Anda di halaman 1dari 6

Hari/tanggal : 28 Agustus 2019

Kelompok : Kelompok 3 (Siang)


Dosen : Dr. Siti Sa’diah, SSi, Apt,
MSi

LAPORAN PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI


ABSORBSI DAN REABSORBSI

Oleh:
M Farhan Fauzan B04160166
Ratu Aesya Adinigntyas B04160167
Anisa Dira Setiadi B04160179
Siow Shuen Yuan B04168010

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Toksikokinetik merupakan ilmu yang mempelajari kinetika zat toksik atau


pengsruh tubuh terhadap zat toksik. Toksikokinetik adalah deksripsi tingkat zat
kimia yang masuk ke dalam tubuh dan apa yang terjadi untuk mengeluarkan dan
memetabolisme zat kimia saat telah berada di dalam tubuh (Szabo 2010). Distribusi
ke organ dan jaringan melalui sirkulasi darah dan disposisi terakhir dengan
biotransformasi serta ekskresi, proses awal yang terjadi adalah absorpsi.
Absorpsi adalah peristiwa masuknya zat kimia dalam bentuk gas, cair atau
padat melalui rute dermal, inhalasi dan ingesti yang akan masuk ke dalam sirkulasi
darah (McMurry 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat dalam
tubuh adalah kecepatan disolusi obat, ukuran partikel, kelarutan dalam lipid atau
air, ionisasi, aliran darah pada tempat absorpsi, kecepatan pengosongan lambung,
motilitas usus, efek makanan, dan cara pemberian. Kebanyakan obat merupakan
elektrolit lemah, yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam air, elektrolit lemah ini
akan terionisasi menjadi bentuk ionnya. Derajat ionisasi obat bergantung pada
konstanta ionisasi obat (pKa) dan pada pH larutan di mana obat berada. Absorpsi
asam lemah sangat baik dalam lambung per area absopsi, tetapi secara keseluruhan
masih tetap lebih baik dalam usus halus karena luasnya area absorpsi di usus halus
dibandingkan lambung.

Tujuan

Praktikum bertujuan mengetahui pengaruh pH terhadao banyaknya obat


yang diabsorpsi dan direarbsobsi oleh lambung.

METODE

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum adalah spuid, papan fiksasi,
selang karet three-way stop cock, kertas saring, corong gelas, alat ukur, benang,
tabung reaksi, rak tabung reaksi, tikus, asam salisilat dalam susunan asam dan basa,
FeCl3, larutan NaCl fisiologis dan standar asam salisilat.
Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 28 Agustus 2019 pukul


11.30 – 14.00 WIB di laboratorium FIFARM 1 lantai 1 Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Prosedur Kerja

Tikus dianastesi menggunakan ketamin-xylazine sebanyak 0,3 mL, setelah


tikus teranastesi letakan tikus pada papan fiksasi dengan posisi ventrodorsal
recumbency dan keempat kakinya diikat menggunakan benang. Rambut pada
bagian abdomen dicukur menggunakan silet, lalu dibuat sayatan pada bagian linea
alba dari bawah hingga ke bagian bawah tulang rusuk. Dilakukan eksplorasi pada
ruang abdomen untuk menemukan lambung, setelah ditemukan lambung
dikeluarkan dari rongga abdomen dan diikat pada bagian esofagus dengan benang
dan dibuat lubajg pada duodenum sati sentimeter dibawah pilorus. Pipa yang
tersambung dengan selang three-way stop clock dimasukkan ke dalam lubang yang
telah dibuat sebelumnya, lalu dibuat ikatan kuat pada pilorus dan dibuat ikatan lagi
nol koma lima hingga satu sentimeter di bawah ikatan pertama. Lambung dibilas
dan dibersihkan menggunakan NaCl fisiologis, lalu lambung dikosongkan. Asam
salisilat dalam keadaan asam atau basa sebanyak empat mililiter dimasukkan ke
dalam lambung, lalu dikocok hingga homogen. Asam salisilat yang berada di
lambung diambil satu mililiter, kemudian disaring menggunakan kertas saring dan
hasil filtratnya ditambahkan FeCl3 sebanyak 5 ml. Diamati perubahan warna yang
terjadi dan dibandingkan dengan warna standar. Diamkan tikus selama satu jam,
organ-organ dibasahi dengan larutan NaCl fisiologis. Setelah satu jam, sisa cairan
yang berada di lambung diambil dan disaring menggunakan kertas saring, hasil
filtrat ditambahkan FeCl3 dengan perbandingan 1:5, lalu diamati perubahan yang
terjadi dan dibandingkan dengan warna standar.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelompok [ ] To [ ] T akhir % Absorpsi Waktu


(menit)
1 5 mg% 2 mg% 60 30
2 20mg% 5 mg% 75 30
3 5 mg% 2 mg% 60 30
4 20 mg% 20 mg% 0 30
5 5 mg% - - 30

Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari
sistem LADME (Liberasi, Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi). Faktor
yang mempengaruhi absorpsi obat adalah ada/tidaknya isi lambung, tergantung pH,
waktu pengosongan lambung, dan motilitas saluran cerna (Behrman dan Arvin
1996). Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat larut dalam cairan biologis.
Kebanyakan obat berupa asam lemah atau basa lemah, oleh karena itu absorpsi
dengan cara difusi pasif hanya terjadi dalam bentuk tidak terionisasi (atau molekul),
maka perbandingan obat yang tidak terionisasi dengan yang terionisasi sangat
menentukan absorpsi. Obat berupa asam lemah, konsentrasi berupa ion meningkat
dengan peningkatan pH media air dan konsentrasi bentuk molekul menurun
(Rahardjo 2004).

Gambar 1. Perbandingan hasil filtrat (asam salisilat suasana asam) + FeCl3


dengan warna standar

Hasil pengamatan pada sediaan asam salisilat dalam suasana asam


menunjukkan rata-rata persentase berada diatas 65%. Hal tersebut membuktikan
bahwa obat golongan salisilat yang bersifat asam lemah akan diabsorpsi lebih baik
pada kondisi pH lambung rendah, dikarenakan tidak terionisasi (Lestari et. al 2017).
Asam salisilat mempunyai aktivitas analgesik-antipiretik dan antiremik. Turunan
asam salisilat menimbulkan efek samping yaitu iritasi lambung. Iritasi lambung
akut kemungkinan berhubungan dengan gugus karbosilat yang bersifat asam
(Siswandono 2016).

Gambar 2. Perbandingan hasil filtrat (asam slisilat suasana basa) + FeCl3 dengan
warna standar.

Hasil pengamatan terhadap sediaan asam salisilat suasana basa


menunjukkan presentase absorbsi sebesar 0%. Artinya obat golongan salisilat yang
telah dibuat pada suasana basa tidak terabsorpsi oleh lambung tikus. Terjadinya
perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya peningkatan pH akan menurunkan
absorpsu obat yang bersifat basa lemah dan akan meningkatkan absorpsi obat yang
bersifat asam lemah (Gitawati 2008). Pada saat lambung kosong, pH lambung
cenderung turun sehingga suasana lambung menjadi asam. Peninggian pH tersebut
menyebabkan konsentrasi obat tak terionisasi di dalam saluran pencernaan menjadi
menurun yang selanjutnya akan menurunkan abdorpsi, bioavailabilitas, dan efek
terapi (Nasution 2015). Untuk dapat mengubah pH lambung menjadi basa, maka
dapat diberikan sediaan antasida yang dapat menurunkan absorpsi obat bersifat
asam (Nursanti 2016).

SIMPULAN

Rata-rata asam salisilat dalam suasana asam yang diabsorpsi oleh lambung
tikus yaitu sebanyak 65%. Asam salisilat yang berada dalam suasana basa
diabsorpsi oleh lambung tikus sebanyak 0%. Asam asetil salisilat akan diabsorbsi
dengan baik di dalam lambung yang disertai dengan pH larutan yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Behrman K, Arvin N.1996. Nelsen Textbook of Pediatrics. Jakarta (ID): EGC.


Gitawati R. 2008. Interaksi obat dan beberapa implikasinya. Media Litbang
Kesehatan. 18(4): 175-184.
Leatari B, Soeharto S, Nurdiana, Permatasari N, Kalsum U, Khotimah H,
Nugrahenny D, Mayangsari E. Buku Ajar Farmakologi Dasar. Malang (ID):
UB Press.
McMurry, John (2003). Fundamentals of Organic Chemistry (edisi ke-Fifth).
Agnus McDonald
Nasution A. 2015. Farmakokinetika Klinis. Medan (ID): USU Press.
Nursanti F. 2016. Potensi interaksi obat pada resep pasien pediatri studi retrospektif
di 3 apotek kota surakarta periode juli – desember 2014 [Skripsi]. Surakarta
(ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rahardjo R. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta (ID): EGC.
Suswandono. 2016. Kimia Medisinal 2. Surabaya (ID): Airlangga Universitas
Press.
Szabo DT, Diliberto JJ, Hakk H, Huwe JK, Birnbaum LS (2010). "Toxicokinetics
of the flame retardant hexabromocyclododecane gamma: effect of dose,
timing, route, repeated exposure, and metabolism". Toxicological Sciences.
117(2): 282–93

Anda mungkin juga menyukai