Di Susun Oleh :
KELOMPOK 2
UNGARAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. ACE Inhibitor
Penghambat ACE merupakan terapi lini pertama untuk fungsi dengan fungsi
sistolik ventrikel kiri yang menurun, yakni dengan fraksi ejeksi di bawah normal (< 40-
45%), dengan atau tanpa gejala. Pada pasien tanpa gejala, obat ini diberikan untuk
menunda atau mencegah terjadinya gagal jantung, dan juga untuk mengurangi resiko
infark miokard dan kematian mendadak. Pada pasien dengan gejala gagal jantung tanpa
retensi cairan. Penghambat ACE harus diberikan sebagai terapi awal, pada pasien dengan
retensi cairan, obat ini harus diberikan bersama diuretik. Penghambat ACE harus dimulai
setelah fase akut infark miokard, meskipun gejalanya transien untuk mengurangi
moralitas dan infark ulang serta hospitalisasi karena gagal jantung. Pada pasien gagal
jatung sedang dan berat dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri, penghambat ACE
mengurangi moralitas dan gejala-gejala gagal jantung. Meningkatkan kapasitas
fungsional, dan mengurangi hospitalisasi.
2. Diuretik
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah
diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume
urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut
dalam air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel
menjadi normal.
Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam glomeruli (gumpalan
kapiler) yang terletak di bagian luar ginjal (cortex). Dinding glomeruli inilah yang
bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air,m garam dan glukosa.
Ultrafiltrat yang diperoleh dari filtrasi dan mengandung banyak air serta elektrolit
ditampung di wadah, yang mengelilingi setiap glomerulus seperti corong (kapsul
Bowman) dan kemudian disalurkan ke pipa kecil. Di sini terjadi penarikan kembali
secara aktif dari air dan komponen yang sangat penting bagi tubuh, seperti glukosa dan
garam-garam antara lain ion Na+. Zat-zat ini dikembalikan pada darah melalui kapiler
yang mengelilingi tubuli.sisanya yang tak berguna seperti sampah perombakan
metabolisme-protein (ureum) untuk sebagian besar tidak diserap kembali. Akhirnya filtrat
dari semua tubuli ditampung di suatu saluran pengumpul (ductus coligens), di mana
terutama berlangsung penyerapan air kembali. Filtrat akhir disalurkan ke kandung kemih
dan ditimbun sebagai urin.
3. Interaksi Obat
Interaksi obat dengan obat merupakan kejadian interaksi obat yang dapat
terjadi bila penggunaan bersama dua macam obat atau lebih (Katzung, 2007).
Pemberian obat antihipertensi lebih dari satu dapat menimbulkan interaksi obat
(Fitriani, 2007). Interaksi obat merupakan Drug Related Problem (DRP) yang dapat
mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan. Hasilnya berupa peningkatan atau
penurunan efek yang dapat mempengaruhi outcome terapi pasien (Kurniawan, 2009).
BAB II
PEMBAHASAN
A. ACE INHIBITOR
Obat dalam golongan ini menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE) yang
nantinya akan menghambat pembentukan angiotensin II (vasokonstriktor) dan menghambat
pelepasan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan ekskresi kalium. Jika
aldosteron dihambat, natrium diekskresikan bersama-sama dengan air. Katopril, enalapril dan
lisinopril adalah ketiga antagonis angiotensin.
a. Penggunaan
ACE Inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang maupun berat. Bahkan
beberapa diantarnya dapat digunkaan pada krisis hipertensi seperti kaptopril dan
enalaprilat . Obat ini efektif pada sekitar 70 % pasien. Kombinasi dengan -blocker
memberikan efek aditif. Kombinasi dengan vasodilator lain, termasuk prazosin dan
antagonis kalsium, memberi efek yang baik. Tetapi pemberian bersama penghambat
edrenergik lain yang menghambat respons adrenergik dan (misalnya klonidin,
metildopa, labetalol, atau kombinasi dengan blocker sebaiknya dihindari karena dapat
menimbulkan hipotensi berat dan berkepanjangan
ACE-Inhibitor terpilih untuk hipertensi dengan gagal jantung kongestif. Obat ini
juga menujukkan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin
sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia dan obesitas. Obat ini
juga sering digunakan untuk mengurangi proteiunuria pada sindrom nefrotik dan nefropat
DM. Selain itu ACE-inhibitor juga sangat baik untuk hipertensi dengan hipertrofi
ventrikel kiri, penyakit jantung koroner dan lain-lain.
b. Farmakokinetik
Kaptopril diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral dan bioavailabilitas 70-
75%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorpsi sekitar 30 %, oleh karena
itu obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Sebagian besar ACE-inhibitor
mengalami metabolisme di hati, kecuali lisinopril yang tidak dimetabolisme. Eliminasi
umumnya melalui ginjal, keculai fosinopril yang mengalami eliminasi di ginjal dan bilier.
c. Efek samping
Pada awal pemberian dapat menimbulkan hipotensi. Batuk kering merupakaan
efek samping yang paling sering terjadi dengan insiden 5-20%, lebih sering pada wanita
dan lebih sering terjadi pada malam hari, diduga efek samping ini ada kaitannya dengan
peningkatan kadar bradikinin dan substansi P, dan / atau prostaglandin. Efek samping ini
bergantung pada besarnya dosis dan bersifat reversibel bila obat dihentikan. Dapat
menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau pada pasien
yang juga mendapati diuretic hemat kalsium, AINS, suplemen kalium atau -blocker.
d. Perhatian dan Kontraindikasi
ACE Inhibitor dikontraindikasikan pada wanita hamil karena bersifat teratogenik.
Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi karena ACE inhibitor diekskresi
melalui ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal bayi.Pemberian bersama diuretic
hemat kalium dapat menimulkan hiperkalemia. Pemberian bersama antasida akan
mengurangi absorpsi, sedangkan kombinasi dengan AINS akan mengurangi efek
antihipertensinya dan menambah resiko hiperkalemia.
B. DIURETIKA
Diuretika dan atau penyekat sering diberikan sebagai terapi hipertensi baris
pertama. Terapi diuretika dosis rendah aman dan efektif untuk menghindari stroke, infark
miokard, gagal jantung kongestif dan mortalitas. Diuretika menghasilkan peningkatan aliran
urin (diuresis) dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air di tubulus ginjal,sehingga
meningkatkan pelepasan air dan garam natrium, hal ini menyebabkan penurunan volume
cairan dan merendahkan tekanan darah. Enam kategori diuretik yang efektif untuk
menghilangkan air dan natrium adalah:
a. Diuretika tiazid dan seperti tiazid
1) Farmakokinetik
Diabsorpsi dengan baik dalam gastrointestinal. Hidroklorotiazid memiliki
kakuatan ikat protein yang lebih lemah dibandingkan dengan furosemid. Waktu paruh
tiazid lebih panjang dibandingkan diuretik loop. Untuk alasan ini, tiazid harus
diberikan pada pagi hari untuk menghindari nokturia (berkemiih di malam hari).
2) Farmakodinamik
Tiazid bekerja langsung pada arteriol, menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat
menurunkan tekanan darah. Awal kerja dari hidrotiazid timbul dalam waktu 2 jam.
Konsentrasi puncak berbeda-beda. Tiazid terbagi dalam 3 kelompok sesuai dengan
lama kerjanya, tiazid kerja pendek (klorotiazid, hidroklorotiazid) memiliki kerja
kurang dari 12 jam, tiazid kerja menengah (bendroflumetiazid, benztiazid, sikotiazid)
lama kerjanya antara 12-24 jam dan yang bekerja lama (metiltiazid, politiazid,
triklormetiazid) memiliki kerja lebih dari 24 jam.
3) Efek Samping dan Reaksi yang merugikan
Ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hipokalsemia, hipomagnesia dan
kehilangan bikarbonat), hiperglisemia, hiperuresemia, dan hiperlipidemia. Tiazid
mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan biasa terjadi hiperglikemia terutama
pada klien yang memiliki kadar gula darah tinggi atau di atas batas normal.
4) Kontraindikasi
Tiazid menjadi kontraindikasi untuk dipakai pada penderita gagal ginjal.
5) Interaksi Obat
Penggunaan dengan digoksin akan menimbulkan efek yang serius, tiazid dapat
menyebabkan hipokalemia yang menguatkan kerja digoksin dan dapat terjadi
keracunan digitalis.
Interaksi obat ACE inhibitor dan diuretic pada obat antihipertensi yang paling
banyak terjadi adalah kombinasi kaptopril dan furosemid. Penggunaan kombinasi
kaptopril dan furosemid dapat menyebabkan interaksi farmakodinamik dimana efek
hipotensi meningkat (Fitriani, 2007; Rahmiati dan Supadmi, 2012), mengurangi efek
dari furosemid, dan meningkatkan resiko hiperkalemia berat (Rahmiati dan Supadmi,
2012).
D. KASUS PENELITIAN
1. Studi Retrospektif Interaksi Obat Potensial Antara Angiotensin Menghubungkan
Inhibitor Enzyme Atau Antimonist Receptor Angiotensin Dan Obat Lainnya Pasien
Kesehatan Renal Kristen Akhir
Sebuah analisis dilakukan oleh NHANES III (Kesehatan dan Gizi Nasional Survei
Pemeriksaan) menunjukkan bahwa prevalensi CRF adalah meningkat seiring
bertambahnya usia, ras kulit hitam, jenis kelamin laki - laki, dan hipertensi. 10 Tabel 1
juga menunjukkan bahwa rata-rata tinggal di rumah sakit 3-10 hari, dan diagnosis utama
adalah ginjal kronis penyakit (72,72%), gastropati uremik (4,54%), hipertensi penyakit
jantung (4,54%), ensefalopati uremik, hematuria, diabetes melitus nefropati, diabetes
mellitus, pulmonary edema, dan stoke (2,27%, masing-masing). Data obat yang
berpotensi berinteraksi diberikan kepada pasien disajikan pada Tabel.
Data interaksi obat potensial dari ace inhibitor
ACE Inhibitor Obat lain Tingkat Keparahan Efek
Kaptopril Batuk, penurunan fungsi ginjal
Kaptopril Spironolakton Mayor - Kemungkinan Hiperkalemia
Kaptopril Aspirin Sedang kemungkinan Hipotensi, Pengurangan efek
videodilator kaptopril (Fakta
Interaksi Obat)
Kaptopril Allupurinol Mayor kemungiknan Meningkatkan risiko reaksi
hipersensitif (Fakta Interaksi
Obat)
Kaptopril KSR Sedang kemungkinan Hiperkalemia (Fakta Interaksi
Obat)
Kaptopril Furosemid Minor di duga Hipotensi akut, Mengurangi
efek furosemid (Fakta
Interaksi Obat)
Lisinopril Furosemid Sedang Hipotensi akut
Valsartan Asam Sedang - kemungkinan Pengurangan efek vasodilator
Mefenamat captopril (Fakta Interaksi
Obat)
Pada tabel menunjukkan bahwa di 44 tahap akhir Pasien CRF yang dirawat dan
menjalani rutinitas hemodialisis di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta,
interaksi obat ditemukan pada 4 pasien (9,09%). Interaksi obat terjadi pada pasien yang
menerima captoril atau Valsartan dikombinasikan dengan Spironolakton atau KSR. Data
pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata serum kalium adalah 6,1 mEq / L di atas
normal serum kalium 3,5 - 5,3 mEq / L (data laboratorium disajikan pada Tabel 3).
Reardon dan Macpherson (1998) mengemukakan bahwa prevalensi hiperkalemia selama
periode dua tahun adalah 11%. Meskipun demikian, sebuah penelitian sebelumnya
menemukan bahwa sekitar 20,5% dari Pasien hiperkalemik memiliki interaksi obat
potensial.A Studi yang dilakukan oleh Egger dkk (2003) melaporkan bahwa karena
adanya gabungan efek ACE Inhibitor dan kalium-efektif Diuretik, prevalensi
hiperkalemia adalah 5,2%, sementara penelitian tersebut menemukan prevalensi 9,09%.
14 Tiga (6,8%) dari 44 pasien CRF tahap akhir mengalami interaksi obat, yaitu,
pengurangan efek anti-hipertensi. Interaksi obat terjadi antara ACE Inhibitor dan AINS.
Hansten dan Horn (2001) mengemukakan bahwa kombinasi penggunaan aspirin dan
ACE Inhibitor menyebabkan penurunan efek Inhibitor ACE pada ginjal kegagalan
pasien, namun interaksi lebih lemah dengan dosis rendah aspirin. Efek penghambatan
aspirin bergantung pada dosis. Studi tersebut menemukan bahwa 19 dari 44 pasien
menerima aspirin dikombinasikan dengan ACE Inhibitor atau AIIRA, namun
pengurangan Efek anti-hipertensi tidak signifikan pada pasien. Karena dosis aspirin yang
banyak digunakan untuk pasien adalah 80 mg / hari Empat puluh persen pasien menerima
furosemid dikombinasikan dengan ACE Inhibitor atau AIIRA. Efek samping biasanya
terjadi pada penggunaan ACE awal Inhibitor atau AIIRA dikombinasikan dengan
diuretik, sedangkan penelitian menggunakan data akhir pasien. Lima (11,36%) dari 44
Pasien mengalami penurunan fungsi ginjal karena terapi denganACE Inhibitor atau
AIIRA.
Interaksi ACE inhibitor dan diuretik : Penelitian menunjukkan bahwa tidak semua
pasien yang menerima Gabungan kaptopril dan spironolakton memiliki interaksi.
2. Penelitian jurnal Kajian Drug Relation Problem (Drps) Kategori Interaksi Obat,
Over Dosis Dan Dosis Subterapi Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di Rsup
Universitas Hasanuddin
a. Kasus
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 25 pasien gagal jantung kongestif
(GJK) yang dirawat inap selama enam bulan mulai dari bulan Januari hingga Juni
2015 di RS Universitas Hasanuddin. Karakteristik pasien yang dilihat pada penelitian
ini meliputi usia serta jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien
yang mengalami penyakit GJK dari karakteristik usia yang diklasifikasikan
berdasarkan pembagian usia dewasa menurut Departemen Kesehatan yaitu usia
rentang 26-35 tahun terdapat 8% pasien, usia rentang 46-55 tahun terdapat 20%
pasien, usia rentang 56-65 tahun terdapat 24% pasien, dan usia >65 tahun terdapat
48% pasien. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit GJK beresiko seiring peningkatan
usia.
Algoritma terapi GJK menurut American College of Cardiology/American Heart
94 Association (ACC/AHA) Practice Guidelines 2013 terdiri dari 4 stage yaitu stage
A, B, C, dan D. Pasien stage A belum mengalami gagal jantung dan tidak
memiliki penyakit jantung struktural, namun beresiko tinggi mengalami gagal
jantung misalnya pasien dengan hipertensi, aterosklerosis, sindrom metabolik,
diabetes, obesitas, atau pasien dengan kardiotoksin dan riwayat kardiomiopati
dimana sasaran terapi yang ditempuh misalnya dengan mengatasi hipertensi,
menghentikan merokok, mengatasi kerusakan lipid, olahraga teratur, mengurangi
pemasukan alkohol dan kontrol sindrom metabolik. Obat yang dapat diberikan yaitu
ACEi atau ARB. Pasien stage B memiliki penyakit jantung struktural tetapi tanpa
tanda atau gejala gagal jantung misalnya pasien dengan infark miokard terdahulu,
remodeling ventrikel kiri, dan penyakit valvulas asimptomatik dengan sasaran terapi
sesuai stage A dan obat yang dapat diberikan yaitu ACEi atau ARB dan Beta-
bloker. Pasien stage C memiliki penyakit jantung struktural dengan gejala
utama/umum gagal jantung dengan sasaran terapi sesuai stage A dan B, diet
pembatasan garam dan obat rutin diuretik, ACEi dan beta-bloker serta obat untuk
pasien tertentu yaitu antagonis aldosteron, ARBs, digitalis dan hidralazin atau nitrat.
Pasien stage D dimana gagal jantung yang membutuhkan perlakuan khusus. Sasaran
terapi dengan tindakan seperti stage A, B, dan C serta pelayanan khusus. Pada
penelitian ini kejadian Drug Related Problem yang diidentifikasi meliputi kategori
interaksi obat, overdosis dan dosis sub terapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 31 paduan obat yang berinteraksi
diberikan pada waktu bersamaan berdasarkan literatur Drug Interaction Facts dimana
terdapat 7 jumlah interaksi obat yang mengalami level signifikansi 1 (25,80%) dengan
total 20 pasien (20,20%), 5 jumlah interaksi obat yang mengalami level signifikansi
2 (16,12%) dengan total 19 pasien (19,19%), 5 jumlah interaksi obat yang
mengalami signifikansi 3 (16,12%) dengan total 23 pasien (23,23%), 5 jumlah
interaksi obat yang mengalami signifikansi 4 (16,12%) dengan total 19 pasien
(19,19%), dan 9 jumlah interaksi obat yang mengalami signifikansi 5 (25,80%)
dengan total 18 pasien (18,18%). Jadi, paling banyak pasien berada pada level
signifikansi 3 dan jenis interaksi paling banyak berada pada level signifikansi 5 yang
berarti interaksi belum pasti terjadi, tetapi monitoring pasien tetap harus dilakukan.
b. Interaksi obat ACE inhibitor dan diuretic yaitu Kaptopril dan Furosemid
c. Mekanisme interaksi :
Mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Efek hipotensi awal akibat
pemberian ACEI terutama disebabkan oleh penekanan sistem renin-angiotensin-
aldosteron (RAAS). ACEI menghambat pembentukan angiotensin II dan
Antagonis-Receptor-Angiotensin II memblok aksi angiotensin II menyebabkan
rendahnya kadar aldosteron yang diikuti oleh rendahnya Na+ dan air. Furosemid
menyebabkan kehilangan Na+ dan air yang dapat menyebabkan hipotensi.Efek
klinis yang ditimbulkan yaitu hipotensi postural dan faktor predisposisi seperti
gangguan fungsi ginjal dan diabetes melitus.
d. Cara mengatasi :
Diperlukan penetapan dosis ACEI atau penghentian obat pada pasien yang
mengalami hipotensi (Setiawan, 2010).
3. Jurnal The Triple Whammy
Istilah "triple whammy" mengacu pada risiko Cedera ginjal akut saat ACEI atau
ARB dikombinasikan dengan diuretik dan NSAID. Ini Kombinasi bisa dilihat pada
pasien dengan hipertensi, gagal jantung kongestif, atau ginjal Penyakit yang memiliki
arthritis atau lainnya ringan sampai sedang rasa sakit. Meski sebenarnya jumlah pasien
yang menerima kombinasi di Amerika Serikat dan Kanada tidak diketahui, sebuah survei
terhadap pasien menghadiri klinik praktik umum di Australia menemukan bahwa
kombinasi itu ditentukan dalam 4,7% sampai 7,9% pasien. Dua penelitian observasional
telah terlihat khususnya pada hubungan antara penggunaan diuretik, ACEI atau ARB,
dan NSAID pada fungsi ginjal. Yang pertama adalah cross-sectional Studi tentang pasien
dirawat di obat umum bangsal rumah sakit pendidikan di Australia di atas periode tiga
bulan.
Studi kontrol kasus berikutnya menggunakan database besar. Sebuah kohort
pasien yang menerima antihipertensi antara 1 Januari 1997, dan 31 Desember 2008,
dengan data tindak lanjut tersedia sampai 31 Desember 2010, terpilih. Kelompok tanggal
masuk adalah tanggal yang pertama resep antihipertensi. Bagi pasien yang tidak memiliki
setidaknya satu tahun sejarah medis Sebelum tanggal tersebut, tanggal masuk kohort
dipindahkan maju sehingga setidaknya ada satu tahun riwayat kesehatan sebelum tanggal
masuk kohort. Pasien dikecualikan jika mereka memiliki riwayat kanker; ginjal, hati, atau
penyakit jaringan ikat; radang sendi; menghancurkan luka; HIV; atau obat
penyalahgunaan. Termasuk pasien (n = 487.372) adalah diikuti sampai masuk rumah
sakit untuk ginjal akut cedera, terjadinya diagnosis yang tidak termasuk, kematian, atau
31 Desember 2010 Pasien diikuti rata-rata 5,9 tahun. Ada 2215 kasus luka ginjal akut,
atau kejadian 7 / 10.000 orang-tahun.
