Anda di halaman 1dari 9

Pada prakatikum kali ini dilakukan pengukuran eksresi urin untuk

mengetahui kadar obat siprofloksasin yang masih terukur dalam rentang atau
jumlah yang sesuai atau tidak dan menentukan parameter farmakokinetik yang
diperoleh. Parameter farmakokinetik yang dapat dihitung dari percobaan kali ini
yaitu tetapan laju eliminasi (K), jumlah obat yang di eksresikan (Du) waktu paruh
( t1/2 ) dan bioavaibilitas dalam tubuh. Bioavaibilitas sendiri merupakan
ketersediaan hayati kadar obat ddalam tubuh.
Ginjal merupakan organ yang penting dalam pengaturan kadar cairan tubuh,
keseimbangan elektrolit dan pembuangan metabolit-metabolit sisa dan obat dari
tubuh. Kerusakan atau degenerasi fungsi ginjal akan mempunyai pengaruh pada
farmakokinetika obat. Percobaan kali ini untuk mengukur konsentrasi obat dalam
urin dan mengetahui parameter-parameter farmakokinetik. Obat yang digunakan
untuk analisa konsentrasinya adalah siprofloksasin. Siprofloksasin digunakan
dalam percobaan karena siprofloksasin tidak mengalami first pass effect, sehingga
dieksresikan secara sempurna melalui urin.
Siprofloksasin merupakan obat antibakteri yang memiliki mekanisme
menghambat aktifitas DNA girase bakteri, bersifat bakterisida dengan spektrum
luas terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif. Siprofloksasin tersedia
dalam bentuk tablet da nada juga kaplet. Jika diberikan melalui oral bioavaliabilitas
absolut dari obat ini adalah sekitar 70%, tanpa dipengaruhi oleh metabolisme
pertama.
Siprofloksasi menurut (Katzung, 2011), menyatakan bahwa sebesar 40-50%
dari dosis yang diminum akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk awal
sebagai obat yang belum diubah. Eksresi
siprofloksasin melalui urin akan lengkap setelah 24 jam. Sehingga cocok untuk
pengukuran konsentrasi obat melalui urin karena pegeluaran atau eliminasi obat
dalam urin besar dan tereliminasi dalam bentuk utuhnya tidak diubah yang
menyebabkan pengukuran konsentrasi obat lebih mudah.
Kemudian obat siprofloksasin memiliki interaksi dengan makanan.
Menurut (Sinta, 2011), Siprofloksasin sediaan tablet bila diberikan bersama
makanan, akan mengalami terjadi keterlambatan absorpsi sedangkan pada sediaan
suspensi, tidak terjadi keterlambatan absorpsi bila diberikan bersama makanan.
Sehingga disini peran bentuk sediaan berpengaruh pada proses absorbsi contohnya
sediaan tablet akan mengalami keterlambatan pada proses absorbsi karena
memerlukan proses penghancuran terlebih dahulu sedangkan jika ada makanan
maka akan mengganggu proses penghancuran tersebut sehingga akan menyebab
proses absorbsi menjadi lambat, tetapi jika dibandingkan dengan sediaan suspensi
maka tidak terjadi keterlambatan karena sediaan suspensi merupakan fase dispersi
dimana zat aktif terdispersi dalam cairan dalam bentuk partikel-partikel kecil
sehingga pada proses penghancuran akan lebih cepat walaupun adanya makanan
kemudian jika ada makanan atau minuman yang dapat merubah pH saluran cerna
diberikan bersamaan dengan obat ini karena pengaruh pH jika makanan atau
minuman tersebut besifat asam maka akan terbentuk ionisasi karboksilat kelompok
molekul kuinolon yang memungkinkan terbentuk khelat dengan kation menjadi
kelarutan menjadi berkurang dan absorbsi terganggu. Jika berupa minuman
contohnya susu akan mempengaruhi proses absorbsi obat karena kandungan dari
susu yaitu kalsium akan membentuk ikatan kompleks dengan siprokfloksasin.
Menurut (Papai, 2010), menyatakan bahwa sejumlah kalsium berinteraksi dengan
Floroquinolon yang ada dalam siprofloksasin membentuk hemat kelat larut dengan
ion logam di- dan trivalen. Karena membentuk kompleks dengan kalsium sehingga
molekul menjadi besar sehingga kelarutan menjadi berkurang menyebabkan proses
absorbsi terganggu.
Interaksi siprofloksasin dengan obat lainya contohnya dengan antasida akan
mempengaruhi proses absorbsi dari obat siprofloksasin yang menyebabkan
bioavaibilitas dalam tubuh sedikit. Karena antasida yang mengandung magnesium
hidroksida atau aluminium hidroksida dapat mengurangi bioavailabilitas
siprofloksasin secara bermakna (Sinta, 2011). Hal ini dapat terjadi karena antasida
akan menurunkan kelarutan dari siprofloksasin yang sifatnya basa. Sehingga proses
absorbsi terhambat. Kemudian contoh lainya yaitu dengan probenesid yaitu dapat
menurunkan ekskresi siprofloksasin dan meningkatkan kadar obat disistemik.
(Katzung, 2011).
Penetapan kadar siprofloksasin dilakukan dengan cara mengambil sample
urin yang diambil secara berkala selama 24 jam dan menggunakan alat KCKT
dengan detektor UV sebagai yang dapat mengukur kadar obat siprofloksasin. Dasar
dari pemilihan KCKT yaitu dapat dilihat dari struktur siprofloksasin yang memiliki
gugus kromofor.

Penggunaan detektor sinar UV (ultraviolet) dengan panjang gelombang 280


nm dikarenakan siprofloksasin memiliki panjang gelombang 278 nm. Selain itu,
pada struktur siprofloksasin terdapat gugus kromofor. Gugus kromofor merupakan
gugus fungsi yang menyerap atau mengabsorpsi radiasi elektromagnetik di daerah
panjang gelombang sinar UV (ultraviolet) yaitu 200 - 400 nm dan panjang
gelombang sinar tampak (visible) yaitu 400 - 800 nm. Gugus kromofor yang
terdapat pada struktur siprofloksasin berupa ikatan rangkap terkonjugasi serta
pasangan elektron bebas yang terdapat pada atom O.
Pada tahap pertama dilakukan pemilhan sukarelawan untuk
menyumbangkan urin dan diusahakan sukarelawan adalah pria karena pada pria
volume urin yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan wanita sehingga
pada saat pengambilan sampel urin akan lebih mudah. Sukarelawan sebaiknya tidak
merokok, sehat dan tidak mengkonsumsi obat-oabtan apapun. hal ini dilakukan
untuk menghindari kekeliruan pada saat pengukuran kadar obat siprofloksasin.
Kemudian dilakukan pengukuran dengan waktu yang sudah ditentukan.
Urin yang pertama kali ditampung yaitu pada saat pertama bangun tidur
merupakan urin blanko dimana urin tersebut belum mengandung obat sipfloksasin.
Hal ini dilakukan karena urin blanko adalah sebagai pelarut untuk larutan induk,
diambil sesaat setelah bangun tidur dan sebelum memakan atau meminum apapun
untuk menjaga agar blanko urin tidak mengandung lebih banyak komponen yang
disebabkan oleh makanan atau minuman, yang dapat mengganggu pada proses
pengukuran. Kemudian pasien diberikan obat siprofloksasin dengan dosis 500 mg.
Dosis tersebut merupakan dosis lazim untuk memberkan efek farmakologis. Setelah
obat diminum dilakukan pengukuran volume urin pada waktu yang telah
ditentukan.
Pada pengumpulan urin perlu dilakukan pengukuran volume urin yang
dieksresikan cara yang dilakukan adalah pada saat urinasi, dimana pasien
menampung urin di matkan kemudian sampel urin diambil sebanyak 10 mL dan
dimasukkan kedalam vial. Pengukuran volume urin untuk dapat menentukan berapa
jumlah obat siprofloksasin yang telah di eskresikan. Lalu vial dimasukkan kedalam
freezer dengan suhu -4℃ hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya penguraian
pada sampel urin, karena pada urin terkandung banyak mikroba.
Tahap kedua yaitu cara pembuatan larutan induk. Larutan induk adalah
larutan baku kimia yang dibuat dengan kadar tinggi dan akan digunakan untuk
membuat larutan baku (stok) dengan kadar lebih rendah. Larutan induk dibuat dari
campuran urin blanko 10 mL dan 10 mg siprofloksasin yang memiliki konsentrasi
1000 ppm dalam 10 mL. Blanko urin yang diambil pada hari pertama sesaat setelah
bangun tidur yang belum minum atau makan apapun. Hal ini dilakukan karena urin
blanko adalah sebagai pelarut untuk larutan induk, diambil sesaat setelah bangun
tidur dan sebelum memakan atau meminum apapun untuk menjaga agar blanko urin
tidak mengandung lebih banyak komponen yang disebabkan oleh makanan atau
minuman, yang dapat mengganggu pada proses pengukuran
Kemudian dilakukan pembuatan larutan stok yang diambil dari larutan
induk yang berkonsentrasi 1000 ppm dalam 10 mL, menjadi 100 ppm dalam 10 mL
perhitungan yang dilakukan yaitu menggunakan pengenceran dan didapat 1 mL
larutan induk yang akan dijadikan larutan stok. Larutan stok adalah larutan yang
dibuat dari larutan induk kemudian diencerkan agar didapat larutan yang lebih
encer dan dapat mengurangi cemaran. Selanjutnya yaitu pembuatan larutan seri.
Larutan seri adalah larutan yang dibuat dari larutan stok yang dibuat berbagai
konsentrasi yaitu 0,1; 0,5; 1,5; 10, 20, dan 50 µg/mL, pembuatan larutan seri
diambil dari larutan stok dengan cara perhitungan pengenceran yang didapat secara
berturut-turut yaitu 0,01; 0,05; 0,1; 0,5; 1, 2, 5 mL.
Pengukuran menggunakan KCKT sistem fase balik yaitu fase gerak yang
polar dan fase diam yang nonpolar. Fase diam yang digunakan yaitu oktadesil silane
yang bersifat nonpolar. Fase gerak yang digunakan adalah asetonitril : air (25 :75)
dengan penambahan Trietanolamin 0,1% dan pH disesuaikan hingga 2,5 dengan
asam sulfat 1 M. Fase gerak yang digunakan bersifat polar karena perbandingan air
lebih banyak dibandingkan dengan asetonitril. Kemudian penambahan
trietanolamin (TEA) digunakan agar tidak terjadinya tailing, TEA akan me-
masking residu Si-OH, sehingga saat senyawa basa melewati kolom tidak terjadi
ikatan yang terlalu kuat, hingga akhirnya dapat memperkecil terjadinya tailing.
Tetapi harus diperhatikan penggunaanya jangan terlalu banyak karena dapat
menyebabkan hilangnya fungsi residu silanol pada kolom RP-18. Sedangkan asam
sulfat 1 M digunakan untuk mnyesuaikan pH hingga 2,5. Detektor yang digunakan
yaitu sinar UV pada panjang gelombang 280 nm. Kemudian sampel diinjeksikan
kedalam alat KCKT sebanyak 40 µg dan dilihat waktu retensi dan luas area yang
dihasilkan.
Pada tahap ketiga yaitu dilakukan pengolahan data dengan membuat kurva
kalibrasi. Penentuan konsentrasi siprofloksasin dalam sampel urin dengan cara
mengambil 1 mL urin dari tiap rentang dimasukan kedalam labu ukur 10 mL dan
diencerkan dengan ammonium asetat sampai 10 mL. sehingga didapat 6 sampel
urin yang diinjeksikan kedalam alat KCKT 40 µg dengan sistem yang sama dengan
cara penentuan kurva kalibrasi. Kemudian dilihat waktu retensi dan luas area yang
dihasilkan. Hasil nilai AUC yang didapat yaitu pada sampel 1 yaitu 72591763,
sampel 2 yaitu 127166563, sampel 3 yaitu 75139788, sampel 4 yaitu 42612803,
sampel 5 yaitu 61475714 dan ampel 6 yaitu 37567722.
Seharusnya nilai luas area (AUC) yang diperoleh tersebut mengalami
penurunan seiring dengan bertambahnya waktu karena obat siprofloksasin telah
dimetabolisme dalam hati sehingga tidak diperlukan kembali dalam tubuh, maka
proses eksresii berlangsung dengan relative cepat, namun berdasarkan data yang
dihasilkan nilai AUC yang diperoleh mengalami fluktuatif. Hal ini dapat
disebabkan kepatuhan pasien dalam pengambilan urin tidak tepat pada saat
pengambilan urin yang telah ditentukan. Adapun faktor yang mempengaruhi untuk
mendapatkan data urin yang valid, diantaranya analisis yang spesifik dan selektif,
frekuensi pengambilan sampel urin cukup 7 sampai 10 kali waktu paruh,
pengosongan waktu kandung kemih harus dilakukan secara sempurna serta pH dan
volume urin berpengaruh pada kecepatan ekresi obat dan dapat diakibatkan oleh
makanan yang dikonsumsi sukarelawan ikut mempengaruhi kondisi urin yang
dihasilkan.
Pada percobaan kali ini, penentuan parameter farmakokinetik dalam sampel
urin dengan menggunakan 2 metode, yaitu metode laju eksresi dan metode sigma
minus (ARE). Metode laju eksresi dimana laju eksresi urin dirata-ratakan terlebh
dahulu kemudian dibuat kurva kalibrasi antara dXu/dt terhadap titik tengah (t mid).
Nilai AUC dalam sampel digunakan untuk mengukur konsentrasi obat
siprofloksasin dalam urin dengan menggunakan persamaan regresi linear yang
didapat pada pembuatan kurva kalibrasi. dari kurva tersebut didapatkan persamaan
regresi linier yaitu y= 3,189 - 0,072t dimana hasil tersebut digunakan untuk
menghitung konstanta eliminasi dan waktu paruh. Pada metode laju eksresi
didapatkan nilai konstanta eliminasi sebesar 0,048 jam dimana konstanta eliminasi
ini merupakan nilai tetapan laju eksresi ginjal yang menunjukkan bagaimana obat
dimetabolisme didalam ginjal. Sedangkan waktu paruh yang didapatkan yaitu
9,625/jam , dimana waktu paruh merupakan jangka waktu samapi kadar obat dalam
urin menurun menjadi separuh dari harga asalnya. Dengan mengetahui nilai dari
konstanta eliminasi dan waktu paruh maka dapat mengetahui bagaimana obat
dieskresikan dalam urin. Nilai konstanta eliminasi seharusnya berbanding lurus
dengan nilai waku paruh. Ini mungkin disebabkan obat siprofloksasin banyak di
mataboliesme olah ginjal sehingga obat siprofloksasin tidak tereksresi sempurna.
Selanjutnya metode sigma minus (ARE) dimana ditentukan terlebih dahulu
nilai Du∞ atau Du komulatif. Du komulatif dapat mengetahui komulatif konsentrasi
obat dalam urriin. Setelah itu dilakukan regresi linier antara Du∞ - Du terhadap
waktu (t*), dan didapatkan persamaan y= 5,679 – 0,121t. Dari prsamaan tersebut
didapatkan nilai K (tetapan laju eleminasi) yaitu sebesar 0,121 dan waktu paruh
5,727/jam.
Obat siprofloksasin termasuk kedalam obat golongan kuinolon.
Siprofloksasin memiliki profil armakokonetik yang cukup bagus dengan
bioavaibilitas yang tinggi dan waktu paruh yang Panjang. Siprofloksasin memiliki
bioavaibilitas 50-70% , nilai t 1/2 adalah 4,1 jam Katzung, 2011). Berdasarkan dari
data yang diperoleh pada metode laju eksresi didapatkan nilai K = 0,072 ; t 1/2 =
9,625/jam ; Ke = 0,048/jam. Sedangkan metode sigma minus (ARE) didaptkan nilai
K = 0,121 dan nilai t 1/2 5,727. Jika dilihat dari data tersebut maka dapat
disumpulkan bahwa hasil yang di dapatkan antara pengujian tidak sesuai litelatur
hail ini dapat disebabkan karena faktor-faktor pada saat pengambilan uruin tidak
tepat, analisis yang kurang spesifik dan selektif, volume dan pH urin yang
berpengaruh padan kecepatan eksresi obat dan makanan yang dikonsumsi oeh suka
relawan.

Kesimpulan :
- Parameter farmakokinetik yang dapat ditentukan yaitu dengan metode laju eksresi
urin dan sigma minus (ARE). Pada metode laju eksresi didapatkan nilai K = 0,072
jam ; t 1/2 = 9,625/jam ; Ke = 0,048/jam. Dan pada metode sigma minus (ARE)
didapatkan nilai K = 0,121 jam ; t 1/2 = 5,727/jam
- Konstenrasi sampel urin dengan metode laju eksresi dapat diukur degan
persamaan lndXu/dt = ln Ke.Xo – K.tmid. Pada metode sigma minus (ARE) dapat
diukur dengan persamaan d(Xu∞ - Xu)/dt = ln Xu∞ -K.t

Daftar Pustaka
Katzung.Bertram, G. (2011). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10.
Pustaka buku kedokteran. Jakarta
Papai,K., M. Budai, K. Lundanyi, I. Antal, I. Klebovich, (2010), In Vitro
Food-Drug Interaction Study: Which Milk Component Has a
Decreasing Effect on the Bioavailability of Ciproflokxacin, Journal
of Pharmaceutical and Biomedical Analysis.
Shargel, Leon., Wu-Pong, Susanna., B.C. YU, Andrew. (2012).
Biofarmasetika & Farmakokinteika Terapan Edisi Kelima.
Airlangga University Press, Surabaya.
Sinta. Metta. (2011). Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. fakultas kedokteran
universitas Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai