1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.2 Ibuprofen
Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang memiliki efek antiinflamasi,
analgesik dan antipiretik (The UK Health Departemen, 2011). Ibuprofen termasuk ke dalam
obat golongan NSAID (non-steroid anti inflammatory drug) yang bekerja menghambat
siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2 (Anderson, Knoben & Troutman, 2002). Ibuprofen
mengobati nyeri dan inflamasi pada penyakit rematik dan penyakit musculoskeletal lainnya.
Ibuprofen memiliki efek samping ketidaknyamanan gastrointestinal, mual, diare, terkadang
pendarahan, dan terjadi ulserasi (The UK Health Departemen, 2011).
Ibuprofen memiliki indikasi sebagai nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada
penyakit gigi atau pencabutan gigi, nyeri pasca bedah, sakit kepala, gejala artritis reumatoid,
gejala osteoartritis, gejala juvenile artritis reumatoid, menurunkan demam pada anak.
Tidak dianjurkan pada lansia, kehamilan, persalinan, menyusui, pasien dengan
perdarahan, ulkus, perforasi pada lambung, gangguan pernafasan, gangguan fungsi jantung,
gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, hipertensi tidak terkontrol, hiperlipidemia,
diabetes melitus, gagal jantung kongestif, penyakit jantung iskemik, penyakit
serebrovaskular, penyakit arteri periferal, dehidrasi, meningitis aseptik.
AINS dan penghambat selektif COX-2 : berpotensi menimbulkan efek adiktif.
Glikosida jantung : menurunkan kecepatan filtrasi glomerulus dan meningkatkan konsentrasi
plasma glikosida jantung. Kortikosteroid : meningkatkan risiko ulkus atau perdarahan
lambung. Antikoagulan (warfarin): meningkatkan efek dari antikoagulan. Antiplatelet dan
golongan SSRI (klopidogrel, tiklopidin) : meningkat risiko perdarahan lambung. Asetosal :
meningkatkan risiko efek samping. Anti hipertensi : menurunkan efek anti hipertensi.
Diuretik : meningkatkan risiko nefrotoksik. Litium : mempercepat eliminasi litium.
Metotreksat : mengurangi bersihan metotreksat. Siklosporin dan takrolimus : meningkatkan
risiko nefrotoksik. Zidovudin : meningkatkan risiko gangguan hematologi. Kuinolon :
meningkatkan risiko kejang. Aminoglikosida : menurunkan eksresi aminoglikosida.
Mifepriston : jangan gunakan AINS selama 8 – 12 hari setelah terapi mifepriston karena
dapat mengurangi efek mifepriston. Ginkgo biloba: meningkatkan risiko perdarahan.
Memiliki kontraindikasi pada pengguna yang hamil trimester akhir, pasien dengan
ulkus peptikum (ulkus duodenum dan lambung), hipersensitivitas, polip pada hidung,
angioedema, asma, rinitis, serta urtikaria ketika menggunakan asam asetilsalisilat atau AINS
lainnya. Memiliki efek samping umumnya pusing, sakit kepala, dispepsia, diare, mual,
muntah, nyeri abdomen, konstipasi, hematemesis, melena, perdarahan lambung, ruam. Selain
itu memiliki efek samping khusus yaitu rinitis, ansietas, insomnia, somnolen, paraestesia,
3
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, tinnitus, vertigo, asma, dispnea, ulkus mulut,
perforasi lambung, ulkus lambung, gastritis, hepatitis, gangguan fungsi hati, urtikaria,
purpura, angioedema, nefrotoksik, gagal ginjal. Jarang terjadi efek samping berupa
meningitis aseptik, gangguan hematologi, reaksi anafilaktik, depresi, kebingungan, neuritis
optik, neuropati optik, edema akibat obat ini.
Biasanya dosis dewasa yang dianjurkan 200-250 mg 3-4 kali sehari, anak 1-2 tahun,
50 mg 3-4 kali sehari, anak 3-7 tahun, 100-125 mg 3-4 kali sehari, anak 8-12 tahun, 200-250
mg 3-4 kali sehari. Tidak boleh dipergunakan pada anak dengan berat badan kurang dari 7
kg. Obat ini sebaiknya diminum setelah makan.
4
BAB III
METODE KERJA
5
3.4 Cara Kerja
Dalam praktikum ini, cara kerja yang dilakukan adalah :
1. Setelah ditimbang, hewan dikelompokkan secara acak dalam 2 kelompok, tiap
kelompok terdiri dari 3 ekor.
2. Kelompok I sebagai kontrol, diberikan larutan aquades per oral dengan volume
pemberian 1mL / 20g BB.
3. kelompok II diberikan Ibuprofen per oral.
4. Setelah 30 menit semua kelompok diinduksi dengan asam asetat 0,7% v/v sebanyak 0,1
mL / 10 gram BB mencit.
5. Amati dan catat jumlah geliatan mencit setelah setelah pemberian asam asetat, geliatan
mencit dapat berupa perut kejang dan kaki tertarik ke belakang
6
BAB IV
PEMBAHASAN
7
Gambar 4.1 Pembentukan prostaglandin melalui jalur asam arachidonat
8
a. Iritasi lambung: Obat bersifat asam terkumpul dalam sel bersifat asam (lambung,
ginjal dan jaringan inflamasi).
1. Iritasi lokal: difusi kembali asam lambung ke mukosa kerusakan jaringan
perdarahan.
2. Iritasi sistemik: hambat pembentukan PGE2 (Prostaglandin bersifat menghambat
sekresi asam lambung) dan PGI2 (Prostasiklin bersifat merangsang sekresi mukus
usus halus/sitoprotektif) di mukosa lambung.
b. Gangguan fungsi trombosit: hambat pembentukan TXA2 perpanjangan waktu
perdarahan obat antitrombotik.
c. Nefropati analgesik: penurunan aliran darah ke ginjal (prostaglandin bersifat
vasodilatasi arteri ginjal) dan kecepatan filtrasi glomeruli berkurang Perhatian:
hipovolemia, sirosis hepatis dengan asites dan gagal jantung.
d. Hipersensitivitas: urtikaria, asma bronkial, hipotensi sampai syok.
e. Susunan saraf pusat: Nyeri kepala, tinitus, dan pusing bergoyang.
f. Kardiovaskular: Retensi cairan, hipertensi, edema, dan meskipun jarang, infark
miokardium, dan gagal jantung kongestif.
g. Saluran cerna: Nyeri abdomen, displasia, mual, muntah, dan, meskipun jarang, tukak
atau perdarahan.
h. Hematologik: Meskipun jarang, trombositopenia, neutropenia, atau bahkan anemia
aplastik.
i. Hati: Kelainan tes fungsi hati dan, jarang gagal hati.
j. Paru-paru: Asma.
k. Kulit: Ruam, semua jenis, gatal.
l. Ginjal: Insufisiensi ginjal, gagal ginjal, hiperkalemia, dan proteinuria (Katzung et al,
2014).
Asetaminofen
Asetaminofen (asetaminofenol, derivate para-aminofenol) adalah obat tanpa resep yang
popular yang dipakai oleh bayi, anak-anak, dewasa dan orang lanjut usia untuk nyeri, rasa
tidak enak dan demam. Obat ini merupakan 25% dari semua obat yang dijual. Asetaminofen
merupakan obat analgesik dan antipiretik yang aman dan efektif untuk pegal dan nyeri otot
dan demam akibat infeksi virus. Obat ini hanya menimbulkan gangguan lambung yang ringan
atau tidak sama sekali dan tidak mengganggu agregasi platelet. Tidak ada kaitan antara
asetaminofen dengan sindroma Reye, tidak menambah perdarahan jika dipakai untuk
dismenore, tidak mempunyai daya antiinflamasi, seperti aspirin.
9
Aspek Farmakokinetik
Asetaminofen diabsorpsi dengan baik dari gastrointestinal. Karena waktu-paruh
asetaminofen pendek, maka dapat diberikan setiap 4 jam sekali jika perlu dengan dosis
maksimum 2,5-4 g/hari. Lebih dari 85% asetaminofen dimetabolisir menjadi metabolit oleh
hati. Dosis tinggi atau takar layak dapat menjadi toksik terhadap sel-sel hati, oleh karena itu
jika dosis tinggi diberikan untuk jangka panjang, kadar asetaminofen serum harus dipantau.
Batas serum terapeutik adalah 5-20 mikrogram/mL. Kadar enzim hati SGOT/SGPT,
SGPT/ALT, fosfatase alkali (ALP) dan bilirubin serum harus dipantau. Efek samping dan
reaksi yang merugikan : asetaminofen dapat menjadi sangat toksik terhadap sel-sel hati,
menimbulkan hepatotoksisitas. Kematian dapat terjadi dalam waktu 1-4 hari karena
timbulnya nekrosis hati.
10
Tabel 4.2 Waktu paruh dari beberapa obat golongan OAINS
11
3. δ (delta): selektif enkefalin, analgesia sum-sum tulang belakang, efek emosi.
4. σ (sigma): pendudukannya berefek psikotomimetik dandisforia, halusinasi.
Narkotik tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga menekan pernapasan dan
batuk dengan bekerja pada pusat pernapasan dan batuk pada medulla di batang otak. Salah
satu contoh dari narkotik adalah morfin, yang diisolasi dari opium, merupakan analgesic kuat
yang dapat dengan cepat menekan pernapasan. Kodein tidak sekuat morfin, tetapi dapat
meredakan nyeri yang ringan sampai sedang dan menekan batuk. Kodein juga dapat
diklasifikasikan sebagai penekan batuk (antitussif). Banyak narkotik mempunyai efek anti
batuk dan antidiare, selain dari kemampuannya meredakan nyeri.
Dalam tubuh terdapat opioid (zat mirip opioid/narkotika) endogen, yaitu enkefalin,
endorphin dan dinorfin. Dalam keadaan nyeri opioid endogen menduduki reseptornya untuk
mengurangi nyeri. Apabila nyeri tidak tertanggulangi, dibutuhkan opioid eksogen, yaitu
analgetik narkotik.
Analgetik narkotik bekerja dengan menduduki sisa nosiseptor yang belum diduduki
endorphin. Pada penggunaan kronis terjadi stimulasi pembentukan reseptor baru dan
penghambatan produksi endorphin di ujung saraf otak. Untuk memperoleh efek analgesic
yang sama semua reseptor harus diduduki, untuk itu dosis perlu dinaikkan. Akibatnya
terjadilah kebiasaan (toleransi) dan ketagihan (adiksi). Efek faali: secara fisik pendudukan
reseptor opioid oleh opoid edogen (enkefalin, endorphin dan dinorfin) bersifat:
1. Analgesia: rangsang listrik pada bagian tertentu otak peningkatan kadar endorphin
(misalnya, akupuntur cedera hebat, plasebo).
2. Efek endokrin: menstimulasi pelepasan kortikotropin, somatotropin, prolactin, dan
menghambat pelepasan LH dan FSH. 3. Pada hewan: β-endorphin: menekan
pernapasan, menurunkan suhu tubuh dan menimbulkan ketagihan.
12
Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan
Supresi SSP: sedasi, depresi pernapasan danbatuk, hipotermia, perubahan suasana
jiwa (mood), mual-muntah (stimulasi CTZ), dosis tinggi: menurunnya aktivitas
mental danmotoris.
Saluran cerna: obstipasi, kontraksi sfingter kandung empedu.
Saluran urogenital: retensi urin, waktu persalinan diperpanjang.
Saluran napas: bronkhokonstriksi (pernapasan lebih dangkal danfrekwensi turun).
Sistem sirkulasi: vasodilatasi, hipotensi, bradikardia.
Histamine liberator: urticaria dangatal.
Kebiasaan: adiksi, bila henti → gejala abstinensi.
Adiksi:
Habituasi, perubahan psikik emosional (efek psikotrop, euforia) ketagihan.
Ketergantungan fisik, kebutuhan morfin karena faal danbiokimia tubuh tidak
berfungsi lagi tanpa morfin. Ketergantungan fisik lazimnya lenyap sesudah 2 minggu
setelah henti penggunaan obat, ketergantungan psikis sangat erat sehingga
pembebasan yang tuntas sukar dicapai.
Toleransi, timbul terhadap efek depresi.
Gejala putus obat (abstinensi) : menguap, berkeringat hebat, air mata mengalir,
tidur gelisah, merasa kedinginan, muntah, diare, takhikardia, midriasis, tremor, kejang otot,
reaksi psikis hebat ( gelisah, mudah marah, khawatir mati).
Mekanisme Kerja Obat Analgesik
a) Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-opioid Analgesics)
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX ini berperan dalam sintesis mediator nyeri salah satunya
prostaglandin. Mekanisme kerja dari analgetik jenis ini adalah melakukan blokir
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka
sehingga mengurangi pembentukan mediator nyeri. Efek samping dari golongan obat ini
adalah gangguan lambung, usus, keruakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta alergi pada
kulit (Anchy, 2011)
b) Analgesik Opioid / Analgesik Narkotika
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim siklogsigenase dalam
pembentukan prostaglandin yag dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya.
Waktu paruh eliminasi untuk golongan derivat asylalkanot adalah sekitar 2-5 jam.
13
4.2 Metode dalam Pengujian Analagesik
4.2.1 Tail Flick (Metode Jentik Ekor)
Metode Tail Flick (jentik ekor) adalah metode dengan Induksi untuk menimbulkan
rasa nyeri yaitu rangsangan fisis berupa panas yang berasal dari air dalam
penangas air yang sudah diatur suhunya, yaitu sebesar 40⁰C. Langkah awal
dilakukan orientasi terlebih dahulu untuk melihat respon hewan uji terhadap
rangsangan nyeri, yaitu dengan cara mencelupkan ekor hewan uji ke dalam
penangas air, dan dicatat waktu yang diperlukan tikus untuk menjentikkan ekornya
keluar dari penangas air yang selanjutnya disebut sebagai data respon waktu
terhadap stimulus nyeri. Hasil rata-rata orientasi data respon waktu terhadap
stimulus nyeri sebagai respon normal tikus terhadap stimulus nyeri sebesar 2-4
detik (Wulan, dkk., 2015)
4.2.2 Writhing reflex (Metode Geliat)
Metode Writhing reflex (Metode Geliat) adalah metode dengan evaluasi aktivitas
analgetika dilakukan berdasar jumlah geliat yang ditimbulkan setelah induksi nyeri
asam asetat yang diberikan secara intraperitoneal dibandingkan terhadap kontrol
positif. Efek rasa sakit yang ditimbulkan akibat pemberian asam asetat akan
menyebabkan kontraksi dinding sel perut, sampai kepala, kaki yang tertarik ke
belakang dan perut yang menyentuh dasar kandang. Simptom ini dinamakan
writhing reflex dan dapat dieliminasi dengan analgetik. Winarti, L., dan Wartiyah,
2011)
4.2.3 Hot Plate
Metode Hot Plate (Metode Geliat) adalah metode dengan dilakukan pengamatan
waktu respon hewan uji terhadap stimulus panas dari hot plate dalam rentang
waktu tertentu terhadap suatu kontrol positif dan negatif. Metode hot plate
dilakukan pada suhu 70°C dimana panas yang ditimbulkan oleh hot plate akan
direspon oleh reseptor nyeri (nosiseptor) di dalam kulit. Pengamatan respon hewan
uji terhadap stimulasi panas dilakukan dalam rentang waktu tertentu dan
pengamatan didasarkan pada waktu paruh dari pengujian suatu obat atau senyawa
yang ingin diujikan.
14
4.3 Cara Menyiapkan Larutan Uji Dari Sirup Ibuprofen Dengan Kadar 100 mg/ 5 ml
Sebelum membuat larutan dari sirup ibuprofen, dibuat perhitungan dosis konversi
ibuprofen manusia ke dosis mencit dengan cara sebagai berikut :
4. 4 Volume Asam Asetat dan Volume Sampel yang Diberikan per Oral
Volume sampel yang harus diberikan per oral dan volume asam asetat yang
disuntikkan melalui intraperitoneal dapat dilihat pada tabel dibawah ini
15
Tabel 4.3 Volume Pemberian Sampel per Oral dan Asam Asetat
Volume ibuprofen dan aquadest pada sampel per oral disesuaikan dengan prosedur
yaitu 1 ml. Volume Asam Asetat yang diijeksi pada kontrol memiliki volume yang sama
yaitu 0,2 ml, sedangkan yang diinjeksi pada perlakuan dicari dosis asam asetat masing-
masing berat mencit dan didiamkan selama 60 menit.
Konsentrasi Asam Asetat = 0,7 %
Dosis asam asetat yang diberian = 50 mg / kg BB
a. Mencit 1 (dengan berat badan 25 g)
Konversi dosis untuk mencit 1 = 50 mg x berat badan mencit (g)
1000 g
= 50 mg x 25 g
1000 g
= 1,25 mg
Volume yang diberikan (ml) = konversi dosis x sediaan larutan
Waktu
= 1,25 mg x 10 ml
60
= 0,21 ml
b. Mencit 2 (dengan berat badan 26 g)
Konversi dosis untuk mencit 2 = 50 mg x berat badan mencit (g)
1000 g
16
= 50 mg x 26 g
1000 g
= 1,3 mg
Volume yang diberikan (ml) = konversi dosis x sediaan larutan
Waktu
= 1,3 mg x 10 ml
60
= 0,22 ml
Waktu
= 1,35 mg x 10 ml
60
= 0,225 ml
4.5 Jumlah Total Geliatan Mencit Dan Rataan Persen Daya Analgetiknya
Tabel 4.4 Total Geliatan Mencit Dan Rataan Persen Daya Analgetiknya
No Jumlah geliatan (menit) Jumlah
Perlakuan mencit 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Aquadest 1 24 23 16 10 9 12 11 16 8 12 13 8 162
2 26 23 18 10 9 12 11 16 10 15 13 8 171
3 30 22 21 11 10 12 11 16 8 12 16 10 179
Ibuprofen 1 3 5 6 3 4 4 4 3 3 2 3 3 43
2 4 8 8 4 6 6 6 5 4 4 3 3 61
3 4 7 5 4 5 5 5 5 5 8 5 4 62
17
% daya analgetik =
Jumlah geliat kelompok obat (ibuprofen) : Jumlah geliat kelompok kontrol (aquades)
= (43 + 61 + 62) = (162 + 171 + 179)
= 55,33 = 170,67
3 3
% daya analgetik =
55,33
= 100 – ( 170,67 x 100% )
= 100 - 32,42%
= 67, 58 %
PEMBAHASAN
Pada kegiatan praktikum kali ini, yaitu praktikum mengenai analisa efek obat analgetik
dalam meredakan nyeri pada mencit yang diinduksi rasa nyeri secara kimia dengan
pemberian pereda nyeri (analgetik) secara peroral dan intraperitoneal. Nyeri merupakan
gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering terjadi. Ada beberapa jenis nyeri yaitu:
nyeri akut misalnya pada cedera, pembedahan, persalinan, krisis sel sabit; nyeri kronik pada
gangguan muskulokeletal atau gastrointestinal; nyeri karena prosedur misalnya pada lumbal
fungsi, tusuk vena. Nyeri timbul jika terdapat rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik
yang melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri), hal tersebut yang
menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan jaringan yang disebut senyawa nyeri
(mediator nyeri) (Rachmawati,2008). Di dalam ilmu kefarmasian, obat yang biasa digunakan
untuk mengobati rasa sakit disebut analgetik. Analgetik adalah obat yang digunakan untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atau obat-obat penghilang nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Obat ini digunakan untuk membantu meredakan sakit, sadar tidak
sadar (Mita dan Patihul, 2017). Obat – obat ini termasuk juga antipiretika atau penurun panas,
anti inflamasi atau obat radang. Obat ini termasuk golongan obat yang heterogen atau non
spesifik, yaitu golongan obat yang struktur kimianya berbeda atau tidak mirip tetapi
mempunyai efek terapi dan efek samping yang sama (Wahyudi dan Gunardi,2008). Obat-obat
golongan analgetik dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: parasetamol, salisilat, (asetasol,
salisilamida, dan benorilat); penghambat Prostaglandin (NSAID) ibuprofen, derivate-derivat
18
antranilat (mefenamilat, asam niflumat glafenin, floktafenin, derivate-derivat pirazolinon
(aminofenazon, isoprofil penazon, isoprofilaminofenazon), lainnya benzidamin. Obat
golongan analgesic narkotik berupa, asetaminofen dan fenasetin. Obat golongan anti-
inflamasi nonsteroid berupa aspirin dan salisilat lain, derivate asam propionate, asam
indolasetat, derivate oksikam, fenamat, fenilbutazon (Mita dan Patihul,2017).
Tujuan dari percobaan kali ini adalah untuk menganalisis efek analgetik pada hewan
uji mencit. Percobaan ini dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu mencit jantan (Mus
musculus) galur lokal dengan berat 23 gram, 24 gram, 25 gram, 26 gram, dan 27 gram .
Hewan uji yang digunakan memiliki keseragaman berat antara 20-30 gram bertujuan untuk
memperkecil perbedaan respon yang ditunjukkan oleh hewan uji. Metode rangsang kimia
digunakan berdasarkan atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang
digunakan untuk penetapan daya analgetika.
19
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, dan peningkatan aliran
darah. Faktor yang berperan pada perubahan pembuluh darah adalah komplemen, kinin, dan
aktivator plasminogen. Kinin berperan dalam pembentukan prostaglandin melalui enzim.
Peradangan melalui plasma mengganggu pembekuan darah melalui peran aktivator
plasminogen yang menghasilkan plasmin. Reaksi ini menyebabkan pelepasan asam
arakidonat dari jaringan fosfolipid melalui jalur siklooksigenase dan menghasilkan
prostaglandin di dalam cairan intraperitoneal sehingga menimbulkan respon geliat pada
mencit (Adenin,2019). Selain itu, digunakan asam asetat yang merupakan asam lemah yang
pada dasarnya bersifat mengiritasi dan dapat membuat luka yang dapat menimbulkan rasa
nyeri, tetapi senyawa ini merusak jaringan lebih sedikit atau tidak permanen bila
dibandingkan dengan menggunakan asam atau basa kuat seperti asam klorida.
Larutan asam asetat diberikan setelah 60 menit karena diketahui bahwa obat yang
telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa nyeri.
Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan asam asetat dengan konsentrasi
0,7% mencit akan menggeliat dengan ditandai dengan kejang perut dan kaki ditarik ke
belakang. Jumlah geliat mencit dihitung setiap selang waktu 5 menit selama 60 menit.
Pada percobaan ini diperoleh data, jumlah kumulatif geliat pada mencit kelompok kontrol
yang diberi aquades yaitu pada mencit satu 162 geliat, mencit dua 171 geliat dan mencit tiga
179 geliat sehingga diperoleh rata- rata 170, 67 geliat. Sedangkan jumlah komulatif geliat
pada kelompok mencit obat yaitu mencit yang diberi ibuprofen adalah pada mencit atu 43
geliat, mencit dua 61 geliat dan mencit tiga 62 geliat sehingga diperoleh rata- rata geliat yaitu
53,33 geliat. Kemudian persentase dari daya analgetik kelompok mencit tersebut yakni 67, 58
% Persentase 67,58% ini menunjukkan bahwa ibuprofen yang diberikan tidak sepenuhnya
menghilangkan rasa nyeri pada mencit. Hal ini bisa disebabkan akibat kurangnya dosis
Ibuprofen yang diberikan sehingga saraf yang mendeteksi rasa sakit masih sedikit bekerja.
20
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari praktikum analgesik yang telah dilaksanakan,
dapat disimpulkan bahwa ibuprofen memang terbukti merupakan obat analgesik karena
ibuprofen dapat mengurangi jumlah geliatan mencit akibat rasa nyeri dari asam asetat. Akan
tetapi, dikarenakan mencit masih menggeliat, dosis ibuprofen yang diberikan masih kurang
sehingga rasa nyeri pada mencit belum hilang secara sepenuhnya.
5.2 Saran
Masa pandemi saat ini membuat pelaksanaan praktikum dilakukan secara daring. Hal
ini menyebabkan praktikum hanya dapat dilakukan melalui studi pustaka. Karena itu, saran
yang dapat kami berikan untuk perkembangan praktikum ini selanjutnya adalah
memperbanyak studi pustaka agar hasil yang diperoleh menjadi lebih baik. Selain itu, apabila
praktikum secara luring memungkinkan, akan jauh lebih baik dilaksanakan praktikum luring
karena data yang diperoleh akan jauh lebih tepat dibandingkan dengan data yang hanya
diperoleh dari studi pustaka.
21
DAFTAR PUSTAKA
Adenin, Irvan. 2019. Peran Komponen Inflamasi Akibat Insersi Alat Kontrasepsi dalam
Rahim dan Hubungannya dengan Peningkatan Kadar Glikodelin A. E-JKI. 7 (2).
Mita, Soraya Ratnawulan dan Patihul Husni. 2017. Pemberian Pemahaman Mengenai
Penggunaan Obat Analgesik Secara Rasional Pada Masyarakat Di Arjasari Kabupaten
Bandung. Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat. 6 (3).
Rachmawati, Imami Nur. 2008. Analisis Teori Nyeri : Keseimbangan Antara Analgesik dan
Efek Samping. Jurnal Keperawatan Indonesia. 12 (2).
Wahyudi, Van Discaveri dan Gunardi. 2008. Daya Analgetik Ekstrak Daun Alpukat (Persea
Gratissima, Gaerin F) Terhadap Mencit Balb /C Dengan Metode Induksi Nyeri Secara
Kimia. Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi. 11(1).
Wulan, H., dkk. 2015. Uji Efek Analgetik Antipiretik Ekstrak Etanol Alfalfa (Medicago
Sativa) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar. Prosiding Seminar Nasional Peluang
Herbal Sebagai Alternatif Medicine. Hal. 71-78
Winarti, L dan Wartiyah. 2011. UJI EFEK Analgetika Ekstrak Rimpang Temu Kunci
(Boesenbergia Pandurata (Roxb.) Schlechter Pada Mencit Jantan Galur Swiss. Majalah
Obat Tradisional, 16(1), 26 – 33
Anderson, P.O., Knoben, J.E., & Troutman, W.G. 2002. Handbook of Clinical Drug Data
(10th edition). USA: McGRAW-HILL Medical Publishing Division.
Ikawati, Z., 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat, Bursa Ilmu, Yogyakarta.
Jahn Hau dan Gerald L. Van Hoosier, Jr. 2003. Handbook of Laboratory Animal Science.
Volume II. US: CRC Press. 2.
Nila, Aster., Dedy, Frianto., 2018. Farmakologi Program Keahlian Farmasi. Jakarta : EGC.
Nugroho. (2012). Keperawatan gerontik & geriatrik, edisi 3. Jakarta : EGC
Stevani, Hendra. 2016. Praktikum Farmakologi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012.
The UK Health Departemen, 2011, British Pharmacopoeia, London
Tjay T.H. and Rahardja K., 2015, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek - Efek
Sampingnya, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, pp. 523–531.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta
22