FAKULTAS FARMASI
DAN ANTIINFLAMASI
OLEH :
STAMBUK : 15020200038
KELAS : C5C6
KELOMPOK : 2 (DUA)
I. PENDAHULUAN
2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu masing - masing
10 tablet obat natrium diklofenak, ibuprofen, parasetamol, prednisone, dan
piroksikam, NaCMC 1 gram Aquadest 100 mL, hewan uji: mencit dan tikus.
2.3 Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini adalah
sebagai berikut :
a) Pengujian Antipiretik
c) Pengujian Analgesik
a) Antipiretik
Perlakuan Awal T0 T15 T30 T45 T60
NaCMC 1 % 38 oC 37,9 oC 38 oC 38,3 38,4 oC 37,5 oC
o
C
b) Antiinflamasi
c) Analgesik
Natrium
- - - -
Diklofenak
Parasetamol 15 7 2 -
3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian praklinik pada hewan coba
yaitu menggunakan mencit dan tikus. Tujuan dilakukan praktikum ini untuk
mengukur atau melihat parameter terhadap penyakit analgesic, antipiretik,
antiinflamasi dengan menggunakan berbagai jenis obat, yang dimana obat yang
digunakan pada praktikum kali ini adalah Natrium diklofenat, paracetamol,
ibuprofen, piroxikam dan prednison.
Uji praklinik adalah pengujian atau uji yang dilakukan kepada hewan coba
dengan pemberian obat sebelum diberikan atau dikonsumsi pada manusia, dimana
hewan coba digunakan sebagai bahan percobaan. uji praklinik dilakukan untuk
mengetahui keamanan dan kebenaran khasiat suatu bahan uji secara ilmiah dan
untuk menghindari toksisitas dan hal – hal hal yang tidak diinginkan ketika obat-
obatan tersebut dikonsumsi oleh manusia. Obatobatan yang akan diujikan kali ini
adalah obat NSAID atau Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs dan obat
golongan kortikosteroid. Pada golongan obat NSAID, terdapat beberapa jenis obat
yaitu analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi non steroid.
Antipiretik adalah obat-obat atau zat-zat yang dapat menurunkan suhu
tubuh pada keadaan demam. Antipiretik bekerja dengan merangsang pusat
pengaturan panas di hipotalamus sehingga pembentukan panas yang tinggi akan
dihambat dengan cara memperbesar pengeluarn panas yaitu dengan menambah
aliran darah ke perifer dan memperbanyak pengeluaran keringat (Sinaga, 2018).
Analgesik adalah obat yang selektif mengurangi rasa sakit dengan
bertindak dalam sistem saraf pusat atau pada mekanisme nyeri perifer, tanpa secara
signifikan mengubah kesadaran. Antiinflamasi adalah adalah obat yang dapat
mengatasi inflamasi atau peradangan merupakan respon jaringan terhadap reaksi
tubuh yang dapat menimbulkan kerusakan sel.
Kortikosteroid adalah kelompok obat yang mengandung hormon steroid
sintesis. Obat ini dapat menghambat produksi zat yang menimbulkan peradangan
dalam tubuh atau sebagai antiinflamasi. Adapun mediator yang akan dihambat
pada praktikum ini berdasarkan mekanisme kerja adalah prostaglandin yang
menyebabkan rasa nyeri, demam, dan inflamasi.
Adapun mekanisme kerja terbentuknya suatu prostaglandin sebagai
mediator inflamasi yaitu adanya kerusakan pada membran sel menyebabkan
fosfolipid pada membran sel terurai menjadi asam arakidonat dengan
menggunakan bantuan dari enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat berperan
sebagai bahan baku atau prekursor dari pembentukan mediator - mediator
inflamasi melalui dua proses, dimana 2 proses itu disebut dengan lipoksigenase
dan siklooksigenase. Lipoksigenase ini akan menghasilkan mediator leukotrien
yang berperan pada patofisologi asma sedangkan siklooksigenasi akan membentuk
mediator inflamasi prostaglandin melalui bantuan dari enzim COX-1 dan COX-2.
Dalam pengujian ini digunakan obat kortikosteroid yang bertujuan untuk
menghambat enzin fosfolipase, mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat dan
digunakan obat OAINS bertujuan untuk menghambat enzim siklooksigenasi
membentuk prostaglandin. Prostaglandin yang dihasilkan melalui jalur
siklooksigenase berperan dalam proses timbulnya nyeri, demam dan reaksi-reaksi
peradangan. Selain itu, prostaglandin juga berperanan penting pada proses proses
fisiologis normal dan pemeliharaan fungsi regulasi berbagai organ. Pada selaput
lendir saluran pencernaan, prostaglandin berefek protektif dengan meningkatkan
resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotis, termis atau kimiawi.
