Anda di halaman 1dari 7

Laporan Praktikum Hari, tanggal: Rabu, 3 September 2018

MK. Toksikologi Veteriner Dosen PJ: Dr Drh Aulia Andi Mustika, MSi

KERACUNAN PESTISIDA

Disusun oleh:
Kelompok 4 – Kelas Fifarm 3
Faiq Lukman Hakim B04150137
Ayu Khoirunnisa B04150138
Suci Kharisma B04150141
Stephany B04150151
Jairaaj Singh Jassal B04158026

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
PENDAHULUAN

Latar belakang

Negeri dengan populasi tinggi sebesar Indonesia, dengan penduduk sekitar


250 juta mutlak membutuhkan perhatian besar terhadap aspek industri pertanian.
Kebutuhan pangan penduduk yang begitu banyak, dengan keinginan maju yang
amat kuat dari segenap rakyat, sangat membutuhkan pola pengelolaan industri
pertanian yang mapan sebagai pendukung utama ketahanan pangan. Mengandalkan
impor pangan adalah sebuah kemunduran ekonomi dan kelemahan yang
melenakan. Untuk itu optimalisasi industri pertanian harus dilakukan secara lebih
terarah dan berkelanjutan.
Beberapa hal yang mampu mendukung suksesnya industri pertanian adalah
tersedianya alat pertanian yang memadai, pupuk, dan pestisida. Di antara berbagai
macam pencemaran lingkungan, penggunaan pestisida yang umumnya terbuat dari
bahan-bahan kimia pencemar menjadi masalah dalam industri ini. Penggunaan
pestisida untuk mendukung kemajuan industri pertanian adalah aspek yang penting
dikaji sehubungan dengan beberapa dampak lingkungan yang ditimbulkannya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pestisida kimiawi atau disebut
pestisida sintetis, selain sisi positif berupa terhindarnya tanaman dari gangguan
hama atau penyakit, pestisida juga menjadi ancaman yang sangat serius bagi
lingkungan. Bahaya serius ini dapat mengancam populasi hewan dan juga memiliki
dampak yang buruk bagi kesehatan manusia.
Bahan-bahan kimia pestisida menjadi bahaya besar dalam bentuk yang
terakumulasi di dalam tanah dan perairan. Akumulasi ini ibarat bom waktu terhadap
penurunan kualitas lingkungan perarairan dan tanah. Selain dampak lingkungan
berupa pencemaran air tanah, dampak lain berupa matinya musuh alami dari hama
maupun patogen dan akan menimbulkan resurgensi, yaitu serangan hama yang jauh
lebih berat dari sebelumnya. Kemudian munculnya serangan hama sekunder akibat
predator hama sekunder telah ikut terbunuh dengan adanya pestisida yang
digunakan.Penggunaan dengan dosis di luar batas juga mampu menimbulkan
resistensi patogen terhadap pestisida tertentu sehingga diperlukan dosis yang lebih
tinggi lagi bahkan formulasi pestisida kimiawi yang lebih kompleks lagi. Semakin
kompleks struktur kimia pestisida maka semakin sulit bagi alam untuk
menjinakkannya.
Permasalahan aspek dan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh
pestisida kimiawidipandang sebagai suatu hal yang perlu diuraikan dalam karya
tulis ini. Berdasarkan studi dari beberapa literatur atau bahan bacaan, penulis akan
merumuskan beberapa solusi yang tepat untuk menanggulangi dampak lingkungan
akibat penggunaan pestisida, setidaknya mampu memberikan altenatif untuk
dipikirkan dan dilakukan oleh pelaku industri pertanian saat ini. Kesadaran terhadap
tingginya potensi bahaya yang ditimbulkannya diharapkan dapat membantu
penanggulangan tindakan-tindakan berlebihan dalam penggunaan zat kimia
beracun ini.
Risiko yang disebabkan oleh suatu bahan kimia seperti pestisida dengan
ukuran dan karakteristik bahaya yang dapat terjadi. Dasar dari terjadinya exposure
adalah dari pemakaian dosis zat beracun yang dipilih (Crossan et al. 2005). Risiko
atau dampak dapat terjadi apabila terdapat interaksi antara dosis dalam hal ini
adalah toksisitas, exposure dan hazard. Seseorang dapat terpapar oleh pestisida
melalui kulit (dermal), masuk ke dalam mulut (oral), dan melalui pernapasan
(inhalation) (NPIC 2007).

