Anda di halaman 1dari 18

INTOKSIKASI GAS PEPTISIDA

ANNISA KHOERUNNISA
ANNISA PRAMESTI
CANDRA SAFA MUJTAHID
DERINA RAMDAYANTI
FUJI LULU NURBAYINAH
NISA TSANIA RUSTANDI
SELVY SEFTIANI JARNUDIN
WINA WULANSARI
LATAR BELAKANG
Pestisida (sida,cide = racun) sampai kini masih merupakan
salah satu cara utama yang digunakan dalam pengendalian hama.
Yang dimaksud hama di sini sangat luas yaitu serangga, tungau,
tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh
fungi (jamur), bacteria dan virus, kemudian nematode (bentuknya
seperti cacing dengan ukuran mikroskopis), siput, tikus, burung dan
hewan lain yang dianggap merugikan.
Pestisida di Indonesia banyak digunakan baik dalam bidang
pertanian maupun kesehatan. Di bidang pertanian pemakaian
pestisida dimaksudkan untuk meningkatkan produksi pangan.
Banyaknya frekuensi serta intensitas hama dan penyakit mendorong
petani semakin tidak bias menghindari pestisida. Di bidang
kesehatan, penggunaan pestisida merupakan salah satu cara dalam
pengendalian vector penyakit. Penggunaan pestisida dalam
pengendalian vector penyakit sangat efektif diterapkan terutama
jika populasi vector penyakit sangat tinggi atau untuk menangani
kasus yang sangat menghawatirkan penyebarannya.
Pestisida merupakan racun yang mempunyai nilai
ekonomis terutama bagi para petani. Pestisida memiliki
kemampuan membasmi organisme selektif (target
organisme), tetapi pada praktiknya pemakaian
pestisida dapat menimbulkan bahaya pada organisme
non target. Dampak negative terhadap organisme non
target meliputi dampak terhadap lingkungan berupa
pencemaran dan menimbulkan keracunan bahkan
dapat menimbulkan kematian bagi manusia.
Kejadian keracunan baik yang disebabkan karena
obat, makanan, pestisida ataupun bakteri dan jamur,
sering kali menjadi penyebab terjadinya kematian. Hal
ini dapat terjadi karena berbagai sebab antara lain
ketidaktahuan teman atau keluarga pasien bahwa
telah terjadi kasus keracunan, keterlambatan pasien di
bawa kerumah sakit, dan penatalaksanaan terapi
keracunan yang kurang tepat.
Pestisida sering menjadi penyebab keracunan
baik tidak disengaja maupun disengaja, dalam hal
ini untuk bunuh diri. Keracunan pestisida dapat
berasal dari pestisida golongan organo fosfat,
organo klorin, karbamat, dan yang lainnya.
Keracunan pestisida kadang dapat menimbulkan
suatu kematian karena terjadinya dehidrasi, kejang
bronki, paralisotot pernafasan, ataupun koma yang
berkepanjangan. Penatalaksanan terapi keracunan
pada umumnya disebut terapi antidote, yakni tata
cara yang secara khusus ditunjukan untuk
membatasi intensitas efek toksik zat beracun atau
untuk menyembuhkan efek toksik yang
ditimbulkannya, sehingga bermanfaat untuk
mencegah bahaya selanjutnya.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana mekanisme terjadinya toksikasi pada
kasus intoksikasi gas pestisida?
2. Bagaimana cara manajemen intoksikasinya atau
cara terapi pada kasus intoksikasi gas pestisida?
TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme
terjadinya toksikasi pada kasus intoksikasi gas
pestisida.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara manajemen
intoksikasinya atau cara terapi pada kasus
intoksikasi gas pestisida.
MANFAAT
1. Memberikan informasi kepada pembaca mengenai
mekanisme terjadinya toksikasi pada kasus
intosikasi gas pestisida.
2. Memberikan informasi tentang bagaimana cara
manajemen intoksikasi atau cara terapi pada kasus
intoksikasi gas pestisida.
KASUS INTOKSIKASI GAS PEPTSIDA

Seorang wanita (52) mengeluh kesakitan di bagian


perut dan dilarikan ke rumah sakit. Dokter meyakini
bahwa wanita tersebut mengalami keracunan
pestisida setelah mengetahui gejala kejang, muntah
dan diare setelah makan malam dengan lauk ikan
asin yang digoreng dengan tepung. Setelah
diselidiki polisi, tepung tersebut terkontaminasi
pestisida ulat yang disimpan berdekatan dengan
kaleng tepung di dapur wanita tersebut.
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Terjadinya Toksisitas
 Pestisida merupakan zat atau senyawa kimia, zat pengatur dan perangsang
tubuh, bahan lain, serta organisme renik, atau virus, yang digunakan untuk
melakukan perlindungan bagi tanaman. Pestisida terdiri dari beberapa
macam, diantaranya :
 Insektisida, adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk
membunuh serangga.
 Herbasida, adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan
pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan
penurunan hasil (gulma).
 Nematisida, adalah salah satu jenis pestisida yang berfungsi untuk
memberantas nematoda atau hama cacing.
 Fungisida, adalah pestisida yang secara spesifik membunuh atau menghambat
cendawan penyebab penyakit.
 Rodentisida, adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang
digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.
 Bakterisida, adalahbahan atau substansi yang dapat membunuh bakteri.

 Akarisida, adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun untuk


membunuh tungau, caplak, laba-laba dan sejenisnya.
Pada kasus diatas, wanita tersebut diketahaui
terkontaminasi pestisida ulat. Pestisidaulat merupakan salah
satu pestisida yang diklasifikasikan menjadi kelompok
insektisida. Insektisida memiliki beberapa golongan
diantaranya :
1. Golongan karbamat
 Contoh senyawa dari golongan ini yaitu Alankarb, Aldikarb,
Bendiokarb, Benfurakarb dan Butokarboksim.
2. Golongan organofosfat
Contoh senyawa dari golongan ini yaitu Etion, Etoprofos,
Famfur, Fenamifos, Fenitrotion, Fention, dan Diazinon.
3. Golongan piretroid
 Contoh senyawa dari golongan ini yaitu Bifentrin, Bioalletrin,
Resmetrin, Silafluofen dan Teflutrin.
4. Golongan organoklorin
 Contoh senyawa dari golongan ini yaitu aldrin, chlordane,
DDT.
Dari pestisida yang dimiliki pasien, senyawa yang
terkandung dalam pestisida tersebut yaitu Diazinon yang
termasuk golongan organophosphate (OP).Diazinonmerupakan
insektisida untuk mengendalikan hama-hama penting seperti
penggerek batang, penggerek pucuk, lalat bibit, kutu putih, uret
dan ulat tanah pada tanaman.
Dalam sistem tubuh manusia yang normal akan terjadi
komunikasi antara sistem saraf, dimana asetil cholin akan
bereaksi dengan cholinesterase (Che) yang akan menghasilkan
asam asetat dan cholinergic. Cholinergic berfungsi untuk
menggerakan sel efektor di ujung saraf, sehingga komunikasi
saraf yang berupa stimulus akan menghasilkan respon yang
dikendalikan oleh sistem saraf pusat dapat berlangsung normal.
Namun, ketika tubuh terpapar oleh senyawa insektisida, maka
Insektisida ini bekerja dengan menghambat dan
menginaktivasikan enzim asetil kolinesterase. Enzim ini secara
normal menghancurkan asetil kolin yang dilepaskan oleh susunan
saraf pusat, gangglion autonom, ujung-ujung saraf parasimpatis,
dan ujung-ujung saraf motorik.Hambatan asetil kolin esterase
menyebabkan tertumpuknya sejumlah besar asetil kolin pada
tempat-tempat tersebut.
Asetil kolin itu bersifat mengeksitasi dari neuron – neuron yang
ada di post sinaps, sedangkan asetil kolin esterasenya diinaktifkan,
sehingga tidak terjadi adanya katalisis dari asam asetil dan
kholin.Terjadi akumulasi dari asetil kolin disistem saraf tepi, system
saraf pusat neomuscular junction dan sel darah merah, Akibatnya akan
menimbulkan hipereksitasi secara terus menerus dari reseptor
muskarinik dan nikotinik.
Saat seseorang sudah terpapar oleh senyawa organo fosfat,
maka akan ada gejala yang Nampak dan hal ini perlu di waspadai
sebelum organofosfat meracuni secara lebih parah.Gejala keracunan
organo fosfat akan timbul dalam waktu 6-12 jam setelah paparan.
Gejalanya bervariasi, dari yang ringan hingga kematian.Gejala awal
dan gejala lanjutan yang dapat terjadi seperti :
 Gejala awal:Tubuh lemas,perut terasa penuh, mual, iritasi pada
permukaan kulit, ruam kemerahan pada kulit, muntah, sakit kepala,
serta penglihatan terganggu.
 Gejala lanjutan: seperti keluar ludah berlebihan, keluar lender dari
hidung (terutama pada keracunan melalui hidung), berkemih berlebihan
dan diare, keringat berlebihan, air mata berlebihan, kelemahan yang
disertai sesak napas, dan akhirnya kelumpuhan otot rangka, sukar
berbicara, hilangnya refleks, kejang, dan koma.
B. Penatalaksanaan Keracunan
Untuk mengatasi keracunan karena senyawa
organo fosfat, tindakan yang perlu dilakukan adalah
stabilisasi pasien, dekontaminasi, eliminasi dan
pemberian antidotum
1. Stabilisasi pasien
Pada proses stabilisasi pasien, dilakukan
pemeriksaan saluran nafas. Untuk pasien yang
mengalami gangguan pernafasan pemeriksaan ini
dilakukan untuk membebeaskan jalan nafas dan untuk
menjamin pertukaran udara. Setelah pemeriksaan
saluran nafas, dilakukan pemeriksaan sirkulasi, hal ini
bertujuan untuk mengembalikan sistem sirkulasi
darah.Pemeriksaan sirkulasi merupakan evaluasi primer
yang harus dilakukan serta di ikuti evaluasi terhadap
tanda dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami
pasien.
2. Dekontaminasi
Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang
mengalami keracunan. Dekontaminasi yang terjadi bisa berupa :
a. Dekontaminasi pulmonal
Dekontaminasi pulmonal dilakukan ketika pasien mengalami
keracunan secara inhalasi,penanganannya yaitu baju pasien
harus segera dilepas dan badan pasien harus segera
dibersihkan dengan sabun. Proses pembersihan ini harus
dilakukan pada ruangan yang mempunyai ventilasi yang baik
untuk menghindari kontaminasi sekunder dari udara. Dan apabila
fasilitas memadai maka berikan oksigen pada pasien.
b. Dekontaminasi mata
Membersihkan toksik dari mata dengan cara memposisikan
kepala pasien tengadah dan miring kesisi mata yang terkena
racun. Kelopak mata dibuka dan diirigasi dengan larutan
aquades atau NaCl 0,9% dengan perlahan hingga diperkirakan
racun telah bersih. Berikutnya tutup mata dengan kasa steril dan
segera bawa ke dokter mata terdekat.
c. Dekontaminasi gastrointestinal
Dekontaminasi gastointestisinal dilakukan ketika pasien mengalami
keracunan dengan cara menelan. Tujuan dari dekontaminasi ini yaitu
untuk mengeluaran dan detoksikasi pestisida serta mencegah absorbsi
lebih lanjut sehingga efek toksisk racun berkurang.
Dekontaminasi gastrointestinal dapat dilakukan dengan melakukan
bilas lambung atau pemberian activated charcoal (arangaktif). Untuk
bilas lambung pasien diberikan cairan NaCl fisiologi atau air hangat
(38oC) atau air dingin (suhu kamar) sebanyak 150-300 cc (untuk anak
<10 tahun 10 ml/kgBB) dan lakukan bilas lambung sampai jernih.
Sedangkan untuk pemberia arang aktif diberikan kepada pasien yang
sadar dan memiliki jalan nafas yang terlindungi. Pemberian arang aktif
diberikan setelah bilas lambung dan efektif bila diberikan dalam 1
jam setelah terpapar. Dosis arang aktif yang digunakan yaitu :
1. Dewasa atau anak > 12 tahun : 25 – 100
2. Anak s.d 12 tahun : 25 – 50 g
3. Anak < 1 tahun : 1g/kg
Cara pemberiannyayaitu dicampurkan dengan perbandingan 30 gram
aran aktif dengan 240 ml air. Dapat dicampurkan dengan sorbitol
atau katarik salin.
3. Eliminasi
Terdapat dua metode, yaitu metode khas dan metode tak khas :
a. Metode tak khas
1. Hemodialisis
Hemodialisis melibatkan sirkulasi darah melalui filter atau dialyzer
pada mesin dialisis. Dialyzer memiliki dua kompartemen cairan dan
dikonfigurasi dengan bundel tabung serat kapiler berongga.
 Darah di kompartemen pertama dipompa sepanjang satu sisi membran
semi permeabel, sementara dialisat (cairan yang digunakan untuk
membersihkan darah) dipompa sepanjang sisi lain, dalam kompartemen
terpisah, dalam arah yang berlawanan.
 Gradien konsentrasi zat antara darah dan dialisat menyebabkan
perubahan yang diinginkan dalam komposisi darah, seperti pengurangan
produk limbah (urea nitrogen dan kreatinin); koreksi kadar asam; dan
equilibrium berbagai tingkat mineral.
 Kelebihan air juga dihapus.

 Darah kemudian kembali ke tubuh.

 Hemodialisis dapat dilakukan di pusat dialisis atau di rumah. Di pusat


hemodialisis biasanya memakan waktu 3 sampai 5 jam dan dilakukan tiga
kali seminggu. Pasien akan perlu melakukan perjalanan ke pusat dialisis
untuk hemodialisis di pusat.
2. Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal menggunakan lapisan membran
(peritoneum) dari perut sebagai filter untuk membersihkan darah
dan membuang kelebihan cairan. Dialisis peritoneal dapat
dilakukan secara manual (ambulatory peritoneal dialysis terus
menerus) atau dengan menggunakan mesin untuk melakukan
dialisis di malam hari (dialisis peritoneal otomatis).
 Sekitar 2 sampai 3 liter cairan dialisis dimasukkan ke rongga
perut melalui akses kateter. Cairan ini mengandung zat-zat yang
menarik limbah dan kelebihan air dari jaringan.
 Cairan diperbolehkan untuk tinggal selama 2 sampai beberapa
jam sebelum dialirkan untuk mengambil limbah yang tidak
diinginkan.
 Cairan biasanya perlu ditukar empat sampai lima kali sehari.

 Dialisis peritoneal menawarkan lebih banyak kebebasan


dibandingkan dengan hemodialisis karena pasien tidak perlu
datang ke pusat dialisis untuk pengobatan. Pasien dapat
melakukan banyak kegiatan yang biasa mereka saat menjalani
perawatan ini. Ini mungkin terapi yang lebih baik untuk anak-
anak.
3. Pertukaran transfusi
Transfusi tukar adalah mengeluarkan darah dari tubuh pasien untuk
ditukar dengan darah donor, dengan maksud mengganti darah yang tidak
sesuai (patogonis) untuk mencegah meningkatnya kadae bilirubin dalam
darah.
4. Metode khas
Peningkatan ekskresi atau pembentukan produk krang toksik dengan
cara kelasi kompleksasi.
5. Pemberian antidotum
Pada keadaan darurat prinsip penanganan ialah resusitasi, pemberian
oksigen pemberian atropin, cairan dan asetilkolinerase reactivator (oxime).
Atropin (iv) diberikan secara infus dengan dosis 0.02-0.08 mg/kg per jam
atau 70 mg/kg infus selama 30 menit atau dosis intermiten 2 mg tiap 15
menit sampai hipersekresi terkendali. Efek takikardia dihindari dengan
pemberian diltiazem atau propranolol.Ozime/Pralidoxime diberikan dosis 4
gr/hari dibagi dalam 4 dosis. WHO merekomendasikan penggunaan oxime
(pralidoxim chloride/obidoxime) pada penderita simptomatik yang memakai
atropin. Dosis loading 2 g per iv lambat (20 menit) dan dilanjutkan dengan 1
gr per infus setiap jam. Pengobatan lain ialah pemberian magnesium sulfate
atau pemberian sodium bicarbonate untuk melakukan alkanisasi urin dalam
rangka eliminasasi bahan beracun Diazepam (iv), bila kejang atau bila
terjadi delirium.

Anda mungkin juga menyukai