Anda di halaman 1dari 38

FITOTERAPI

(SEDIAAN OBAT HERBAL)


SISTEM PENCERNAAN
DISPEPSIA

OLEH:
NI MADE AYU CANDRA DEWI (161200067)
NI MADE AYU UTAMI (161200068)
NI MADE DEANA (161200069)
NI MADE DWI CAHYANI (161200070)
NI MADE YULIA KRISYANTI DEWI P. (161200071)
NI MADE YUNITA PRATIWI (161200072)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


UNIVESITAS BALI INTERNASIONAL
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit pencernaan adalah semua penyakit yang terjadi pada
saluran pencernaan. Penyakit ini merupakan golongan besar dari penyakit
pada organ esofagus, lambung, duodenum bagian pertama, kedua dan
ketiga, jejunum, ileum, kolon, kolon sigmoid, dan rektum . Penyakit
pada saluran pencernaan merupakan penyakit yang berbahaya dan banyak
menyebabkan kematian. (Octaviana dan Anam,2018)
Salah satu contoh penyakit yang terjadi pada saluran
cernayaitudyspepsia. Penyakit dispepsia adalah suatu kondisi medis yang
ditandai dengan nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau
ulu hati (Irianto, 2015) dalam Fithriyana (2018). Dispepsia juga
merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat sering ditemui
dalam kehidupan sehari‐hari keluhan kesehatan yang berhubungan
dengan makan atau keluhan yang berhubungan dengan gangguan saluran
cerna (Pardiansyah dan Yusran, 2016). Octaviana dan Anam (2018) juga
menegaskan, dispepsia termasuk salah satu jenis penyakit yang tidak
menular namun akibat paparan penyakit tersebut dapat menyebabkan
mortalitas yang sangat tinggi. Penderita dispepsia biasanya terjadi tidak
hanya di Indonesia, tetapi juga terjadi di seluruh Dunia.
Menurut Octaviana dan Anam (2018), penyakit dispepsia ini
termasuk salah satu penyakit yang paling umum di temukan. WHO
(2015) menemukan bahwa, ternyata kasus dispepsia di dunia mencapai
13-40% dari total populasi dalam setiap Negara. Hasil studi tersebut
menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Serikat dan Oseania, prevalensi
dispepsia sangat bervariasi antara 5-43 %.
Kasus dispepsia di kota-kota besar di Indonesia juga cukup tinggi.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI Tahun
2015, angka kejadian dispepsia di Surabaya 31,2 %, Denpasar 46 %,
Jakarta 50 %, Bandung 32,5 %, Palembang 35,5 %, Pontianak 31,2 %,
Medan 9,6 % dan termasuk Aceh mencapai 31,7 %. (Depkes RI, 2015).
Salah satu alternatif pengobatan yang mampu mengatasi penyakit
dyspepsia secara aman dan memiliki efek samping minimal adalah
dengan penerapan fitoterapi atau terapi yang menggunakan bahan herbal.
Fitoterapi adalah terapi dengan menggunakan bahan yang berasal dari
tumbuhan baik berupa bagian/organ tumbuhan, ekstrak, atau isolat aktif
suatu tumbuhan. (Mu’nim, 2011). Obat dalam fitoterapi dikenal dengan
herbal medicine/obat herbal. Dewasa ini masyarakat di Indonesia masih
menggunakan obat herbal untuk mencegah atau mengobati suatu
penyakit. Obat herbal yang sering digunakan biasanya untuk penambah
nafsu makan, masuk angin, antinyeri dan lain-lain. Obat tradisional
menurut UU No.23/1992 adalah Bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik (sarian) atau campuran
dari bahan-bahan tsb, yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan pengalaman.
Sejalan dengan pengembangan industri jamu, obat herbal
terstandar dan fitofarmaka banyak yang mengmbangkan penelitian
fitoterapi untuk kelainan sistem pencernaan. Oleh karena itu, perlunya
dilakukan pemeninjauan terhadap jenis herbal serta sediaan yang dapat
digunakan untuk mengatasi berbagai kelainan sistem pencernaan
dispepsia.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat kami simpulkan berdasarkan atas uraian
latar belakang di atas yaitu:
1. Fitoterapi (sediaan obat herbal) apa saja yang dapat mengatasi
penyakit saluran pencernaan (dyspepsia)?
2. Bagaimanakah sistematika tanaman obat herbal tersebut?
3. Bagaimanakah morgologi tanaman obat herbal tersebut?
4. Apa saja manfaat tanaman obat herbal tersebut?
5. Apa kandungan dari tanaman obat herbal tersebut?
6. Bagaimanakah metote dan hasil uji klinik tanaman obat herbal
tersebut?
1.3 Tujuan
Tujuan yang kami harapkan dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Dapat mengetahui fitoterapi (sediaan obat herbal) apa saja yang dapat
mengatasi penyakit saluran pencernaan (dyspepsia)
2. Dapat mengetahui sistematika tanaman obat herbal yang digunakan
untuk mengatasi penyakit gangguan system pencernaan (dyspepsia).
3. Dapat mengetahui morgologi tanaman obat herbal yang digunakan
untuk mengatasi penyakit gangguan system pencernaan (dyspepsia).
4. Dapat mengetahui manfaat tanaman obat herbal yang digunakan
untuk mengatasi penyakit gangguan system pencernaan (dyspepsia).
5. Dapat mengetahui kandungan dari tanaman obat herbal yang
digunakan untuk mengatasi penyakit gangguan system pencernaan
(dyspepsia).
6. Dapat mengetahuimetote dan hasil uji klinik tanaman obat herbal
yang digunakan untuk mengatasi penyakit gangguan system
pencernaan (dyspepsia).
1.4 Manfaat
Manfaat yang kami harapkan dari penulisan makalah ini yaitu, pembaca
mampu memahami dan menjelaskan fitoterapi (sediaan obat herbal) pada
system pencernaan (dyspepsia).
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Definisi Dispepsia


Istilah Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu “pencernaan yang keras
atau sulit” yang artinya seseorang mengalami nyeri atau rasa tidak nyaman
terutama terjadi pada bagian perut atas. Dispepsia merupakan sekumpulan gejala
seperti rasa panas di ulu hati, perih, mual, dan kembung. Dispepsia juga diartikan
sebagai rasa nyeri yang dapat bersifat akut, intermiten atau kronis dengan gejala
nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat pada perut bagian atas dengan rasa
terbakar di dada (heartburn) yang predominan atau sering terjadi lebih dari satu
minggu, adanya gejala regurgitasi asam, kembung, bersendawa. Penyebab
dispepsia bermacam-macam diantaranya tukak lambung dan peradangan pada
lapisan lambung yang disebabkan oleh obat NSAID, infeksi, alkhohol (Koda
Kimble, 2009).
Dispepsia menurut North of England dyspepsia Guideline Development
Group menyimpulkan suatu definisi yang luas dan sesuai dengan yang diadopsi
dari Working Party dan British Society of Gastroenterology (BSG) bahwa
dispepsia merupakan gejala-gejala yang terjadi di saluran cerna bagian atas,
termasuk yang penyebabnya fungsional (belum diketahui dengan jelas
penyebabnya) maupun organik (biasanya ada kelainan pada saluran cerna).
(North of England dyspepsia Guideline Development Group, 2004).
Djojoningrat (2009) mengatakan bahwa faktor yang berperan dalam
kejadian gastritis dan ulkus peptikum dengan gejala khas dispepsia adalah pola
makan atau kebiasaan makan dan sekresi asam lambung. Pola makan atau
kebiasaan makan yang buruk dengan jadwal yang tidak teratur dapat
menyebabkan dispepsia. Pola makan atau kebiasaan makan sangat berkaitan
dengan produksi asam lambung. Fungsi asam lambung adalah untuk mencerna
makanan yang masuk ke dalam lambung dengan jadwal yang teratur. Produksi
asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Pola makan
yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut
memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi asam
lambung terkontrol. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit
untuk beradaptasi. Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan
berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung.

Gambar 1. Ulkus Gaster, Ulkus Duodenum


(Sumber: Tortora & Grabowski, 2000)
2.2 Epidemiologi Dispepsia
Keluhan berupa sindroma dispepsia merupakan keadaan yang sebenarnya
sering ditemui dalam praktek klinis sehari-hari. Prevalensi dispepsia di Amerika
serikat sebesar 23-25,8 %, di India 30,4 %, New Zealand 34,2%, Hongkong
18,4%, dan Inggris 38-41%.3 Diperkirakan bahwa hampir 30 % kasus pada
praktek umum dan 60 % pada praktek gastroenterologist merupakan kasus
dispepsia. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2007, dispepsia menempati
peringkat ke-10 untukkategori penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah
sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien 34.029 atau sekitar 1,59%. Sindroma
dispepsia dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu sindroma
dyspepsia akibat kelainan organik dan sindroma dispesia fungsional (non-
organik)(Djojoningrat, 2009).
Berdasarkan survei epidemiologi kasus sindroma dispepsia akibat kelainan
organic sebanyak 40 % dan fungsional sebanyak 60%. Hal tersebut menandakan
bahawa angka kejadian sindroma dispepsia akibat kelainan organik lebih sedikit
dibandingkan dengan fungsional. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun
2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada
tahun 1998 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Dispepsia fungsional di Indonesia
pada tahun 2010 dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi yaitu 5 % dari
seluruh kunjungan ke sarana pelayanan primer (Putri dkk, 2015).
2.3 Etiologi dan Patofisiologi Dispepsia
Secara umum dyspepsia dapat dibedakan menjadi:
1. Dyspepsia akut yaitu kondisi dimna gejala muncul dalam periode waktu
yang cepat. Patofisiologi dyspepsia akut jarang terjadi sering kali berkaitan
dengan makanan, alcohol, obta-obatan, merokok dan stress (American
Gastroenterological Association Institute, 2006). Ada berbagai macam jenis
makanan yang dapat menyebabkan dyspepsia, antara lain: makanan pedas,
kopi, coklat, makanan berlemak, tomat (North of England Dyspepsia
Guidelines Development Group, 2004). Kopi coklat dan alcohol dapat
menyebabkan relaksasi pada sfingier esophagus bagian bawah sehingga
dapat menimbulkan dyspepsia, sedangkan maknan berlemak menyebabkan
timbulnya dyspepsia. Obat-obatamn yang dapat menimbulkan dyspepsia
diantaranya: antagonis kalsium, nitrat, teofilin, bisfosfonat, NSAIDs (non-
steroidal inflammatory drugs), digoxin, kortikosteroid, antibiotic contohnya
erithromisin.
a. NSAIDs merusak mukosa lambung melalui 2 mekanisme yaitu topikal
dan sistemik. Kerusakan mukosa secara tropikal terjadi karena NSAID
bersifat asam dan lipofili, sehingga mempermudah trappingion hidrogen
masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID
lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi
prostaglandin menurun secara bermakna. Prostaglandin merupakan
substansi sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek
sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah mukosa,
meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkakan
epitel defensif Ia memperkuat sawar mukosa lambung duodenum
dengan meningkatkankadarfosfolipid mukosa sehingga meningkatkan
hidrofobisitas permukaan mukosa, dengan demikian mengurangi difusi
balik ion hydrogen.
b. CCB, Nitrat, Teofilin menyebabkan dispepsia karena menurunkan
tekanan LOS, sehingga terjadi reflux.
c. Kortikosteroid, menyebabkan terjadi pendarahan atau perforasi GI
belum sepenuhnya terjadi, sehingga dapat merusak perbaikan jaringan,
dan menunda penyembuhan luka.
d. Antibiotik (eritromicin) dapat menyebabkan dispepsia karena intoleransi
saluran cerna akibat perangsangan langsung terhadap motilitas usus
Dyspepsia juga dapat disebabkan oleh gaya hidup yang buruk
(lifestyle) dan faktorpsikologis (stress). Gaya hidup yang buruk dapat
menyebabkan timbulnya dyspepsia contohnya: obesitas, merokok (relaksasi
sfinger esophagus bagian bawah) makan terlalu banyak, posisi tidur tanpa
alas kepala (refluks asam lambung) (North of England Dyspepsia Guidelines
Development Group, 2004).
2. Dyspepsia kronis didefinisikan sebagai gejala kambuhan yang termasuk
nyeri epigastrik, abdominal boating, sendawa, mual, muntah dan rasa pada
abdomen (merasa kenyang lebih awal saat makan). Patofisiologi dyspepsia
kronis berkaitan dengan penyebab lain, contohnya GERD
(Gastroesophageal reflux disease), PUD (Peptic Ulcer Disease) dengan atau
tanpa esofagitis, keganasan (kanker pada lambung), dan dyspepsia idiopatik
(tidak diketahui penyebabnya dan pada hasil endoskopi tidak ditemukan
kerusakan mukosa) (American Gastroenterological Association Institute,
2006). Terdapat factor lain yang mempunyai peranan penting dalam
timbulnya dyspepsia, antara lain: infeksi Helicobacter pylori (H pylori),
dismotilitas saluran cerna dan sekresi asam lambung. Penderita dyspepsia
yang terinfeksi H. pylori terjadi peningkatan kadar GRP (Gastrin Releasing
Peptide) infeksi H. pylori dapat menimbulkan terjadinya gastritis kronis
secara bervariasi, yang ditandai dengan adanya infiltrasi neutrofil dalam
mukosa lambung dan produksi mediator-mediator inflamasi. Mediator-
mediator inflamasi tersebut dapat mempengaruhi sekresi asam lambung, dan
mempengaruhi motilitas lambung. Dismotilitas saluran cerna dapat
menyebabkan waktu pengosongan lambung tertunda/lambat yang
kemungkinan disebabkan terjadinya gangguan pada fundus lambung, yang
menyebabkan timbulnya dyspepsia. Pada umumnya penderita dyspepsia
memiliki tingkat sekresi asam lambung yang rata-rata normal. Tetapi adanya
peningkatan sensitivitas terhadap asam lambung menimbulkan rasa nyaman
pada abdomen (Christopher L, 2005).

Gambar 2. Manajemen gejala dispepsia (Kimbel, Koda., 2009)


