Anda di halaman 1dari 16

LABORATORIUM BIOFARMASI FARMAKOLOGI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LEMBAR KERJA PRAKTIKUM 9

PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT ANTIHIPERTENSI

OLEH :

NAMA : MAULYA FARADINA

STAMBUK : 15020200038

KELAS : C5C6

KELOMPOK : 2 (DUA)

ASISTEN : ANDI RIZKA NURUL AZIZAH, S.Farm.

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang berlebihan pada
arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah.
Hipertensi juga berkaitan dengan kenaikan tekanan diastolik, tekanan sistolik, atau
kedua-duanya secara terus-menerus. Patofisiologi dari hipertensi yaitu tekanan
darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan perifer. Faktor genetik, aktivasi
syaraf simpatis, faktor hemodinamik, metabolism natrium, faktor renin, angiotensin,
dan aldosterone merupakan faktor-faktor yang mempunyai kaitan dengan
peningkatan tekanan darah pada hipertensi (Jan Tambayong, 2019).
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling umum terjadi.
Prevalensi hipertensi meningkat seiring pertambahan penduduk. Berdasarkan hasil
pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke
atas di Indonesia adalah sebesar 31,7%. Pengobatan hipertensi dengan obat
antihipertensi dilakukan dalam jangka waktu yang lama sehingga dapat
menimbulkan efek samping. Selain itu respon masing-masing individu terhadap
obat antihipertensi tertentu tidak dapat diperkirakan. Kebanyakan pasien hipertensi
akan memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan
darah. Berdasarkan hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpatuhan dalam terapi
sehingga target terapi tidak tercapai (Ika Purwidyaningrum, 2021).
Antihipertensi adalah obat yang tunggal yang memiliki efek menurunkan
tekanan darah sistolik. Antihipertensi dapat menyebabkan terjadinya penurunan
kemampuan tubuh dalam melakukan vasokonstriksi. Penurunan ini dapat dikaitkan
dengan adanya kemumngkinan terjadinya penurunan pengisisan jantung atau
cardiac filling. (Mirfaidah Nadjamuddin, dkk, 2019).
Terapi hipertensi terdiri dari lima golongan obat, yaitu: diuretik, penyekat
reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme
(ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin Reseptor Blocker/
ARB), antagonis kalsium. Namun dari kelima golongan obat tersebut yang paling
sering digunakan adalah golongan ACE-inhibitor yaitu captopril. Captopril adalah
obat antihipertensi yang menghambat pembentukkan angiotensin II dari angiotensin
I (Siswandono, 2016).
Golongan diuretik tiazid bekerja merendahkan tekanan darah, di mulai
dengan peningkatan sekresi Na+ dan air. Ini menurunkan volume ekstrasel
menimbulkan pengurangan isi sekuncup jantung dan aliran darah ginjal. Contoh
obatnya yaitu hidroklorotiazid. Sedangkan diuretik loop , bekarja cepat pada pasien
contoh obatnya Furosemid. Menyebabkan penurunan resisitensi vaskuler ginjal.
Meningkatkan isi kadar kalsium urine sedangkan diuretika tiazid menurunkan
konsentrsi kalsium pada urine Golongan penyekat ß-adrenoreseptor, contoh obatnya
yaitu : Atenolol, Labetalol, Metoprolol, Nadolol, Propanolol dan Timolol,
menyebabkan penurunan tekanan darah terutama mengurangi isi sekuncup jantung .
Obat ini menurunkan aliran simpatik dari SSP dan menghambat pelepasan renin
dari ginjal, karena itu mengurangi pembentukan angiotensin II dan sekresi
aldosterone. Golongan inhibitor ACE ,contoh obatnya yaitu Benazepril, Kaptopril,
Enalapril, Fosinopril, Lisinopril, Moeksinipril, Quinapril, Ramipril, menurunkan
tekanan darah dengan mengurangi resistensi vaskuler perifertanpa meningkatkan
curah jantung, kecepatan ataupun kontraktilitas. Obat-obat ini menghambat enzim
pengkonversi angiotensinogen yang mengubah angiotensin I membentuk
vasokontriksi poten angiotensin II. Vasodilatasi terjadi sebagai efek kombinasi
vasokontriksi yang lebih rendah disebabkan oleh berkurangnya angiotensin II dan
vasodilatasi dari peningkatan bradikinin. Golongan Antagonis angiotensin II contoh
obatnya yaitu Losartan, menurunkan tekanan darah dengan memblok reseptor
angiotensin. Obat ini mempunyai sifat yang sama dengan inhibitor ACE yaitu
menimbulkan vasodilatasi dan meningkatkan sekresi aldosterone. Golongan
penyekat kanal kalsium contoh obatnya yaitu Amlodipin, Diltiazem, Felodipin,
Isradipin, Nefedipin, dan Verapamil, menurunkan tekanan darah dengan cara
menghambat masuknya kalsium kedalam sel. Hal ini menurunkan resistensi perifer
dan menyebabkan penurunan tekanan darah. Golongan penyekat α-Adrenergik
menyebabkan penyakatan kompetitif α1-Adrenoreseptor contoh obatnya yaitu
Doksazosin, Praosin, Terasozin. Obat-obat ini menurunkan vaskuler periver dan
menurunkan tekanan darah arterial denga menyebabkan bukan hanya perubahan
yang kecil dari curah jantung, aliran darah ginjal dan kecepatan viltrasi glomerulus
(Mycek, 2013).
Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi hipertensi esensial atau
hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologi
yang jelas. Penyebebnya multifaktorial meliputi faktor genetika danlingkungan.
Dan Hipertensi sekunder meliputi 5-10% kasushipertensi. Termasuk dalam
kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakitginjal (hipertensi renal),
hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obatobatan dan lain-lain. Hipertensi renal
dapat berupa hipertensi renovaskuler, misalnya pada stenosis arteri renalisvakulitis
internal (Gunawan, 2007)
Peningkatan tekanan darah berkaitan erat dengan penurunan usia harapan
hidup seseorang dan peningkatan risiko penyakit jantung koroner, stroke, serta
penyakit organ target lainnya. Meningkatnya penyakit kardiovaskuler setiap tahun
menjadi masalah utama di negara berkembang dan negara maju. Hipertensi
merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan
penting di seluruh dunia dan juga menjadi faktor risiko ketiga terbesar penyebab
kematian dini. Sampai sekarang, hipertensi masih merupakan tantangan besar di
Indonesia dan sering ditemukan pada pelayanan kesehatan. Hal itu merupakan
masalah kesehatan dengan pravelensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%. Di samping
itu, pengontrolan hipertensi belum maksimal meskipun obat-obatan yang efektif
banyak tersedia (Siswandono, 2016).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin converting enzyme (ACE). ACE memegang
peranan penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormone rennin yang
diproduksi di ginjal akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di
paru-paru akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang
memegang peranan penting dalam menaikkan tekanan darah. melalui dua aksi
utama (Gede Doddy Tisna MS, 2013).
Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat pemeriksaan fisik
karenaalasan penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai “silent killer”.
Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti
jantung, otak ataupun ginjal. Gejala-gejala akibat hipertensi, seperti pusing,
gangguan penglihatan, dan sakit kepala, seringkali terjadi pada saat hipertensi sudah
lanjutdi saat tekanan darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna
(Siswandono, 2016)
Tekanan darah berubah berdasarkan umur. Tekanan Darah Sistolik (TDS)
meningkat dan Tekanan Darah Diastolik (TDD) menurun dengan bertambahnya
umur, menyebabkan meningkatnya tekanan nadi pada usia lanjut. Prevalensi
Isolated Systolic Hypertension (ISH) atau Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST) juga
meningkat seiring dengan bertambahnya umur. (Budi S. Pikir, dkk., 2015).
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya
penambahan volume urine yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah
pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretik adalah
untuk memobilisasi cairan edema, yang berarti mengbah keseimbangan cairan
sedemiakian rupa sehinnga volume cairan ekstra sel kembali menjadi normal
(Gunawan, 2007)
Loop diuretik obatnya yaitu Bumatanid, furosemid, torsemid dan asam
ekrinat merupakan empat diuretik yang efek utamanya pada asendens ansa henle.
“Loop” diuretik menghambat kontraspor Na+ /K+ /Cl- dari membran elumen pada
pars asendens ansa henle. Karena itu, reasorbsi Na+ /K+ /Cl- menurun.
“Loop”diuretik merupakan obat diuretic yang paling efktif, karena pars asenden
bertanggung jawab untuk absorbsi 25-30% NaCl yang disaring dan bagian distalnya
tidak mampu untuk mengkompensasi kenaikan muatan Na+. (Mycek, 2013)
1.2 Uraian Bahan
1.
Amlodipin (Ditjen POM, 2014 : 110)
Nama Lain : AMLODIPINE
Nama Kimia : Amlodipin
Rumus Struktur :
Rumus Molekul : C20H25ClN2O5
Berat Molekul : 408.879 g/mol
Pemerian : Bubuk putih dan hampir putih
Kelarutan : Sedikit larut dalam air dan alkohol isopropil, dilarutkan
dalam alkohol dehidrasi; bebas larut dalam metil alkohol
Penyimpanan : Simpan dalam wadah kedap udara dan terlindung dari
cahaya
2.
Aquadest (Ditjen POM, 2020: 69)
Nama resmi : PURIFIED WATER
Nama lain : Air murni
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02 gr/mol
Rumus bangun :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau


Penyimpanan : Jika dikemas, gunakan kwmasan wadah non reaktif yang
dirancang untuk mencegah masuknya mikroba
Kegunaan : Sebagai Pelarut
3.
Furosemid (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi : FUROSEMIDUM
Nama Lain : Furosemida
Rumus Molekul : C12H11CIN2O5S
Berat Molekul : 330,74 g/mol
Rumus Struktur :
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak berbau,
hampir tidak berasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam kloroform P, larut
dalam 75 bagian etanol 95 % P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Diuretikum
4.
Na-CMC (Karboksimetil selulosa Natrium), (Ditjen POM. 2020 : 832)
Nama Resmi : CARBOXYMETHYL CELLULOSE SODIUM
Nama Lain : Karboksimetil selulosa Natrium, Na-CMC
Berat Molekul : 8.174,353 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk atau granul putih sampai krem; higroskopik


Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloidal;
tidak larut dalam etanol, eter dan pelarut organik lain
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

1.3 Maksud Dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari praktikum pengujian aktivitas obat
antihipertensi yaitu :
a. Maksud Praktikum
1) Umum
Mahasiswa mampu melakukan pengujian aktivitas obat antihipertensi
pada hewan coba.
2) Khusus
a) Mahasiswa mampu mempraktekkan tahapan pemberian obat
antihipertensi pada hewan coba.
b) Mahasiswa mampu mengamati parameter pengujian obat antihipertensi
c) Mahasiswa mampu menganalisis dan melaporkan hasil pengujian.
b. Tujuan Praktikum :
Tujuan dari praktikum pengujian aktivitas obat antihipertensi yaitu untuk
mementukan efektivitas obat antihipertensi amlodipine dan captopril terhadap
model hewan coba mencit (Mus musculus) yang diinduksi injeksi adrenalin.
II. METODE KERJA
2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini adalah timbangan analitik 1
unit; timbangan hewan 1 unit ; penangas air 1 buah; kertas timbang 10 lembar;
sendok tanduk 2 buah; Lumpang dan alu 1 buah; Labu ukur 10 ml 3 buah; gelas
kimia 100 mL 2 buah; pinset 1 buah; spoit 1 ml 1 buah dan spoit 3 ml serta sonde
oral masing-masing sebanyak 3 buah.
2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah adrenalin 1
ampul; 10 tabletAmlodipin/Diltiazem/Kaptopril/ Klonidin/Furosemide/Propranolol;
Natrium CMC 1 gram; Alkohol; Aquadest 200 mL
2.3 Hewan uji
Adapun hewan uji yang digunakan pada praktikum ini adalah mencit
simulasi 9 ekor (Berat badan mencit sekitar 27-30 gram)
2.4 Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini adalah
sebagai berikut :

1. Siapkan alat, bahan, dan hewan uji

2. Penyiapan bahan :
a. Larutan NaCMC 1%
Timbang serbuk NaCMC sebanyak 1 gram dan larutkan dengan
aquadest 100 mL yang telah dipanaskan.
b. Larutan Obat
1. Timbang 10 tablet obat amlodipin dan hitung berat rata- ratanya.
2. Lakukan perhitungan bahan obat amlodipin untuk larutan stok 10 mL.
3. Gerus tablet amlodipin hingga menjadi serbuk
4. Sejumlah serbuk obat amlodipine ditimbang sesuai perhitungan pada
timbangan analitik.
5. Bahan obat tersebut di larutkan dengan NaCMC 1% sebanyak 10 mL.
6. Diulangi cara yang sama untuk larutan obat lainnya.
3. Penyiapan hewan uji :
Timbang hewan uji pada timbangan hewan dan tentukan volume
pemberian masing-masing hewan uji.
4. Perlakuan :
a. Hewan uji 9 ekor yang telah dipuasakan dibagi menjadi 3 kelompok @ 3
ekor
b. Disiapkan semua alat bahan yang telah disiapkan sebelumnya

c. Amati perubahan warna telinga hewan uji dan tentukan efek


farmakologinya
d. Berikan hewan uji dengan injeksi adrenalin secara intraperitonial dan
diamkan selama 30 menit
e. Amati perubahan warna telinga hewan uji dan tentukan efek
farmakologinya
f. Selanjutnya dilakukan perlakuan berikut :

- Kelompok 1, diberikan NaCMC 1% secara oral sesuai volume pemberian


- Kelompok 2, diberikan obat antihipertensi (Mis.Amlodipin) secara oral
sesuai volume pemberian.
- Kelompok 3, diberikan obat antihipertensi (Mis.Kaptopril) secara oral
sesuai volume pemberian.
g. Amati perubahan warna telinga hewan uji dan tentukan efek farmakologinya
setelah 15, 30, 45, 60 menit. Berikut adalah skoring pengamatan :

Skor Warna pada telinga


0 Pucat
1 Merah pucat
2 Merah
3 Merah terang

h. Hasil pengamatan dicatat pada tabel pengamatan


III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Percobaan


Tabel 1. Data Pengamatan Warna Telinga Hewan Uji Selama Perlakuan
Warna telinga hewan uji
Kelompok BB VP (ml)
pada menit ke-
Perlakuan (gram)
0’ 15’ 30’ 45’ 60’
38 g 1 ml 0 1 1 1 1
(Na-CMC)
28 g 0,93 ml - - - - -
28 g 0,9 ml 0 1 1 1 1
Furosemide 22 g 0,73 ml 1 1 2 2 2
35 g 1 ml 0 1 1 2 2
Amlodipine 21 g 0,7 ml 1 1 1 2 2

