Anda di halaman 1dari 25

LABORATORIUM BIOFARMASI FARMAKOLOGI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LEMBAR KERJA PRAKTIKUM 7

PENGUJIAN PRAKLINIK OBAT ANTIPIRETIK, ANALGETIK

DAN ANTIINFLAMASI

OLEH :

NAMA : MAULYA FARADINA

STAMBUK : 15020200038

KELAS : C5C6

KELOMPOK : 2 (DUA)

ASISTEN : ULFAH AYU NINSIH

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat adalah unsur aktif secara fisiologis dipakai dalam diagnosis,
pencegahan, pengobatan atau penyembuhan suatu penyakit pada manusia
atau hewan. Obat dapat berasal dari alam dapat diperoleh dari sumber
mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, atau dapat juga dihasilkan dari sintesis
kimia organic atau biosintesis (Ansel, 1989).
Uji praklinik adalah suatu uji yang dilakukan pada hewan coba
dengan tujuan untuk menentukan keamanan dan khasiat suatu bahan uji
secara ilmiah sebelum dilakukan uji klinik (Asyraf Vivaldi wardoyo,dkk.
2019) Pada praktikum kali ini pengujian yang dilakukan yaitu uji analgesik,
antipiretik dan antiinflamasi.
Uji praklinik, atau disebut juga studi pengembangan atau uji
nonklinik,atau uji efek farmakologik, adalah tahap penelitian yang terjadi
sebelum uji klinik atau pengujian pada manusia. Uji praklinik memiliki satu
tujuan utama yaitu mengevaluasi keamanan suatu produk yang baru.
Produk yang umum menjalani uji praklinik adalah obat-obatan, peralatan
medis, kosmetik, dan solusi terapi gen. Informasi yang diperoleh dengan
menafsirkan data dalam uji praklinik sangat bermanfaat untuk mendeteksi
serta mencegah produk berbahaya dan beracun agar tidak merugikan
lingkungan dan masyarakat. Melalui penelitian ini, peneliti dapat
mempercepat penemuan obat dan meringkas proses pengembangan obat.
Pengujian pada manusia hanya disetujui jika produk obat tidak memiliki efek
berbahaya pada hewan coba pada uji praklinik (Mahan, 2014).
Uji praklinik dapat dilakukan dalam system invitro dan invivo.
Percobaan invitro umumnya dilakukan dalam tabung reaksi atau peralatan
laboratorium lainnya, dan pengujian in vivo dilakukan dengan menggunakan
makhluk hidup. Pengujian ini diteruskan dengan penyaringan toksisitas
yang bertujuan untuk mengetahui perubahan – perubahan abnormal pada
organ-organ hewan sehubungan dengan pemberian obat, dan mengetahui
parameter dari dosis terapeutik yang aman. Kelompok control dan
percobaan dibandingkan. Sebelum dilakukan percobaan pada tubuh
manusia, dibuat terlebuh dahulu penilaian tentang beratnya penyakit yang
akan diobati dengan obat yang bersangkutan dalam kaitannya dengan
toksisitas obat (Joyce L. Kee dan Evelyn R. Hayes, 1994).
Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat
yang memiliki khasiat analgetik, antipiretik, serta anti radang dan banyak
digunakan untuk menghilangkan gejala penyakit reuma seperti arthritis
reumatoid, artrosis dan spondilosis . Obat Anti-Inflamsi Nonsteroid (OAINS)
merupakan obat yang paling sering diresepkan di dunia belahan barat,
dengan penjualan didunia melebihi 6 miliar dollar Amerika pertahun. Risiko
komplikasi gastroduodenum (perdarahan, perforasi, atau obstruksi
lambung) terjadi 1–4 % pertahun, obat ini menyebabkan ulkus duodenum
dengan menghambat aktivitas siklooksigenase (COX) dan mengurangi
sintesis prostaglandin mukosa. Siklooksigenase adalah enzim yang
berfungsi untuk mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin,
berkurangnya sintesis prostaglandin menyebabkan rusaknya pertahanan
mukosa duodenum. Obat ini menurunkan sekresi mukus dan bikarbonat,
mengurangi aliran darah mukosa, dan meningkatkan adhesi neutrofil pada
endotel pembuluh darah (Noffsinger, 2019)
Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang
mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
(perbedaan dengan anestetika umum). (Tjay, 2015).
Analgetik adalah bahan atau obat yang digunakan untuk menekan
atau mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menyebabkan hilangnya
kesadaran. analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik
meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi
umum. Analgetik terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu analgetik opioid
dan analgetik non-opioid. Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang
selain memiliki efek analgetik, juga memiliki efek seperti opium (Gunawan,
2008).
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman,
berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. keadaan psikis sangat
mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala)
atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi
rangsangan nyeri. nyeri merupakan suatu perasaan seubjektif pribadi dan
ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. batas nyeri untuk
suhu adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay, 2015).
Antipiretik adalah obat-obat atau zat-zat yang dapat menurunkan
suhu tubuh pada keadaan demam. Antipiretik bekerja dengan merangsang
pusat pengaturan panas di hipotalamus sehingga pembentukan panas yang
tinggi akan dihambat dengan cara memperbesar pengeluarn panas yaitu
dengan menambah aliran darah ke perifer dan memperbanyak pengeluaran
keringat (Sinaga, 2018).
Antipiretik digunakan untuk membantu untuk mengembalikan suhu
set point ke kondisi normal dengan cara menghambat sintesa dan
pelepasan prostaglandin E2, yang distimulasi oleh pirogen endogen pada
hipotalamus (Sweetman, 2012). Obat ini menurunkan suhu tubuh hanya
pada keadaan demam namun pemakaian obat golongan ini tidak boleh
digunakan secara rutin karena bersifat toksik. Efek samping yang sering
ditimbulkan setelah penggunaan antipiretik adalah respon hemodinamik
seperti hipotensi, gangguan fungsi hepar dan ginjal, oliguria, serta retensi
garam dan air (Hammond and Boyle, 2012).
Demam (pyrexia) merupakan kendali terhadap peningkatan suhu
tubuh akibat suhu set point hipotalamus meningkat. Alasan yang paling
umum ketika hal ini terjadi adalah adanya infeksi, kelainan inflamasi dan
terapi beberapa obat (Sweetman, 2008).
Inflamasi atau radang adalah reaksi yang menyebabkan terlepasnya
mediator-mediator inflamasi sehingga timbul respon vaskular dan migrasi
makrofag sehingga menyebabkan penimbunan cairan di lokasi radang.
Mediator-mediator inflamasi tersebut antara lain sitokin, histamin, kinin, dan
prostaglandin. Histamin menyebabkan dilatasi arteriol dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga cairan dapat meninggalkan kapiler. Kinin
juga meningkatkan permeabilitas kapiler dan menimbulkan rasa nyeri.
Prostaglandin juga menyebabkan vasodilatasi, permeabilitas kapiler
meningkat, menimbulkan rasa nyeri dan demam. Proses inflamasi
merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh untuk menetralisir agen
yang berbahaya serta untuk pemulihan jaringan. Inflamasi dibagi menjadi
inflamasi akut dan kronis. Pada inflamasi akut terjadi kontraksi arteriol diikuti
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, eksudasi cairan protein
dan plasma, dan migrasi makrofag ke dalam jaringan yang terluka.
Vasodilatasi menimbulkan kalor (panas) dan rubor (kemerahan), sedangkan
eksudasi dan infiltrasi makrofag menimbulkan tumor (bengkak), dolor (nyeri)
dan functio laesa (hilangnya fungsi) berhubungan dengan meningkatnya
tekanan pada saraf sebagai hasil adanya edema jaringan. Inflamasi kronis
dapat dimulai 2-4 hari setelah timbulnya respon akut dan dapat bertahan
selama seminggu atau sebulan yang ditandai dengan pembentukan
granuloma. Metodologi pengujian dalam pedoman ini difokuskan pada uji
inflamasi akut. (PBOM No. 18. 2021 : 50).
Antiinflamasi merupakan kemampuan menghambat inflamasi yang
menjadi suatu proses penting, karena mencegah respon terhadap infeksi
(peradangan) yang tidak terkontrol terkait dengan inisiasi gangguan
autoimun atau autoinflamasi, penyakit neurodegenerative atau kanker.
(Waode Munaeni, dkk. 2022).
Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat
yang memiliki khasiat analgetik, antipiretik, serta anti radang dan banyak
digunakan untuk menghilangkan gejala penyakit reuma seperti arthritis
reumatoid, artrosis dan spondilosis . Obat Anti-Inflamsi Nonsteroid (OAINS)
merupakan obat yang paling sering diresepkan di dunia belahan barat,
dengan penjualan didunia melebihi 6 miliar dollar Amerika pertahun. Risiko
komplikasi gastroduodenum (perdarahan, perforasi, atau obstruksi
lambung) terjadi 1–4 % pertahun, obat ini menyebabkan ulkus duodenum
dengan menghambat aktivitas siklooksigenase (COX) dan mengurangi
sintesis prostaglandin mukosa. Siklooksigenase adalah enzim yang
berfungsi untuk mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin,
berkurangnya sintesis prostaglandin menyebabkan rusaknya pertahanan
mukosa duodenum. Obat ini menurunkan sekresi mukus dan bikarbonat,
mengurangi aliran darah mukosa, dan meningkatkan adhesi neutrofil pada
endotel pembuluh darah (Noffsinger, 2019).
1.2 Uraian Bahan
1.
Na Diklofenak (FI IV halaman 1405, USP halaman 32)
Nama Lain : Natrii-diklofenak. Diclofenac sodium
Nama Kimia : Natrium [0-(2,6-dikloroanilino)fenil] asetat
Rumus Molekul : C14H10C12NNaO2
Berat Molekul : 318,13
Pemerian : Serbuk hablur putih hingga hamper putih,
higroskopik
Kelarutan : Mudah larut dalam etanol, larut dalam etanol, agak
sukar larut dalam air, praktis larut dalam kloroform
dan dalam eter
pH : 4,0 – 7,5
Titik Leleh : 284°C
Penyimpanan : Dalam wadah kedap dan tertutup rapat
Stabilitas : Gel 1% Na Diklofenak harus disimpan pada suhu
25°C dan terlindung dari panas. Stabil tanpa adanya
O2 dan dalam buffer pH 7,6
Sifat Khusus : Sedikit higroskopis
2.
Ibuprofen (Ditjen POM, 1995)
Nama resmi : IBUPROFEN
Nama lain : Ibuprofen, ibuprofenas, ibuprofenox
Rumus molekul : C13H18O2
Berat molekul : 206,3
Rumus bangun :
Pemerian : Putih atau hampir putih, serbuk kristal atau kristal
berwarna
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam aseton,
sangat mudah larut dalam etanol, metil alkohol.
Sedikit larut dalam etil asetat
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Analgesik (sebagai zat aktif)
3.
Parasetamol (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama Lain : Asetamiofen/Parasetamol
Rumus Molekul : C8H9NO2
Berat Molekul : 151,16
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa


pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian
gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P; larut
dalam larutan alkali hidroksida.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Kegunaan : Analgetikum; antipiretikum
4.
Na-CMC (Karboksimetil selulosa Natrium), (Ditjen POM. 2020 : 832)
Nama Resmi : CARBOXYMETHYL CELLULOSE SODIUM
Nama Lain : Karboksimetil selulosa Natrium, Na-CMC
Berat Molekul : 8.174,353 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk atau granul putih sampai krem; higroskopik


Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan
koloidal; tidak larut dalam etanol, eter dan pelarut
organik lain
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
5.
Piroxicam (Sweetman. 2009; 117)
Nama Resmi : PIROXICAM
Nama Lain : Piroksikam, piroxicamum, piroxikam
Rumus Molekul : C15H13N3O4S
Berat Molekul : 331,3
Rumusstruktur

Pemerian : Kristal bubuk putih atau agak kuning.


Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; sedikit larut dalam
alkohol dehidrasi; larut dalam diklorometana.
Penyimpanan : Dalam wadah kedap udara. Lindungi dari cahaya (15
25°C).
Kegunaan : sebagai zat aktif
6.
Prednison (Ditjen POM. 1995)
Nama kimia : 17,12 – Dihidroksipregna – 1,4 – diena -,11, 20 –
trion
Sinonim : Prednisonume
Rumus molekul : C12H26O5
Rumus Kimia :

Pemerian : Serbuk hablur putih atau praktis putih, tidak berbau;


melebur pada suhu 230oC disertai peruraian.
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, sukar larut dalam
etanol, dalam kloroform, dalam dioksam dan dalam
metanol

1.3 Maksud Dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari praktikum pengujian praklinik
analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yaitu :
a. Maksud Praktikum
1) Umum
Mahasiswa mampu memahami dan melakukan pengujian aktivitas
obat Analgetik, Antipiretik dan Antiinflamasi pada hewan coba
2) Khusus
a) Mahasiswa mampu mempraktekkan tahapan pemberian obat,
analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi pada hewan coba
b) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan cara mengamati
parameter pengujian obat analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi
c) Mahasiswa mampu menganalisis melaporkan hasil kegiatan
b. Tujuan Praktikum :
1) Untuk menentukan efektifitas obat analgetik yaitu parasetamol dan
natrium diklofenak terhadap model hewan coba mencit (Mus
musculus) simulasi berdasarkan parameter jumlah geliat hewan coba
2) Untuk menentukan efektifitas obat antipiretik yaitu parasetamol
ibuprofen terhadap model hewan coba tikus (Rattus novergicus)
berdasarkan parameter suhu tubuh hewan coba
3) Untuk menentukan efektifitaas obat antiinflamasi yaitu prednisone dan
piroksikam terhadap model hewan coba tikus (Rattus novergicus)
berdasarkan parameter volume radang kaki hewan coba
II. METODE KERJA
2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu timbangan analitik
1 unit, timbangan hewan 1 unit, penangas air 1 buah, kertas timbang 15 lembar,
sendok tanduk 2 buah, lumping dan alu 1 buah, labu ukur 10 mL 3 buah, gelas
kimia 100 mL 2 buah, spoit 1 mL dam sonde oral masing-masing sebanyak 3 buah,
pinset 1 buah, statif 1 buah, pletismometer, stopwatch, thermometer rektal

2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu masing - masing
10 tablet obat natrium diklofenak, ibuprofen, parasetamol, prednisone, dan
piroksikam, NaCMC 1 gram Aquadest 100 mL, hewan uji: mencit dan tikus.
2.3 Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini adalah
sebagai berikut :
a) Pengujian Antipiretik

1. Disiapkan alat, bahan dan hewan coba (tikus) sebanyak 3 ekor


yang telah dipuasakan.
2. Diukur suhu hewan coba menggunakan thermometer rektal
sebagai suhu awal.
3. Diberikan penginduksi pepton 5 % sebanyak 1 mL secara intra
peritonial.
4. Ditunggu hingga 15 menit untuk selanjutnya diberikan obat.

5. Dibagi hewan coba dalam 3 kelompok perlakuan

6. Kelompok I : mencit diberikan NaCMC 1 % secara oral sesuai


volume pemberian, kelompok II : mencit diberikan suspensi
ibuprofen secara oral sesuai volume pemberian dan kelompok III
mencit diberikan suspensi parasetamol secara oral lalu sesuai
volume pemberian.
7. Diukur suhu hewan coba menggunakan thermometer rektal
segera setelah pemberian obat sebagai T0.
8. Dihitung suhu tubuh hewan coba menggunakan thermometer
rektal pada menit ke 15,30, 45 dan 60.
9. Hasil pengamatan dicatat pada tabel pengamatan.
b) Pengujian Antiinflamasi

1. Disiapkan alat, bahan dan hewan coba (tikus) sebanyak 3 ekor


yang telah dipuasakan.
2. Diukur volume radang kaki hewan coba menggunakan jangka
sorong.
3. Diberikan penginduksi karagenan 1% sebanyak 1 mL secara
intra peritonial.
4. Dibagi hewan coba dalam 3 kelompok perlakuan

5. Kelompok I : tikus diberikan NaCMC 1 % secara oral sesuai


volume pemberian, kelompok II : tikus diberikan suspensi
prednison secara oral sesuai volume pemberian dan kelompok III
tikus diberikan suspensi piroskika secara oral lalu sesuai volume
pemberian.
6. Diukur volume radang kaki dengan jangka sorong pada menit ke
0, 15,30, 45 dan 60.
7. Hasil pengamatan dicatat pada tabel pengamatan.

c) Pengujian Analgesik

1. Disiapkan alat, bahan dan hewan coba (mencit) sebanyak 6 ekor


yang telah dipuasakan
2. Dibagi hewan coba dalam 3 kelompok perlakuan

3. Kelompok I : mencit diberikan NaCMC 1 % secara oral sesuai


volume pemberian, kelompok II : mencit diberikan suspensi
Natrium diklofenak secara oral sesuai volume pemberian dan
kelompok III mencit diberikan suspensi parasetamol secara oral
lalu sesuai volume pemberian.
4. Diberikan asam asetat 10 mL ke semua kelompok hewan coba
secara intraperitonial.
5. Mencit dibiarkan selama 30 menit dan diletakkan di atas meja.
6. Dihitung jumlah geliatan tiap 15 menit mulai merasakan sakit
yang ditandai dengan meregangnya tubuh tikus diikuti dengan
peletakan perut pada lantai.
7. Hasil pengamatan dicatat pada tabel pengamatan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Percobaan


Tabel 1. Data Pengamatan

a) Antipiretik
Perlakuan Awal T0 T15 T30 T45 T60
NaCMC 1 % 38 oC 37,9 oC 38 oC 38,3 38,4 oC 37,5 oC
o
C

Ibuprofen 37,4 oC 38 oC 37,9 oC 37 oC 36,9 oC 37,4 oC

Parasetamol 38,5 oC 39,1 oC 38,3 oC 38 oC 36 oC 37,3 oC

b) Antiinflamasi

Perlakuan Awal T0 T15 T30 T45


8,14 8,20 8,34 7,89 7,64
NaCMC 1 %
mm mm mm mm mm
5,13 9,04 8,46 7,68 6,74
Prednison
mm mm mm mm mm
6,72 7,79 7,52 6,52 6,14
Piroksikam
mm mm mm mm mm

c) Analgesik

Perlakuan T15 T30 T45 T60


NaCMC 1 % 67 50 27 17

Natrium
- - - -
Diklofenak
Parasetamol 15 7 2 -

3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian praklinik pada hewan coba
yaitu menggunakan mencit dan tikus. Tujuan dilakukan praktikum ini untuk
mengukur atau melihat parameter terhadap penyakit analgesic, antipiretik,
antiinflamasi dengan menggunakan berbagai jenis obat, yang dimana obat yang
digunakan pada praktikum kali ini adalah Natrium diklofenat, paracetamol,
ibuprofen, piroxikam dan prednison.
Uji praklinik adalah pengujian atau uji yang dilakukan kepada hewan coba
dengan pemberian obat sebelum diberikan atau dikonsumsi pada manusia, dimana
hewan coba digunakan sebagai bahan percobaan. uji praklinik dilakukan untuk
mengetahui keamanan dan kebenaran khasiat suatu bahan uji secara ilmiah dan
untuk menghindari toksisitas dan hal – hal hal yang tidak diinginkan ketika obat-
obatan tersebut dikonsumsi oleh manusia. Obatobatan yang akan diujikan kali ini
adalah obat NSAID atau Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs dan obat
golongan kortikosteroid. Pada golongan obat NSAID, terdapat beberapa jenis obat
yaitu analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi non steroid.
Antipiretik adalah obat-obat atau zat-zat yang dapat menurunkan suhu
tubuh pada keadaan demam. Antipiretik bekerja dengan merangsang pusat
pengaturan panas di hipotalamus sehingga pembentukan panas yang tinggi akan
dihambat dengan cara memperbesar pengeluarn panas yaitu dengan menambah
aliran darah ke perifer dan memperbanyak pengeluaran keringat (Sinaga, 2018).
Analgesik adalah obat yang selektif mengurangi rasa sakit dengan
bertindak dalam sistem saraf pusat atau pada mekanisme nyeri perifer, tanpa secara
signifikan mengubah kesadaran. Antiinflamasi adalah adalah obat yang dapat
mengatasi inflamasi atau peradangan merupakan respon jaringan terhadap reaksi
tubuh yang dapat menimbulkan kerusakan sel.
Kortikosteroid adalah kelompok obat yang mengandung hormon steroid
sintesis. Obat ini dapat menghambat produksi zat yang menimbulkan peradangan
dalam tubuh atau sebagai antiinflamasi. Adapun mediator yang akan dihambat
pada praktikum ini berdasarkan mekanisme kerja adalah prostaglandin yang
menyebabkan rasa nyeri, demam, dan inflamasi.
Adapun mekanisme kerja terbentuknya suatu prostaglandin sebagai
mediator inflamasi yaitu adanya kerusakan pada membran sel menyebabkan
fosfolipid pada membran sel terurai menjadi asam arakidonat dengan
menggunakan bantuan dari enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat berperan
sebagai bahan baku atau prekursor dari pembentukan mediator - mediator
inflamasi melalui dua proses, dimana 2 proses itu disebut dengan lipoksigenase
dan siklooksigenase. Lipoksigenase ini akan menghasilkan mediator leukotrien
yang berperan pada patofisologi asma sedangkan siklooksigenasi akan membentuk
mediator inflamasi prostaglandin melalui bantuan dari enzim COX-1 dan COX-2.
Dalam pengujian ini digunakan obat kortikosteroid yang bertujuan untuk
menghambat enzin fosfolipase, mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat dan
digunakan obat OAINS bertujuan untuk menghambat enzim siklooksigenasi
membentuk prostaglandin. Prostaglandin yang dihasilkan melalui jalur
siklooksigenase berperan dalam proses timbulnya nyeri, demam dan reaksi-reaksi
peradangan. Selain itu, prostaglandin juga berperanan penting pada proses proses
fisiologis normal dan pemeliharaan fungsi regulasi berbagai organ. Pada selaput
lendir saluran pencernaan, prostaglandin berefek protektif dengan meningkatkan
resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotis, termis atau kimiawi.
Karena prostaglandin berperan dalam proses timbulnya nyeri. demam, dan reaksi
peradangan.
Obat Antipiretik Yang digunakan pada praktikum ini, yaitu Paracetamol
dan Ibuprofen. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase
(COX) secara non-selektif. Inhibisi enzim COX menghambat sintesis
prostaglandin dari asam arakidonat. Penurunan kadar prostaglandin pada SSP
menyebabkan penurunan set-point hipotalamus sehingga suhu tubuh menurun.
Berdasarkan literatur, Parasetamol dan Ibuprofen ini memiliki potensi yang sama
sebagai antipiretik karena memiliki mekanisme kerja yang sama.
Adapun obat Analgesik yang digunakan untuk percobaan analgesik yaitu,
piroxicam dan paracetamol sedangkan hewan coba yang digunakan yaitu mencit
sebanyak 3 ekor yang diberikan penginduksi asam astetat 1% sebanyak 0,1 ml.
Asam asetat berfungsi sebagai perangsang terbentuknya prostaglandin dan
menimbulkan rasa nyeri. Adapun parameter yang diamati adalah jumlah geliatan
yang dilakukan oleh hewan coba mencit. Respon nyeri yang diberikan ditandai
dengan geliat kedua pasang kaki kedepan dan kebelakang serta perut yang
menempel pada lantai. Pada praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil pada
pengujian pada mencit I yang diberikan NaCMC sebagai control negatif adalah
jumlah geliatan setelah induksi asam asetat terjadi sebanyak 67 kali pada menit ke
15 dan terjadi penurunan jumlah geliat pada menit ke 30, 45, hingga 60. Hal
tersebut dapat terjadi karena asam asetat mempunyai efek maksimal pada menit ke
15 dan setelahnya akan melemah kerjanya dalam menginduksi nyeri. Adapun hasil
pengujian pada tikus III yang diberikan parasetamol yaitu terjadi geliat yang lebih
rendah dari jumlah geliat pada mencit I yaitu sebanyak 15 kali pada menit ke 15
dan terjadi penurunan hingga mencit tidak merasakan nyeri dari menit ke 30
hingga menit ke 60. Hal tersebut dapat terjadi karena parasetamol selain sebagai
antipiretik memiliki efek analgetik dimana parasetamol dapat menghambat kerja
dari enzim sikloksigenasi yang dapat membentuk prostaglandin sebagai mediator
nyeri. Adapun untuk pengujian pada tikus II yang akan diberikan natrium
diklofenak tidak dilakukan karena terdapat faktor kesalahan pada pemeliharaan
mencit sebelum dilakukan pengujian.
Pada pengujian antipiretik yang dilakukan oleh kelompok 1 digunakan
hewan coba tikus yang telah dibagi menjadi 3 kelompok. Dimana hewan coba
Tikus yang telah diberikan penginduksi pepton 5 % sebanyak 1 mL secara
intraperitonial dan telah diberikan obat menggunaka NaCMC, obat paracetamol
dan ibuprofen. Pepton dalam pengujian digunakan sebagai penginduksi untuk
mendemamkan tikus karena di dalam pepton terkandung zat pirogen yang akan
menyebabkan demam. Adapun parameter yang akan diukur pada pengujian
antipiretik adalah penurunan suhu pada tikus setelah diberikan obat-obatan
antipiretik. Adapun hasil dari pengujian ini yaitu Suhu awal pada tikus adalah
38oC, adapun pada suhu T0 dan T60 menunjukkan hasil yang tidak sesuai karena
terjadi penurunan suhu tubuh pada tikus. Untuk kelompok II yang diberikan obat
suspense ibuprofen dengan banyak sesuai dengan volume pemberian
menunjukkan hasil yang positif (sesuai) karena terjadi penurunan suhu tubuh pada
tikus sejak setelah pemberian agen penginduksi pepton 5% sebanyak 1 mL dari
suhu 38oC – 36,9 oC (T0 - T45). Pada menit ke-60 (T60) menunjukkan hasil yang
tidak sesuai karena terjadi peningkatan suhu tubuh dari menit sebelumnya yaitu
pada menit ke -45 dari 36,9 oC menjadi 37,4oC atau dengan kata lain kembali ke
suhu awal tikus sebelum diberikan agen penginduksi. Selanjutnya kelompok III
dengan perlakuan pemberian suspense parasetamol sebanyak volume pemberian
tikus yang telah dihitung. Hasil yang diperoleh menunjukkan hasil yang sesuai
literatur yaitu terjadi penuruan suhu tubuh sejak setelah pemberian agen
penginduksi pepton 5 % sebanyak 1 mL hingga menit ke-60. Berdasarkan hasil
yang diperoleh untuk kelompok II dan III. Dari 3 pengujia pada tikus diatas,
parasetamol dan ibuprofen menghambat mediator penyebab demam yaitu
prostaglandin yang dibentuk oleh enzim siklooksigenase. Penurunan suhu terjadi
karena adanya pengantaran impuls ke bagian hipotalamus yang mengatur suhu
tubuh. Adapun faktor kesalahan yang terjadi adalah air raksa pada thermometer
setelah pengujian sebelumnya belum diturunkan sehingga mempengaruhi suhu
pada pengujian berikutnya.
Untuk pengujian antiinflamasi digunakan hewan coba tikus sebanyak 3
ekor dengan diberikan ipenginduksi berupa karagenan 1% sebanyak 0,2 ml.
Karagenan dimasukkan dengan cara intraplantar di kaki belakang tikus. Karagenan
merupakan induktor yang menyebabkan edema kaki atau peradangan. Sebelum
pemberian karagenan diukur terlebih dahulu volume radang kaki awal dengan
menggunakan jangka sorong. Adapun hasil yang diperoleh pada tikus I yang
diberikan NaCMC adalah peningkatan volume radang kaki sebesar 0,6 mm setelah
diberikan karagenan yaitu dari 8,14 mm menjadi 8,20 mm. Pada menit ke 15 tidak
terjadi penurunan volume radang pada kaki pada tikus karena NaCMC tidak
berperan sebagai antiinflamasi yang dapat mengatasi peradangan. Pada menit ke
30 hingga menit 45 terjadi penurunan volume radang kaki. Hal tersebut tidak
sesuai dengan pemberian NaCMC sebagai kontrol negatif karena terjadi kesalahan
pada saat pengukuran volume radang kaki. Adapun hasil pengujian pada tikus II
yang diberikan suspensi prednison yang merupakan golongan obat kortikosteroid,
terjadi peningkatan volume radang kaki setelah diberikan karagenan yaitu dari 5,13
mm volume radang kaki awal menjadi 9,04 mm. Hasil pengujian yang diperoleh
telah sesuai karena dari menit ke 15 hingga menit ke 45 terjadi penurunan volume
radang kaki hingga 6,74 mm. Hal tersebut menandakan bahwa prednison bekerja
sebagai antiinflamasi yang dapat mengatasi peradangan. Adapun hasil pengujian
pada tikus III yang diberika piroksikam yaitu terjadi peningkatan volume radang
kaki setelah diberi karagenan yaitu 6,72 mm menjadi 7,79 mm. Pada menit ke 15
hingga menit ke 45 setelah pemberian obat terjadi penurunan volume radang kaki
dari 7,79 mm hingga 6,14 mm.
Adapun faktor kesalahan pada pengujian antiinflamasi adalah kesalahan
pada saat pengukuran volume radang kaki, faktor-faktor seperti posisi kaki tikus
saat pengukuran ataupun cara pembacaan skala pada alat jangka sorong.