a) Interaksi obat dan mekanisme:
Sebelumnya konsumsi ACEI atau ARB, NSAID (termasuk aspirin), dan Diuretik
dinilai dan dikorelasikan dengan klirens kreatinin (jika tersedia) atau serum kreatinin
saat masuk rumah sakit. Pasien dengan riwayat penyakit ginjal serius sebelumnya
(misalnya kanker ginjal) dikeluarkan, tapi pasien dengan gagal ginjal yang diketahui
termasuk tapi dianalisis secara terpisah.Tiga ratus satu pasien diidentifikasi Dari
pasien tersebut, 135 (44,9%) adalah tidak menerima salah satu agen, 87 (28,9%)
adalah menerima salah satu obat yang ditargetkan, 60 (19,9%) menerima dua obat
tersebut, dan 19 (6,3%) menerima ketiganya obat-obatan. Wanita pada dua atau tiga
dari target obat-obatan, dan pria di tiga sasaran obat-obatan, memiliki serum yang
secara signifikan lebih tinggi kreatinin dibandingkan dengan pasien yang tidak
memakai obat target. Dosis diuretik yang lebih tinggi adalah terkait dengan kreatinin
serum yang lebih tinggi dan lebih rendah klirens kreatinin. Meningkatnya durasi
Penggunaan diuretik atau penggunaan NSAID dikaitkan dengan kreatinin serum yang
lebih tinggi.
Penggunaan terapi ganda dengan diuretik, ACEI, atau ARB ditambah NSAID tidak
berhubungan dengan akut luka ginjal. Tapi kombinasi triple itu meningkatkan risiko
(rasio tingkat 1,31, 95% CI 1,12 sampai 1.53). Resiko mencapai puncaknya dalam 30
hari pertama gunakan (rasio tingkat 1,82, 95% CI 1,35-2,46). NSAID dengan waktu
paruh 12 jam atau lebih Bagian dari triple therapy cenderung menjadi faktor risiko
baik
b) Cara mengatasi :
Pada orang tua, penting untuk membatasi jumlah obat-obatan dan untuk memasukkan
aspirin dosis rendah.
Berdasarkan data dari Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Umum Daerah
Luwuk, hipertensi essensial atau primer menduduki peringkat kelima tertinggi dari
sepuluh penyakit terbanyak rawat jalan tahun 2015 di RSUD Luwuk dengan jumlah
kasus sebesar 714. Rahmiawati et al., (2006) dalam penelitian tentang kajian
retrospektif interaksi obat di RS pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta melaporkan
bahwa interaksi obat yang terjadi pada pasien rawat jalan sebesar 69% (47 kasus
interaksi obat obat).
Efek interaksi obat yang terjadi pada penggunaan kombinasi obat antihipertensi
dapat mempengaruhi outcome terapi pasien sehingga peneliti terdorong melakukan
penelitian tentang Kajian Potensi Interaksi Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi
Primer di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Luwuk Periode Januari
Maret 2016.
Distribusi Interaksi Obat Antihipertensi dengan obat Antihipertensi lain pada
Pasien Hipertensi Primer di Instalasi Rawat Jalan RSUD Luwuk Periode
Januari Maret 2016 Menurut Mekanisme Berdasarkan Jumlah Kasus
Mekanisme
Obat A Obat B Jumlah kasus Persentase (%)
Interaksi
- - - -
Farmakokinetik
furosemid Ramipril 1 7,1
Amlodipine Telmisartan 12 85,8
Farmakodinamik
Candesartan Spironolakton 1 7,1
Total 14 100
a. Furosemid dan Ramipril
Interaksi yang terjadi antara furosemid dan ramipril yaitu farmakodinamik
sinergis. Kombinasi ramipril (ACE Inhibitor) dan furosemid (Loop Diuretic)
umumnya aman dan efektif, tetapi first dose hypotension (pusing hingga
pingsan) dapat terjadi. Pada semua pasien yang mengkonsumsi diuretik, terapi
dengan inhibitor ACE harus dimulai dengan dosis yang sangat rendah Interaksi
yang menyebabkan first dose hypotension belum sepenuhnya dipahami. Interaksi
antara furosemid dan ramipril juga dapat menyebabkan hipokalemia. Penyebab
hipokalemia akibat dari efek diuretik yang bekerja memperbanyak pengeluaran
kalium dan air (Stockley, 2008).
b. Amlodipin dan Telmisartan
Tidak terjadi interaksi farmakokinetik yang signifikan antara amlodipin dan
telmisartan. Dalam sebuah penelitian pada 12 subjek sehat, diberikan telmisartan
120 mg dan amlodipin 10 mg setiap hari selama 9 hari dan tidak terjadi
interaksi farmakokinetik di antara kedua obat tersebut. Meskipun tidak ada efek
samping yang serius, ringan hingga sedang (paling sering sakit kepala) dapat terjadi
pada kombinasi amlodipin dan telmisartan (Stockley 2008). Littlejohn et al., (2009)
dalam jurnal clinical hypertension mengemukakan bahwa telmisartan 80 mg dan
amlodipin 10 mg merupakan kombinasi yang paling efektif. Pengontrolan tekanan
darah perlu dilakukan untuk menghindari hipotensi. Sehingga interaksi yang
terjadi antara amlodipin dan temisartan yaitu interaksi farmakodinamik sinergis.
c. Candesartan dan Spironolakton
Interaksi antara candesartan dan spironolakton yaitu interaksi
farmakodinamik sinergis dimana terjadi hipotensi. Kombinasi candesartan
(Angiotensin II receptor antagonis) dan spironolakton (Diuretic) memiliki efek
aditif dalam mengendalikan hipertensi. Untuk mengurangi atau menghindari
hipotensi, disarankan untuk mengurangi dosis spironolakton dan/atau menggunakan
dosis awal lebih rendah dari dosis candesartan. Selain hipotensi, ada peningkatan
resiko hiperkalemia jika candesartan (Angiotensin II receptor antagonis) diberikan
dengan spironolakton yang merupakan diuretik hemat kalium. Angiotensin II
receptor antagonis mengurangi kadar aldosteron, yang menghasilkan retensi
kalium. Sehingga menjadi aditif dengan spironolakton yang berefek penahan
kalium. Disarankan untuk monitoring kadar kalium (Stockley, 2008).
KESIMPULAN
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sehingga tekanan sistolik > 140 mmHg dan tekanan
diastolik > 90 mmHg (Kee & Hayes). Obat antihipertensi adalah obat yang digunakan untuk
menurunkan tekanan darah tingggi hingga mencapai tekanan darah normal. Semua obat
antihipertensi bekerja pada satu atau lebih tempat kontrol anatomis dan efek tersebut terjadi
dengan mempengaruhi mekanisme normal regulasi TD. Pengobatan Farmakologis : diuretik,
Antagonis Reseptor- Beta, Antagonis Reseptor-Alfa, Kalsium Antagonis, ACE inhibitor,
Vasodilator. Semua obat antihipertensi menimbulkan efek samping umum, seperti hidung
mampat (akibat Vasodilatasi mukosa) dan mulut kering, bradykardia (kecuali fasodilator
langsung : justru tachycardia), rasa letih dan lesu, gangguan penglihatan, dan lambung-usus
(mual, diare), ada kalanya impotensi (terutama obat-obat sentral).Efek-efek ini seringkali bersifat
sementara yang hilang dalam waktu 1-2 minggu. Dapat dikurangi atau dihindarkan dengan cara
pentakaran menyelinap, artinya dimulai dengan dosis rendah yang berangsur-angsur
dinaikkan.Dengan demikin, penurunan TD mendadak dapat dihindarkan. Begitu pula obat
sebaiknya diminum setelah makan agar kadar obat dalam plasma jangan mendadak mencapai
puncak tinggi (dengan akibat hipotensi kuat).
DAFTAR PUSTAKA