3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini, kita melakukan pengujian aktivitas obat
antihipertensi terhadap hewan coba, dimana disini kita menggunakan mencit (Mus
Musculus) sebagai hewan percobaan. Sebelum hewan coba mendapatkan
perlakuan maka terlebih dahulu dipuasakan selam 18 jam.
Menurut Brunner dan Suddarth hipertensi dapat diartikan sebagai tekanan
darah persisten dimana tekanan darahnya diatas 140/90 mmHg. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa hipertensi merupakan peningkatan tekanan
darah sistolik yang persisten diatas 140 mmHg sebagai akibat dari kondisi lain
yang kompleks dan saling berhubungan (Bianti Nuraini, 2015). Antihipertensi
adalah obat-obatan yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah tinggi hingga
mencapai tekanan darah normal (Rohman, 2018).
Penginduksian adrenalin pada hewan coba bertujuan untuk memberikan
efek hipertensi pada mencit sehingga pembuluh darah mengalami konstriksi akibat
aktivasi reseptor oleh adrenalin. Dimana vasokonstriksi (penyempitan pembuluh
darah) ini dapat diamati pada pembuluh darah telinga hewan coba mencit yang
ditandai oleh warna pucat. Untuk mengobati hipertensi, maka diberikan obat
antihipertensi agar terjadi vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) yang ditandai
dengan warna kemerahan pada telinga hewan coba. Obat yang digunakan dalam
praktikum kali ini adalah amlodipin dan furosemide, kemudian Na-CMC juga
diberikan tetapi hanya sebagai kontrol negatif terhadap obat yang lain. Furosemid
merupakan obat antihipertensi golongan diuretik dan amlodipin merupakan obat
golongan antihipertensi golongan penghambat kanal kalsium.
Langkah awal yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah pemberian
agen penginduksi yaitu adrenalin (epinefrin atau norepinferin) sebanyak volume
pemberian yang telah dihitung secara intraperitonial. Disini digunakan 3 kelompok
hewan coba mencit. Dimana kelompok 1 diberikan Na CMC 1 % sebagai kontrol
negatif, kelompok 2 diberikan obat furosemid dan kelompok 3 diberikan obat
amlodipin. Ketiga perlakuan diberikan secara oral sesuai dengan volume
pemberian dari masing-masing mencit yang telah dihitung. Obat furosemide dan
amlodipin dibuat dengan melarutkan obat tersebut dalam NaCMC 1% sebanyak 10
mL. Selanjutnya diamati warna telinga mencit segera setelah pemberian obat
sebagai T0. Hal ini juga dilakukan pengamatan pada menit ke 15, 30, 45 dan 60.
Hasil yang diperoleh pada mencit kelompok I untuk berat mencit 28 g tidak
dilakukan pengujian atau perlakuan lebih lanjut karena hewan coba tersebut mati
sedangkan untuk mencit dengan berat 38 g diperoleh hasil yaitu warna daun
telinga pada mencit setelah pemberian adrenalin dan NaCMC 1% menunjukkan
telinga mencit berwarna pucat. Hal ini karena terjadi vasokontriksi (penyempitan
pembuluh darah) akibat tekanan darah meningkat karena pemberian adrenalin
(epinefrin). Pada dosis rendah epinefrin hanya bekerja pada reseptor β adrenergik
yang menghasilkan efek berupa peningkatan denyut jantung dan kekuatan
kontraksi jantung, sedangkan dengan dosis yang lebih tinggi epinefrin ini bekerja
pada reseptor α adrenergik di pembuluh darah perifer yang menyebabkan
vasokonstriksi (pelebaran pembuluh darah) sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah (Wijaya et al, 2018). Kemudian
dilakukan pengamatan pada menit ke 15, 30, 45 dan 60. Jadi diperoleh hasil bahwa
pada pengujian ini telah sesuai dengan literatur, sehingga NaCMC 1% dapat
dikatakan bukan merupakan obat antihipertensi yang dapat menurunkan tekanan
darah pada hewan coba melainkan hanya sebagai kontrol negatif sehingga tidak
memberikan efek farmakologi. Hal ini ditunjukkan dengan warna telinga mencit
yang terus berwarna pucat sejak pemberian adrenalin hingga menit ke-60 setelah
pemberian NaCMC 1%.
Selanjutnya hewan coba kelompok II dengan perlakuan pemberian
suspense furosemid secara oral sebanyak volume pemberian mencit yang telah
dihitung. Hasil yang diperoleh untuk mencit berat 28 g adalah warna telinga
mencit pucat pada menit ke-0 setelah pemberian adrenalin dan obat. Hal ini karena
terjadi vasokontriksi akibat pemberian adrenalin. Selanjutnya pada menit ke- 15
hingga menit ke -60 menunjukkan terjadi perubahan dari warna telinga yang
awalnya pucat menjadi merah pucat. Hal ini berarti obat furosemide bekerja
dengan memberikan efek farmakologi yaitu penurunan tekanan darah karena kita
lihat pada warna telinga mulai memerah yang berarti terjadi vasodilatasi (pelebaran
pembuluh darah) walaupun belum maksimal. Sedangkan untuk mencit berat badan
22 g memberikan hasil warna daun telinga pada mencit berwarna merah pucat
setelah pemberian adrenalin pada menit ke-0 dan berubah menjadi merah pada
menit ke 30 hingga 60. Hal ini menunjukkan obat furosemide memberikan efek
farmakologi berupa penurunan tekanan darah akibat vasodilatasi yang ditandai
dengan warna telinga mencit yang berubah merah. Hal ini karena obat furosemide
merupakan salah satu obat golongan diuretik yang bekerja dengan cara
menurunkan tekanan darah dengan meningkatkan asupan natrium dan ekskresi air,
meningkatkan kandungan Ca2+ dalam urine menyebabkan penurunan resistensi
vaskular ginjal dan peningkatan aliran darah dan menurunkan kehilangan kalium
pada urin (Harvey, 2013).
Kemudian untuk hewan coba kelompok III dengan perlakuan pemberian
obat amlodipine secara oral sejumlah volume pemberian masing-masing hewan
coba. Hasil yang diperoleh untuk mencit berat 35 g yaitu diperoleh hasil warna
telinga mencit pucat pada menit ke-0 setelah pemberian adrenalin dan obat. Hal ini
karena terjadi vasokontriksi akibat pemberian adrenalin. Selanjutnya pada menit
ke-15 hingga menit ke-60 menunjukkan terjadi perubahan dari warna telinga yang
awalnya pucat menjadi warna merah pucat lalu menjadi merah. Hal ini berarti obat
amlodipin bekerja dengan memberikan efek farnakologi yaitu penurunan tekanan
darah karena warna telinga mulai memerah yang berarti terjadi vasodilatasi dan
bekerja maksimal pada menit ke-45 setelah obat dikonsumsi oleh hewan coba.
Sedangkan untuk mencit berat badan 21 g memberikan hasil warna telinga mencit
berwarna merah pucat setelah pemberian adrenalin pada menit ke-0 hingga menit
ke-30 dan berubah merah pada menit ke-45 hingga 60. Berdasarkan pengamatan,
obat amlodipin bekerja maksimal memberikan efek farmakologi secara maksimal
pada menit ke-45 setelah dikonsumsi oleh hewan coba mencit. Hal ini
menunjukkan obat amlodipin memberikan efek farmakologi berupa penurunan
tekanan darah akibat vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) yang ditandai
dengan warna telinga mencit yang berubah merah. Hal ini karena obat amlodipin
merupakan obat golongan penghambat kanal Ca2+ yang bekerja dengan cara
menghambat gerakan kalsium masuk melalui pengikatan dengan kanal kalsium
tipe-L dalam jantung dan otot polos pembuluh darah coroner dan perifer sehingga
terjadi penurunan cardiac output yang menyebabkan penurunan tekanan darah dan
terjadi vasodilatasi. (Harvey, 2013).
IV. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
praktikum yang dilakukan pada pengujian aktivitas obat antihipertensi diperoleh hasil
bahwa untuk pengujian menggunakan obat furosemide dan obat amlodipine efektif
menurunkan teknan darah pada hewan coba setelah dilakukan pemberian induksi
adrenalin yang dimana disini yang digunakan yaitu epinefrin dan norepinefrin secara
intraperitonial. Hasil pengujian menunjukkan obat furosemid akan bekerja maksimal
pada menit ke-30 dan amlodipine pada menit ke-45. Untuk NaCMC 1% sebagai
kontrol negatif juga menunjukkan hasil yang sesuai karena warna telinga mencit tidak
berubah menjadi warna normal setelah pemberian.
DAFTAR PUSTAKA

Ditjen, POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Ditjen, POM. 1997. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Ditjen, POM. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Ditjen, POM. 2020. Farmakope Indonesia Edisi VI. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Gunawan, Gan, Sulistia. 2007. Farmakologi Dan Terapi, Edisi V. Gaya Baru : Jakarta
Harvey, RA dan Pamela CC, 2013. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 4. EGC : Jakarta.
Mirfaidah Nadjamuddin, dkk. 2019. Efek penggunaan antihipertensi pasien storek iskemik.
Yogyakarta : Airlangga University press
MS, Gede Doddy Tisna. 2013. Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh Pada
Dosen Umur 40-59 Tahun Di Lingkungan Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
Gladi Jurnal Ilmu Keolahragaan. Volume 7 (2).
Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. 2013. Farmakologi: Ulasan Bergambar Edisi. Alih bahasa
Azar Agoes. Jakarta: Widya Medika
Pikir, BS., dkk. 2015. Hipertensi Manajemen Komprehensif. Surabaya: Airlangga University
Press.
Purwidyaningrum, I. 2021. Mekanisme Kerja Antihipertensi Matoa. Jakarta: CV. Azka Pustaka.
Siswandono. 2016. Kimia medisinal. Surabaya : Universitas Airlangga
Tambayong, jan . 2019. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta : EGC

Paraf asisten

(ANDI RIZKA NURUL AZIZAH, S.Farm.)

Anda mungkin juga menyukai