Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI KEMOTERAPI
“KERACUNAN PEPTISIDA”
Sabtu, 29 Oktober 2015

Kelompok 1 (Satu)
Nama Anggota : Beti Yulianti 066114012
Ria Komalasari 066114022
Dian Fatika D.T. 066114025
Annas Hizriani 066114034
Sandi Nugroho 066112139

Dosen Pembimbing L
Drh. Mien Rachminiwati, Ph. D.
Ir. E. Mulyati Effendi, M.S.

Asisten Dosen :
M. Fikri Dermawan
Opi Damahyanti
Gestariadhy

LABORATORIUM FARMASI
PROGAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Keracunan Peptisida

Tanggal : 29 Oktober 2016

Laporan ini telah disetujui Oleh :

Beti Yulianti Ria Komalasari


NPM. 066114012 NPM. 066114022

Dian Fatika Dewi Tama Annas Hizriani


NPM. 066114025 NPM. 066114034

Sandi Nugroho
NPM. 066112139
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari
segi farmakologi.
Dalam perkembangan kehidupan manusia seiring dengan berjalannya waktu, manusia
semakin pandai dan ahli dalam meneliti berbagai senyawa-senyawa kimia yang baik
ditujukan untuk pemeliharaan kesehatan ataupun hal yang bersifat racun (toksik). Dalam
ilmu penerapan sekarang, baik obat maupun racun sama-sama dipelajari dan mulai
didalami oleh manusia agar diperoleh suatu pemahaman yang jelas tentang proses dan
mekanisme aksi yang terjadi di dalam tubuh manusia itu sendiri guna memberikan
pertolongan terbaik. Seperti contoh dengan mendalami ilmu penerapan tentang zat-zat
beracun yang berbahaya, manusia dapat memberikan penanganan yang terbaik jika suatu
hari terjadi keracunan baik karena obat, makanan, maupun zat kimia lain yang bersifat
toksik. Berbagai pengujian mulai dilakukan terhadap senyawa-senyawa toksik baik dari
alam maupun sintetik yang diujikan pada hewan uji (in vivo).

1.2 Tujuan percobaan.


Mempelajari gejala dan penanganan keracunan peptisida

1.3 Hipotesis.
Dengan pemberian atropine sulfat 0,1 % secara ip pada hewan coba maka
akan meminimalisir keracunan akibat dari baygon pada kulit hewan coba.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori

Secara umum pestisida didefinisikan sebagai senyawa kimia yang digunakan untuk
membunuh hama, termasuk serangga, hewan pengerat, jamur dan tanaman yang tidak
diinginkan (gulma). Pestisida digunakan dalam kesehatan masyarakat untuk membunuh
vektor penyakit, seperti nyamuk, dan dalam pertanian untuk membunuh hama yang merusak
tanaman.

Menurut Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1973, pestisida adalah semua zat kimia
dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:

- Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman,


bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;
- Memberantas rerumputan;
- Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
- Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak
termasuk pupuk;
- Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak;
- Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah
tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan;
- Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada
manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah
atau air.

Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit
tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga ntuk memberantas
nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga pengganggu lainnya. Dilain pihak pestisida
ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian yang disebabkan oleh
keracunan pestisida banyak dilaporkan baik kerena kecelakaan waktu menggunakannya,
mauupun karena disalahgunakan (untuk bunnuh diri). Bermacam-macam jenis pestisida telah
diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya
daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksi pada serangga.
Diantara jenis atau pengelompokkan pestisida, ada jenis insektisida banyak digunakan
dinegara berkembang, sedangkan herbisida banyak digunakan dinegarag yang sudah maju.
Dalam beberapa data negara-negara menggunakan pestisida adalah sebagai berikut:
- Amerika Serikat 45%
- Eropa Barat 25%
- Jepang 12%
- Negara berkembang lainnya 18%
Dari data tersebut terlihat bahwa negara berkembang seperti Indonesia, penggunaan
pestisida masih tergolong rendah. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka
penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia
ataupun makhluk hidup lainnya.
Pestisida dapat digolongkan menurut penggunaannya dan disubklasifikasi menurut
jenis bentuk kimianya. Dari bentuk komponen bahan aktifnya maka pestisida dapat dipelajari
efek toksiknya terhadap manusia maupun makhluk hidup lainnya dalam lingkungan yang
bersangkutan.
Penggolongan pestisida menurut jasad sasaran
 Insektisida, racun serangga (insekta)
 Fungisida, racun cendawan/jamur
 Herbisida, racun gulma/tumbuhan pengganggu
 Akarisida, racun tungau dan caplak (Acarina)
 Rodentisida, racun binatang pengerat (tikus dsb.)
 Nematisida, racun nematoda, dst.
Dalam hal ini, pestisida yang berfungsi sebagai insektisidalah yang menghambat
kolinesterase dalam darah. Yang terbagi dalam insektisida golongan organofosfat dan
golongan karbamat. Selain dua golongan tersebut terdapat insektisida golongan organoklorin
dan insektisida tanaman dan insektisida lainnya namun dalam fisiologinya tidak menghambat
kolinesterase dalam darah.
BAB III

METODE KERJA

3.1 Alat dan Bahan

A. ALAT
 Alat pencukur
 Kandang Tikus
 Kapas
 Masker
 Sarung Tangan
 Timbangan Hewan

B. Bahan
 Tikus putih
 Atropin sulfat
 Sediaan insektisida komersial yang mengandung tetraetilpirofosfat (Baygon)

3.2 CARA KERJA

1. Ditimbang 1 ekor tikus


2. Dicukur bulu tikus di daerah punggung
3. Dioleskan tetraetilpirofosfat (baygon) di daerah punggung tikus dengan kapas.
4. Diamati waktu mulai timbulnya gejala keracunan.
5. Diamati gejala keracunan
6. Dicatat waktu kematian tikus bila ada
7. Apabila pada pengolesan pertama gejala belum terlihat dilakukan pengulangan
pengulasan setiap 10 menit sampai gejala muncul
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan

Dosis Atropin = 1 mg / kg bb

Konsentrasi = 0,1 %

Bb tikus = 240 gram

0,001 𝑔𝑟 𝑥
Dosis Konversi = . 240 𝑔𝑟
1000 𝑔𝑟

0,001 𝑥 240
= 1000

= 0,00024 ml

0,00024 𝑥 100
Dosis Penyuntikan = 0,1

= 0,24 ml

Menit Pengamatan
10 -
20 Salivasi dan gatal-gatal
30 Salivasi berlebih dan gatal-gatal
40 Salivasi berlebih dan gatal-gatal
50 Salivasi berlebih dan gatal-gatal
60 Salivasi berlebih dan gatal-gatal
4.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan uji peptisida terhadap tikus yang mana peptisida
tersebut adalah zat kimia yang biasa digunkan untuk membunuh hama, baik berupa
tumbuhan, serangga maupun hewan. Bahan peptisida yang kali ini digunakan adalah
tetraetilpirofosfat atau baygon. Berdasarkan strukturnya bahwa baygon ini termasuk kedalam
racun insektisida golongan fosfat organik. insektisida golongan fospat organik dapat
dikategorikan dalam antikolinesterase ( Cholynesterase inhibator insectisides ) , Dengan
mekanisme inhibator yang langsung dan tidak langsung terhadap enzim kholinesterase.
Racun jenis ini dapat diabsorbsi melalui oral , inhalasi , dan kulit. Masuk ke dalam tubuh dan
akan mengikat enzim asetil kholinesterase ( AChE ) sehingga AChE menjadi inaktif maka
akan terjadi akumulasi dari asetilkholin. Sedangkan Atropin sulfat ( SA ) bekerja dengan
menghambat efek akumulasi asetil kholin. Sehingga atropin sulfat ini dapat memberikan
pertahanan untuk pencegahan terhadap racun baygon

Selanjutnya yang dilakukan pertama kali adalah dengan menimbang bobot tikus
tersebut untuk mengetahui dosis penyuntikan. Dengan bobot tikus yang mencapai 240 gram
maka setelah penghitungan dosis di dapat dosis penyuntikan yang telah sebelumnya sudah di
konversi terlebih dahulu maka dosis yang di dapat adalah 0,24 ml. Lalu selanjutnya di cukur
bulu pada punggung tikus dan di lakukan pengolesan zat tetraetilfosfat dan penyuntikan
dengan metode IP bertujuan agar obat tersebut dapat diabsorpsi langsung tanpa adanya proses
lain sehingga reaksinya pun diharapkan akan cepat timbul (onset dapat cepat terjadi) yang di
lakukan pada menit ke 11 setelah pemberian zat tetraetilfosfat.. Tujuannya bulu tikus di cukur
adalah agar kami dapat mengetahui gejala keracunan yang mulai bekerja terhadap tikus
tersebut dengan gejala awal adalah memerahnya kulit tikus yang telah di olesi zat
tetraetilfosfat tersebut. Sedangkan gejala-gejala lainnya di mulai pada menit ke 20 yaitu
dengan adanya salivasi berlebih dan mulai merasa gatal dan berlanjut hingga menit ke 60.

Tujuan penyuntikan atropin sulfat setelah pengolesan zat tetraetilfosfat tersebut agar
dapat membuktikan bahwa adanya pertahanan anti racun terhadap pemberian racun. Dan hal
ini terbukti dengan adanya selang waktu kurang lebih 9 menit dari setelah penyuntikan pada
menit ke 11 sebelum adanya gejala keracunan zat tetraetilfosfat tersebut.
BAB V

KESIMPULAN

Dari praktkum kali ini dapat disimpulkan bahwa :

 Pestisida adalah bahan atau zat kimia yang digunakan untuk membunuh hama, baik
yang berupa tumbuhan, serangga, maupun hewan.
 Pestisida yang digunakan tetraetilpirofosfat ( baygon )
 Tikus merasakan reaksi saat menit ke 20
 Dosis konversi sebanyak 0,00024 ml
 Dosis penyuntikan 0,24 ml
 Penyuntikan atropin dilakukan pada menit ke 11
 Adanya selang waktu 9 menit setelah peyuntikan atropin sebelum reaksi keracunan
tersebut

Anda mungkin juga menyukai