Anda di halaman 1dari 7

Tanggal Jam Praktikum Kelompok Dosen

: Senin, 18 April 2011 : 12.00-14.30 WIB : 06 : drh. Andryanto, Msi.

LAKSANSIA

1. Adik Kurniawan. 2. Elvi Dwi Yunitasari 3. Stevany Maria L Paalloan 4. Nurhayati Suwartiani

B04080035 B04080036 B04080037 B04080038

( ( ( (

) ) ) )

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Pendahuluan Latar Belakang Makanan yang masuk ke dalam tubuh akan dimetabolisme menjadi energi. Sisa makanan yang tidak diserap akan diekskresikan dalam bentuk feses, ekskresi ini sering mengalami gangguan berupa kesulitan dalam defekasi yang dikenal sebagai konstipasi. Konstipasi adalah kesulitan defekasi karena tinja yang mengeras, otot polos usus yang lumpuh misalnyapada megakolon kongenital dan gangguan refleks defekasi (Ganiswara 1995). Gangguan defekasi ini terjadi karena keadaan fisiologis maupun patologis, gangguan defekasi ini akan memberikan efek buruk pada hewan sehingga harus segera diatasi. Banyak orang menganggap obat-obat pencahar sebagai obat yang tidak berbahaya dan boleh digunakan setiap waktu. Terkadang masyarakat juga terburuburu untuk menggunakan obat pencahar saat mengalami kesulitan buang air besar, padahal keadaan tersebut masih bisa diobati tanpa menggunakan obat pencahar. Meski obat pencahar termasuk dalam obat OTC (Over The Counter) yang dapat dibeli tanpa resep dokter, tapi hendaknya perlu diberikan pemahaman bagi masyarakat tentang efektivitas penggunaannya agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaannya sehingga diperoleh pengobatan yang rasional. Ditinjau dari tujuannya maka dapat dikatakan bahwa obat-obat pencahar (laksansia) adalah zatzat yang dapat mempercepat gerakan-gerakan peristaltik di dalam usus sebagai refleks dari perangsangan lagsung terhadap dinding usus dan dengan demikian menyebabkan pembuangan air besar (defekasi). Berkaitan dengan masalah konstipasi tersebut, maka dalam dunia kedokteran dikenal kelompok obat laksansia atau pencahar. Mekanisme kerja laksansia masih belum bisa dijelaskan karena kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kolon, tranpor air dan elektrolit. Pada praktikum kali ini kita akan mengetahui obat yang termasuk laksansia atau pencahar yang digolongkan sebagai pencahar pembentuk massa, pencahar hiperosmotik, pencahar pelumas, pencahar perangsang, pencahar emolien dan zat penurun tegangan permukaan.

Tujuan Tujuan praktikum kali ini yaitu mahasiswa dapat mengetahui pengaruh beberapa sediaan obat yang memiliki daya kerja sebagai laksansia dan mengetahui mekanisme perubahan yang terjadi dari pengaruh obat tersebut di dalam usus.

Tinjauan Pustaka Obat pencahar (laksansia) adalah obat yang dapat mempercepat gerakan peristaltik usus, sehingga terjadi defekasi dan digunakan pada konstipasi yaitu keadaan susah buang air besar.

Berdasarkan kerjanya, obat pencahar dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis antara lain: 1. Kelompok pembentuk massa dalam usus Golongan obat laksantia yang memperbesar volume isi usus, dibedakan menjadi 3 macam: a. Menahan air di dalam usus, seperti magnesium sitrat, natrium sulfat, natrium fosfat dan garam magnesiumsulfat. Ion-ionnya sedikit sekali diserap oleh lambung. Akibatnya air yang berada di luar usus akan ditarik olehnya melalui dinding ke dalam usus. Air akan mempertinggi gerakan peristaltiknya, dan mengakibatkan pengeluaran isi usus yang menjadi cair lebih cepat sehingga diperoleh tinja yang lunak. b. Mengembang, misalnya agar-agar, CMC (karboksimetilsellulose), dan tilose (metilsellulose) 2. Kelompok hiperosmotik Seperti laktulosa dan garam magnesium yang dapat mempercepat gerakan peristaltik usus dengan menarik air dan jaringan tubuh ke dalam usus sehingga diperoleh tinja yang lunak. 3. Kelompok lubrikan atau pelumas Zat ini akan melicinkan tinja sehingga mudah dikeluarkan, seperti minyak mineral (paraffin liquidum) yang dapat melindungi dinding usus sehingga cairan dalam massa tinja tidak diserap dan tetap lunak. Bila dipakai terus

menerus akan mengurangi penyerapan vitamin-vitamin yang larut di dalam lemak dan dapat mengakibatkan kelainan pada hepar. 4. Kelompok stimulant Merupakan suatu surfactant yang dapta menurunkan tegangan permukaan seperti fenoftalein dan bisakodil yang dapat mempercepat gerak usus dengan meningkatkan kontraksi otot usus. Kelompok ini merupakan pencahar yang cukup sering digunakan. 5. Kelompok kombinasi pencahar Penyebabnya karena keadaan sembelit atau susah buang air besar dapat terjadi karena tinja yang mengeras, otot polos usus lumpuh, gangguan refleks defekasi, faktor psikis, wasir, kelemahan otot punggung, efek samping obat-obat tertentu (obat-obat atropine dan alkaloid golongan candu). Sembelit juga dapat disebabkan karena pola diet kurang berserat, kurang minum dan kurang bergerak.

Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah perasat bedah minor dan syringe. Bahan yang digunakan adalah seekor tikus, benang, kapas, uretan, aquades, NaCl fisioligis 0.9 %, NaCl fisiologis 3 %, MgSO4 4.7 % dan MgSO4 27 %.

Metodologi Berat badan tikus ditimbang untuk mengetahui berat dan dosis anastesi yang akan diberikan. Anastetikum yang diberikan adalah uretan dengan dosis 1.25 gr/kg BB. Uretan disuntikkan secara intra peritoneal, setelah teranastesi tikus diletakkan pada alas kayu/busa, posisi venterodorsal dan kaki-kakinya diikat pada sisi bantalan kayu/busa tersebut. Dengan alat bedah, dilakukan pembedahan pada bagian abdomen kemudian usus dipreparir sepanjang 2.5 cm dari daerah pylorus dan diikat dengan benang. Bagian usus halus dibagi menjadi 5 segmen dengan cara mengikat usus dengan benang, dengan interval panjang 5 cm dan jarak cm antar ikatan.

Dengan menggunakan syringe, segmen pertama diinjeksi dengan aquades, segmen kedua dengan NaCl 0.9 %, segmen ketiga dengan NaCl 3 %, segmen keempat dengan MgSO4 4.7 % dan segmen kelima dengan MgSO4 27 % masingmasing sebanyak 0.25 ml. Setelah semua segmen terinjeksi maka ruang abdomen yang terbuka tersebut ditutup dengan kapas yang dibasahi dengan NaCl 0.9 %. Setelah 45 menit dari penyuntikan larutan tersebut, dilakukan aspirasi cairan dari tiap-tiap segmen menggunakan syringe. Volume cairan yang diaspirasi dari tiaptiap segmen dihitung, atau memotong usus dekat ikatannya dan volume cairan yang tersisa ditampung pada gelas ukur kemudian catat hasilnya.

Hasil Pengamatan Larutan Aquades NaCl 0.9 % NaCl 3 % MgSO4 4.7 % MgSO4 27 % Volume awal ( ml ) 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 Volume akhir ( ml ) 0.1 1.8 0.3 0.4 0.32

Pembahasan Uretan adalah senyawa etil ester dari asam karbaminik, menimbulkan efek anaestesi dengan durasi yang panjang seperti choralose. Biasanya senyawa ini digunakan untuk percobaan fisiologi dan farmakologi. Uretan sering

dikombinasikan dengan choralose untuk menurunkan aktivitas muskular. Uretan memiliki efek yang kecil pada respirasi dan tekanan darah arteri. Uretan tidak digunakan sebagai anaestesi dalam kedokteran hewan, tetapi dianjurkan dalam penggunaannya untuk tujuan eksperimen (percobaan) (Hall & Clarke 1983). Dalam praktikum ini, uretan digunakan pada tikus dalam tahap vegetatif (vegetative stage). Usus merupakan organ pencernaan yang berfungsi sebagai alat penyerapan nutrient yang dimakan oleh hewan. Namun tidak semua makanan yang dimakan itu dapat diserap oleh usus tergantung dari jenis zat yang dimakannya.

Dalam percobaan ini Aquades yang diberikan ke dalam usus melalui syringe termasuk larutan hipotonis (Karczmar 1963). Hipotonis merupakan keadaan dimana konsentrasi dalam larutan rendah (banyak air). Ketika larutan hipotonis (aquades) dimasukkan ke dalam lumen usus, maka aquades tersebut akan diabsorpsi ke luar usus hingga tercapai suatu keseimbangan konsentrasi di dalam maupun diluar usus. Oleh karena itu, volume aquades akhir berkurang dari 0.25 ml menjadi 0.1ml. Natrium klorida (NaCl) 0.9% dan termasuk larutan isotonis (Karczmar 1963). Isotonis merupakan keadaan dimana konsentrasi larutan dan air dalam keadaan seimbang. NaCl 0.9% yang diberikan ke dalam lumen usus tidak menimbulkan absorpsi maupun penarikan air ke dalam lumen karena konsentrasi di luar dan di dalam sudah seimbang. Oleh karena itu, volume akhir larutan tidak terjadi perubahan yang berarti dari volume awal, yaitu dari 0.25 ml menjadi 0.18 ml. Sedangkan larutan NaCl 3% merupakan larutan hipertonis pada praktikum (Karczmar 1963). Apabila larutan hipertonis berada pada lumen usus dalam jumlah tertentu maka cairan akan bergerak dari epitel usus ke lumen usus. Pergerakan cairan ini akan membuat feses yang padat akan menjadi encer sehingga defekasi menjadi mudah. Hasil pengamatan menunjukkan ada perubahan volume setelah dua larutan hipertonis tersebut dimasukkan ke lumen usus. Larutan NaCl 3% mengalami perubahan volume dari 0,25 ml menjadi 0,3 ml. Konstipasi adalah kesulitan defekasi karena tinja yang mengeras, otot polos yang lumpuh misalnya pada megakolon kongingental, dan gangguan refleks defekasi (konstipasi habitual). Gangguan ini dapat diatasi dengan sediaan obat laksansia atau pencahar, salah satunya adalah MgSO4 atau disebut juga garam inggris atau garam Epsom. Pada usus tikus dengan pemberian MgSO4 4,7 % dapat diperoleh volume akhir cairan usus 0,4 ml dan MgSO4 27 % dapat diperoleh volume akhir cairan usus 0,32 ml dari volume awal 0,25 ml. Garam inggris merupakan golongan pencahar garam dan pencahar osmotik. Mekanisme obat golongan ini yaitu air ditarik ke dalam lumen usus dan tinja menjadi lembek setelah 3-6 jam. MgSO4 diabsorbsi melalui usus kira-kira 20% dan berakibat peristalsis usus meningkat akibat pengaruh tidak langsung karena daya osmotiknya. Obat ini diekskresi melalui ginjal, oleh sebab itu bila fungsi ginjal

terganggu, garam magnesium berefek sistemik menyebabkan dehidrasi, kegagalan fungsi ginjal, hipotensi dan paralisis pernafasan. Pengobatan dalam keaadaan ini adalah dengan memberikan kalsium IV dan napas buatan. Garam inggris ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan gagal ginjal.

Kesimpulan Konstipasi adalah kesulitan dalam melakukan defekasi. Konstipasi bisa terjadi pada keadaan fisiologis maupun patologis. Konstipasi fisiologis dapat diatasi dengan memberikan obat pencahar atau laksansia, diantaranya Akuades yang bersifat hipotonis, NaCl 0,9% dan MgSO4 4,7% bersifat isotonis dan NaCl 3% dan MgSO4 27% bersifat hipertonis sehingga terjadi peningkatan volume cairan usus.

Daftar Pustaka Ganiswara, Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru. Goth, Andres. 1984. Medical Pharmacology. USA: The C. V. Mosby Company. Hall, LW and Clarke, KW. 1983. Veterinary Anaesthesia. Spanish: Bailliere Tindall Ltd. Karczmar, AG and Koppanyi, T. 1963. Experimental Pharmacodynamics. USA: Burgess Publishing Company.

Anda mungkin juga menyukai