Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

“SHOCK HIPOVOLEMIK“
Dosen Pembimbing : Ns., Sri Mulyani., S. Kep., M. Kep

Disusun Oleh :

Azah Zumroh 2021270060

Lutmilatul Jihan Ali 2021270063

Yuni Arroh Manita 2021270065

Chadziq Agil Azkiya 2021270066

Rafi Pramasani 2021270067

Siti Musyarofah 2021270070

Nia Kania Agustina 2021270074

Yanuar Rian 2021270077

Ahmad Sofwan 2021270080


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
UNIVERSITA SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH
DI WONOSOBO
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan sirkulasi yang paling dijumpai di unit gawat darurat adalah

Shock, arimia jantung dan henti jantung. Diagnosis syok (shock) secara cepat

dapat diitegakkan dengan tidak teraba atau melemahnya nadi radialis atau

karotis, pasien tampak pucat, perabaan pada ekstrimitas teraba dingin, basah

dan pucat, serta memanjangnya waktu pengisian kapiler (capillary refill time

>2 detik) (Boswick, 2013)

Syok merupakan salah satu penyebab utama meningkatnya angka

mordibitas dan mortalitas di Instalasi Gawat Darurat (IGD) maupun Intensive

Care Unit (ICU), mengakibatkan kematian lebih dari 30% . Jutaan penderita

tersebar diseluruh dunia dan rata rata sebanyak 1.400 klien meninggal setiap

hari. Diperkirakan 6-20 juta kematian bayi dan anak anak setiap tahunnya

diseluruh dunia diakibatkan oleh dehidrasi dan syok (BPPK Kemenkes RI,

2013).

Syok merupakan suatu gangguan sirkulasi akibat penghantaran oksigen ke

jaringan atau perfusi yang tidak adekuat, ditandai dengan penurunan tahanan

vaskuler sistemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan

pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung (Guyton dan Hall,

2010).
Seseorang dikatakan syok apabila terdapat ketidakcukupan perfusi oksigen

dan nutrisi ke sel sel tubuh. Kegagalan memperbaiki perfusi sehingga

menyebabkan kematian sel yang proresif, gangguan fungsi organ dan

akhirnya kematian penderita. Mempertahanan perfusi darah yang memadai

pada organ-organ vital merupakan tindakan yang penting untuk

menyelamatkan jiwa penderita. Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis.

Syok merupakan suatu sindrom klinis komplek yang mencakup sekelompok

keadaan dengan berbagai manifestasi hemodinamik. Apabila perfusi jaringan

tidak terpenuhi, sel sel akan kekurangan oksigen dan substrat, produksi energi

secara aerobik tidak bisa dipertahankan, akibatnya sel harus memasuki jalur

metabolisme anaerob. Jalur metabolisme anaerob dapat dihasilkan 2 molekul

Adenosine Triphosphate (ATP) per molekul glukosa dan asam laktat (Guyton

& Hall, 2010).

Tanpa adanya energi yang cukup, fungsi sel normal tidak dapat

dipertahankan, akibatnya akan terjadi ketidakseimbangan pompa potasium

sodium. Sel membengkak dan permeabilitas membran sel meningkat.

Aktivitas mitokondria menjadi turun dan membran lisosom menjadi rusak, sel

akan rusak dan selanjutnya terjadi kematian sel. Kematian seluler akan

meluas diseluruh tubuh sehingga terjadi nekrosis jaringan yang

mempengaruhi fungsi organ. Akhirnya terjadi kerusakan di semua organ dan

kematian pada pasien syok (Guyton dan Hall, 2010).

Asuhan keperawatan dengan kasus Syok memerlukan tindakan cepat

sebab penderita berada pada keadaan Gawat Darurat, obat obat emergensi dan
alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini

diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi

kematian atau cacat organ tubuh menetap. Oleh karena itu penulis akan

membahas mengenai Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Syok

(Boswick, 2013).

B. Tujuan

1. Mengetahui konsep dasar mengenai kasus Syok yang meliputi anatomi

fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, pathways, manifestasi klinis,

pemeriksaan diagnostic, penatalaksanaan dan komplikasi.

2. Mengetahui asuhan keperawatan dari kasus Syok yang meliputi

pengkajian, diagnose keperawatan yang mungkin muncul, dan

intervensi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Syok merupakan keadaan ketika sel mengalami hipoksia sehingga terjadi

ketidakseimbangan antara oksigen yang diedarkan ke seluruh tubuh dan

oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini sering disebabkan karena

penurunan perfusi jaringan dan kegagalan sirkulasi (Simmons and

Ventetuolo, 2017).

Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya

volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan

hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan

(ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh

berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok

hipovolemik yang paling sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan

sehingga syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan

hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada organ-organ tubuh

atau fraktur yang yang disertai dengan luka ataupun luka langsung pada

pembuluh arteri utama (Kolecki and Menckhoff, 2016). Syok hipovolemik

dapat didefinisikan sebagai berkurangnya volume sirkulasi darah

dibandingkan dengan kapasitas pembuluh darah total (Roberts, 2012).


2. Etiologi

Menurut Standl et al. (2018) penyebab dari syok hipovolemi dibagi dalam 4

bagian, yaitu:

a. Syok hemoragik, dikarenakan adanya perdarahan akut tanpa terjadi cedera

pada jaringan lunak.

b. Syok hemoragik traumatik, dikarenakan adanya perdarahan akut yang

disertai cedera pada jaringan lunak ditambah dengan adanya pelepasan

aktivasi sistem imun.

c. Syok hipovolemik karena kurangnya sirkulasi plasma darah secara kritis

tanpa adanya perdarahan.

d. Syok hipovolemik traumatik, karena kurangnya sirkulasi plasma darah

secara kritis tanpa adanya perdarahan, terjadi cedera pada jaringan lunak

serta adanya pelepasan aktivasi sistem imun.

3. Patofisiologi

Secara klinis, syok hemoragik terjadi karena adanya perdarahan pada

pembuluh darah besar seperti perdarahan gastrointestinal, aneurisma aorta,

atonia uteri, perdarahan pada telinga, hidung, tenggorokan. Syok terjadi

karena adanya penurunan secara drastis volume darah di sirkulasi darah,

kehilangan sel darah merah secara massif sehingga meningkatkan hipoksia

pada jaringan.

Syok hemoragik traumatic berbeda dengan syok hemoragik dikarenakan

adanya tambahan cedera pada jaringan lunak yang memperparah terjadinya

syok. Syok ini biasanya terjadi karena ada cedera seperti kecelakaan dan jatuh
dari ketinggian. Perdarahan difus, hipotermia (< 34 derajat cepcius) dan

asidosis merupakan tanda yang mengancam jiwa (Gänsslen et al., 2016.).

Cedera pada jaringan lunak menyebabkan peradangan post akut, sehingga

semakin menguatkan proses dari terjadinya syok. Pada tingkat sirkulasi

mikro, interaksi leukosit-endotel dan penghancuran proteoglikan dan

glikosaminoglycan yang terikat dengan membrane endotel menyebabkan

adanya disfungsi mikro vascular dan terjadi sindrom kebocoran kapiler

(Standl et al., 2018). Di intraseluler tingkat ketidakseimbangan metabolise

terjadi karena kerusakan mitokondria dan pengaruh negatif pada sistem

vasomotor (Standl et al., 2018).

Syok hypovolemia maupun syok hypovolemia traumatik menunjukan

tanda terjadinya kehilangan cairan tanpa adanya perdarahan. Syok

hypovolemia dalam arti yang lebih sempit muncul karena adanya kehilangan

cairan baik dari internal maupun eksternal dengan ketidakadekuatan intake

cairan ke tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh hipertermi, muntah atau diare

persisten, masalah pada ginjal. Penyerapan sejumlah besar cairan ke dalam

abdomen dapat menjadi penyebab utama berkurangnya sirkulasi volume

plasma. Secara patologis peningkatan hematokrit, leukosit dan trombosit

dapat merusak sifat reologi darah dan dapat merusak organ secara persisten

walaupun pasien telah mendapatkan terapi untuk syok (Standl et al., 2018).

Syok hypovolemia traumatic terjadi karena luka bakar yang luas, luka

bakar kimiawi, dan luka pada kulit bagian dalam. Trauma yang terjadi juga

mengaktivasi koagulasi dan sistem imun, dan memungkinkan perburukan


pada makro-mikro sirkulasi. Reaksi peradangan menyebabkan kerusakan

pada endothelium, meningkatkan sindrom kebocoran kapiler, dan beberapa

karena koagulopati (Standl et al., 2018).

4. Manifestasi Klinis

Menurut (Hardisman, 2013), tanda dan gejala syok hypovolemia

ditentukan berdasar stadium yaitu:

a. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah

hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh

mengkompensai dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi

penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit

cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata,

frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.

b. Stadium-II adalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada stadium

ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi

kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah

terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler yang melambat,

peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih cemas.

c. Stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang

muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus

meningkat hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi nafas

hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik

sangat menurun, refiling kapiler yang sangat lambat.


d. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari

40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan

pengisian lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada

stadium-III terus memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40%

menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan

disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik.

5. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis syok

(Kowalak, 2011) yaitu:

a. Nilai hematokrit dapat menurun pada perdarahan atau meninggi pada

jenis syok lain yang disebabkan hypovolemia.

b. Pemeriksaan koagulasi dapat mendeteksi koagulopati akibat DIC

(Diseminata Intravascular Coagulation).

c. Pemeriksaan laboratorium dapat mengungkapkan kenaikan jumlah sel

darah putih dan laju endap darah yang disebabkan cedera dan inflamasi,

kenaikan kadar ureum dan kreatinin akibat penurunan perfusi renal,

peningkatan serum laktat yang terjadi sekunder karena metabolism

anaerob, kenaikan kadar glukosa serum pada stadium dini syok karena

hati melepas cadangan glikogen sebagai respon terhadap stimulasi saraf

simpatik.

d. Analisis gas darah arteri dapat mengungkapkan alkalosis respiratorik

pada syok dalam stadium dini yang berkaitan dengan takipnea, asidosis

respiratorik pada stadium selanjutnya yang berkaitan dengan depresi


pernapasan, dan asidosis metabolik pada stadium selanjutnya yang terjadi

sekunder karena metabolism anaerob.

6. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada syok meliputi (Kowalak, 2011) :

a. Sindrom distress pernapasan akut

b. Nekrosis tubuler akut

c. Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC)

d. Hipoksia serebral

e. Kematian

7. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda- tanda

vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya

kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil.

Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai

pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang (Kolecki and Menckhoff,

2016).

Standl et al. (2018) menyatakan bahwa penanganan syok hipovolemik

terdiri dari resusitasi cairan menggunakan cairan kristaloid dengan akses vena

perifer, dan pada pasien karena perdarahan, segera kontrol perdarahan

(tranfusi). Dalam mencegah terjadinya hipoksia, disarankan untuk dilakukan

intubasi dengan normal ventilasi. Menurut Kolecki & Menckhoff (2016)

Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau

ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20


ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian

cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan

hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan hemodinamik, maka pemberian

kristaloid terus dilanjutkan. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat

perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena distribusi

cairan kristaloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial.

Jika tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan

pemberian koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera.

8. Penatalaksanaan Keperawatan

Monitoring pada pasien syok yang dapat dilakukan yaitu (Simmons and

Ventetuolo, 2017):

a. Monitor tekanan darah

Pada pasien dengan syok hemoragik, tekanan darah sistol dipertahankan

>70 mmHg dengan MAP >65 mmHg.

b. Mengukur CVP (Central Venous Pressure)

Nilai CVP normal yaitu 5-7 mmHg pada orang dewasa dengan bernapas

secara spontan. Nilai CVP <5 mmHg menandakan pasien mengalami

syok hipovolemik

c. Passive Leg Raising (PLR)

PLR merupakan pengaturan posisi dengan meninggikan kaki 45 derajat

dengan kepala dan badan sejajar. PLR berfungsi untuk meningkatkan

aliran balik vena dari ekstremitas kembali ke jantung.


9. Konsep Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

Menurut (Dewi and Rahayu, 2010), riwayat pasien yang

menyebabkan penurunan volume darah, seperti gastrointestinal hemoragi,

trauma, diare berat dan muntah. Pengkajian yang didapatkan meliputi:

kulit pucat, penurunan sensori, pernafasan cepat dan dangkal, urin output

kurang dari 25ml/jam, kulit teraba dingin, clammy skin, MAP dibawah 60

mmHg dan nadi melemah, penurunan CVP, penurunan tekanan atrial

kanan,penurunan PAWP, dan penurunan cardiac output. Pengkajian juga

dapat dilakukan berdasarkan stadium dari syok hypovolemia (Hardisman,

2013) yaitu :

1) Stadium I

Pada saat ini pasien menjadi sedkit cemas atau gelisah, namun tekanan

darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih

dalam kedaan normal.

2) Stadium-II

Pada saat ini terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama

sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler yang melambat, peningkatan

frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih cemas.

3) Stadium-III
Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat.

Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit,

peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan

nadi dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang

sangat lambat.

4) Stadium IV

Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian

lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-

III terus memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40%

menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil

dan disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik.

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien yang

dicurigai syok hipovolemia menurut Dewi & Rahayu (2010) yaitu cek

darah lengkap, elektrolit, analisa gas darah, glukosa serum, BUN,

kreatinin, dan urinalisis. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan

dilakukan pencocokan.

b. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai

respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang

dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis

bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluar dan

komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja

SDKI DPP PPNI, 2016). Berdasarkan pengkajian diatas, adapun rumusan


diagnosa keperawatan berdasarkan Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016)

yaitu penurunan curah jantung, perfusi perifer tidak efektif, dan

hipovolemia. Diagnosa keperawatan ini akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Penurunan curah jantung

Penurunan curah jantung didefinisikan sebagai ketidakadekuatan

jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme

tubuh (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Gejala dan tanda mayor

dari masalah keperawatan ini ialah dyspnea, tekanan darah meningkat

atau menurun, nadi perifer teraba lemah, capillary refill time >3 detik,

oliguria, warna kulit pucat dan/atau sianosis.

2) Perfusi perifer tidak efektif

Perfusi perifer tidak efektif didefinisikan sebagai penurunan sirkulasi

darah pada level kapiler yang dapat mengganggu metabolisme tubuh

(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Gejala dan tanda mayor dari

masalah keperawatan ini ialah pengisian kapiler >3 detik, nadi perifer

menurun atau tidak teraba, akral teraba dingin, warna kulit pucat,

turgor kulit menurun.

3) Hipovolemia

Hipovolemia didefinisikan sebagai penurunan volume cairan

intravascular, interstisial, dan/atau intraseluler (Tim Pokja SDKI DPP

PPNI, 2016). Gejala dan tanda mayor dari masalah keperawatan ialah

frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun,


tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa

kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat.

c. Intervensi

Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh

perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk

mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,

2018). Intervensi keperawatan yang dibahas ini berfokus pada masalah

keperawatan hipovolemia.

1) Intervensi umum

Intervensi umum yang dilakukan yaitu manajemen hypovolemia,

yaitu:

a) Observasi

i. Periksa tanda dan gejala hypovolemia (mis. Frekuensi nadi

meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun,

tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran

mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit

meningkat, haus, lemah)

ii. Monitor intake dan output cairan

b) Terapeutik

i. Hitung kebutuhan cairan

ii. Berikan posisi modified trendelenburg


iii. Berikan asupan cairan oral

c) Edukasi

i. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral

ii. Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak

d) Kolaborasi

i. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCl, RL)

ii. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. glukosa 2.5%,

NaCl 0.4%)

iii. Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. albumin,

plasmanate)

iv. Kolaborasi pemberian produk darah.

d. Implementasi

Pelaksanaan / implementasi merupakan tahap keempat dalam proses

keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan

(tindakan keperawatan) yang telah direncanakan. Dalam tahap ini perawat

harus mengetahui berbagai hal, diantaranya bahaya fisik dan

perlindungann kepada pasien, teknik komunikasi, kemampuan dalam

prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak pasien, tingkat

perkembangan pasien. Dalam tahap pelaksanaan terdapat dua tindakan

yaitu tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi (Aziz Alimul, 2009).

e. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, meskipun

evaluasi diletakkan pada akhir proses keperawatan, evaluasi merupakan


bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data

perlu direvisi untuk menentukan apakah informasi yang telah

dikumpulkan sudah mencukupi dan apakah prilaku yang diobservasi telah

sesuai. Diagnosa juga perlu di evaluasi dalam hal keakuratan dan

kelengkapannya. Tujuan dan intervensi dievaluasi adalah untuk

menentukan apakah tujuan tersebut dicapai secara efektif (Nursalam,

2011). Evaluasi diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:

1) Evaluasi formatif (proses)

Fokus pada evaluasi proses (formatif) adalah aktivitas dari proses

keperawatan dan hasil kwalitas palayanan asuhan keperawatan.

evaluasi proses harus dilaksan akan segera setelah perencanaan

keperawatan diimplementasikan untuk membantu menilai efektivitas

intervensi tersebut. Evaluasi proses harus terus menerus dilaksanakan

hingga tujuan yang telah ditentukan tercapai. Metode pengumpulan

data dalam evaluasi proses terdiri atasan alisis rencana asuhan

keparawatan, pertemuan kelompok, wawancara, observasi klien, dan

menggunakan form evaluasi. Ditulis pada catatan perawatan.

2) Evaluasi sumatif (hasil)

Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status

kesehatan sesuai waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan

perkembangan. Focus evaluasi hasil (sumatif) adalah perubahan

perilaku atau status kesehatan klien pada akhir asuhan keperawatan.


Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir asuhan keperawatan secara

paripurna.
DAFTAR PUSTAKA

Ainun Najib Hidayatulloh, M. et al. (2016) PENGARUH RESUSITASI CAIRAN


TERHADAP STATUS HEMODINAMIK (MAP), DAN STATUS MENTAL
(GCS) PADA PASIEN SYOK HIPOVOLEMIK DI IGD RSUD DR.
MEOWARDI SURAKARTA, Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan.
Available at:
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/jikk/article/view/376
(Accessed: 23 May 2021).
Al Aseri, Z. (2012) ‘Vital Indices to be used in Resuscitation of Patients with
Shock in the Emergency Department Setting’, Emergency Medicine, 2, p.
4. doi: 10.4172/2165-7548.1000108.
Boulain, T. et al. (2002) ‘Changes in BP induced by passive leg raising predict
response to fluid loading in critically ill patients’, Chest, 121(4), pp. 1245–
1252. doi: 10.1378/chest.121.4.1245.
Caille, V. et al. (2008) ‘Hemodynamic effects of passive leg raising: An
echocardiographic study in patients with shock’, Intensive Care Medicine,
34(7), pp. 1239–1245. doi: 10.1007/s00134-008-1067-y.
Dewi, E. and Rahayu, S. (2010) ‘Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik’, Berita
Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, 2(2), pp. 93–96. Available at:
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/2043/BIK
_Vol_2_No_2_8_Enita_Dewi.pdf?sequence=1&isAllowed=y.
Diantoro, D. G. (2014) syok hipovolemik. Available at:
https://www.scribd.com/doc/217057551/syok-hipovolemik (Accessed: 22 May
2021).
Gänsslen, A. et al. (no date) Notfallmedizin 58 Übersichten Review Articles
Emergency Medicine Haemostasis in shock Part 4: Special
pathophysiological aspects Hämostase im Schock* Teil 4: Spezielle
pathophysio- logische Aspekte.
Geerts, B. F. et al. (2012) ‘Comprehensive review: Is it better to use the
Trendelenburg position or passive leg raising for the initial treatment of
hypovolemia?’, Journal of Clinical Anesthesia. J Clin Anesth, pp. 668–
674. doi: 10.1016/j.jclinane.2012.06.003.
Hall, J. E. (2018) Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke 13.
13th edn. Edited by M. Widjajakusumah, A. Tanzil, and E. Ilyas. Elsevier.
Available at: https://www.elsevier.com/books/guyton-dan-hall-buku-
ajarfisiologi-kedokteran/hall/978-981-4666-01-5 (Accessed: 23 May
2021).
Hardisman (2013) ‘167-333-1-Sm (1)’, Memahami Patofisiologi Dan Aspek
Klinis Syok Hipovolemik:Update Dan Penyegaran., 2(3), pp. 178–182.
Available at:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/167/162.
Hobson, M. J. and Chima, R. S. (2013) Send Orders of Reprints at
reprints@benthamscience.net Pediatric Hypovolemic Shock, The Open
Pediatric Medicine Journal.
Hutabarat, E. (2017) ‘The Effect of Passive Leg Raising towards Hemodynamics
on Patient with Hypovolemic Shock at the Emergency Ward of Dustira
Cimahi Hospital’, International Seminar on Global Health, pp. 271–274.
Kakunsi, Y. D., Killing, M. and Supit, D. (2015) ‘Hubungan Pengetahuan Perawat
Dengan Penanganan Pasien Syok Hipovolemik Di UGD RSUD
Pohuwato’, 5(3), pp. 90–96. Available at:
https://www.mendeley.com/catalogue/5f9beacb-10f9-30a1-
b166c6458b4864a1/?
utm_source=desktop&utm_medium=1.19.8&utm_campai
gn=open_catalog&userDocumentId=%7Bafd274a7-9fac-397b-
a376e9731486e638%7D (Accessed: 22 May 2021).
Kementerian Kesehatan (2018) Hasil Utama Riskesdas 2018. Available at:
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Has
il-riskesdas-2018_1274.pdf (Accessed: 23 May 2021).
Kolecki, P. and Menckhoff, C. R. (2016) Hypovolemic Shock Treatment &
Management: Prehospital Care, Emergency Department Care, Medscape.
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment
(Accessed: 23 May 2021).
Kowalak, J. P. (2011) Buku Ajar Patofisiologi (Professional Guide to
Pathophysiology). EGC.
Leksana, E. (2015) Dehidrasi dan Syok, Cermin Dunia Kedokteran. Available at:
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/1016 (Accessed:
23 May 2021).
LeMone, P. T. and Burke, K. M. (2008) Medical-Surgical Nursing: Critical
Thinking in Client Care. 4th edn. Available at:
https://www.pearson.com/us/higher-education/program/Le-Mone-
MedicalSurgical-Nursing-Critical-Thinking-in-Client-Care-Single-
Volume-4thEdition/PGM2798359.html (Accessed: 23 May 2021).
Mason, H. et al. (2013) ‘Cardiovascular and respiratory effect of yogic slow
breathing in the yoga beginner: What is the best approach?’,
Evidencebased Complementary and Alternative Medicine, 2013. doi:
10.1155/2013/743504.
Monnet, X., Marik, P. and Teboul, J. L. (2016) ‘Passive leg raising for predicting
fluid responsiveness: a systematic review and meta-analysis’, Intensive
Care Medicine, 42(12), pp. 1935–1947. doi: 10.1007/s00134-015-4134-1.
Monnet, X., Richard, C. and Teboul, J. (no date) ‘Passive Leg Raising
Hemodynamic Effects of Passive Leg Raising’, c.
Muttaqin, A. (2009) Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan
sistem Kardiovaskuler . Edited by R. Angriani. Jakarta: Salemba Medika.
Available at: http://balaiyanpus.jogjaprov.go.id/opac/detail-opac?
id=53941 (Accessed: 23 May 2021).
Price, S. A. et al. (2005) PATOFISIOLOGI; Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit . 6th edn. Jakarta: EGC.
Roberts, P. R. (2012) Comprehensive Critical Care . Society of Critical Care
Medicine. Available at:
https://www.google.co.id/books/edition/Comprehensive_Critical_Care/hxh
GLwEACAAJ?hl=id (Accessed: 23 May 2021).
Sidauruk, M. M. (2014) Efek Passive Leg Raising dengan Berbagai Sudut
Kemiringan Pengangkatan Kaki Terhadap Peningkatan Tekanan Darah
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan
2012. Medan. Available at: https://docplayer.info/59541848-
Fakultaskedokteran-universitas-sumatera-utara-medan.html (Accessed: 23
May 2021).
Simmons, J. and Ventetuolo, C. E. (2017) ‘Cardiopulmonary monitoring of
shock’, Current Opinion in Critical Care, 23(3), pp. 223–231. doi:
10.1097/MCC.0000000000000407.
Standl, T. et al. (2018) ‘Nomenklatur, Definition und Differenzierung der
Schockformen’, Deutsches Arzteblatt International, 115(45), pp. 757–767.
doi: 10.3238/arztebl.2018.0757.
Taghavi, S. and Askari, R. (2019) ‘Fisiopatología del shock hipovolémico’,
StatPearls, 20 July, p. 1. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513297/ (Accessed: 22 May
2021).
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2018) Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Zou, Q. et al. (2017) ‘application value pf limited fluid resuscitation in early
treatment of hemorrhagjc shock’, biomedical research, pp. 7191–7194.
Ainun Najib Hidayatulloh, M. et al. (2016) pengaruh resusitasi cairan terhadap
status hemodinamik (map), dan status mental (gcs) pada pasien syok
hipovolemik di igd rsud dr. meowardi surakarta, Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan. Available at:
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/jikk/article/view/37
6 (Accessed: 23 May 2021).
Al Aseri, Z. (2012) ‘Vital Indices to be used in Resuscitation of Patients with
Shock in the Emergency Department Setting’, Emergency Medicine, 2, p.
4. doi: 10.4172/2165-7548.1000108.
Boulain, T. et al. (2002) ‘Changes in BP induced by passive leg raising predict
response to fluid loading in critically ill patients’, Chest, 121(4), pp. 1245–
1252. doi: 10.1378/chest.121.4.1245.
Caille, V. et al. (2008) ‘Hemodynamic effects of passive leg raising: An
echocardiographic study in patients with shock’, Intensive Care Medicine,
34(7), pp. 1239–1245. doi: 10.1007/s00134-008-1067-y.
Dewi, E. and Rahayu, S. (2010) ‘Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik’, Berita
Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, 2(2), pp. 93–96. Available at:
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/2043/BIK
_Vol_2_No_2_8_Enita_Dewi.pdf?sequence=1&isAllowed=y.
Diantoro, D. G. (2014) syok hipovolemik. Available at:
https://www.scribd.com/doc/217057551/syok-hipovolemik (Accessed: 22
May 2021).
Gänsslen, A. et al. (no date) Notfallmedizin 58 Übersichten Review Articles
Emergency Medicine Haemostasis in shock Part 4: Special
pathophysiological aspects Hämostase im Schock* Teil 4: Spezielle
pathophysio- logische Aspekte.
Geerts, B. F. et al. (2012) ‘Comprehensive review: Is it better to use the
Trendelenburg position or passive leg raising for the initial treatment of
hypovolemia?’, Journal of Clinical Anesthesia. J Clin Anesth, pp. 668–
674. doi: 10.1016/j.jclinane.2012.06.003.
Hall, J. E. (2018) Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke 13.
13th edn. Edited by M. Widjajakusumah, A. Tanzil, and E. Ilyas. Elsevier.
Available at: https://www.elsevier.com/books/guyton-dan-hall-buku-
ajarfisiologi-kedokteran/hall/978-981-4666-01-5 (Accessed: 23 May
2021).
Hardisman (2013) ‘167-333-1-Sm (1)’, Memahami Patofisiologi Dan Aspek
Klinis Syok Hipovolemik:Update Dan Penyegaran., 2(3), pp. 178–182.
Available at:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/167/162.
Hobson, M. J. and Chima, R. S. (2013) Send Orders of Reprints at
reprints@benthamscience.net Pediatric Hypovolemic Shock, The Open
Pediatric Medicine Journal.
Hutabarat, E. (2012) Perbedaan Hemodinamik Sebelum dan Sesudah Passive Leg
Raising dan Pemberian Cairan Infus pada Pasien Syok Hipovolemik di
Instalasi Gawat Darurat Rs Dustira Cimahi. Universitas Padjajaran.
Hutabarat, E. (2017) ‘The Effect of Passive Leg Raising towards Hemodynamics
on Patient with Hypovolemic Shock at the Emergency Ward of Dustira
Cimahi Hospital’, International Seminar on Global Health, pp. 271–274.
Kakunsi, Y. D., Killing, M. and Supit, D. (2015) ‘Hubungan Pengetahuan Perawat
Dengan Penanganan Pasien Syok Hipovolemik Di UGD RSUD
Pohuwato’, 5(3), pp. 90–96. Available at:
https://www.mendeley.com/catalogue/5f9beacb-10f9-30a1-
b166c6458b4864a1/?
utm_source=desktop&utm_medium=1.19.8&utm_campai
gn=open_catalog&userDocumentId=%7Bafd274a7-9fac-397b-
a376e9731486e638%7D (Accessed: 22 May 2021).
Kementerian Kesehatan (2018) Hasil Utama Riskesdas 2018. Available at:
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Has
il-riskesdas-2018_1274.pdf (Accessed: 23 May 2021).
Kolecki, P. and Menckhoff, C. R. (2016) Hypovolemic Shock Treatment &
Management: Prehospital Care, Emergency Department Care, Medscape.
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment
(Accessed: 23 May 2021).
Kowalak, J. P. (2011) Buku Ajar Patofisiologi (Professional Guide to
Pathophysiology). EGC.
Leksana, E. (2015) Dehidrasi dan Syok, Cermin Dunia Kedokteran. Available at:
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/1016 (Accessed:
23 May 2021).
LeMone, P. T. and Burke, K. M. (2008) Medical-Surgical Nursing: Critical
Thinking in Client Care. 4th edn. Available at:
https://www.pearson.com/us/higher-education/program/Le-MoneMedical-
Surgical-Nursing-Critical-Thinking-in-Client-Care-Single-
Volume-4th-Edition/PGM2798359.html (Accessed: 23 May 2021).
Mason, H. et al. (2013) ‘Cardiovascular and respiratory effect of yogic slow
breathing in the yoga beginner: What is the best approach?’,
Evidencebased Complementary and Alternative Medicine, 2013. doi:
10.1155/2013/743504.
Monnet, X., Marik, P. and Teboul, J. L. (2016) ‘Passive leg raising for predicting
fluid responsiveness: a systematic review and meta-analysis’, Intensive
Care Medicine, 42(12), pp. 1935–1947. doi: 10.1007/s00134-015-4134-1.
Monnet, X., Richard, C. and Teboul, J. (no date) ‘Passive Leg Raising
Hemodynamic Effects of Passive Leg Raising’, c.
Muttaqin, A. (2009) Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan
sistem Kardiovaskuler . Edited by R. Angriani. Jakarta: Salemba Medika.
Available at: http://balaiyanpus.jogjaprov.go.id/opac/detail-opac?id=53941
(Accessed: 23 May 2021).
National Institute for Health and Care Excellence (NICE) (2013) ‘Intravenous
fluid therapy in adults in hospital: Clinical Guideline <CG174>’, Nice,
(December), pp. 1–195.
Price, S. A. et al. (2005) PATOFISIOLOGI; Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit . 6th edn. Jakarta: EGC.
Roberts, P. R. (2012) Comprehensive Critical Care . Society of Critical Care
Medicine. Available at:
https://www.google.co.id/books/edition/Comprehensive_Critical_Care/
hxh GLwEACAAJ?hl=id (Accessed: 23 May 2021).
Sidauruk, M. M. (2014) Efek Passive Leg Raising dengan Berbagai Sudut
Kemiringan Pengangkatan Kaki Terhadap Peningkatan Tekanan Darah
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan
2012. Medan. Available at: https://docplayer.info/59541848-
Fakultaskedokteran-universitas-sumatera-utara-medan.html (Accessed: 23
May 2021).
Simmons, J. and Ventetuolo, C. E. (2017) ‘Cardiopulmonary monitoring of
shock’, Current Opinion in Critical Care, 23(3), pp. 223–231. doi:
10.1097/MCC.0000000000000407.
Standl, T. et al. (2018) ‘Nomenklatur, Definition und Differenzierung der
Schockformen’, Deutsches Arzteblatt International, 115(45), pp. 757–767.
doi: 10.3238/arztebl.2018.0757.
Taghavi, S. and Askari, R. (2019) ‘Fisiopatología del shock hipovolémico’,
StatPearls, 20 July, p. 1. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513297/ (Accessed: 22 May
2021).
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2018) Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Zou, Q. et al. (2017) ‘application value pf limited fluid resuscitation in early
treatment of hemorrhagjc shock’, biomedical research, pp. 7191–7194.

Anda mungkin juga menyukai