Anda di halaman 1dari 5

Pada percobaan kali ini dilakukan pengujian aktivitas antelmintik.

Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau
mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Antelmintik merupakan
obat untuk mengurangi atau membunuh cacing dalam tubuh manusia dan hewan.
Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari
saluran cerna maupun obat-obat sistemik yang membasmi cacing dari larvanya
yang menghinggapi organ dan jaringan tubuh (Tjay, 2007).
Sebagian besar obat cacing efektif terhadap satu macam kelompok cacing,
sehingga diperlukan diagnosis yang tepat sebelum menggunakan obat tertentu.
Kebanyakan antelmintik diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah
makan. Beberapa senyawa antelmintik yang lama, sudah tergeser oleh obat baru
seperti Mebendazole, Piperazin, Levamisol, Albendazole, Tiabendazole, dan
sebagainya. Karena obat tersebut kurang dimanfaatkan. (Gunawan, 2009).
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian aktivitas antelmintik secara
invitro dengan berbagai konsentrasi. Percobaan ini tidak menggunakan organisme
yang terinfeksi, melainkan dibuat dengan keadaan aslinya atau keadaan tubuh.
Pengamtatan aktivitas dilakukan hanya dlihat dari segi perubahan kerja saraf dan
otot pada cacing. Dimana terget utama dari obat cacing adalah otot, karena cacing
sebagian besar terususun atas otot. Selain otot target lainnya yaitu energi, sehingga
cacing menjadi lemah.
Cacing yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu Ascaris suum. Cacing
ini merupakan hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang
(invertebrata) Ascaris suum biasa di asumsikan seperti cacing gelang biasa (Ascaris
lumbricoides) yang menginfeksi usus halus manusia. Karena sebagian kecil Ascaris
Suum dapat tumbuh dan berkembang di dalam usus manusia hingga dewasa.
Sebaran penyakit yang disebabkan oleh Ascaris Suum sangat kosmopolit terutama
di daerah tropis, yaitu di sekitar peternakan dan pemotongan babi serta tempat
penduduk yang mengkonsumsi daging babi.
Pada percobaan kali ini dilakukan pengujian aktivitas antelmintik dengan
menggunakan obat antelmintik pirantel pamoat dengan berbagai konsentrasi yaitu
½, ¼ dan 1/8 dan NaCl fisiologis. Pertama-tama cacing Ascaris suum dimasukkan
kedalam cawan petri kemudian diberi bahan uji sesuai dengan konsentrasi yang
berbeda-beda lalu diamati dan dicatat waktunya, selama pengujian cawan petri
yang berisi cacing disimpan di atas waterbath dengan suhu 37 ℃ hal ini dilakukan
agar sama dengan suhu tubuh manusia. Cacing Ascaris suum diamati selama 120
menit dan setiap 15 menit dilihat pergerakkan cacingnya, hal ini bertujuan untuk
mengetahui efek antelmintik yang diberikan pada cacing. Apabila selama dalam
pengataman cacing bergerak sama dengan keadaan awalnya berarti cacing tersebut
masih dalam keadaan normal, dan ketika cacing tersebut diam maka ada
kemungkinan cacing tersebut dalam keadaan norma, paralisis atau mati. Dimana
apabila cacing tersebuut diam setelah di sentuh dengan pinset, cacing dumasukkan
kedalam air hangat dengan suhu 50 ℃ yang bertujuan dapat meningkatkan
metabolisme cacing sehingga cacing dapat bergerak kembali dan di amati
keadaannya apakah dalam keadaan normal, paralisis atau mati.Efek yang dihasilkan
oleh obat antelmintik yaitu paralisis spastik dimana suatu keadaan terjadinya
kekejangan dan bergerak tidak terkendali karena adanya kontraksi yang berlebihan
membuat otot cacing menjadi kaku. Selain itu efek paralisis flasid dimana keadaan
cacing menjadi lemah akibat dari perintangan penerusan impuls neuromuskuler.
Dari hasil pengamatan yang didapatkan pada kelompok 1 dengan kontrol
yaitu NaCl fisiologis dimana dari menit ke 15 sampai 120 cacing tidak mengalami
paralisis otot, cacng dinyatakan dalam keadaan normal. Hal ini sesuai dengan
pengujian karena cacing tidak diberikan bahan uji obat antelmintik, cacing hanya
di berikan NaCl fisologis sebagai control sehingga cacing dalam keadaan normal
dan tidak mengalami paralisis otot.
Pada pengamatan kelompok 2 dan 5 dengan bahan uji pirantel pamoat
dengan konsentarsi ½. Pada kelompok 2 cacing mengalami paralisis spastik pada
menit ke 15 dan mengalami kematian pada menit ke 30. Sedangkan pada kelompok
5 mengalami paralisis spastik pada menit ke 15,30,45 dan mengalami kematian
pada menit ke 60. Paralisis spastik yaitu suatu keadaan dimana terjadi kejang dan
bergerak tidak terkendali karena adanya kontraksi otot yang berlebih. Perbedaan
durasi kerja obat dapat disebabkan pada beberapa faktor yaitu pengambilan cacing
yang dilakukan secara random, cacing betina dan jantan, pergerakkan cacing
sebelumnya, ukuran cacing dan dosis yang diberikan
Selanjutnya pengamatan pada kelompok 3 dan 6 dengan bahan uji pirantel
pamoat dengan konsentarsi ¼. Pada kelompok 3 cacing mengalami paralisis spastik
pada menit ke 15,30,45 dan mengalami kematian pada menit ke 60. Sedangkan pada
kelompok 6 cacing mengalami paralisis spastik pada menit ke 15 dan 30,
mengalami kematian pada menit ke 45. Paralisis spastik yaitu suatu keadaan dimana
terjadi kejang dan bergerak tidak terkendali karena adanya kontraksi otot yang
berlebih. Perbedaan durasi kerja obat dapat disebabkan pada beberapa faktor yaitu
pengambilan cacing yang dilakukan secara random, cacing betina dan jantan,
pergerakkan cacing sebelumnya, ukuran cacing dan dosis yang diberikan.
Perbedaan durasi kerja obat dapat disebabkan pada beberapa faktor yaitu
pengambilan cacing yang dilakukan secara random, cacing betina dan jantan,
pergerakkan cacing sebelumnya, ukuran cacing dan dosis yang diberikan. Selain itu
jika di bandingkan dengan bahan uji dengan konsentrasi ½ dimana kecepatan
membunuh cacing pada menit ke 30 sedangkan pada konsentrasi ¼ lebih lambat
yaitu pada menit ke 45. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis yang
diberikan, maka efek yang dihasilkan akan semakin kuat, sehingga cacing
mengalami kematian dalam waktu yang lebih cepat.
Kemudian pengamatan pada kelompok 4 dan 7 dengan bahan uji pirantel
pamoat dengan konsentarsi 1/8. Pada kelompok 4 cacing mengalami paralisis spastik
pada menit ke 15,30 dan 45 dan mengalami kematian pada menit ke 60. Sedangkan
pada kelompok 7 cacing mengalami paralisis tetapi langsung mengalami kematian.
Seharus nya cacing yang diberikan bahan uji pirantel pamoat mengalami paralisis
spastik. Dibandingkan dengan bahan uji dengan konsentrasi ¼ kecepatan
membunuh cacing dengan konsentrasi 1/8 semakin lebih lambat karena semakin
tinggi dosis yang diberikan, maka efek yang dihasilkan akan semakin kuat,
sehingga cacing mengalami kematian dalam waktu yang lebih cepat. Perbedaan
durasi kerja obat dapat disebabkan pada beberapa faktor yaitu pengambilan cacing
yang dilakukan secara random, cacing betina dan jantan, pergerakkan cacing
sebelumnya, ukuran cacing dan dosis yang diberikan.
Pirantel pamoat sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris dan Cacing tambang,
tetapi tidak efektif terhadap trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan
perintangan penerusan impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk
kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerak peristaltik usus. Cacing yang lumpuh
akan mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah keluar dari tubuh, cacing akan
segera mati. Di samping itu pirantel pamoat juga berkhasiat laksans lemah. Pirantel
pamoat memiliki sifat laksan yang cukup kuat dibandingkan dengan piperazin.
Cacing pengifeksi disaluran pencernaan membutuhkan obat yang daya absorbsinya
rendah agar zat aktifnya tidak cepat terbawa dalam aliran darah sehingga cepat
diekskresikan melalui urine. Sehingga pirantel pamoat merupakan pilihan pertama
yang digunakan dalam sediaan antelmintik untuk penyakit infeksi cacing
Ascariasis. Selain pirantel pamoat, mebendazol dan albendazol pun pilihan utama
untuk mengatasi infeksi cacing Ascaris ( Tjay, 2007).
Dari percobaan yang dilakuakn dimana jenis obat yang diuji merupakan
jenis obat antelmintik dengan target kerja pada perlumpuhan otot cacing dengan
jalan menghambat penerusan impuls (depolarisasi) neuromuscular pada cacing,
menghambat enzim kolinesterase sehingga asetilkolin menjadi lebih banyak
(konsentrasinya meningkat) dan menduduki reseptornya yg kemudian terjadi
depolarisasi yang menyebabkan kontraksi meningkat sehingga mengakibatkan
kejang pada cacing dan membuat cacing menjadi tidak dapat mempertahankan
posisinya dalam saluran cerna kemudian dengan adanya peristaltik cacing akan
didorong keluar dari tubuh.
Kesimpulan

Daftar Pustaka

Gunawan, Gan Sulistia. (2009). Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta:


Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Tjay toan han Drs, Kirana Rahardja Drs . 2007. Obat-obat penting khasiat,
penggunaan dan efek-efek sampingnya. Elex media computindo : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai