1. Apa saja jenis dan zat pestisida yang berbahaya bagi manusia?
Jawab :
Sumber : Nicolopoulou-Stamati, Polyxeni et al. 2016. “Chemical Pesticides and Human Health: The
Urgent Need for a New Concept in Agriculture.” Frontiers in Public Health 4.
Jawab :
- Kontaminasi lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi, meskipun tidak
seluruhnya berakhir dengan keracunan akut. Pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan risiko
kontaminasi lewat kulit umumnya adalah penyemprotan, pencampuran pestisida dan proses
pencucuian alat-alat kontak pestisida.
- Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung merupakan yang terbanyak
kedua sesudah kontaminasi kulit. Gas dan partikel semprotan yang sangat halus (misalnya,
kabut asap dari fogging) dapat masuk kedalam paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar
akan menempel di selaput lendir hidung atau di kerongkongan. Pestisida berbentuk gas yang
masuk ke dalam paru-paru dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet yang berukuran kurang
dari 10 mikron dapat mencapai paru-paru, namun droplet yang berukuran lebih dari 50 mikron
mungkin tidak mencapai paru-paru, tetapi dapat menimbulkan gangguan pada selaput lendir
hidung dan kerongkongan. Toksisitas droplet/gas pestisida yang terhisap ditentukan oleh
konsentrasinya di dalam ruangan atau di udara, lamanya paparan dan kondisi fisik individu yang
terpapar. Pekerjaan yang menyebabkan terjadinya kontaminasi lewat saluran pernafasan
umumnya pekerjaan yang terkait dengan penyemprotan lahan pertanian, fogging atau alat
pembasmi serangga domestik.
- Cara yang ketiga adalah intake lewat mulut (oral). Peristiwa keracunan lewat mulut sebenarnya
tidak sering terjadi dibandingkan kontaminasi kulit atau keracunan karena terhirup. Contoh oral
intake misalnya kasus bunuh diri, makan minum merokok ketika bekerja dengan pestisida,
menyeka keringat dengan sarung tangan atau kain yang terkontaminasi pestisida, drift atau
butiran pestisida yang terbawa angin masuk ke mulut, meniup nozzle yang tersumbat dengan
mulut, makanan dan minuman terkontaminasi pestisida. (Damalas and Koutroubas 2016)
Sumber : Damalas, Christos A., and Spyridon D. Koutroubas. 2016. “Farmers’ Exposure to
Pesticides: Toxicity Types and Ways of Prevention.” Toxics 4(1).
3. Selain EDC dan TDC, apakah terdapat sistem organ yang terkena efek pestisida? Jelaskan gejala
dan tanda keracunannya?
Jawab :
A. Keracunan kronis
Keracunan kronis dapat ditemukan dalam bentuk kelainan syaraf dan perilaku (bersifat neuro toksik)
atau mutagenitas. Selain itu ada beberapa dampak kronis keracunan pestisida pada organ paru-
paru, hati, lambung dan usus, serta mempengaruhi kerja sistem organ seperti sistem syaraf, sistem
hormonal, system kekebalan tubuh.
Individu yang terpapar oleh pestisida bisa mengalami batuk yang tidak juga sembuh, atau
merasa sesak di dada . Ini merupakan manifestasi gejala penyakit bronkitis, asma, atau
penyakit paru-paru lainnya. Kerusakan paru-paru yang sudah berlangsung lama dapat
mengarah pada kanker paru-paru. Pestisida jenis Organoklorin, yaitu Dichloro-Diphenyl-
Trichloroethane (DDT) dan pestisida dengan komponen sejenis merupakan neurotoksik
yang mengikat pada kanal sodium menyebabkan kanal selalu terbuka sehingga
meningkatkan influx sodium dan overstimulasi saraf yang berulang. Lalu, terjadi
depolarisasi neuron secara umum menyebabkan respon kontraktil pada otot polos di jalan
napas. Respon tubuh berupa penyempitan jalan napas lalu mempengaruhi fungsi paru.
Beberapa individu yang terpapar pestisida mempunyai kemungkinan lebih besar untuk
mengidap kanker. Ratusan pestisida dan bahan-bahan yang dikandung dalam pestisida
diketahui sebagai penyebab kanker. Penyakit kanker yang paling banyak terjadi akibat
pestisida adalah kanker darah (leukemia), limfoma non-Hodgkins, dan kanker otak.
Gangguan otak dan syaraf yang paling sering terjadi akibat terpapar pestisida selama
bertahun-tahun adalah masalah pada ingatan, sulit berkonsentrasi,perubahan kepribadian,
kelumpuhan, bahkan kehilangan kesadaran dan koma.
Hati adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menetralkan bahan-bahan kimia beracun.
Pestisida yang masuk ketubuh akan mengalami proses detoksikasi oleh organ hati.
Senyawa racun ini akan diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya tidak lagi beracun
terhadap tubuh. Meskipun demikian hati itu sendiri sering kali dirusak oleh pestisida apabila
terpapar selama bertahun- tahun. Hal ini dapat menyebabkan penyakit seperti hepatitis,
sirosis bahkan kanker.
Lambung dan usus yang terpapar pestisida akan menunjukkan respon mulai dari yang
sederhana seperti iritasi, rasa panas, mual. muntah hingga respon fatal yang dapat
menyebabkan kematian seperti perforasi, pendarahan dan korosi lambung.. Muntah-
muntah, sakit perut dan diare adalah gejala umum dari keracunan pestisida. Banyak orang
yang dalam pekerjaannya berhubungan langsung dengan pestisida selama bertahun- tahun,
mengalami masalah sulit makan. Orang yang menelan pestisida, baik sengaja atau tidak,
efeknya sangat buruk pada perut dan tubuh secara umum. Pestisida merusak langsung
melalui dinding-dinding perut.
Beberapa jenis pestisida telah diketahui dapat mengganggu system kekebalan tubuh
manusia dengan cara yang lebih berbahaya. Beberapa jenis pestisida dapat melemahkan
kemampuan tubuh untuk menahan dan melawan infeksi. Ini berarti tubuh menjadi lebih
mudah terkena infeksi, atau jika telah terjadi infeksi penyakit ini menjadi lebih serius dan
makin sulit untuk disembuhkan.
Hormon diproduksi oleh organ-organ seperti otak, tiroid, paratiroid, ginjal, adrenalin, testis
dan ovarium untuk mengontrol fungsi-fungsi tubuh yang penting. Beberapa pestisida
mempengaruhi hormon reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan produksi sperma
pada pria atau pertumbuhan telur yang tidak normal pada wanita. Beberapa pestisida dapat
menyebabkan pelebaran tiroid yang akhirnya dapat berlanjut menjadi kanker tiroid. Jika
terjadi hipotiroidisme terjadi di awal kehamilan, janin akan mengalami gangguan dalam hal
visual attention, visual processing, dan fungsi motorik kasar. Bila terjadi di akhir kehamilan,
anak akan mengalami gangguan penglihatan, visuospatial skills dan gangguan fungsi
motorik halus.30 Meningkatnya insidens dan prevalensi anak dengan attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD) atau autisme dua dekade terakhir, kemungkinan juga
disebabkan oleh meningkatnya kasus hipotiroidisme ringan pada ibu hamil akibat hambatan
fungsi enzim deyodinase (D2 atau D3) yang disebabkan oleh konsumsi flavonoid atau
pajanan bahan toksik di lingkungan.31 Dampak lain hipotiroidisme pada kesehatan
reproduksi wanita, antara lain, adalah terjadinya infertilitas, abortus spontan, gangguan
tumbuh-kembang janin, placental abruption dan bayi lahir sebelum waktunya.
B. Keracunan Akut
Keracunan akut terjadi apabila efek keracunan pestisida langsung pada saat dilakukan aplikasi atau
seketika setelah aplikasi pestisida. Efek keracunan akut terbagi menjadi efek akut lokal dan efek
akut sistemik.
Efek akut lokal jika hanya mempengaruhi bagian tubuh yang terkena kontak langsung dengan
pestisida biasanya bersifat iritasi mata, hidung, tenggorokan dan kulit.
Efek sistemik jika pestisida masuk kedalam tubuh manusia dan mengganggu sistem tubuh. Darah
akan membawa pestisida keseluruh bagian tubuh menyebabkan bergeraknya syaraf-syaraf otot
secara tidak sadar dengan gerakan halus maupun kasar dan pengeluaran air mata serta
pengeluaran air ludah secara berlebihan, pernafasan menjadi lemah/cepat (tidak normal).
Organofosfat adalah zat kimia sintesis yang terkandung pada pestisida untuk membunuh hama
(serangga, jamur, atau gulma). Organofosfat juga digunakan dalam produk rumah tangga,
seperti pembasmi nyamuk, kecoa, dan hewan pengganggu lainnya. Organofosfat dapat
menimbulkan keracunan karena menghambat enzim kolinesterase. Enzim ini berfungsi agar
asetilkolin terhidrolisis menjadi asetat dan dan kolin. Organofosfat mampu berikatan dengan
sisi aktif kolinesterase sehingga kerja enzim ini terhambat. Asetilkolin terdapat di seluruh
sistem saraf. Asetilkolin berperan penting pada sistem saraf autonom yang mengatur berbagai
kerja, seperti pupil mata, jantung, pembuluh, darah. Asetilkolin juga merupakan neurotransmiter
yang langsung memengaruhi jantung serta berbagai kelenjar dan otot polos saluran napas.
intinya organofosfat dapat memengaruhi dari efek muskarinik (system memori otak) dan
nikotinik (system otot polos) pada system SSP. Apabila system nikotinik terhambat terblokade
pada resptornya dapat menyebabkan demensia Alzheimer dan myasthenia grave’s.
Gejala keracunan organofosfat akan timbul dalam waktu 6-12 jam setelah paparan. Gejalanya
bervariasi, dari yang ringan hingga kematian.
Gejala awal ruam dan iritasi pada kulit, mual/rasa penuh di perut, muntah, lemas, sakit kepala,
dan gangguan penglihatan.
Gejala lanjutan keluar ludah berlebihan, keluar lendir dari hidung (terutama pada keracunan
melalui hidung), berkemih berlebihan dan diare, keringat berlebihan, air mata berlebihan,
kelemahan yang disertai sesak napas, dan akhirnya kelumpuhan otot rangka, sukar berbicara,
hilangnya refleks, kejang, dan koma. (Robb and Baker 2022)
Reseptor Nikotinik
Reseptor Muskarinik
Sumber : Robb, Erika L., and Mari B. Baker. 2022. StatPearls Organophosphate Toxicity. StatPearls
Publishing. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30798022 (December 14, 2022).
Jawab :
Farmakodinamik
Pralidoxime adalah obat yang digunakan dalam pengelolaan dan pengobatan keracunan
organofosfat. Itu termasuk obat golongan oxime. Tindakan utama Pralidoxime adalah
mengembalikan acetylcholinesterases di situs nikotinat dalam tubuh, menghilangkan gejala seperti
kelemahan otot, fasikulasi, dan kelumpuhan. Pralidoksim (2-PAM) juga harus diberikan untuk
mempengaruhi reseptor nikotinik pada toksisitas organofosfat karena atropin hanya bekerja pada
reseptor muskarinik. Pralidoxime mengaktifkan kembali AChE terfosforilasi dengan mengikat
organofosfat. Namun, untuk bekerja, itu harus diberikan dalam waktu 48 jam setelah keracunan.
dosis pralidoksim yang dianjurkan adalah 1 sampai 2 g dalam 100 mL saline sebagai infus
intravena selama 15 sampai 30 menit. Selain jalur intravena yang disebutkan di atas, pralidoksim
juga dapat diberikan melalui jalur intramuskular. Autoinjector sekarang tersedia yang
menggabungkannya dengan atropin dan diazepam. Atropin bertindak dengan menghambat
reseptor asetilkolin secara kompetitif sebagian besar di situs muskarinik, sehingga mengurangi
efek dari kelebihan asetilkolin di situs reseptor. Dosis untuk atropin adalah 2 mg dan harus diulang
sampai tanda-tanda kelebihan muskarinik kolinergik mulai menghilang. Pengiriman obat
menggunakan autoinjector telah terbukti lebih baik daripada menggunakan jarum
suntik—autoinjector ini memberikan pralidoksim dan atropin bersama-sama.
Efek samping pralidoxime iodide pada orang sehat menyebabkan penglihatan kabur, diplopia,
pusing, gangguan akomodasi, sakit kepala, dan mual. Efek samping lain yang jarang terjadi
adalah takikardia, peningkatan tekanan darah, dan hiperventilasi. Namun, efek samping ini sulit
dibedakan pada pasien dengan keracunan OP karena gejala serupa terjadi pada pasien yang
tidak diobati dengan pralidoksim. Atropin juga memiliki profil efek samping yang serupa, dan
hampir selalu diberikan bersama dalam keracunan OP, membuatnya semakin sulit untuk
menentukan penyebab sebenarnya.
Jika pralidoksim iodida digunakan sebagai pengganti pralidoksim klorida, diperlukan pemberian
dosis besar yang hati-hati karena kelebihan yodium dapat menyebabkan toksisitas tiroid.
Dosis loading oxime harus diberikan secara perlahan sebagai bolus karena infus yang cepat
dapat menyebabkan takikardia, hipertensi diastolik, muntah, dan aspirasi.
Pemberian pralidoksim pada pasien dengan miastenia gravis dapat memicu krisis miastenia
sehingga perlu diwaspadai.
Farmakokinetik
Telah ditetapkan dengan baik bahwa konsentrasi plasma minimal 4 mg/L pralidoksim diperlukan
untuk melindungi enzim asetilkolinesterase terhadap senyawa OP. Dengan teknik dosis normal
memberikan 1 g bolus obat selama 15 sampai 30 menit, simulasi komputer telah menunjukkan
bahwa konsentrasi plasma akan turun di bawah tingkat terapeutik dalam waktu 1,5 jam. Namun, uji
coba desain cross-over yang dilakukan pada sukarelawan sehat membuktikan bahwa dosis
pemuatan yang diikuti dengan infus kontinu 9 hingga 19 mg/kg/jam lebih efektif dalam
mempertahankan kadar plasma yang dibutuhkan. Selain itu, semua sukarelawan yang menjalani
rejimen infus pendek menunjukkan efek buruk seperti penglihatan kabur dan pusing. Pralidoksim
terdistribusi secara merata di kompartemen cairan tubuh dan belum terbukti berikatan dengan
hemoglobin atau protein plasma . Pralidoksim adalah amonium oksim kuaterner dan oleh karena itu
tidak diharapkan melewati sawar darah-otak.
Penyerapan
Ketika diberikan melalui rute intramuskular, pralidoksim menunjukkan kinetika orde nol. Namun,
pemberian bersama dengan avizafone dan atropin mempercepat penyerapan obat karena aliran
darah yang dimodifikasi di tempat suntikan ke titik di mana model mekanik terbaik yang berlaku
untuk proses ini bergeser ke kinetika orde pertama.
Eliminasi
Sidell et al. menetapkan bahwa ginjal secara aktif mengeluarkan pralidoksim dalam bentuk
aslinya tanpa mengalami metabolisme yang signifikan. Sebagian besar ekskresi adalah melalui
urin dan feses. Oleh karena itu, disarankan untuk menyesuaikan dosis pralidoksim pada pasien
dengan penurunan fungsi ginjal karena klirens plasma menjadi sangat berkurang.
Interaksi obat
Pralidoxime tidak memiliki interaksi obat yang merugikan. Ada bukti positif yang menunjukkan
sinergismenya ketika diberikan bersama dengan atropin. Di satu sisi, pralidoksim terdeteksi
dalam plasma lebih awal dan dalam konsentrasi yang lebih tinggi bila diberikan bersama
dengan atropin dan avizafone. Di sisi lain, tanda-tanda atropinisasi juga terjadi lebih awal dari
yang diharapkan saat diberikan sendiri. Sinergi ini adalah alasan di balik memasukkan obat-
obatan ini bersama-sama ke dalam injektor otomatis. (Preuss 2010)
5. Bagaimana efek samping jangka panjang mengonsumsi makanan yang mengandung pestisida?
Jawab :
Efek samping dari paparan pestisida organofosfat dapat diklasifikasikan berdasarkan lama paparan.
Efek utama paparan organofosfat akut adalah keracunan. Pestisida organofosfat dapat diserap
melalui kulit dan sistem integumen, sistem pernapasan melalui inhalasi, atau konsumsi langsung.
Manifestasi klinis paling cepat dari pestisida organofosfat terlihat melalui inhalasi. Paparan kronis
terhadap OP dapat menyebabkan efek yang sama seperti yang terlihat pada paparan akut. Namun,
dengan paparan kronis menyebabkan ingatan, kehilangan bicara, kurangnya koordinasi, dan
gangguan penilaian juga terganggu. Paparan kronis terhadap OP juga dapat menyebabkan gejala
mirip flu seperti mual, muntah, malaise, dan kelemahan. Polineuropati perifer telah dikaitkan dengan
paparan kronis. Paparan beberapa OP telah dikaitkan dengan kemungkinan perkembangan kanker.
Berdasarkan laporan International Agency for Research on Cancer, malathion, diazinon,
tetrachlorvinphos, dan parathion diklasifikasikan sebagai kemungkinan karsinogen. Ciri khas
paparan pestisida organofosfat adalah kemampuan zat ini untuk menghambat aksi AChE, enzim
yang bertanggung jawab atas pemecahan ACh. Pestisida organofosfat mengikat AChE secara
ireversibel dalam plasma, sel darah merah, dan pada tingkat sinapsis di PNS dan SSP. Penumpukan
ACh menyebabkan stimulasi berlebihan pada reseptor nikotinik dan reseptor muskarinik pada SSP.
Penumpukan ACh menyebabkan stimulasi berlebihan pada reseptor nikotinik dan reseptor
muskarinik pada SSP. Penumpukan ACh menyebabkan stimulasi berlebihan pada reseptor nikotinik
dan reseptor muskarinik.
Komplikasi akibat paparan gas saraf atau pestisida organofosfat terkait dengan setiap sistem yang
terpengaruh. Stimulasi berlebihan dari reseptor nikotinik dan muskarinik bertanggung jawab atas
manifestasi klinis dari komplikasi ini.
Sistem pernapasan
Sistem kardiovaskular
Psikosis
Perubahan status mental
Halusinasi
Abnormalitas elektrolit akibat kehilangan cairan dan elektrolit dari saluran cerna
Pankreatitis
Hiperglikemia
Bikarbonat rendah
Sistem ginjal
Cedera ginjal akut
Ada beberapa laporan kasus cedera ginjal akut yang terkait dengan paparan pestisida
organofosfat. Perawatan biasanya manajemen konservatif atau hemodialisis. (Davis 2019)
Jawab :
Preventif:
Hal-hal yang sifatnya operasional harus diperhatikan untuk mencegah risiko keracunan pestisida.
Oleh sebab itu, perlu diperhatikan beberapa hal dalam mengaplikasikan pestisida yaitu:
Davis, Frederick Rowe. 2019. “Organophosphates.” In Hazardous Chemicals: Agents of Risk and
Change, 1800-2000, Berghahn Books, 267–93.
Nicolopoulou-Stamati, Polyxeni et al. 2016. “Chemical Pesticides and Human Health: The Urgent Need
for a New Concept in Agriculture.” Frontiers in Public Health 4.
Robb, Erika L., and Mari B. Baker. 2022. StatPearls Organophosphate Toxicity. StatPearls Publishing.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30798022 (December 14, 2022).