Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL SKRIPSI

PENELITIAN KEPUSTAKAAN
(LIBRARY RESEARCH)

KORELASI ANTARA KADAR LEUKOSIT DAN TROPONIN PADA


PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT

Oleh :
ASTRI YULITA MAHARANI
1713353027

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG


PROGRAM STUDI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PROGRAM SARJANA TERAPAN
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infark Miokard atau Infark Miokard Akut (IMA) adalah kematian otot
jantung yang disebabkan oleh iskemi yang berkepanjangan dan merupakan
penyebab utama kematian didunia. Lebih dari 3 juta orang tiap tahun
diperkirakan menderita ST-Elevasi Infark Miokard (STEMI) dan lebih dari 4
juta orang tiap tahunnya menderita Non ST-Elevasi Infark Miokard
(NSTEMI).
Penyakit jantung koroner yang mempunyai jumlah tingkat kematian
yang tinggi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 7 juta orang
meninggal akibat IMA pada tahun 2002 dan diperkirakan pada tahun 2020
meningkat hingga 11 juta orang (Widodo, 2010). IMA diawali dari proses
berkurangnya pasokan oksigen iskemia jantung yang disebabkan oleh, antara
lain ateroskelorosis, thrombus arteri, spasme, emboli koroner, anomali
kongenital yang merupakan gangguan pada pembuluh darah koroner.
Penyebab gangguan jantung lainnya seperti hipertrofi ventrikel dan penyakit
sistemik seperti anemia menyebabkan oksigen yang dibawa keseluruh
penyebab diatas dapat terjadi iskemik jantung bila tidak tertolong dapat
mengakibatkan kematian jantung yang disebut IMA (Kasron, 2012).
Tanda dan gejala yang terjadi pada IMA secara klinis misalnya sesak
nafas, pucat, dingin dan kepala terasa melayang, mual, muntah, rasa sakit di
bagian dada secara mendadak dan terus menerus, nyeri seperti tertusuk dan
menjalar ke bahu lalu ke bawah menuju bagian lengan kiri. Nyeri mulai secara
mendadak dan menetap selama beberapa jam atau hari, tidak hilang hanya
dengan istirahat, nyeri juga dapat menjalar ke leher. Pada pasien diabetes
mellitus tidak mengalami nyeri karena neuropati yang menyertai diabetes
dapat menganggu neuroreseptor (Kasron, 2012).
Penyebab terbesar kematian akibat serangan jantung mendadak yaitu
tidak adanya pertolongan pertama, oleh sebab itu pengetahuan masyarakat
terhadap penanganan pertolongan pertama penyakit jantung IMA secara dini
menjadi sangat penting. Tidak hanya para tenaga medis saja yang dapat
melakukan penanganan pertolongan pertama pada penyakit jantung IMA,
namun masyarakat atau orang awam pun bisa dan harus melakukan
penanganan pertolongan pertama pada penyakit jantung IMA karena penting
dilakukan untuk menunggu datangnya paramedis dan dibawa ke RS
(Mukhlisun, 2013).
Sebanyak 478.000 pasien di Indonesia terdiagnosis penyakit jantung
koroner menurut Departemen Kesehatan pada tahun 2019. Prevalensi infark
miokard akut dengan ST-elevasi saat ini meningkat dari 25% ke 40% (Depkes,
2019). Prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2018
berdasarkan Diagnosis Dokter pada semua umur adalah sebesar 1,5%
tertimbang 1.017.290. pada usia ≥ 15 tahun berdasar wawancara terdiagnosis
dokter sebesar 0,7 %. Prevalensi penyakit jantung koroner berdasar jenis
kelaminnya, yang didiagnosis dokter atau gejala lebih tinggi pada perempuan
yaitu 1,6%. Sedangkan pada laki-laki adalah 1,3% . Prevalensi penyait jantung
berdasarkan Diagnosis Dokter pada penduduk semua umur di lampung adalah
1,2% (Depkes, 2019).
Sejumlah penelitian menemukan beberapa mekanisme keterlibatan
jumlah leukosit dengan tingkat kematian pada penyakit jantung koroner.
Leukosit memegang peran penting dalam respon inflamasi pada cedera dan
mekanisme perbaikan yang bertujuan untuk menggantikan area yang telah
nekrosis menjadi kolagen. Sehingga dapat disimpulkan semakin besar area
nekrosis maka akan semakin besar juga respon leukosit pada level sistemik
ataupun lokal.4 Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa nilai leukositosis
pada penderita IMA meningkat dibandingkan penderita bukan IMA dengan
perbedaan bermakna (Maison, 2010)
Leukosit atau sel darah putih adalah unit-unit yang dapat bergerak
(mobile) dalam sistem pertahanan tubuh (Sherwood, 2016). Leukosit adalah
sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Jumlah leukosit
pada orang dewasa normal adalah 6000-10000 sel/mm3. Bila jumlahnya lebih
dari normal keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari normal disebut
leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai
granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan
setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang
bervariasi, yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan
inti bentuk bulat atau bentuk ginjal (Pearce, 2018).
Sel darah putih bening dan tidak berwarna, bentuknya lebih besar dari
sel darah merah, tetapi jumlahnya lebih kecil. Granulosit atau sel
polimorfonuklear merupakan hampir 75 persen dari seluruh jumlah sel darah
putih. Mereka terbentuk dalam sumsum merah tulang. Sel ini berisi sebuah
nukleus yang berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir. Karena itu
disebut sel berbulir atau granulosit. Kekurangan granulosit disebut
granulositopenia. Tidak adanya granulosit disebut agranulositosis, yang dapat
timbul setelah makan obat tertentu, termasuk juga beberapa antibiotika. Oleh
karena itu apabila makan obat-obat tersebut, pemeriksaan darah sebaiknya
sering dilakukan untuk mengetahui keadaan ini seawal mungkin (Pearce,
2018).
Leukosit mempunyai fungsi utama dalam sistem pertahanan. Untuk
mengungkapkan keadaan kesehatan tubuh melalui sel-sel leukosit perlu
diperhatikan mengenai jumlahnya dan morfologinya cukup mengamati
sediaan apus darah. Sediaan apus darah yang baik memperagakan penyebaran
yang ratarata sel pada bagian tengah. Bagian pinggir dan bagian tebal dari
sediaan biasanya berkumpul sel-sel leukosit, namun bagian itu tidak
dianjurkan untuk dipakai mempelajari morfologinya (Subowo, 2018).
Leukosit dan turunannya berperan dalam:
1. Menahan invasi oleh pathogen (mikroorganisme penyebab penyakit,
misalnya bakteri dan virus) melalui proses fagositosis;
2. Mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel kanker yang muncul di
dalam tubuh; dan
3. Berfungsi sebagai “petugas pembersih” yang membersihkan
“sampah” tubuh dengan memfagosit debris yang berasal dari sel
yang mati atau cedera dan yang terakhir dalam penyembuhan luka
dan perbaikan jaringan. Untuk melaksanakan fungsinya, leukosit
terutama menggunakan strategi “cari dan serang” yaitu sel-sel
tersebut pergi ke tempat invasi atau jaringan yang rusak. Alasan
utama mengapa sel darah putih terdapat di dalam darah adalah agar
mereka cepat diangkut dari tempat pembentukan atau
penyimpanannya ke manapun mereka diperlukan (Sherwood, 2016).
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid
dan melalui proses diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan
menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan
penyambung ( (Guyton, 2014).
Jumlah leukosit dalam sirkulasi sangat mudah dan cepat berubah. Nilai
absolut maupun relatif dapat berubah oleh stimulasi selama beberapa menit
atau beberapa jam. Dampak yang paling jelas terlihat bila kelenjar adrenal
dirangsang, baik secara farmakologis maupun sebagai respon terhadap
kebutuhan fisiologis. Sebagian besar stimulasi fisiologis seperti olahraga,
emosi, pemaparan terhadap suhu yang ekstrim, mengakibatkan leukositosis
(Sherwood, 2016)
Sel darah putih menghabiskan sebagian besar waktunya di luar sistem
sirkulasi, berpatroli di dalam cairan interstisial dan sistem limfatik, dimana
sebagian besar pertempuran melawan pathogen dilakukan. Secara normal, satu
millimeter kubik darah manusia mempunyai sekitar 5000 sampai 10.000
leukosit. Jumlah sel ini akan meningkat untuk sementara waktu ketika tubuh
sedang berperang melawan suatu infeksi (Campbell, 2014).
Menurut penelitian Muhammad Yogi Pratama tahun 2016 tentang
Gambaran Kadar Leukosit Pada Pasien Sindroma Koroner Akut menyatakan
bahwa Leukosit dapat menjadi prediktor dan indikator prognostik pada
sindroma koroner akut. Pasien sindroma koroner akut di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik pada tahun 2014-2016 mayoritas memiliki nilai
leukosit lebih dari 12.000 /µL.
Hal serupa juga dijelaskan pada penelitian Ade M Sitepu pada tahun
2016 tentang Gambaran jumlah leukosit pada pasien infark miokard akut
bahwa Peningkatan jumlah leukosit secara tipikal mengindikasikan adanya
suatu infeksi dan peradangan, serta juga berperan pada cedera vaskular dan
aterogenesis yang merupakan perkembangan dari suatu ruptur plak
aterosklerosis dan thrombosis. Hasil penelitian mendapatlan 45 sampel dengan
mayoritas kelompok usia 46-60 tahun, jenis kelamin laki-laki, faktor risiko
kombinasi beberapa faktor risiko mayor, dan jenis infark NSTEMI. Sebanyak
57,77% hasil pemeriksaan leukosit berkisar 10.000-14.900/mm3 dan 8,88%
pada ≥15.000/mm. Lebih dari setengah jumlah sampel mengalami
peningkatan jumlah leukosit.
Diagnosis IMA dapat ditegakkan melalui pemeriksaan troponin, namun
tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya. Troponin adalah protein yang
ada di otot dan jantung. Ketika seseorang mengalami masalah pada
jantungnya, troponin akan pecah dan masuk ke aliran darah. Di sinilah dokter
mengukur level troponin seseorang untuk mendeteksi apakah terjadi serangan
jantung. Mengukur troponin adalah cara yang jauh lebih efektif untuk
mendeteksi serangan jantung ketimbang pemeriksaan darah biasa. Mengukur
level troponin dalam darah membantu dokter mendiagnosis lebih cepat serta
menentukan langkah penanganan yang tepat. (Sargowo, 2017)
Jenis troponin dikategorikan menjadi 3 sub-unit yaitu:
1. Troponin C (TnC)
2. Troponin T (TnT)
3. Troponin I (TnI)
Pada orang sehat, idealnya level troponin cukup rendah sehingga tidak
terdeteksi. Bahkan ketika seseorang mengalami nyeri dada namun hingga 12
jam kemudian level troponin masih rendah, kemungkinan mengalami
serangan jantung pun sangat kecil.Tingginya level troponin adalah tanda
bahaya darurat. Semakin tinggi troponin, terutama troponin T dan I,
kecenderungan kerusakan jantung lebih besar lagi. Lebih jauh lagi, level
troponin ini akan meningkat dalam waktu 3-4 jam setelah jantung mengalami
kerusakan. Hingga 14 hari kemudian, level troponin bisa tetap tinggi.Satuan
level troponin adalah nanogram per mililiter. Tergantung kapan pemeriksaan
diambil, angka normal troponin adalah di bawah 0,4 nanogram per mililiter.
Namun jika lebih tinggi dari ini, bisa jadi indikasi serangan jantung atau
kerusakan jantung.Meski demikian, penelitian terbaru menyebutkan bahwa
perempuan bisa mengalami kerusakan jantung akibat serangan jantung meski
level troponinnya masih rendah. Artinya, parameter troponin yang normal
antara laki-laki dan perempuan bisa saja berbeda (Sargowo, 2017).
Menurut penelitian Yulia Eka Hastuti tahun 2013 tentang Hubungan
Kadar Troponin Dengan Lama Perawatan Pasien Infark Miokard Akut
menyatakan bahwa Kadar troponin T memberikan informasi penting dalam
estimasi luas infark. Pada IMA, luas infark berhubungan erat dengan luas
protagonist.
Sedangkan menurut penelitian Radiyan Meidhiyanto pada tahun 2016
tentang Hubungan Jumlah Leukosit Dengan Kadar Troponin I Pada Pasien
Infark Miokard menjelaskan bahwa Infark Miokard atau Infark Miokard Akut
(IMA) merupakan penyebab utama kematian didunia. Lebih dari 7 juta orang
didunia terdeteksi penyakit ini tiap tahunnya. Alat diagnostik IMA yang ada
saat ini cenderung sulit ditemukan karena tidak semua fasilitas kesehatan
memilikinya. Diperlukan alat diagnosis yang mudah diakses dan terjangkau di
masyarakat. Dalam penelitian ini Didapatkan hubungan yang signifikan antara
jumlah leukosit dengan kadar troponin I pada pasien IMA. Kuat hubungan
secara statistik antar variabel termasuk dalam kategori sedang dengan arah
korelasinya positif yang artinya semakin tinggi variabel bebas, maka semakin
tinggi juga variabel terikat.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin menggali lebih dalam
lagi tentang korelasi antara kadar leukosit dan troponin pada penderita infark
miokard akut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, peneliti membuat suatu
rumusan masalah korelasi antara kadar leukosit dan troponin pada penderita
infark miokard akut
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui korelasi antara kadar leukosit dan troponin pada penderita
infark miokard akut.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis kadar leukosit pada penderita infark miokard akut.
b. Menganalisis kadar troponin pada penderita infark miokard akut.
c. Menganalisis korelasi antara kadar leukosit dan troponin pada
penderita infark miokard akut.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan terkait dengan
bidang Hematologi terutama tentang informasi ilmiah mengenai korelasi
antara kadar leukosit dan troponin pada penderita infark miokard akut.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Penulis
Menambah pengalaman bagi peneliti serta untuk mengembangkan dan
menerapkan ilmu dalam rangka pengembangan diri dan sebagai syarat
dalam menyelesaikan studi di Politeknik Kesehatan Tanjungkarang.
b. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat
tentang korelasi antara kadar leukosit dan troponin pada penderita
infark miokard akut.
c. Bagi Instusi Pendidikan
Sebagai referensi dalam bidang kesehatan khususnya mata kuliah
Hematologi dan sebagai masukan untuk evaluasi dalam proses
pembelajaran, serta dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian dengan rancangan Penelitian
Kepustakaan (Library Reasearch). Penelitian ini dilaksanakan dengan
menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun
laporan hasil penelitian terdahulu. Penulis merangkum beberapa literatur yang
relevan dengan tema yaitu tentang kadar leukosit dan troponin pada penderita
infark miokard akut.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan
lebih menekankan pada kekuatan analisis sumber-sumber dan data-data yang
ada dengan mengandalkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada untuk
diinterpretasikan berdasarkan tulisan-tulisan yang mengarah kepada
pembahasan.
1. Prosedur Penelitian
a. Pemilihan Topik
Topik yang dipilih dalam penelitian ini yaitu kadar leukosit dan
troponin pada penderita infark miokard akut.
b. Eksplorasi informasi
Informasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri
jurnal yang sesuai dengan topik penelitian yaitu kadar leukosit dan
troponin pada penderita infark miokard akut.
2. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini yaitu kadar leukosit dan troponin pada penderita infark
miokard akut.
3. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan oleh penulis sebagai penunjang, dapat juga
dikatakan data yang tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen. Dalam
penelitian ini data yang penulis peroleh dari dokumentasi, buku – buku, dan
situs internet.
4. Persiapan Penyajian Data
Jurnal yang telah dikumpulkan dibaca, dianalisis dan diambil kesimpulan
yang sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan sehingga data-
data yang diperoleh semakin akurat dan tepat
5. Penyusunan Laporan
Pada bagian akhir kegiatan penelitian, peneliti mulai dengan proses
penyusunan laporan penelitian. Proses penyusunan laporan ini dilakukan
dengan cara menyusun berbagai data yang didapat sesuai dengan topik
penelitian yaitu kadar leukosit dan troponin pada penderita infark miokard
akut. Laporan yang dibuat peneliti dilakukan sesuai dengan pedoman
penulisan yang telah ditentukan oleh Poltekkes Tanjungkarang.
6. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Peneliti mendapatkan
data sekunder berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang memiliki
Variabel independent adalah kadar leukosit dan troponin sedangkan
variabel dependent yaitu penderita infark miokard akut yang sama dengan
yang akan diteliti sehingga sesuai dengan hasil yang diharapkan.
7. Instrument Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian kepustakaan dapat berupa check-list
klasifikasi bahan penelitian, skema atau peta penulisan dan format catatan
penelitian.
8. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian berupa metode
analisis isi (Content Analisis). Kemudian peneliti mengolah bahan-bahan
atau data-data berupa artikel jurnal, skripsi dan buku yang sudah
dikumpulkan hingga ditemukan hasil yang relevan sesuai dengan topik
penelitian. Dalam menganalisa data studi kepustakaan dengan melihat
tahun penelitian mulai dari penelitian terdahulu sampai penelitian yang
terbaru. Pada tahap ini, hasil dari pengumpulan data yang diperoleh akan
dianalisis lebih rinci sehingga memperoleh kesimpulan dari penelitian.
Hasil dari analisa data akan dilakukan tahap pembahasan. Pada tahap ini
akan dibahas secara lebih rinci sehingga dihasilkan kesimpulan data yang
akan membuktikan kebenaran variable yang di analisis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TEORI
1. Infark Miokard Akut (IMA)
a. Pengertian Infark Miokard Akut (IMA)
Infark Miokard Akut (IMA) adalah kematian sel-sel miokardium
yang terjadi akibat kekurangan oksigen berkepanjangan. Suplai
oksigen dibutuhkan sel-sel miokardium untuk menghasilkan ATP yang
dapat memenuhi kebutuhan energinya (Corwin, 2010). IMA dikenal
sebagai serangan jantung, oklusi koroner, yang merupakan kondisi
mengancam jiwa yang ditandai dengan pembentukan area nekrotik
lokal di dalam miokardium. Apabila terjadi pembentukan area nekrotik
pada miokardium, maka aliran darah ke jantung tidak optimal sehingga
pemenuhan kebutuhan oksigen mengalami penurunan (Jane H, Joyce
M & Hawks Black, 2014).
IMA didefinisikan sebagai suatu kondisi klinis dimana terjadi
adanya nekrosis sel miokard akibat iskemia signifikan dan terjadi
terus-menerus (Mendis, 2011). Nyeri dada akut merupakan penyebab
paling sering kedatangan pasien ke Unit Gawat Darurat (UGD).
Sebanyak 15-25 % dari nyeri dada tersebut terjadi akibat sindroma
koroner akut. Sindroma koroner akut terjadi akibat kondisi iskemia
miokard. Keadaan ini terdiri dari 3 bagian, yang dapat dibedakan satu
sama lain berdasarkan pemeriksaan marker jantung maupun
elektrokardiografi (EKG) (Sabatine, 2012).
b. Etiologi Infark Miokard Akut (IMA)
Penyebab IMA ada dua faktor, faktor internal dan eksternal.
Faktor internal antara lain karakteristik plak, seperti ukuran dan
konsistensi dari inti lipid serta kondisi bagaimana plak tersebut
terpapar, seperti status koagulasi dan derajat vasokonstriksi arteri.
Faktor eksternal berasal dari aktivitas pasien atau kondisi eksternal
yang memengaruhi pasien. Aktivitas fisik berat dan stres emosional
berat, seperti kemarahan, serta peningkatan respon sistem saraf
simpatis dapat menyebabkan ruptur plak. Pada waktu yang sama,
respon sistem saraf simpatis akan meningkatkan kebutuhan oksigen
miokardium (Jane H, Joyce M & Hawks Black, 2014).
c. Patologi Infark Miokard Akut (IMA)
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.
Penyakit aterosklerosi ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di
dalam dinding arteri. Lama kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam
lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen
mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi
(Ramrakha, 2016). Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok,
diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan
inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan
terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel.
Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi
molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai
vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi
endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1,
dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel
(Ramrakha, 2016).
Sebagian besar IMA terjadi sebagai akibat dari ruptur plak
aterosklerosis. Aterosklerosis timbul berawal dari terjadinya inflamasi
pada endotelium tunika intima pada arteri koroner. Low Density
Lipoprotein (LDL) memiliki peranan utama terhadap kejadian
inflamasi ini. LDL yang berlebihan akan terakumulasi di subintima
dan mengalami oksidasi. LDL teroksidasi merupakan faktor
proinflamasi yang kuat, selanjutnya akan memicu terjadinya adhesi
monosit pada endotelium dan subintima. Monosit yang telah berikatan
dengan endotelium dan subintima tersebut mengalami diferensiasi
menjadi makrofag. Makrofag tersebut akan menarik LDL yang
teroksidasi lalu mengalami proliferasi di dalam subintima. Gabungan
antara LDL yang teroksidasi dengan makrofag disebut sebagai foam
cell yang merupakan tahapan awal dari proses aterosklerosis. Selain itu
juga terjadi peningkatanproduksi matriks ekstraselular dan proses
fibrosis di sel otot polos. Mengakibatkan terjadinya penebalan di
tunika media hingga tunika adventisia (Blackshear and Kantor, 2007).
Terdapat beberapa mekanisme penyebab IMA, 2/3 diantaranya
disebabkan oleh rupturnya tudung fibrus pada plak aterosklerosis.
Mekanisme lainnya yaitu erosi superfisial intima yang terjadi pada ¼
kejadian IMA. Rupturnya tudung fibrus terjadi akibat
ketidakseimbangan antara kekuatan yang merusak tudung plak dan
kekuatan bertahan dari tudung fibrus. Faktor-faktor yang menurunkan
sintesis kolagen oleh sel otot polos vaskular dapat menurunkan
kemampuan bertahan dari tudung fibrus plak, misalnya sel T yang
merupakan turunan interferon γ. Selain itu peningkatan katabolisme
matriks ekstraselular yang menyusun tudung fibrus juga memiliki
peran terhadap terjadinya ruptur plak (Libby, 2012).
Gambar 1. Tahapan pembentukan plak aterosklerosis dan proses terjadinya
IMA

Rupturnya plak aterosklerosis menyebabkan tissue factor


subendotelial terpapar dengan aliran darah. Tissue factor mengaktifkan
faktor koagulasi guna membentuk trombin yang dapat mengubah
fibrinogen menjadi fibrin. Proses ini merupakan tahapan penting dalam
pembentukan trombus. Aktivasi, agregasi dan adhesi platelet terjadi
simultan, yang dipicu oleh aktivitas trombin. Platelet yang mengalami
agregasi dengan ikatan fibrin akan membentuk platelet plug (trombus).
Trombus yang terbentuk ini selanjutnya akan melekat pada dinding
arteri koroner yang mengalami injuri atau fragmen dari trombus dapat
mengalami embolisasi sehingga dapat menyebabkan mikroinfark
(Ravkilde, 2000).
d. Manifestasi Klinis Infark Miokard Akut (IMA)
Tanda infark miokard yang nyata biasanya timbul manifestasi klinis
yang bermakna seperti (Corwin, 2010):
a. Nyeri dengan awitan yang biasanya mendadak, sering
digambarkan memiliki sifat meremukkan dan parah. Nyeri dapat
menyebar ke bagian atas tubuh mana saja, tetapi sebagian besar
menyebar ke lengan kiri, leher, atau rahang. Nitrat dan istirahat
dapat menghilangkan iskemia di luar zona nekrotik dengan
menurunkan beban kerja jantung.
b. Terjadi mual dan muntah yang mungkin berkaitan dengan nyeri
hebat.
c. Perasaan lemas yang berkaitan dengan penurunan aliran darah ke
otot rangka.
d. Kulit yang dingin, pucat akibat vasokonstriksi simpatis.
e. Pengeluaran urin berkurang karena penurunan aliran darah ginjal
serta peningkatan aldosteron dan ADH.
f. Takikardi akibat peningkatan stimulasi simpatis jantung.
g. Keadaan mental berupa perasaan sangatcemas disertai perasaan
mendekati kematian sering terjadi, mungkin berhubungan dengan
pelepasan hormon stres dan ADH (vasopresin).
e. Klasifikasi Infark Miokard Akut (IMA)
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia tahun 2015, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka
jantung, Sindrom Koroner Akut atau Infark Miokard Akut dibagi
menjadi :
a. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction)
b. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non
ST segment elevation myocardial infarction).
c. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris).
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis,
intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis NSTEMI ditegakkan
jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka
jantung (Kardiovaskuler, 2015).
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan
jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat
presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau
bahkan tanpa perubahan.
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan
adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia
marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi
Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation
Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil
marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma
koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal
adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of
normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan
kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik
sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20
menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran
nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka
pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap
terjadi angina berulang (Kardiovaskuler, 2015).
f. Komplikasi Infark Miokard Akut (IMA)
Komplikasi IMA terdiri dari gangguan irama dan konduksi.
Meliputi aritmia, sinus bradikardia, gangguan hantaran
aterioventrikuler, sinus takikardia, kontraksi prematur ventrikel.
Komplikasi lain pada infark miokard akut yaitu gagal jantung, syok
kardiogenik, tromboembolisme, perikarditis, aneurisma ventrikel (Jane
H, Joyce M & Hawks Black, 2014).
2. Leukosit
a. Pengertian Leukosit
Leukosit adalah sistem pertahanan tubuh yang mobil terhadap
benda- benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Sel-sel leukosit
dibentuk dalam sumsum tulang dan jaringan limfe (limfosit). Leukosit
dibagi atas 2 (dua) kelompok yaitu granulosit (neutrofil, eosinofil dan
basofil) dan non granulosit (monosit dan limfosit). Leukosit hidup
selama 4-5 hari, 50-70% dari leukosit adalah neutrofil. Neutrofil akan
meningkat (neutrofilia) sebagai respon terhadap inflamasi atau infeksi.
Neutrofil dapat memusnahkan parasit-parasit yang masuk ke dalam
tubuh, dan dapat pula mencegah reaksi lokal terhadap alergi agar tidak
menyebar ke seluruh tubuh. Basofil mengandung heparin dan histamin.
Zat-zat ini dikeluarkan apabila ada inflamasi (Baradero, 2009).
Leukosit merupakan sel darah putih yang diproduksi oleh
jaringan hemopoetik untuk jenis bergranula (polimorfonuklear) dan
jaringan limpatik untuk jenis tak bergranula (mononuklear), berfungsi
dalam sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi (Sutedjo, 2006).
Leukosit paling sedikit dalam tubuh jumlahnya sekitar
4.000-11.000/mm3 . Berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi.
Karena itu, jumlah leukosit tersebut berubah-ubah dari waktu ke
waktu, sesuai dengan jumlah benda asing yang dihadapi dalam batas-
batas yang masih dapat ditoleransi tubuh tanpa menimbulkan
gangguan fungsi (Sadikin, 2002). Meskipun leukosit merupakan sel
darah, tapi fungsi leukosit lebih banyak dilakukan di dalam jaringan.
Leukosit hanya bersifat sementara mengikuti aliran darah ke seluruh
tubuh. Apabila terjadi peradangan pada jaringan tubuh leukosit akan
pindah menuju jaringan yang mengalami radang dengan cara
menembus dinding kapiler (Rukman, 2014).
b. Jenis-Jenis Leukosit
Leukosit terdiri dari 2 kategori yaitu granulosit dan agranulosit.
Granulosit, yaitu sel darah putih yang di dalam sitoplasmanya terdapat
granula granula. Granula-granula ini mempunyai perbedaan
kemampuan mengikat warna misalnya pada eosinofil mempunyai
granula berwarna merah terang, basofil berwarna biru dan neutrofil
berwarna ungu pucat. Agranulosit, merupakan bagian dari sel darah
putih dimana mempunyai inti sel satu lobus dan sitoplasmanya tidak
bergranula. Leukosit yang termasuk agranulosit adalah limfosit, dan
monosit. Limfosit terdiri dari limfosit B yang membentuk imunitas
humoral dan limfosit T yang membentuk imunitas selular. Limfosit B
memproduksi antibodi jika terdapat antigen, sedangkan limfosit T
langsung berhubungan dengan benda asing untuk difagosit (Tarwoto,
2007).
Ada tidaknya granula dalam leukosit serta sifat dan reaksinya
terhadap zat warna, merupakan ciri khas dari jenis leukosit. Selain
bentuk dan ukuran, granula menjadi bagian penting dalam menentukan
jenis leukosit (Nugraha, 2015). Dalam keadaan normal leukosit yang
dapat dijumpai menurut ukuran yang telah dibakukan adalah basofil,
eosinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit dan monosit.
Keenam jenis sel tersebut berbeda dalam ukuran, bentuk, inti, warna
sitoplasma serta granula didalamnya (Mansyur, 2015).
1. Neutrofil
Neutrofil berukuran sekitar 14 μm, granulanya berbentuk
butiran halus tipis dengan sifat netral sehingga terjadi percampuran
warna asam (eosin) dan warna basa (metilen biru), sedang pada
granula menghasilkan warna ungu atau merah muda yang samar
(Nugraha, 2015). Neutrofil berfungsi sebagai garis pertahanan
tubuh terhadap zat asing terutama terhadap bakteri. Bersifat fagosit
dan dapat masuk ke dalam jaringan yang terinfeksi. Sirkulasi
neutrofil dalam darah yaitu sekitar 10 jam dan dapat hidup selama
1-4 hari pada saat berada dalam jaringan ekstravaskuler (Rukman,
2014).
Neutrofil adalah jenis sel leukosit yang paling banyak yaitu
sekitar 50-70% diantara sel leukosit yang lain. Ada dua macam
netrofil yaitu neutrofil batang (stab) dan neutrofil segmen
(polimorfonuklear) (Kiswari,2014). Perbedaan dari keduanya yaitu
neutrofil batang merupakan bentuk muda dari neutrofil segmen
sering disebut sebagai neutrofil tapal kuda karena mempunyai inti
berbentuk seperti tapal kuda. Seiring dengan proses pematangan,
bentuk intinya akan bersegmen dan akan menjadi neutrofil segmen.
Sel neutrofil mempunyai sitoplasma luas berwarna pink pucat dan
granula halus berwarna ungu (Riswanto, 2013).

Gambar 1. Neutrofil Batang Pewarnaan Giemsa Pembesaran 1000 x (Sumber:


(Adianto, 2013).

Neutrofil segmen mempunyai granula sitoplasma yang


tampak tipis (pucat), sering juga disebut neutrofil polimorfonuklear
karena inti selnya terdiri atas 2-5 segmen (lobus) yang bentuknya
bermacam-macam dan dihubungkan dengan benang kromatin.
Jumlah neutrofil segmen yaitu sebanyak 3-6, dan bila lebih dari 6
jumlahnya maka disebut dengan neutrofil hipersegmen (Rukman,
2014).
Gambar 2. Neutrofil Segmen Pewarnaan Giemsa Pembesaran 1000 x (Sumber:
(Adianto, 2013).

Peningkatan jumlah neutrofil disebut netrofilia. Neutrofilia


dapat terjadi karena respon fisiologik terhadap stres, misalnya
karena olah raga, cuaca yang ekstrim, perdarahan atau hemolisis
akut, melahirkan, dan stres emosi akut. Keadaan patologis yang
menyebabkan netrofilia diantaranya infeksi akut, radang atau
inflamasi, kerusakan jaringan, gangguan metabolik, apendisitis dan
leukemia mielositik. Sedangkan penurunan jumlah neutrofil
disebut dengan neutropenia, neutropenia ditemukan pada penyakit
virus, hipersplenisme, leukemia, granolositosis, anemia, pengaruh
obat-obatan (Riswanto, 2013).
2. Eosinofil
Eosinofil dalam tubuh yaitu sekitar 1-6%, berukuran 16 μm.
Berfungsi sebagai fagositosis dan menghasilkan antibodi terhadap
antigen yang dikeluarkan oleh parasit. Masa hidup eosinofil lebih
lama dari neutrofil yaitu sekitar 8-12 jam (Rukman, 2014).
Eosinofil hampir sama dengan neutrofil tapi pada eosinofil,
granula sitoplasma lebih kasar dan berwarna merah orange. Warna
kemerahan disebabkan adanya senyawa protein kation (yang
bersifat basa) mengikat zat warna golongan anilin asam seperti
eosin, yang terdapat pada pewarnaan Giemsa. Granulanya sama
besar dan teratur seperti gelembung dan jarang ditemukan lebih
dari 3 lobus inti. Eosinofil lebih lama dalam darah dibandingkan
neutrofil (Hoffbrand, 2005)
Gambar 3. Eosinofil Pewarnaan Giemsa Pembesaran 1000 x (Sumber: (Adianto,
2013))

Eosinofil akan meningkat jumlahnya ketika ditemukan


penyakit alergi, penyakit parasitik, penyakit kulit, kanker, flebitis,
tromboflebitis, leukemia mielositik kronik (CML), emfisema dan
penyakit ginjal. Sedangkan pada orang stres, pemberian steroid per
oral atau injeksi, luka bakar, syok dan hiperfungsiadrenokortikal
akan ditemukan jumlah eosinofil yang menurun (Riswanto, 2013).
3. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya
yaitu kira-kira kurang dari 2% dari jumlah keseluruhan leukosit.
Sel ini memiliki ukuran sekitar 14 μm, granula memiliki ukuran
bervariasi dengan susunan tidak teratur hingga menutupi nukleus
dan bersifat azrofilik sehingga berwarna gelap jika dilakukan
pewarnaan Giemsa. Basofil memiliki granula kasar berwarna ungu
atau biru tua dan seringkali menutupi inti sel, dan bersegmen.
Warna kebiruan disebabkan karena banyaknya granula yang berisi
histamin, yaitu suatu senyawa amina biogenik yang merupakan
metabolit dari asam amino histidin.

Gambar 4. Basofil Pewarnaan Giemsa Pembesaran 1000 x (Sumber: (Adianto,


2013).
Basofil jarang ditemukan dalam darah normal. Selama proses
peradangan akan menghasilkan senyawa kimia berupa heparin,
histamin, beradikinin dan serotonin. Basofil berperan dalam reaksi
hipersensitifitas yang berhubungan dengan imunoglobulin E (IgE)
(Rukman, 2014).
4. Monosit
Jumlah monosit kira-kira 3-8% dari total jumlah leukosit.
Monosit memiliki dua fungsi yaitu sebagai fagosit mikroorganisme
(khusunya jamur dan bakteri) serta berperan dalam reaksi imun
(Rukman, 2014).
Permukaan monosit yang tidak mulus karena memiliki
protein spesifik di atasnya yang memungkinkan untuk mengikat
bakteri atau sel virus. Fungsi monosit adalah untuk bergerak
menuju sel patogen tertentu dan akhirnya mengikuti ketika itu
cukup dekat. Menempelkan untuk patogen merangsang produksi
pseudopodium. Hal ini terjadi karena monosit menekuk menjadi
bentuk C sekitar patogen, dan ujung pertemuan C, sehingga
patogen tersebut ditelan. Patogen tersebut kemudian terjebak dalam
dalam fagosom monosit tersebut. Melanda sel-sel patogen atau
mati atau rusak hanya salah satu bagian dari fungsi monosit.
Setelah sel atau puing-puing telah ditelan, mereka dipecah dalam
fagosom (Hoffbrand, 2005).

gambar 5. Monosit Pewarnaan Giemsa Pembesaran 1000 x


(Sumber: Adianto, 2013).
5. Limfosit
Limfosit adalah jenis leukosit kedua paling banyak setelah
neutrofil (20- 40% dari total leukosit). Jumlah limfosit pada anak-
anak relatif lebih banyak dibandingkan jumlah orang dewasa, dan
jumlah limfosit ini akan meningkat bila terjadi infeksi virus.
Berdasarkan fungsinya limfosit dibagi atas limfosit B dan limfosit
T. Limfosit B matang pada sumsum tulang sedangkan limfosit T
matang dalam timus. Keduanya tidak dapat dibedakan dalam
pewarnaan Giemsa karena memiliki morfologi yang sama dengan
bentuk bulat dengan ukuran 12 μm. Sitoplasma sedikit karena
semua bagian sel hampir ditutupi nukleus padat dan tidak
bergranula (Nugraha, 2015).
Berdasarkan ukuranya limfosit dibedakan menjadi beberapa
jenis (Rukman, 2014):
a) Resting lymphocyte : biasanya berukuran kecil (7-10 μm), inti
selnya berbentuk bulat atau oval.
b) Reactive (“activical”) lymphocyte : berukuran paling besar bila
terjadi infeksi misalnya mono nukleosis.
c) Large granula lymphocyte : berukuran sedang mengandung
granula kasar azurofilik, berperan sebagai sel natural killer
(NK) imunologi.

Ukuran sel limfosit beragam, ada yang seperti eritrosit dan


ada yang sebesar netrofil. Limfosit dengan garis tengah 6-8
mikrometer dikenal sebagai limfosit kecil. Sitoplasma limfosit
bersifat basa lemah dan berwarna biru muda pada sediaan yang
terpulas. Sitoplasma ini mengandung granul azurofilik. Inti selnya
kebanyakan bulat atau terkadang mirip ginjal. Kromatin inti amat
padat dan berwarna biru gelap. Sel ini juga relatif sedikit dan
berwarna biru langit tanpa granul spesifik, namun pada beberapa
sel terlihat granula azurofil yang jika pulasannya baik bewarna
ungu kemerahan (Agus, 2004).

Gambar 6. Limfosit Pewarnaan Giemsa Pembesaran 1000 x (Sumber: (Adianto,


2013)

3. Troponin
Troponin adalah protein regulatori yang merupakan bagian dari
contractility apparatus dari jaringan otot skeletal dan jantung. Troponin
tidak muncul dalam jaringan otot polos. Troponin bersama protein actin
dan tropomiosin, mereka merupakan bagian dari filamen tipis dalam
myofibril dan esensial dalam pengaturan kontraksi otot yang dimediasi
kalsium. Kompleks troponin terdiri dari tiga protein yang berbeda interaksi
dan fungsinya (troponin I, T, dan C). Tissuespesific isoform tersedia untuk
tiap tipe troponin. Tropomiosin dimer dalam filamen tipis membentuk
rantai panjang berkelanjutan sepanjang lingkar helix actin. Kompleks
troponin terdapat dalam interval reguler sepanjang filamen. Tipe protein
troponin memiliki fungsi spesifik dalam meregulasi kontraksi otot (Scott
M Well,Meg Sleeper, 2008).
Troponin C tampil dalam dua isoform. Satu isoform muncul dalam
fast twitch muscle fiber dan yang lainnya munucl dalam cardiac maupun
slow twitch muscle fiber. Homologi antara cardiac isoform dan satu dari
otot rangka isoform mengurangi spesifisitas cardiac troponin C (cTnC)
dan membatasi kegunaan diagnostik pada penyakit jantung. Troponin C
berikatan dengan kalsium untuk menginisiasi kontraksi otot (Scott M
Well,Meg Sleeper, 2008).
Bentuk isoform multipel dari troponin T bertahan dalam otot rangka.
Cardiac Troponin T (cTnT) memiliki berat molekul 37.000 Da. Troponin
pada jaringan jantung manusia memiliki empat isoform, namun hanya satu
yang merupakan karakteristik jantung dewasa. Tiga isoform jantung lain
diekspresikan dalam jaringan fetus. Isoform fetal diekspresikan dalam
ulang selama terjadi kerusakan jantung atau kerusakan otot rangka.
Troponin T menempelkan kompleks troponin pada tropomiosin dan actin.
Tiga isoform membentuk Troponin I (TnI). Dua muncul dalam otot rangka
dan bentuk lain hanya terbentuk dalam otot jantung. Bentuk cardiac
isoform (cTnI), dengan berat molekul 24.000 Da, lebih besar daripada
isoform lainnya, dan mengandung tambahan 32 asam amino N-terminal
peptida. Protein lainnya memiliki disimilaritas lebih dari 40% dalam
sekuensi asam aminonya dibanding dengan TnI otot rangka. Tidak seperti
cTnT, cTnI tidak diekspresikan dalam otot rangka fetus selama
perkembangannya, ataupun setelah kerusakan dan regenerasi pada otot
rangka pasien dewasa. Troponin I menghambat actin myosin ATP-ase dan
mencegah interaksi struktur miosin dengan actin-binding sites. Ikatan
kalsium pada troponin C menggantikan troponin I dan menyebabkan
perubahan pada tropomiosin, sehingga tidak akan mengganggu ikatan
actin myosin dan kontraksi otot akan terjadi. Mutasi dari gen yang
mengkode cTnT dan cTnI menyebabkan hipertropi kardiomiopati pada
manusia (Scott M Well,Meg Sleeper, 2008).
Gambar 7. Struktur Troponin

Keterangan struktur filamen tipis :

a) “Tulang punggung” filamen tipis tampak pada pandangan longitudi


nal, F-actin yang terdiri dari 2 untai monomer aktin (rantai biru dan
putih). Kompleks troponin yang tiap meolekulnya tersusun dari tropo
nin C, I dan T tersebar dengan interval kira-kira 400-A. Molekul
tropomiosin berada diantara 2 untai aktin.
b) Irisan melintang filamen tipis pada tempat komplek troponin
menunjukkan kemungkinan hubungan antara aktin, tropomiosin dan 3
komponen dari kompleks troponin (Braunwald, 1998)
B. Kerangka Teori

Peningkatan Kadar Peningkatan Jumlah


Leukosit Troponin

Infark Miokard Akut

(IMA)

C. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Kadar leukosit dan Penderita Infark Miokard


troponin Akut (IMA)

D. Hipotesis

H0 : Tidak terdapat korelasi antara kadar leukosit dan troponin terhadap


penderita infark miokard akut (IMA).
HI : Terdapat korelasi antara kadar leukosit dan troponin terhadap
penderita infark miokard akut (IMA).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah Studi Kepustakaan (Library Research).
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, variabel independent
adalah kadar leukosit dan troponin sedangkan variabel dependent yaitu
penderita infark miokard akut.
B. Prosedur Penelitian
1. Pemilihan Topik
Topik yang dipilih dalam penelitian ini yaitu korelasi kadar leukosit dan
troponin pada penderita infark miokard akut.
2. Eksplorasi Informasi
Informasi dalam penelitian ini dilakukan dengancara menelusuri jurnal
yang sesuai dengan topik penelitian agar mendapat bahan yang sesuai
dengan masalah yang diteliti yaitu korelasi kadar leukosit dan troponin
pada penderita infark miokard akut.
3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini yaitu kadar leukosit dan troponin pada penderita
infark miokard akut.
4. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan oleh penulis sebagai penunjang, dapat juga
dikatakan data yang tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen. Dalam
penelitian ini data yang penulis peroleh dari dokumentasi, buku – buku,
dan situs internet.
5. Persiapan Penyajian Data
Jurnal yang telah dikumpulkan dibaca, dianalisis dan diambil kesimpulan
yang sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan sehingga data-
data yang diperoleh semakin akurat dan tepat
6. Penyusunan Laporan
Pada bagian akhir kegiatan penelitian, peneliti mulai dengan proses
penyusunan laporan penelitian. Proses penyusunan laporan ini dilakukan
dengan cara menyusun berbagai data yang didapat sesuai dengan topik
penelitian yaitu kadar leukosit dan troponin pada penderita infark miokard
akut. Laporan yang dibuat peneliti dilakukan sesuai dengan pedoman
penulisan yang telah ditentukan oleh Poltekkes Tanjungkarang.
C. Sumber Data
Sumber data yang menjadi bahan penelitian ini yaitu sumber data sekunder,
berupa jurnal, buku, dan situs internet yang terkait dengan topik yaitu kadar
leukosit dan troponin pada penderita infark miokard akut.
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Peneliti mendapatkan data
sekunder berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang memiliki Variabel
independent adalah kadar leukosit dan troponin sedangkan variabel dependent
yaitu penderita infark miokard akut yang sama dengan yang akan diteliti
sehingga sesuai dengan hasil yang diharapkan.
E. Instrument Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian kepustakaan dapat berupa check-list
klasifikasi bahan penelitian, skema atau peta penulisan dan format catatan
penelitian.
F. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian berupa metode analisis
isi (Content Analisis). Kemudian peneliti mengolah bahan-bahan atau data-
data berupa artikel jurnal, skripsi dan buku yang sudah dikumpulkan hingga
ditemukan hasil yang relevan sesuai dengan topik penelitian. Dalam
menganalisa data studi kepustakaan dengan melihat tahun penelitian mulai
dari penelitian terdahulu sampai penelitian yang terbaru. Pada tahap ini, hasil
dari pengumpulan data yang diperoleh akan dianalisis lebih rinci sehingga
memperoleh kesimpulan dari penelitian. Hasil dari analisa data akan dilakukan
tahap pembahasan. Pada tahap ini akan dibahas secara lebih rinci sehingga
dihasilkan kesimpulan data yang akan membuktikan kebenaran variable yang
di analisis.
DAFTAR PUSTAKA

Adianto. (2013). Perbedaan Morfologi Sel Darah pada Pengecatan Giemsa yang
diencerkan menggunakan Aquades dan Buffer pH 6,8. Semarang: Universitas
Muhammadiyah Semarang.

Agus, I. (2004). Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Baradero. (2009). Prinsip dan Praktek Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC.

Blackshear and Kantor. (2007). Pathogenesis of Atherosclerosis. Canada: Mayo


Foundation for Medical Education and Research.

Braunwald. (1998). Disorders of The Heart. New York: Harrison’s Principles of


Internal.

Campbell. (2014). Biologi. Jakarta: Erlangga.

Corwin, E. J. (2010). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Depkes. (2019). Penderita Infark Miokard Akut.

Gavaghan. (1999). Biochemical markers in myocardial injury. Aon J.

Guyton. (2014). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta:
Buku Kedokteran.

Hoffbrand. (2005). Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Jane H, Joyce M & Hawks Black. (2014). Keperawatan Medikal Bedah


Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Singapura: Elsevier.

Kardiovaskuler, P. D. (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut.


Dikutip dari http: //jki.or.id pada 29 November 2020.

Kasron. (2012). Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta: Nuha


Media.

Libby. (2012). Mechanism of Acute Coronary Syndrome and Their Impilcations


fot Therapy. England: The New England Journal of Medicine.
Mansyur. (2015). Penuntun Praktikum Hematologi. Makassar: Fakultas
kedokteran UNHAS.

Maison. (2010). Peranan Leukositosis Sebagai Uji Diagnostik Tambah Pada


Penderita Infark Miokard Akut. Semarang: Universitas Diponegoro.

Mendis. (2011). Global atlas on cardiovascular disease prevention and control.


Geneva: World Health Organization.

Mukhlisun. (2013). Pengetahuan Masyarakat Tentang Pertolongan Pertama


Minim. PMI.

Nugraha, G. (2015). Panduan Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Dasar .


Surabaya: Trans Info Media.

Pearce. (2018). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.

Ramrakha. (2016). Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery Disease.


1st ed. USA: Oxford University Press.

Ravkilde. (2000). Risk Stratification in Acute coronary syndrome using cardiac


troponin I (editorial). Clin Chem.

Riswanto. (2013). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Yogyakarta:


Alfamedika dan Kanal Medika.

Rukman, K. (2014). Hematologi & Transfusi. Jakarta: Erlangga.

Sargowo. (2017). Sensitivitas dan spesifisitas troponin T dan I pada diagnosis


infark miokard akut. Jakarta: Majalah Kedokteran.

Sherwood. (2016). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: Buku


Kedokteran.

Subowo. (2018). Histologi Umum. Edisi 1. Jakarta: Bumi Aksara .

Widodo. (2010). Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Kegawatdarurat


Infark Miokard Akut dengan Sikap Perawat dalam Penanganan Pasien Infark
Miokard Akut di Ruang Intensif RSUD DR Moewardi Surakarta Tahun 2010.
Surakarta: Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan.

Sabatine. (2012). The thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) study group


experience. The Journal of Thoracic and Cardiovascular Surgery.
Scott M Well,Meg Sleeper. (2008). Cardiac Troponins. Carolinas.

Sutedjo. (2006). Mengenal Penyakit Melalui Pemeriksaan Laboratorium.


Yogyakarta: Amara Books.

Tarwoto. (2007). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persyarafan.


Jakarta: Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai