Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI
HISTAMIN DAN ANTIHISTAMIN

Tanggal Praktikum : 3 Desember 2020


Kelas/Kelompok : D2/3
Nama Anggota :
1. Sacharissa Davita (2018210239)
2. Jessica Intan Ferlia (2018210247)
3. Yosabeth Maylin Evin (2018210261)
4. Viona Alna Faradila (2018210278)*

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2020
I. Tujuan Percobaan
1. Memahami prinsip bekerjanya obat-obat antihistamin.
2. Untuk melihat pengaruh pemberian antihistamin dalam memproteksi
pengaruh histamin.
3. Untuk mengetahui efek antihistamin terhadap kulit yang disebabkan oleh
histamin dan ditandai dengan trypan blue.

II. Teori Percobaan


Histamin merupakan 2-(4-imidazoil) etilamin, didapatkan pada
tanaman maupun jaringan hewan serta komponen dari beberapa racun dan
sekret sengatan binatang. Histamin dibentuk dari asam amino L-histidin
dengan cara dekarboksilasi oleh enzim histidin dekarboksilase dan
memerlukan piridoksal fosfat sebagai kofaktor.
Hampir semua jaringan memiliki histamin dalam keadaan terikat dan
inaktif, terutama terdapat dalam ‘mast cells’ yang penuh dengan histamine dan
zat-zat mediator lain. Mast-cells banyak ditemukan di bagian tubuh yang
bersentuhan dengan dunia luar, yaitu di kulit, mukosa mata, hidung, saluran
nafas (bronkhia, paru-paru), usus. Histamin dapat dibebaskan dari mast-cells
oleh bermacam-macam faktor, misalnya oleh suatu reaksi alergi
(penggabungan antigen-antibodi) dari zat-zat kimia dengan daya
membebaskan histamine.

Berikut adalah subtype reseptor pada histamin :

- Subtipe reseptor H1 : Distribusi pada otot polos, endothelium, otak.


- Subtipe reseptor H2 : Distribusi pada mukosa lambung, otot jantung, sel-
sel mast, otak.
- Subtipe reseptor H3 : Distribusi pada prasinaptik, otak pleksus mienterikus,
sel-sel saraf lainnya.
Histamin mempunyai efek biologis dengan cara menggabungkan
reseptor seluler spesifik yang berlokasi di dalam membran permukaan.
Aktivasi reseptor H1 yang terdapat pada endotel dan sel otot polos
menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah dan sekresi mukus. Sebagian dari efek mungkin diperantarai
peningkatan cGMP. Juga dapat meningkatkan hidrolisis phosphoinositol dan
meningkatkan kalsium intraseluler. Aktivasi pada reseptor H2 menyebabkan
sekresi asam lambung, terdapat pada sel otot jantung, dan beberapa sel imun,
dapat meningkatkan cAMP intraseluler, menurunkan kadar cGMP. Pada otot
polos bronkus aktivasi reseptor H1 oleh histamin menyebabkan
bronkokonstriksi, sedangkan aktivasi reseptor H2 oleh agonis reseptor H2
menyebabkan relaksasi. Reseptor H3 berfungsi sebagai penghambat umpan
balik pada berbagai sistem organ. Aktivasi reseptor H3 dapat mengurangi
penglepassan transmitter baik histamin maupun norepinefrin, serotonin, dan
asetilkolin.
Efek histamin yang dapat terjadi pada manusia antara lain pada sistem
kardiovaskular, yaitu dilatasi kapiler dengan akibat kemerahan dan rasa panas
di wajah, menurunnya resistensi perifer dan tekanan darah. Histamin dapat
meningkatkan permeabilitas kapiler akibatnya protein dan cairan plasma
keluar ke ruangan ekstrasel dan menimbulkan edema. Histamin cenderung
menyebabkan konstriksi pembuluh darah besar, juga mempercepat
depolarisasi diastol di nodus SA sehingga frekuensi denyut jantung meningkat.
Selain itu, histamin merangsang atau menghambat kontraksi berbagai otot
polos. Kontraksi otot polos terjadi akibat aktivasi reseptor H1, relaksasi otot
polos sebagian besar akibat aktivasi reseptor H2. Histamin menyebabkan
bronkokonstriksi pada marmot walaupun dengan dosis kecil. Histamin dalam
dosis lebih rendah yang berpengaruh pada tekanan darah juga akan
meningkatkan sekresi asam lambung.
Antihistamin adalah obat yang mampu mengusir histamin secara
kompetitif dari reseptornya dan mampu meniadakan kerja histamin. Sesuai
dengan kerja pada reseptor histamin yang berbeda dibedakan menjadi
antihistaminika H1 dan antihistaminika H2. Antihistamin misalnya antergan,
neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif
mengobati edema, eritem dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek
hipersekresi asam lambung. Antihistamin tersebut digolongkan dalam
antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1).
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos. AH1 bermanfaat mengobati reaksi
hipersensitivitas yang disertai pelepasan histamin endogen berlebihan.
Difenhidramin yang diberikan oral akan mencapai kadar maksimal dalam
darah setelah kira-kira 2 jam, menetap pada kadar untuk 2 jam berikutnya,
kemudian dieliminasi dengan masa penuh kira-kira 4 jam.
Banyak metode yang bisa digunakan untuk mengetahui aktivitas anti-
alergi suatu senyawa atau bahan obat. Secara in vivo, model hewan yang
tersensitisasi antigen yang berasal dari protein asing maupun antibodi, dapat
digunakan sebagai hewan percobaan dapat digunakan sebagai model hewan.
Penyuntikan antigen protein asing ke dalam tubuh hewan secara
subkutan/intradermal akan merangsang reaksi anafilaksis kutan aktif,
penyuntikan larutan evans blue setelah sensitisasi (7 sampai 14 hari) akan
memunculkan bentolan yang berwarna biru pada daerah sensitisasi tersebut.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi
efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor- histamin.
Antihistamin menghilangkan efek dari histamin atas organ, yaitu:

1. Pada reseptor H1: kontraksi otot polos bronchi, usus dan rahim; vasodilatasi
vaskular mengakibatkan penurunan tekanan darah dan peningkatan denyut
jantung; peningkatan permeabilitas kapiler cairan dan protein berakibat
udema; hipersekresi ingus dan airmata, ludah dan dahak dan stimulasi ujung
saraf menyebabkan eritema dan gatal.

2. Pada reseptor H2: hipersekresi asam lambung. Antihistamin memiliki rumus


molekul yang mirip dengan asetilkolin, dopamine dan serotonin sehingga ia
memiliki efek anti-serotonin (menambah nafsu makan), antikolinergik
(mengeringkan ludah) dan antidopamin (anti-emetik).

III. Bahan dan Alat


A. Bahan
1. Histamin aerosol
2. Difenhidramin 15 mg/kgBB (1%)
3. Difenhidramin 5 mg/kgBB (kadar 2%)
4. CTM 0,0138 mg/kgBB (kadar 0,005%)
5. Histamin 0,1 ml
6. Trypam Blue 10 mg/kgBB (kadar 2%)
B. Alat
1. Alat suntik intraperitoneal (i.p)
2. Alat suntik intravena (i.v)
3. Alat cukur
4. Kandang mencit
5. Alat timbangan
6. Hewan coba : 2 ekor mencit dan 3 ekor kelinci

IV. Cara Kerja


A. Pengaruh Pemberian Histamin Aerosol
1. Disiapkan 2 ekor mencit.
2. Mencit 1 disemprot histamin aerosol, lalu diamati.
3. Mencit 2 dengan berat badan 26 gram diberi difenhidramin 15
mg/kgBB (konsentrasi 1%) secara intraperitoneal (i.p).
4. Mencit 2 ditunggu selama 30 menit, lalu disemprotkan histamin
aerosol dan diamati.
5. Diamati gejala-gejala yang timbul pada mencit yaitu gatal-gatal atau
alergi, bronkokonstriksi.
B. Efek Histamin pada Kulit Kelinci dengan menggunakan Zat Warna
Trypan Blue
1. Dicukur bulu kelinci dengan diameter ± 5 cm.
2. Kemudian, kelinci ditimbang.
3. Disuntikkan antihistamin secara intravena (i.v). Dengan diketahui
dosisnya sebagai berikut :
CTM dosis 0,0138 mg/kgBB (kadar 0,005%)
Atau Diphenhidramin dosis 5 mg/kgBB (kadar 2%)
4. Didiamkan kelinci selama 30 menit.
5. Disuntik Histamin 0,1 ml secara intradermal (kadar 0,0125%).
6. Didiamkan kelinci selama 10 menit.
7. Disuntik Trypan Blue secara intravena (i.v) dosis 10 mg/kgBB (kadar
2%).
8. Diamati efek histamin yang terjadi pada kulit kelinci tersebut.
V. Data Pengamatan

A. Data Pemberian Histamin Aerosol


Mencit Perlakuan Gejala
1 Histamin Gatal-gatal, mencari O2,
bronkokonstriksi lebih sering.
2 Histamin + Gatal-gatal, bronkokonstriksi,
Antihistamin frekuensi mencari oksigen jarang.

B. Data Berat Badan Kelinci

Bobot Kelinci
Kontrol CTM Diphenhidramin
1,9 kg 1,5 kg 1,3 kg

Kontrol : Tidak diberikan apa-apa hanya trypan blue.


C. Data Efek Histamin pada Kelinci

Warna Warna
sebelum sesudah
Mata Hidung Punggung Mata Hidung Punggung
Biru + Biru
Kontrol Putih Merah muda Putih Biru +++
++ +++
Biru Biru
CTM Putih Merah muda Putih Biru +
+ +
Diphenhidr Merah Biru Biru
Merah muda Putih Biru +
amin muda + +

Keterangan :
+ = Sedikit biru
++ = Biru

+++ = Sangat biru

VI. Analisis Data


A. Perhitungan Volume Diphenhidramin pada Pemberian Histamin
Aerosol (Mencit)
 Diketahui :
Berat badan mencit = 26 gram = 0,026 kg
Dosis diphenhidramin = 15 mg/kgBB
Konsentrasi = 1% = 1 gram/100 ml = 10 mg/ml
 Ditanya : Dosis untuk mencit dan Volume penyuntikan?
 Jawab :
- Dosis untuk mencit = dosis x BB mencit
= 15 mg/kgBB x 0,026 kg
= 0,39 mg
Dosis
- Volume penyuntikan =
Konsentrasi
0,39mg
= x 1 ml
10 mg
= 0,039 ml

B. Perhitungan Dosis dan Volume pada Efek Histamin terhadap Kelinci


1. Kelinci 1 (Kontrol/Trypan Blue)
 Diketahui :
Dosis Trypan Blue = 10 mg/kgBB
Konsentrasi = 2% = 2 gram/100 ml = 20 mg/ml
Berat kelinci = 1,9 kg
 Ditanya : Dosis untuk kelinci dan Volume penyuntikan?
 Jawab :
- Dosis untuk kelinci = Dosis x BB kelinci
= 10 mg/kgBB x 1,9 kg
= 19 mg
Dosis
- Volume penyuntikan =
Konsentrasi
19 mg
= x 1 ml
20 mg
= 0,95 ml
2. a. Kelinci 2 CTM
 Diketahui :
Dosis CTM = 0,0138 mg/kgBB
Kadar = 0,005% = 0,005 gram/100 ml = 0,05 mg/ml
Berat kelinci = 1,5 kg
 Ditanya : Dosis untuk kelinci dan Volume penyuntikan?
 Jawab :
- Dosis untuk kelinci = Dosis x BB kelinci
= 0,0138 mg/kgBB x 1,5 kg
= 0,0207 mg
Dosis
- Volume penyuntikan =
Konsentrasi
0,0207 mg
= x 1 ml
0,05 mg
= 0,414 ml

b. Kelinci 2 CTM Trypan Blue

 Diketahui :
Dosis Trypan Blue = 10 mg/kgBB
Konsentrasi = 2% = 2 gram/100 ml = 20 mg/ml
Berat kelinci = 1,5 kg
 Ditanya : Dosis untuk kelinci dan Volume penyuntikan?
 Jawab :
- Dosis untuk kelinci = Dosis x BB kelinci
= 10 mg/kgBB x 1,5 kg
= 15 mg
Dosis
- Volume penyuntikan =
Konsentrasi
15 mg
= x 1 ml
20 mg
= 0,75 ml
3. a. Kelinci 3 Diphenhidramin
 Diketahui :
Dosis Diphenhidramin = 5 mg/kgBB
Konsentrasi = 2% = 2 gram/100 ml = 20 mg/ml
Berat kelinci = 1,3 kg
 Ditanya : Dosis untuk kelinci dan Volume penyuntikan?
 Jawab :
- Dosis untuk kelinci = Dosis x BB kelinci
= 5 mg/kgBB x 1,3 kg
= 6,5 mg
Dosis
- Volume penyuntikan =
Konsentrasi
6,5 mg
= x 1 ml
20 mg
= 0,325 ml

b. Kelinci 3 Diphenhidramin Trypan Blue

 Diketahui :
Dosis Trypan Blue = 10 mg/kgBB
Konsentrasi = 2% = 2 gram/100 ml = 20 mg/ml
Berat kelinci = 1,3 kg
 Ditanya : Dosis untuk kelinci dan Volume penyuntikan?
 Jawab :
- Dosis untuk kelinci = Dosis x BB kelinci
= 10 mg/kgBB x 1,3 kg
= 13 mg
Dosis
- Volume penyuntikan =
Konsentrasi
13 mg
= x 1 ml
20 mg
= 0,65 ml

VII. Pembahasan
1. Pada praktikum ini dilakukan percobaan histamin dan antihistamin untuk
mengetahui atau mengevaluasi aktivitas suatu antihistamin (antialergi) di
dalam tubuh. Metode evaluasi histamin yang digunakan pada percobaan
adalah metode in vivo yaitu memberikan histamin dan antihistamin
langsung ke dalam tubuh hewan uji. Prosedur yang dilakukan adalah
pengaruh histamin aerosol pada mencit dan efek histamin pada kulit
kelinci dengan zat warna trypan blue.
2. Pada data (seluruh kelompok) pemberian histamin aerosol diketahui
mencit pertama yang hanya diberikan histamin aerosol menimbulkan
gejala antara lain gatal-gatal, mencari oksigen, dan bronkokonstriksi lebih
sering. Gejalanya dapat diamati dari mencit yang sering menggaruk-garuk,
sulit bernafas, dan kepala mencit yang sering mendongak ke atas berusaha
mencari oksigen. Hal ini disebabkan karena histamin yang telah masuk ke
tubuh mencit menstimulasi reseptor H1.
3. Aktivasi reseptor H1 pada otot polos akan menyebabkan histamin
merangsang kontraksi otot polos pada bronkus sehingga terjadi
bronkokonstriksi pada mencit. Kontraksi dari otot polos menyebabkan
bronkus menyempit sehingga oksigen yang masuk ke atau keluar dari
paru-paru akan terganggu dan membuat mencit sulit bernafas. Hal ini
menyebabkan mencit yang diberikan histamin menunjukkan gejala
mencari oksigen. Sedangkan gejala berupa gatal-gatal disebabkan karena
histamin yang masuk ke dalam tubuh akan menstimulasi rasa gatal melalui
kerja dari histamin yang merangsang breseptor H1 di ujung saraf sensoris.
4. Pada data (seluruh kelompok) pemberian histamin aerosol diketahui
mencit kedua diberikan antihistamin dan histamin. Gejala-gejala yang
muncul pada mencit kedua masih menunjukkan gatal-gatal dan
bronkokonstriksi tetapi sudah berkurang. Diberikan diphenhidramin pada
mencit kedua berperan sebagai antihistamin yang merupakan golongan
antagonis reseptor H1. Pada percobaan ini, diphenhidramin mengusir
histamin secara kompetitif dari reseptornya. Diphenhidramin bersaing
dengan histamin bebas untuk menempati reseptor H1 terutama pada otot
polos bronkus. Ikatan obat diphenhidramin dengan reseptor H1 dapat
mengurangi efek dari pemberian histamin. Hal ini dapat dilihat dari gejala-
gejala yang muncul pada mencit kedua sudah berkurang yaitu frekuensi
mencari oksigen menjadi lebih jarang dibandingkan dengan mencit
pertama karena adanya antihistamin pada mencit kedua yang mampu
menekan kerja histamin.
5. Pada percobaan efek histamin terhadap kulit kelinci, diberikan zat warna
trypan blue pada ketiga ekor kelinci. Diberikan trypan blue sebagai zat
warna yang dapat mengeluarkan warna biru dari kapiler bila terdapat
peningkatan permeabilitas kapiler. Kelinci kedua diberikan klorfeniramin
(CTM) sebagai antihistamin sedangkan kelinci ketiga diberikan
diphenhidramin sebagai antihistamin.
6. Pada data (seluruh kelompok) percobaan efek histamin terhadap kelinci
dapat diketahui kelinci pertama (kontrol) yang hanya diberikan histamin
dan trypan blue, tidak disuntikkan klorfeniramin (CTM) ataupun
Diphenhidramin sebagai antihistamin mengalami perubahan warna yang
sangat signifikan. Perubahan tersebut dapat dilihat dari mata, hidung, dan
punggung kelinci yang menjadi sangat biru (+++). Hal ini menunjukkan
bahwa histamin yang telah masuk ke dalam tubuh kelinci menyebabkan
peningkatkan permeabilitas kapiler. Histamin bekerja menduduki reseptor
H1 dan aktivasi pada reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler, lalu protein dan cairan plasma keluar ke ruangan ekstrasel dan
menimbulkan edema.
7. Pada data percobaan efek histamin terhadap kelinci kelompok 1,3, dan 5
kelinci kedua yang disuntikkan CTM dan kelinci ketiga yang disuntikkan
Diphenhidramin juga mengalami perubahan warna. Tetapi, perubahan
warna pada mata, hidung, dan punggung kelinci kedua dan kelinci ketiga
menjadi hanya sedikit biru (+). Hal ini membuktikan bahwa antihistamin
di dalam tubuh kelinci sudah bekerja secara optimal. CTM dan
Diphenhidramin sebagai antihistamin golongan antagonis reseptor H1
bekerja secara kompetitif dengan menduduki reseptor H1. CTM dan
Diphenhidramin memberi efek yang cukup kuat yaitu dapat mengurangi
gejala akibat histamin di dalam tubuh yaitu menghambat peninggian
permeabilitas kapiler dan edema.
8. Pada data efek histamin pada kelinci kelompok 2,4, dan 6 kelinci kedua
yang disuntikkan CTM mengalami perubahan warna menjadi biru (++).
Sedangkan kelinci ketiga yang disuntikkan diphenhidramin menjadi
sedikit biru (+). Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa
diphenhidramin memiliki efek antihistamin lebih kuat.
9. Berdasarkan literatur Farmakologi dan Terapi Edisi V halaman 279,
Diphenhidramin dan Klorfeniramin (CTM) adalah antihistamin golongan
antagonis reseptor H1. Diphenhidramin yang merupakan golongan
etanolamin memiliki efek antihistamin + sampai dengan ++. Sedangkan
Chlorfeniramin (CTM) yang merupakan golongan alkilamin memiliki efek
antihistamin ++ sampai dengan +++. Hal ini menunjukkan efek
antihistamin yang dimiliki CTM lebih tinggi atau kuat dibandingkan
diphenhidramin.
10. Pada data kelompok 2,4,6 antihistamin CTM belum memberikan efek
yang optimal jika dibandingkan dengan pemberian antihistamin
diphenhidramin. Dapat dikatakan bahwa hasil percobaan yang didapatkan
kelompok 2,4,6 bertentangan dengan teori literatur yang menyatakan
bahwa efek antihistamin yang dimiliki CTM seharusnya lebih kuat
dibandingkan diphenhidramin.

VIII. Kesimpulan
1. Mencit pertama yang hanya diberikan histamin aerosol menunjukkan
reaksi alergi yang lebih sering dibandingkan mencit kedua yang telah
diberikan antihistamin.
2. Kelinci pertama yang tidak diberikan antihistamin mengalami peningkatan
permeabilitas kapiler yang sangat tinggi dibandingkan kelinci kedua dan
ketiga yang telah diberikan antihistamin.
3. Antihistamin yang telah diberikan pada mencit dan kelinci mampu bekerja
secara optimal untuk menghambat kerja atau efek dari histamin di dalam
tubuh.

IX. Daftar Pustaka


1. Gunawan, S.G. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI.
2. Indijah, Sujati Woro dan Purnama Fajri. 2016. Farmakologi. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
3. Katzung, Betram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta
: Salemba Medika.
4. MUTSCHLER, Ernst. Dinamika Obat : Farmakologi dan Toksikologi. ed
5. 1991. diterjemahkan oleh Mathilda B. Widianto dan Anna Setiadi Ranti.
5. Lisni, Ida. Ani A., dan Regina P. 2020. Kajian Peresepan Obat
Antihistamin pada Pasien Rawat Jalan. Bandung : Fakultas Farmasi
Universitas Bhakti Kencana.

Anda mungkin juga menyukai