Anda di halaman 1dari 17

SKRINING KANDUNGAN AMPHETAMIN DALAM URIN

I. Tujuan
1. Memahami prinsip skrining kandungan psikotropika dengan metode
immunoassay.
2. Memahami peranan skrining psikotropika untuk mendeteksi
penyalahgunaan psikotropika.

II. Teori Dasar


II.1. Narkoba
Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti
perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia
baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain
sebagainya (Kurniawan, 2008).
Menurut Hawari (2009) selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan
khususnya oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia adalah NAPZA atau
NAZA yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.
Narkoba merupakan bahan/zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan
menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosial. Semua zat yang
termasuk NAZA menimbulkan adiksi (ketagihan) yang pada gilirannya berakibat
pada dependensi (ketergantungan). Zat yang termasuk NAZA memiliki sifat
sebagai berikut:
a. Keinginan yang tak tertahankan (an over-powering desire) terhadap zat yang
dimaksud dan akan melakukan segala cara untuk memperolehnya.
b. Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis) sesuai dengan toleransi
tubuh.
c. Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan
menimbulkan gejala-gejala kejiwaan seperti kegelisahan, kecemasan, depresi
dan sejenisnya.
d. Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan
menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus zat (with drawal
symptoms).
2.1.1 Jenis-jenis Narkoba
Narkoba dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika dan bahan
adiktif lainnya.
a. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, serta hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika
memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya
toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi
(Partodiharjo, 2003).
Narkotika termasuk obat tertua dalam praktik kedokteran. Pada tahun
1680 Sydenham menulis, “Dari obat-obatan yang telah disiapkan para dokter
kepada pasien untuk meringankan penyakitnya, tidak ada yang begitu baik dan
sangat manjur seperti opium”. Seperti banyak obat atau bahan yang memiliki
manfaat namun ada yang harus dipertimbangkan dalam hal kerugian tertentu dan
narkotika memiliki kekurangan tersebut. Begitu banyak perhatian publik pada
penyebaran dan penyalahgunaan gelap narkotika sehingga nilai medis yang besar
sering diabaikan (Coggeshall, 1964).
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009
pasal 6, jenis narkotika di bagi atas 3 golongan :
1. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif
sangat tinggi menyebabkan ketergantungan. Tidak dapat digunakan untuk
kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan.
Contoh : ganja, morphine, putauw.
2. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat,
tapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidindan
turunannya, benzetidin,betametadol.
3. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan,
tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein
dan turunannya
Narkotika Golongan II dan III yang berupa bahan baku, baik alami
maupun sintesis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan
Menteri. Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter
dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah
terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Partodiharjo, 2003).
b. Psikotropik
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan
perilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa (Undang-Undang Republik
Indonesia No. 5 tahun 1997).
Menurut Partodiharjo (2003) jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan :
1. Golongan I : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk
menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk
pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya adalah MDMA,
ekstasi, LSD dan STP.
2. Golongan II : adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk
menyebabkan sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan dan
penelitian.
3. Golongan III : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: lumibal, fleenitrazepam.
4. Golongan IV : adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contoh: nitrazepam, diazepam.
Efek pemakaian psikotropika yaitu dapat menurunkan aktivitas otak atau
merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai
dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir,
perubahan dalam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta
mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Pemakaian
Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat
kesehatan dapat menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik
bahkan menimbulkan kematian (Darman, 2006).
c. Zat Adikitif Lainnya
Zat adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang
dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya, diantaranya adalah :
1. Rokok.
2. Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan
ketagihan.
3. Thiner dan zat lainnya, seperti lem kayu, penghapus cair dan aseton,
cat, bensin yang bila dihirup akan dapat memabukkan (Joewana, 2001).
2.2 Amfetamin
Di beberapa kesempatan, BNN mengungkapkan bahwa amfetamin dan
derivatnya yaitu metamfetamin, juga cathinone dan derivatnya yaitu
metcathinone, keduanya termasuk kelompok obat Narkotika Golongan I sesuai
Undang-undang Narkotika No 35 Tahun 2009, sekelompok dengan tanaman
ganja, kokain dan opium dengan hukuman yang sama bila menyalahgunakannya.
Amfetamin merupakan salah satu obat bius yang dapat ditemukan dalam
bentuk pil, kapsul ataupun bubuk. Obat bius ini sebenarnya berguna untuk
menstimulasikan moodpengguna menjadi tinggi (Rozak, 2006).
Amfetamin terdiri dari MDMA (methylen dioxy methamphetamin) dan
methamfetamin. MDMA atau ekstasi, contohnya adalah ineks berbentuk tablet
atau pil yang diminum. Meth-amfetamin, contohnya shabu-shabu berbentuk
kristal yang penggunaannya dengan cara dibakar, asapnya dihisap (Nurhaeni,
2009).
Amfetamindiindikasikan untuk penyakit kurang perhatian pada anak-anak
(disfungsi otak yang minimal, hiperaktivitas) sebagai narkolepsi, penekan nafsu
makan, hanya digunakan untuk jangka pendek (beberapa minggu) karena efek
adiksinya. Adanya rebound weight again menghilangkan manfaat ini. Efek
samping dapat berupa kelemahan, pusing, insomnia, disforia, tremor, sakit kepala,
reaksi psikotik (jarang), palpitasi, takikardi, hipertensi, diare atau kontipasi dan
impoten. Penyalahgunaan dapat menimbulkan ketergantungan obat (Munaf,
1994).
Amfetamin pertama dibuat di Jerman pada akhir abad ke-19 tetapi baru
dipatenkan pada 1930-an. Pada 1940-an amfetamin mulai dipakai sebagai
terapeutik untuk berbagai macam kondisi medis seperti ayan, depresi dan untuk
anak yang hiperkinetik. Merupakan zat perangsang sintetik yang dapat berbentuk
tablet, kapsul serta bentuk lainnya yang digunakan untuk kepentingan medis. Efek
amfetaminbiasanya hilang setelah 3-6 jam dan pemakai dapat secara tiba-tiba
menjadi lelah, suka marah, murung dan tidak bisa konsentrasi, peningkatan
kewaspadaan, peningkatan tenaga dan kegiatan, mengurangi nafsu makan dan
kepercayaan diri. Penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan malnutrisi,
kelelahan, depresi dan psikosis (Nurhaeni, 2009).

Gambar. Struktur amphetamin

2.3 Urine
Urine atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan
oleh ginjal yang kemudian oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses urinalisasi. Ekskresi urine diperlukan untuk
membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjaldan untuk
menjaga homeostatis cairan tubuh. Dalam mempertahankan homeostatis tubuh
peranan urine sangat penting, karena sebagian pembuangan cairan oleh tubuh
adalah melalui sekresi urine (Indrati, 2015).
Urine merupakan spesimen yang paling sering digunakan untuk
pemeriksaan narkoba rutin karena ketersediaannya dalam jumlah besar dan
memiliki kadar obat dalam jumlah besar sehingga lebih mudah mendeteksi obat
dibandingkan pada spesimen lain. Teknologi yang digunakan pada pemeriksaan
narkoba pada urine sudah berkembang baik. Kelebihan lain spesimen urine adalah
pengambilannya yang tidak invasif dan dapat dilakukan oleh petugas yang bukan
medis. Urine merupakan matriks yang stabil dan dapat disimpan beku tanpa
merusak integritasnya. Obat-obatan dalam urine biasanya dapat dideteksi sesudah
1 – 3 hari. Kelamaan pemeriksaan urine adalah mudah dilakukan pemalsuan
dengan cara substitusi dengan bahan lain maupun diencerkan sehingga
mengacaukan hasil pemeriksaan (Indrati, 2015).
Tingkat akurasi uji narkoba melalui rambut lebih tinggi dibanding via
urine. Jika pemakai narkoba berhenti mengkonsumsi selama satu bulan, saat diuji
urine tidak akan terdeteksi. Namun dengan uji rambut masih dapat terdeteksi . Itu
karena komponen drugs akan terbawa kerambut dan bisa bertahan dalam jangka
waktu 60 – 90 hari. Jadi meskipun pengguna berhenti selama satu tahun masih
bisa terdeteksi (Indrati, 2015).
2.4 Pemeriksaan Narkoba
Pemeriksaan narkoba seringkali dibagi menjadi pemeriksaan skrining dan
konfirmatori. Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal pada obat pada
golongan yang besar atau metabolitnya dengan hasil presumptif positif dan
negatif. Secara umum pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan yang cepat,
sensitif, tidak mahal dengan tingkat presisi dan akurasi yang masih dapat diterima,
walaupun kurang spesifik dan dapat menyebabkan hasil positif palsu karena
terjadinya reaksi silang dengan substansi lain dengan struktur kimia yang mirip.
Pada pemeriksaan skrining, metode yang sering digunakan adalah immunoassay
dengan prinsip pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi.
Pemeriksaan skrining dapat dilakukan diluar laboratorium dengan metode ELISA
(enzyme linked immunosorbent assay) (Indrati, 2015).
Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil positif
pada
pemeriksaan skrining. Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan
hasil positif palsu. Metode konfirmasi yang sering digunakan adalah gas
chromatography/mass spectrometry (GC/MS) atau liquid chromatography yang
dapat mengidentifikasi jenis obat secara spesifik dan tidak dapat bereaksi silang
dengan substansi lain. Kekurangan metode konfirmasi adalah waktu
pengerjaannya yang lama, membutuhkan keterampilan tinggi serta biaya
pemeriksaan yang tinggi (Lum, 2004).
2.4.1 Biochip Array Technology
Biochip Array Technology merupakan metode pemeriksaan dengan
teknologi nano yang prinsip kerjanya berdasarkan metode ELISA. Metode yang
digunakan untuk pemeriksaan toksikologi memiliki prinsip kerjanya berdasarkan
ELISA kompetitif. Pada biochip tersebut sudah tertanam antibodi spesifik yang
dapat beriteraksi dengan antigen yang diinginkan maupun antigen spesifik yang
tertaut enzim sinyal atau antigen yang tidak berinteraksi dengan antigen spesifik
(Fitzgerald, et al. 2005).
Kelemahan dari pemeriksaan skrining menggunakan metode ELISA
adalah adanya reaksi silang terhadap zat yang diperiksa yang memiliki kemiripan
struktur kimia Berdasakan penelitian yang sudah dilakukan , pemeriksaan dengan
metode Biochip Array Technology meminimalisir terjadinya reaksi silang tersebut
(Fitzgerald, et al. 2005).
2.4.2 FTIR (fourier transform infrared)
Spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) merupakan salah satu
teknik analitik yang sangat baik dalam proses identifikasi struktur molekul suatu
senyawa. Informasi struktur molekul dapat diperoleh secara tepat dan akurat
(memiliki resolusi yang tinggi). Keuntungan yang lain dari metode ini adalah
dapat digunakan untuk mengidentifikasi sampel dalam berbagai fase (Harmita,
2006).
2.4.3 XRD (X-Ray Diffrection)
Metode XRD sangat potensial untuk mengidentifikasi material diberbagai
bidang hal ini karena pola XRD yang dihasilkan tergantung pada jarak antar-atom
dan antar-molekul dari material yang diperiksa dan ini akan menghasilkan pola
difraksi yang khas untuk masing-masing material. Secara khusus, telah
menunjukkan bahwa energi dipersif dari XRD memungkinkan untuk identifikasi
narkoba (Pani, et al. 2009).
2.4.4 Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC/MS)
GC/MS merupakan salah satu metode analisis yang mengkombinasi teknik
Gas-LiquidChromatography dan Mass Spectrometry untuk mengidentifikasi zat
tertentu dalam suatu uji laboratorium. Kombinasi teknik pemeriksaan gas
Chromatography dan Mass Spectrometry (GC/MS) mulai dikenal sejak tahun
1960 sebagai alat yang paling sensitif dan serbaguna untuk mengidentifikasi
senyawa organik yang mudah menguap. Saat ini penggunan GC/MS untuk
penghitungan kuantitatif senyawa-senyawa organik yang spesifik menjadi aplikasi
utamanya. Hal tersebut dikarenakan alat GC/MS memiliki sensitivitas, akurasi dan
fleksibilitas yang tidak tertandingi dengan teknik lainnya, termasuk jenis
pemeriksaan teknik immunoassay (Rodger, et al. 1980).
2.4.5 Strip Test
Strip Test adalah metode immunoassay dengan prinsip pemeriksaan yaitu
reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi yang mungkin ada dalam spesimen
urine dan bersaing melawan konjugat obat untuk mengikat situs pada antibodi.
Selama pengujian, spesimen urine bermigrasi keatas dengan aksi kapiler dengan
prinsip pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi (Baselt,
1982).
Spesimen urine dengan hasil positif tidak akan membentuk garis berwarna
pada daerah garis uji karena persaingan obat, sementara spesimen urine dengan
hasil negatif akan menghasilkan garis di daerah uji karena adanya kompetisi obat.
Berfungsi sebagai kontrol prosedural, garis berwarna akan selalu muncul di garis
kontrol, menunjukkan bahwa jumlah spesimen yang tepat telah ditambahkan
(Baselt, 1982).
Gambar Hasil Positif dan Negatif Pada Strip Test
Kontrol prosedural disertakan dalam tes. Sebuah garis merah muncul di
kontrol wilayah (C) dianggap sebagai pengendalian prosedural positif internal.
1. Negatif : Dua baris muncul. Satu garis merah harus berada di wilayah kontrol
(C) dan garis merah atau pink yang lain yang jelas harus berada di daerah uji
(T).
2. Positif : Satu garis merah muncul diwilayah kontrol (C). Tidak ada garis yang
masuk pada daerah uji (T).
3. Invalid: Garis kontrol gagal muncul. Volume spesimen tidak mencukupi atau
teknik prosedural yang salah adalah alasan yang paling mungkin untuk
kegagalan kontrol. Tinjau kembali prosedur dan ulangi dengan strip test baru.

III. Alat dan Bahan

Bahan Alat

Spesimen Alat uji kaset/strip


Urin test
Container Specimen
Urin

Pipet Untuk
Meneteskan Urin
Timer
IV. Prosedur
Urin ditampung pada gelas specimen urin. Kemudian dilakukan pengujian
menggunakan strip test. Strip test dipegang pada sisi yang memiliki sticker warna
merah. Kedalam urin dicelupkan sisi strip test yang tidak dipegang hingga tanda
batas maximal. Diamkan striptest tercelup pada urin selama 10 detik. Kemudian
strip test diangkat dari gelas specimen urin. Tunggu beberapa saat hingga terlihat
hasil dari test urin. Terdapat garis dua berwarna merah yang berarti negatif
amfetamin dan garis satu berwarna merah bila positif amfetamin.

V. Data Pengamatan dan Perhitungan

t (Uji) c (Control)

Negatif Amphetamin

VI. Pembahsan
Pada percobaan ini dilakukan suatu skrining kandungan Amphetamin
dalam urin. Tujuan dari percobaan ini untuk memahami dan mendeteksi
penyalahgunaan adanya obat Amphetamin di dalam urin dengan menggunakan
metode immunoassay. Dimana obat Amphetamin ini merupakan suatu obat
psikotropik golongan I, yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat
kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Tetapi pada undang-undang RI
no.35 tahun 2009 menyatakan bahwa obat Amphetamin termasuk kedalam obat
narkotika golongan 1 yang merupakan salah satu obat stimulan jenis NAPZA
yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan dalam
bekerja.
Amphetamin terdiri dari MDMA (methylen dioxy methamphetamin) dan
methamfetamin. MDMA atau ekstasi, contohnya adalah ineks berbentuk tablet
atau pil yang diminum. Methamfetamin, contohnya shabu-shabu berbentuk kristal
yang penggunaannya dengan cara dibakar, asapnya dihisap (Hawari, 2009).
Amphetamin ini sering disalahgunakan sebagai ‘dopping’ karena pada pasien
yang tidak lelah akan menimbulkan euphoria ringan, meningkatkan rasa percaya
diri dan aktivitas. Hal ini dapat yang sering dilakukan skrining kandungan obat
Amphetamin, misalnya pada orang-orang yang melakukan pertandingan-
pertandingan olahraga dan dilakukan pula oleh polisi untuk menangkap pengguna
narkoba (Mutshcler, 2010).
Mekanisme kerja dari Amphetamin ini yaitu dengan merangsang susunan
saraf dan melepaskan katekolamin (epinefrin, norepinefrin dan dopamin) dalam
sinaps pusat dan menghambat dengan meningkatkan rilis neurotransmitter
enthecolamin yang termasuk dopamin. Sehingga neurotransmiter tetap berada
dalam sinaps dengan konsentrasi lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama
dari biasanya. Semua sistem saraf akan berpengaruh terhadap perangsangan yang
diberi kanel (Mutshcler, 2010).
Adapun efek dari penggunaan Amphetamin yang akan muncul dalam
waktu 2-4 jam. Senyawa ini memiliki waktu paruh 4-24 jam dan dieksresikan
melalui urin sebanyak 30% dalam bentuk metabolit. Metabolit Amphetamin
tersebut terdiri dari p-hidroksiamfetamin, p-hidroksinorepedrin, dan penilaseton
(Mutshcler, 2010). Namun dengan adanya waktu paruhnya yang pendek
menyebabkan efek dari obat ini relatif cepat dan dapat segera terekskresikan. Hal
ini merupkaan suatu kendala dalam pengujian terhadap pengguna, apabila
pengujian dilakukan lebih dari 24 jam maka jumlah metabolit sekunder di dalam
urin menjadi sangat sedikit dan tidak dapat dideteksi dengan KLT (Hamdani,
2012).
Pada percobaan ini dilakukan suatu skrining kandungan Amphetamin
menggunakan metode immunoassay. Dimana metode ini dapat dilakukan dengan
cepat dan akurat sehingga hasil yang diperoleh mudah diketahui. Prinsip dari
teknik immunoassay ini adalah adanya suatu ikatan antibodi kompetitif. Dimana
kandungan obat Amphetamin yang mungkin terdapat di dalam urin akan
berkompetisis dengan konjugat obat masing-masing sehingga akan berikatan
dengan tempat pengikatan pada antibodi. Tahap pertama dalam melakukan
pemeriksaan yaitu dipegang bagian striptest yang berwarna merah muda, agar
bagian strip yang akan dicelup ke dalam urin tidak terkontaminasi. Kemudian
dicelupkan striptest pada urin yang telah ditampung hingga mengenai tanda batas
maksimal. Lalu ditunggu selama 10 detik dan diangkat dari urin, hal tersebut
dilakukan agar spesimen urin dapat bekerja dengan naik ke bagian atas yang
dipengaruhi adanya kapilaritas, sehingga kandungan obat dan konjugat obat dapat
berkompetisi untuk menempati tempat perikatan antibodi. Dibiarkan sampai
terlihat hasil pada garis uji dan garis kontrol yang menunjukkan bahwa positif
atau negatif mengandung Amphetamin pada urin tersebut. Dimana tanda C pada
striptest (kontrol) dilapisi oleh antibodi poliklonal kambing yang berikatan dengan
konjugat emas-protein dan bantalan pewarna yang mengandung partikel koloidal
emas yang dilapisi monoklonal antibodi tikus yang spesifik untuk Amphetamin.
Hal tersebut berguna untuk kontrol yang mengidentifikasikan bahwa volume
spesimen urin telah tepat dan sampai pada ujung striptest. Sedangkan pada garis
uji dilapisis oleh obat yang terkonjugasi protein (bovin albumin murni).
Apabila pada spesimen urin terdapat Amphetamin dengan kadar dibawah
batas konsentrasi, maka antibodi yang spesifik untuk Amphetamin tidak dapat
dijenuhkan oleh Amphetamin. Sehingga antibodi tersebut akan berikatan dengan
konjugat protein obat yang terdapat pada strip T. Oleh sebab itu, striptest akan
menghasilkan garis warna merah yang menunjukkan bahwa adanya ikatan antara
antibodi dengan konjugat protein obat ketika terbasahi oleh urin. Sedangkan
apabila dalam spesimen urin terdapat kandungan Amphetamin dengan kadar
diatas konsentrasi, maka antibodi spesifik untuk Amphetamin akan djenuhkan
oleh Amphetamin yang ada pada spesimen urin. Sehingga antibodi yang spesifik
akan terjenuhkan dan afinitas ikatannya tinggi. dimana konjugat protein obat tidak
ada yang berikatan dengan antibodi. Dengan demikian, pada striptest garis T tidak
akan menunjukkan garis warna pada striptest ketika terbasahi oleh spesimen urin.
Pada percobaan ini diperoleh hasil negatif dimana hasil pengujian
menunjukkan bahwa urin yang dianalisis tidak mengandung amphetamin diatas
batas konsentrasi yang ditunjukkan dengan munculnya warna pada daerah
pengujian strip.

VII. Kesimpulan
1. Skrining kandungan amphetamin dalam urin dengan metode immunoassay
menghasilkan dua garis berwarna merah.
2. Hasil tersebut menunjukkanbahwa urin yang dipeoleh dari sukarelawan
negatif mengandung amphetamin.
VIII. Daftar Pustaka
Baselt, R. (1982). Disposition of Toxic Drugs and Chemicals in Man. 2nd Edition.
Davis CA: Biomedical Publish.
Coggeshall, L. (1964). Report of The Commission on Drug Safety. Canada:
American Societies for Experimental Biology.
Darman, F. (2006). Mengenal Jenis dan Efek Buruk Narkoba. Tangerang:
Visimedia.
Fitzgerasld, S., Lamont, J., Connel, R. and Benchikh, O. (2005). Development of
a High- Throughput Automated Analyzer Using Biochip Array
Technology. New York: Clinical Chemistry.
Hamdani, Syarif, dkk. (2012). Modul Praktikum Kimia Analisis. Bantung:
Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia.
Hawari, Dadang. (2009). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.
Jakarta: FKUI.
Indrati, A. (2005). Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik Narkoba.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Joewana, S. (2001). Narkoba: Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk Mencegah
Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: Media Pressindo.
Kurniawan, J. (2008). Definisi & Pengertian Narkoba Dan Golongan/Jenis
Narkoba Sebagai Zat Terlarang. Jakarta
Lum, G. and Mushlin, B. (2004). Urine Drug Testing: Approachesto Screening
and Confirmation Testing. Volume 35. USA: Laboratory Medicine.
Munaf, S. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi. Bagian II. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Mutschler, E. (2010). Dinamika Obat : Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi,
diterjemahkan oleh Widianto, M.B., dan Ranti, A.S. Bandung: Penerbit
ITB.
Nurhaeni, H., Sumiati., Dinarti. dan Aryani. R. (2009). Kesehatan Jiwa Remaja
dan Konseling. Jakarta: Trans Info Media. Halaman: 98 – 100.
Pani, S., Cooke, E,. Horrocks, J., George, L., Hardwick, S. and Speller, R. (2009).
Modeling an Energy-Dispersive X-ray Diffraction System for Drug
Detection
Partodiharjo, S. (2003). Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya.
Jakarta: ESENSI.
Rodger, F., Allison, F. and Ruth, F. (1980). GC/MS Assay for Abused Drugs in
Body Fluids. Maryland: NIDA Research Monograph.
Rozak, A. (2006). Remaja dan Bahaya Narkoba. Jakarta: Prenada Media Group.
Throughput Automated Analyzer Using Biochip Array Technology. New York:
Clinical Chemistry.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA KLINIK
PERCOBAAN VII
SKRINING KANDUNGAN AMPHETAMIN DALAM URIN

Disusun Oleh :
Kelompok 6/D

Ulfhatun Nadza 10060316135


Dyah Legina Dwi Putri 10060316136
Shofa Nurafina 10060316137
Kintan Yulia 10060316138
Elsya Nurul M 10060316143

Tanggal Praktikum : Rabu, 23 Oktober 2019


Tanggal Pengumpulan : Selasa, 29 Oktober 2019
Asisten Praktikum : Lutfi Ashri KN, S.Farm, Apt.
LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT-A
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2019 M/ 1440 H

Anda mungkin juga menyukai