Karena prostaglandin berperan dalam proses timbulnya nyeri. demam, dan reaksi
peradangan.
Obat Antipiretik Yang digunakan pada praktikum ini, yaitu Paracetamol
dan Ibuprofen. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase
(COX) secara non-selektif. Inhibisi enzim COX menghambat sintesis
prostaglandin dari asam arakidonat. Penurunan kadar prostaglandin pada SSP
menyebabkan penurunan set-point hipotalamus sehingga suhu tubuh menurun.
Berdasarkan literatur, Parasetamol dan Ibuprofen ini memiliki potensi yang sama
sebagai antipiretik karena memiliki mekanisme kerja yang sama.
Adapun obat Analgesik yang digunakan untuk percobaan analgesik yaitu,
piroxicam dan paracetamol sedangkan hewan coba yang digunakan yaitu mencit
sebanyak 3 ekor yang diberikan penginduksi asam astetat 1% sebanyak 0,1 ml.
Asam asetat berfungsi sebagai perangsang terbentuknya prostaglandin dan
menimbulkan rasa nyeri. Adapun parameter yang diamati adalah jumlah geliatan
yang dilakukan oleh hewan coba mencit. Respon nyeri yang diberikan ditandai
dengan geliat kedua pasang kaki kedepan dan kebelakang serta perut yang
menempel pada lantai. Pada praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil pada
pengujian pada mencit I yang diberikan NaCMC sebagai control negatif adalah
jumlah geliatan setelah induksi asam asetat terjadi sebanyak 67 kali pada menit ke
15 dan terjadi penurunan jumlah geliat pada menit ke 30, 45, hingga 60. Hal
tersebut dapat terjadi karena asam asetat mempunyai efek maksimal pada menit ke
15 dan setelahnya akan melemah kerjanya dalam menginduksi nyeri. Adapun hasil
pengujian pada tikus III yang diberikan parasetamol yaitu terjadi geliat yang lebih
rendah dari jumlah geliat pada mencit I yaitu sebanyak 15 kali pada menit ke 15
dan terjadi penurunan hingga mencit tidak merasakan nyeri dari menit ke 30
hingga menit ke 60. Hal tersebut dapat terjadi karena parasetamol selain sebagai
antipiretik memiliki efek analgetik dimana parasetamol dapat menghambat kerja
dari enzim sikloksigenasi yang dapat membentuk prostaglandin sebagai mediator
nyeri. Adapun untuk pengujian pada tikus II yang akan diberikan natrium
diklofenak tidak dilakukan karena terdapat faktor kesalahan pada pemeliharaan
mencit sebelum dilakukan pengujian.
Pada pengujian antipiretik yang dilakukan oleh kelompok 1 digunakan
hewan coba tikus yang telah dibagi menjadi 3 kelompok. Dimana hewan coba
Tikus yang telah diberikan penginduksi pepton 5 % sebanyak 1 mL secara
intraperitonial dan telah diberikan obat menggunaka NaCMC, obat paracetamol
dan ibuprofen. Pepton dalam pengujian digunakan sebagai penginduksi untuk
mendemamkan tikus karena di dalam pepton terkandung zat pirogen yang akan
menyebabkan demam. Adapun parameter yang akan diukur pada pengujian
antipiretik adalah penurunan suhu pada tikus setelah diberikan obat-obatan
antipiretik. Adapun hasil dari pengujian ini yaitu Suhu awal pada tikus adalah
38oC, adapun pada suhu T0 dan T60 menunjukkan hasil yang tidak sesuai karena
terjadi penurunan suhu tubuh pada tikus. Untuk kelompok II yang diberikan obat
suspense ibuprofen dengan banyak sesuai dengan volume pemberian
menunjukkan hasil yang positif (sesuai) karena terjadi penurunan suhu tubuh pada
tikus sejak setelah pemberian agen penginduksi pepton 5% sebanyak 1 mL dari
suhu 38oC – 36,9 oC (T0 - T45). Pada menit ke-60 (T60) menunjukkan hasil yang
tidak sesuai karena terjadi peningkatan suhu tubuh dari menit sebelumnya yaitu
pada menit ke -45 dari 36,9 oC menjadi 37,4oC atau dengan kata lain kembali ke
suhu awal tikus sebelum diberikan agen penginduksi. Selanjutnya kelompok III
dengan perlakuan pemberian suspense parasetamol sebanyak volume pemberian
tikus yang telah dihitung. Hasil yang diperoleh menunjukkan hasil yang sesuai
literatur yaitu terjadi penuruan suhu tubuh sejak setelah pemberian agen
penginduksi pepton 5 % sebanyak 1 mL hingga menit ke-60. Berdasarkan hasil
yang diperoleh untuk kelompok II dan III. Dari 3 pengujia pada tikus diatas,
parasetamol dan ibuprofen menghambat mediator penyebab demam yaitu
prostaglandin yang dibentuk oleh enzim siklooksigenase. Penurunan suhu terjadi
karena adanya pengantaran impuls ke bagian hipotalamus yang mengatur suhu
tubuh. Adapun faktor kesalahan yang terjadi adalah air raksa pada thermometer
setelah pengujian sebelumnya belum diturunkan sehingga mempengaruhi suhu
pada pengujian berikutnya.
Untuk pengujian antiinflamasi digunakan hewan coba tikus sebanyak 3
ekor dengan diberikan ipenginduksi berupa karagenan 1% sebanyak 0,2 ml.
Karagenan dimasukkan dengan cara intraplantar di kaki belakang tikus. Karagenan
merupakan induktor yang menyebabkan edema kaki atau peradangan. Sebelum
pemberian karagenan diukur terlebih dahulu volume radang kaki awal dengan
menggunakan jangka sorong. Adapun hasil yang diperoleh pada tikus I yang
diberikan NaCMC adalah peningkatan volume radang kaki sebesar 0,6 mm setelah
diberikan karagenan yaitu dari 8,14 mm menjadi 8,20 mm. Pada menit ke 15 tidak
terjadi penurunan volume radang pada kaki pada tikus karena NaCMC tidak
berperan sebagai antiinflamasi yang dapat mengatasi peradangan. Pada menit ke
30 hingga menit 45 terjadi penurunan volume radang kaki. Hal tersebut tidak
sesuai dengan pemberian NaCMC sebagai kontrol negatif karena terjadi kesalahan
pada saat pengukuran volume radang kaki. Adapun hasil pengujian pada tikus II
yang diberikan suspensi prednison yang merupakan golongan obat kortikosteroid,
terjadi peningkatan volume radang kaki setelah diberikan karagenan yaitu dari 5,13
mm volume radang kaki awal menjadi 9,04 mm. Hasil pengujian yang diperoleh
telah sesuai karena dari menit ke 15 hingga menit ke 45 terjadi penurunan volume
radang kaki hingga 6,74 mm. Hal tersebut menandakan bahwa prednison bekerja
sebagai antiinflamasi yang dapat mengatasi peradangan. Adapun hasil pengujian
pada tikus III yang diberika piroksikam yaitu terjadi peningkatan volume radang
kaki setelah diberi karagenan yaitu 6,72 mm menjadi 7,79 mm. Pada menit ke 15
hingga menit ke 45 setelah pemberian obat terjadi penurunan volume radang kaki
dari 7,79 mm hingga 6,14 mm.
Adapun faktor kesalahan pada pengujian antiinflamasi adalah kesalahan
pada saat pengukuran volume radang kaki, faktor-faktor seperti posisi kaki tikus
saat pengukuran ataupun cara pembacaan skala pada alat jangka sorong.
IV. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
praktikum yang dilakukan pada pengujian praklinik antipiretik, antiinflamasi
dan analgesic diperoleh hasil untuk pengujian menggunakan obat antipiretik
menunjukkan hasil yang sesuai yaitu parasetamol dan ibuprofen efektif
menurunkan demam pada hewan coba setelah dilakukan pemberian induksi
pepton 5%. Untuk hasil pengujian antiinflamasi juga menunjukkan hasil yang
sesuai karena terjadi penurunan volume radang kaki hewan coba setelah obat
yaitu prednisone dan piroksikam sehingga menunjukkan kedua obat tersebut
efektif untuk menurunkan nyeri ringan- sedang pada hewan coba. Prednison
merupakan obat kortikosteroid yang berperan untuk mengatasi peradangan
atau disebut sebagai antiinflamasi. Piroksikam merupakan golongan obat
OAINS yang bekerja secara nonselektif terhadap COX-1 dan COX-2 dalam
mengatasi peradangan yang terjadi. Adapun agen penginduksi inflamasi yang
digunakan adalah karagenan 1%. Untuk hasil pengujian analgesik
menunjukkan hasil yang sesuai karena terjadi penurunan jumlah geliat dari
hewan coba setelah pemberian obat dan juga jumlah geliat pada kelompok III
yang diberi obat analgesik menunjukkan jumlah geliat yang jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan kontrol negatif yang hanya diberikan NaCMC 1 % lalu
pemberian agen penginduksi nyeri yaitu asam astetat.
DAFTAR PUSTAKA
Paraf asisten
LAMPIRAN