2.4 Klasifikasi Dispepsia
Klasifikasi dispepsia berdasarkan perlu tidaknya dilakukan tindakan endoskopi
dapat dibedakan menjadi:
1. Uninvestigated Dyspepsia
Uninvestigated dyspepsia merupakan suatu kondisi dimana pasien
mengalami gejala nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdominal atas,
heartburn, refluks asam lambung, dengan atau tanpa bloating, mual atau
muntah; namun bukan merupakan tanda-tanda kondisi yang berbahaya (alarm
signs) sehingga tidak memerlukan pemeriksaan endoskopi (Koda-Kimble,
2009).
2. Investigated Dyspepsia
Investigated dyspepsia merupakan suatu kondisi dimana pasien
mengalami tanda-tanda kondisi yang berbahaya (alarm signs) sehingga
memerlukan pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui penyebab terjadinya
dyspepsia. Investigated dyspepsia ada empat penyebab utama (1) PUD (peptic
ulcer disease) merupakan kondisi dimana terjadi kerusakan/perforasi pada
jaringan mukosa lambung atau usus halus akibat dari asam lambung (2)
GERD (gastroesophageal reflux disease) suatu kondisi dimana terjadi refluks
asam lambung yang melewati sfingter esofagus sehingga bagian bawah
esofagus terpapar asam lambung dan pepsin dalam waktu yang lama. (3) NUD
(non-ulcer dyspepsia) suatu kondisi dimana pasien mengalami gejala
dispepsia selama beberapa minggu dan tidak di temukan abnormalitas struktur
organ maupun biokimia. (4) keganasan (malignancy) (Koda-Kimble, 2009).
Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:
1. Dispepsia Organik
Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ
tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach cancer,
gastroesophageal reflux disease (GERD), hyperacidity (Lee Sw et al, 2014).
Jenis-jenis dispepsia organik yaitu:
1. Tukak pada saluran cerna atas Keluhan yang sering terjadi nyeri
epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau
tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum
terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri
dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau setelah
minum antasida. Gejala lain seperti mual, muntah, bersendawa, dan
kurang nafsu makan (Lee Sw et al, 2014).
2. Gastritis merupakan peradangan/inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung. Penyebabnya oleh makanan atau obat-obatan yang mengiritasi
mukosa lambung dan adanya pengeluaran asam lambung yang
berlebihan. Gejala yang timbul seperti mual, muntah, nyeri epigastrum,
nafsu makan menurun, dan kadang terjadi perdarahan (Lee Sw et al,
2014).
3. Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah kelainan yang
menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke
kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa panas terbakar
di dada (heartburn), kadang disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa
panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan. Belum ada tes standar
yang mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan dari gejala-gejala
penyakit lain atau ditemukannya radang pada esofagus seperti esophagitis
(Lee Sw et al, 2014).
4. Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon)
sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri di perut,
nafsu makan menurun, timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan
turun (Lee Sw et al, 2014).
5. Pankreatitis merupakan gambaran yang khas dari pankreatitis akut seperti
rasa nyeri hebat di epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus
menerus, seperti ditusuk-tusuk dan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari
epigastrum kemudian menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke
seluruh perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang
tegang menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah. Rasa nyeri di
perut bagian atas juga terjadi pada penderita pankreatitis kronik. Pada
pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih, melainkan disertai
tanda-tanda diabetes mellitus (Lee Sw et al, 2014).
6. Dispepsia pada Sindrom Malabsorbsi
Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan
prosesabsorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi.
Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia,
sering flatus, kembung dan timbulnya diare berlendir (Lee Sw et al,
2014).
7. Gangguan Metabolisme
Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat
sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual
dan muntah. Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan lambung untuk
mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan berbentuk padat tertahan
di lambung. Gangguan metabolik lain seperti hipertiroid yang
menimbulkan nyeri perut dan vomitus (Lee Sw et al, 2014).
8. Dispepsia akibat Infeksi bakteri Helicobacter pylori
Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih nobel dari
Australia, Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya
bakteri yang bisa hidup dalam lambung manusia. Penemuan ini
mengubah cara pandang ahli dalam mengobati penyakit lambung.
Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi yang disebabkan oleh
Helicobacterpylori pada lambung dapat menyebabkan peradangan
mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi
ulkus atau tukak bahkan dapat menjadi kanker (Lee Sw et al, 2014).
2. Dispepsia Non Organik (Fungsional), atau Dispepsia Non Ulkus (DNU)
Dispepsia fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur
organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan
endoskopi. Beberapa hal yang dianggap menyebabkan dispepsia fungsional
antara lain:
1. Sekresi Asam Lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat
sekresi asam lambung baik sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrin dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal atau hiposekresi
(Lee Sw et al, 2014).
2. Dismotilitas Gastrointestinal
Dismotilitas Gastrointestinal yaitu perlambatan dari masa
pengosongan lambung dan gangguan motilitas lain. Pada berbagai studi
dilaporkan dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan
lambung dan hipomotilitasantrum hingga 50% kasus (Lee Sw et al,
2014).
3. Diet dan Faktor Lingkungan
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia fungsional. Dengan melihat, mencium bau atau membayangkan
sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak
mengandung HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena faktor nervusvagus,
dimana ada hubungannya dengan faal saluran cerna pada proses
pencernaan. Nervusvagus tidak hanya merangsang sel parietal secara
langsung tetapi efek dari antral gastrin dan rangsangan lain sel parietal
(Lee Sw et al, 2014).
4. Psikologik
Stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus
stress sentral (Lee Sw et al, 2014).
2.5 Assesment Klinis dan Diagnosa Dispepsia

Gambar 3. Penilaian Klinis dan Diagnosis Dispepsia


Gejala-gejala dispepsia yang meliputi nyeri atau rasa tidak nyaman pada
abdomen bagian atas, seperti heartburn, refluks asam, mual dan muntah, terasa
penuh, cepat kenyang, tak suka makan, dan pengeluaran gas yang berlebihan
(bersendawa). Walaupun gejala-gejala tersebut tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab dari dispepsia, akan tetapi gejala klinis tersebut harus
ditindak lanjuti dengan memperhatikan ada atau tidaknya alarm signs meliputi:
pendarahan saluran cerna yang kronis (hematemesis, melena, anemia defisiensi
besi), penurunan beratbadan >10%, kesulitan menelan yang progresif, muntah
yang menetap, abdominal swelling; atau jika pasien berusia ≥55 tahun dengan
gejala dispepsia tanpa sebab yang jelas dan menetap.Selain itu dilakukan review
tentang riwayat mengkonsumsi obat-obatan yang mungkin menjadi penyebab
dari dispepsia, misalnya: kalsium antagonis, nitrat, teofilin, bifosfoalnat, steroid,
dan NSAID.
Bila pada clinic assesment tidak ditemukan alarm signs dan pasien
berusia <55 tahun, maka pemeriksaan endoskopi tidak perlu dilakukan. Pada
kondisi ini pasien dikategorikan mengalami uninvestigated dyspepsia.Endoskopi
dilakukan hanya bila muncul tanda alarm signs dan memiliki usia ≥55 tahun
dengan gejala dispepsia tanpa sebab yang jelas dan menetap. Pemeriksaan
endoskopi tidak perlu dilakukan pada semua pasien dengan beberapa alasan
yaitu: biaya yang mahal dan adanya rasa tidak nyaman padapasien.
Pasien yang akan diendoskopi harus bebas dari Proton Pump Inhibitor
(PPI) ataupun H2 Receptor Antagonist (H2RA) selama 2 minggu sebelum
dilakukan endoskopi agar hasil endoskopinya akurat dan tidak terjadi false
negatif dalam memperlihatkan gambaran kondisi lambung yang sebenarnya.
Karena dikhawatirkan setelah diberi PPI atau H2RA maka erosi atau ulkus yang
ada menjadi hilang. Beberapa metode untuk melakukan pemeriksaan H.pylori
antara lain: Uji serologi, faecal (stool) antigen testing, labelled C-urea breath
tests. Uji serologi merupakan tes yang paling murah dari ketiga tes tersebut,
tetapi akurasinya kurang dengan sensitivitas dan spesifikasi sebesar 80-90%.
Faecal (stool) antigen testing lebih akurat dibandingkan dengan uji serologi
karena memiliki sensitivitas dan spesifikasi 90-100%. Labelled C-urea breath
tests juga lebih akurat dibandingkan dengan uji serologi karena memiliki
sensitivitas dan spesifikasi >95%. Jika dilihat dari nilai sensitivitasnya dan
spesifikasinya maka Labelled C-Urea Breath Test memiliki nilai rentang yang
paling dekat yaitu 100% sehingga dapat disimpulkan uji ini yang paling akurat
dibandingkan uji lainya. (Lullman H. et al, 2000).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Iberis amara L.


3.1.1 Sistematika Tanaman

Iberis amara L.
Familie: Brassicaceae
Tribus: Lepidieae
Subtribus: Iberidinae
Nama lain :
 Nama Jerman: bunga pita, Bunga pita pahit, BittererBauernsenf,
Doldernant Bauernsenf, Grützblume,Bunga pita, bunga lidah.
 Nama bahasa Inggris: Bitter candytuft, Candy mustard,
Clown'smustard, white candytuft, wild candytuft.
 Nama Prancis: Amarela, Amarou, Herbe aux yeux,Iberide des champs,
Talaspic anuel, Téraspic, Thlaspi blanc,Thlaspi des champs, Thlaspi
de montagne, Trepli.
Iberis amara L. dalam literatur 2 subspesies dan12 varietas dijelaskan
berdasarkan ukuran dan tingkat percabangantanaman, dengan bentuk
cabang akarserta berbeda dengan bentuk daun dan warna bungaAmara
Iberis
- ssp. amara;
- ssp. Forestieri;
- var. angustissima HAGENB.;
- var. arvatica (JORD.) HIJAU;
- var. coronaria;
- var. decipiens (JORD.) THELL.;
- var. glandiflorum;
- var. grandiflora;
- var. hyacinthiflora;
- var. Gunung es;
- var. minor BABEY;
- var. rubicunda SCHUR.;
- var. ruficaulis LEJ. Et COURT;
- var. Suttons (J. Reichling, R. Saller, 2002).
3.1.2 Morgologi Tanaman
Morfologi dari tanaman ini adalah daun berbentuk bujur-baji, tumpul,
dan menyempit menjadi tangkai yang lebih panjang, dibagian atas di kedua
sisi dengan biasanya 2-4 jarak, seperti gigi tumpul, jarang hampir seluruhnya,
bersisik di tepi, Berbunga sedikit, Sepal agak bundar, sekitar 1,5-2,0
mmpanjang, lebar, putih atau kulit kemerahan, tegak. Kelopak eksternal
sekitar 6 mm, sekitar bagian dalam 3mm panjang. Di bagian bawahBenang
sari lateral, Batang buah mencuat ataumelengkung ke luar, kasar, sudut,
bagian dalam berbulu (J. Reichling, R. Saller, 2002).
3.1.3 Manfaat Tanaman
Tanaman itu sudah di zaman kuno diditerapkan pada berbagai
penyakit. Jadi digunakan akarnya sebagai kataplasma terhadap pegal linu pada
panggul, tanaman segardengan tingtur untuk masalah jantung, Hati, paru-paru
dan ginjal serta keluhan rematik. Dalam pengobatan tradisionalIberis amara
juga digunakan sebagai agen pahit, mis. untuk stimulasisekresi asam lambung,
sebagai obat fungsionalPenyakit atau gangguan pencernaan dan sebagai
amarumdigunakan dengan efek koleretik (J. Reichling, R. Saller, 2002).
3.1.4 Kandungan Tanaman
1. Amina: Tumbuhan segar mengandung bagian yang berbeda di semua
bagian Amines, mis. 3-methylthio-n-propylamine, (R) -3-
methylsulphinyln-propilamin dan etanolamin, (R) -3-Methylsulphinyl-n-
propylamine adalah zat utama.
2. Glukosinolat: Semua bagian tanaman mengandung glukosinolat, dengan
benih sekitar 1,4% tertinggi, Glucoiberin, glucocheiroline dan
glucoibervirin. Glucoibervirinterbentuk langsung dari metionin. Dari
glucoibervirinberkembang selama periode vegetasi dengan oksidasi
Glucoiberin, glikosida utama dalam Iberis amara.
3. Cucurbitacine: Di seluruh tanaman akan menemukan rasa pahit,
senyawa triterpen tetrasiklik yang kaya oksigen, disebut cucurbitacins
(Cu), yang tidak seperti biasanya di Posisikan C-10, tetapi pada C-9
kelompok metil atau hidroksimetil membawa. Tergantung pada
substitusi di cincin-A berbeda satu antara diosphenol dan α-ketol Cu.
4. Minyak lemak: Benih mengandung 12,8% minyak lemak, terutamadari
asam behenic (45,1% dalam minyak), asam oleat (21,5%
dalamMinyak), asam palmitat (10,8% dalam minyak), asam linolenat
9,0% dalam minyak),Asam arakidonat (7,3% dalam minyak) dan asam
linoleat (6,4% dalam minyak).
5. Flavonol : Kampferol-3-O-glucoside-7-O-rhamnoside,Kampferol-3-O-
arabinoside-7-O-rhamnoside, Kampferol-7O-rhamnoside dan quercetin-
3-O-glucoside-7-O-rhamnoside.
3.1.5 Metote dan Hasil Uji Klinik
Hasil penelitian yang disajikan di atas: Dalam konsentrasi rendah
(0,50 dan 0,75 ml / l rendaman organ), efek toning dari ekstrak tanaman segar
Iberis amara pada istirahat maupun pada konsentrasi kontraksi ileum kelinci
percobaan (2,5-160 μg / l rendaman organ). Dalam konsentrasi yang lebih
tinggi (1,25-10 ml / l rendaman organ), efek tonikisasi IF pada ACH-
stimulated guinea pig ileum tidak lagi terdeteksi. Sebaliknya, dalam
konsentrasi tertinggi 10 ml rendaman organ IF / l, spasmolisis yang sedikit
tetapi tidak signifikan secara statistik dapat terdeteksi. Pada berbagai bagian
usus kecil tikus itu dapat ditunjukkan bahwa 10 ml rendaman organ IF / l
menginduksi spasmolisis yang signifikan pada jejunum yang terstimulasi ACh
dan spasmolisis yang lebih lemah, tetapi secara statistik signifikan, pada kolon
pada kisaran konsentrasi ACh yang lebih rendah (30-1000 μg / l mandi
organ). Efek toning yang lemah terlihat di ileum tikus. Dari hasil ini dapat
disimpulkan bahwa IF berkontribusi terhadap efek keseluruhan dari Iberogast,
antara lain, oleh efek tonifikasi (J. Reichling, R. Saller, 2002).
3.2 Caraway
3.2.1 Sistematika Tanaman

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Division : Spermatophyta
Subdivision : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Ranunculales
Family : Ranunculaceae
Genus : Nigella
Species : Nigella sativa
3.2.2 Morgologi Tanaman
Tanaman jinten hitam tumbuh di ketinggian kurang dari 700 meter
dibawah permukaan laut. Tanaman ini membutuhkan suhu udara 9 – 45 C,
kelembaban sedang, sekitar 70 – 90 % dan penyinaran matahari penuh. Secara
umum tanaman ini memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat.
Tanaman ini termasuk tanaman setahun. Bentuk tanaman jinten hitam yaitu
batang tegak, biasanya berusuk, berbulu kasar yang kadang- kadang rapat atau
jarang. Bulu – bulu yang ada dibatang umumnya berkelenjar.
Bunga junten hitam memiliki 5 kelopak bunga dengan bentuk elips,
ujung agsk meruncing sampai agak tumpul, serta pangkal mengecil
membentuk sudut yang pendek dan besar. Benang sari banyak dan gundul,
kepala sari melengkung dan sedikit tajam dengan warna kuning. Bagian
tanaman yang biasa dimanfaatkan orang adalah bijinya. Biji jinten hitam kecil
dan pendek (panjangnya hanya 1 – 3 mm), berwarna hitam, berbentuk trigonal
(bersudut 3 tidak beraturan), berkelenjar dan tampak seperti batu api jika
diamati dengan mikroskop. Biji- biji ini berada didalam buah yang berbentuk
bulat telur atau agak bulat (J. Reichling, R. Saller, 2002).
3.2.3 Manfaat Tanaman
1. Memperkuat Sistem Kekebalan Tubuh.
Dilaporkan bahwa Nigella sativa dapat menekan rasio T-cell, yang
berfungsi sebagai pembunuh sel secara alamiah Penemuan ini
termasuk salah satu penemuan besar karena Black seed ternyata
mempunyai peranan penting pada penyakit yang berhubungan dengan
sistem kekebalan tubuh, kanker, AIDS dan sebagainya.
2. Anti-histamin.
Kandungan crystalline nigellone menurunkan pelepasan kalsium pada
sel-sel penyanggah, yang juga melepas histamin.
3. Anti-tumor.
Jinten hitam juga digunakan untuk pengobatan kanker, studi dengan
menggunakan tikus Swiss albino menujukkan bahwa unsure aktif ini
menghambat perkembangan jumlah sel kanker yang disebut dengan
Ehrlich ascites carcinoma (EAC).
4. Anti-bakteri.
Pada tahun 1989, dibuat laporan dalam Pakistan Journal of Pharmacy
tentang manfaat anti-jamur dari minyak volatile dari Black seed. Pada
tahun 1992, para peneliti di Departemen Farmasi University of Dhaka,
Bangladesh, memimpin sebuah studi aktifitas anti bakteri minyak
volatile Black seed dengan lima macam antibiotik: ampiciliin,
tetracycline, cotrimoxazole, gentamicin, and Asam Nalidixic.
5. Obat Luka radang.
Diawal tahun 1960, Professor ELDakhakny melaporkan bahwa
minyak Black seed memiliki kemampuan meredakan radang dan
sangat berguna untuk mengobati radang sendi. Pada tahun 1995,
sekelompok ilmuwan di Pharmacology Research laboratories,
Departement of Pharmacy. (Endah aryati, Eko Ningtyas, 2012)
3.2.4 Kandungan Tanaman
Buah jintan mengandung minyak esensial (3-7%), asam lemak (10-
18%) (asam petroselinik, asam linoleat dan asam oleat), protein (20%),
karbohidrat (15%), asam fenolik (caffeic asam), flavonoid (quercetin,
kaempferol) (Mahboubi, 2019).
Gambar 4. Kandungan kimian Caraway dari letak geografi (Mahboubi, 2019)
3.2.5 Metote dan Hasil Uji Klinik
Aplikasi minyak jintan penggunaannya sebagai obat untuk masalah
pencernaan. Dalam satu uji klinis, uji kemanjuran dan tolerabilitas kapsul
yang mengandung enteric minyak jintan dan mentol dibandingkan dengan
placebo pada pasien Dyspepsia Fungsional (Roma III kriteria) mengambil
obat-obatan yang biasa mereka pakai (PPI, H2RA, antikonvulsan, penghambat
beta, antihistamin, antidepresan / TCA, modulator nyeri, dan antiasid). Setiap
kapsul mengandung 25 mg minyak jintan dan 20,75 mg L-mentol. Pasien
mengambil dua kapsul intervensi atau plasebo, dua kali setiap hari, 30-60
menit sebelum makan di pagi hari dan waktu makan malam selama 28 hari.
Perubahan secara keseluruhan gejala, keamanan dan tolerabilitas diperiksa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengurangan gejala secara numerik
lebih baik di kelompok intervensi daripada plasebo 61% dan 49% dari pasien
menemukan intervensi dan perawatan plasebo “baik” atau “sangat bagus”
dalam peningkatan Clinical Global (p=0,23). Tidak ada kejadian buruk yang
serius dilaporkan dalam kelompok intervensi (Mahboubi, 2019).
Dalam percobaan prospektif, double-blind, multicenter, 114 pasien
rawat jalan dengan dispepsia fungsional kronis atau berulang, kemanjuran
peppermint-minyak jintan (n=58) atau plasebo (n=56) dievaluasi pada
peningkatan sakit perut dan ketidaknyamanan. Pasien mengambil kapsul, dua
kali sehari, di pagi hari dan makan malam. 8,6% dan 5,4% pada kelompok
intervensi dan plasebo. Peningkatan yang signifikan terhadap gejala diamati
pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok plasebo (p=
0,0004). Skor gejala rata-rata pengurangan adalah 7,6 ± 4,8 (62,3%) dan 3,4 ±
4,3 (26%) di kelompok intervensi dan plasebo (p=0,0001). Gejala penyakit
tertentu, kualitas hidup (QoL) pada pasien dengan gejala dispepsia fungsional
meningkat konsisten dengan sindrom nyeri epigastrik dan sindrom tekanan
postprandial (Mahboubi, 2019).
Khasiat minyak jintan (50 mg) dan minyak peppermint (41,5 mg)
dibandingkan plasebo selama periode pengobatan 28 hari dalam pengurangan
Global Keseluruhan Gejala (GOS) dan Clinical Global Impressions (CGI) dari
pasien yang menderita dari dispepsia fungsional dievaluasi. Pada akhir
pengobatan, PDS (78%) dan EPS (72%) pasien dalam intervensi grup
melaporkan perawatan “baik” atau “sangat baik” dalam penilaian CGI,
sedangkan nilai-nilai yang sesuai dalam kelompok plasebo adalah 50% (PDS)
(p= 0,09) dan 40% (EPS) (p=0,046), masing-masing. Efek kapsul
mengandung 25 mg minyak jintan dan 20,75 mg L-mentol dibandingkan
plasebo untuk fungsional gejala dispepsia dievaluasi setelah 24 jam. Dalam
studi, 100 subyek menderita dispepsia fungsional (Kriteria Roma III)
mengambil dua kapsul intervensi atau plasebo di pagi hari dan saat makan
malam. Para pasien dikategorikan ke dalam PDS atau EPS yang dominan
berdasarkan gejala mereka dan mengambil perawatan rutin mereka.
Dilaporkan sendiri Gejala Keseluruhan Global (GOS) digunakan di pasien
pada 24 jam. Pada 24 jam, penurunan yang signifikan (p=0,04) dalam gejala
PDS dan peningkatan signifikan dalam EPS gejala (p=0,076) pada populasi
keseluruhan yang diamati (Mahboubi, 2019).
Kapsul enterik-dilapisi dan non-enterik, yang mengandung 90 mg
peppermint dan 50 mg minyak jintan miliki efek pada migrating motor
complex sukarelawan sehat dan mengurangi jumlah kontraksi dan kontraksi
amplitudo selama berbagai fase migrating motor complex. Efek dari non-
entericcoated kapsul terutama selama migrating motor complex pertama
setelah pemberian, sedangkan efek enterikcoated kapsul sementara telah
tertunda selama yang kedua migrating motor complex. Kedua kapsul itu aman
dan sudah efek relaksasi otot polos lokal. Mengevaluasi kemanjuran yang
mengandung kapsul enterik 90 mg peppermint dan 50 mg minyak jintan (dua
kali setiap hari) pada 118 pasien yang menderita dispepsia fungsional dalam
perbandingan 30 mg cisapride setiap hari atas dasar rasa sakit skor (VAS),
frekuensi nyeri dan gejala dyspepsia skor (DSS) menunjukkan bahwa
intensitas nyeri menurun dari 6,6 ± 1,3 hingga 2,0 ± 2,2 dalam kelompok
kapsul berlapis enterik. Nilai yang sesuai adalah 6,5 ± 1,3 dan 1,9 ± 2,3 pada
baseline dan setelah dua puluh sembilan hari dalam kelompok cisapride. Itu
berarti penurunan frekuensi nyeri dan DDS sebanding dalam dua kelompok
setelah 29 hari (1,9 ± 2,2 vs 2,0 ± 2,5 dan 12,7 ± 14,0 vs 13,2 ± 14,3, masing-
masing). Duabelas dan 14 pasien dalam kapsul enterik dan cisapride
mengalami efek samping yang tidak serius, yaitu diare dilaporkan sebagai
gejala yang paling sering alam multicenter prospektif, acak, terkontrol placebo
percobaan, efek kapsul enterik-dilapisi pada dyspepsia gejala dan kualitas
hidup pria dengan fungsional dispepsia setelah 2 dan 4 minggu evaluasi
berdasarkan skor nyeri, skor ketidaknyamanan, indeks dyspepsia, Nepean skor
gejala, dan skor total indeks Dispepsia Nepean menunjukkan bahwa kapsul
yang dilapisi enterik lebih baik daripada placebo dalam mengurangi semua
variabel. Skor nyeri, skor ketidaknyamanan dan skor gejala indeks Dispepsia
Nepean (p=0,000l) dan skor total indeks Dyspepsia Nepean (p = 0,0037)
membaik secara signifikan dibandingkan dengan plasebo. Perawatan
ditoleransi dengan baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien di Indonesia.
Untuk manajemen dispepsia fungsional, minyak jintan digunakan dalam
kombinasi dengan mentol atau minyak peppermint (Mahboubi, 2019).
a. Dosis harian Caraway
Dosis 0,15-0,3 mL minyak esensial dalam tiga dosis harian terbagi
adalah direkomendasikan untuk orang dewasa dan orang tua.
Pemberian oral minyak jintan tidak dianjurkan untuk anak-anak dan
remaja di bawah 18 tahun, selama masa menyusui dan kehamilan.
Olahan minyak jintan setengah padat dalam konsentrasi 2% dapat
diterapkan setiap hari sebagai lapisan tipis di daerah perut bayi, anak-
anak, remaja, dewasa dan tua-tua. Buah jintan (1,5-6 g) atau minyak
esensial (0,15-0,3 mL) digambarkan sebagai karminatif, keluhan
gastro-intestinal spasmodik, kembung, perut kembung dan sensasi
kepenuhan. 0,3 mL minyak jintan sesuai hingga 273 mg minyak jintan
(kepadatan 0,91 g/mL). Ekstrak jintan air atau etanol dari dosis yang
lebih tinggi dari 200 mg/kg menunjukkan efek estrogenik (Mahboubi,
2019).
b. Kontraindikasi dan Tindakan Pencegahan
Penggunaan sediaan mengandung minyak jintan pada kerusak kulit, di
sekitar mata atau selaput lendir dan dalam pasien dengan penyakit hati,
achlorhydria, cholangitis, batu empedu atau gangguan empedu lainnya
tidak dianjurkan. Buah jintan atau minyak jintan tidak dianjurkan
untuk digunakan selama kehamilan dan menyusui karena data yang
tidak mencukupi. Sebuah peringatan penggunaan pada pasien dengan
obstruksi saluran empedu, penyakit hati, kolangitis, batu empedu atau
penyakit empedu lainnya hadir karena efek penghambatan jintan
lengkap pada pengosongan kantong empedu pada manusia sehat.
Kontraindikasi dengan peradangan ginjal dilaporkan dan overdosis
minyak jintan untuk waktu yang lama kerusakan ginjal dan hati
(Mahboubi, 2019).
c. Toksisitas Jintan
LD50 oral dan kulit akut dari minyak jintan pada tikus dan kelinci
masing-masing 3,5 dan 1,78 mL/kg. Minyak jintan murni tidak
memiliki efek iritasi pada punggung yang tidak berambut pada tikus.
Menerapkan minyak jintan 4% dalam petrolatum pada 25 manusia
subyek tidak memiliki reaksi iritasi dan sensitisasi efek dalam uji
tambalan tertutup 48 jam. Dalam monograf ESCOP, LD50 oral akut
minyak jintan pada tikus dilaporkan dari dua penelitian berbeda 3,5
dan 7,4 mL/kg, masing-masing. LD50 dermal akut minyak jintan pada
kelinci dilaporkan 1,8 mL/kg. Intraperitoneal, LD50 intravena D-
carvone pada tikus adalah 482,2 dan 1500 mg/kg, LD50 oral D-
carvone pada tikus dan marmut adalah 1640 dan 766 mg/kg. ADI
(Dapat Diterima Intake Harian) untuk D-carvone adalah 0-1
mg/kg/hari. Dalam studi acak, tiga-bulan, terkontrol plasebo,
keamanan ekstrak air jintan dievaluasi pada 35 wanita sehat kelebihan
berat badan dan obesitas dibandingkan dengan plasebo. Para pasien
menerima 30 mL air jintan atau plasebo (minyak atsiri jintan
diencerkan) selama 12 minggu, dan status kesehatan umum, tes urin,
tekanan darah, jantung laju dan kimia darah dievaluasi mendapatkan
hasil yang tidak merugikan. Peristiwa dilaporkan setelah 12 minggu
perawatan. Tingkat jantung, fungsi hati, ginjal tidak terpengaruh dari
intervensi. Perbedaan yang signifikan dalam sel darah merah dan
tingkat lebar distribusi trombosit diamati antara dua kelompok.
Peningkatan signifikan dalam sel darah merah dan signifikan
pengurangan lebar distribusi trombosit adalah diamati dalam air jintan,
yang menyiratkan bahwa mungkin efek menguntungkan dari ekstrak
air biji jintan untuk pengobatan anemia. Hipertiroidisme dikaitkan
dengan suatu pengurangan lebar distribusi trombosit. Jintan ditoleransi
dengan baik dalam dosis terapi dan tidak menunjukkan toksik efek
terhadap manusia. Toksisitas akut jintan menunjukkan dosis
maksimum jintan esensial yang tidak mematikan ekstrak minyak dan
air adalah 400 dan 3200 mg/kg, masing-masing. ADI untuk D-carvone
adalah 0,6 mg/kgbb/hari (Mahboubi, 2019).

3.3 Greater celandine


3.3.1 Sistematika Tanaman
Kingdom: Plantae
Clade: Tracheophytes
Clade: Angiosperms
Clade: Eudicots
Order: Ranunculales
Family: Papaveraceae
Tribe: Chelidonieae
Genus: Chelidonium
Species: C. majus

3.3.2 Morgologi Tanaman


Celandine yang lebih besar adalah ramuan abadi dengan kebiasaan
tegak, dan mencapai tinggi 30–120 cm (12–47 in). Daun biru-abu-abu adalah
menyirip (seperti bulu) dengan tepi melengkung dan bergelombang, hingga 30
cm (12 in) panjang. Saat terluka, tanaman mengeluarkan getah kuning ke
oranye, atau getah.
Bunganya terdiri dari empat kelopak kuning, masing-masing
panjangnya sekitar 18 mm (0,71 in), dengan dua sepal. Variasi bunga ganda
terjadi secara alami. Bunga-bunga muncul dari akhir musim semi ke musim
panas, Mei hingga September (di Inggris), dalam umbellymym sekitar 4
bunga.Bijinya kecil dan hitam, terbawa dalam kapsul berbentuk silindris yang
panjang. Masing-masing memiliki elaiosom, yang menarik semut untuk
menyebarkan benih (myrmecochory) (Coon & Ernst, 2002).
3.3.3 Manfaat Tanaman
Sejauh Pliny the Elder dan Dioscorides (abad ke-1 M) ramuan ini telah
diakui sebagai agen detoksifikasi yang berguna. Akar telah dikunyah untuk
meredakan sakit gigi. John Gerard's Herball (1597) menyatakan bahwa "jus
herba baik untuk mempertajam penglihatan, karena itu membersihkan dan
menghilangkan hal-hal yang berlendir tentang bola mata dan menghalangi
penglihatan dan terutama direbus dengan madu.
Ini sebelumnya digunakan oleh beberapa orang Romani sebagai
penyegar kaki; dukun modern menggunakan sifat pencahar nya. Ahli jamu
modern, Juliette de Baïracli Levy merekomendasikan celandine yang lebih
besar yang diencerkan dengan susu untuk mata dan getah untuk
menghilangkan kutil. Chelidonium adalah ramuan favorit herbalis Perancis
Maurice Mességué. Chelidonium majus secara tradisional telah digunakan
untuk pengobatan berbagai penyakit radang termasuk dermatitis atopik. Ini
juga secara tradisional digunakan dalam perawatan batu empedu dan dispepsia
dan untuk mengobati gangguan hati, karena kemiripan jus dengan empedu
(Coon & Ernst, 2002).
3.3.4 Kandungan Tanaman
Seluruh tanaman beracun dalam dosis sedang karena mengandung
berbagai alkaloid isoquinoline; penggunaan dalam pengobatan herbal
membutuhkan dosis yang tepat. Alkaloid utama yang ada dalam ramuan dan
akar adalah coptisine. Alkaloid lain yang ada termasuk metil 2 '- (7,8-
dihidrosanguinarin-8-yl) asetat, alokriptopin, stylopine, protopin,
norchelidonine, berberin, chelidonine, sanguinarine, chelerythrine, dan 8-
hydroxydihramangine. Sanguinarine sangat beracun dengan LD50 18 mg per
kg berat badan (IP pada tikus). Turunan asam caffeic, seperti caffeoylmalic
acid, juga ada. Lateks yang khas juga mengandung enzim proteolitik dan
phytocystatin chelidostatin, penghambat sistein protease.Chelidonium
digunakan untuk membuat Ukrain (Coon & Ernst, 2002).
3.3.5 Metote dan Hasil Uji Klinik
Metode: Pencarian sistematis dilakukan dalam enam database
elektronik dan daftar referensi yang berada memeriksa publikasi yang
relevan lebih lanjut. Tidak ada Bahasa pembatasan diberlakukan. Ahli
di bidang dan produsen ekstrak herbal yang diidentifikasi juga
dihubungi. Semua uji klinis acak herbal produk obat diberikan sebagai
suplemen untuk subyek manusia dimasukkan (Coon & Ernst, 2002).
Uji klinis monopreparasi Greater celandine. Ritter et al.
melakukan uji selama 6 minggu, terkontrol plasebo, double-blind,
percobaan acak menggunakan ekstrak Greater celandine pada 60
pasien dengan keluhan epigastrik fungsional dan sakit seperti kram di
wilayah empedu dan saluran gastrointestinal. Setelah 6 minggu
perawatan, pasien yang diobati dengan ekstrak Greater celandine
dilaporkan lebih sedikit gejala gastrointestinal dibandingkan dengan
kelompok plasebo (P ¼ 0,003). Gejala-gejala itu menunjukkan
sebagian besar perbaikan adalah sakit perut, keluhan ringan, perut
kembung, mual dan sensasi kenyang. Delapan pasien melaporkan efek
samping selama penelitian, lima saat menerima plasebo (insomnia,
urtikaria dankantuk) dan tiga saat menerima Greater celandine (mulut
kering dan susah tidur). Dalam uji klinis terbuka pengobatan Greater
celandine yang lebih besar, enam pasien melaporkan efek samping
(diare, 3; mual, 2; kelelahan, 1). Serangkaian kasus 10 kasus hepatitis
akut setelah perawatan dengan Greater celandine yang lebih besar
ekstrak diidentifikasi. Jika tersedia, hati spesimen biopsi konsisten
dengan yang diinduksi oleh kerusakan obat, dan kemungkinan
penyebab penyakit hati lainnya dikecualikan oleh tes laboratorium dan
prosedur pencitraan. Penghentian Greater celandine yang lebih besar
menghasilkan cepat pemulihan, dengan kadar enzim hati kembali
normal dalam 2-6 bulan. Satu pasien tidak sengaja datang kembali,
menghasilkan episode kedua hati peradangan. Serangkaian kasus lebih
lanjut menjelaskan dua pasien diselidiki untuk sakit perut, dari ekstrak
Greater celandine yang diresepkan (Panchelidon, dua kapsul t.d.s. dan
satu kapsul b.d.), dan disajikan 2 dan 4 bulan kemudian dengan ikterus
scleral dan meningkat tingkat transaminase. Pada penghentian terapi,
hati Enzim kembali normal dan pasien pulih tanpa gejala sisa. Para
pasien tidak datang kembali. Satu laporan kasus dermatitis kontak
pada seorang wanita 64 tahun yang menggunakan jus Greater
celandine yang lebih besar untuk mengobati kutil juga diidentifikasi
(Coon & Ernst, 2002).
3.4 Sediaan Herbal (STW 5 (Iberogast)
3.4.1 Produk STW 5 (Iberogast)
Produk obat herbal STW 5 Iberogast adalah kombinasi tetap dari
sembilan ekstrak herbal yang berbeda (Tabel 1), masing-masing yang
terkandung dalam konsentrasi yang sangat rendah dibandingkan dengan dosis
yang digunakan dalam pengobatan obat tunggal. Dari sudut pandang
kemanjuran dan keamanan, produk obat herbal STW 5 tampaknya menjadi
pilihan terapi yang valid untuk pasien yang mencari fitoterapi untuk gejala
dispepsia fungsional mereka. (J. Melzer et al, 2004)

3.4.2 Kandungan STW 5 (Iberogast)


Kandungan yang terdapat pada produk STW 5 (Iberogast) adalah herba
Chelidonii, Liquiritae radix, Flos Matricariae, Fliss Melissae,
Menthaepiperitae folium, atau Cardui mariae fructus dan Angelicae radix
dengan konsentrasi yang berbeda-beda sperti yang terlihat pada tabel 1. (J.
Melzer et al, 2004)

3.4.3 Uji STW 5 dalam FD dan Pengobatan Gejala Saluran Pencernaan


Bagian Atas.
Lima studi acak tersamar ganda terkontrol dilakukan dengan STW 5 pada
pasien FD (Gambar 1). Pembanding adalah plasebo dalam 4 penelitian ini, dan
cisapride obat prokinetik (hari ini tidak lagi digunakan untuk alasan keamanan) dalam
satu percobaan. Dalam semua penelitian, STW 5 terbukti memiliki efek
menguntungkan yang signifikan, lebih unggul daripada plasebo. Dalam kasus uji
coba terkontrol referensi, kemanjuran STW 5 ditemukan setara dengan obat
prokinetik. Dalam penelitian tidak ada masalah keamanan yang relevan dengan STW
5. (Malfertheiner, 2018)

Gambar.1 Studi klinis dengan STW 5 dalam pengobatan FD. (Malfertheiner, 2018)
STW 5 memiliki reputasi panjang dan positif dari bukti empiris dalam
perawatan pasien dengan GFD. Percobaan prospektif pertama dilaporkan pada tahun
1994 dan termasuk 243 pasien dengan GFD yang ditentukan. Para penulis
melaporkan peningkatan yang signifikan dibandingkan plasebo dengan 2 persiapan
berbeda: STW 5 (persiapan komersial Iberogast) dan persiapan percobaan dengan
hanya 6 konstituen ekstrak herbal (STW-II). Tidak ada perbedaan yang dicatat dalam
kemanjuran terapeutik antara STW 5 dan STW-II. Signifikansi dibandingkan plasebo
juga dikonfirmasi untuk STW 5 dalam uji coba plasebo-terkontrol ganda yang
melibatkan 60 pasien yang terkena FD. (Malfertheiner, 2018)
Percobaan yang lebih besar, multisenter dan terkontrol plasebo dengan 308
pasien dengan FD kemudian dilakukan untuk memberikan database yang lebih baik
sehubungan dengan jumlah pasien dan diagnosis. Dalam penelitian ini, kriteria
diagnostik untuk FD secara ketat. Terapi yang sesuai ditargetkan untuk karakteristik
gejala spesifik kepenuhan postprandial, rasa kenyang dini, nyeri epigastrium dan
pembakaran epigastrium. Setelah fase cuci bersih selama 7 hari, pasien diacak untuk
8 minggu pengobatan dengan STW 5 (3x20 tetes / hari) atau plasebo. Titik akhir
primer adalah perubahan dalam skor GIS setelah 4 dan 8 minggu. Peningkatan GIS
diamati pada kedua kelompok (Gambar 2) tetapi ditemukan secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok STW 5 daripada dengan plasebo. Perbedaan ini dianggap
penting secara klinis. Penilaian kemanjuran global oleh para peneliti dan pasien
mengkonfirmasi superioritas yang diamati dari STW 5. Penting untuk menekankan
bahwa selama 6 bulan masa tindak lanjut, pasien yang dirawat selama 8 minggu
dengan STW 5 tetap bebas dari episode berulang untuk periode yang lebih lama
daripada pasien yang telah menerima plasebo. Tidak ada perubahan parameter
laboratorium yang relevan secara klinis dan tidak ada efek samping yang serius
selama periode penelitian. Proporsi pasien yang melaporkan efek samping yang tidak
serius tidak berbeda pada kedua kelompok perlakuan (Malfertheiner, 2018).
Dalam percobaan lain, efek STW 5 dibandingkan dengan efek agen prokinetik
cisapride, dengan asumsi efek spesifik pada gejala terkait dismotilitas. Titik akhir
utama dari percobaan non-inferior ini adalah perbaikan GIS setelah 4 minggu. Empat
puluh tiga pasien yang menerima STW 5 dan 45 pasien yang diobati dengan cisapride
dimasukkan dalam analisis konfirmasi. Kedua zat tidak berbeda dalam
kemanjurannya, dengan keuntungan yang diharapkan dari STW 5 memiliki profil
keamanan yang lebih baik. Pada penelitian Rösch et al, dari studi klinis-eksperimental
yang dilakukan di antara subyek sehat. Ditemukan bahwa STW 5 memiliki efek
ganda pada perut - ini menyebabkan relaksasi fundus lambung dan meningkatkan
motilitas antrum (Malfertheiner, 2018).
Secara keseluruhan, efek menguntungkan dari STW 5 dapat diantisipasi pada
pasien individu dengan gejala yang berhubungan dengan dismotilitas lambung.
Namun, efek ini tidak didasarkan pada regulasi pengosongan lambung. termasuk 103
pasien dengan FD dalam uji klinis acak. Para pasien dirawat selama 28 hari baik
dengan STW 5 atau dengan plasebo. Titik akhir utama dari penelitian ini adalah
perbaikan gejala berdasarkan skor GIS yang divalidasi. Pengukuran efek STW 5 pada
pengosongan lambung adalah parameter studi sekunder. Pasien menjalani asam
oktanoat 13C tes nafas untuk penilaian waktu pengosongan lambung. Pengobatan
dengan STW 5 menghasilkan peningkatan GIS (p = 0,08) dan dalam proporsi yang
lebih tinggi dari pasien dengan respons gejala dibandingkan dengan plasebo (p =
0,03). STW 5 tidak berpengaruh pada pengosongan lambung bila dibandingkan
dengan plasebo. Efek menguntungkan dari STW 5 yang diamati dalam penelitian ini,
oleh karena itu, kemungkinan besar terkait dengan perubahan persepsi visceral atau
hipersensitivitas (Malfertheiner, 2018).
Gambar.2 Perubahan ringkasan gastrointestinal (SIG) skor dalam 8 minggu
pengobatan (Malfertheiner, 2018)

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dispepsia merupakan sekumpulan gejala seperti rasa panas di ulu hati, perih,
mual, dan kembung. Beberapa tumbuhan yang memiliki khasiat untuk
mengobati dyspepsia yaitu tumbuhan Iberis amara L dan Caraway dan
Greater celandine. Iberis amara L. memiliki kandungan senyawa seperti,
amina, glukosinolat, cucurbitacine , minyak lemak dan flavonol. Caraway
atau buah jintan mengandung minyak esensial (3-7%), asam lemak (10-18%)
(asam petroselinik, asam linoleat dan asam oleat), protein (20%), karbohidrat
(15%), asam fenolik (caffeic asam), flavonoid (quercetin, kaempferol).
Greater celandine mengandung alokriptopin, stylopine, protopin,
norchelidonine, berberin, chelidonine, sanguinarine, chelerythrine, dan 8-
hydroxydihramangine. Contoh sediaan yang dapat menghilangkan dyspepsia
adalah sediaan STW 5 (Iberogast). Produk obat herbal STW 5 Iberogast
adalah kombinasi tetap dari sembilan ekstrak herbal yang berbeda.
Kandungan yang terdapat pada produk STW 5 (Iberogast) adalah herba
Chelidonii, Liquiritae radix, Flos Matricariae, Fliss Melissae,
Menthaepiperitae folium, atau Cardui mariae fructus dan Angelicae radix
dengan konsentrasi yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA

Christopher L. 2005. The Role of Proton Pump Ihibitors in the Treatment of


Heartburn during Pregnancy. Journal of the American Academy of
Nurse Practitioners 17(1), 4-8. [Abstract].
Coon, J. Thompson and Ernst, E.2002. Systematic Review: Herbal Medicinal
Products for Non-Ulcer Dyspepsia.Aliment Pharmacol Ther.16:1689-
1699.
Depkes RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Djojoningrat D. 2009. Dispepsia Fungsional. In: Sudoyo, A.W., Buku Ajar: Imu
Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. hlm. 529-
533.
Fithriyana, (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dispepsia
pada Pasien di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Vol, 2(2), 43-53.
Indah Aryati, Eko Ningtyas. (2012). Aktivasi Pemakaian Jinten Hitam (Nigella
sativa) Terhadap Respon Imun Pada Gigi Yang Mengalami Inflamasi.
Semarang: Poltekes Kesmenkes.
Irianto, Koes. (2015). Memahami Berbagai Macam Penyakit: Penyebab, Gejala,
Penularan, Pengobatan, Pemulihan dan Pencegahan. CV. Alfabeta.
Bandung.
J. Melzer, W. Rosch, J. Reichling, R. Brignolis & R. Saller. (2004). Meta-analysis:
phytotherapy of functional dypspepsia with the herbal drug
preparation SWT 5 (Iberogast). Switzerland: Medical clinic, hospital
nordwest. Vol: 20, Hal: 1279-1287.
J. Reichling, R. Saller. (2002). Iberis amara L. (Bittere Schleifenblume)-Profil einer
Heilpflanze. Forschende Komplementarmedizin-Klassiche
Naturhelkunde. Germany: Universitaat Heidelberg.
Koda-Kimble MA, Young LD, Kradjan WA, Guglielmo BJ, editors.2009. Applied
Therapeutics : The Clinical Use of Drugs. 9th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins.
Lee SW, Lien HC, Lee TY, Yang SS, Yeh HZ, Chang CS. 2014. Etiologies of
dyspepsia among a Chinese population: One hospital-based study.
Open Journal of Gastroenterology Vol. 4:249-54.
Lullmann, H., H. Mohr, L. Hein and D. Bieger. 2000. Color Atlas of Pharmacology,
2 rd, ed. P: 266-280.
Mahboubi, Mohaddese.2019.Caraway as Important Medicinal Plant in Management of
Diseases.Naturat Products and Bioprospecting 9:1-11.
Malfertheiner, Peter. (2017). SWT 5 (Iberogast) Therapy in Gastrointestinal
Functional Disorders. Germany: University Hospital of
Gastroenterology.
Mu’nim, A., Hanani, E., 2011, Fitoterapi Dasar, Jakarta, Dian Rakyat, 20
National Institute for Clinical Excellence. 2004. Dyspepsia: management of
dyspepsia inadults in primary care. London: National Institute for
Health and Clinical Excellence.
North of England Dyspepsia Guidelines Development Group. 2004. Dyspepsia:
managing dyspepsia in adults in primary care. New Castle: Centre for
Health Services Research.
Octaviana, E.S.L. & K. Anam. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Upaya Keluarga Dalam Pencegahan Penyakit Dispepsia di Wilayah
Kerja Puskesmas Mangkatip Kabupaten Barito Selatan. Jurnal
Langsat. Vol, 5(1).
Pardiansyah, R. % M. Yusran. (2016). Upaya Pengelolaan Dispepsia Dengan
Pendekatan Pelayanan Dokter Keluarga. Jurnal Medula Unila. Vol. 5
(2).
Putri Rizky Nanda, Yanti Ernalia dan Eka Bebasari. 2015. Gambaran Sindroma
Dispepsia Fungsional pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Riau Angkatan 2014. JOM FK Vol. 2 No. 2
Tarigan C.J., 2001. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional dan
Dispepsia Organik. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran. Universitas
Sumatera Utara.
Tortora GT, Grabowski SR. 2000. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 9.
New York: John Wiley and Sons, Inc
WHO. (2015). Maternal Mortality. In : Reproduction Health And Research, Editor.
Geneva : World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai