ECG) pasien dibagi menjadi 2 tipe
diantaranya STEMI (ST-Segment Elevation Myocardial Infarction) dan NSTEMI
(Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction)

2.1.1.1 ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)


ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan keadaan
darurat yang mengancam jiwa yang diakibatkan karena oklusi trombotik lengkap
dari arteri yang berhubungan dengan infark. Resiko kematian pada pasien ST-
Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) memiliki jangka yang cukup
pendek dengan persentase sekitar 30% dari seluruh pasien dengan STEMI dan
sisanya (70%) memiliki resiko kematian >5% (Kingma Jr, 2018).
2.1.1.2 Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) biasanya
terjadi dengan mengembangkan oklusi parsial dari arteri koroner mayor atau
oklusi lengkap arteri koroner minor yang sebelumnya terkena aterosklerosis. Pada
Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), electrocardiogram
(ECG) akan menunjukkan segmen ST yang tertekan atau penyisipan gelombang T.
Pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda Non ST-Segment Elevation
Myocardial Infarction (NSTEMI) wajib melakukan tes troponin jantung yang
dikombinaskan dengan tes electrocardiogram (ECG). Tes troponin jantung perlu
dilakukan untuk membedakan antara Non ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction (NSTEMI) dengan Unstable Angina (UA). Non ST-Segment Elevation
Myocardial Infarction (NSTEMI) memiliki pola yang spesifik pada nilai-nilai
troponin jantung yang terdiri dari peningkatan akut dan diikuti oleh penurunan
bertahap yang konsisten (Cohen and Visveswaran, 2020).

2.1.2 Komplikasi Klinis IMA


2.1.2.1 Gagal jantung
Pada fase akut dan subakut setelah IMA-EST (Infark Miokard Akut Elevasi
Segmen ST) seringkali dijumpai terjadinya disfungsi miokardium. Gagal jantung
dapat terjadi karena konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan. Diagnosis gagal
jantung secara klinis pada fase akut dan subakut didasari oleh beberapa gejala
yang meliputi dispnea, tanda seperti takikardi, suara jantung ketiga atau ronchi
pulmonal, serta beberapa bukti objektif mengenai disfungsi kardiak seperti dilatasi
ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi (PERKI, 2018).

2.1.2.1.1 Hipotensi
Hipotensi ditandai dengan tekanan darah sistolik yang berada di bawah 90
mmHg. Hipotensi dapat terjadi bukan hanya dikarenakan gagal jantung melainkan
dapat disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis
(PERKI, 2018).

2.1.2.1.2 Kongesti Paru


Kongesti paru ditandai dengan terjadinya dispnea dengan ronchi basah paru
di segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru, serta
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator (PERKI, 2018).
Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi pada 6-10% kasus IMA-EST serta merupakan
penyebab kematian utama dengan laju mortalitas di rumah sakit mencapai
50%. Meskipun syok kardiogenik sering terjadi pada fase awal infark
miokard akut,syok umumnya tidak didiagnosis pada saat pasien masuk rumah
sakit. Pada studi lain menyebutkan bahwa 50% kasus syok kardiogenik
terjadi dalam kurun waktu 6 jam dan pada 75% kasus terjadi dalam 24 jam
(PERKI, 2018). Aritmia dan Gangguan Konduksi dalam Fase Akut

Aritmia sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah kejadian


infark miokard terjadi. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa
iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan
gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) serta gangguan asam-basa (PERKI,
2018).

2.1.2.1.3 Aritmia Supraventrikular


Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terjadinya fibrilasi atrium dalam
keadaan infark miokard akut merupakan prediktor independen untuk semua
penyebab kematian yang disebabkan karena infark miokard akut. Fibrilasi atrium
merupakan komplikasi dari sekitar 6-28% kasus infark miokard dan umumnya
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat serta gagal jantung.
Seringkali aritmia hanya diobati dengan obat antikoagulan (PERKI, 2018).

2.1.2.1.4 Aritmia Ventrikular


Aritmia ventrikular umumnya terjadi dalam hari pertama fase akut serta
pada kejadian aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau
fenomena R-on-T. Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan irama
idioventrikular yang terakselerasi. Irama tersebut dapat terjadi akibat reperfusi
dimana laju ventrikel < 120 detak per menit dan umumnya tidak berbahaya.
Meskipun kemungkinan terjadinya iskemia miokard pada aritmia ventrikular
sering tidak diperhatikan, namun faktanya revaskularisasi tidak dapat mencegah
henti jantung berulang pada pasien dengan fungsi ventrikel yang kiri abnormal
yang berat atau bahkan apabila aritmia yang terjadi akibat iskemia transien
(PERKI, 2018).

2.1.2.1.5 Sinus Bradikardi dan Blok Jantung


Sinus bradikardi umumnya terjadi dalam beberapa jam awal pada kasus
IMA-EST terutama pada kasus infark inferior. Dalam beberapa kasus, sinus
bradikardi disebabkan karena penggunaan opioid. Apabila sinus bradikardi
disertai dengan hipotensi berat maka perlu dilakukan terapi menggunakan atropin
(PERKI, 2018).

Perikarditis
Gejala perikarditis yang umum ditemukan pada kasus IMA-EST yakni nyeri
dada berulang yang khas. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST
dan biasanya dengan gejala ringan dan progresif. Perikardiosentesis jarang
digunakan, namun prosedur ini perlu dilakukan apabila terdapat perburukan
hemodinamik dengan tanda-tanda tamponade (PERKI, 2018).

2.1.3 Komplikasi Klinis IMA


2.1.3.1 Gagal jantung
Pada fase akut dan subakut setelah IMA-EST (Infark Miokard Akut Elevasi
Segmen ST) seringkali dijumpai terjadinya disfungsi miokardium. Gagal jantung
dapat terjadi karena konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan. Diagnosis gagal
jantung secara klinis pada fase akut dan subakut didasari oleh beberapa gejala
yang meliputi dispnea, tanda seperti takikardi, suara jantung ketiga atau ronchi
pulmonal, serta beberapa bukti objektif mengenai disfungsi kardiak seperti dilatasi
ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi (PERKI, 2018).

2.1.3.1.1 Hipotensi
Hipotensi ditandai dengan tekanan darah sistolik yang berada di bawah 90
mmHg. Hipotensi dapat terjadi bukan hanya dikarenakan gagal jantung melainkan
dapat disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis
(PERKI, 2018).

2.1.3.1.2 Kongesti Paru


Kongesti paru ditandai dengan terjadinya dispnea dengan ronchi basah paru
di segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru, serta
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator (PERKI, 2018).

2.1.3.1.3 Syok Kardiogenik


Syok kardiogenik terjadi pada 6-10% kasus IMA-EST serta merupakan
penyebab kematian utama dengan laju mortalitas di rumah sakit mencapai 50%.
Meskipun syok kardiogenik sering terjadi pada fase awal infark miokard akut,
syok umumnya tidak didiagnosis pada saat pasien masuk rumah sakit. Pada studi
lain menyebutkan bahwa 50% kasus syok kardiogenik terjadi dalam kurun waktu
6 jam dan pada 75% kasus terjadi dalam 24 jam (PERKI, 2018).

2.1.3.2 Aritmia dan Gangguan Konduksi dalam Fase Akut


Aritmia sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah kejadian
infark miokard terjadi. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa
iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan
gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) serta gangguan asam-basa (PERKI,
2018).

2.1.3.2.1 Aritmia Supraventrikular


Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terjadinya fibrilasi atrium dalam
keadaan infark miokard akut merupakan prediktor independen untuk semua
penyebab kematian yang disebabkan karena infark miokard akut. Fibrilasi atrium
merupakan komplikasi dari sekitar 6-28% kasus infark miokard dan umumnya
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat serta gagal jantung.
Seringkali aritmia hanya diobati dengan obat antikoagulan (PERKI, 2018).

2.1.3.2.2 Aritmia Ventrikular


Aritmia ventrikular umumnya terjadi dalam hari pertama fase akut serta
pada kejadian aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau
fenomena R-on-T. Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan irama
idioventrikular yang terakselerasi. Irama tersebut dapat terjadi akibat reperfusi
dimana laju ventrikel < 120 detak per menit dan umumnya tidak berbahaya.
Meskipun kemungkinan terjadinya iskemia miokard pada aritmia ventrikular
sering tidak diperhatikan, namun faktanya revaskularisasi tidak dapat mencegah
henti jantung berulang pada pasien dengan fungsi ventrikel yang kiri abnormal
yang berat atau bahkan apabila aritmia yang terjadi akibat iskemia transien
(PERKI, 2018).

2.1.3.2.3 Sinus Bradikardi dan Blok Jantung


Sinus bradikardi umumnya terjadi dalam beberapa jam awal pada kasus
IMA-EST terutama pada kasus infark inferior. Dalam beberapa kasus, sinus
bradikardi disebabkan karena penggunaan opioid. Apabila sinus bradikardi
disertai dengan hipotensi berat maka perlu dilakukan terapi menggunakan atropin
(PERKI, 2018).

2.1.3.3 Perikarditis
Gejala perikarditis yang umum ditemukan pada kasus IMA-EST yakni nyeri
dada berulang yang khas. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST
dan biasanya dengan gejala ringan dan progresif. Perikardiosentesis jarang
digunakan, namun prosedur ini perlu dilakukan apabila terdapat perburukan
hemodinamik dengan tanda-tanda tamponade (PERKI, 2018).

2.1.4 Pemeriksaan Penunjang IMA


2.1.4.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus dari
infark miokard akut. Selain itu, pemeriksaan ini juga mengidentifikasi terkait
komplikasi, penyakit penyerta, serta menyingkirkan diagnosis banding dari infark
miokard akut. Hal yang perlu dilihat dalam pemeriksaan fisik meliputi regurgitasi
katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronchi basah halus, hipotensi, serta
nyeri pleuritik disertai suara nafas yang tidak seimbang (PERKI, 2018).

2.1.4.2 Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)


Seluruh pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada infark miokard harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera
mungkin. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI (ST-Segment Elevation Myocardial Infarction) untuk pria dan wanita
sebesar 0,1 mV. Nilai ambang elevasi segmen ST pada usia ≥ 40 tahun di sadapan
V1-3 adalah ≥ 0,2 mV dan pada usia < 40 tahun sebesar ≥ 0,25 mV. Sedangkan
pada wanita tanpa memandang usia, nilai elevasi segmen ST di lead V1-3 sebesar
≥ 0,15 mV. Pada pria dan wanita nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R
dan V4R sebesar ≥0,05 mV, kecuali pada pria dengan usia < 30 tahun memiliki
nilai ambang sebesar ≥ 0,1 mV. Untuk nilai ambang pada sadapan V7-V9 sebesar
≥ 0,5 mV (PERKI, 2018). Pemeriksaan EKG pada NSTEMI (Non ST-
Segment Elevation Myocardial Infarction) dilakukan dalam 10 menit sejak kontak
medis pertama. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI antara lain
depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T dan dapat disertai dengan
elevasi segmen ST yang tidak persisten (< 20 menit); gelombang Q yang menetap;
non-diagnostik; dan normal.

2.1.4.3 Pemeriksaan Marka Jantung


Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka yang
digunakan untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T memiliki sensitivitas dan
spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan CK-MB. Penyebab troponin I/T
meningkat dapat dikarenakan kelainan kardiak non-koroner seperti takiaritmia,
trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, serta
miokardtis/perikarditis. Selain itu, keadaan non-kardiak yang dapat meningkatkan
kadar troponin I/T adalah adanya sepsis, luka bakar, gagal nafas, penyakit
neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi
ginjal. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
akan menunjukkan kadar normal dalam kurun waktu 4-6 jam setelah awitan
Sindrom Koroner Akut (SKA). Pemeriksaan CK-MB dan troponin I/T hendaknya
diulang dalam kurun waktu 8-12 jam setelah awitan angina. Akan tetapi, apabila awitan
SKA tidak dapat ditentukan maka pemeriksaan hendaknya diulang dalam kurun waktu
6-12 jam setelah pemeriksaan pertama (PERKI, 2018).
LDH (Laktat Dihidrogenase) akan mengalami peningkatan apabila terjadi
kerusakan pada hati, otot rangka, dan ginjal baik yang disebabkan karena anemia
hemolitik megaloblastik ataupun karena imun. LDH terjadi pada tahap infark
miokard akut yang terjadi setelah 24 jam dan akan mencapai puncak dalam kurun
waktu 3-6 hari. LDH lebih spesifik jika dibandingkan dengan CK-MB tetapi tidak
seakurat nilai troponin (Warburton and Beale, 2019).

Apabila pasien memiliki kecurigaan klinis sindrom koroner akut, termasuk


gejala iskemik atau infark maka pasien perlu dilakukan EMS (Emergency Medical
Service) dengan memonitor pernafasan dan sirkulasi darah pada pasien. Pada saat
yang bersaman perlu disiapkan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) dan
defibrillator. Selain itu, pasien juga perlu mengontrol kadar troponin serta
melakukan pemantauan segmen ST secara terus menerus. Terapi penunjang yang
dapat diberikan pada pasien sindrom koroner akut adalah pemberian Aspirin,
Nitrogliserin, oksigen, Morfin, dan obat-obat golongan antihipertensi seperti beta
bloker dan Calcium Channel Blocker (CCB) (Jneid et al., 2017; DiDomenico et
al., 2020).
Pada pasien STEMI dengan onset gejala dibawah 12 jam maka perlu
dilakukan terapi reperfusi berupa terapi Percutaneous Coronary Intervention
(PCI) dengan kurun waktu 90 menit. Apabila tidak tersedia PCI maka perlu
diberikan terapi fibrinolitik dengan kurun waktu 30 menit. Sedangkan pada pasien
dengan onset gejala lebih dari 12 jam maka perlu dilihat kadar troponin pasien
dan dilakukan pemberian terapi vasodilator nitrat, antikoagulan, serta
dipertimbangkan pemberian antihipertensi dan antiplatelet (Jneid et al., 2017;
DiDomenico et al., 2020).

2.1.4.4 Terapi Non Farmakologi


Revaskularisasi bedah berperan penting dalam pengobatan Stable Ischemic
Heart Disease (SIHD). Prosedur revaskularisasi yang umum digunakan dalam
prakteknya adalah operasi Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) atau
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dengan atau tanpa pemasangan stent
(Dobesh et al., 2020).

2.1.4.4.1 Percutaneous Coronary Intervention (PCI)


Istilah PCI mencakup penggunaan angioplasti balon dengan pemasangan
stent serta prosedur intrakoroner lain yang jarang dilakukan seperti aterektomi
rotasi dan trombektomi aspirasi. Selama PCI, kateter diarahkan ke pembuluh
darah koroner baik melalui arteri femoralis atau radial. Selubung dipasang di
arteri femoralis atau radial untuk menjaga akses selama prosedur. Kateter
pemandu kemudian dimasukkan melalui selubung dan diteruskan ke ostium arteri
koroner. Kabel pemandu kemudian dimajukan melalui kateter pemandu dan
melintasi stenosis di pembuluh koroner. Balon yang telah dikempiskan tersebut
kemudian meluncur di sepanjang kabel pemandu dan menuju lokasi stenosis
koroner. Balon tersebut kemudian dipompa. Balon yang membengkak
memperluas lumen koroner dengan meregangkan dan merobek plak aterosklerotik.
Sebagian besar prosedur PCI elektif diselesaikan di 30 hingga 60 menit (Dobesh
et al., 2020).

Penutupan pembuluh tiba-tiba merupakan komplikasi potensial dari


angioplasti balon. Penutupan kapal yang tiba-tiba dipicu oleh gangguan fisik dari
plak di dinding pembuluh selama prosedur. Komplikasi kedua dari PCI adalah re-
stenosis yang dapat menyebabkan gejala berulang dan perlunya prosedur
revaskularisasi lain pada sekitar 30% hingga 50% pasien dalam satu tahun. Saat
ini komplikasi ini telah dikurangi secara dramatis dengan penggunaan terapi
antitrombotik dan stent intracoronary (Ludman, 2018; Dobesh et al., 2020).
Kerusakan fisik yang terjadi pada plak aterosklerotik selama PCI dengan
penempatan stent menginduksi perekrutan dan aktivasi platelet, yang mengarah ke
potensi pembentukan trombus. Oleh karena itu, terapi antitrombotik dengan
antiplatelet dan agen antikoagulan diperlukan untuk mendapatkan hasil yang
sukses. Terapi antiplatelet juga digunakan setelah prosedur untuk mengurangi
risiko trombosis stent. Semua pasien tanpa kontraindikasi harus menerima aspirin
sebelum PCI dan setelahnya dilanjutkan seumur hidup. Pasien yang sudah
menjalani terapi aspirin kronis harus mengonsumsi 75 hingga 325 mg tambahan
sebelum PCI. Pasien naif aspirin harus diberi dosis 325 mg setidaknya 2 jam
tetapi sebaiknya 24 jam sebelum PCI. Pengobatan kronis dengan aspirin 81 mg
setiap hari dianjurkan setelah PCI. Pasien yang menerima stent juga harus
menerima inhibitor P2Y12 (misalnya, clopidogrel) sebelum PCI. (Ludman, 2018;
Dobesh et al., 2020).

2.1.5 Penatalaksanaan Terapi IMA

Apabila pasien memiliki kecurigaan klinis sindrom koroner akut, termasuk


gejala iskemik atau infark maka pasien perlu dilakukan EMS (Emergency Medical
Service) dengan memonitor pernafasan dan sirkulasi darah pada pasien. Pada saat
yang bersaman perlu disiapkan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) dan
defibrillator. Selain itu, pasien juga perlu mengontrol kadar troponin serta
melakukan pemantauan segmen ST secara terus menerus. Terapi penunjang yang

dapat diberikan pada pasien sindrom koroner akut adalah pemberian Aspirin,
Nitrogliserin, oksigen, Morfin, dan obat-obat golongan antihipertensi seperti beta
bloker dan Calcium Channel Blocker (CCB) (Jneid et al., 2017; DiDomenico et
al., 2020).
Pada pasien STEMI dengan onset gejala dibawah 12 jam maka perlu dilakukan
terapi reperfusi berupa terapi Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dengan
kurun waktu 90 menit. Apabila tidak tersedia PCI maka perlu diberikan terapi
fibrinolitik dengan kurun waktu 30 menit. Sedangkan pada pasien dengan onset
gejala lebih dari 12 jam maka perlu dilihat kadar troponin pasien dan dilakukan
pemberian terapi vasodilator nitrat, antikoagulan, serta dipertimbangkan
pemberian antihipertensi dan antiplatelet (Jneid et al., 2017; DiDomenico et al.,
2020).

2.1.5.1 Terapi Non Farmakologi


Revaskularisasi bedah berperan penting dalam pengobatan Stable Ischemic
Heart Disease (SIHD). Prosedur revaskularisasi yang umum digunakan dalam
prakteknya adalah operasi Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) atau
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dengan atau tanpa pemasangan stent
(Dobesh et al., 2020).

2.1.5.1.1 Percutaneous Coronary Intervention (PCI)


Istilah PCI mencakup penggunaan angioplasti balon dengan pemasangan
stent serta prosedur intrakoroner lain yang jarang dilakukan seperti aterektomi
rotasi dan trombektomi aspirasi. Selama PCI, kateter diarahkan ke pembuluh
darah koroner baik melalui arteri femoralis atau radial. Selubung dipasang di
arteri femoralis atau radial untuk menjaga akses selama prosedur. Kateter
pemandu kemudian dimasukkan melalui selubung dan diteruskan ke ostium arteri
koroner. Kabel pemandu kemudian dimajukan melalui kateter pemandu dan
melintasi stenosis di pembuluh koroner. Balon yang telah dikempiskan tersebut
kemudian meluncur di sepanjang kabel pemandu dan menuju lokasi stenosis
koroner. Balon tersebut kemudian dipompa. Balon yang membengkak
memperluas lumen koroner dengan meregangkan dan merobek plak aterosklerotik.
Sebagian besar prosedur PCI elektif diselesaikan di 30 hingga 60 menit (Dobesh
et al., 2020).

Penutupan pembuluh tiba-tiba merupakan komplikasi potensial dari


angioplasti balon. Penutupan kapal yang tiba-tiba dipicu oleh gangguan fisik dari
plak di dinding pembuluh selama prosedur. Komplikasi kedua dari PCI adalah re-
stenosis yang dapat menyebabkan gejala berulang dan perlunya prosedur
revaskularisasi lain pada sekitar 30% hingga 50% pasien dalam satu tahun. Saat
ini komplikasi ini telah dikurangi secara dramatis dengan penggunaan terapi
antitrombotik dan stent intracoronary (Ludman, 2018; Dobesh et al., 2020).
Kerusakan fisik yang terjadi pada plak aterosklerotik selama PCI dengan
penempatan stent menginduksi perekrutan dan aktivasi platelet, yang mengarah ke
potensi pembentukan trombus. Oleh karena itu, terapi antitrombotik dengan
antiplatelet dan agen antikoagulan diperlukan untuk mendapatkan hasil yang
sukses. Terapi antiplatelet juga digunakan setelah prosedur untuk mengurangi
risiko trombosis stent. Semua pasien tanpa kontraindikasi harus menerima aspirin
sebelum PCI dan setelahnya dilanjutkan seumur hidup. Pasien yang sudah
menjalani terapi aspirin kronis harus mengonsumsi 75 hingga 325 mg tambahan
sebelum PCI. Pasien naif aspirin harus diberi dosis 325 mg setidaknya 2 jam
tetapi sebaiknya 24 jam sebelum PCI. Pengobatan kronis dengan aspirin 81 mg
setiap hari dianjurkan setelah PCI. Pasien yang menerima stent juga harus
menerima inhibitor P2Y12 (misalnya, clopidogrel) sebelum PCI. (Ludman, 2018;
Dobesh et al., 2020).

Anda mungkin juga menyukai