IV. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
praktikum yang dilakukan pada pengujian praklinik antipiretik, antiinflamasi
dan analgesic diperoleh hasil untuk pengujian menggunakan obat antipiretik
menunjukkan hasil yang sesuai yaitu parasetamol dan ibuprofen efektif
menurunkan demam pada hewan coba setelah dilakukan pemberian induksi
pepton 5%. Untuk hasil pengujian antiinflamasi juga menunjukkan hasil yang
sesuai karena terjadi penurunan volume radang kaki hewan coba setelah obat
yaitu prednisone dan piroksikam sehingga menunjukkan kedua obat tersebut
efektif untuk menurunkan nyeri ringan- sedang pada hewan coba. Prednison
merupakan obat kortikosteroid yang berperan untuk mengatasi peradangan
atau disebut sebagai antiinflamasi. Piroksikam merupakan golongan obat
OAINS yang bekerja secara nonselektif terhadap COX-1 dan COX-2 dalam
mengatasi peradangan yang terjadi. Adapun agen penginduksi inflamasi yang
digunakan adalah karagenan 1%. Untuk hasil pengujian analgesik
menunjukkan hasil yang sesuai karena terjadi penurunan jumlah geliat dari
hewan coba setelah pemberian obat dan juga jumlah geliat pada kelompok III
yang diberi obat analgesik menunjukkan jumlah geliat yang jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan kontrol negatif yang hanya diberikan NaCMC 1 % lalu
pemberian agen penginduksi nyeri yaitu asam astetat.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas. Jakarta: Indonesia


