Disusun oleh :
Kelompok 6
Terapi Farmakologi
1). Penggunaan penghambat ACE untuk terapi gagal jantung didukung oleh
berbagai uji klinik yang mengikutsertakan lebih dari 100.000 pasien. Penghambat
ACE terbukti dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas pada semua pasien
gagal jantung sistolik. Penghambat ACE menghambat konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang
juga merangsang sekresi aldosterone.
Table 1. Dosis obat ACE-inhibitor untuk pengobatan gagal jantung (ESC
(2012) dalam PERKI,2015)
2). Penggunaan Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung
akut yang selalu disertai dengan kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai
kongesti paru atau edema perifer. Penggunaan diuretik dapat menghilangkan
sesak napas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Diuretik
mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel,
alir balik vena, dan tekanan pengisian vertikel. Dengan demikian, edema perifer
dan kongesti paru akan berkurang/hilang. Diuretik tiazid merupakan diuretik
lemah dan tidak pernah diberikan sendiri pada pengobatan gagal jantung, tetapi
jika dikombinasi dengan diuretik kuat menunjukkan efek sinergistik. Jika laju
filtrasi glomerulus
Table 2. Dosis Diuretik untuk pengobatan gagal jantung
3). Penggunaan β-bloker untuk terapi gagal jantung bekerja mengeblok atau
menghentikan rangsangan pada reseptor β pada tubuh dan Penggunaan β-bloker
untuk terapi gagal jantung kronik membuktikan bahwa β-bloker memperbaiki
gejala-gejala, mengurangi hospitalisasi, dan mortalitas pada pasien gagal jantung
ringan dan sedang.
Table 3. Dosis obat beta blocker untuk pengobatan gagal jantung (ESC (2012) dalam PERKI
2015.
Obat Dosis Awal (mg) Dosis Target (mg)
Bisoprolol 1,25 (1x sehari) 10 (1x sehari
Carvedilol 3,125 (2x sehari) 25 – 50 (2x sehari)
Metoprolo 12,5/25 (1x sehari) 200 (1x sehari)
4). Antagonis Aldosteron Pada pasien gagal jantung, kadar plasma aldosteron
meningkat karena aktivasi sistem renin angiotensin-aldosteron. Aldosteron
menyebabkan retensi Na dan air serta ekskresi K dan Mg. Retensi Na dan air
menyebabkan edema dan meningkatan preload jantung. Aldosteron memacu
remodeling dan disfungsi ventrikel melalui peningkatan preload dan efek
langsung yang menyebabkan fibrosis miokard dan proliferensi fibroblas. Karena
itu antagonisasi efek aldosteron akan mengurangi progresi remodelling jantung
sehingga dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat gagal jantung
5). Penggunaan Vasodilator dapatmenyebabkan dilatasi pembuluh darah. Obat
golongan ini diberikan jika terjadi penyempitam pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai darah dan O² ke berbagai organ berkurang. Vasodilator
berguna untuk mengatasi preload dan afterload yang berlebihan.
6). Pemberian Digoksin Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrialdapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain
(seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik,
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi
gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup.
7) Penggunaan Nitrat pada penyakit cardiovascular digunakan atau diberikan
untuk memberikan efek dilatasi pada vena yang mengakibatkan berkurangnya
preload dan volume akhir diastolic ventrike lkiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
coroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis. (PERKI, 2015)
a. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut
dari episode angina.
b. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaliknya mendaptakan nitrat sublingual setiap 5 menit sampai
maksimal 3x pemberian, setelah itu harus di pertimbangkan penggunaan
nitrat intravena jika tidak ada kontraindikasi.
c. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung
atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/STEMI. Keputusan
menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang
terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat atau ACE-I
d. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik<90
mmHg atau >30mmHG dibawah nilai awal.,bradikardia berat (<50 kali
permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel
kanan.
e. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi
inhibitor fosfodieterase. Sildenafil dalam 24 jam, dalafildalama 48 jam.
Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum
dapat di tentukan. (PERKI, 2015)
9). Penggunaan Statin. Tanpa melihat nilai awal kolestrol LDL dan tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor statin
harusdiberikanpadasemuapasien UAP/NSTEMI, termasuk yang telah menjalani
terapi revasklurisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi
hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi
untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL. Menurunkan kadar koletrol
LDL sampai <70mg/dL mungkin dicapai. (PERKI, 2015).
