Anda di halaman 1dari 25

EVALUASI KEPATUHAN TERAPI PPK PADA PASIEN GAGAL

JANTUNG DI BANGSAL ASOKA, DAN ICCU RSUD PROF. DR.


MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

Disusun oleh :
Kelompok 6

ANGELINE TAMARA WIJAYA, S.Farm (USB/2120414579)


AULIA RAHMA PRATIWI, S. Farm (STIFAR/1062021013)
JIHAN AZIZAH M.H, S. Farm (UMP/2008020172)

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah ketidakmampuan jantung memompa
darah guna memenuhi kebutuhan oksigen serta memberikan nutrisi jaringan
tubuh. Biasanya disebabkan oleh kelainan sekunder dari abnormalitas struktur
jantung dan atau fungsi (yang diturunkan atau didapat) yang merusak kemampuan
ventrikel kiri untuk mengisi atau mengeluarkan darah. Konsumsi obat dalam
jumlah banyak dan dalam jangka panjang mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien
yang buruk, sehingga akan berpengaruh pada keberhasilan terapi dan
menimbulkan peluang terjadinya rawat inap. diperlukan pemilihan dan
penggunaan obat secara rasional sehingga intervensi obat dapat mencapai
sasarannya dengan efek samping obat seminimal mungkin dan instruksi
penggunaan obat dapat dipatuhi oleh pasien, terutama obat untuk penanganan
kasus gagal jantung kongestif.
Tujuan terapi gagal jantung adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan menghilangkan atau mengurangi gejala, mencegah dan meminimalkan
masuk rumah sakit, memperlambat perkembangan penyakit, serta memperpanjang
usia harapan hidup pasien. Penatalaksanaan gagal jantung dapat dilakukan dengan
terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi farmakologis yang digunakan
pada pasien gagal jantung yaitu dengan obat-obat golongan diuretik, Angiotensin
Convering Enzime inhibitor (ACE-I), Angiotensin Receptor Blockers (ARB), β-
blocker, Diuretik, vasodilator dan digoksin. Sedangkan terapi non-farmakologis
dapat dilakukan dengan perubahan gaya hidup, hindari rokok, penurunan berat
badan dan olahraga teratur.Oleh karena itu, obat-obat ini memerlukan pengawasan
yang tepat dan penentuan dosis dengan hati-hati untuk mencegah timbulnya
ketidaktepatan terapi pada pasien. Selain itu, diperlukan pemilihan dan
penggunaan obat secara rasional sehingga intervensi obat dapat mencapai
sasarannya dengan efek samping obat seminimal mungkin dan instruksi
penggunaan obat dapat dipatuhi oleh pasien, terutama obat untuk penanganan
kasus gagal jantung kongestif.
Penggunaan obat yang rasional mensyaratkan bahwa pasien menerima
obatobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinik dan dalam dosis yang memenuhi
keperluan individu dan penggunaan obat yang rasional merupakan hal yang sangat
penting untuk mencegah adanya kegagalan dalam terapi pengobatan. Sesuai
dengan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang terdapat dalam
Kemenkes No 72 tahun 2016 yang 7 menyatakan bahwa salah satu tugas pokok
farmasi di rumah sakit adalah mengkaji instruksi pengobatan atau resep pasien
serta mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan penggunaan obat.
Evaluasi penggunaan obat merupakan proses jaminan mutu resmi dan
terstruktur yang dilaksanakan terus menerus, yang ditujukan untuk menjamin obat
yang tepat, aman dan efektif. Penelitian terkait dengan evaluasi penggunaan obat
gagal jantung di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokertoberupa
ketidaktepatan indikasi, pemilihan obat, pasien, dosis, rute pemberian dan potensi
interaksi obat pada pasien gagal jantung secara keseluruhan belum
dilakukan.Penelitian ini bertujuan untuk melihat pola penggunaan obat serta
mengkaji kerasionalan penggunaan obat pada pasien gagal jantung kongestif.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara
retrospektif yang didasarkan pada penelusuran rekam medis pasien. Penelitian ini
bertujuan untuk melakukan evaluasi kepatuhan terapi PPK pada pasien gagal
jantung yang dirawat di bangsal asoka, dan ICCU RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Gagal Jantung


Gagal jantung Kongestif Definisi Gagal jantung kongestif terjadi jika
curah jantung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan O2. Gagal
jantung kongestif adalah sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan struktural
dan fungsional jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk diisi
dengan darah atau untuk mengeluarkan darah
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh gangguan yang
mengakibatkan terjadinya pengurangan pengisian ventrikel (disfungsi diastolik)
dan kontraktilitas miokardial (disfungsi sistolik). Pada disfungsi sistolik ,kekuatan
kontraksi vertikel kiri terganggu sehingga ejeksi darah berkurang, menyebabkan
curah jantung berkurang. Pada disfungsi diastolik, relaksasi dinding ventrikel
terganggu sehingga pengisian darah berkurang, menyebabkan curah jantung
berkurang. Berkurangnya curah jantung inilah yang menimbulkan gejala-gejala
gagal jantung.
Gambaran klinis Manifestasi klinis gagal jantung kongestif dapat dapat
digambarkan sebagai berikut:
a. Meningkatnya volume intravaskuler.
b. Kongestif jaringan akibat peningkatan arteri dan vena.
c. Edema paru akibat peningkatan tekanan vena pulmonalis sehingga cairan
mengaliridari kapiler paru ke alveoli yang mengakibatkan batuk dan nafas pendek.
d. Turunnya curah jantung akibat darah tidak dapat mencapai jaringan dan Organ.
e. Tekanan perfusi ginjal menurun sehingga mengakibatkan terjadinya pelepasan
renin dari ginjal yang menyebabkan sekresi aldosteron meningkat, retensi cairan,
natrium serta peningkatan volume intravaskuler
2 1.1 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal jantung kongestif dapat dilakukan dengan terapi
non farmakologi dan terapi farmakologi :
 Terapi Non Farmakologi
Diet dilakukan pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas
harus diberi diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat
badannya. Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hari
untuk gagal jantung sedang sampai berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/hari
hanya untuk gagal jantung berat. Merokok harus dihentikan dan rutin melakukan
aktivitas fisik Olah raga yang teratur.

 Terapi Farmakologi
1). Penggunaan penghambat ACE untuk terapi gagal jantung didukung oleh
berbagai uji klinik yang mengikutsertakan lebih dari 100.000 pasien. Penghambat
ACE terbukti dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas pada semua pasien
gagal jantung sistolik. Penghambat ACE menghambat konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang
juga merangsang sekresi aldosterone.
Table 1. Dosis obat ACE-inhibitor untuk pengobatan gagal jantung (ESC
(2012) dalam PERKI,2015)

Obat Dosis awal (mg) Dosis Target (mg)


Captopril 6,25 (3x sehari) 50-100 (3 x sehari)
Enalapril 2,5 (2x sehari) 10-20 (2x sehari)
Lisinopril 2,5 – 5 (1x sehari 20-40 (1x sehari)
Ramipril 2,5 (1x sehari) 5 (2x sehari)
Perindopril 2 ( 1x sehari) 8 ( 1x sehari)

2). Penggunaan Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung
akut yang selalu disertai dengan kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai
kongesti paru atau edema perifer. Penggunaan diuretik dapat menghilangkan
sesak napas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Diuretik
mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel,
alir balik vena, dan tekanan pengisian vertikel. Dengan demikian, edema perifer
dan kongesti paru akan berkurang/hilang. Diuretik tiazid merupakan diuretik
lemah dan tidak pernah diberikan sendiri pada pengobatan gagal jantung, tetapi
jika dikombinasi dengan diuretik kuat menunjukkan efek sinergistik. Jika laju
filtrasi glomerulus
Table 2. Dosis Diuretik untuk pengobatan gagal jantung

3). Penggunaan β-bloker untuk terapi gagal jantung bekerja mengeblok atau
menghentikan rangsangan pada reseptor β pada tubuh dan Penggunaan β-bloker
untuk terapi gagal jantung kronik membuktikan bahwa β-bloker memperbaiki
gejala-gejala, mengurangi hospitalisasi, dan mortalitas pada pasien gagal jantung
ringan dan sedang.
Table 3. Dosis obat beta blocker untuk pengobatan gagal jantung (ESC (2012) dalam PERKI
2015.
Obat Dosis Awal (mg) Dosis Target (mg)
Bisoprolol 1,25 (1x sehari) 10 (1x sehari
Carvedilol 3,125 (2x sehari) 25 – 50 (2x sehari)
Metoprolo 12,5/25 (1x sehari) 200 (1x sehari)

4). Antagonis Aldosteron Pada pasien gagal jantung, kadar plasma aldosteron
meningkat karena aktivasi sistem renin angiotensin-aldosteron. Aldosteron
menyebabkan retensi Na dan air serta ekskresi K dan Mg. Retensi Na dan air
menyebabkan edema dan meningkatan preload jantung. Aldosteron memacu
remodeling dan disfungsi ventrikel melalui peningkatan preload dan efek
langsung yang menyebabkan fibrosis miokard dan proliferensi fibroblas. Karena
itu antagonisasi efek aldosteron akan mengurangi progresi remodelling jantung
sehingga dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat gagal jantung
5). Penggunaan Vasodilator dapatmenyebabkan dilatasi pembuluh darah. Obat
golongan ini diberikan jika terjadi penyempitam pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai darah dan O² ke berbagai organ berkurang. Vasodilator
berguna untuk mengatasi preload dan afterload yang berlebihan.
6). Pemberian Digoksin Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrialdapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain
(seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik,
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi
gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup.
7) Penggunaan Nitrat pada penyakit cardiovascular digunakan atau diberikan
untuk memberikan efek dilatasi pada vena yang mengakibatkan berkurangnya
preload dan volume akhir diastolic ventrike lkiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
coroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis. (PERKI, 2015)

a. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut
dari episode angina.
b. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaliknya mendaptakan nitrat sublingual setiap 5 menit sampai
maksimal 3x pemberian, setelah itu harus di pertimbangkan penggunaan
nitrat intravena jika tidak ada kontraindikasi.
c. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung
atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/STEMI. Keputusan
menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang
terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat atau ACE-I
d. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik<90
mmHg atau >30mmHG dibawah nilai awal.,bradikardia berat (<50 kali
permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel
kanan.
e. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi
inhibitor fosfodieterase. Sildenafil dalam 24 jam, dalafildalama 48 jam.
Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum
dapat di tentukan. (PERKI, 2015)

8). Penggunaan Calcium Channel Blokers (CCB). Nifedipin dan amlodipine


mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa. Sebaliknya,
verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap dilatasi arteri. Semua CCB
tersebut diatas mempunyai efek dilatasi coroner yang seimbang. Oleh karena itu
CCB, terutama golongan dihidropiridin merupakan obat pilihan untuk mengatasi
angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya
memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi
keluhan angina (PERKI, 2015)

9). Penggunaan Statin. Tanpa melihat nilai awal kolestrol LDL dan tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor statin
harusdiberikanpadasemuapasien UAP/NSTEMI, termasuk yang telah menjalani
terapi revasklurisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi
hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi
untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL. Menurunkan kadar koletrol
LDL sampai <70mg/dL mungkin dicapai. (PERKI, 2015).

10) Antipletelet
a. Pemberian aspirin diberikan kepada semua pasien tanpa kontraindikasi
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg
setiap harinya untuk jangka, tanpa memandang strategi pengobatan yang
diberikan.
b. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada kontraindikasi
seperti resiko pendarahan berlebih.
c. Ticagleor direkomendasikan untuk semua pasien dengan resiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan
dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg 2x sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan
pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel
kemudian di hentikan).
d. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogreladalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiaphari.
e. Pemberian dosis clopidogrel 600 mg mg (atau dosis loading 300 mg di
ikuti dosis tambahan 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari).
f. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)
perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan
IKP tanpa pendarahan yang meningkat.
g. Tidak disarankan pemberian aspirin bersama NSAID (penghambat COX-
2 selektif dan NSAID non selektif). (PERKI, 2015)
11) Antikoagulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet
secara cepat.
a. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan antiplatelet.
b. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko pendarahan dan
iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
c. Fondaparinux secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding
resiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari
secara subkutan.
d. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,
penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk
mereka yang mendapatkan penghambatan reseptor GP IIB/IIIa) perlu
diberikan saat IKP.
e. Enoksaparin (1 mg/kg 2x sehari) disarankan untuk pasien dengan resiko
pendarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
f. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah( LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) didindikasikan apabila fondaparinuks atau
enoksaparin tidak tersedia. (PERKI, 2015)
12) Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan
a. Penggunaan warfarin bersamadengan aspirin dan atau clopidogrel
meningkatkan resiko pendarahan oleh karena itu di pantau secara ketat.
b. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat
indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin
dan dipilih target INR terendah yang masih efektif.
c. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama
pada penderita tua atau yang risiko pendarahan tinggi, target INR 2-2,5
lebih terpilih. (PERKI, 2015).
BAB III
PEMBAHASAN

