Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu

keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme

kompensatoriknya. Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis penyakit

jantung kongenital maupun didapat. Penyebab dari gagal jantung adalah disfungsi

miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan

gangguan irama. Di Eropa dan Amerika, disfungsi miokard yang paling sering terjadi

akibat penyakit jantung koroner, biasanya akibat infark miokard yang merupakan

penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes.

Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat

memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan

atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan

fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian

preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.

Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung

kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung

kronis dekompensasi, gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit

jantung dan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung,

diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%

wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 -

3,7 perseribu penderita pertahun.

1
Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis

serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda klinis pada tahap awal penyakit.

Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta

perkembangan pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup, penurunan

angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kelangsungan

hidup.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Congestive Heart Failure (CHF)

1. Definisi

Gagal Jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan

gejala) yang ditandai oleh kelelahan dan sesak napas yang terjadi

baik pada saat beraktivitas maupun saat beristirahat yang disebabkan

oleh kelainan struktur atau fungsi jantung (Marulan M Panggabean,

2014)

American Heart Association (AHA) mendefinisikan Gagal

Jantung sebagai sindrom klinis kompleks yang dihasilkan dari

gangguan structural atau fungsional dari pengisian ventrikel atau

pengeluaran darah yang kemudian memunculkan tanda dan gejala

seperti sesak napas dan kelelahan dan tanda-tanda gagal jantung

lainnya seperti edema dan ronkhi. Karena banyak pasien yang datang

tanpa tanda dan gejala volume overload, istilah “Gagal Jantung”

lebih sering digunakan daripada istilah “Gagal Jantung Kongestif”.

Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari

fungsi struktural jantung atau sebagai kegagalan jantung dalam

mendistribusikan oksigen sesuai dengan yang dibutuhkan pada

metabolisme jaringan, meskipun tekanan pengisian normal atau

adanya peningkatan tekanan pengisian (Mc Murray et al., 2012).

3
Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis progresif yang

disebabkan oleh ketidakmampuan jantung dalam memompa darah

untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Dipiro et al., 2015).

2. Epidemiologi

Angka kejadian gagal jantung di Amerika Serikat mempunyai

insidensi yang besar tetapi tetap stabil selama beberapa dekade

terakhir yaitu >650.000 pada kasus baru setiap tahunnya. Meskipun

angka bertahan hidup telah mengalami peningkatan, sekitar 50%

pasien gagal jantung dalam waktu 5 tahun memiliki angka kematian

yang mutlak (Yancy et al., 2013).

Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0.4 – 2% dan

meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74

tahun. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4

tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung

berat, lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama.

Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi

dan makin meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan

masalah kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang

terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5 tahun.

Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar

62% pada pria dan 42% wanita.

4
3. Faktor Resiko

a. Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi,

hipertrofi pada LV, infark miokard, obesitas, diabetes.

b. Faktor resiko minor meliputi merokok, dislipidemia, gagal

ginjal kronik, albuminuria, anemia, stress, lifestyle yang buruk.

c. Sistem imun, yaitu adanya hipersensitifitas.

d. Infeksi yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri.

e. Toksik yang disebabkan karena pemberian agen kemoterapi

(antrasiklin, siklofosfamid, 5 FU), terapi target kanker

(transtuzumab, tyrosine kinase inhibitor), NSAID, kokain,

alkohol.

f. Faktor genetik seperti riwayat dari

keluarga. (Ford et al., 2015)

4. Etiologi

Mekanisme fisiologis yang menjadi penyebab gagal jantung

dapat berupa :

a. Meningkatnya beban awal karena regurgitasi aorta dan adanya

cacat septum ventrikel.

b. Meningkatnya beban akhir karena stenosis aorta serta hipertensi

sistemik.

c. Penurunan kontraktibilitas miokardium karena infark miokard,

ataupun kardiomiopati.

5
Gagal jantung dan adanya faktor eksaserbasi ataupun

beberapa penyakit lainnya, mempunyai pengaruh yang sangat

penting dalam penanganannya dan seharusnya dilakukan dengan

penuh pertimbangan.

Perubahan struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat

menjadi faktor predisposisi terjadinya gagal jantung pada seorang

pasien, meskipun etiologi gagal jantung pada pasien tanpa penurunan

Ejection Fraction (EF) berbeda dari gagal jantung dengan penurunan

EF. Terdapat pertimbangan terhadap etiologi dari kedua keadaan

tersebut tumpang tindih. Di Negara-negara industri, Penyakit

Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan pada 60-75%

pada kasus gagal jantung pada pria dan wanita. Hipertensi memberi

kontribusi pada perkembangan penyakit gagal jantung pada 75%

pasien, termasuk pasien dengan PJK. Interaksi antara PJK dan

hipertensi memperbesar risiko pada gagal jantung, seperti pada

diabetes mellitus.

Emboli paru dapat menyebabkan gagal jantung, karena

pasien yang tidak aktif secara fisik dengan curah jantung rendah

mempunyai risiko tinggi membentuk thrombus pada tungkai bawah

atau panggul. Emboli paru dapat berasal dari peningkatan lebih

lanjut tekanan arteri pulmonalis yang sebaliknya dapat

mengakibatkan atau memperkuat kegagalan ventrikel

Infeksi apapun dapat memicu gagal jantung, demam,

takikardi dan hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan metabolik

yang meningkat akan memberi tambahan beban pada miokard yang

6
sudah kelebihan beban meskipun masih terkompensasi pada pasien

dengan penyakit jantung kronik.

Tabel 2. Etiologi gagal jantung


Etiologi gagal jantung
Dengan Penurunan EF (<40%)
PJK Kardiomiopati dilatasi non iskemik
Infark miokard Familial / kelainan genetic
Iskemia miokard Kelainan infiltrative
Kenaikan tekanan Kerusakan akibat toksin / Obat
Hipertensi Penyakit metabolik
Penyakit katup obstruktif Virus
Kenaikan volume Penyakit Chagas
Penyakit katup regurgitasi Kelainan irama dan detak jantung
Left to right shunting Bradi aritmia kronis
Extracardiac shunting Takiaritmia kronis
Tanpa Penurunan EF (>40-50%)
Hipertrofi patologis Kardiomiopati restriktif
Primer (kardiomiopati hipertrofi) Kelainaninfiltrative (amyloidosis,
sarkoidosis)
Sekunder (hipertensi) Fibrosis
Penuaan Kelainan enso-miokardium
Pulmonary Heart Disease (PHD)
Cor pulmonale

Kelainan pembuluh darah paru


Output meningkat
Kelainan metabolic Aliran darah yang berlebihan
Tirotoksikosis Shunt arteri-vena sistemik
Beriberi Anemia kronis

7
5. Gambaran Klinis

Menurut NHFA (2011) gejala yang dapat terjadi pada pasien dengan

CHF sebagai berikut :

1) Sesak nafas saat beraktifitas muncul pada sebagian besar pasien,

awalnya sesak dengan aktifitas berat, tetapi kemudian berkembang

pada tingkat berjalan dan akhirnya saat istirahat.

2) Ortopnea, pasien menopang diri dengan sejumlah bantal untuk

tidur. Hal ini menunjukkan bahwa gejala lebih cenderung

disebabkan oleh CHF, tetapi terjadi pada tahap berikutnya.

3) Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND) juga menunjukkan bahwa

gejala lebih cenderung disebabkan oleh CHF, tetapi sebagian besar

pasien dengan CHF tidak memiliki PND.

4) Batuk kering dapat terjadi, terutama pada malam hari. Pasien

mendapatkan kesalahan terapi untuk asma, bronkitis atau batuk

yang diinduksi ACEi.

5) Kelelahan dan kelemahan mungkin jelas terlihat, tetapi umum pada

kondisi yang lain.

6) Pusing atau palpitasi dapat menginduksi aritmia.

6. Patofisiologi

Patofisiologi dari gagal jantung dibagi menjadi beberapa

bagian yaitu :

8
a. Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan (failure)

1) Gagal jantung kiri (Left-Sided Heart Failure)

Bagian ventrikel kiri jantung kiri tidak dapat

memompa dengan baik sehingga keadaan tersebut dapat

menurunkan aliran dari jantung sebelah kiri keseluruh

tubuh. Akibatnya, darah akan mengalir balik ke dalam

vaskulator pulmonal (Berkowitz, 2013).

Pada saat terjadinya aliran balik darah kembali

menuju ventrikular pulmonaris, tekanan kapiler paru akan

meningkat (>10 mmHg) melebihi tekanan kapiler osmotik

(>25 mmHg). Keadaan ini akan menyebabkan perpindahan

cairan intravaskular ke dalam interstitium paru dan

menginisiasi edema (Porth, 2007).

2) Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)

Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling

berkaitan dengan disfungsi ventrikel kiri pada gagal jantung

apabila dilihat dari kerusakan yang diderita oleh kedua sisi

jantung, misalnya setelah terjadinya infark miokard atau

tertundanya komplikasi yang ditimbulkan akibat adanya

progresifitas pada bagian jantung sebelah kiri. Pada gagal

jantung kanan dapat terjadi penumpukan cairan di hati dan

seluruh tubuh terutama di ekstermitas bawah (Acton, 2013).

9
b. Mekanisme neurohormonal

Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas,

dimana neurohormon pada gagal jantung diproduksi dari banyak

molekul yang diuraikan oleh neuroendokrin (Mann, 2012).

Renin merupakan salah satu neurohormonal yang diproduksi

atau dihasilkan sebagai respon dari penurunan curah jantung dan

peningkatan aktivasi sistem syaraf simpatik.

c. Aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)

Pelepasan renin sebagai neurohormonal oleh ginjal akan

mengaktivasi RAAS. Angiotensinogen yang diproduksi oleh

hati dirubah menjadi angiotensin I dan angiotensinogen

II.Angiotensin II berikatan dengan dinding pembuluh darah

ventrikel dan menstimulasi pelepasan endotelin sebagai agen

vasokontriktor. Selain itu, angiotensin II juga dapat

menstimulasi kelenjar adrenal untuk mensekresi hormon

aldosteron. Hormon inilah yang dapat meningkatkan retensi

garam dan air di ginjal, akibatnya cairan didalam tubuh ikut

meningkat. Hal inilah yang mendasari timbulnya edema cairan

pada gagal jantung kongestif (Mann, 2012).

Cardiac remodeling merupakan suatu perubahan yang

nyata secara klinis sebagai perubahan pada ukuran, bentuk dan

fungsi jantung setelah adanya stimulasi stress ataupun cedera

yang melibatkan molekuler, seluler serta interstitial (Kehat dan

Molkentin, 2010).

10
Congestie heart failure

Penurunan curah jantung

Peningkatan tekanan
pengisian jantung
Renin Aktivasi sistem syaraf
simpatik

Angiotensin I
Vasokontriksi

Angiotensin II

Aldosteron Retensi air dan


garam

Cardiac remodeling
(perubahan pada jantung)

Gambar 1. Bagan patofisiologi congestive heart failure

11
7. Klasifikasi

Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al.,

2013), klasifikasi dari gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut :

a. Stage A

Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien

mempunyai resiko tinggi, tetapi belum ditemukannya kerusakan

struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda dan gejala

(symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa

gagal jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan

hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, atau

pasien yang mengalami keracunan pada jantungnya

(cardiotoxins).

b. Stage B

Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B

apabila ditemukan adanya kerusakan struktural pada jantung

tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari gagal jantung

tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien dengan

infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun

penyakit valvular asimptomatik.

c. Stage C

Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan

struktural pada jantung bersamaan dengan munculnya gejala

sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan. Gejala yang timbul


dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan

aktivitas berat.

d. Stage D

Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan

penanganan ataupun intervensi khusus dan gejala dapat timbul

bahkan pada saat keadaan istirahat, serta pasien yang perlu

dimonitoring secara ketat

The New York Heart Association (Yancy et al., 2013)

mengklasifikasikan gagal jantung dalam empat kelas, meliputi :

a. Kelas I

Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara

normal tidak menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.

b. Kelas II

Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara

normal menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina

pektoris (mild CHF).

c. Kelas III

Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit

saja mampu menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).

d. Kelas IV

Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan

aktivitas fisik apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu

menimbulkan gejala yang berat (severe CHF).


Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA

maupun NYHA memiliki perbedaan yang tidak signifikan.

Klasifikasi menurut AHA berfokus pada faktor resiko dan

abnormalitas struktural jantung, sedangkan klasifikasi menurut

NYHA berfokus pada pembatasan aktivitas dan gejala yang

ditimbulkan yang pada akhirnya kedua macam klasifikasi ini

menentukan seberapa berat gagal jantung yang dialami oleh pasien.

8. Diagnosis

Menurut Dipiro (2013) diagnosis CHF sebagai berikut :

Pertimbangkan diagnosis HF pada pasien dengan tanda

dan gejala yang khas. Sebuah riwayat dan pemeriksaan fisik

dengan pengujian laboratorium yang sesuai adalah penting dalam

mengevaluasi pasien dengan dugaan HF.

Tes laboratorium untuk mengidentifikasi gangguan yang

dapat menyebabkan atau memperburuk gagal jantung termasuk

menghitung sel darah lengkap, elektrolit serum (termasuk kalsium

dan magnesium), ginjal, hati, dan tes fungsi tiroid, urinalisis,

profil lipid. B-type natriuretic peptide (BNP) umumnya akan lebih

besar dari 100 pg / mL.

Hipertrofi ventrikel dapat ditunjukkan pada rontgen dada

atau elektrokardiogram (EKG). Rontgen dada juga bisa

menunjukkan efusi pleura atau edema paru.


Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis,

gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang

seperti EKG, foto toraks, biomarker, dan ekokardiografi Doppler.

Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau

disfungsi diastolik.

Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham Heart

Study :

Kriteria mayor :
a. Paroksismal nokturnal dispneu
b. Ronki paru
c. Edema akut paru
d. Kardiomegali
e. Gallop S3
f. Distensi vena leher
g. Refluks hepatojugular
h. Peningkatan tekanan vena jugularis

Kriteria minor :
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Hepatomegali
d. Dispnea d’effort
e. Efusi pleura
f. Takikardi (120x/menit)
g. Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal

Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg


dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor
atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

B. Tatalaksana Terapi CHF

1. Tujuan Terapi

Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif (CHF)

berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013) antara

lain sebagai berikut :

a. Mencegah terjadinya CHF pada orang yang telah mempunyai

faktor resiko.

b. Deteksi dini asimptomatik disfungsi LV.

c. Meringankan gejala dan memperbaiki kualitas hidup.

d. Progresifitas penyakit berjalan dengan lambat.

2. Algoritma Terapi

Penggolongan obat sangat erat kaitannya dengan algoritma

pada terapi gagal jantung kongestif. Berdasarkan Pharmacoterapy

Handbook edisi 9tahun 2015 (Dipiro et al., 2015), penggolongan

obat pada terapi gagal jantung kongestif (CHF) adalah sebagai

berikut :

a. Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE I)

Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme

kerja menurunkan sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan

cara menghambat enzim yang dapat mengubah angiotensin I

menjadi angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi

kejadian remodeling jantung serta retensi air dan garam.


b. Beta bloker

Berdasarkan guideline dari ACC/AHA

direkomendasikan menggunakan β-blocker pada semua pasien

gagal jantung kongestif yang masih stabil dan untuk mengurangi

fraksi ejeksi jantung kiri tanpa kontraindikasi ataupun adanya

riwayat intoleran pada β-blockers. Mekanisme kerja dari β-

blocker sendiri yaitu dengan menghambat adrenoseptor beta

(beta-bloker) di jantung, pembuluh darah perifer sehingga efek

vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat konduksi

dari sel jantung dan juga mampu meningkatkan periode

refractory.

c. Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)

Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin

II pada subtipe AT1. Penggunaan obat golongan ARB

direkomendasikan hanya untuk pasien gagal jantung dengan

stage A, B, C yang intoleran pada penggunaan ACE I. Food and

Drug Approval (FDA) menyetujui penggunaan candesartan dan

valsartan baik secara tunggal maupun kombinasi dengan ACE I

sebagai pilihan terapi pada pasien gagal jantung kongestif.

d. Diuretik

Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif

yaitu dengan meningkatkan retensi air dan garam yang dapat


menimbulkan edema baik sistemik maupun paru. Penggunaan

diuretik pada terapi gagal jantung kongestif ditujukan untuk

meringankan gejala dyspnea serta mengurangi retensi air dan

garam (Figueroa dan Peters, 2006). Diuretik yang banyak

digunakan yaitu dari golongan diuretik tiazid seperti

hidroklorotiazid (HCT) dan golongan diuretik lengkungan yang

bekerja pada lengkung henle di ginjal seperti furosemide,

e. Antagonis aldosteron

Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja

menghambat reabsorpsi Na dan eksresi K. Spironolakton

merupakan obat golongan antagonis aldosteron dengan dosis

inisiasi 12,5 mg perhari dan 25 mg perhari pada kasus klinik

yang bersifat mayor.

f. Digoksin

Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang

mempunyai sifat inotropik positif yang dapat membantu

mengembalikan kontraktilitas dan meningkatkan dari kerja

jantung. Digoxin memiliki indeks terapi sempit yang berarti

dalam penggunaan dosis rendah sudah memberikan efek terapi.

Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan

digoxin dan diperlukan monitoring ketat bila dikhawatirkan

terjadi toksik.

g. Nitrat dan hidralazin


Nitrat dan hidralazin mempunyai efek hemodinamik

yang saling melengkapi. Hidralazin sebagai vasodilator

pembuluh darah arteri yang dapat mengurangi resisten

pembuluh darah sistemik serta meningkatkan stroke volum dan

cardiac output.

Hidralazin memiliki mekanisme yaitu dengan

menghambat inositoltrifosfat (IP3) pada retikulum sarkoplasma

yang berfungsi untuk melepaskan ion kalsium intraseluler dan

terjadi penurunan ion kalsium intraseluler. Nitrat sebagai

venodilator utama (dilatasi pembuluh darah) dan menurunkan

preload (menurunkan beban awal jantung) dengan mekanisme

aktivasi cGMP (cyclic Guanosine Monophosphate) sehingga

menurunkan kadar ion kalsium intraseluler.

Yancy et al. (2013) juga memaparkan mengenai algoritma

terapi dari penggolongan obat-obat CHF berdasarkan

klasifikasi AHA (Tabel 2) dan NYHA (Gambar 3). Algoritma

dari kedua Klasifikasi tersebut dapat disesuaikan dengan keluhan

dan perburukan penyakit yang dialami oleh pasien CHF.

Tabel 1.Terapi CHF klasifikasi AHA (Yancy et al., 2013)


Stage A ACE Inhibitor atau ARB
Stage B ACE Inhibitor, Beta Blocker
Stage C ACE Inhibitor, Beta Blocker
Diuretik, Digoksin
Alternatif lain : ARB, Spironolakton,
Nitrat+Hidralazin
Stage D Terapi stage A, B, C dengan tambahan
infus iv inotropik (digoksin) untuk terapi
paliatif
NYHA ACEI atau ARB dan
Kelas I atau Beta Blocker

NYHA Kelas II NYHA Kelas III NYHA Kelas IV


(+) Diuretik Loop (+) Hidrat-Nitrat (+) Antagonis Aldosteron

Gambar 2.Terapi CHF klasifikasi NYHA (Yancy et al., 2013)

Penggolongan terapi CHF pada setiap golongan obat

mempunyai tempat aksi yang berbeda pada setiap golongannya dan


gambar 2 menunjukkan mengenai perbedaan tempat aksi dari obat-
obat CHF.

Gambar 3. Bagan tempat aksi obat-obat CHF


Gambar 3. Pengelolaan gagal jantung

Intervensi terapetik dalam setiap tahap ditujukan untuk

memodifikasi faktor resiko (stage A), mengobati struktural penyakit

jantung (stage B), dan mengurangi morbiditas dan mortalitas (stage C

dan D).
Pasien gagal jantung stage A belum mengalami kerusakan jantung atau

gejala gagal jantung, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantng. Pasien

yang memiliki riwayat keluarga tekanan darah tinggi (hipertensi), diabetes,

atau masalah jantung harus memperhatikan kesehatan jantung. Pasien yang

memiliki faktor resiko tersebut, perlu mengontrol tekanan darah, mengontrol

kadar gula darah, diet tinggi lemak, membatasi rokok dan alkohol.

Pasien gagal jantung stage B telah mengalami kerusakan struktural

jantung namun belum menunjukkan gejala penyakit gagal jantung. Pada stage

ini terapi yang diberikan adalah Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

(ACEI) atau Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dan akan dilakukan

pemantauan ketat tekanan darah.

Pasien gagal jantung stage C mengalami gejala seperti disfungsi

jantung. Kelelahan saat melakukan aktifitas ringan seperti berjalan atau

membungkuk. Sesak nafas dan kelelahan akan terjadi saat beraktifitas. Pada

stage ini, diet rendah natrium, menghentikan rokok dan alkohol merupakan

bagian dari terapi.

Pasien gagal jantung stage D, membutuhkan intervensi khusus. Gejala

muncul saat istirahat dan sulit disembuhkan meskipun dengan terapi

maksimal. Mempertimbangkan terapi khusus, termasuk seperti terapi

continous IV inotropik positif, transplantasi jantung, atau perawatan rumah

sakit (Dipiro, 2015).

3. Terapi Non Farmakologi

Menurut National Heart Foundation of Australia (NHFA) 2011, terapi

non-farmakologi gagal jantung sebagai berikut :


a. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik secara teratur sekarang sangat disarankan untuk

pasien dengan CHF. Aktifitas fisik harus disesuaikan dengan kapasitas

individu seperti berjalan, bersepeda, angkat besi ringan dan latihan

peregagan. Pasien dapat berjalan dirumah selama 10-30 menit perhari,

5-7 hari perminggu.

b. Nutrisi

Pasien yang kelebihan berat badan meningkatkan kerja jantung

baik selama aktifitas fisik dan kehidupan sehari-hari. Penurunan berat

badan dapat meningkatkan toleransi aktifitas fisik dan kualitas hidup,

dianjurkan pada pasien yang melebihi kisaran berat badan normal.

Asupan lemak jenuh harus dibatasi pada semua pasien, terutama

yang menderita jantung koroner. Diet tinggi serat dianjurkan untuk

menghindari mengejan yang dapat menimbulkan angina, sesak atau

aritmia.

Pasien gagal jantung dengan gejala ringan dianjurkan

mengurangi asupan garam sampai 3 gram perhari untuk

mengontrol volume cairan ekstraseluler. Pasien dengan gejala

sedang sampai berat dianjurkan membatasi asupan garam 2 gram

perhari.

Pasien yang menderita gagal jantung akibat alkohol harus

menghindari alkohol untuk memperlambat perkembangan penyakit dan

meningkatkan fungsi ventrikel kiri (LV). Asupan alkohol tidak

melebihi 10-20 gram sehari.


Pasien dengan gejala ringan sampai sedang, asupan alkohol dapat

meningkatkan prognosis.

c. Aktivitas Seksual

Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi

tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung

lanjut dan tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat

d. Asupan Cairan

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada

pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan

rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak

memberikan keuntungan klinis.

e. Pengurangan Berat Badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2)

dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan

gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup

4. Prognosis

Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak

diketahui. Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang

mendapat terapi yaitu: (2)

 Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%


 Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
 Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
 Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%
Ada beberapa faktor yang menentukan prognosis, yaitu :

 Waktu timbulnya gagal jantung

 Timbul serangan akut atau menahun

 Derajat beratnya gagal jantung

 Penyebab primer

 Kelainan atau besarnya jantung yang menetap

 Keadaan paru

 Cepatnya pertolongan pertama

 Respons dan lamanya pemberian digitalisasi

 Seringnya gagal jantung kambuh.

Gagal jantung akut atau gagal jantung kronis sering merupakan

kombinasi kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit

metabolik. Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang

sangat buruk.

Anda mungkin juga menyukai