10) Antipletelet
a. Pemberian aspirin diberikan kepada semua pasien tanpa kontraindikasi
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg
setiap harinya untuk jangka, tanpa memandang strategi pengobatan yang
diberikan.
b. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada kontraindikasi
seperti resiko pendarahan berlebih.
c. Ticagleor direkomendasikan untuk semua pasien dengan resiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan
dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg 2x sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan
pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel
kemudian di hentikan).
d. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogreladalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiaphari.
e. Pemberian dosis clopidogrel 600 mg mg (atau dosis loading 300 mg di
ikuti dosis tambahan 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari).
f. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)
perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan
IKP tanpa pendarahan yang meningkat.
g. Tidak disarankan pemberian aspirin bersama NSAID (penghambat COX-
2 selektif dan NSAID non selektif). (PERKI, 2015)
11) Antikoagulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet
secara cepat.
a. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan antiplatelet.
b. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko pendarahan dan
iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
c. Fondaparinux secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding
resiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari
secara subkutan.
d. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,
penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk
mereka yang mendapatkan penghambatan reseptor GP IIB/IIIa) perlu
diberikan saat IKP.
e. Enoksaparin (1 mg/kg 2x sehari) disarankan untuk pasien dengan resiko
pendarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
f. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah( LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) didindikasikan apabila fondaparinuks atau
enoksaparin tidak tersedia. (PERKI, 2015)
12) Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan
a. Penggunaan warfarin bersamadengan aspirin dan atau clopidogrel
meningkatkan resiko pendarahan oleh karena itu di pantau secara ketat.
b. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat
indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin
dan dipilih target INR terendah yang masih efektif.
c. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama
pada penderita tua atau yang risiko pendarahan tinggi, target INR 2-2,5
lebih terpilih. (PERKI, 2015).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada terapi yang didapat pasien diatas, obat yang sesuai dengan PPK CHF
yaitu infus RL 10 tpm, O2 NK 4 lpm, injeksi furosemid 3x1 ampul, dan ISDN 3x5
mg diberikan secara sublingual. Infus RL diberikan untuk memenuhi kebutuhan
pasien pada saat di rawat inap dengan pemberian IVFD sebanyak 8-12 tpm.
Pemberian infus RL ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Oleh Pada
dasarnya penyesuaian cairan ini diperlukan karena hiperkloremia dapat
menyebabkan penurunan bikarbonat sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
asam-basa atau asidosis metabolik. Apabila keadaan ini terjadi terus-menerus
dapat memengaruhi sistem syaraf pusat dan dapat menyebabkan koma (Price,
S.A., Wilson, L.M., 2005). Dengan lama penggunaan pemberian Infus RL selama
masa rawat inap dapat diberikan selama 5 hari.
Pemberian Oksigen 4 lpm sudah sesuai dengan Clinical Pathway RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo, dimana pemberian oksigen bertujuan untuk
mengurangi sesak nafas yang dialami oleh pasien. Sehingga perlu diberikan
bantuan oksigen sebanyak 4 lpm. Menurut PERKI 2018 menjelaskan bahwa
Terapi oksigen diberikan apabila terdapat 3 hal yaitu :
a) Diberikan Oksigen atau O2 nasal 2-4 L/menit, disesuaikan dengan hasil
pulseoxymetry. Bila diperlukan, O2 dapat diberikan dengan masker non-
rebreathing atau rebreathing bila tidak membaik dalam waktu ½ jam.
b) Bila saturasi oksigen tetap rendah dengan mask atau ada di stress pernafasan,
digunakan CPAP.
c) Bila distress pernafasan tidak membaik dan atau tidak toleran dengan CPAP
dilakukan intubasi.
2. Kasus 2
Nama Pasien : Tn. NH
Diagnosis : CHF (Congestive Heart Failure)
Terapi :
Infus NaCl 0,9% 10 tpm
O2 NK 3 tpm
Injeksi Furosemid 2x1 ampul
Valsartan 1x160mg
HCT 1x25mg
Bisoprolol 1x2,5mg
Pada terapi yang didapat pasien diatas, obat yang sesuai dengan PPK CHF
yaitu infus NaCl 0,9% 10 tpm, O2 NK 3 tpm, injeksi furosemid 2x1 ampul,
valsartan 1x160mg, dan bisoprolol 1x2,5 mg . Infus NaCl diberikan untuk
memenuhi kebutuhan pasien pada saat di rawat inap dengan pemberian IVFD
sebanyak 8-12 tpm. dengan lama penggunaan infus NaCl 0,9% selama masa rawat
inap dapat diberikan selama 5 hari.
