Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


EUTHANASIA

GOLONGAN I/A KELOMPOK 3


ANGGOTA:

Pramana Kumala Putra (2008551012)


I Made Gede Ari Kusuma (2008551013)
Ni Kadek Ayu Murtini (2008551014)
Ni Made Indah Maryani (2008551015)
I Gst A A Gangga Samala Dewi (2008551016)

Dosen Pengampu :
Ketut Widyani Astuti, S.Si., M.Biomed., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja dipelihara dan
diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model, dan untuk mempelajari dan mengembangkan
berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Dalam
referensi lain juga disebutkan bahwa animal model atau hewan model adalah objek hewan
sebagai imitasi (peniruan) manusia atau spesies lain yang digunakan untuk menyelidiki
fenomena biologis atau patobiologis (Hau & Hoosier Jr., 2003). Dalam farmasi, terdapat mata
kulah toksikologi yang mempelajari efek toksik dari suatu zat. Salah satu penyebab efek toksik
adalah jumlah sediaan / zat yang digunakan terhadap suatu subjek. Jika jumlah sediaan yang
digunakan terlalu tinggi, maka kemungkinan tinggi dapat menyebabkan efek toksik bagi subjek.
Untuk mempelajari jumlah sediaan yang aman dalam penggunaan zat agar efek toksik tidak
ditimbulkan, digunakan hewan sebagai media untuk pengujian efek toksik zat tersebut
dikarenakan adanya kemungkinan bahwa efek toksik yang ditimbulkan zat tersebut terlalu tinggi
sehingga berbahaya untuk diuji coba secara langsung ke manusia.
Dalam kegiatan praktikum ini, akan dilakukan Terminasi atau mematikan hewan uji
disebut euthanasia, yaitu suatu proses dengan cara bagaimana seekor hewan dimatikan dengan
menggunakan teknik yang dapat diterima secara manusiawi. Untuk melakukan praktikum ini,
diperlukan pengetahuan dasar tentang cara yang tepat dalam mengeleminasi hewan uji dengan
harapan agar hewan uji dapat mati dengan mudah, cepat, tenang dengan rasa sakit yang sedikit
mungkin. Euthanasia dapat dilakukan secara fisik dan kimia.

1.2. Tujuan Percobaan


Tujuan praktikum ini adalah untuk melakukan euthanasia pada hewan coba yang
memenuhi syarat

1.3. Prinsip Percobaan


Prinsip percobaan ini adalah mengetahui teknik yang tepat dalam melakukan euthanasia
pada hewan coba.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesejahteraan hewan


Kesejahteraan hewan adalah ekspresi yang berkenaan dengan moral. Teori kesejahteraan
hewan yang dijelaskan lebih lanjut mengajarkan tentang kepedulian dan perlakuan manusia
terhadap masing-masing hewan dan bagaimana masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidup
hewan tersebut (Triastuti, 2016). Peneliti haruslah mengikuti prinsip replacement, reduction,
refinement (3R) sebagai prinsip etika ketika hendak melakukan penelitian menggunakan hewan
(Wells, 2011). Replacement (menggantikan) adalah upaya menghindari penggunaan hewan di
dalam penelitian. Refinement (perbaikan) ialah upaya modifikasi dalam manajemen
pemeliharaan atau prosedur penelitian sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hewan
atau mengurangi bahkan menghilangkan rasa nyeri dan stres pada hewan coba sedangkan
Reduction (pengurangan) ialah strategi penggunaan hewan dalam jumlah minimal untuk
menghasilkan data yang serupa yang diharapkan dari penelitian (Garber et al., 2010).
Tolistiawaty (2014) dalam publikasinya menyatakan bahwa kesejahteraan hewan
laboratorium secara spesifik adalah suatu kondisi hewan laboratorium yang dipelihara khusus
untuk tujuan percobaan, memiliki keadaan fisiologis dan psikologi yang sesuai untuk
menunjang kualitas hidupnya yang sesuai dengan ‘Lima Kebebasan’. Prinsip lima kebebasan
mencakup bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa
nyeri, penyakit dan luka, bebas dari rasa takut dan penderitaan, dan bebas mengekspresikan
perilaku normal. Dari kelima prinsip kebebasan tersebut euthanasia termasuk dalam prinsip
bebas dari rasa nyeri, luka dan penyakit.
Pemanfaatan hewan pada bidang penelitian yang disebut sebagai hewan model atau hewan
percobaan telah berlangsung sejak berabad lalu sejalan dengan berkembangnya bidang
kedokteran. Pemanfaatannya semakin meluas setelah ditemukannya anaesthesi dan publikasi dari
Darwin yang menyatakan bahwa ada persamaan secara biologis antara manusia dan hewan.
Ironisnya hewan yang telah selesai menjalani perlakuan, untuk melihat perubahan yang
ditimbulkan oleh agen yang diujikan maka di akhir masa penelitian hewan tersebut harus
dimatikan. Periode mematikan hewan percobaan ini dikatagorikan sebagai euthanasia.