Tujuan

Praktikum ini bertujuan mengamati gejala yang ditimbulkan akibat


keracunan pestisida pada pemberian dosis bertingkat dan mengidentifikasi senyawa
fosfat dalam sediaan pestisida.

METODE

Alat dan Bahan

Pada percobaan pertama, alat dan bahan yang digunakan adalah spoid 1 cc,
mencit, sediaan organofosfat (basudin/diazinon, dimecron) dan karbamat
(baygon/propoxur), serta sediaan atropine sulfat.
Pada percobaan kedua, alat dan bahan yang digunakan adalah tabung reaksi,
senyawa insektisida organofosfat (basudin/demecron), larutan ammonium
molybdat, dan larutan asam nitrat pekat.

Prosedur

Percobaan Pertama (Keracunan Insektisida Organofosfat/Karbamat)


Mencit disuntik secara subkutan dengan salah satu sediaan insektisida dengan
dosis bertingkat, dimulai dari 0.05 cc. Gejala klinis yang terjadi pada mencit
kemudian diamati. Jika terlihat gejala sesak napas, atropin sulfat diberikan secara
intraperitoneal.

Percobaan Kedua (Identifikasi Adanya Unsur P dalam Senyawa


Organofosfat)
Senyawa organofosfar yang diidentifikasi diteteskan beberapa tetes ke dalam
tabung reaksi, kemudian ke dalam tabung reaksi ditambahkan HNO3 pekat. Tabung
dipanaskan beberapa menit, kemudian isi campuran disaring setelah tabung
didinginkan. Ammonium molybdat ditambahkan ke dalam fitrat. Jika terdapat
unsur P, pada tabung akan terbentuk warna hijau kekuningan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dosis Frekuensi nafas Onset Keterangan


(ml) (kali/menit) (menit)
0,00 168 - Diare, aktif
0,05 158 -
0,10 150 -
0,20 132 -
0,40 172 -
0,80 2 Batuk-batuk kecil, napas mulai tersengal-
sengal
Tabel 1. Hasil pengujian baygon
Gambar 1. Hasil pengujian klorpyrivos.

Pestisida umumnya digunakan untuk membasmi hama baik itu hama


pertanian seperti jamur (dengan fungisida) maupun hama pemukiman seperti
nyamuk (dengan insektisida). Berdasarkan targetnya, pestisida dapat digolongkan
menjadi insektisida, herbisida, fungisida, rodentisida, dan fumigan (Raini 2007).
Insektisida merupakan pestisida yang paling sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari baik di rumah tangga maupun pertanian. Hal inilah yang menyebabkan
angka keracunan akibat pestisida jenis ini cukup tinggi terjadi di masyarakat baik
pada hewan maupun manusia.
Baygon merupakan salah satu merek pestisida (insektisida) yang sering
dipakai dalam rumah tangga. Baygon memiliki bahan aktif berupa cypermethrin,
imiprothrin, dan prallethrin yang mana bahan-bahan aktif tersebut merupakan
golongan piretroid (Scjohnson 2018, Mamun 2014, Saka 2011, Al-Damegh MA
2013). Keracunan senyawa piretroid pada mencit akan menunjukkan gejala berupa
konvulsi, tremor, dan kadang disertai hipersalivasi (Lawrence 1982).
Pengujian terhadap keracunan pestisida dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu pengujian biologis (dengan hewan) dan pengujian kimiawi (dengan melihat
gugus P). Pengujian pada hewan dilakukan pada mencit dengan cara menyuntikkan
senyawa baygon tersebut secara bertingkat pada area subkutan setiap 5 menit.
Setiap perubahan klinis pada kelenjar (hipersalivasi, hiperlakrimalisasi), pupil mata
(miosis), saluran pencernaan (diare), saluran pernapasan (sesak nafas, bronkho
konstriksi), jantung (bradikardi, takikardi), serta saraf dan otot (konvulsi, paralisis,
tremor) yang timbul dianggap sebagai gejala awal terjadinya keracunan sehingga
apabil gejala-gejala klinis tersebut telah muncul maka pemberian dosis bertingkat
dihentikan dan mencit segera diberikan antidota berupa atropin sejumlah dosis
bertingkat yang terakhir.
Sebelum pengujian, keadaan umum mencit diamati dan mencit telah
mengalami diare sehingga perubahan pada sistem pencernaan (diare) tidak dapat
dijadikan sebagai parameter perubahan klinis akibat keracunan. Pemberian dosis
bertingkat hingga 0,2 ml secara subkutan menyebabkan terjadinya penurunan
frekuensi nafas. Pada pemberian 0,4 ml baygon, frekuensi nafas tiba-tiba meningkat
dan pada pemberian 0,8 ml baygon, gejala klinis pada sistem pernapasan mulai
tampak sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan pada sistem pernapasan telah
terjadi pada pemberian 0,4 ml baygon berupa bronkho konstriksi, namun perubahan
ini belum menunjukkan gejala klinis yang jelas dan hanya tampak berupa
peningkatan frekuensi nafas akibat usahanya untuk memperoleh oksigen lebih
banyak. Pada pemberian 0,8 ml, bronkho konstrriksi yang terus meningkat
menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk-batuk kecil dan nafas tersengal-
sengal pada mencit.
Dosis keracunan (mg/kg BB) tidak diketahui sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan literatur. Dosis keracunan pyrethroid menurut Krieger (2010)
adalah 50-500mg/kg BB. Rentang dosis yang cukup jauh ini disebabkan dosis
keracunan berbeda-beda pada hewan yang berbeda dan struktur kimia yang
berbeda. Namun, pemberian baygon hingga 0,8 ml dianggap cukup besar sebab
penggembungan akibat pemberian secara subkutan tampak sangat jelas pada mencit
sehingga disimpulkan bahwa baygon memerlukan dosis yang cukup tinggi untuk
dapat menyebabkan keracunan.
Pengujian kimiawi utamanya dilakukan untuk mengetahui keberadaan
gugus P dalam senyawa pestisida. Adanya gugus P dalam pestisida dapat
disimpulkan bahwa pestisida tersebut termasuk dalam golongan organofosfat.
Organofosfat dan Karbamat merupakan dua golongan pestisida (insektisida) yang
paling sering menyebabkan keracunan (Raini 2007).
Pengujian dilakukan terhadap klorpyrifos, salah satu jenis pestisida di
pasaran, dan hasil pengujian menunjukkan adanya cincin hijau kekuningan. Warna
hijau kekuningan ini terjadi akibat adanya perubahan gugus P organik menjadi
anorganik yang diinduksi oleh HNO3 pekat sehingga dapat disimpulkan bahwa
klorpyrifos memiliki gugus P dan termasuk dalam golongan pestisida organofosfat.

SIMPULAN

Baygon dapat menyebabkan keracunan pada dosis 0.8 ml dengan gejala


klinis batuk-batuk kecil, dan dispnoe. Klorpyrifos merupakan golongan
organofosfat dengan ditunjukkanadanya cincin hijau kekuningan karena perubahan
gugus P organic menjadi anorganik yang diinduksi oleh HNO3.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Damegh MA. 2013. Toxicological impact of inhaled electric mosquito-repellent


liquid on the rat: a hematological, cytokine indications, oxidative stress, and
tumor markers.. Inhal Toxicol. 25(5):292-297.
Crossan AN, Nguyen TTT, Pham NH dan Ivan RK, editor. 2005. Safer Selection
and Use of Pesticide. Australia: Pirion Ltd.
Krieger R. 2010. Handbook of Pesticide Toxicity. Amsterdam (EU) : Elsevier
Lawrence LJ, Casida JE. 1982. Pyrethroid toxicology: mouse intracerebral
structure-toxicity relationships. Pest Biochem Physio. 18(1):9-14.
Mamun MAA, Illa IJ, Haque KMF, Ferodusi Z. 2014. Histological study of the
effects of cypermethrin on liver and kidney tissues of mice model. J Pharm
Bio Sci. 9(5):121-128.
[NPIC] National Pesticide Information Centre. 2007. Assessing Health Risks from
Pesticides. www.agric.gov. Diakses pada 9 Oktober 2018. Pukul 20.17
WIB.
Raini M. 2007. Toksikologi pestisida dan penanganan akibat keracunan pestisida.
[Kajian]. Media Litbang Kesehatan. 17(3):10-18.
Saka WA, Akhigbe RE, Azeez OM, Babatunde TR. 2011. Effects of pyrethroid
exposure on haematological and haemostatic profiles in rats. Pakistan J Bio
Sci. 14(22):1024-1027.
Scjohnson. 2018 . https://www.whatsinsidescjohnson.com/id/id/brands/baygon/
baygon_liquid_spray_floral. Diakses pada 9 Oktober 2018. Pukul 21.22
WIB.
.

Anda mungkin juga menyukai