“KERACUNAN PESTISIDA”
Kelompok :3
LABORATORIUM FARMASI
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Pestisida (Inggris : pesticide) berasal dari kata pest yang berarti hama dan cide
yang berarti mematikan/racun. Jadi pestisida adalah racun hama. Secara umum pestisida
dapat didefinisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad
yang dianggap sebagai pest (hama) yang secara langsung maupun tidk langsung
merugikan kepentingan mahluk hidup. Pestisida sangat berbahaya bagi mahluk hidup,
bahkan bisa menyebabkan kematian. Padahal bagi petani, hampir menjadi santapan
keseharian, terutama saat budidaya tanaman yang membutuhkan perawatan intensif.
Pestisida bisa masuk melalui kulit, saluran pernafasan bahkan tertelan melalui mulut.
Kecerobohan pada saat penyemptotan menyebabkan tubuh mengalami keracunan.
Pestisida yang merupakan salah satu hasil teknologi modern telah terbukti
mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan produksi pertanian. Kenyataan
membuktikan bahwa di beberapa Negara yang sedang berkembang, produksi pertanian
meningkat tinggi setelah aplikasi pestisida. Penggunaan bahan-bahan beracun itu pada
awalnya dianggap sebagai cara yang ampuh untuk mematikan unsur-unsur pengganggu
tanaman pertanian, kemudian penyebaran racun ke tanaman pangan justru
menimbulkan masalah baru yang lebih berat.
Resiko bagi pengguna adalah kontak langsung terhadap pestisida, yang dapat
mengakibatkan keracunan, baik akut maupun kronis. Keracunan akut dapat
menimbulkan gejala sakit kepala, mual muntah dan sebagainya, bahkan beberapa
pestisida dapat menimbulkan iritasi kulit dan kebutaan. Keracunan kronis tidak selalu
mudah diprediksi dan dideteksi karena efeknya tidak segera dirasakan, walaupun
akhirnya juga menimbulkan gangguan. Selama ini, penggunaan pestisida oleh petani
bukan atas dasarkeperluan pengendalian secara indikatif, namun dilaksanakan secara
“Cover Blanket System” artinya ada atau tidak ada hama tanaman, racun berbahaya ini
terus disemprotkan ke tanaman, teknik penyemprotan yang kadang melawan arah
angina menyebabkan petani memiliki kedudukan ganda yang dikenal sebagai pelaku
dan penderita keracunan pestisida. Sebagai pelaku karena system penggunaan yang
tidak tepat sasaran, sehingga dapat menimbulkan bahaya terhadap orang lain. Sebagai
penderita, petani akan mengalami ancaman keracunan akibat pekerjaannya.
1.3 Hipotesis
1. Gejala yang ditimbulkan oleh keracunan pestisida adalah berupa gangguan motorik
kejang, getar, dll
2. Diduga pemberian atropin sulfat sebelum diracuni dengan Baygon lebih baik jika
dibandingkan dengan pemberian Baygon secara langsung
3. Terdapat dampak penggunaan pestisida pada tikus putih terhadap keracunan
4. Terdapat pengaruh konsentrasi pestisida terhadap mortalitas dan penghambatan
makan tikus putih
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Senyawa organofosfat, insektisida ini merupakan ester asam fosfat atau asam
tiofosfat. Pestisida ini umumna merupakan racun pembasmi serangga yang paling toksik
secara akut terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan, burung, cicak dan mamalia.
Pestisida ini mempunyai efek memblokade penyaluran impuls syaraf dengan cara mengikat
enzim asetilkolinesterase. Keracunan kronis pestisida golongan organofosfat berpotensi
karsinogenik. (Gallo, 1991).
METODE KERJA
3.1.1 Alat
1. Alat pencukur
3. Pipet tetes
4. Spuit
5. Stopwatch
6. Tabung reaksi
3.1.2 Bahan
1. Alkohol
4. Tikus putih
Data Biologis :
1. Lakukan pengamatan data biologis pada hewan coba dan timbang hewan coba
3. Lakukan pengolesan TEPP pasa tikus dengan kapas 15 menit setelah pemberian
atropin sulfat
4. Pengamatan dilakukan seperti pada tikus yang pertama mulai dari percobaan
3.A
BAB IV
Data Kelas
4.2 Perhitungan
Atropin sulfat 0,1% dosis 1mg/kg ~ 0,001 gram/kg
Bobot mencit yaitu 230 gram
Perhitungan Dosis
= =
= =
X=
X = 0,00023
Volume Penyuntikan
= =
= =
Y=
Y = 0,23 mL
4.3 Pembahasan
Percobaan kali ini yaitu mengenai keracunan pestisida. Dan bertujuan untuk
mempelajari gejala dan penanganan keracunan pestisida. Penggunaan pestisida sintesis
selalu meningkat dan penggunaan pestisida campuran juga sangat banyak ditemukan di
areal pertanian. Berdasarkan toksisitas dan golongan, pestisida organik sinterik dapat
digolongkan menjadi tiga yaitu; organofosfat, karbamat, dan organoklorin.
2. Mengikat racun
Cara kerja ini dapat berlangsung di level enzim atau level reseptor. Pada level
enzim, antidote dapat menghalangi atau mengaktifkan kembali kerja enzim tertentu.
Contohnya penggunaan etil alkohol pada keracunan etilen glikol. Keberadaan antidote
tersebut bersaing dengan zat racun sehingga mengurangi efek racun, terutama saat
keracunan baru terjadi.Sedangkan pada reseptor, antidote yang biasa digunakan adalah
flumazenil dan naloxone. Flumazenil umum digunakan pada keracunan akibat
benzodiazepine yang bisa mengganggu sistem saraf pusat. Naloxone umum digunakan
pada keracunan opiod, sejenis obat pereda nyeri.
3. Mengurangi metabolit racun
Metabolit adalah hasil metabolisme. Seiring berjalannya waktu, racun bisa saja
sudah dimetabolisme atau diiolah oleh tubuh. Pada saat ini, antidote tetap dapat
diberikan. Antidote dapat digunakan untuk membersihkan hasil metabolisme dari racun
tersebut atau mengubah hasil itu menjadi bentuk yang lebih aman bagi tubuh.Contoh
kasusnya adalah penggunaan N-Acetyl cysteine (NAC) untuk keracunan paracetamol.
NAC adalah mengembalikan simpanan zat tertentu pada hati sehingga berpotensi
mencegah terjadinya penyakit hati akibat keracunan paracetamol.
Di sisni, antidote dapat dilakukan dengan mengurangi efek racun atau dengan
melawan langsung cara kerja racun tersebut. Contoh mengurangi dampak racun adalah
penggunaan atropine dalam keracunan organofosfat. Sedangkah contoh melawan cara
kerja racun adalah pada penggunaan beberapa jenis vitamin, seperti vitamin K pada
overdosis warfarin.
Gejala yang dapat ditimbulkan oleh keracunan pestisida pada manusia. Pada
keracunan pestisida, individu yang terpapar oleh pestisida bisa mengalami batuk yng
tidak juga sembuh atau merasa sesak di dada, ini merupakan menifestasi gejala
penyakit bronkitis, asma, atau penyakit paru-paru. Gejala umum dari keracunan
pestisida ini seperti muntah-muntah, diare dan sakit perut. Ketika lambung dan usus
terpapar pestisida akan menunjukan respon mulai dari yang sederhana seperti iritasi,
rasa panas, mual, muntah hingga respon fatal yang dapat menyebabkan kematian
seperti perforasi, pendarahan, dan kronis lambung.
Pada hewan coba yang diberikan atropine sulfat mengalami gejala yang timbul
lebih lama dibandingkan hewan coba yang tidak diberikan atropine sulfat.
Fase-fase keracunan terbagi atas 3 fase yaitu fase eksposisi, fase toksikokinetik
dan fase toksikodinamik.
1. Fase Eksposisi (Farmaseutika)
Jika suatu objek biologis berkontak dengan sesuatu zat, maka kecuali zat
radioaktif, hanya dapat terjadi efek biologi atau toksik setelah absorpsi zat tersebut.
Pada umumnya hanya bagian zat yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi
secara molekul, yang dapat diabsorpsi. Penyerapan zat dalam hal ini sangat
tergantung pada konsentrasi dan jangka waktu kontak antara zat yang terdapat
dalam bentuk yang dapat diabsorpsi dengan permukaan organisme yang
berkemampuan untuk mengabsorpsi zat. Pada obat disebut farmaseutik yaitu bagian
dari dosis zat aktif yang tersedia untuk diabsorpsi. Pada pencemaran lingkungan
disebut dosis efektif, yaitu bagian dosis yang dapat diabsorpsi yang akan
menentukan derajat eksposisi yang efektif.
Selama fase eksposisi, zat beracun dapat diubah melalui reaksi kimia
menjadi senyawa yang lebih toksik atau lebih kurang toksik dari senyawa awal.
Ketersediaan farmaseutik yaitu bagian dari dosis aktif yang tersedia untuk absorpsi.
1. Proses transpor, yang meliputi absorpsi, distribusi (termasuk transpor dan fiksasi
pada komponen jaringan dalam organ) dan ekskresi.
Jangka waktu zat asing berada dalam organisme ditentukan oleh dua hal, yaitu:
(1) suatu eksposisi selama periode yang lama meningkatkan risiko kerusakan dan
karena itu terjadi efek toksik; (2) suatu perpanjangan penahanan (retensi) zat dalam
organisme bersama-sama dengan eksposisi ulang dapat menimbulkan kumulasi. Ukuran
untuk waktu suatu zat berada dalam organisme disebut waktu paruh biologi, yaitu
waktu yang diperlukan sampai konsentrasi zat tertentu menjadi setengah dari harga
asalnya.
Fase toksodinamik meliputi interaksi antara molekul zat racun dan tempat kerja
spesifik yaitu reseptor. Harus dibedakan antara proses untuk pelepasan suatu rangsang
pada organ sasaran tempat tokson menyerang dan proses pelepasan rangsang sampai
terjadinya suatu efek di tempat kerja, tempat efek terjadi atau diamati. Efek tersebut
adalah hasil sederetan proses yaitu proses kimia biasa yang tercapai melalui rangsang
dan tidak lagi tergantung pada sifat khas rangsang yang diimbas obat. Jadi pada kondisi
tetap, stimulus yang sama, tidak tergantung pada senyawa mana penyebab stimulus,
akan menyebabkan efek yang tetap. Organ sasaran dan tempat kerja tidak perlu sama.
Konsentrasi zat aktif pada tempat sasaran menentukan kekuatan efek biologi
yang dihasilkan. Jika konsentrasi zat aktif pada jaringan tertentu tinggi, maka berarti
dengan sendirinya berlaku sebagai tempat sasaran yang sebenarnya, tempat zat bekerja.
Pada umumnya ditemukan konsentrasi zat aktif yang tinggi dalam hati dan ginjal,
karena di sini zat itu dimetabolisme dan diekskresi.
BAB IV
KESIMPULAN
Darmansyah I, Gan Sulistia. 1987. Kolinergik dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 3.
Farmakologi FKUI, Jakarta.
Food and Agricultural Organization of the United Nation. 1986. International Code of
Conduct on the Distribution and use of Pesticide. Rome
Gallo M.A, Lawry N.J. 1991. Organic Phosphorus Pesticides. Handbook of Pesticide
Toxicology. Vol II. 921-951.
Hayes Jr, Wayland J. 1991. Dosage and Other Factors Influencing Toxicity. Handbook of
Pesticide Toxicology. (I) 39-96.
Michael CR, Alavanja, Jane A Hoppin, Freya Kamel. 2004. Health Effect of Chronic
Pesticide Exposure. Annual Review of Public Health Vol.25. 155-197.
“LOGAM BERAT”
Kelompok :3
LABORATORIUM FARMASI
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Logam berat ialah benda padat atau cair yang mempunyai berat 5 gram atau
lebih untuk setiap cm3, sedangkan logam yang beratnya kurang dari 5g adalah logam
ringan. Dalam tubuh mahluk hidup logam berat termasuk dalam mineral “trace” tau
mineral yang jumlahnya sangat sedikit. Beberapa mineral trace adalah esensiil karena
digunakan untuk aktivitas kerja system enzim misalnya seng (Zn), tembaga (Cu), besi
(Fe), dan beberapa unsur lainnya seperti kobalt (Co), mangan (Mn) dan beberapa
lainnya. Beberap logam berat bersifat non-esensiil dan bersifat toksik terhadap mahluk
hidup misalnya : merkuri (Hg), cadmium (Cd) dan timbal (Pb).
Logam merupakan kelompok toksikan yang dapat berubah-ubah akibat
pengaruh fisikokimia, biologis, atau akibat aktivitas manusia. Logam memperlihatkan
rentang toksisitas yang lebar. Kerja utama logam adalah menghambat enzim. Efek ini
biasanya timbul akibat interaksi antara logam dengan gugus SH pada enzim itu. Selain
itu, logam dapat menggangu fungsi enzim dengan menghambat sintesisnya. Umumnya
efek toksik logam merupakan akibat dari reaksi antara logam dan komponen intrasel.
Untuk dapat menimbulkan efek toksiknya pada suatu sel, logam harus memasuki sel
dengan melintasi membran. Dengan demikian, logam yang bersifat lipofilik misalnya
metil merkuri akan lebih bersifat toksik. Apabila suatu logam terikat pada suatu protein,
ikatan tersebut akan diserap secara endositosis. Logam juga dapat masuk ke dalam sel
melalui difusi pasif, misalnya timbal.
Berbagai metode untuk mengatasi keracunan ion Pb(II) telah dikembangkan
antara lain dengan terapi timbal. Terapi timbal merupakan proses mengeluarkan
kelebihan logam timbal dari dalam tubuh. Metode ini dilakukan dengan pemberian
chelating agent. Senyawa yang lazim digunakan adalah golongan non sulfur antara lain
ethylenediamintetraacetat (EDTA), triethylenetetramine, dan deferoxamine. Sementara
itu, penghilangan logam secara kimia dapat dilakukan dengan pemberian air teh hijau.
Hal tersebut dilakukan karena air teh hijau banyak mengandung tanin, atau zatzat
antidotum yang paling tinggi. Antidotum adalah penawar racun dari zat-zat toksik
dalam tubuh. Komposisi kandungan zat kimia dalam tanin antara lain adalah katekin,
epikatekin, epikatekin galat, epigalo katekin, epigalo katekin galat, dan galokatekin.
Karena kandungan taninnya yang cukup tinggi inilah, air teh hijau banyak digunakan
sebagai penawar racun atau antidotum, asam galat yang merupakan komponen dari
tanin dapat membentuk kompleks dengan logam Fe. Pada penelitian sebelumnya juga
telah dilaporkan bahwa tanin dapat membentuk kompleks dengan logam Cu. Sedangkan
penelitian tanin sebagai antidotum yang membentuk kompleks dengan logam Pb belum
dilaporkan, sehingga mendorong untuk dilakukannya penelitian tersebut.
1.3 Hipotesis
1. Pemberian timbal (Pb) per oral berpengaruh terhadap gambaran histopatologi hepar
tikus putih
2. Ada tidaknya pengaruh pemberian PbSO4 (Timbal (II) Sulfat) per oral terhadap
gambaran histopatologi hepar tikus putih
3. Adanya degenerasi dan nekrosis pada hepar tikus putih setelah pemberian timbal
(Pb) per oral
4. Diduga senyawa yang paling ampuh untuk mengatasi keracunan logam berat yaitu
senayawa tanin dimana sifat tanin itu sendiri yaitu membentuk asam galat yang tidak
larut pada keracunan alkaloid dan membentuk khelat pada kasus keracunan logam
berat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Logam berat dalam perairan dapat terakumulasi pada padatan di dalam perairan
seperti sedimen. Pada umumnya logam berat yang terakumulasi di dalam sedimen tidak
berbahaya, namun adanya pengaruh kondisi kimia akuatik seperti perubahan pH dapat
menyebabkan logam barat yang terakumulasi pada sedimen terionisasi ke perairan. Hal ini
menjadikan logam-logam berat bersifat racun bagi kehidupan perairan.
Pencemaran logam berat dapat merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas
dan keanekaragaman ekosistem. Dari aspek ekologis, kerusakan ekosistem perairan akibat
pencemaran logam berat dipengaruhi oleh kadar dan sumber zat pencemar yang masuk
dalam perairan, sifat toksisitas, dan bioakumulasi. Pencemaran logam berat dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan sistem perairan laut.
Pencemaran logam berat terhadap lingkungan terjadi karena adanya penggunaan
logam tersebut dalam kegiatan manusia, sehingga menghasilkan limbah yang mencemari
lingkungan. Daya toksisitas logam berat terhadap makhluk hidup sangat bergantung pada
spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan (detoksikasi) dan kemampuan individu
untuk menghindarkan diri dari pengaruh polusi. Toksisitas pada spesies biota dibedakan
menurut kriteria dari biota air dan biota darat, sedangkan toksisitas menurut lokasi dibagi
menurut kondisi tempat hidup, yaitu daerah pencemaran berat, sedang, dan daerah
nonpolus.
Logam merupakan kelompok toksikan yang dapat berubah-ubah akibat pengaruh
fisikokimia, biologis, atau akibat aktivitas manusia. Logam memperlihatkan rentang
toksisitas yang lebar. Kerja utama logam adalah menghambat enzim. Efek ini biasanya
timbul akibat interaksi antara logam dengan gugus SH pada enzim itu. Selain itu, logam
dapat menggangu fungsi enzim dengan menghambat sintesisnya. Umumnya efek toksik
logam merupakan akibat dari reaksi antara logam dan komponen intrasel. Untuk dapat
menimbulkan efek toksiknya pada suatu sel, logam harus memasuki sel dengan melintasi
membran. Dengan demikian, logam yang bersifat lipofilik misalnya metil merkuri akan
lebih bersifat toksik. Apabila suatu logam terikat pada suatu protein, ikatan tersebut akan
diserap secara endositosis. Logam juga dapat masuk ke dalam sel melalui difusi pasif,
misalnya timbal.
Logam berat tidak mengalami metabolism, tetap berada dalam tubuh dan
menyebabkan efek toksik dengan cara bergabung dengan suatu atau beberapa gugus ligan
yang esensial bagi fungsi fisiologis normal. Ligan adalah suatu molekul yang mengikat
molekul lain yang umumnya lebih besar. Ligan member atau menerima electron untuk
membentuk ikatan kovalen, biasanya dengan logam. Antagonis logam berat, suatu kelator
(chelating agent) khusus dirancang untuk berkompetisi dengan ligan terhadap logam berat,
sehingga meningkatkan ekskrsi logam dan mencegah atau menghilangkan efek toksiknya.
Logam berat biasa bereaksi membentuk ikatan koordinat dengan ligan dalam tubuh
berbentuk –OH, -COO-, -OPO3H-, -C=O, -SH, -S-S-, NH2 dan =NH.
Logam merupakan kelompok toksikan yang unik, ditemukan dan menetap di alam,
tetapi bentuk kimianya dapat berubah akibat pengaruh fisikokimia, biologis, atau aktivitas
manusia (Lu 2006). Manusia maupun hewan mempunyai peluang terpapar (exposed) logam
berat dari lingkungan. Dalam lingkungan yang kadar logam beratnya tinggi, kontaminasi
dalam air dan makanan dapat menyebabkan keracunan logam berat. Peralatan dan tempat
pakan yang mengandung logam berat juga dapat menyebabkan akumulasi logam berat
dalam tubuh hewan. Logam berat tidak mengalami metabolisme, tetapi tetap berada dalam
tubuh dan menyebabkan efek toksik dengan bergabung dengan suatu atau beberapa gugus
ligan yang esensial bagi fungsi fisiologis normal. Logam merupakan kelompok toksikan
yang dapat berubah-ubah akibat pengaruh fisikokimia, biologis, atau akibat aktivitas
manusia.
BAB III
METODE KERJA
Antidota barium
1. Ditambahkan larutan natrium sulfat 2% kedalam barium klorida 10%
2. Dicampurkan dan ditambahkan HCl 0,1 N
4.2 Reaksi
4.3 Pembahasan
Percobaan kali ini yaitu mengenai keracunan logam berat atau antidota. Dan
bertujuan untuk mempelajari gejala dan penanganan keracunan logam berat,
mempelajari daya kerja antidota tersebut, dan untuk memahami cara kerja dari
antidota logam-logam berat tertentu.
Antagonis logam berat, suatu kelator yang dirancang sebagai kompetitor
bagi ligan terhadap logam berat, dapat meningkatkan ekskresi dan efek toksik
logam berat. Antagonis tersebut membentuk kompleks dengan logam berat,
mencegah atau menggeser ikatan logam dengan ligan tubuh. Hasil reaksinya berupa
cincin heterosiklik, dan yang berbentuk segi lima atau segi enam merupakan cincin
kelat yang paling stabil. Stabilitas kelat tergantung sifat kimia golongan ligan.
Timbal dan merkuri memiliki afinitas yang lebih besar terhadap ligan yang
mengandung sulfur dari pada ligan yang mengandung oksigen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu kelator untuk
pengobatan keracunan logam berat yaitu afinitas relatif kelator terhadap logam berat
dan logam esensial dalam tubuh, distribusi kelator dan logam dalam tubuh, serta
kemampuan kelator untuk mengeluarkan logam dari dalam tubuh.
Di samping itu, sifat-sifat kelator yang ideal diantaranya (1) larut dalam air;
(2) resisten terhadap biotransformasi; (3) mampu mencapai tempat penyimpanan
(depo) logam; (4) kelat yang terbentuk mudah diekskresi; (5) harus aktif pada pH
cairan tubuh. Pada mekanisme kercunan logam berat yaitu memblokir atau
menghalangi kerja gugus fungsi biomolekul yang esensial untuk proses biologi,
seperti protein dan enzim.
Menggantikan ion-ion logam esensial yang terdapat dalam molekul terkait.
Mengadakan modifikasi atau perubahan bnetuk gugus aktif yang dimiliki oleh
biomolekul. Antidotum adalah penawar racun yang lebih difokuskan terhadap over
dosis atau dosis toksik dari suatu obat. Mekanisme kerja antidotum yaitu
membentuk senyawa kompleks dengan racun (dimerkoprol, EDTA, penisilamin,
dikobaledetat, pralisoksin). Mempercepat detoksifikasi racun (natrium tiosulfat),
berkompetisi dengan racun dalam interaksi dengan rseptor (oksigen, nalokson),
memblokade reseptor esensial (antropin), efek antidot melampaui efek racun
(oksigen, glukagon).
Secara umum gejala keracunan timbal terlihat pada system pencernaan
berupa muntah – muntah, nyeri kolik abdomen, rasa logam dan garis biru pada gusi,
konstipasi kronis. Pada sistem syaraf pusat berupa kelumpuhan ( wrist drop, foot
drop, biasanya terdapat pada pria dewasa). Sistem sensoris hanya sedikit mengalami
gangguan, sedangkan ensefalopati sering ditemukan pada anak-anak. Gejala
keracunan ini pada sistem jantung dan peredaran darah berupa anemia, basofilia
pungtata, retikulosis, berkurangnya trombosit dan sel polimorfonuklear, hipertensi
dan nefritis, artralgia ( rasa nyeri pada sendi ). Gejala pada bagian kandungan dan
kebidanan berupa gangguan menstruasi, bahkan dapat terjadi abortus. Diagnosis
dapat dilakukan melalui pemeriksaan urine (jumlah koproporfirin III meningkat ).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling dianjurkan sebagai
screening test pada keracunan timbal. Kadar timbal dalam urin juga bisa membantu
menegakkan diagnosis, ketika kadarnya diatas 0,2 mikrog ram /liter, dianggap
sudah cukup bermakna untuk diagnosis keracunan timbal. Pemeriksaan sinar-x pada
anak-anak untuk melihat garis yang radio-opak pada metafisis tulangtulang panjang
bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis keracunan timbal.
Terdapat perbedaan antara mekanisme kercacunan pestisida dan keracunan
logam berat, pada keracunan pestisida enzim akan dihambat, yang mengakibatkan
jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan
nikotinik pada system syaraf pusat dan perifer. Sedangkan pada mekanisme
keracunan logam berat akan memblokir atau menghalangi kerja gugus fungsi
biomolekul, kemudian modifikasi atau perubahan bentuk gugus aktif yang dimiliki
oleh biomolekul.
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini yang termasuk kedalam
antidota adalah teh, yang termasuk kedalam garam adalah BaCl, HCl,
NaCl,BaSO4,Na2SO4, Na2S2O3. Dan bahan yang termasuk timbal adalah PbSO4
dan AgNO3.
BAB V
KESIMPULAN
Casarett & Doull’s. 2001. Toxicology the Basic Science of Poissons. New York:
McGraww- Hill Medical Publishing Division.
Chadha. 1995. Timbal Ilmu Forensik dan Toksikologi Edisi 5. Jakarta : Widya Medika
Ganiswara
Gayer, RA. 1986. Toxic Effects of Metal. In C.D.Klaasen, M.O.Amdur, and J.Doul. (Eds).
Toxicology the Basic Science of Poisons.3rd ed. New York: Mac Millan Publishing
Co.
Tiwari, Radhey Mohan dan Malini Sinha. 2010. Veterinary Toxicology. Oxford Book
Company; Jaipur, India.