Anda di halaman 1dari 7

VI.

Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatan aktivitas antibakteri dan


penentuan konsentrasi hambat minimum (KHM) dimana Konsentrasi minimun
penghambatan atau lebih dikenal dengan MIC (Minimum Inhibitory Concentration)
adalah konsentrasi terendah dari antibiotika atau antimikrobial yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba tertentu (Jawetz et al.,1996).

Sebelum dilakukan percobaan, dimana peralatan percobaan di sterilisasikan


dengan menggunakan autoklaf suhu 121℃ selama 15 menit. Dilakukan sterilisasi
alat yang bertujuan untuk memastikan peralatan bersih dan tidak dipengaruhi oleh
mikroba yang terdapat diatas permukaan peralatan. Media yang dgigunakan yaitu
agar NB yang telah disterilkan dengan autoklaf. Media yang digunakan dipanaskan
sebelum dituangkan ke dalam cawan petri, setelah itu di pipet sebanayak 50 mL,
sebelum dituangkan media harus di dinginkan terlebihdahulu, hal ini bertujuan agar
pada saat penambahan bakteri, bakteri tidak akan mati karena media terlalu panas.
Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar
dan pengenceran agar.

6.1 Metode difusi agar

Metode difusi agar merupakan salah satu metode yang sering digunakan.
Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder, metode
lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Tetapi yang digunakan adalah cakram
kertas yang memiliki prinsip uji menempatkan cakram kertas yang telah diberikan
senyawa antibiotik dengan konsentrasi tertentu pada media yang telah ditanami
bakteri S.aureus yang akan diuji secara merata.

Konsentrasi antibiotik dibuat berbeda-beda dengan tujuan untuk


mengetahui pengaruh konsentrasi terhadap daya kerja dari antibiotik. Konsentrasi
antibiotik yang digunakan adalah kontrol (tanpa antibiotik), 0,01 µg/cakram, 0,1
µg/cakram, 0,25 µg/cakram, 0,5 µg/cakram, 1 µg/cakram, 2,5 µg/cakram dan 5
µg/cakram Hasil pengamatan dibandingkan antara kelompok 4 dengan kelompok
7. Setelah diinkubasi kurang lebih 18-24 jam.

Pada antibiotik ampisilin, hasil dari pengamatannya memiliki diameter


hambatan berturut-turut pada kelompok 1, yaitu 20 mm, 30 nm, 33 mm, 40 mm, 35
mm, 40 mm,55 mm. Nilai KHM Ampisilin terhadap bakteri S. aureus terdapat pada
kadar 0,01 µg/cakram kertas karena pada konsentrasi tersebut memberikan zona
hambat yang kecil dimana artinya pada konsentrasi tersebut sudah memiliki
diameter hambat. Semakin kecil zona bening yang terbentuk maka semakin tinggi
pulakonsentrasi yang digunakan dan zona bening yang tebentuk akan semakin
besar.

Pada kelompok 4 yaitu 10 mm, 30 mm, 32,5 mm, 40 mm, 52 mm, 57 mm,
45 mm. Nilai KHM Ampisilin terhadap bakteri S. aureus terdapat pada kadar 0,01
µg/cakram kertas karena pada konsentrasi tersebut memberikan zona hambat yang
kecil dimana artinya pada konsentrasi tersebut sudah memiliki diameter hambat.
Semakin kecil zona bening yang terbentuk maka semakin tinggi pulakonsentrasi
yang digunakan dan zona bening yang tebentuk akan semakin besar.

Pada kelompok 7 - , 12 mm, 16 mm, 18 nm, 24 mm, 25 mm, 26 mm. Pada


kelompok 7 Nilai KHM Ampisilin terhadap bakteri S. aureus terdapat pada kadar
0,1 µg/cakram kertas karena pada konsentrasi tersebut memberikan zona hambat
yang kecil dimana artinya pada konsentrasi tersebut sudah memiliki diameter
hambat. Semakin kecil zona bening yang terbentuk maka semakin tinggi
pulakonsentrasi yang digunakan dan zona bening yang tebentuk akan semakin
besar.

Sehingga nilai KHM dari 3 kelompok tersebut yang efektif adalah


kelompok 1 dan 4 karena pada kadar ampisilin 0,01 µg/cakram kertas memiliki 20
nm di kelompok 1 sedangkan pada kelompok 4 memiliki 20 nm. Karena pada
konsentrasi tersebut memiliki diameter hambat yang kecil. Semakin kecil zona
bening yang akan terbentuk dan semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka
zona bening yang terbentuk semakin besar.

Pada antibiotik tetrasiklin, dengan berbagai konsentrasi diperoleh diameter


hambat berturut-turut pada kelompok 2 yaitu 37,5 mm, 33 mm, 35 mm, 29,5 mm,
27,5 mm, 21,5 mm. Tetapi, pada konsentrasi terendah yaitu pada konsentrasi 0,01
µg/cakram kertas tidak memiliki zona hambat. Berdasarkan data pengamatan di
atas, nilai KHM Tetrasiklin terhadap bakteri S. aureus terdapat pada kadar 0,1
µg/cakram kertas, karena pada konsentrasi tersebut sudah memberikan zona hambat
yang artinya dengan konsentrasi 0,1 µg/cakram kertas sudah dapat menghambat
pertumbuhan bakteri.

Sedangkan pada kelompok 5, memiliki diameter hambat berturut-turut,


yaitu 41 mm, 31 mm, 24 mm, 25 mm, 22,5 nm, 12 mm, dan 10 mm. Setiap
konsentrasi yang diujikan memiliki nilai diameter hambat. Sehingga nilai KHM
Tetrasiklin terhadap bakteri S. Aureus pada kelompok 5 yaitu pada konsentrasi 0,01
µg/cakram kertas. Karena pada konsentrasi tersebut sudah menunjukan adanya
diameter hambat.

Sehingga nilai KHM dari 2 kelompok tersebut yang efektif adalah pada
kelompok 5 karena pada konsentrasi tetrasiklin 0,01 µg/cakram kertas memiliki
diameter hambat sebesar 10 mm. Selain itu, pada konsentrasi tersebut memiliki
diameter hambat yang kecil. Semakin rendah konsentrasi antibiotiknya, semakin
kecil zona hambat yang akan terbentuk sehingga sehingga daya hambatnya semakin
besar.

Pada antibiotik kloramfenikol, hasil pengamatannya memiliki diameter


hambatan berturut-turut pada kelompok 3, yaitu nilai diameter zona hambatan dari
bakteri S.aureus dari semua konsentrasi tidak menghasilkan zona bening sehingga
tidak memiliki diameter hambat sama sekali. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena beberapa faktor, yaitu saat pembuatan larutan antibiotiknya yang tidak
homogen ataupun larutan yang diteteskan terlalu sedikit.

Sedangkan pada kelompok 5, nilai diameter hambat berturut-turut adalah


0 mm, 5 mm, 5 mm, 5 mm, 10 mm, 10,5 mm, 6 mm dan 11,15 mm. Sehingga nilai
KHM Kloramfenikol terhadap bakteri S.aureus adalah pada konsentrasi 0,01.
Karena pada konsentrasi tersebut sudah memberikan zona hambat yang artinya
dengan konsentrasi 0,01 µg/cakram kertas sudah dapat menghambat pertumbuhan
bakteri S.aureus.

6.2 Metode Pengenceran Agar

Sedangkan pada metode pengenceran agar dibuat seri pengenceran agen


antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji (Pratiwi,
2008). Media agar ditanami oleh bakteri S.aureus untuk selanjutnya ditentukan
konsentrasi terendah dari senyawa antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri (konsentrasi hambat minimum) setelah dilakukan inkubasi 18-24 jam.
Konsentrasi yang digunakan adalah 0,03 µg/ml, 0,06 µg/ml, 0,12 µg/ml, dan 0,24
µg/ml. Setelah diinkubasi selama 18-24 jam, diamati pertumbuhan bakteri pada
media.

Pada antibiotik ampisilin pada konsentrasi 0,06; 0,12; 0,24 memberikan


hasil yang negative. Dimana, hal ini menunjukkan bahwa pada Bakteri S.aureus
pertumbuhannya terhambat. Sedangkan pada konsentrasi 0,03 memberikan hasil
yang positif dimana menunjukkan terdapar pertumbuhan bakteri. Hal ini dapat
terjadi karena pada saat pembuatan larutan antibiotic yang tidak homogen, larutan
yang diteteskan terlalu sedikit sehingga ampisilin tidak dapat mengahmbat bakteri
S.aerus sehingga terdapat pertumbuhan bakteri.

Pada antibiotik tetrasiklin, pada konsentrasi 0,03 dan 0,06 Memberikan


hasil yang negatif. Hal ini menunjukkan Bakteri S.aureus pertumbuhannya
terhambat. Sedangkan pada kelompok lain pada konsentrasi 0,03 dan 0,06
memberikan hasil yang positif. Hal ini menunjukan terdapat pertumbuhan Bakteri
S.aureus, karena kemungkinan terjadi ketika pembuatan larutan antibiotik nya tidak
homogen, larutan yang diteteskan terlalu sedikit sehingga menyebabkan tetrasiklin
tidak mampu menghambat pertumbuhan Bakteri S.aerus.

Pada antibiotik kloramfenikol, pada konsentrasi 0.03 dan 0.06 memberikan


hasil negatif yang menunjukkan bahwa bakteri S.aureus sudah terhambat pada
konsentrasi terendah. Kemudian pada konsentrasi 0.12 dan 0.24 memberikan hasil
yang positif. Hal ini menunjukkan aktivitas antibiotik kloramfenikol terhadap
Bakteri S.aureus sudah tidak mampu menghambat pertumbuhannya lagi. Hal ini
karena bakteri S.aureus sudah mulai resisten terhadap kloramfenikol.

Jika dibandingkan dari ketiga antibiotik diatas, pada antibiotik tetrasiklin


dan kloramfenikol memiliki nilai KHM yang efektif karena pada konsentrasi
terendah mampu menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus pada konsentrasi 0,03.
Sedangkan pada antibiotik ampisilin, aktivitasnya dalam menghambat
pertumbuhan bakteri tersebut terjadi pada konsentrasi 0,06.

Berdasarkan perbandingan dari hasil pengamatan, dapat dilihat pada kurva


yang terlampir, bahwa antibiotik tetrasiklin dan kloramfenikol memiliki nilai KHM
yang efektif karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus pada
konsentrasi terendah, baik pada metode difusi agar maupun pada metode
pengenceran agar. Selain itu, kedua antibiotik tersebut bersifat bakteriostatik, yaitu
menghambat pertumbuhan bakteri. Sedangkan pada ampisilin, nilai KHM pada
metode difusi agar terdapat pada konsentrasi 0,1 dan pada metode pengenceran,
konsentrasi penghambatannya terjadi di 0,6. Hal ini karena sifat dari antibiotik
ampisilin adalah bakterisid sehingga belum mampu bekerja pada konsentrasi
terendah. Tetapi, ketiga antibiotik ini sama-sama memiliki spektrum kerja yang
luas, dimana dapat aktif bekerja pada jenis bakteri gram positif maupun bakteri
gram negatif.

Jika dilihat dari mekanisme kerjanya, ampisilin adalah antibiotik yang


termasuk golongan penisilin. Ampisilin merupakan penisilin semisintetik yang
stabil terhadap asam atau amidase tetapi tidak tahan terhadap enzim β- laktamase
yang bersifat bakterid dengan cara menghambat sintesa dinding sel bakteri.
Ampisilin mempunyai keaktifan melawan bakteri Gram positif dan bakteri Gram
negatif dan merupakan antibiotika spektrum luas (Brander et al., 1991).

Antibiotik tetrasiklin bersifat bakteriostatik dengan jalan menghambat


sintesis protein. Hal ini dilakukan dengan cara mengikat unit ribosom sel kuman 30
S sehingga t-RNA tidak menempel pada ribosom yang mengakibatkan tidak
terbentuknya amino asetil RNA. Terdapat 2 proses masuknya antibiotik ke dalam
ribosom bakteri gram negatif, pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal
hidrofilik, kedua ialah sitem transport aktif. Setelah masuk maka antibiotik
berikatan dengan ribosom 30 S dan menghalangi masuknya TRna-asam amino pada
lokasi asam amino.

Sedangkan pada antibiotik kloramfenikol merupakan antbiotik yang


memiliki aktivitas bakteriostatik dan pada dosis yang tinggi dapat bersifat
bakterisid. Aktivitas antibiotiknya bekerja dengan cara menghambat sintesis
protein dengan jalan meningkatkan ribosom subunit 50S yang merupakan langkah
penting dalam pembentukan ikatan peptida.
Kloramfenikol [1-(p-nirofenil)-2-diklorasetamido-1,3-propandiol] berasal
dari Streptomyces venezuelae, Streptomyces phaeochromogenes, dan
Streptomyces omiyamensis.

Kloramfenikol terikat pada ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim
peptidil transferase. Ini merintangi pembentukan ikatan peptida antara asam amino-
tRNA pada sisi aminoasil. Selain itu juga dirintangi rantai peptida yang sedang
memanjang pada sisi peptidil pada ribosom sehingga translasi terhenti (Nogrady,
1992). Kloramfenikol diabsorpsi cepat dan hampir sempurna dari saluran cerna,
karena obat ini mengalami penetrasi membran sel secara cepat. Setelah absorpsi,
kloramfenikol didistribusikan secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh.
Metabolit utama kloramfenikol adalah glukuronida–nya yang bekerja antibiotik,
yang dibuat di hati dan diekskresikan melalui ginjal (Katzung, 2004).

Kesimpulan

1. Akivitas antibakteri terhadap bakteri S.aureus dilakukan dengan penentuan


nilai KHM atau Konsentrasi Hambat Minimum
2. Untuk menguji aktivitas antibiotika Ampisilin,tetrasiklin dan kloramfenikol
terhadap bakteri S.A yaitu dengan cara difusi agar dan pengenceran agar.
3. Pada antibiotic Tetrasiklin dan Kloramfenikol memiliki nilai KHM yang
efektif dapat menghambat pertumbuhan bakteri baik di metode difusi agar
dan metode pengenceran agar karena kedua antibiotic bersifat
bakteriostatik. Sedangkan pada antibiotic Ampisilin memiliki nilai KHM
yang kurang efektif baik di metode difusi agar atau metode pengenceran
agar karena ampisilin bersifat bakterisid sehingga belum mampu bekerja
pada konsentrasi yang rendah.
Dapus

Nogrady,Thomas.1992.Kimia Medisinal:Pendekatan secara Biokimia.Bandung:

ITB.

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Buku Kedokteran

ECG. Jakarta.

Brander, G.C., D.M. Pugh., R.J. Bywater., R.J, dan W.L. Jenkins. 1991. Veterinary
Applied Pharmacology and Therapeutics. 5th Ed. ELBS, Bailliere Tindall.

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N.
Ornston. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa :
Nugroho&R.F.Maulany). Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai