Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II

“KERACUNAN PESTISIDA”

Nama Penyusun : Dwi Rahayu Suciati 066118034

Kelompok :3

Nama Kelompok : Ayu Sindini 066118001


Hadi Apriansyah 066118015
Resti Aryonah H 066118022

Dosen Pengampu : 1. Nina Herlina, M.,Si


2. Ir. E. Mulyati Effendi, MS

Asisten Dosen : Yohana Yulistianita S

LABORATORIUM FARMASI

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PAKUAN

BOGOR

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan

1. Mempelajari gejala dan penanganan keracunan pestisida


2. Mempelajari daya kerja antidota tersebut

1.2 Latar Belakang

Pestisida (Inggris : pesticide) berasal dari kata pest yang berarti hama dan cide
yang berarti mematikan/racun. Jadi pestisida adalah racun hama. Secara umum pestisida
dapat didefinisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad
yang dianggap sebagai pest (hama) yang secara langsung maupun tidk langsung
merugikan kepentingan mahluk hidup. Pestisida sangat berbahaya bagi mahluk hidup,
bahkan bisa menyebabkan kematian. Padahal bagi petani, hampir menjadi santapan
keseharian, terutama saat budidaya tanaman yang membutuhkan perawatan intensif.
Pestisida bisa masuk melalui kulit, saluran pernafasan bahkan tertelan melalui mulut.
Kecerobohan pada saat penyemptotan menyebabkan tubuh mengalami keracunan.

Pestisida yang merupakan salah satu hasil teknologi modern telah terbukti
mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan produksi pertanian. Kenyataan
membuktikan bahwa di beberapa Negara yang sedang berkembang, produksi pertanian
meningkat tinggi setelah aplikasi pestisida. Penggunaan bahan-bahan beracun itu pada
awalnya dianggap sebagai cara yang ampuh untuk mematikan unsur-unsur pengganggu
tanaman pertanian, kemudian penyebaran racun ke tanaman pangan justru
menimbulkan masalah baru yang lebih berat.

Resiko bagi pengguna adalah kontak langsung terhadap pestisida, yang dapat
mengakibatkan keracunan, baik akut maupun kronis. Keracunan akut dapat
menimbulkan gejala sakit kepala, mual muntah dan sebagainya, bahkan beberapa
pestisida dapat menimbulkan iritasi kulit dan kebutaan. Keracunan kronis tidak selalu
mudah diprediksi dan dideteksi karena efeknya tidak segera dirasakan, walaupun
akhirnya juga menimbulkan gangguan. Selama ini, penggunaan pestisida oleh petani
bukan atas dasarkeperluan pengendalian secara indikatif, namun dilaksanakan secara
“Cover Blanket System” artinya ada atau tidak ada hama tanaman, racun berbahaya ini
terus disemprotkan ke tanaman, teknik penyemprotan yang kadang melawan arah
angina menyebabkan petani memiliki kedudukan ganda yang dikenal sebagai pelaku
dan penderita keracunan pestisida. Sebagai pelaku karena system penggunaan yang
tidak tepat sasaran, sehingga dapat menimbulkan bahaya terhadap orang lain. Sebagai
penderita, petani akan mengalami ancaman keracunan akibat pekerjaannya.

1.3 Hipotesis

1. Gejala yang ditimbulkan oleh keracunan pestisida adalah berupa gangguan motorik
kejang, getar, dll
2. Diduga pemberian atropin sulfat sebelum diracuni dengan Baygon lebih baik jika
dibandingkan dengan pemberian Baygon secara langsung
3. Terdapat dampak penggunaan pestisida pada tikus putih terhadap keracunan
4. Terdapat pengaruh konsentrasi pestisida terhadap mortalitas dan penghambatan
makan tikus putih
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pestisida adalah substansi kimia ang digunakan untuk membunuh atau


mengendalikan beberapa hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa
inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Yang dimaksud hama bagi petni
sangat luas yaitu: tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh
fungi (jamur), bakteri dan virus, nematode (cacing yang meruskak akar), siput, tikus,
burung, dan hewan lain ang dianggap merugikan. Kelompok pestisida antara lain
insektisida, herbisida, dan rodentisida dan golongan lainnya yang tidak begitu banyak
menimbulkan keracunan.(WHO,1982).

Insektisida yang paling sering menyebabkan keracunan dibandingkan dengan


pestisida lainnya, terbagi dalam tiga kelompok, yaitu senyawa klororganik (organoklorin),
organofosfat dan karbamat.

Senyawa organofosfat, insektisida ini merupakan ester asam fosfat atau asam
tiofosfat. Pestisida ini umumna merupakan racun pembasmi serangga yang paling toksik
secara akut terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan, burung, cicak dan mamalia.
Pestisida ini mempunyai efek memblokade penyaluran impuls syaraf dengan cara mengikat
enzim asetilkolinesterase. Keracunan kronis pestisida golongan organofosfat berpotensi
karsinogenik. (Gallo, 1991).

Senyawa organoklorin merupakan insektisida chlorinated hydrocarbon secara


kimiawi tergolong insektisida yang relative stabil dan kurang reaktif, ditandai dengan
dampak residunya yang lama terurai dilingkungan. Salah sat insektisida organoklorin yang
terkenal adalah DDT. Pestisida ini telah menimbulkan banyak perdebatan. Kelompok
organoklorin merupakan racun terhadap susunan syaraf baik pada serangga maupun
mamalia. Keracunan dapat bersifat akut atau kronis. Keracunan kronis bersifat karsinogenik
(kanker). (Darmansyah, 1987).
Kelompok karbamat merupakan ester asam N-metilkarbamat. Bekerja menghambat
asetilkolinesterase. Tetapi pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak berlangsung lama,
karena prosesnya cepat reversible. Pada umumnya pestisida kelompok ini dapat bertahan
dalam tubuh antara 1-24jam sehingga cepat diekskresikan. (Hayes, 1991).
BAB III

METODE KERJA

3.1 Alat Dan Bahan

3.1.1 Alat

1. Alat pencukur

2. Kapas atau tisu

3. Pipet tetes

4. Spuit

5. Stopwatch

6. Tabung reaksi

3.1.2 Bahan

1. Alkohol

2. Atropin Sulfat 0,1%

3. Sediaan insektisida komersial yang mengandung tetraetilpiroposfat (TEPP): Baygon

4. Tikus putih

3.2 Cara Kerja

 Data Biologis :

1. Lakukan pengamatan data biologis pada hewan coba dan timbang hewan coba

2. Hitung dosis atropin sulfat 0,1% dosis 1 Mg/Kg BB I.P


 Percobaan :

 Tidak diberikan atropin sulfat 0,1%

1. Cukur bulu tikus di daerah punggung

2. Oleskan TEPP pada tikus dengan kapas/tisu

3. Amati waktu mulai timbulnya gejala keracunan

4. Amati gejala keracunan

5. Catat waktu kematian tikus bila ada

6. Bila pada pengolesan pertama gejala belum terlihat dilakukan pengulangan


pengolesan setiap 10 menit sampai gejala muncul

 Diberikan atropin sulfat 0,1%

1. Suntikan atropin sulfat 0,1% dosis 1 Mg/Kg BB I.P

2. Cukur bulu tikus di daerah punggung

3. Lakukan pengolesan TEPP pasa tikus dengan kapas 15 menit setelah pemberian
atropin sulfat

4. Pengamatan dilakukan seperti pada tikus yang pertama mulai dari percobaan
3.A
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan


Data Biologis Hewan
Pengamatan Sebelum Percobaan Sesudah Percobaan
Berat Badan 230 gram 230 gram
Frekuensi Jantung 120 132
Laju Napas 80 92
Tonus Otot +++ +++
Refleks +++ +++
Kesadaran +++ ++
Rasa Nyeri +++ ++
Gejala Lain Urinasi Urinasi Defekasi

Data Kelas

Tanpa Atropin Sulfat Dengan Atropin Sulfat


Kelompok 1 : Kelompok 2 :
1 : gatal-gatal, grooming 6 : Lemas
11 : Grooming, urinasi
26 : Garuk-garuk
Kelompok 3 : Kelompok 4 :
2 : gatal, grooming, bergetar 8 : garuk-garuk, grooming
23 : kejang, garuk-garuk, grooming
Kelompok 5 Kelompok 6 :
2 : grooming 10 : grooming, garuk-garuk
5 : gatal-gatal, gemetar, mengendus, kulit
berwarna hijau
Kelompok 7 : Kelompok 8 :
3: Gatal-gatal 6 : diam, lemas
6 : kaki mengangkat
Kelompok 9 :
1 : garuk-garuk
4 : garuk-garuk, bersin
7 : garuk-garuk, berdiri, grooming

4.2 Perhitungan
Atropin sulfat 0,1% dosis 1mg/kg ~ 0,001 gram/kg
Bobot mencit yaitu 230 gram
 Perhitungan Dosis

= =

= =

X=

X = 0,00023

 Volume Penyuntikan

= =

= =

Y=

Y = 0,23 mL
4.3 Pembahasan

Percobaan kali ini yaitu mengenai keracunan pestisida. Dan bertujuan untuk
mempelajari gejala dan penanganan keracunan pestisida. Penggunaan pestisida sintesis
selalu meningkat dan penggunaan pestisida campuran juga sangat banyak ditemukan di
areal pertanian. Berdasarkan toksisitas dan golongan, pestisida organik sinterik dapat
digolongkan menjadi tiga yaitu; organofosfat, karbamat, dan organoklorin.

Mekanisme keracunan pestisida yaitu pestisida dapat masuk ke dalam tubuh


melalui kulit (dermal), pernafasan (inhalasi) atau mulut (oral). Pestisida akan segera
diabsorpsi jika kontak melalui kulit atau mata. Absorpsi ini akan terus berlangsung
selama pestisida masih ada pada kulit. Kecepatan absorpsi berbeda pada tiap bagian
tubuh. Perpindahan residu pestisida dan suatu bagian tubuh ke bagian lain sangat
mudah. Jika hal ini terjadi maka akan menambah potensi keracunan. Residu dapat
pindah dari tangan ke dahi yang berkeringat atau daerah genital. Pada daerah ini
kecepatan absorpsi sangat tinggi sehingga dapat lebih berbahaya dari pada tertelan.
Paparan melalui oral dapat berakibat serius, luka berat atau bahkan kematian jika
tertelan. Pestisida dapat tertelan karena kecelakaan, kelalaian atau dengan sengaja.

Insektisida organoklorin bekerja dengan merangsang sistem syaraf dan


menyebabkan paratesia, peka terhadap rangsangan, iritabilitas, terganggunya
keseimbangan, tremor dan kejangkejang. Cara kerja zat ini tidak diketahui secara tepat.
Beberapa zat kimia ini bekerja pada sistem syaraf.

Pestisida golongan organofosfat dan karbamat memiliki aktivitas


antikolinesterase seperti halnya fisostigmin, neostigmin, piridostigmin, distigmin, ester
asam fosfat, ester tiofosfat dan karbamat.1 ' 6> 7 Cara kerja semua jenis pestisida
organofosfat dan karbamat sama yaitu menghambat penyaluran impuls saraf dengan
cara mengikat kolinesterase, sehingga tidak terjadi hidrolisis asetilkolin.
Mekanisme kerja antidota sebagai penawar racun ada beberapa cara diantaranya
sebagai berikut:

1. Mengurangi kadar racun aktif

Penurunan tingkat racun dapat dicapai dengan mengikat racun tersebut.


Pengikatan ini bisa bersifat spesifik atau tidak spesifik. Pengikatan spesifik terjadi
dalam berbagai bentuk.

Beberapa contoh kasus dengan pengikatan spesifik adalah pengkelatan logam


saat keracunan logam berat, penggunaan DigiFab saat mengalami overdosis dioksin,
penggunaan hydroxycobalamin saat keracunan sianida, dan penggunaan human butyryl
cholinesterase, yaitu sejenis enzim, untuk keracunan organofostat (zat yang biasa
dipakai dalam pestisida).Pada pengikatan spesifik, antidote bisa membentuk senyawa
inert yang kemudian dapat dibuang dari tubuh. Di sisi lain, pengikatan non-spesifik
umumnya menggunakan karbon aktif di mana zat ini dapat membantu penggumpalan
zat-zat beracun dan mengurangi efek racun saat akan dicerna oleh usus.

2. Mengikat racun

Cara kerja ini dapat berlangsung di level enzim atau level reseptor. Pada level
enzim, antidote dapat menghalangi atau mengaktifkan kembali kerja enzim tertentu.
Contohnya penggunaan etil alkohol pada keracunan etilen glikol. Keberadaan antidote
tersebut bersaing dengan zat racun sehingga mengurangi efek racun, terutama saat
keracunan baru terjadi.Sedangkan pada reseptor, antidote yang biasa digunakan adalah
flumazenil dan naloxone. Flumazenil umum digunakan pada keracunan akibat
benzodiazepine yang bisa mengganggu sistem saraf pusat. Naloxone umum digunakan
pada keracunan opiod, sejenis obat pereda nyeri.
3. Mengurangi metabolit racun

Metabolit adalah hasil metabolisme. Seiring berjalannya waktu, racun bisa saja
sudah dimetabolisme atau diiolah oleh tubuh. Pada saat ini, antidote tetap dapat
diberikan. Antidote dapat digunakan untuk membersihkan hasil metabolisme dari racun
tersebut atau mengubah hasil itu menjadi bentuk yang lebih aman bagi tubuh.Contoh
kasusnya adalah penggunaan N-Acetyl cysteine (NAC) untuk keracunan paracetamol.
NAC adalah mengembalikan simpanan zat tertentu pada hati sehingga berpotensi
mencegah terjadinya penyakit hati akibat keracunan paracetamol.

4. Menangkal efek berbahaya dari racun

Di sisni, antidote dapat dilakukan dengan mengurangi efek racun atau dengan
melawan langsung cara kerja racun tersebut. Contoh mengurangi dampak racun adalah
penggunaan atropine dalam keracunan organofosfat. Sedangkah contoh melawan cara
kerja racun adalah pada penggunaan beberapa jenis vitamin, seperti vitamin K pada
overdosis warfarin.

Terdapat perbedaan antara mekanisme kercacunan pestisida dan keracunan


logam berat, pada keracunan pestisida enzim akan dihambat, yang mengakibatkan
jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik
pada system syaraf pusat dan perifer. Sedangkan pada mekanisme keracunan logam
berat akan memblokir atau menghalangi kerja gugus fungsi biomolekul, kemudian
modifikasi atau perubahan bentuk gugus aktif yang dimiliki oleh biomolekul.

Gejala yang dapat ditimbulkan oleh keracunan pestisida pada manusia. Pada
keracunan pestisida, individu yang terpapar oleh pestisida bisa mengalami batuk yng
tidak juga sembuh atau merasa sesak di dada, ini merupakan menifestasi gejala
penyakit bronkitis, asma, atau penyakit paru-paru. Gejala umum dari keracunan
pestisida ini seperti muntah-muntah, diare dan sakit perut. Ketika lambung dan usus
terpapar pestisida akan menunjukan respon mulai dari yang sederhana seperti iritasi,
rasa panas, mual, muntah hingga respon fatal yang dapat menyebabkan kematian
seperti perforasi, pendarahan, dan kronis lambung.

Pada hewan coba yang diberikan atropine sulfat mengalami gejala yang timbul
lebih lama dibandingkan hewan coba yang tidak diberikan atropine sulfat.

Atropine adalah obat golongan antimuskarinik ang digunakan untuk


mengurangi motilitas usus. Atropine digunakan untuk mengatasi denyut jantung yang
menurun, gejala keracunan pestisida dan untuk prosedur praoperatif. Atropin
digunakan untuk mengatasi kontraksi atau kejang otot pada perut, kandung kemih,
usus, dan saluran empedu. Obat ini juga digunakan untuk
mengatasi kolitis, divertikulitis, irritable bowel syndrome, mengurangi produksi cairan
tubuh seperti asam lambung, mengurangi produksi air liur dan keringat berlebih,
stabilisasi denyut jantung selama proses operasi, dan digunakan untuk mengobati
keracunan pestisida golongan organofosfat.

Atropine adalah antagonis kompetitif untuk reseptor asetilkolin muskarinik M1,


M2, M3, M4 dan M5, yang akan menyebabkan inhibisi parasimpatis reseptor
asetilkolin di otot polos. Hal ini akan meningkatkan curah jantung dan memberikan
efek antimuskarinik. Sebagai antagonis asetilkolin nonselektif, atropine meningkatkan
aktivitas nodus sinoatrial (NSA) dan konduksi nodus atrioventrikular (NAV) jantung,
bekerja berlawanan dengan aksi saraf vagus, memblokir tempat reseptor asetilkolin,
dan menurunkan sekresi bronkus paru. Efek konstriksi pupilnya tergantung dari
aktivitas reseptor kolin. Atropine menghalangi aktivitas ini sehingga menyebabkan
midrasis (pelebaran pupil mata) dan aktivitas dilasi simpatis, melemahkan kontraksi
otot siliaris, dan menyebabkan sikloplegia (paralisis otot siliaris).

Fase-fase keracunan terbagi atas 3 fase yaitu fase eksposisi, fase toksikokinetik
dan fase toksikodinamik.
1. Fase Eksposisi (Farmaseutika)

Jika suatu objek biologis berkontak dengan sesuatu zat, maka kecuali zat
radioaktif, hanya dapat terjadi efek biologi atau toksik setelah absorpsi zat tersebut.
Pada umumnya hanya bagian zat yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi
secara molekul, yang dapat diabsorpsi. Penyerapan zat dalam hal ini sangat
tergantung pada konsentrasi dan jangka waktu kontak antara zat yang terdapat
dalam bentuk yang dapat diabsorpsi dengan permukaan organisme yang
berkemampuan untuk mengabsorpsi zat. Pada obat disebut farmaseutik yaitu bagian
dari dosis zat aktif yang tersedia untuk diabsorpsi. Pada pencemaran lingkungan
disebut dosis efektif, yaitu bagian dosis yang dapat diabsorpsi yang akan
menentukan derajat eksposisi yang efektif.

Selama fase eksposisi, zat beracun dapat diubah melalui reaksi kimia
menjadi senyawa yang lebih toksik atau lebih kurang toksik dari senyawa awal.
Ketersediaan farmaseutik yaitu bagian dari dosis aktif yang tersedia untuk absorpsi.

2. Fase Toksikokinetik (Farmakokinetik)


Hanya sebagian dari jumlah zat yang diabsorpsi mencapai tempat kerjanya
yang sebenarnya, yaitu jaringan yang sesuai dan reseptor, lokasi kerjanya ditingkat
molekul. Fase toksokinetik, bersama bagian prosesnya, yaitu invasi (absorpsi dan
distribusi) dan evasi (biotransformasi dan ekskresi) sangat turut menentukan daya
kerja zat, karena konsentrasi zat dalam berbagai kompartemen organisasi dan dalam
jaringan sasaran tergantung pada parameter toksokinetik.
Ada dua jenis proses yang memainkan peranan penting pada fase toksokinetik:

1. Proses transpor, yang meliputi absorpsi, distribusi (termasuk transpor dan fiksasi
pada komponen jaringan dalam organ) dan ekskresi.

2. Perubahan metabolik –disebut juga biotransformasi- yang sering menyebabkan


ketidakaktifan zat yang diserap (bioaktivasi). Namun perubahan biokimia dalam
organisme dapat mengakibatkan juga pembentukan senyawa aktif dan
mengakibatkan bioaktivasi.

Jangka waktu zat asing berada dalam organisme ditentukan oleh dua hal, yaitu:
(1) suatu eksposisi selama periode yang lama meningkatkan risiko kerusakan dan
karena itu terjadi efek toksik; (2) suatu perpanjangan penahanan (retensi) zat dalam
organisme bersama-sama dengan eksposisi ulang dapat menimbulkan kumulasi. Ukuran
untuk waktu suatu zat berada dalam organisme disebut waktu paruh biologi, yaitu
waktu yang diperlukan sampai konsentrasi zat tertentu menjadi setengah dari harga
asalnya.

3. Fase Toksikodinamik (Farmakodinamik)

Fase toksodinamik meliputi interaksi antara molekul zat racun dan tempat kerja
spesifik yaitu reseptor. Harus dibedakan antara proses untuk pelepasan suatu rangsang
pada organ sasaran tempat tokson menyerang dan proses pelepasan rangsang sampai
terjadinya suatu efek di tempat kerja, tempat efek terjadi atau diamati. Efek tersebut
adalah hasil sederetan proses yaitu proses kimia biasa yang tercapai melalui rangsang
dan tidak lagi tergantung pada sifat khas rangsang yang diimbas obat. Jadi pada kondisi
tetap, stimulus yang sama, tidak tergantung pada senyawa mana penyebab stimulus,
akan menyebabkan efek yang tetap. Organ sasaran dan tempat kerja tidak perlu sama.

Konsentrasi zat aktif pada tempat sasaran menentukan kekuatan efek biologi
yang dihasilkan. Jika konsentrasi zat aktif pada jaringan tertentu tinggi, maka berarti
dengan sendirinya berlaku sebagai tempat sasaran yang sebenarnya, tempat zat bekerja.
Pada umumnya ditemukan konsentrasi zat aktif yang tinggi dalam hati dan ginjal,
karena di sini zat itu dimetabolisme dan diekskresi.
BAB IV

KESIMPULAN

Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa :

 Pestisida dapat didefinisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan


populasi jasad yang dianggap sebagai pest (hama) yang secara langsung maupun tidk
langsung merugikan kepentingan mahluk hidup.
 Gejala paling parah akibat keracunan pestisida adalah bisa menyebabkan kematian.
 Atropine sulfat yang digunakan berfungsi untuk mengatasi keracunan pestisida
golongan organofosfat.
DAFTAR PUSTAKA

Darmansyah I, Gan Sulistia. 1987. Kolinergik dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 3.
Farmakologi FKUI, Jakarta.

Food and Agricultural Organization of the United Nation. 1986. International Code of
Conduct on the Distribution and use of Pesticide. Rome

Gallo M.A, Lawry N.J. 1991. Organic Phosphorus Pesticides. Handbook of Pesticide
Toxicology. Vol II. 921-951.

Hayes Jr, Wayland J. 1991. Dosage and Other Factors Influencing Toxicity. Handbook of
Pesticide Toxicology. (I) 39-96.

Lu F.C., Toksikologi Dasar, ed. 2, UI Press, Jakarta. 1995, 328-33.

Michael CR, Alavanja, Jane A Hoppin, Freya Kamel. 2004. Health Effect of Chronic
Pesticide Exposure. Annual Review of Public Health Vol.25. 155-197.

WHO, 1986. Organophosphrus Insecticides: A General Introduction Environmental Health


Criteria, 63. WHO Geneva Rahayu C.M. 1982. Efek Pestisida Organofosfat terhadap
Penurunan Aktivitas Kolinesterase. Thesis FKM-UI, Jakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II

“LOGAM BERAT”

Nama Penyusun : Dwi Rahayu Suciati 066118034

Kelompok :3

Nama Kelompok : Ayu Sindini 066118001


Hadi Apriansyah 066118015
Resti Aryonah H 066118022

Dosen Pengampu : 1. Nina Herlina, M.,Si


2. Ir. E. Mulyati Effendi, MS

Asisten Dosen : Yohana Yulistianita S

LABORATORIUM FARMASI

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PAKUAN

BOGOR

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan

1. Mempelajari gejala dan penanganan keracunan logam berat tertentu.


2. Memahami cara kerja dari antidota logam-logam berat tertentu.

1.2 Latar Belakang

Logam berat ialah benda padat atau cair yang mempunyai berat 5 gram atau
lebih untuk setiap cm3, sedangkan logam yang beratnya kurang dari 5g adalah logam
ringan. Dalam tubuh mahluk hidup logam berat termasuk dalam mineral “trace” tau
mineral yang jumlahnya sangat sedikit. Beberapa mineral trace adalah esensiil karena
digunakan untuk aktivitas kerja system enzim misalnya seng (Zn), tembaga (Cu), besi
(Fe), dan beberapa unsur lainnya seperti kobalt (Co), mangan (Mn) dan beberapa
lainnya. Beberap logam berat bersifat non-esensiil dan bersifat toksik terhadap mahluk
hidup misalnya : merkuri (Hg), cadmium (Cd) dan timbal (Pb).
Logam merupakan kelompok toksikan yang dapat berubah-ubah akibat
pengaruh fisikokimia, biologis, atau akibat aktivitas manusia. Logam memperlihatkan
rentang toksisitas yang lebar. Kerja utama logam adalah menghambat enzim. Efek ini
biasanya timbul akibat interaksi antara logam dengan gugus SH pada enzim itu. Selain
itu, logam dapat menggangu fungsi enzim dengan menghambat sintesisnya. Umumnya
efek toksik logam merupakan akibat dari reaksi antara logam dan komponen intrasel.
Untuk dapat menimbulkan efek toksiknya pada suatu sel, logam harus memasuki sel
dengan melintasi membran. Dengan demikian, logam yang bersifat lipofilik misalnya
metil merkuri akan lebih bersifat toksik. Apabila suatu logam terikat pada suatu protein,
ikatan tersebut akan diserap secara endositosis. Logam juga dapat masuk ke dalam sel
melalui difusi pasif, misalnya timbal.
Berbagai metode untuk mengatasi keracunan ion Pb(II) telah dikembangkan
antara lain dengan terapi timbal. Terapi timbal merupakan proses mengeluarkan
kelebihan logam timbal dari dalam tubuh. Metode ini dilakukan dengan pemberian
chelating agent. Senyawa yang lazim digunakan adalah golongan non sulfur antara lain
ethylenediamintetraacetat (EDTA), triethylenetetramine, dan deferoxamine. Sementara
itu, penghilangan logam secara kimia dapat dilakukan dengan pemberian air teh hijau.
Hal tersebut dilakukan karena air teh hijau banyak mengandung tanin, atau zatzat
antidotum yang paling tinggi. Antidotum adalah penawar racun dari zat-zat toksik
dalam tubuh. Komposisi kandungan zat kimia dalam tanin antara lain adalah katekin,
epikatekin, epikatekin galat, epigalo katekin, epigalo katekin galat, dan galokatekin.
Karena kandungan taninnya yang cukup tinggi inilah, air teh hijau banyak digunakan
sebagai penawar racun atau antidotum, asam galat yang merupakan komponen dari
tanin dapat membentuk kompleks dengan logam Fe. Pada penelitian sebelumnya juga
telah dilaporkan bahwa tanin dapat membentuk kompleks dengan logam Cu. Sedangkan
penelitian tanin sebagai antidotum yang membentuk kompleks dengan logam Pb belum
dilaporkan, sehingga mendorong untuk dilakukannya penelitian tersebut.

1.3 Hipotesis

1. Pemberian timbal (Pb) per oral berpengaruh terhadap gambaran histopatologi hepar
tikus putih
2. Ada tidaknya pengaruh pemberian PbSO4 (Timbal (II) Sulfat) per oral terhadap
gambaran histopatologi hepar tikus putih
3. Adanya degenerasi dan nekrosis pada hepar tikus putih setelah pemberian timbal
(Pb) per oral
4. Diduga senyawa yang paling ampuh untuk mengatasi keracunan logam berat yaitu
senayawa tanin dimana sifat tanin itu sendiri yaitu membentuk asam galat yang tidak
larut pada keracunan alkaloid dan membentuk khelat pada kasus keracunan logam
berat
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Logam berat dalam perairan dapat terakumulasi pada padatan di dalam perairan
seperti sedimen. Pada umumnya logam berat yang terakumulasi di dalam sedimen tidak
berbahaya, namun adanya pengaruh kondisi kimia akuatik seperti perubahan pH dapat
menyebabkan logam barat yang terakumulasi pada sedimen terionisasi ke perairan. Hal ini
menjadikan logam-logam berat bersifat racun bagi kehidupan perairan.
Pencemaran logam berat dapat merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas
dan keanekaragaman ekosistem. Dari aspek ekologis, kerusakan ekosistem perairan akibat
pencemaran logam berat dipengaruhi oleh kadar dan sumber zat pencemar yang masuk
dalam perairan, sifat toksisitas, dan bioakumulasi. Pencemaran logam berat dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan sistem perairan laut.
Pencemaran logam berat terhadap lingkungan terjadi karena adanya penggunaan
logam tersebut dalam kegiatan manusia, sehingga menghasilkan limbah yang mencemari
lingkungan. Daya toksisitas logam berat terhadap makhluk hidup sangat bergantung pada
spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan (detoksikasi) dan kemampuan individu
untuk menghindarkan diri dari pengaruh polusi. Toksisitas pada spesies biota dibedakan
menurut kriteria dari biota air dan biota darat, sedangkan toksisitas menurut lokasi dibagi
menurut kondisi tempat hidup, yaitu daerah pencemaran berat, sedang, dan daerah
nonpolus.
Logam merupakan kelompok toksikan yang dapat berubah-ubah akibat pengaruh
fisikokimia, biologis, atau akibat aktivitas manusia. Logam memperlihatkan rentang
toksisitas yang lebar. Kerja utama logam adalah menghambat enzim. Efek ini biasanya
timbul akibat interaksi antara logam dengan gugus SH pada enzim itu. Selain itu, logam
dapat menggangu fungsi enzim dengan menghambat sintesisnya. Umumnya efek toksik
logam merupakan akibat dari reaksi antara logam dan komponen intrasel. Untuk dapat
menimbulkan efek toksiknya pada suatu sel, logam harus memasuki sel dengan melintasi
membran. Dengan demikian, logam yang bersifat lipofilik misalnya metil merkuri akan
lebih bersifat toksik. Apabila suatu logam terikat pada suatu protein, ikatan tersebut akan
diserap secara endositosis. Logam juga dapat masuk ke dalam sel melalui difusi pasif,
misalnya timbal.
Logam berat tidak mengalami metabolism, tetap berada dalam tubuh dan
menyebabkan efek toksik dengan cara bergabung dengan suatu atau beberapa gugus ligan
yang esensial bagi fungsi fisiologis normal. Ligan adalah suatu molekul yang mengikat
molekul lain yang umumnya lebih besar. Ligan member atau menerima electron untuk
membentuk ikatan kovalen, biasanya dengan logam. Antagonis logam berat, suatu kelator
(chelating agent) khusus dirancang untuk berkompetisi dengan ligan terhadap logam berat,
sehingga meningkatkan ekskrsi logam dan mencegah atau menghilangkan efek toksiknya.
Logam berat biasa bereaksi membentuk ikatan koordinat dengan ligan dalam tubuh
berbentuk –OH, -COO-, -OPO3H-, -C=O, -SH, -S-S-, NH2 dan =NH.
Logam merupakan kelompok toksikan yang unik, ditemukan dan menetap di alam,
tetapi bentuk kimianya dapat berubah akibat pengaruh fisikokimia, biologis, atau aktivitas
manusia (Lu 2006). Manusia maupun hewan mempunyai peluang terpapar (exposed) logam
berat dari lingkungan. Dalam lingkungan yang kadar logam beratnya tinggi, kontaminasi
dalam air dan makanan dapat menyebabkan keracunan logam berat. Peralatan dan tempat
pakan yang mengandung logam berat juga dapat menyebabkan akumulasi logam berat
dalam tubuh hewan. Logam berat tidak mengalami metabolisme, tetapi tetap berada dalam
tubuh dan menyebabkan efek toksik dengan bergabung dengan suatu atau beberapa gugus
ligan yang esensial bagi fungsi fisiologis normal. Logam merupakan kelompok toksikan
yang dapat berubah-ubah akibat pengaruh fisikokimia, biologis, atau akibat aktivitas
manusia.
BAB III

METODE KERJA

3.1 Alat Dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Kapas atau tisu
2. Pipet tetes
3. Tabung reaksi
3.1.2 Bahan
1. Alkohol
2. AgNO3 (Perak Nitrat)
3. BaCl2 (Barium Klorida)
4. BaSO4 (Barium Sulfat)
5. HCl (Asam Klorida)
6. NaCl (Natrium Klorida)
7. Na2S2O3 (Natrium Tiosulfat)
8. Na2SO4 (Natrium Sulfat)
9. PbSO4 (Timbal (II) Sulfat)
10. Teh

3.2 Cara Kerja


 Antidota Timah Hitam
1. Dimasukkan seduhan teh kental ke dalam larutan Pb asetat 10% bagi dua.
Sebagian ditambahkan alkohol sebagian lagi ditambah HCl encer. Diamati apa
yang terjadi
2. Pada tabung lain ditambahkan larutan natrium thiosulfat 2% kedalam larutan Pb
asetat 10%.
 Antidota perak
1. Dimasukkan 0,5 cc larutan NaCl 0,9% kedalam 0,5 cc larutan AgNO3 1%
2. Dimasukkan larutan thiosulfat kedalam 0,5 cc larutan AgNO3 1%
3. Disaring, kemudian masing – masing filtrat ditambahkan larutan NaCl 0,9%

 Antidota barium
1. Ditambahkan larutan natrium sulfat 2% kedalam barium klorida 10%
2. Dicampurkan dan ditambahkan HCl 0,1 N

 Keracunan Logam Berat / Antidota


1. Teh + PbSO4 + Alkohol
2. Teh + PbSO4 + HCl encer
3. Na2S2O3 + AgNO3
4. Na2S2O3 + BaSO4
5. Na2S2O3 + NaCl
6. Na2S2O4 + BaCl2
7. Na2S2O4 + BaCl2 + NaCl
8. NaCl + AgNO3
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan

No Bagan Kerja Hasil Hasil yang Ket


Didapat
Seharusnya +/-
1. Teh + PbSO4 + Alkohol Jernih ↓ Coklat -

2. Teh + PbSO4 + HCl Keruh Coklat -


encer
3. Na2S2O3 + AgNO3 ↓ Putih ↓ Putih +

4. Na2S2O3 + BaSO4 Putih Putih +

5. Na2S2O3 + NaCl Putih Putih +

6. Na2S2O4 + BaCl2 ↓ Putih ↓ Putih +

7. Na2S2O4 + BaCl2 + Lar. Coklat, Lar. Coklat, ↓ +


NaCl ↓
Hitam
Hitam
8. NaCl + AgNO3 Kristal Kristal +
Bening Bening

4.2 Reaksi

Na2S2O3 + AgNO3→ Na3(Ag(S2O3)2) + NaNO3

Na2S2O3 + BaSO4→ Na2SO4 + BaS2O3

Na2S2O3 + NaCl→ Na2Cl + NaS2O3

Na2SO4 + BaCl2→ Na2Cl2 +BaSO4

Na2SO4 + BaCl2 + NaCl→


NaCl + AgNO3→ NaNO3 + AgCl

4.3 Pembahasan

Percobaan kali ini yaitu mengenai keracunan logam berat atau antidota. Dan
bertujuan untuk mempelajari gejala dan penanganan keracunan logam berat,
mempelajari daya kerja antidota tersebut, dan untuk memahami cara kerja dari
antidota logam-logam berat tertentu.
Antagonis logam berat, suatu kelator yang dirancang sebagai kompetitor
bagi ligan terhadap logam berat, dapat meningkatkan ekskresi dan efek toksik
logam berat. Antagonis tersebut membentuk kompleks dengan logam berat,
mencegah atau menggeser ikatan logam dengan ligan tubuh. Hasil reaksinya berupa
cincin heterosiklik, dan yang berbentuk segi lima atau segi enam merupakan cincin
kelat yang paling stabil. Stabilitas kelat tergantung sifat kimia golongan ligan.
Timbal dan merkuri memiliki afinitas yang lebih besar terhadap ligan yang
mengandung sulfur dari pada ligan yang mengandung oksigen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu kelator untuk
pengobatan keracunan logam berat yaitu afinitas relatif kelator terhadap logam berat
dan logam esensial dalam tubuh, distribusi kelator dan logam dalam tubuh, serta
kemampuan kelator untuk mengeluarkan logam dari dalam tubuh.
Di samping itu, sifat-sifat kelator yang ideal diantaranya (1) larut dalam air;
(2) resisten terhadap biotransformasi; (3) mampu mencapai tempat penyimpanan
(depo) logam; (4) kelat yang terbentuk mudah diekskresi; (5) harus aktif pada pH
cairan tubuh. Pada mekanisme kercunan logam berat yaitu memblokir atau
menghalangi kerja gugus fungsi biomolekul yang esensial untuk proses biologi,
seperti protein dan enzim.
Menggantikan ion-ion logam esensial yang terdapat dalam molekul terkait.
Mengadakan modifikasi atau perubahan bnetuk gugus aktif yang dimiliki oleh
biomolekul. Antidotum adalah penawar racun yang lebih difokuskan terhadap over
dosis atau dosis toksik dari suatu obat. Mekanisme kerja antidotum yaitu
membentuk senyawa kompleks dengan racun (dimerkoprol, EDTA, penisilamin,
dikobaledetat, pralisoksin). Mempercepat detoksifikasi racun (natrium tiosulfat),
berkompetisi dengan racun dalam interaksi dengan rseptor (oksigen, nalokson),
memblokade reseptor esensial (antropin), efek antidot melampaui efek racun
(oksigen, glukagon).
Secara umum gejala keracunan timbal terlihat pada system pencernaan
berupa muntah – muntah, nyeri kolik abdomen, rasa logam dan garis biru pada gusi,
konstipasi kronis. Pada sistem syaraf pusat berupa kelumpuhan ( wrist drop, foot
drop, biasanya terdapat pada pria dewasa). Sistem sensoris hanya sedikit mengalami
gangguan, sedangkan ensefalopati sering ditemukan pada anak-anak. Gejala
keracunan ini pada sistem jantung dan peredaran darah berupa anemia, basofilia
pungtata, retikulosis, berkurangnya trombosit dan sel polimorfonuklear, hipertensi
dan nefritis, artralgia ( rasa nyeri pada sendi ). Gejala pada bagian kandungan dan
kebidanan berupa gangguan menstruasi, bahkan dapat terjadi abortus. Diagnosis
dapat dilakukan melalui pemeriksaan urine (jumlah koproporfirin III meningkat ).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling dianjurkan sebagai
screening test pada keracunan timbal. Kadar timbal dalam urin juga bisa membantu
menegakkan diagnosis, ketika kadarnya diatas 0,2 mikrog ram /liter, dianggap
sudah cukup bermakna untuk diagnosis keracunan timbal. Pemeriksaan sinar-x pada
anak-anak untuk melihat garis yang radio-opak pada metafisis tulangtulang panjang
bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis keracunan timbal.
Terdapat perbedaan antara mekanisme kercacunan pestisida dan keracunan
logam berat, pada keracunan pestisida enzim akan dihambat, yang mengakibatkan
jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan
nikotinik pada system syaraf pusat dan perifer. Sedangkan pada mekanisme
keracunan logam berat akan memblokir atau menghalangi kerja gugus fungsi
biomolekul, kemudian modifikasi atau perubahan bentuk gugus aktif yang dimiliki
oleh biomolekul.
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini yang termasuk kedalam
antidota adalah teh, yang termasuk kedalam garam adalah BaCl, HCl,
NaCl,BaSO4,Na2SO4, Na2S2O3. Dan bahan yang termasuk timbal adalah PbSO4
dan AgNO3.
BAB V

KESIMPULAN

Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa :

 Logam merupakan kelompok toksikan yang dapat berubah-ubah akibat pengaruh


fisikokimia, biologis, atau akibat aktivitas manusia.
 Gejala yang timbul pada keracunan logam berat biasanya lebih terlihat pada system
pencernaan.
 Mekanisme kerja antidota yaitu memblokade reseptor esensial (Atropin).
DAFTAR PUSTAKA

Anderson K, Scoot R. 1982. Fundamental of Industrial Toxicology. Michigan: Ann Arbor


Science Publisher.

Bernard S, Enayati A, Binstock T, Roger H, Redwood L, McGinnis W. 2000. Autism: A


Unique of Mercury Poisoning. ARC Research Cranford, NJ 07016.

Casarett & Doull’s. 2001. Toxicology the Basic Science of Poissons. New York:
McGraww- Hill Medical Publishing Division.

Chadha. 1995. Timbal Ilmu Forensik dan Toksikologi Edisi 5. Jakarta : Widya Medika
Ganiswara

Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi ed.4. Jakarta: Gaya Baru.

Gayer, RA. 1986. Toxic Effects of Metal. In C.D.Klaasen, M.O.Amdur, and J.Doul. (Eds).
Toxicology the Basic Science of Poisons.3rd ed. New York: Mac Millan Publishing
Co.

Tiwari, Radhey Mohan dan Malini Sinha. 2010. Veterinary Toxicology. Oxford Book
Company; Jaipur, India.

Anda mungkin juga menyukai