Press
Farmakope Indonesia, 1995, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta. Farmakope Indonesia, 1979, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta. Anonim, 2020, Farmakope Indonesia, 2020. Edisi VII,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elysabeth, editor. 2008. Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta.
Hammond RN and M. Boyle RN, 2011, Pharmacological versus nonpharmacological
antipyretic treatments in febrile critically ill adult patients: A systematic review and
meta- analysis, Australian Critical Care (2011)24, 4—17Chrysario Chandra, dkk.
2016. STUDI PENGGUNAAN OBAT ANALGESIK PADA PASIEN CEDERA
KEPALA (CONCUSSION) DI RSUP PROF. Dr. R. D. KANDOU
MANADOPERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 .Jurnal Ilmiah Farmasi . Vol .5
No. 2.
Kee, Joyce L. dan Evelyn R. Hayes.1994.Farmakologi Pendekatan Proses
Keperawatan.Jakarta : Penerbit Buku Kedoktersn EGC
Mahan V L. 2014. Clinical Trial Phases. International Journal of Clinical Medicine. 5 :
1374- 1383.
PBOM No. 18. 2021. Pedoman Uji Farmakodinamik Praklinik Obat Tradisional.
Sweetman, S.,C.,2008, Martindale: The Complete Drug Reference, 36th Ed, The
Pharmaceutical Press, London, p.8-10
Tjay, T. H. dan Kirana R. 2015. Obat-obat Penting. Jakarta: PT. Gramedia
Wardoyo, AV, dan Rasmi, ZO, 2019. ‘Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Obat
Analgesik Pada Swamedikasi Untuk Mengatasi Nyeri Akut’. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada. Vol 10. No 2.

Paraf asisten

(ULFAH AYU NINSIH)

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai