Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH BIOAKTIFITAS

UJI ANTIINFLAMASI DENGAN METODE RAT PEW


EDEMA (PEMBENTUKAN EDEMA BUATAN PADA
TELAPAK KAKI TIKUS)

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya hayati kedua
terbesar yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Di Indonesia terdapat lebih
kurang 30.000 jenis tumbuh-tumbuhan, lebih kurang 7.500 jenis diantaranya
termasuk tanaman berkhasiat obat (Kotranas dalam BPOM, 2006).
Penggunaan bahan alam, baik sebagai obat maupun tujuan lain cenderung
meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis
berkepanjangan yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat.
Dibandingkan obat-obat modern, memang obat tradisional memiliki beberapa
kelebihan, salah satunya adalah efek sampingnya relatif rendah. Perlu disadari
pula bahwa memang ada bahan obat tradisional yang berbahaya jika
penggunaannya melewati dosis dan konsentrasi yang aman (Katno dan
Pramono, 2005). Namun hingga saat ini pemanfaatan tanaman obat sebagai
obat tradisional belum optimal.
Dalam tumbuhan diketahui terdapat banyak senyawa kimia yang
terkandung pada masing-masing bagian tubuhnya. Senyawa yang terdapat
pada bagian-bagian tumbuhan seperti daun dapat berfungsi sebagai
antiinflamasi dengan aktivitas yang tinggi serta mengandung flavonoid,
terpenoid, dan alkaloid yang memiliki aktivitas tertentu lainnya (Huang, et al.,
2012).
Flavonoid merupakan senyawa yang dilaporkan dapat mempengaruhi
proses inflamasi dan memiliki efek antiinflamasi. Apigenin merupakan
komponen flavonoid utama yang termasuk ke dalam golongan flavon. Didalam
tubuh, apiin (glikosida flavonoid) dapat terhidrolisis oleh asam lambung menjadi
gula dan aglikon apigenin. Apigenin terbentuk dari proses hidrolisis apiin yang
dibantu oleh asam lambung (HCl)(Soedibyo, 1998).
Inflamasi atau yang biasa disebut peradangan merupakan kejadian yang
umum dan sering dialami oleh setiap individu. Inflamasi merupakan salah satu
respon normal tubuh yang dapat disebabkan oleh cedera, trauma fisik, zat
kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologi (Harvey, 2009). Inflamasi yang
terjadi dapat bersifat akut ataupun kronis.Inflamasi akut terjadi dalam waktu
singkat yang ditujukan untuk menghilangkan agen penyebab inflamasi dan
membatasi jumlah jaringan yang rusak. Sedangkan inflamasi kronik
berlangsung lama dan dapat merupakan perkembangan dari inflamasi akut
(Robbins and Cotran, 2010) Berbagai macam obat sintetik telah dikembangkan
untuk mengatasi masalah inflamasi. Obat-obat antiinflamasi yang ada saat ini

2
umumnya memiliki efek samping yang besar. Saat ini ada 2 golongan obat yang
digunakan sebagai antiinflamasi yaitu golongan steroid dan nonsteroid.
Golongan steroid dapat menurunkan imunitas sedangkan nonsteroid dapat
menyebabkan tukak lambung, gangguan ginjal, dll. Banyaknya efek samping
yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan obat-obat sintetik,memicu
pencarian obat alternatif yang berasal dari bahan alam atau yang lebih dikenal
dengan obat tradisional. Penggunaan obat tradisional diharapkan memiliki
tingkat keamanan dan efek samping yang lebih rendah dibanding obat sintetik.
Inflamasi biasanya diobati dengan menggunakan obat antiinflamasi
golongan steroid (AIS) dan obat antiinflamasi golongan nonsteroid (AINS). Obat
antiinflamasi dari bahan kimia sintesis banyak digunakan masyarakat karena
mempunyai efek yang cepat dalam menghilangkan inflamasi tetapi juga
mempunyai resiko efek samping yang berbahaya, antara lain menimbulkan
gangguan pada saluran cerna, sistem sirkulasi tubuh, saluran pernafasan,
proses metabolik, dan hipersensitivitas (Kertia, 2009). Oleh karena itu
pemanfaatan tumbuhan obat dengan khasiat antiinflamasi perlu dilakukan
untuk menemukan alternatif pengobatan dengan efek samping yang relatif lebih
kecil.
Oleh karena itu dilakukan penelitian-penelitian yang bertujuan untuk
melihat serta menentukan efek antiinflamasi dari masing-masing tumbuhan
tersebut. Metode yang digunakan adalah metode rat pew edema yaitu
pembuatan edema buatan pada kaki tikus dengan menggunakan karagen.
Karagen merupakan polisakarida sulfat yang berasal dari tanaman Chondrus
crispus (Wattimena dan Widianto, 1993). Karagen merupakan suatu
polisakarida sulfat bermolekul besar sebagai induktor inflamasi (Corsini dkk.,
2005). Penggunaan karagen sebagai penginduksi radang memiliki beberapa
keuntungan antara lain tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan
kerusakan jaringan dan memberikan respon yang lebih peka terhadap obat
antiinflamasi dibanding senyawa iritan lainnya (Siswanto dan Nurulita, 2005).
Pada proses pembentukan edema, karagen akan menginduksi cedera sel dengan
dilepaskannya mediator yang mengawali proses inflamasi. Edema yang
disebabkan induksi karagen dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur –
angsur berkurang dalam waktu 24 jam.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan
antara lain sebagai berikut :
1. Apakah pada tumbuhan tesebut memiliki efek antiinflamasi ?

3
2. Bagaimanakah perbandingan efek antiinflamasi pada berbagai ekstrak
tumbuhan dengan metode rat paw edema?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antiinflamasi dari berbagai
tumbuhan.
2. Membandingkan efektivitas antiinflamasi ekstrak berbagai tumbuhan
dengan metode rat paw edema.
1.4 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi ilmiah tentang pemanfaatan berbagai tumbuhan
sebagai obat antiinflamasi serta sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut
mengenai pemanfaatan bebagai tumbuhan di bidang kesehatan, farmasi dan
kimia.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inflamasi
Inflamasi merupakan suatu mekanisme pertahanan yang dilakukan oleh
tubuh untuk melawan agen asing yang masuk ke tubuh, tidak hanya itu
inflamasi juga bisa disebabkan oleh cedera jaringan oleh karena trauma, bahan
kimia, panas, atau fenomena lainnya. Jaringan yang mengalami inflamasi
tersebut melepaskan berbagai zat yang menimbulkan perubahan sekunder yang
dramatis disekeliling jaringan yang normal (Guyton dan Hall, 1997).
Tanda-tanda inflamasi
Inflamasi ditandai oleh adanya vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, peningkatan
permeabilitas kapiler. Inflamasi menyebabkan pembekuan cairan di dalam
ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang
bocor dari kapiler dalam jumlah yang besar. Inflamasi juga menyebabkan
migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan,
pembengkakan sel jaringan (Guyton dan Hall, 1997)
Tanda klasik umum yang terjadi pada proses inflamasi yaitu rubor
(kemerahan), tumor (pembengkakan), kalor (panas setempat yang berlebihan),
dolor (rasa nyeri), dan functiolaesa (gangguan fungsi/kehilangan fungsi jaringan
yang terkena).
Mekanisme terjadinya inflamasi
Proses inflamasi merupakan suatu proses yang komplek melibatkan
berbagai macam sel, misalnya dalam beberapa jam sel leukosit yang berfungsi
sebagai sel pertahanan tubuh menempel ke sel endotel pembuluh darah di
daerah inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga
jaringan yang disebut extravasasi. Keluarnya berbagai faktor plasma seperti
immunoglobulin, komplemen, sistem aktivasi kontak-koagulasi-fibrinolitik, sel-
sel leukosit seperti neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, monosit yang
berinteraksi satu sama lain dalam proses inflamasi. Sel sistem imun nonspesifik
seperti neutrofil, basofil, eosinofil, dan monosit ini diproduksi dan disimpan di
sumsum tulang dan diedarkan di dalam darah. Pada keadaan normal, leukosit
hanya sedikit melekat pada sel endotel, tetapi pada inflamasi adhesi antara
leukosit dan sel endotel ini sangat ditingkatkan sehingga meningkatnya sel
mediator inflamasi ke dalam jaringan (Mansjoer , 1999).
2.2 Antiinflamasi
Antiinflamasi adalah sebutan untuk agen/obat yang bekerja melawan
atau menekan proses peradangan ( Dorlan, 2002). Terdapat tiga mekanisme

5
yang digunakan untuk menekan peradangan yaitu pertama penghambatan
enzim siklooksigenase. Siklooksigenase mengkatalisa sintetis pembawa pesan
kimia yang poten yang disebut prostaglandin, yang mengatur peradangan, suhu
tubuh, analgesia, agregasi trombosit dan sejumlah proses lain. Mekanisme
kedua untuk mengurangi keradangan melibatkan penghambatan fungsi-fungsi
imun. Dalam proses peradangan, peran prostaglandin adalah untuk memanggil
sistem imun. Infiltrasi jaringan lokal oleh sel imun dan pelepasan mediator
kimia oleh sel-sel seperti itu menyebabkan gejala peradangan (panas,
kemerahan, nyeri). Mekanisme ketiga untuk mengobati peradangan adalah
mengantagonis efek kimia yang dilepaskan oleh sel-sel imun. Histamin, yang
dilepaskan oleh sel mast dan basofil sebagai respon terhadap antigen,
menyebabkan peradangan dan konstriksi bronkus dengan mengikat respon
histamin pada sel-sel bronkus (Olson, 2003).
Sampai beberapa tahun yang lalu, ada dua jalan untuk mengurangi
peradangan secara farmakologi. Pendekatan yang pertama adalah
kortikosteroid, dan yang kedua adalah penggunaan obat antiinflamasi non
steroid (AINS) (Olson, 2003).
Antiinflamasi Non Steroid (AINS)
Obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan suatu grup obat
yang secara kimiawi tidak sama dan berbeda aktivitas antiinflamasinya. Obat-
obat ini bekerja dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase tetapi tidak
menghambat enzim lipooksigenase (Mycek dkk, 2001). Walaupun demikian
obat-obat ini memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek
samping (Wilmana, 1995).
Salah satu obat AINS adalah aspirin. Asam asetil salisilat yang lebih
dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik, antipiretik dan anti-
inflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas.
Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat
sejenis (Wilmana dalam Ganiswara, 2005).
Aspirin menghambat aktivitas siklooksigenase, maka aspirin mengurangi
pembentukan prostaglandin dan juga memodulasi beberapa aspek inflamasi
dan prostaglandin bertindak sebagai mediator. Prostaglandin diduga berperan
penting dalam patogenesis inflamasi, analgesia dan demam. Secara invitro
terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI1) dapat
menyebabkan eritema, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah lokal.

6
Aspirin cepat akan dipotong gugus asetilnya oleh esterase sehingga akan
menghasilkan salisilat. Salisilat ini akan menghambat sintesis prostaglandin di
pusat pengatur panas dalam hipotalamus dan perifer di daerah target. Salisilat
juga mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik dan
kimiawi oleh karena itu aspirin dapat berfungsi sebagai antiinflamasi,
antipiretik dan analgesik (Mycek, 2001).
Aspirin mempengaruhi mediator kimia sistem kallikrein (sistem yang
mengubah kininogen menjadi kinin). Akibatnya, aspirin juga menghambat
perlekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan
membran lisosom, dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan
makrofag ketempat peradangan (Katzung, 1998)
Antiinflamasi steroid
Golongan steroid bekerja dengan cara menghambat pelepasan
prostaglandin melalui penghambatan metabolisme asam rakhidonat. Dalam
klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek terapeutik glukokortikoid yang
paling penting adalah kemampuannya untuk mengurangi respon peradangan
secara dramatis. Efek ini didapat dari proses penurunan dan penghambatan
limfosit serta makrofag perifer A 2 secara tidak langsung yang menghambat
pelepasan asam arakidonat, prekusor prostaglandin dan leukotrien (Mycek,
2001).
Setelah pemberian dosis tunggal glukokortikoid bekerja singkat dengan
konsentrasi neutrofil meningkat yang menyebabkan pengurangan jumlah sel
pada daerah peradangan (Katzung, 2002).
2.3 Metode Rat Paw Edema
Uji antiinflamasi dilakukan dengan membuat edema buatan pada telapak
kaki tikus jantan yang disebabkan oleh penyuntikan karagenin sebagai senyawa
iritan. Pemilihan metode ini karena mudah pelaksanannya dan waktu
terbentuknya udema dapat diselidiki (Sedgwick dan Willoughby, 1989).
Karagenin merupakan seyawa iritan yang dipilih, meskipun senyawa iritan lain
seperti formalin, mustard, kaolin, racun ular, polivinilpirolidin, yeast,
ovalbumin, dan mediator kimia inflamasi seperti histamin, serotonin, atau
bradikinin serta enzim hidrolitik seperti kolagenase, tripsin, lipase, fosofolipase,
A2, elastase, dan hyaluronidase juga dapat menimbulakan udema ketika
disuntikkan secara subplantar pada telapak kaki tikus, namun karagenin
merupakan seyawa yang paling banyak digunakan untuk memprediksi efek
terapeutik obat antinflamasi steroid maupun nonsteroid (Gryglewski, 1997).
Kargenin berfungsi sebagai inducer inflamasi. Karagenin merupakan

7
polisakarida sulfat yang di ekstraksi dari Messocondrus crispus yang
merupakan alga maerah berwarna ungu gelap dan berbentuk kasar. Karagenin
merupakan senyawa yang dapat merangsang mediator radang sehingga dapat
menimbulkan udema pada telapak kaki hewan uji. Keuntungan penggunaan
karagenin tidak menimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas,
serta menimbulkan respon yang paling peka terhadap obat antiflamasi
dibandingkan senyawa iritan lainnya. Pada proses pembentukan udema,
karagenin akan menginduksi cedera sel denagan dilepaskannya mediator yang
mengawali proses inflamasi. Udema yang disebabkan induksi karagenindapat
bertahan selama enam jam dan beaqngsur-angsur berkurang dalam waktu 24
jam (Sumarny dan Rahayu, cit Mukhlisoh, 1998). Dalam percobaan ini hal yang
diamati adalah pembengkakan. Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada
sel dan jaringan akibat adanya noksi akan menyebabkan berbaggai mediator
dan substansi radang. Asam arakidonat mulanya merupakan komponen normal
yang disimpan pada sel dalam bentuk fosfolipida dan dibebaskan dari sel
penyimpan lipid oleh asil hidrolase sebagai respon adanya noksi. Asam
arakidonat kemudian mengalami metabolism menjadi dua alur. Alur
siklooksigenase akan membebaskan prostaglandin,prostasiklin,dan
tromboksan. Alur lipooksigenase akan membebaskan leukotrien dan berbagai
substansi seperti 5-HPETE,5- HETE,dan sebagainya.kerja utama kebanyakan
NSAIDs,dalam hal ini indometasin, adalah sebagai penghambat sintesis
prostaglandin. Sedangkan kerja utama obat anti radang glukokortikoid, dalam
hal ini prednisone yaitu menghambat pembebasan asam arakidonat. Kerusakan
sel akibat adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator atau substansi
radang antara lain histamine,brdikinin,prosraglandin,dan lain lain.
Prostaglandin sebenarnya bukan mediator radang lebih tepat dikatakan
modulator dari reaksi radang.prostaglandin paling sensible pada reseptor rasa
sakit di daerah perifer.
2.4 Karagen
Karagen merupakan polisakarida sulfat yang berasal dari tanaman
Chondrus crispus (Wattimena dan Widianto, 1993). Karagen merupakan suatu
polisakarida sulfat bermolekul besar sebagai induktor inflamasi (Corsini dkk.,
2005). Penggunaan karagen sebagai penginduksi radang memiliki beberapa
keuntungan antara lain tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan
kerusakan jaringan dan memberikan respon yang lebih peka terhadap obat
antiinflamasi dibanding senyawa iritan lainnya (Siswanto dan Nurulita, 2005).
Pada proses pembentukan edema, karagen akan menginduksi cedera sel
dengan dilepaskannya mediator yang mengawali proses inflamasi. Edema yang

8
disebabkan induksi karagen dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur –
angsur berkurang dalam waktu 24 jam. Edema yang disebabkan oleh injeksi
karagen diperkuat oleh mediator inflamasi terutama PGE1 dan PGE2 dengan
cara menurunkan permeabilitas vaskuler. Apabila permeabilitas vaskuler turun
maka protein-protein plasma dapat menuju ke jaringan yang luka sehingga
terjadi edema (Corsini dkk, 2005).

9
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
Alat
Kandang tikus, sonde lambung, dispossible syringe, stopwatch, mortal dan
pastle, beaker glass, timbangan, spidol, pletismometer air raksa (Ugo Basile).
Bahan
Air suling, etanol, kloroform, Natrium CMC, pakan hewan, natrium diklofenak,
karagen, NaCl 0,9 %.0,045 mg/gr BB tikus,suspensi karagen 1% dalam larutan
salin normal, aquades steril.
3.2 Prosedur Penelitian
Berdasarkan metode (Dewi et al, 2015):
Preparasi Sampel
Bahan dibersihkan dan dicuci menggunakan air, kemudian dipotong hingga
menjadi bagian lebih kecil. Sempel dikeringkan di udara terbuka pada suhu
kamar dan selanjutnya diblender sehingga diperoleh serbuk.
Ekstraksi kulit batang
Sampel mula-mula dimaserasi dengan pelarut organik. Setelah pelarutnya
diuapkan maka diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak pekat ini kemudian dilarutkan
dalam fraksi (pelarut lain) sehingga diperoleh dua fraksi. Fraksi yang diinginkan
kemudian dipartisi dengan ekstraksi cair-cair. Fraksi yang diperoleh
selanjutnya diuji aktifitas antiinflamasinya.
Uji fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan terhadap senyawa-senyawa metabolit sekunder
dengan pereksi yang spesifik seperti alkaloid menggunakan pereaksi wagner dan
mayer, saponin menggunakan HCl, fenol menggunakan FeCl, Flavonoid
menggunakan Mg dan HCl, sedangkan terpenoid dan steroid menggunakan
pereaksi LB (Liebermann Burchard).
Uji aktivitas antiinflamasi
Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus yang kemudian dibagi kedalam
kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol
positif, dan kelompok hewan uji. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor
tikus. Sebelum diberi perlakuan, semua tikus dipuasakan selama 12-18 jam.
Masing-masing hewan ditimbang dan diberi tanda pada kaki kirinya, kemudian
kaki kiri tikus dimasukan kedalam alat pengukur volume udema dan dicatat
volume awal (Vo) kaki tikus. Selanjutnya, kepada masing-masing kelompok uji
diberi perlakuan secara per oral dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Kelompok I (kelompok normal) sebanyak 5 ekor tikus

10
Kelompok ini tidak diberi perlakuan apapun, baik injeksi dengan karagenan 1 %
(b/v), suspensi Natrium diklorofenak, maupun suspensi ekstrak eter kulit
batang tenggulun. Kelompok ini hanya diberikan suspensi Tween 80 3 % (v/v).
b. Kelompok II (kontrol negatif) sebanyak 5 ekor
tikus Kelompok ini diberi suspensi Tween 80 3 % (v/v) dan injeksi dengan
karagenan 1 % (b/v).
c. Kelompok III (kontrol positif) sebanyak 5 ekor tikus
Kelompok ini diberi larutan Natrium diklorofenak dengan dosis 5 mg/kg BB dan
diinjeksikan dengan karagenan 1 % (b/v).
d. Kelompok IV (perlakuan I) sebanyak 5 ekor tikus
Kelompok ini diberi suspensi ekstrak eter kulit batang tenggulun dengan dosis
125 mg/kg BB dan diinjeksi dengan karagenan 1 % (b/v).
e. Kelompok V (Perlakuan II) sebanyak 5 ekor tikus
Kelompok ini diberi suspensi ekstrak eter kulit batang tenggulun dengan dosis
250 mg/kg BB dan diinjeksi dengan karagenan 1 % (b/v).
f. Kelompok VI (Perlakuan III)
Kelompok ini diberi suspensi ekstrak eter kulit batang tenggulun dengan dosis
500 mg/kg BB dan diinjeksi dengan karagenan 1 % (b/v). Diasumsikan bahwa
tiap berat badan tikus rata-rata sebesar 200 g dan diberikan larutan uji dengan
volume sebanyak 2 ml. Satu jam kemudian, kepada masing-masing telapak kaki
tikus, kecuali kelompok kontrol normal disuntik secara interplanar dengan
larutan lamda karagenan 1 % (b/v). Setelah 30 menit, perubahan volume cairan
yang terjadi dicatat sebagai volume telapak kaki tikus (Vt). Pengukuran
dilakukan setiap 30 menit selama 360 menit. Volume inflamasi adalah selisih
dari volume telapak kaki tikus setelah dan sebelum disuntikan karagenan.
3.3 Analisis Data
Perhitungan Persen Inflamasi
Persen inflamasi dapat dihitung dengan rumus :
Persen inflamasi = vt-vo/vo x 100%
Dimana :
Vt = Volume inflamasi setelah waktu t
Vo = Volume awal kaki tikus
Persen hambatan inflamasi dihitung dengan rumus :
Persen hambatan inflamasi = a-b/a x 100%
Dimana :
a = Volume inflamasi setelah waktu t
b = Persen inflamasi kelompok
perlakuan bahan uji atau obat pembanding

11
Data hasil penelitian ini secara statistik dengan menggunakan uji probit untuk
mengetahui nilai ED 50. Dan analisis dilanjutkan dengan ANOVA satu jalan
menggunakan program SPSS dengan hipotesis statistik sebagai berikut: H0 :
tidak ada perbedaan bermakna antara nilai persentase hambatan inflamasi
minimum 1 pasang kelompok uji per satuan waktu. H1 : ada perbedaan
bermakna antara nilai persentase hambatan inflamasi minimum 1 pasang
kelompok uji per satuan waktu.

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Aktivitas Antiinflamasi
 Berdasarkan Metode Penelitian (Dewi et al, 2015):
Tabel 2 menunjukan bahwa pemberian ekstrak eter kulit batang Tenggulun
memberikan efek antiinflamasi terhadap seluruh kelompok uji, semakin besar
dosis ekstrak yang diberikan, maka semakin kecil persentase radang yang
dihasilkan, dan persentase hambatan yang dihasilkan maka semakin besar.

Keterangan : Persentase diambil saat menit ke-360 menit


Dari data tersebut hasil persentase inflamasi rata-rata selama 6 jam (360 menit)
disajikan dalam Gambar 1 dan Gambar 2. Berdasarkan Gambar 1 dan Gambar
2 dapat dilihat bahwa kelompok uji positif menunjukan peningkatan persentase
hambatan inflamasi rata-rata yang tinggi pada menit ke-180 yang daya
hambatnya mencapai 51,68 % dan saat mencapai menit ke-360 daya
hambatnya mencapai 56,67 %. Pada kelompok Uji 125 mg/kg BB juga
mengalami persentase hambatan pada menit ke- 210 dengan nilai hambatan
mencapai 25,87 %. Peningkatan persentase hambatan inflamasi yang tinggi juga
terlihat pada kelompok uji dengan dosis 250 mg/kg BB dan kelompok uji
dengan dosis 500 mg/kg BB. Kelompok bahan uji dengan dosis 250 mg/kg BB
mengalami peningkatan hambatan inflamasi pada menit ke-150 yaitu dengan
nilai hambatan sebesar 67,50 % dan pada menit ke-360 mencapai 94,36 %,
sedangkan untuk kelompok uji 500 mg/kg BB mengalami peningkatan
hambatan inflamasi yang paling tinggi yaitu pada menit ke- 180 dengan nilai
hambatan yaitu sebesar 85 % dan pada menit ke-360 dengan nilai hambatan
sebesar 96,11 %. Pada saat penurunan terjadinya inflamasi terjadi pada fase
farmakodinamik (zat aktif tersedia untuk memberikan efek), dimana interaksi
antara reseptor dengan efektor. Pemberian ekstrak eter kulit batang Tenggulun
memberikan efek inflamasi terhadap seluruh kelompok uji, semakin besar dosis
ekstrak yang diberikan, maka semakin kecil persentase radang yang dihasilkan,
dan sebaliknya persentase hambatan radang yang dihasilkan semakin besar

13
(Katzung, 2002). Waktu terbentunya radang terdiri dari dua fase yaitu fase
pertama disebut early phase dan fase yang kedua disebut late phase, Fase
terbentunya radang pada penelitian ini berada pada pase kedua yaitu laten
phase. Late phase merupakan fase awal 3 jam saat radang mulai terbentuk
(setelah diinduksi karagenan). Ekstrak eter kulit batang tenggulun bekerja
melalui penghambatan pelepasan mediator kimia serotin dan histamin ke
tempat terjadinya radang. Selain itu, menghambat sintesis prostagladin yang
merupakan mediator utama dari inflamasi (Hazanah, 2011).
 Berdasarkan Metode Penelitian (Amirah dan Herman, 2015):

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh data pengukuran
volume radang pada telapak kaki tikus sebelum dan setelah perlakuan. Pada
gambar 1 dapat dilihat bahwa setelah penyuntikan karagen secara intraplantar
terjadi peningkatan volume kaki secara perlahan. Hal ini menunjukkan bahwa
penyuntikan karagen dapat menyebabkan peradangan. Radang terjadi karena
karagen merupakan suatu zat asing (antigen), jika masuk kedalam tubuh akan
merangsang antibodi untuk melawan antigen. Karagen akan merangsang
lisisnya sel mast dan melepasakan mediatormedator inflamasi yang dapat
menyebabkan vasodilatasi sehingga terjadi eksudasi pada dinding kapiler dan
migrasi fagosit ke daerah radang sehingga terjadi inflamasi pada daerah
tersebut. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa fraksi kloroform
daun johar dapat memberikan efek penghambatan inflamasi pada dosis 75
mg/kg BB.
 Bedasarkan Metode Penelitian (Sapri, et al., 2017)

Pengujian efek antiinflamasi menggunakan metode pembentukan radang

14
buatan pada telapak kaki belakang mencit putih jantan. Metode ini dipilih
karena edema atau radang merupakan salah satu gejala inflamasi yang dapat
digunakan sebagai parameter untuk mengukur potensi antiinflamasi suatu
senyawa. Potensi antiinflamasi diukur berdasarkan kemampuan senyawa
tersebut dalam menghambat dan mengurangi terjadinya radang. Fraksi air
ekstrak daun seledri dibuat dalam berbagai tingkatan dosis dengan tujuan
melihat hubungan antara kenaikan dosis dengan efek antiinflamasi Kalium
Diklofenak yang ditimbulkan pada hewan uji. Dari penelitian yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa, fraksi air ekstrak daun seledri memilik
aktivitas antiinflamasi pada mencit putih jantan. Dan dosis yang memiliki
aktivitas setara atau hampir sama dengan kontrol positif adalah dosis 500
mg/kgBB. ED50 dari fraksi air ekstrak daun seledri yaitu 100 mg/kgBB, yaitu
dalam 100 mg/kgBB dapat memberikan efek terapi median pada 50%
kelompok.
 Berdasarkan Metode Penelitian (Rinayanti, et al., 2014):

Hasil perhitungan persentase penghambatan radang menunjukkan bahwa


Natrium diklofenak sebagai kontrol positif memiliki persentase penghambatan
udem sebesar 30,70%. Sedangkan pada fraksi air daun mahkota dewa dosis 0,5
g/kgBB memiliki persentase penghambatan udem 27,35%. Pada dosis 1 g/kgBB
persentase penghambatan udem 18,58%. Pada dosis 2 g/kgBB persentase
penghambatan udem 20,17%. Berdasarkan hasil persentase penghambatan
udem tiap perlakuan menunjukkan bahwa fraksi air daun mahkota dewa
dengan dosis 0,5 g/kgBB memiliki nilai persen penghambatan radang yang
paling tinggi dibandingkan kelompok dosis uji lainnya. Hal tersebut sejalan
dengan temuan pada beberapa jenis obat dalam dosis tinggi yang menyebabkan
pelepasan histamin secara langsung dari sel mast sehingga mengakibatkan
pembuluh darah menjadi lebih permeabel terhadap cairan plasma dan
menimbulkan proses peradangan (Kurniawati, 2005). Demikian juga pada fraksi
air daun mahkota dewa yang mengandung senyawa yang mampu
mengakibatkan peradangan. Pengukuran volume telapak kaki tikus dengan

15
pletismometer dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sulitnya
mengkondisikan hewan uji dan kejelasan pada saat pembacaan skala. Hal ini
dapat dikurangi dengan menenangkan hewan uji pada saat memasukan
kakinya kedalam raksa, pemberian batas yang jelas dengan penanda spidol
permanen yang tidak mudah hilang serta melakukan pengukuran secara triplo
untuk setiap hewan uji.
Phalerin memiliki efek antiinflamasi ringan. Phalerin mampu menghambat
enzim lipoksigenase dan xantin oksidase, namun tidak memiliki efek hambatan
terhadap enzim hyaluronidase (Nor F et al., 2012). Studi yang dilakukan oleh
Tjandrawinata, et al 2010 terhadap ekstrak metanol buah mahkota dewa
dengan kandungan 20,26% phalerin menunjukkan ekstrak memiliki efek
antiinflamasi dengan menekan ekspresi COX2-mRNA dengan keberadaan
phorbol ester 12-O-tetradecanoyil phorbol-13-acetate. Hambatan COX-2 mRNA
menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin E2 (PGE2) dan selanjutnya
menghambat inflamasi.
 Berdasarkan Metode Penelitian (Santi, 2015):

16
Pengujian aktivitas antiinflamasi ini menggunakan metode Winter. Metode
Winter merupakan metode paling banyak digunakan untuk pertama kali
menguji agen antiinflamasi baru dengan melihat kemampuan suatu senyawa
dalam mengurangi induksi radang atau edema lokal pada telapak kaki tikus
injeksi induktor radang (Ravi et al., 2009). Pemilihan metode ini karena
pelaksanaannya sederhana, cepat, dapat diamati dengan jelas radang yang
terjadi dan dapat diukur secara kuantitatif serta dapat dihitung secara statistik.
Pengujian efek antiinflamasi dilakukan dengan menggunakan alat
Pletismometer air raksa dengan pengukuran berdasarkan hukum Archimedes
yaitu bila suatu benda yang dimasukkan ke dalam zat cair akan memberikan
gaya atau tekanan ke atas sebesar volume yang didesak atau dipindahkan.
Induksi radang dilakukan secara kimia menggunakan larutan karagenan
1% sebanyak 0,1 ml yang disuntikkan pada telapak kaki tikus secara
intraplantar Pembentukan radang oleh karagenan menghasilkan radang yang
akut dan tidak menyebabkan kerusakan jaringan, meskipun radang dapat
bertahan selama 6 jam dan berangsur berkurang setelah 24 jam. Responnya
terhadap obat antiinflamasi lebih peka dibandingkan iritan lainnya. Dari hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak metanol dan n-heksana daun
pepaya (Carica papaya L.) memiliki aktivitas antiinflamasi. Aktivitas
antiinflamasi ekstrak metanol dan n-heksana daun pepaya pada dosis 200
mg/KgBB dan 400 mg/KgBB tidak berbeda secara statistik.
Pemberian indometasin, ekstrak metanol dosis 200 mg/KgBB, 400
mg/KgBB, ekstrak n-heksana dosis 200 mg/KgBB, 400 mg/KgBB memberikan
persentase radang telapak kaki tikus yang lebih rendah dibandingkan kontrol.
Hal ini menyatakan bahwa bahan uji yang diberikan pada tikus berperan
sebagai antiinflamasi. Hasil skrinning fitokimia daun pepaya mengandung
alkaloid, flavonoid dan steroid. Penggunaan penyari metanol pada simplisia
daun pepaya yaitu untuk memperoleh kandungan senyawa-senyawa yang
bersifat polar diantaranya flavonoid, sedangkan penggunaan penyari n-heksana
untuk memperoleh kandungan senyawa-senyawa non polar yang salah satunya
adalah steroid. Pada uji toksisitas akut, pemberian dosis 1000 mg/KgBB
ekstrak metanol dan n-heksana daun pepaya, tidak ditemukan adanya
kematian hingga hari ke 14, sehingga tidak ada efek toksik yang bermakna.
Selain itu tikus tidak menunjukkan adanya perubahan secara fisiologis.
 Berdasarkan Metode Penelitian (Pramitaningastuti dan Anggraeny,
2017):

17
Ekstrak etanol daun Srikaya (Annona squamosa. L) dosis 200mg/kgbb
(83,74%) memiliki persentase daya antiinflamasi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol positif dan secara statistik memiliki perbedaan yang
bermakna. Hal tersebut dapat dihasilkan akibat pengaruh kandungan zat aktif
yang berada di dalam ekstrak. Ekstrak etanol daun Srikaya (Annona squamosa.
L) mengandung flavonoid yang diduga berkhasiat sebagai antiinflamasi.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan fenol alam yang terbesar.
Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan biji sehingga dapat dipastikan
senyawa tersebut ditemukan dalam ekstrak tumbuhan. Pada umumnya
flavonoid larut dalam pelarut polar seperti, metanol, aseton, air dan etanol.
Senyawa flavonoid secara khusus mampu menghentikan pembentukan dan
pengeluaran zat-zat yang menyebabkan peradangan akibat reaksi alergi.
Senyawasenyawa yang termasuk dalam golongan flavonoid mempunyai efek
yang berbeda-beda dalam mengatasi inflamasi. Mekanisme antiinflamasi yang
dihasilkan oleh flavonoid dapat terjadi melalui beberapa jalur salah satunya
adalah dengan adanya penghambatan aktivitas enzim COX dan lipooksigenase
secara langsung yang menyebabkan penghambatan biosintesis prostaglandin
dan leukotrien yang merupakan produk akhir dari jalur COX dan
lipooksigenase. Hal tersebut menyebabkan penghambatan akumulasi leukosit
dan degranulasi netrofil sehingga secara langsung mengurangi pelepasan asam
arakidonat oleh netrofil, serta menghambat pelepasan histamin. Pada kondisi
normal leukosit bergerak bebas di sepanjang dinding endotel. Selama inflamasi,
berbagai mediator turunan endotel dan faktor komplemen menyebabkan adhesi
leukosit pada dinding endotel. Pemberian flavonoid dapat menurunkan jumlah
leukosit dan mengurangi aktivasi komplemen sehingga menurunkan adhesi
leukosit ke endotel sehingga mengakibatkan penurunan respons inflamasi
tubuh (Nijveldt et al., 2001) Selain itu diketahui mekanisme flavonoid lainnya
dalam menghambat terjadinya radang yaitu dengan menghambat pelepasan
asam arakidonat, sekresi enzim lisosom dari sel neutrofil dan sel endotelial,

18
serta menghambat fase eksudasi dan fase proliferasi dari proses radang.
Terhambatnya pelepasan asam arakidonat akan menyebabkan penurunan
jumlah substrat arakidonat yang masuk dalam jalur siklooksigenase dan jalur
lipooksigenase, sehingga pada akhirnya akan terjadi penurunan jumlah dan
penekanan produksi prostaglandin, prostasiklin, endoperoksida, tromboksan
pada satu sisi dan asam hidroperoksida, dan leukotrien pada sisi lainnya.
 Berdasarkan Metode Penelitian (Luliana, et al., 2017):

Hasil analisis statistik menggunakan SPSS dengan taraf kepercayaan 95%


menunjukkan bahwa data rata-rata persen radang pada kelima kelompok uji
memiliki data yang normal dan homogen (p>0,05). Data rata-rata persen radang
yang dianalisis menggunakan one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%
diperoleh bahwa adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada menit ke-270
hingga menit ke-360 antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol
positif, dosis 2, dan 3. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif,
dosis 2, dan dosis 3 mengalami penurunan persen radang yang signifikan pada
menit ke-270 hingga menit ke-360 sedangkan kelompok kontrol negatif dan
dosis 1 tidak mengalami penurunan persen radang yang signifikan. Nilai persen
daya antiinflamasi terbesar dimiliki oleh kelompok dosis 3 yaitu sebesar 34,70%
dan aktivitasnya lebih baik dibandingkan kelompok kontrol positif sebesar
33,90%. Sedangkan nilai persen daya antiinflamasi dari kelompok kontrol
negatif, dosis 1 dan dosis 2 berturut-turut yaitu sebesar 0,00; 20,13; dan
28,93%. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif, dosis 1, 2, dan 3
memiliki potensi sebagai agen antiinflamasi sedangkan kelompok kontrol negatif
tidak.
Hasil analisis statistik menggunakan one way ANOVA dengan taraf
kepercayaan 95% menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara
kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif, dosis 1, 2, dan 3.
Serta menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (p>0,05) antara kelompok
kontrol positif dengan kelompok dosis 1, 2, dan 3. Hal ini menyatakan bahwa
kelompok dosis 1, 2, dan 3 memiliki aktivitas antiinflamasi yang sebanding

19
dengan kelompok kontrol positif namun aktivitas antiinflamasi yang dimiliki
oleh dosis 1 dan 2 bersifat lemah dibandingkan kelompok kontrol positif dan
dosis 3. Dosis efektif yang dimiliki oleh ekstrak air herba P. angulata L. dalam
aktivitas antiinflamasi yaitu dosis 3 (400 mg/kgBB).
Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya mengenai aktivitas
antiinflamasi ekstrak metanol daun P. angulata L. yang memiliki aktivitas
antiinflamasi dalam penurunan volume edema kaki tikus dengan dosis 400
mg/kgBB dan aktivitasnya lebih baik dibandingkan kontrol positif yaitu
ibuprofen 100 mg/kgBB (Ukwubile & Oise, 2016). Penelitian lainnya
menggunakan ekstrak metanol bunga P. angulata L. memiliki aktivitas
antiinflamasi dalam penurunan volume edema kaki tikus dengan dosis 200
mg/kgBB yang aktivitasnya sebanding dengan kontrol positif yaitu indometasin
10 mg/kgBB (Choi & Hwang, 2003).
Ekstrak air herba P. angulata L. memiliki kandungan kimia yaitu
steroid/terpenoid, flavonoid, alkaloid, polifenol, tanin, dan saponin. Senyawa
yang diduga memiliki aktivitas antiinflamasi pada ekstrak air herba P. angulata
L. yaitu senyawa sreroid, flavonoid alkaloid dan saponin. Senyawa
steroid/terpenoid dari tanaman P. angulata L. diduga memiliki aktivitas
antiinflamsi dengan mekanisme mengaktivasi reseptor glukokortikoid dengan
cara meningkatkan atau menurunkan proses transkripsi gen-gen yang terlibat
dalam proses inflamasi (Bernes & Adcock, 1993). Hal ini didukung oleh hasil
penelitian tentang aktivitas senyawa steroid seperti fisalin yang merupakan
isolat dari P. Angulata L. secara invitro. Senyawa fisalin seperti fisalin B, F, dan
G telah dilaporkan dapat menghambat produksi NO dari makrofag yang
distimulasi oleh lipopolisakarida (LPS) dan IFN-ɣ. Fisalin B juga menghambat
produksi sitokin seperti IL-6, IL-12 dan TNF-α (Soares et al., 2003). IL-6 dan
TNF-α merupakan sitokin pro-inflamasi. TNF-α pada kadar rendah dapat
menginduksi terjadinya inflamasi akut, namun pada kadar tinggi TNF-α dapat
menimbulkan syok septik pada jantung, pembuluh darah dan hati
(Baratawidjaja & Rengganis, 2013). Senyawa fisalin ini juga dapat menghambat
timbulnya syok septik. Selain itu fisalin juga memiliki aktivitas meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah dan merekrut neutrofil ke jaringan yang
mengalami inflamasi (Vieira et al., 2005).
Senyawa flavonoid memiliki mekanisme menghambat enzim penghasil
eicosanoid seperti fosfolipase A2, siklooksigenase dan lipoksigenase, sehingga
mengurangi konsentrasi prostanoid dan leukotrien (Rathee et al., 2009).
Kuersetin 3-O-rutinosida (rutin) merupakan senyawa flavonoid yang telah
diisolasi dari P. angulata L. (T.N.L.,, Huong et al., 2016). Mekanisme alkaloid
sebagai antiinflamasi yaitu dengan menekan pelepasan histamin oleh sel mast,

20
mengurangi sekresi IL-1 oleh monosit dan PAF pada platelet (Soew et al., 1989).
Sedangkan mekanisme antiinflamasi saponin adalah dengan menghambat
pelepasan zat-zat proinflamsi yang distimulasi oleh LPS seperti iNOS, IL dan
TNF-α (Lee et al., 2015).
Semakin bertambahnya dosis ekstrak air herba P. angulata L. menyebabkan
peningkatan persen daya antiinflamasi atau aktivitas antiinflamasi semakin
besar. Ekstrak air herba P. angulata L. dengan dosis 400 mg/kgBB
menunjukkan efek antiinflamsi sebanding dengan natrium diklofenak dosis 4,5
mg/kgBB. Namun dosis ini masih terlalu besar dibandingkan dengan dosis
kontrol positif (natrium diklofenak) sebesar 4,5 mg/kgBB. Dosis ekstrak air
herba P. angulata L. yang besar akan menyulitkan untuk dibuat dalam bentuk
sediaan karena menyebabkan dosis pemakaian menjadi terlalu besar. Sehingga
diperlukan cara untuk mengatasi masalah dosis pemakaian tersebut yaitu
mencari senyawa aktif dari ekstrak air herba P. angulata L. sebagai agen
antiinflamasi.
 Berdasarkan Metode Penelitian (Puspawati, et al., 2017):

Pengukuran volume udema rata-rata telapak kaki kiri tikus putih jantan
yang diinduksi karagenan 1% (b/v) maka dengan menggunakan rumus 2
diperoleh nilai persen inflamasi yang hasilnya disarikan pada Tabel 1.
Karageenan yang digunakan mampu menyebabkan udema pada telapak kaki
tikus yang cenderung meningkat dari menit ke-60 sampai menit ke-360 dengan
persen inflamsi yang lebih tinggi dari kelompok perlakuan 1, perlakuan 2, dan
kelompok kontrol positif.
Kelompok perlakuan 1 (dosis 125 mg/kg BB) dan kelompok perlakuan 2
(dosis 250 mg/kg BB) pada menit ke-360 memiliki persen inflamasi yang lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol positif maupun kontrol negatif.
Untuk kelompok perlakuan 3 menunjukkan persen inflamasi yang lebih tinggi
dari kontrol negatif dari menit ke-60 sampai menit ke-180, namun pada menit
ke-300 dan ke-360 persen inflamasinya menurun dan lebih rendah dari kontrol
negatif.
Persentase hambatan inflamasi dihitung dengan rumus 3 dan hasilnya
dapat dilihat pada Tabel 2. Dapat dilihat bahwa pada menit ke-60 kelompok

21
perlakuan 1 belum menunjukkan hambatan inflamasi, namun pada menit ke-
120 mulai memperlihatkan hambatan terhadap inflamasi dan pada menit ke-
240 sampai ke-360 memberikan hambatan inflamasi yang lebih tinggi dari
kontrol positif yaitu berturut-turut sebesar 62,50 dan 80,39 %. Pada kelompok
perlakuan 2, pada menit ke-60 sudah mampu menghambat inflamasi dengan
persen hambatan inflamasi yang lebih tinggi dari kontrol positif dan pada menit
ke-360 menunjukkan hambatan inflamasi yang tertinggi yaitu sebesar 82.35%.
Sedangkan kelompok perlakuan 3 dari menit ke-60 sampai menit ke-180 tidak
memberikan hambatan inflamasi tetapi pada menit ke-240 dan menit ke-360
menunjukkan hambatan inflamasi berturut-turut sebesar 26,79 dan 44,12%
meskipun hambatan inflamasinya jauh lebih rendah dari kelompok perlakuan
1, perakuan 2, dan kontrol positif.
Hasil uji aktivitas antiinflamasi fraksi n-heksana daun cendana
menunjukkan bahwa hambatan inflamasi bergantung pada dosis yang
diberikan. Pemberian dosis 125 mg/kg BB dan 250 mg/kg BB menunjukan
hambatan inflamasi yang lebih tinggi dari kontrol positif, namun ketika dosis
yang diberikan ditingkatkan menjadi 500 mg/kg BB, hambatan inflamasi yang
diberikan menurun dan jauh lebih rendah dari kontrol positif maupun
kelompok perlakuan 1 dan perlakuan 2. Hal ini mungkin disebabkan pada
pemberian ekstrak dengan dosis 500 mg telah melebihi dosis efektifnya,
kelebihan dosis ini dapat menyebabkan timbulnya radang.
 Berdasarkan Metode Penelitian (Solihah, et al., 2017):

Efek antiinflamasi dari satu obat atau ekstrak dapat dilihat dari persen
inhibisi radang yang dihasilkannya yang dapat dilihat pada Gambar 4.
Kelompok kontrol negatif tidak memiliki persen inhibisi radang karena tidak
diberikan obat. Persen inhibisi tertinggi pada menit ke-30 terjadi pada kelompok
yang diberikan dosis ekstrak 750 mg/kgBB sebesar 75,85% dilanjutkan ekstrak
500 mg/kgBB sebesar 44,72%. Persen inhibisi radang ini lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kontrol positif pada waktu yang sama. Namun persen
inhibisi ekstrak menurun pada menit ke-60 dan selanjutnya, sedangkan kontrol

22
positif mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak sudah
bekerja maksimal pada menit ke-30 setelah diinduksi karagenan dan mulai
menurun aktivitasnya seiring bertambahnya waktu.
Aktivitas antiinflamasi ini diperkirakan berkaitan dengan penghambatan
pembentukan mediator-mediator inflamasi, baik dari jalur siklooksigenase
maupun penghambatan langsung pada fosfolipase A2 (Singh et al., 2008).
Senyawa yang diduga berperan dalam menimbulkan efek antiinflamasi dalam
ekstrak etanol daun tahongai adalah flavonoid yang berperan sebagai
antiinflamasi melalui penghambatan enzim yang berperan dalam pembentukan
mediator inflamasi (Uche and Aprioku, 2008). Glikosida flavonoid yang
terkandung di dalam ekstrak etanol daun tahongai juga diketahui dapat
melemahkan respons inflamasi melalui mekanisme penghambatan produksi
tumor nekrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6)
melalui inaktivasi NF-ĸb (Soromou, 2012). Uji statistik dilakukan dengan
menguji
normalitas dari data persentase inhibisi radang dengan menggunakan Shapiro
Wilk. Hasil uji normalitas menunjukkan data terdistribusi normal (p>0,05).
Hasil
analisis dengan one way ANOVA menunjukkan data persen inhibisi radang
berbeda signifikan (p<0,05) terhadap semua perlakuan. Analisis dilanjutkan
dengan uji Post Hoc Tukey HSD yang menunjukkan bahwa persen inhibisi
radang dosis 750 mg/kgBB dan 500 mg/kgBB memiliki perbedaan yang
signifikan (p<0,05) terhadap perlakuan kelompok kontrol negatif, akan tetapi
dosis 250 mg/kgBB tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kontrol
negatif (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak pada dosis 750
mg/kgBB dan 500 mg/kgBB memiliki aktivitas antiinflamasi. Bila dibandingkan
dengan kontrol positif, dosis 500 mg/kgBB dan 750 mg/kgBB tidak memiliki
perbedaan yang signifikan (p>0,05) yang artinya efek inflamasi pada dosis
tersebut setara dengan dosis kontrol positif Na diklofenak 4,1 mg/kg BB.
 Berdasarkan Metode Penelitian (Noviza, et al., 2014):

23
Ukuran radang pada kelompok kontrol terlihat meningkat secara konstan
per satuan waktu. Gambar 2 memperlihatkan bahwa sifat antiinflamasi dari
ibuprofen murni lebih baik dari hasil leburan ibuprofen-kafein 0,4 : 0,6. Dari
analisa statistik dengan ANOVA dua arah didapatkan bahwa sifat antiinflamasi
(terlihat dari % inhibisi radang) dari ibuprofen murni sangat berbeda nyata
dengan hasil leburan dari ibuprofen-kafein 0,4 : 0,6. Ibuprofen murni dan hasil
leburan ibuprofen kafein 0,4 : 0,6 memiliki pola yang sama dalam menginhibisi
radang. Pada waktu pertama dan kedua, inhibisi radangnya naik, pada jam ke
tiga dan ke empat menurun secara drastis kemudian pada jam ke 5 akan naik
dengan signifikan. Pada tes antiinflamasi dengan menggunakan karagenan
sebagai penginduksi edema pada kaki tikus, perkembangan edema (respons
inflamasi) terdiri dari dua fase dengan satu fase diantaranya (Vinegar et al,
1969). Fase awal (1-2 jam) umumnya di timbulkan oleh histamin dan serotonin
(Vinegar et al, 1969), tapi faktor pencetus platelet dan metabolisme asam
arakidonat juga sangat berperan (Boughton-Smith et all, 1993). Fase antara fase
1 dan 2 disebabkan oleh senyawa mirip kinin terutama bradikinin (Vinegar et al,
1969). Fase ke-2 dari proses inflamasi dihubungkan dengan pelepasan
prostaglandin, metabolisme arakidonat, migrasi neutrofil, pelepasan radikal
bebas oksigen, enzim proteolitik (Boughton-Smith et al, 1993). Ibuprofen murni
maupun hasil leburan ibuprofen-kafein 0,4 : 0,6 mempunyai aktivitas yang
sama dalam menginhibisi fase awal inflamasi, tidak berefek pada fase
diantaranya dan aktifitasnya sangat baik pada fase ke dua. Dalam ini terlihat
bahwa sifat ibuprofen sebagai antiinflamasi tidak berubah walau di lebur
bersama dengan kafein dengan perbandingan molar 0,4 : 0,6.

24
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian (Dewi, et al., 2015) dapat dibuat kesimpulan, yaitu:
1. Ekstrak eter kulit batang tenggulun berpotensi sebagai antiinflamasi dengan
nilai ED 50 sebesar 103.252 mg/kg BB
2. Senyawa yang terkandung dalam ekstrak eter kulit batang tenggulun (Protium
javanicum Burm.F). adalah senyawa golongan fenolik, terpenoid, dan steroid.
5.2 Saran
Perlu dilakukan teknik pemisahan lebih lanjut guna mengetahui senyawa
yang paling aktif sebagai antiinflamasi, dan Untuk mengetahui efektivitas
bentuk formulasi bahan uji yang dapat digunakan sebagai obat serta
mengurangi efek samping dari bahan tersebut perlu dilakukan uji aktifitas
antiinflamasi secara topikal, dan untuk mengetahui mekanisme antiinflamasi
dalam tubuh tikus perlu dilakukan uji aktifitas antiinflamasi secara in vitro.

25
DAFTAR PUSTAKA

A. A. Tia Santika Dewi, Ni M. Puspawati, dan Putu Suarya. 2015. Aktivitas


Antiinflamsi Ekstrak Eter Kulit Batang Tenggulun (Protium javanicum
Burm) Terhadap Edema Pada Tikus Wistar Yang diinduksi dengan
Karagenan. Jurnal Kimia. Vol 9(1): 13-19.

Amirah, S dan H. Herman. 2015. Uji Efek Antiinflamasi Fraksi Kloroform Daun
Johor (Cassiasiamea Lamk.) dengan metode rat hind paw edema. Jurnal As
Syifaa Vol 07 (02) : Hal. 182-189.

Hazanah, N. A., Fikri, H., Elin, F., dan Zuhrotun, A., 2011, Analisis Kandungan
Minyak Atsiri dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Kencur
(Kaempferia galanga L.), Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Bandung

Kriwiyanti E., 1997, Identifikasi, Struktur Anatomi dan Studi Pendahuluan


Golongan Senyawa Kimia Daun Pelengkap Bumbu Lawar dan Betutu, F.MIPA,
Universitas. Udayana, Jimbaran, Bali

Luliana, S.,R. Susanti dan E. Agustina. 2017. Uji Aktivitas Antiinflamasi


Ekstrak Air Herba Ciplukan (Physalis angulata L.) terhadap Tikus Putih (Rattus
norvegicus L.) Jantan Galur Wistar yang Diinduksi Karagenan.Traditional
Medicine Journal, 22(3). 199-205.

Mandana, M., G. A, Puspawati, N. M., dan Santi, S. R., Identifikasi Golongan


Senyawa Aktif Antimakan Dari Daun Tenggulun (Protium Javanicum Burm. F.)
Terhadap Larva Epilachna Sparsa, Skripsi, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika
Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran

Mansjoer, S., 1999, Mekanisme Kerja Obat Antiradang, Media farmasi Indonesia,
Jakarta Price S. A. and L. M. Wilson, 2000, Patofisiologi, konsep klinis proses-
proses penyakit, Edisi 6, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, h. 57-58
Primadari dan Puspawati, N. M., Aktivitas Repelan Terhadap Nyamuk Aedes
aegpty Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Udayana, Bukit Jimbaran

Noviza, D., E. Zaini dan D. A. Juwita. 2014. Uji Antiinflasi Campuan Interaksi
Padat Ibuprofen dan Kafein. Prosiding Seminar Nasional dan Workshop
“Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV”.

Pramitaningastuti, A.S dan E.N. Anggraeny. 2017. Uji Efektifitas Antiinflamsi


Ekstrak Etanol Daun Srikaya (Annona squamosa. L) Terhadap Edema Kaki
Tikus Putih Jantan Galur Wistar. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol 13(1): 8-13.

Puspawati, N.M., I. W. Suirta., N.L.P.M. Wahyuni dan N. K. Ratnayani. 2017. Uji


Aktifitas Antiinflamsi Fraksi N-Heksana Daun Cendana (Santalum album Linn.)
Terhadap Oedem Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Karagenan.
Cakra Kimia (Indonesian E-Journal of Applied Chemistry) Volume 5, Nomor 2:
102-108.

Putri, S. N., L. P., 2013 Uji Toksisitas Minyak Atsiri Daun Tenggulun (Protium
Javanicum Burm. F) Dengan Metode BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT),
Skripsi, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Udayana, Bukit Jimbaran Rudiger, A. L., Siani, A C., and Vega, J. V.
F.,2007, The Chemistry and Pharmacology of The South America genus Protium
Burm. F. (Burseraceae), J. Pharmacognosy Review., 1 (1) : 93-104

26
Rinayanti, A., E. Dewanti dan Melisha. A.H. 2014. Uji Efek Antiinflamasi Fraksi
Air Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Shecff.) Boerl.) terhadap Tikus
Putih (Rattus norvegicus L.). Jurnal Farmasi. Vol 1 (2). Hal 78-85.

Sapri, S., Eka, S.S dan Ariska, Y. 2017. Uji Aktifitas Antiinflamasi Fraksi Air
Ekstrak Daun Seledri (Apium graveolens L.) Pada Mencit Jantan.
Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, Vol 2 (1): 60-67.

Santi, T.D. 2015. Uji Toksisitas Akut dan Efek Antiinflamasi Ekstrak Metanol
dan Ekstrak n-Heksana Daun Pepaya (Carica papaya L). Jurnal Farmasi. Vol
2(2): 101-114.

Solihah, I., H. Herlina dan O. Charmila. 2017. Uji Aktifitas Aniinflamsi Etanol
Daun Tahongai (Kleinhovia hospita L.) Menggunakan Metode Rat Paw Edema.
Jurnal Permata Indonesia. Volume 8, Nomor 2: 1-11.

Sukmajaya, I. G. P., 2012, Isolasi Dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Minyak Atsiri
Daun Tenggulun (Protium Javanicum Burm. F.), Skripsi, Jurusan Kimia,
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Bukit
Jimbaran

27

Anda mungkin juga menyukai