2
2.2 Definisi Euthanasia
Euthanasia atau Mercy Sleeping adalah tindakan membunuh hewan oleh seorang dokter
hewan dengan rasa sakit seminimal mungkin karena si hewan menderita penyakit yang tidak
dapat diobati atau situasi dimana perlakuan/pengobatan tidak memungkinkan lagi memperoleh
kesembuhan. Tapi bagi seorang klien kata-kata ”euthanasia” sering menjadi sesuatu yang sangat
menakutkan jika hal itu harus terjadi pada hewan kesayangannya. Oleh karena itu kebanyakan
dokter menyebutnya ”ditidurkan” atau ”disuntik tidur” untuk mengurangi kesan nyeri tersebut.
Istilah euthanasia sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti kematian yang baik atau mati
dengan cara yang baik. Euthanasia ini juga merupakan teknik membunuh hewan uji secara
manusiawi, mudah mati tanpa kesakitan.
Teknik tersebut mensyaratkan adanya aksi depresi pada saraf pusat sehingga
memungkinkan kepekaan terhadap rasa sakit berkurang. Teknik-teknik euthanasia yang ada
tersebut harus disesuaikan dengan tujuan penelitian dan jumlah hewan uji. Penggunaan teknik
yang tidak tepat akan mempengaruhi hasil dari penelitian. Sebagai contoh, penelitian yang
berhubungan dengan pengukuran plasma kortikosteron atau yang terkait (kortisol dan
katekolamin), maka hewan uji tidak tepat bila dieuthanasia dengan teknik pemberian kloroform
atau eter, karena kloroform dan eter akan menaikkan kortikosteron plasma. Namun, hal tersebut
tidak terjadi apabila hewan uji di dekapitasi.
Menurut (Kostomitsopoulos dan Đurašević, 2010) euthanasia merupakan Tindakan
mengorbankan nyawa hewan coba melalui prosedur yang menyebabkan hewan mengalami
penurunan kesadaran sehingga hewan mati tanpa merasakan nyeri ataupun stres. Euthanasia
dapat dilakukan dengan menggunakan kloroform, eter, halotan, metoksifluran, nitrous okdida,
CO, CO2, N dan sianida (Nugroho, 2018). Sementara itu teknik euthanasia juga harus
mempertimbangkan jumlah hewan uji. Hewan uji yang banyak tentunya akan tidak efektif jika
dilakukan euthanasia secara individu. Euthanasia dapat dilakukan secara masal atau simultan
dengan menggunakan eter atau metoksifluran. Baik euthanasia secara individu maupun massal
harus memenuhi kriteria-kriteria seperti: hewan tidak menunjukkan kepanikan dan kesakitan,
kesadaran hewan uji harus segera hilang, dapat diulang euthanasianya berulang, murah dan
mudah, pengaruh ke lingkungan sekitar harus minim dan yang terakhir tentu saja tidak
membahayakan bagi yang mengerjakan euthanasia.

3
2.3 Pelaksanaan Euthanasia pada Hewan.
Euthanasia atau mercy killing mempunyai prosedur yang berbeda apabila diterapkan pada
hewan kesayangan, penderita penyakit zoonosis dan hewan liar.
1. Hewan Kesayangan
Euthanasia atau suntik mati pada hewan kesayangan bisa dilakukan apabila ada
permintaan dari pemilik bahwa hewan tersebut sudah sangat menderita dan pemilik sudah
tidak sanggup merawatnya. Pada kasus seperti ini, petugas harus menjelaskan pada pemilik
mengenai metode yang akan digunakan serta efek yang akan dirasakaan oleh hewan tersebut
apabila pemilik berkeinginan untuk menyaksikan proses euthanasia dengan demikian pemilik
tidak akan mengalami trauma. Proses menjadi lebih mudah apabila pemilik menyerahkan
sepenuhnya kepada petugas karena efek psikologis dari petugas tidak akan muncul. Pemilik
umumnya memiliki ikatan emosional yang sangat kental dengan hewan kesayangannya
seperti yang diungkapkan oleh Elizabeth Severino. Oleh karena itu, mereka lebih memilih
untuk tetap merawat hewan tersebut sampai kematian menjemput secara alamiah. Apabila
hewan tersebut setelah diobservasi ternyata menderita penyakit yang bersifat zoonosis seperti
rabies dengan alasan mengganggu keselamatan manusia maka pemilik harus merelakan
hewannya dieuthanasia. Solusi yang perlu dilakukan para pemilik hewan kesayangan adalah
dengan melakukan pemeriksaan rutin dengan demikian euthanasia akibat kecerobohan
pemilik bisa dihindari.
2. Hewan yang Tertular Penyakit Menular (zoonosis)
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, hewan yang diduga tertular penyakit yang
bersifat zoonosis harus langsung dimusnahkan. Meskipun demikian panduan pelaksanaan
tetap harus ditegakkan karena hewan tersebut masih dalam kesadaran penuh. Kasus penyakit
anthrax, hewan tidak boleh dipotong atau jangan sampai mengeluarkan darah karena spora
bakteri yang terdapat di darah apabila kontak langsung dengan udara akan menjadi sangat
aktif. Penanganan kasus ini harus hati-hati karena hewan dalam keadaan sadar maka sebelum
dibakar hewan harus dianaesthesi dengan dosis lethal sehingga hewan tidak merasakan stress
dan rasa sakit saat meregang nyawa. Permasalahan menjadi sangat sulit apabila penyakit12
tersebut menyerang pada populasi hewan yang padat. Oleh karena itu, pemerintah setempat
lebih memilih untuk menyatakan daerah tertular sebagai daerah tertutup bagi lalulintas

4
hewan. Keputusan ini menjadi solusi yang terbaik sampai observasi dan penanganan kasus
selesai atau terkendali.
3. Satwa Liar
Prosedur pemusnahan satwa liar tidak melalui pemberian anestetik ataupun sedatif tetapi
dengan meminimalkan efek visual, auditory dan stimulasi gerakan karena pemanfaatkan dua
prosedur terdahulu terbukti tidak efektif. Penembakan boleh dilakukan langsung pada kepala
atau leher sehingga hanya petugas yang benar-benar ahli yang diperbolehkan untuk
melaksanakan. Euthanasia pada satwa liar biasanya dilakukan apabila hewan tersebut
menjadi sangat tidak terkendali sehingga membahayakan manusia atau terjadi over populasi.
Pelaksanaannya menjadi lebih mudah karena saat ini satwa liar telah terlokalisir sehingga
pengawasannya menjadi lebih mudah. Euthanasia pada hewan kesayangan, penderita
penyakit zoonosis maupun satwa liar meskipun secara etik diperbolehkan akan tetapi harus
tetap diperhatikan pelaksanaannya. Prosedurnya harus selalu diperbaiki utamanya untuk
mengurangi efek ketakutan dan rasa sakit terutama pada saat euthasia dilakukan di tempat
yang berbeda dengan habitat hewan tersebut. Selain hal tersebut, petugas yang trampil dan
terlatih akan sangat bermanfaat dalam mengurangi penderitaan hewan.
Hal lain sebagai alasan dilakukannya euthanasia pada hewan (animal euthanasia)
umumnya dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. Terminal Iliness
Hewan diketahui menderita penyakit-penyakit seperti kanker, rabies, dan penyakit lain
yang dapat menyebabkan kematian.
2. Aggressive Behavior (vicious, dangerous, unmanageable)
Hewan memiliki perilaku agresif yang tidak dapat dikendalikan lagi dan membahayakan
lingkungan sekitarnya, terutama bagi manusia. Ini merupakan kisah nyata tentang seorang
anak kecil di Amerika di gigit pitbull milik pamannya hingga meninggal, sementara
neneknya terluka parah.
3. Overpopulated (animal with limited adoption)
Hewan-hewan liar yang ditampung di shelter dan terpaksa harus ditidurkan karena
jumlahnya terlalu banyak dengan jumlah adopsi yang tidak berimbang, dalam kasus ini
kebanyakan anjing ataupun kucing liar yang berada di jalanan.

5
4. Accident Causing Permanent Damage with financial difficulty for the owner to support
the therapy.
Mengalami kecelakaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan permanen
sehingga membutuhkan terapi khusus, sementara pemilik mengalami kesulitan finansial
untuk mensupport biaya terapi yang dibutuhkan.
5. Old age
Usia hewan yang semakin tua menyebabkan penurunan fungsi dari organ-organ tubuh
hewan sehingga pada fase ini sering dikatakan bahwa hewan telah mengalami penurunan
kualitas hidup. Secara umum, kebanyakan euthanasia pada hewan kesayangan dilakukan
melalui injeksi intra vena (IV) menggunakan sediaan barbiturate dalam dosis tinggi
(pentobarbital). Penyuntikan ini dapat dilakukan dengan satu tahapan atau dua tahapan.
Euthanasia dengan dua tahapan yaitu; diawali dengan penyuntikan obat bius hingga pasien
menjadi tidak sadar, kemudian baru dilanjutkan dengan penyuntikan kedua sehingga hewan
tidak mengalami rasa sakit, penyuntikan kedua ini dapat dilakukan melalui injeksi intra
cardiac. Untuk hewan-hewan kecil seperti marmot, hamster, atau burung – euthanasia
dilakukan melalui inhalasi menggunakan anesthetics gas seperti isoflurane dan sevoflurane.
Sementara itu pada hewan besar seperti kuda, euthanasia dilakukan dengan
penembakan pada dahi yang diarahkan ke spinal cord melalui medulla oblongata yang
menyebabkan kematian seketika pada hewan, tentu saja hal tersebut harus dilakukan oleh
orang yang sudah berpengalaman. Perlakuan terhadap hewan-hewan untuk kepentingan
konsumsi manusia juga disebutkan sepantasnya mendapatkan perlakuan yang sama dengan
hewan yang akan dieuthanasia. Dalam hal ini, euthanasia pada sapi dilakukan dengan
menggunakan captive bolt/ penyetruman yang dilanjutkan dengan exsanguinasi. Lokasi
pelaksanaan euthanasia dapat dilakukan di klinik hewan, di rumah klien, ataupun di tempat
kejadian, hal tersebut disesuaikan dengan keinginan klien.
Euthanasia yang dilakukan pada tempat kejadian biasanya terjadi pada kuda pacu yang
mengalami kecelakaan pada saat berpacu di lapangan. Pada saat pelaksanaan euthanasia,
pemilik diberikan kesempatan untuk mengikuti proses atau menunggu hingga proses itu
selesai. Pemilik yang memutuskan untuk mendampingi hewannya tentu saja harus diberikan
penjelasan mengenai rigor mortis, urinasi atau defekasi yang mungkin dapat terjadi pada
saat proses berjalan sehingga pemilik tidak kaget dan mengalami shock. Bahkan pada

6
beberapa kasus pemilik dianjurkan untuk melakukan nekropsi supaya mendapatkan
informasi yang jelas mengenai kondisi penyakit yang diderita hewannya.
2.4 Pemilihan Cara Euthanasi
Pemilihan cara euthanasi tergantung dari sifat penelitiannya, spesies dari hewannya, dan juga
dari jumlah hewan yang akan dimatikan. Mungkin pada beberapa kasus diperlukan penanganan
secara individual, sedang yang lainnya sejumlah atau sekelompok hewan dapat ditangani secara
simultan; dengan euthanasi massal. Kriteria yang harus dipenuhi baik itu euthanasi secara
individual atau massal adalah sebagai berikut :
a. Hewan mati tanpa memperlihatkan kepanikan, kesakitan dan kesukaran.
b. Hilangnya kesadaran dalam jangka waktu yang singkat.
c. Dapat diandalkan dan diulang kembali
d. Aman untuk orang yang mengeijakannya.
e. Sesuai dengan syarat dan tujuan penelitian.
f. Efek yang sesedikit mungkin untuk observator dan operator.
g. Pengaruh lingkungan seminimal mungkin.
h. Mudah, murah, relatif bebas biaya dan peralatan rhekanik.
i. Lokasi cukup jauh dan terpisah dari ruangan tempat pemeliharaan hewan.
2.5 Penilaian Kesakitan Dan Ketegangan
Untuk menilai rasa sakit dan ketegangan hewan, maka individu yang melaksanakannya perlu
mengetahui tingkah laku hewan dan respons fisologisnya. Dengan observasi secara subjektif
dapat dipelajari bagaimana keadaan hewan dalam keadaan kesukaran bersuara, mengadakan
perlawanan, lepasnya hambatan aktifias, mempertahankan serangan, tremor muskularis, dilatasi
pupil, salivasi, refleks buang air besar dan air kecil, suara yang terengah-engah, berkeringat dan
takikardi. Pada euthanasi proses kematian hewan pada umunya akan melalui derajat kedua dari
anestesi. Mungkin akan terlihat adanya stadium delirium, exitement, aktifitas yang tak terkendali
berupa gerak-gerakan yang tak terkoordinasi, mengamuk, menangis dan respom yang
berkelebihan terhadap rangsangan yang menyakitkan. Pada keadaan ini elektronsefalogram akan
memperlihatkan aktifiats elektrokortikal cepat lambat tanda dari depresi.
2.6 Ukuran Tingkat Ketidak Sadaran
Cara yang sering dilupakan untuk mengukur tingkat ketidak-sadaran dan kemampuan untuk
merasakan nyeri adalah refleks pabpebra, kornea dan kedip. Refleks ini dinilai dengan cara

7
menyentuh kelopak mata hewan atau korneanya, hilangnya refeMeks kedip menunjukkan
ketidak sadaran, dengan demikian kurang peka terhadap rasa nyeri (kecuali pada penggunaan
obat bentuk kurare, yang sengaja diberikan untuk melumpuhkan otot atau anestesi disosiatif yang
menggunakan kloral hidrat atau ketamine hidroklorida dll). Pada hewan dalam keadaan tak sadar
atau tak peka terhadap perasaan nyeri, gambaran elektroensefalogram terlihat datar atau
isoelektrik. Untuk memastikan kematian hewan diperlukan penghentian aliran darah ke otak, jadi
denyut jantung harus berhenti. Tidak seperti pada manusia, walaupun denyut jantung menetap
untuk beberapa lama, asalnya refleks konea tak ada atau elektroensefalogram rata, hewan sudah
dianggap mati. Pastikan dahulu bahwa pada hewan yang dibunuh tak terjadi rekoveri, sebelum
membuang hewan. Penting sekali dipastikan bahwa denyut jantung telah berhenti. Tak adanya
aktifitas atau pengerakan otot tak dapat digunakan sebagai pedoman dari ketidak-sadaran atau
ketidak¬pekaannya terhadap rangsangan rasa sakit, walaupun tak adanya pergerakan yang lama
menunjukkan bahwa hewan mati.
2.7 Efek Euthanasi Terhadap Jaringan
Efek terhadap jaringan dapat terjadi secara langsung atau tak langsung. Pada pemeriksaan
secara histologik dengan elektronmiskroskop dapat berakibat hanya pada komponen bagian
intra- vaskuler saja atau dapat terjadi sedemikian cepat, maka tidak tampak adanya perubahan
histologik, atau terdapat perubahan yang minimal sekali.
1. Efek langsung terhadap jaringan
Secara umum, efek lansung euthanasi terhadap jaringan tidak jelas, terutama pada zat-zat
farmakologis yang bersifat non-inhalan. Perubahan yang terjadi pada euthanasi yang
menyebabkan anoksia tergantung dari kecepatan induksinya dan terjadinya perubahan gas
didalam darah. Pada keadaan anoksia, pada pengamatan secara makro mungkin akan terlihat
bendungan pulmoner dan udema, yang tingkatannya tergantung dari kecepatan kematian.
Pada anjing yang mati karena menderita hipoksia pada anestesi dekompresi cepat dapat
ditemukan badan-badan lamelar di dalam sel Purkinye dari serebelum. Rangkaian perubahan
biokimia dan morfologik dari sel-sel neuron dan sel- sel glial belum diketahui secara rinci.
Tidak tampak adanya perubahan yang jelas pada saluran pemapasan yang mengalami
hipoksia.
Preparat barbiturat yang disuntikkan secara intra-vaskuler akan terionisasi. Derajat
ionisasinya tergantung dari konstanta disosiasi obat dan pH darah. Obat yang tak terdisosiasi

8
akan mengalami penetrasi ke dalam sel kemudian akan terdisosiasi lagi dan kemudian akan
terjadi ikatan obat dengan sel kemudian akan terdisosiasi lagi dan kemudian akan terjadi
ikatan obat dengan sel ofga. Belum pernah digambarkan perubahan jaringan yang disebabkan
karena penetrasi barbiturat ke dalam sel atau ikatan dengan protein plasma membentuk
lingkungan obat yang terikat dan tidak terikat di dalam sirkulasi darah dan limpa, sehingga
limpa tampak membesar dan berwarna biru-ketitaman.
2. Efek tak langsung terhadap jaringan
Efek ini terutama disebabkan karena jaringan menderita hipoksia, oleh karena itu perlu
penanganan hewan dengan selayaknya sebelum hewan mati dan lakukan pengolahan
secepatnya dari jaringan setelah hewan mati, untuk memperoleh gambaran
histologis/elektronmikroskop yang optimal dengan perubahan yang minimal. Kebutuhan
jaringan terhadap oksigen amat bervariasi. Yang paling peka adalah sel-sel neuron pada
Susunan Syaraf Pusat, yang dapat dinilai pada pemeriksaan dengan elektron-mikroskop. Pada
jaringan d i mana kebutuhan oksigen tak sebesar sel- sel neuron, seperti pada osteosit,
kondrosit dari tulang dan tulang rawan dan jaringan lainnya yang tidak peka terhadap oksigen,
akan sulit dideteksi adanya perubahan, bahkan dengan pemeriksaan elektronmikroskop.

9
BAB III
METODE KERJA

3.1 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk memperoleh data
yang dibutuhkan. Penggunaan teknik dan alat pengumpulan data yang tepat memungkinkan
mendapat data yang objektif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yakni eksplorasi dan
telaah jurnal ilmiah yang telah terakreditasi serta relevan dengan tata cara pemeliharaan hewan
uji coba.
3.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah asal atau tempat awal data-data yang digunakan dalam
penelitian diperoleh. Sumber data yang utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan
tindakan, sedangkan sumber data tertulis, foto, dan statistik merupakan data tambahan sebagai
pelengkap atau penunjang data utama. Sumber data penelitian ini diperoleh dari penelitian
kepustakaan, yakni data yang diperoleh dari literatur – literatur yang ada baik dari buku, jurnal,
internet, dan refrensi lain yang sesuai dengan masalah penelitian, yaitu terminasi atau mematikan
hewan uji yang disebut euthanasia.
3.3 Alat, dan Hewan yang digunakan
3.3.1 Alat
1. Kandang restrain
2. Tongkat kayu
3.3.2 Hewan Uji
Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal, berumur antara
6 – 8 minggu. Untuk percobaan euthanasia, mencit yang digunakan memenuhi syarat
untuk dikorbankan yaitu hewan telah kehilangan berat badan lebih dari 20%,
mengalami penurunan perilaku eksplorasi, enggan untuk bergerak, postur
membungkuk, piloereksi (rambut berdiri), dehidrasi sedang hingga berat (mata
cekung, lesu), nyeri tak henti-hentinya (ditandai dengan distress vokalisasi).

10
3.4 Cara Kerja
Euthanasia mencit cara fisik dilakukan dengan dislokasi leher. Proses dislokasi ini dilakukan
dengan cara :

Dipegang ekor mencit dan kemudian ditempatkan pada permukaan yag bisa
dijangkaunya, biarkan mencit meregangkan badannya

Saat mencit meregangkan badannya, pada tengkuk ditempatkan suatu penahan,


misalnya pensil atau batang logam yang dipegang dengan tangan kiri

Ditarik ekor mencit dengan tangan kanan dengan keras, sehingga lehernya akan
terdislokasi dan mencit akan terbunuh

11
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Alasan Mengapa Hewan Uji Perlu Dieuthanasia dengan Manusiawi, Cepat, dan Minim
Rasa Sakit
Berdasarkan buku Education and Training in the Care and Use of Laboratory Animals: A
Guide for Developing Institutional Programs, beberapa pertimbangan etika yang perlu
diperhatikan dalam euthanasia adalah :
• Euthanasia harus dilakukan secara cepat dan efisien di tempat privat (nonpublik) tetapi
bukan di tempat hewan dipelihara (kandang atau lainnya)
• Diperlukan penentuan kriteria untuk menentukan kapan harus dilakukan euthanasia
berdasarkan tingkat rasa sakit dan stress hewan dan praktikan yang menentukan
keputusan tersebut harus dicantumkan dalam protokol eksperimen
• Euthanasia yang terkait rasa sakit dan stress pada hewan yang gugup atau keras kepala
harus dicegah atau dikurangi dengan penanganan yang handal atau pemberian obat
analgesik.
• Praktikan yang melakukan anastesia harus menunjukkan profesionalisme dan kepekaan
terhadap nilai kehidupan dari hewan
• Kematian hewan melalui euthanasia harus benar-benar dikonfirmasi dengan melakukan
pemeriksaan detak jantung karena pernapasan tidak bisa menjadi acuan untuk
menentukan kematian

Berdasarkan definisi euthanasia pada buku Recognition and Alleviation of Pain and
Distress in Laboratory Animals, euthanasia adalah kegiatan menyebabkan / memicu / mendorong
kematian tanpa rasa sakit dengan secepat mungkin dan tingkat rasa takut dan kegelisahan hewan
sekecil mungkin. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa euthanasia dilakukan
dengan cepat dan minim rasa sakit untuk memenuhi 5 prinsip kebebasan Farm Animal Warfare
Council 2009. Prinsip kebebasan yang dipenuhi adalah freedom of pain, injury, and disease dan
freedom from fear and distress.
Untuk memenuhi euthanasia yang harus dilakukan dengan cepat dan minim rasa sakit,
ditentukan metode euthanasia yang harus memenuhi :

12
• Tidak atau kurang memicu saraf pendeteksi rasa sakit / nyeri hewan
• Bersifat cepat dan tidak ireversibel
• Bersifat minim stress dan rasa takut pada hewan yang akan dieuthanasia atau hewan
disekitarnya
• Menghambat kesadaran dan sistem refleks dalam waktu yang bersamaan
• Keamanan bagi praktikan
• Efisiensi dan kemudahan prosedur euthanasia
• Harga dan ketersediaan metode yang digunakan
• Tidak menyebabkan stress bagi praktikan ataupun pengamat
• Tidak menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan

4.2 Cara-Cara yang Dapat Digunakan untuk Melakukan Euthanasia Pada Hewan Uji
dengan Manusiawi
Kata euthanasia sendiri berasal dari Yunani, yaitu Eu – baik dan Thanatos – kematian
sehingga euthanasia disebutkan sebagai kematian dengan cara yang baik karena dilakukan
dengan meminimalisasikan rasa sakit dan stress. Euthanasia dinyatakan sebagai jalan keluar
terakhir disaat tidak diketemukannya alternatif medis lain yang dapat membantu pasien menuju
persembuhan. Namun dalam perlakuan euthanasia ke hewan uji bisa dilakukan untuk
mengindentifikasi jaringan atau organ dalamnya, yang mana akan digunakan untuk keperluan
tertentu, seperti pengembangan obat.
Pemanfaatan hewan pada bidang penelitian yang disebut sebagai hewan model atau
hewan percobaan telah berlangsung sejak berabad lalu sejalan dengan berkembangnya bidang
kedokteran. Pemanfaatannya semakin meluas setelah ditemukannya anaesthesi dan publikasi dari
Darwin yang menyatakan bahwa ada persamaan secara biologis antara manusia dan hewan.
Ironisnya hewan yang telah selesai menjalani perlakuan, untuk melihat perubahan 7 yang
ditimbulkan oleh agen yang diujikan maka di akhir masa penelitian hewan tersebut harus
dimatikan. Periode mematikan hewan percobaan ini dikatagorikan sebagai euthanasia.
Secara umum terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengorbankan hewan uji :
4.2.1 Euthanasia Fisik
Mengorbankan hewan secara fisik yaitu dengan melumpuhkan secara real (menggunakan
alat luar). Metode fisik yang dapat diterima pertama-tama harus menyebabkan hilangnya

13
kesadaran secara cepat dengan mengganggu sistem saraf pusat . Cara ini digunakan bila cara
yang lain dapat mengganggu informasi yang diharapkan, missal pada pemberian kloroform atau
eter akan menyebabkan kenaikan kortikosteron plasma. Euthanasia fisik terdiri dari :
➢ Cervical dislocation (pemutaran leher)
Merupakan metode euthanasia untuk burung, hewan dengan bobot 1 kg, anjing,
kucing, ternak potong Teknik ini sangat efektif, cepat, murah dan efek terhadap tes
diagnostik sangat rendah. Metode ini juga merupakan metode yang lebih tua namun
kurang umum untuk membunuh hewan kecil seperti tikus. Jika dilakukan dengan benar,
tindakan ini dimaksudkan untuk menyebabkan kematian yang tidak menimbulkan rasa
sakit dan tidak memerlukan biaya atau peralatan yang terlibat. Pawang harus mengetahui
metode yang tepat dalam melakukan gerakan yang akan menyebabkan serviks bergeser
dan jika melakukannya tanpa pelatihan dan pendidikan metode yang tepat maka akan
beresiko tidak menyebabkan kematian dan dapat menyebabkan rasa sakit dan penderitaan
yang parah. Tidak diketahui berapa lama hewan tetap sadar, atau tingkat penderitaan yang
dialaminya setelah menjentikkan leher dengan benar, itulah sebabnya cara ini menjadi
kurang umum dan sering diganti dengan inhalan.
➢ Decapitation (perusakan otak lewat leher)
Decapitation dilakukan dengan jalan memotong kepala hewan dengan
menggunakan peralatan tajam dengan tujuan untuk memutus kepekaan saraf tulang
belakang. Hewan yang diperbolehkan untuk di-decapitation sama dengan pada cervical
dislocation.Nama lain cara ini adalah teknik pithing. Teknik ini sangat memerlukan
persyaratan baik keterampilan maupun kecakapan operator. Setelah hewan didinginkan
pada suhu 4oC, maka hewan digenggam dengan tangan dan ditekan kepalanya dengan ibu
jari, sehingga sambungan antara tulang tengkorak dengan tulang atlas dapat dimanipulasi
dan diidentifikasi. Kemudian masukkan “probe” berbentuk tajam menembus kulit masuk
diantara tulang tengkorak dan tulang atlas, kemudian dengan gerakan berkelok-kelok
probe didorong ke depan melalui foramen magnum ke dalam ruang kranial. Pada teknik
double pithing sumsung tulang belakang juga dirusak dengan memindahkan arah dari
probe yang didorong ke belakang masuk ke dalam vertebra servikal, sehingga hubungan
antara sentral syaraf spiral terputus.

14
Walaupun cara ini secara estetika tidak menyenangkan, tetapi pada jenis rodent
dan spesies hewan uji yang kecil lainnya, akan menghilangkan segala reflex kedip dan
datanya elektroensefalogam. Penelitian pada cara ini membuktikan bahwa efeknya
hampir sama dengan cara pemberian preparat barbiturate secara intra-vena.
➢ Stunning & exsanguinations (removal blood).
Dilakukan dengan jalan merusak bagian tengah tengkorak agar hewan menjadi
tidak sadar diikuti penyembelihan untuk mengeluarkan darah dengan memotong
pembuluh darah utama di bagian leher. Teknik ini sangat cocok untuk diterapkan pada
hewan potong serta hanya bisa dioperasikan apabila tes diagnostik pada otak tidak
diperlukan. Biasanya cara ini dilakukan pada hewan uji yang tergolong rodent kecil.
Secara estetika cara ini tidak menyenangkan. Dengan melakukan tiupan pada tulang
tengkorak pusat menggunakan tenaga yang cukup besar akan terjadi pendarahan serebral
yang hebat sehingga mengakibatkan depresi susunan syaraf pusat dengan cepat yang
mengakibatkan hewan dengan segera kehilangan kepekaan terhadap rasa sakit. Setelah
stunning selesai, pembuluh darah utama hewan harus diinsisi dengan segera, rongga dada
dibuka dan otot jantung dipotong.
➢ Captive bolt atau gunshot
Merupakan metode yang umum dipergunakan di rumah potong hewan utamanya
kuda, ruminansia dan babi. Hewan dimatikan dengan jalan menembak langsung
kepalanya apabila otaknya diperlukan untuk tes diagnostik maka penembakan dilakukan
di leher. Pelaksanaannya memerlukan seorang ahli agar tercapai kematian yang
manusiawi selain untuk keamanan.
➢ Electrocution (pemberian aliran listrik)
Teknik ini jarang dilakukan di laboratorium, kecuali beberapa institusi kedokteran
hewan untuk destruksi hewan peliharaan besar. Cara ini digunakan pada hewan uji ikan
dan reptile. Untuk cara ini spesies didinginkan terlebih dahulu dan dimasukkan
refrigerator supaya aktivitas metabolismenya lebih rendah. Letakkan letakkan elektroda
di telinga hewan kemudian diberikan kejutan awal melalui otak dan kejutan kedua
melalui fibrilasi jantung yang merusak aliran darah ke otak.

15
➢ Decompression
Cara ini bertujuan agar lingkungan hewan kekurangan oksigen dalam waktu
singkat. Jadi pada hewan dilakukan simulasi, seolah-olah pada ketinggian 50.000-60.000
kaki. Hal yang tidak menguntungkan adalah gas yang terperangkap tidak dapat
dikeluarkan. Gas tersebut terlebih dahulu akan menekan sekitarnya (dalam kondisi
tekanan udara rendah) dan menyebabkan rasa sakit sebelum efek anoksida otak tercapai.

4.2.2 Euthanasia Kimia


4.2.2.1 Dengan Pemakaian Zat Farmakologik non-inhalan
Cara ini menggunakan barbiturate dan deviratnya, campuran barbiturate magnesium
sulfat dan larutan etanasi T-61. Pada kebanyakan euthanasia baik secara estetika maupun secara
ilmiah, sodium pentobarbiturat dan deviratnya paling banyak digunakan yang biasanya diberikan
secara intravena. Pemberian secara peritoneal merupakan kontraindikasi. Walaupun tidak
dianjurkan, cukup efektif bila diberikan secara intra-kardial, namun perlu keahlian khusus dalam
menentukan letak jantung hewan uji dan diberikan obat penenang sebelumnya.
Pada hewan uji ungags (misalnya ayam) dapat digunakan kloral hidrat dan ketamine
hidroklorida secara intra-peritoneal. Zat ini termasuk anestetik yang disossiatif, sehingga tidak
kehilangan reflek kedip pada satidum anestesik. Pemberian larutan T-61 yang mengacu pada
anestesik lokal, secara intravena atau intrakardinal yang berdaya kerja seperti daya kerja obat
yang mempunyai efek paralise pada pusat pernafasan, efek relaksasi pada otot kerangka dan
menyebabkan ketidaksadaran.

4.2.2.2 Dengan Pemberian zat anestetik secara inhalasi


Cara ini yaitu memasukkan agen toksin ke dalam tubuh dengan suntikan atau inhalasi.
Prosedur inhalasi hanya boleh dilakukan oleh operator yang telah mendapat ijin untuk
menggunakan bahan kimia karena material yang akan digunakan sangat berbahaya bagi manusia.
Inhalasi ditujukan untuk membuat hewan dengan bobot < 7kg. Agen inhalasi yang dipilih harus
menjadikan hewan tidak sadar secara cepat. Adapun agen yang diperbolehkan adalah halothane,
enflurane, methoxyflurane, nitrous oxide karena nonflammable dan nonexplosive.carbondioxide,
derivat barbiturat, magnesium sulfat, KCl. Sedangkan agen inhalasi yang tidak boleh
ddipergunakan adalah Chloroform, gas hydrogen sianida, CO, Chloral hidrat, striknin. Meskipun

16
demikian pada kenyataannya CO, chloroform maupun eter masih tetap dipergunakan terutama
apabila jumlah hewan yang akan dieuthasia banyak. Eutanasia kimia umum dilakukan untuk
euthanasia burung mencit atau tikus dalam jumlah banyak dengan jalan meletakkan hewan pada
kotak yang tertutup plastik yang dialiri gas CO2 secara bertahap. Agen inhalasi juga bisa
dicelupkan dan diletakkan di dalam kotak sampai hewan tidak sadar dan mati apabila fasilitas di
bawah ini tidak tersedia. Inhalasi dosis lethal umum diberikan pada hewan peliharaan yang sudah
tua yang menderita sakit. Prosedur ini apabila titerapkan pada hewan percobaan kemungkinan
besar akan mempengaruhi hasil akhir penelitian serta karkasnya tidak bisa dikonsumsi. 3.3
Pelaksanaan Euthanasia pada Hewan. Euthanasia atau mercy killing mempunyai prosedur yang
berbeda apabila diterapkan pada hewan kesayangan, penderita penyakit zoonosis dan hewan liar.
Menurut pustaka, cara efektif di lapangan untuk mengorbankan hewan uji yang lebih
manusiawi adalah dengan cara shooting (menembak). Harus dilakukan oleh operator yang sudah
ahli karena subjek harus benar-benar dari jarak dekat dan tepat mengenai otak, dengan maksud
agar hewan tidak merasa peka sakit. Diperlukan senapan caliber 12 atau 20, bedil berkaliber 22
atau pistol, tergantung dari hewan uji yang dikorbankan.
Namun jika dilihat dari cara perlakuan Euthanasia pada hewan uji yang lebih manusiawi
adalah dengan pemberian Euthanasia kimia karena melakukan injeksi intravena yang
kelihatannya lebih estetik dibandingkan dengan Euthanasia fisik, namun rasa sakit yang
diberikan pada hewan uji lebih besar dibandingkan dengan Euthanasia fisik.

17
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang sudah dijelaskan sebelumnya adapun kesimpulan yang
dapat kami peroleh yaitu Kata euthanasia sendiri berasal dari Yunani, yaitu Eu – baik dan
Thanatos – kematian sehingga euthanasia disebutkan sebagai kematian dengan cara yang
baik karena dilakukan dengan meminimalisasikan rasa sakit dan stress. Berdasarkan definisi
euthanasia pada buku Recognition and Alleviation of Pain and Distress in Laboratory
Animals, euthanasia adalah kegiatan menyebabkan / memicu / mendorong kematian tanpa
rasa sakit dengan secepat mungkin dan tingkat rasa takut dan kegelisahan hewan sekecil
mungkin. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa euthanasia dilakukan
dengan cepat dan minim rasa sakit untuk memenuhi 5 prinsip kebebasan Farm Animal
Warfare Council 2009. Prinsip kebebasan yang dipenuhi adalah freedom of pain, injury, and
disease dan freedom from fear and distress.
Pemanfaatan hewan pada bidang penelitian yang disebut sebagai hewan model atau
hewan percobaan telah berlangsung sejak berabad lalu sejalan dengan berkembangnya
bidang kedokteran. Pemanfaatannya semakin meluas setelah ditemukannya anaesthesi dan
publikasi dari Darwin yang menyatakan bahwa ada persamaan secara biologis antara
manusia dan hewan. Secara umum terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
mengorbankan hewan uji, yaitu euthanasia fisik dan euthanasia kimia. Euthanasia fisik terdiri
dari Cervical dislocation (pemutaran leher), Decapitation (perusakan otak lewat leher),
Stunning & exsanguinations (removal blood) Captive bolt atau gunshot., Electrocution
(pemberian aliran listrik) dan Decompression. Sedangkan euthanasia kimia terdiri dari
pemakaian zat farmakologik non-inhalan, dan pemberian zat anestetik secara inhalasi

5.2 Saran
Masa pandemi yang membuat kami melaksanakan praktikum ini secara online menjadi
tantangan terbesar yang dihadapi, maka saran dari kami adalah agar praktikum dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan tetap menggali literatur dan studi pustaka lebih
banyak lagi sehingga bisa mendapatkan hasil yang lebih baik dalam praktikum daring
maupun luring.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arjana, Gde. 2016. Euthanasia Pada Hewan. Denpasar : Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana.
Garber JC. 2010. Guide for the care and use of laboratory animals.WashingtonDC.National
Academies Press.
Hendra Stevani. 2016. Praktikum Farmakologi. Jakarta: Kementrian Kesehatna Republik
Indonesia.
Isbagio.,D.W.1992. Euthanasia Pada Hewan Percobaan. Media Litbangkes Vol II No.01/1992.
Kostomitsopoulos NG, Đurašević SF. 2010. The ethical justification for the use of animals in
biomedical research. Arch BiolSci 62(3): 781-787.
Mellor, D. 2016. Updating Animal Welfare Thinking: Moving beyond the “Five Freedoms”
towards “A Life Worth Living.” Animals, 6(3), 21.
National Academy of Sciences. 1992. Recognition and Alleviation of Pain and Distress in
Laboratory Animals. United States of America : National Academy Press
National Research Council. 1991. Education and Training in the Care and Use of Laboratory
Animals: A Guide for Developing Institutional Programs. United States of America :
National Academy Press
Nugroho CA. 2018. Pengaruh minuman beralkohol terhadap jumlah lapisan sel spermatogenik
dan berat vesikula seminalis mencit.Jurnal Ilmiah Widya Warta33(1):56-60.
Tolistiawaty I. 2014. Gambaran kesehatan pada mencit (Mus musculus) di Instalasi Hewan
Coba. Jurnal Vektor Penyakit8(1):27-32.
Triastuti I. 2016. Kajian filsafat tentang kesejahteraan hewan dalam kaitannya dengan
pengelolaandi lembaga konservasi.Yustisi2(1):6.
Wells DJ. 2011. Animal welfare and the 3Rs in European biomedical research. Annals of the
New York Academy of Sciences1245(1):14-16.

19

Anda mungkin juga menyukai