3. Evaluasi Kepatuhan Peresepan


Menurut Permenkes Nomor 72 Tahun 2016, pelayanan kefarmasian adalah
pelayanan secara langsung kepada pasien yang bertanggung jawab berhubungan
dengan sediaan farmasi untuk mencapai hasil yang pasti dalam rangka
peningkatan mutu kepada pasien (Pratiwi et al., 2017). Dalam upaya
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, rumah sakit memerlukan standar
pelayanan minimal (SPM) yang dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan
pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Salah satu standar pelayanan minimal
pelayanan kefarmasian adalah kepatuhan penulisan resep (Krisnadewi et al.,
2014).
Menurut The American Academy of Manager Care Pharmacy, untuk
menghasilkan perawatan kepada pasien yang terintegrasi yang efektif dan efisien
memerlukan kolaborasi dokter, apoteker, dan tenaga kesehatan lain membutuhkan
manajemen formularium (Alomi et al., 2019). Ketidakpatuhan dokter terhadap
Panduan Praktek Klinis (PPK) dapat menurunkan mutu pelayanan kefarmasian
dan tentu akan berdampak pada mutu rumah sakit (Pratiwi et al., 2017).
Ketidakpatuhan dan berdampak pada mutu rumah sakit secara keseluruhan
(Pratiwi et al., 2017).
Pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi pasien dengan penyakit
jantung yang sedang dirawat di bangsal asoka, mawar dan ICCU RS Prof. Dr.
Margono Soekarjo dilihat dari CPPT. Dari CPPT yang diperoleh terdapat 4 kasus
yang memenhi krteria inklusi selama rentang waktu 23 Agustus – 27 Agustus
2021. Penilaian kepatuhan peresepan obat untuk penyakit jantung dilakukan
dengan pengambilan data di depo rawat inap penyakit dalam pada bangsal asoka,
mawar, dan ICCU, pengambilan sampel dlakukan selama 5 hari dan didapatkan 4
pasien dengan diagnosis gagal jantung, yang meliputi 2 pasien CHF, 1 pasien
RHF, dan 1 pasien STEMI anterior.
3.1 Kasus 1
Nama Pasien : Ny, R
Diagnosis : CHF (Congestive Heart Failure), IHD dan Pneumonia.
Terapi :
 Infus RL 10 tpm
 O2 NK 4 tpm
 Injeksi Furosemid 3x1 ampul
 CPG/ Clopidogrel 4x1 tablet
 Aspilet 2x1 tablet
 ISDN 3x5 mg. Digunakan bila terjadi Nyeri dada. Diberikan secara
sublingual

Pada terapi yang didapat pasien diatas, obat yang sesuai dengan PPK CHF
yaitu infus RL 10 tpm, O2 NK 4 lpm, injeksi furosemid 3x1 ampul, dan ISDN 3x5
mg diberikan secara sublingual. Infus RL diberikan untuk memenuhi kebutuhan
pasien pada saat di rawat inap dengan pemberian IVFD sebanyak 8-12 tpm.
Pemberian infus RL ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Oleh Pada
dasarnya penyesuaian cairan ini diperlukan karena hiperkloremia dapat
menyebabkan penurunan bikarbonat sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
asam-basa atau asidosis metabolik. Apabila keadaan ini terjadi terus-menerus
dapat memengaruhi sistem syaraf pusat dan dapat menyebabkan koma (Price,
S.A., Wilson, L.M., 2005). Dengan lama penggunaan pemberian Infus RL selama
masa rawat inap dapat diberikan selama 5 hari.
Pemberian Oksigen 4 lpm sudah sesuai dengan Clinical Pathway RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo, dimana pemberian oksigen bertujuan untuk
mengurangi sesak nafas yang dialami oleh pasien. Sehingga perlu diberikan
bantuan oksigen sebanyak 4 lpm. Menurut PERKI 2018 menjelaskan bahwa
Terapi oksigen diberikan apabila terdapat 3 hal yaitu :
a) Diberikan Oksigen atau O2 nasal 2-4 L/menit, disesuaikan dengan hasil
pulseoxymetry. Bila diperlukan, O2 dapat diberikan dengan masker non-
rebreathing atau rebreathing bila tidak membaik dalam waktu ½ jam.
b) Bila saturasi oksigen tetap rendah dengan mask atau ada di stress pernafasan,
digunakan CPAP.
c) Bila distress pernafasan tidak membaik dan atau tidak toleran dengan CPAP
dilakukan intubasi.

Lama penggunaan atau pemberian oksigen selama 3 hari pada masa


perawatan atau masa rawat inap di rumah sakit dengan melihat hasil
pulseoxymetry. Apabila hasil frekuensi nafas normal yaitu 12-20 nafas permenit.
Maka pemberian atau penggunaan Oksigen bisa di hentikan atau bila keluhan atau
gejala sesak nafas sudah berkurang. (PERKI, 2018)
Pemberian injeksi Furosemid 3x1 ampul pada pasien sudah sesuai dengan
clinical pathway di rumah sakit margono. Dengan dosis 1 ampul 20 mg diberikan
3 x1 ampul dengan lama penggunaan injeksi furosemide selama 5 hari pada masa
perawatan di rumah sakit. Dosis yang digunakan untuk 1 hari penggunaan injeksi
furosemide yaitu 20-240 mg/hari, hal ini mengacu pada dosis ruwatan dirumah
sakit margono.
Penggunaan injeksi furosemid 3x1 ampul (20mg) selama pada pasien
sudah sesuai dengan Clinical Pathway di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Furosemid berfungsi untuk menurangi udema pada pasien gagal jantung dengan
mekanisme kerja penghambatan reabsorbpsi NaCl dalam ansa Henle asendens
segmen tebal. Furosemid bekerja dengan cara menghambat kotranspor Na+/K+/Cl-.
Na+ secara aktif ditranspor keluar sel ke dalam interstisium oleh pompa yang
tergantung pada Na+/K+-ATPase di membrane basolateral. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya diuresis dan berakhir dengan penurunan tekanan darah
(Guyon, 2008). Penggunaan dosis furosemide biasanya dimulai dari dosis 20–40
mg sehari sampai memenuhi dosis target 40-240 mg/hari selama 5 hari, obat ini
juga bisa diberikan secara intravena maupun peroral sesuai dengan keadaan pasien
(JNC VIII) (NYHA, 2012). Menurut Drug Information Handbook 22nd edition,
dosis furosemid secara intravena 20-40 mg/dosis per hari. Diberikan selama 5 hari
pada masa perawatan pasien di rawat inap.
Pemberian Clopidogrel 3x1 tablet (75mg) pada pasien CHF tidak sesuai
dengan clinical pathway yang ada di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dimana
tidak terdapat terapi CPG pada pasien CHF di Panduan Praktek Klinis RS
Margono. Menurut jurnal dan literatur penelitian oleh Muhammad Dimas
Pangestu, pada situasi tertentu pemberian Clopidogrel dapat dikombinasikan
dengan Aspirin untuk mencegah penggumpalan darah. Namun kombinasi kedua
obat ini beresiko terjadinya penggumpalan darah pada pasien. Dengan dosis 75
mg/hari dengan di kombinasikan dengan aspirin bertujuan untuk mencegah
trombosit (platelet) yang menempel dan beresiko membentuk gumpalan darah.
(Pangestu and Nusadewiarti, n.d.)
Pemberian aspilet 2x1 tablet (80 mg) sebagai antiplatelet pada pasien CHF
tidak sesuai dengan Clinical Pathway di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo,
dimana pada tatalaksana tidak terdapat terapi aspilet untuk pasien CHF. Menurut
jurnal dan literatur penelitian yang dilakukan oleh Pradilla Desti Saribahwa
penggunaan Aspilet 1x80 mg diberikan untuk mencegah terjadinya trombus di
jantung dan mencegah terjadinya emboli.(Sari et al., n.d.)
Pemberian ISDN 3x5 mg bila terjadi nyeri dada secara sublingual selama
5 hari sudah sesuai dengan clinical pathway pada RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo selama masa perawatan pasien jika pasien mengalami nyeri dada maka
diberikan ISDN secara sublingual dengan kekuatan sediaan 5 mg. Menurut
PERKI 2015, pemberian Nitrat atau ISDN diberikan untuk memberikan efek
dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan voleme akhir
diastolic ventrikel kisi sebagai konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek
lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah coroner baik yang normal maupun
yang mengalami aterosklerosis. Untuk pemberian ISDN secara sublingual 2,5-15
mg (onset 5 menit). Kemudian untuk oral diberikan 15-80 mg/hari dibagi 2-3
dosis.

2. Kasus 2
Nama Pasien : Tn. NH
Diagnosis : CHF (Congestive Heart Failure)
Terapi :
 Infus NaCl 0,9% 10 tpm
 O2 NK 3 tpm
 Injeksi Furosemid 2x1 ampul
 Valsartan 1x160mg
 HCT 1x25mg
 Bisoprolol 1x2,5mg

Pada terapi yang didapat pasien diatas, obat yang sesuai dengan PPK CHF
yaitu infus NaCl 0,9% 10 tpm, O2 NK 3 tpm, injeksi furosemid 2x1 ampul,
valsartan 1x160mg, dan bisoprolol 1x2,5 mg . Infus NaCl diberikan untuk
memenuhi kebutuhan pasien pada saat di rawat inap dengan pemberian IVFD
sebanyak 8-12 tpm. dengan lama penggunaan infus NaCl 0,9% selama masa rawat
inap dapat diberikan selama 5 hari.
Pemberian Oksigen 3 lpm pada pasien sudah sesuai dengan Clinical
Pathway untuk penyakit CHF di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, dimana
pemberian oksigen bertujuan untuk mengurangi sesak nafas yang dialami oleh
pasien. Lama pemberian oksigen adalah selama 3 hari pada masa perawatan atau
masa rawat inap di rumah sakit dengan melihat hasil pulseoxymetry. Apabila hasil
frekuensi nafas sudah mencapai frekuensi 12-20 nafas/menit atau apabila gejala
sesak napas sudah berkurang, maka pemberian oksigen dapat di hentikan (PERKI,
2018).
Pemberian injeksi Furosemid 2x1 ampul pada pasien CHF sudah sesuai
dengan clinical pathway di rumah sakit margono. Injeksi furosemid dapat
diberikan dengan dosis awal 40-60 mg dan dosis rumatan 20-240mg/hari selama 5
hari pada masa perawatan. Penggunaan injeksi furosemid berfungsi untuk
menurangi udem pada pasien gagal jantung. Furosemid memiliki mekanisme kerja
menghalangi penyerapan natrium di sel-sel tubulus ginjal dan meningkatkan
jumlah ekskresi urin oleh tubuh. Menurut Drug Information Handbook 22nd
edition, dosis furosemid secara intravena 20-40 mg/dosis per hari. Diberikan
selama 5 hari pada masa perawatan pasien.
Pemberian valsartan 1x160mg pada pasien sudah sesuai dengan Clinical
Pathway untuk pasien CHF, dimana valsartan berfungsi sebagai terapi pengganti
ACE-I pada pasien gagal jantung degan fraksi ejeksi rendah yang masih
simptomatik untuk menurunkan resiko rawat ulang (hospitalisasi) akibat gagal
jantung dan kematian dini. Dosis valsartan yang dapat diberikan adalah 2x40-
160mg/hari (PERKI 2020).
Pemberian hidrolortiazid 1x25mg pada pasien tidak terdapat pada Clinical
Pathway untuk pasien CHF RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, akan tetapi
menurut Figueroa dan Peters (2006), penggunaan diuretik tiazid seperti
hidroklorotiazid untuk pasien gagal jantung kongestif bertujuan untuk
meringankan ejala dyspnea serta mengurnagi retensi air dan garam. Dosis
hidroklorotiazid yang dapat digunakan yaitu 1-2x25-100mg/hari dengan dosis
maksimum 200mg/hari, mekanisme kerja HCT yaitu dengan menghambat
reabsorbsi sodium pada tubulus distal sehingga menyebabkan peningkatan
ekskresi sodium dan air serta potassium dan ion hidrogen (DIH edisi 17).
Pemberian bisoprolol 1x2,5mg pada pasien sudah sesuai dengan Clinical
Pathway untuk pasien CHF, dimana beta bloker direkomendasikan untuk pasien
gagal jantung kongestif yang masih stabil untuk mengurangi fraksi ejeksi jantung
kiri tanpa kontraindikasi atau riwayat intoleran terhadap beta bloker dengan
mekanisme kerja penghambatan adrenoreseptor beta di jantung, pembuluh darah
perifer sehingga efek vasodilatasi tercapai. Dosis bisoprolol yang dapat diberikan
yaitu 1x1,25-5mg/hari (DIH edisi 17).

3. Kasus 3
Nama Pasien : Tn. W
Diagnosis : STEMI anterior, dislipidemia
Terapi :
 Asering 10 tpm
 O2 4 tpm
 Furosemid 20mg
 Miniaspi 1x80mg
 CPG 1x75mg
 Atorvastatin 1x40mg
 Bisoprolol 1x2,5mg
 Captopril 3x12,5mg
 Laxadin syr 3x1

Pada terapi yang didapat pasien diatas, obat yang sesuai dengan PPK CHF
yaitu O2 NK 4 lpm, miniaspi 1x80 mg, CPG 1x75 mg, atorvastatin 1x40 mg,
bisoprolol 1x2,5 mg, dan laxadin syrup 3x1. Pemberian Oksigen 4 lpm pada
pasien sudah sesuai dengan Clinical Pathway untuk pasien STEMI di RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo, dimana pemberian oksigen bertujuan untuk mengurangi
sesak nafas yang dialami oleh pasien. Lama pemberian oksigen adalah selama 3
hari pada masa perawatan atau masa rawat inap di rumah sakit dengan melihat
hasil pulseoxymetry. Apabila hasil frekuensi nafas sudah mencapai frekuensi 12-
20 nafas/menit atau apabila gejala sesak napas sudah berkurang, maka pemberian
oksigen dapat di hentikan (PERKI, 2018).
Pemberian miniaspi dengan dosis 1x80 mg selama 7 hari pada pasien
sudah sesuai dengan Clinical Pathway untuk pasien STEMI di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo, dimana dosis yang dapat diberikan adalah 1x80 mg/hari.
Menurut PERKI 2020, lloading aspirin yang dapat diberikan adalah 150-300 mg
dan dosisi pemeliharaan 75-100mg setiap harinya untuk jangka waktu panjang,
tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan. Pemberian aspirin pada
pasien STEMI dilakukan untuk mencegah thrombus mural (PERKI 2020).
Pemberian Clopidogrel 1x75 mg pada pasien STEMI sudah sesuai dengan
Clinical Pathway di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, dengan dosis pemberian
untuk 75mg/hari, hal ini sudah sesuai dengan rekomendasi AHA 2016 untuk
pasien STEMI dimana kombinasi aspirin dan klopidogrel berdasarkan analisisi
post hoc terbukti menurunkan angka kematian kardiovaskular atau kejadian stroke
(AHA 2016). Terapi clopidogrel untuk pasien STEMI dapat diberikan selama 7
hari.
Pemberian atorvasatin 1x40 mg sudah sesuai dengan Clinical Pathway
untuk STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan rentang dosis 1x20-
40mg/hari. Atorvastatin diberikan pada pasien STEMI untuk menurunkan kadar
kolesterol pasien sehingga tidak terjadi sintesis kolesterol melalui mekanisme
penghambatan secara kompetitif koenzim 3-hidroksi-3-metilglutaril (HMG CoA)
reduktase, yang berperasn pada sintesis kolesterol. Statin dosisi tinggi
direkomendasikan pada pasien sejak awal tanpa melihat kadar kolesterol awal
pasien dengan tujuan untuk menurunkan kolesterol LDL<70 mg/dL (PERKI
2020).
Pemberian bisoprolol 1x2,5 mg pada pasien sudah sesuai dengan Clinical
Pathway untuk pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, bisoprolol
digunakan karena beta bloker selektif terhadap beta-1 yang mengakibatkan
turunnya konsumsi oksigen miokardium. Beta bloker dapat diberika pada pasein
dengan hipertensi dan/atau takikardi selama tidak terdapat kontra, hendaknya
diberikan dalam 24 jam pertama (PERKI 2015). Dosis bisoprolol yang dapat
diberikan yaitu 1x1,25-5mg/hari (DIH edisi 17).
Pemberian captopril 3x12,5mg belum sesuai dengan Clinical Pathway
untuk pasien STEMI RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Dosis captopril yang
dapat digunakan menurut Clinical Pathway di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
adalah 3x6,25 mg, sedangkan dosis yang diterima pasien adalah 3x 12,5 mg,
sehingga diketahui terdapat ketidaksesuaian terapi yang didapat pasien dengan
Clinical Pathway pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Pemberian ACE Inhibitor berguna dalam mengurangi remodeling dan
menurunkan angka kematian penderita pasca infark-miokard yang disertai
gangguian fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Dosis
captopril yang dapat diberika yaitu 2-3x6,25-50mg/hari (PERKI 2015).
Pemberian laxadin syrup sudah sesuai dengan Clinical Pathway untuk
pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, dimana pemberian pencahar
berfungsi untuk melancarkan BAB pasien sehngga pasien tidak perlu mengejan
yang dapat memperberat kerja jantung.
Pemberian infus asering untuk pasien tidak sesuai dengan Clinical
Pathway untuk pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, dimana
pemberian elektrolit yang direkomendasikan adalah NaCl 0,9% atau RL atau D5%
10-15 tpm. Elektrolit diberikan untuk memenuhi kebutuhan elektrolit pasien pada
saat di rawat inap dengan pemberian IVFD sebanyak 10-15 tpm. dengan lama
penggunaan infus asering selama masa rawat inap dapat diberikan selama 5 hari.
Pemberian injeksi Furosemid 20 mg pada pasien tidak sesuai dengan
Clinical Pathway pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, dimana
tidak terdapat rekomendasi terapi furosemid pada Clinical Pathway RS, sehingga
diketahui terdapat ketidaksesuaian terapi yang didapat pasien dengan Clinical
Pathway pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.

4. Kasus 4
Nama pasien: IS
Diagnose : CTEPH, DUT, RHF
Terapi:
InjNacl 0.9% 1000 CC
Inj furosemide drip 10mg/jam
Inj UFH 4000 unit IV  Drip 800 unit/jam
HCT 1x 25mg
Sildenafil 3x 20mg
Dorner 2x 1tab

PasienTn.Ismail diagnose penyakit CPETH, DVT, RHF. RHF merupakan


dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit
parenkim paru atau pembuluh darah yang tidak berhubungan dengan kelainan
jantung kiri. Hipertensi pulmonal menghasilkan pembesaran ventrikel kanan dan
berlanjut dengan berjalanya waktu menjadi gagal jantung kanan.
 Pemberian Furosemid 20mg
 MenurutGuidline American Heart Association (AHA) memberikan
terapi farmakologi kepada pasien gagal jantung dengan gejala yang
berat dan terdapat tanda gagal jantung serta memiliki komplikasi
berupa pemberian obat golongan diuretik, ACE inhibitor, B-blocker,
nitrat, dan digitalis. Pemberian diuretik intravena seperti furosemid
akan menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala
walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan
produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh
prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga
harus dihindari bila memungkinkan berupa injeksi serta telah diberi
penatalaksanaan sesuai dengan evidence medicine based. furosemid 20
mg per 8 jam diberikan sampai tekanan vena jugularis normal dan
menghilangkan edema. Pemberian diuretik secara parenteral
diindikasikan pada gagal jantung berat dan edema paru akut. Pada
pasien gagal jantung disertai edema dengan tensi tidak terlalu tinggi
dapat diberikan furosemid per 24 jam.
 Menurut jurnal dan literatur penelitian yang dilakukan oleh Baiq Leny
Nopitasari bahwa Penggunaan dosis furosemide biasanya dimulai dari
dosis 20–40 mg sehari sampai memenuhi dosis target 40-240 mg/hari,
obat ini juga bisa diberikan secara intravena maupun peroral sesuai
dengan keadaan pasien (JNC VIII)(NYHA, 2012).
 Pemberian Furosemid pada psaien sudah tepat, diharapkan pemberian
terapi ini dapat mengurangi kongesti edema dengan cara mengeluarkan
natrium dan menurunkan volume darah.
 Pemberian Sildenafil
 Pemberian dosis rendah tanpa disertai vasodilator pulmonal lainnya,
efektif menurunkan tekanan pulmonal dan menurunkan resiko krisis
HP. Sildenafil merupakan inhibitor poten fosfodiesterase-5, dapat
berakumulasi dan meningkatkan aktivitas cyclic guanosine
monophosphate (cGMP).
Pemberian sildenafil dikatakan tepat karena kondisi tekanan darah pasien
normal
 Pemberian Beraprost Na (dorner)
 Pemberian antiplatelet ini diperlukan karena pada pasien memiliki
resiko kejadian tromboeboli dan dapat mengalami serangan akut
angina pektoris . vasodilator bekerja dengan mendilatasi arteri yang
akan menurunkan resistensi vascular perifer dan tekanan sistolik
ventrikel kiri sehingga curah jantung meningkat, dilatasi vena, dan
berkurangnya aliran balik vena menuju jantung yang dapat
menurunkan tekanan diastolik ventrikel kiri (IONI, 2008).
 Pemberian HCT pada pasien sudah tepat karena diharapkan pemberian terapi
ini dapat mengurangi kongesti edema dengan cara mengeluarkan natrium dan
menurunkan volume darah. Sehingga pertukaran udara dalam paru dapat
diperbaiki, dan hipoksia maupun beban jantung kanan dapat berkurang.
 Pemebrian UF Heparin disesuaikan dnegan PPK dengan UF heparin bolus 60
unit/kgBB maksimal 4000 unit dilanjutkan dengan dosis rumatan 12
unit/kgBB maksimal 1000 unit/jam.

BAB IV
KESIMPULAN
4. Kesimpulan
Kepatuhan peresepan merupakan salah satu standar pelayanan minimal
pelayanan kefarmasian. Berdasarkan tatalaksana Clinical Pathway RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo, kepatuhan peresepan terapi untuk pasien jantung di RS
Prof. Dr. Margono Soekarjo belum 100%, dimana terdapat beberapa peresepan
yang tidak ada dalam Clinical Pathway RS. Maka dapat disimpulkan bahwa
tingkat kepatuhan peresepan untuk pasien jantung di RS Prof. Dr. Margono
Soekarjo tidak 100% sesuai dengan Clinical Pathway R.

DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarif, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Gaya Baru: Jakarta.
American Heart Association (AHA). Guideline for the management of heart
failure: A report of the american college of cardiology
foundation/american heart association task force on practice guideline.
Dallas: AHA-Circulation.
Guyon AC, Hall JE. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
JNC-VIII. (2014). The Eight Report of the Joint National Committee.
Hypertension Guidelines: An In-Depth Guide. Am J Manag Care
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.(2015). Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung.PERKI.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.(2016). Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut.PERKI.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.(2018). Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut.PERKI.
Karundeng, J.T., Prabowo, W.C., Ramadhan, A.M., 2018. Pola Pengobatan pada
Pasien Congestive Heart Failure (CHF) Di Instalasi Rawat Inap RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Kota Samarinda.Proceeding Mulawarman Pharm.
Conf. 8, 229–235. https://doi.org/10.25026/mpc.v8i1.328
Krisnadewi, A. K., Subagio, P. B., & Wiratmo, W. (2014). Evaluasi Standar
Pelayanan Minimal Instalasi Farmasi RSUD Waluyo Jati Kraksaan
Sebelum dan Sesudah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan. E- Jurnal Pustaka Kesehatan, 2(2), 192–198.
Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian Farmaka Tropis,
Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Ramadhan, A.M., Ibrahim,
A., Utami, A.I., 2015.Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada
Pasien Hipertensi Rawat Jalan di Puskesmas Sempaja Samarinda. J. Sains
Dan Kesehat. 1, 82–89. https://doi.org/10.25026/jsk.v1i2.21
Pangestu, M.D., Nusadewiarti, A., n.d. Penatalaksanaan Holistik Penyakit
Congestive Heart Failure pada Wanita Lanjut Usia Melalui Pendekatan
Kedokteran Keluarga 11.
Pratiwi, W. R., Kautsar, A. P., & Gozali, D. (2017). Hubungan Kesesuaian
Penulisan Resep dengan Formularium Nasional Terhadap Mutu Pelayanan
pada Pasien Jaminan Kesehatan Nasional di Rumah Sakit Umum di
Bandung. Pharmaceutical Sciences and Research.
Sari, P.D., Yonata, A., Swadharma, B., n.d. Penatalaksanaan Gagal Jantung
NYHA II disertai Pleurapneumonia pada Laki-laki Usia 38 Tahun 6.
WHO. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: report of a WHO Expert
Consultation. Geneva: WHO Technical report series; 2001.

Anda mungkin juga menyukai