Pemberian Oksigen 3 lpm pada pasien sudah sesuai dengan Clinical
Pathway untuk penyakit CHF di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, dimana
pemberian oksigen bertujuan untuk mengurangi sesak nafas yang dialami oleh
pasien. Lama pemberian oksigen adalah selama 3 hari pada masa perawatan atau
masa rawat inap di rumah sakit dengan melihat hasil pulseoxymetry. Apabila hasil
frekuensi nafas sudah mencapai frekuensi 12-20 nafas/menit atau apabila gejala
sesak napas sudah berkurang, maka pemberian oksigen dapat di hentikan (PERKI,
2018).
Pemberian injeksi Furosemid 2x1 ampul pada pasien CHF sudah sesuai
dengan clinical pathway di rumah sakit margono. Injeksi furosemid dapat
diberikan dengan dosis awal 40-60 mg dan dosis rumatan 20-240mg/hari selama 5
hari pada masa perawatan. Penggunaan injeksi furosemid berfungsi untuk
menurangi udem pada pasien gagal jantung. Furosemid memiliki mekanisme kerja
menghalangi penyerapan natrium di sel-sel tubulus ginjal dan meningkatkan
jumlah ekskresi urin oleh tubuh. Menurut Drug Information Handbook 22nd
edition, dosis furosemid secara intravena 20-40 mg/dosis per hari. Diberikan
selama 5 hari pada masa perawatan pasien.
Pemberian valsartan 1x160mg pada pasien sudah sesuai dengan Clinical
Pathway untuk pasien CHF, dimana valsartan berfungsi sebagai terapi pengganti
ACE-I pada pasien gagal jantung degan fraksi ejeksi rendah yang masih
simptomatik untuk menurunkan resiko rawat ulang (hospitalisasi) akibat gagal
jantung dan kematian dini. Dosis valsartan yang dapat diberikan adalah 2x40-
160mg/hari (PERKI 2020).
Pemberian hidrolortiazid 1x25mg pada pasien tidak terdapat pada Clinical
Pathway untuk pasien CHF RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, akan tetapi
menurut Figueroa dan Peters (2006), penggunaan diuretik tiazid seperti
hidroklorotiazid untuk pasien gagal jantung kongestif bertujuan untuk
meringankan ejala dyspnea serta mengurnagi retensi air dan garam. Dosis
hidroklorotiazid yang dapat digunakan yaitu 1-2x25-100mg/hari dengan dosis
maksimum 200mg/hari, mekanisme kerja HCT yaitu dengan menghambat
reabsorbsi sodium pada tubulus distal sehingga menyebabkan peningkatan
ekskresi sodium dan air serta potassium dan ion hidrogen (DIH edisi 17).
Pemberian bisoprolol 1x2,5mg pada pasien sudah sesuai dengan Clinical
Pathway untuk pasien CHF, dimana beta bloker direkomendasikan untuk pasien
gagal jantung kongestif yang masih stabil untuk mengurangi fraksi ejeksi jantung
kiri tanpa kontraindikasi atau riwayat intoleran terhadap beta bloker dengan
mekanisme kerja penghambatan adrenoreseptor beta di jantung, pembuluh darah
perifer sehingga efek vasodilatasi tercapai. Dosis bisoprolol yang dapat diberikan
yaitu 1x1,25-5mg/hari (DIH edisi 17).
3. Kasus 3
Nama Pasien : Tn. W
Diagnosis : STEMI anterior, dislipidemia
Terapi :
Asering 10 tpm
O2 4 tpm
Furosemid 20mg
Miniaspi 1x80mg
CPG 1x75mg
Atorvastatin 1x40mg
Bisoprolol 1x2,5mg
Captopril 3x12,5mg
Laxadin syr 3x1
Pada terapi yang didapat pasien diatas, obat yang sesuai dengan PPK CHF
yaitu O2 NK 4 lpm, miniaspi 1x80 mg, CPG 1x75 mg, atorvastatin 1x40 mg,
bisoprolol 1x2,5 mg, dan laxadin syrup 3x1. Pemberian Oksigen 4 lpm pada
pasien sudah sesuai dengan Clinical Pathway untuk pasien STEMI di RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo, dimana pemberian oksigen bertujuan untuk mengurangi
sesak nafas yang dialami oleh pasien. Lama pemberian oksigen adalah selama 3
hari pada masa perawatan atau masa rawat inap di rumah sakit dengan melihat
hasil pulseoxymetry. Apabila hasil frekuensi nafas sudah mencapai frekuensi 12-
20 nafas/menit atau apabila gejala sesak napas sudah berkurang, maka pemberian
oksigen dapat di hentikan (PERKI, 2018).
Pemberian miniaspi dengan dosis 1x80 mg selama 7 hari pada pasien
sudah sesuai dengan Clinical Pathway untuk pasien STEMI di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo, dimana dosis yang dapat diberikan adalah 1x80 mg/hari.
Menurut PERKI 2020, lloading aspirin yang dapat diberikan adalah 150-300 mg
dan dosisi pemeliharaan 75-100mg setiap harinya untuk jangka waktu panjang,
tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan. Pemberian aspirin pada
pasien STEMI dilakukan untuk mencegah thrombus mural (PERKI 2020).
Pemberian Clopidogrel 1x75 mg pada pasien STEMI sudah sesuai dengan
Clinical Pathway di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, dengan dosis pemberian
untuk 75mg/hari, hal ini sudah sesuai dengan rekomendasi AHA 2016 untuk
pasien STEMI dimana kombinasi aspirin dan klopidogrel berdasarkan analisisi
post hoc terbukti menurunkan angka kematian kardiovaskular atau kejadian stroke
(AHA 2016). Terapi clopidogrel untuk pasien STEMI dapat diberikan selama 7
hari.
Pemberian atorvasatin 1x40 mg sudah sesuai dengan Clinical Pathway
untuk STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan rentang dosis 1x20-
40mg/hari. Atorvastatin diberikan pada pasien STEMI untuk menurunkan kadar
kolesterol pasien sehingga tidak terjadi sintesis kolesterol melalui mekanisme
penghambatan secara kompetitif koenzim 3-hidroksi-3-metilglutaril (HMG CoA)
reduktase, yang berperasn pada sintesis kolesterol. Statin dosisi tinggi
direkomendasikan pada pasien sejak awal tanpa melihat kadar kolesterol awal
pasien dengan tujuan untuk menurunkan kolesterol LDL<70 mg/dL (PERKI
2020).
Pemberian bisoprolol 1x2,5 mg pada pasien sudah sesuai dengan Clinical
Pathway untuk pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, bisoprolol
digunakan karena beta bloker selektif terhadap beta-1 yang mengakibatkan
turunnya konsumsi oksigen miokardium. Beta bloker dapat diberika pada pasein
dengan hipertensi dan/atau takikardi selama tidak terdapat kontra, hendaknya
diberikan dalam 24 jam pertama (PERKI 2015). Dosis bisoprolol yang dapat
diberikan yaitu 1x1,25-5mg/hari (DIH edisi 17).
Pemberian captopril 3x12,5mg belum sesuai dengan Clinical Pathway
untuk pasien STEMI RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Dosis captopril yang
dapat digunakan menurut Clinical Pathway di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
adalah 3x6,25 mg, sedangkan dosis yang diterima pasien adalah 3x 12,5 mg,
sehingga diketahui terdapat ketidaksesuaian terapi yang didapat pasien dengan
Clinical Pathway pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Pemberian ACE Inhibitor berguna dalam mengurangi remodeling dan
menurunkan angka kematian penderita pasca infark-miokard yang disertai
gangguian fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Dosis
captopril yang dapat diberika yaitu 2-3x6,25-50mg/hari (PERKI 2015).
Pemberian laxadin syrup sudah sesuai dengan Clinical Pathway untuk
pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, dimana pemberian pencahar
berfungsi untuk melancarkan BAB pasien sehngga pasien tidak perlu mengejan
yang dapat memperberat kerja jantung.
Pemberian infus asering untuk pasien tidak sesuai dengan Clinical
Pathway untuk pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, dimana
pemberian elektrolit yang direkomendasikan adalah NaCl 0,9% atau RL atau D5%
10-15 tpm. Elektrolit diberikan untuk memenuhi kebutuhan elektrolit pasien pada
saat di rawat inap dengan pemberian IVFD sebanyak 10-15 tpm. dengan lama
penggunaan infus asering selama masa rawat inap dapat diberikan selama 5 hari.
Pemberian injeksi Furosemid 20 mg pada pasien tidak sesuai dengan
Clinical Pathway pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, dimana
tidak terdapat rekomendasi terapi furosemid pada Clinical Pathway RS, sehingga
diketahui terdapat ketidaksesuaian terapi yang didapat pasien dengan Clinical
Pathway pasien STEMI di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
4. Kasus 4
Nama pasien: IS
Diagnose : CTEPH, DUT, RHF
Terapi:
InjNacl 0.9% 1000 CC
Inj furosemide drip 10mg/jam
Inj UFH 4000 unit IV Drip 800 unit/jam
HCT 1x 25mg
Sildenafil 3x 20mg
Dorner 2x 1tab
BAB IV
KESIMPULAN
4. Kesimpulan
Kepatuhan peresepan merupakan salah satu standar pelayanan minimal
pelayanan kefarmasian. Berdasarkan tatalaksana Clinical Pathway RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo, kepatuhan peresepan terapi untuk pasien jantung di RS
Prof. Dr. Margono Soekarjo belum 100%, dimana terdapat beberapa peresepan
yang tidak ada dalam Clinical Pathway RS. Maka dapat disimpulkan bahwa
tingkat kepatuhan peresepan untuk pasien jantung di RS Prof. Dr. Margono
Soekarjo tidak 100% sesuai dengan Clinical Pathway R.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarif, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Gaya Baru: Jakarta.
American Heart Association (AHA). Guideline for the management of heart
failure: A report of the american college of cardiology
foundation/american heart association task force on practice guideline.
Dallas: AHA-Circulation.
Guyon AC, Hall JE. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
JNC-VIII. (2014). The Eight Report of the Joint National Committee.
Hypertension Guidelines: An In-Depth Guide. Am J Manag Care
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.(2015). Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung.PERKI.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.(2016). Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut.PERKI.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.(2018). Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut.PERKI.
Karundeng, J.T., Prabowo, W.C., Ramadhan, A.M., 2018. Pola Pengobatan pada
Pasien Congestive Heart Failure (CHF) Di Instalasi Rawat Inap RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Kota Samarinda.Proceeding Mulawarman Pharm.
Conf. 8, 229–235. https://doi.org/10.25026/mpc.v8i1.328
Krisnadewi, A. K., Subagio, P. B., & Wiratmo, W. (2014). Evaluasi Standar
Pelayanan Minimal Instalasi Farmasi RSUD Waluyo Jati Kraksaan
Sebelum dan Sesudah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan. E- Jurnal Pustaka Kesehatan, 2(2), 192–198.
Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian Farmaka Tropis,
Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Ramadhan, A.M., Ibrahim,
A., Utami, A.I., 2015.Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada
Pasien Hipertensi Rawat Jalan di Puskesmas Sempaja Samarinda. J. Sains
Dan Kesehat. 1, 82–89. https://doi.org/10.25026/jsk.v1i2.21
Pangestu, M.D., Nusadewiarti, A., n.d. Penatalaksanaan Holistik Penyakit
Congestive Heart Failure pada Wanita Lanjut Usia Melalui Pendekatan
Kedokteran Keluarga 11.
Pratiwi, W. R., Kautsar, A. P., & Gozali, D. (2017). Hubungan Kesesuaian
Penulisan Resep dengan Formularium Nasional Terhadap Mutu Pelayanan
pada Pasien Jaminan Kesehatan Nasional di Rumah Sakit Umum di
Bandung. Pharmaceutical Sciences and Research.
Sari, P.D., Yonata, A., Swadharma, B., n.d. Penatalaksanaan Gagal Jantung
NYHA II disertai Pleurapneumonia pada Laki-laki Usia 38 Tahun 6.
WHO. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: report of a WHO Expert
Consultation. Geneva: WHO Technical report series; 2001.