Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan di bidang pertanian, berbagai upaya
diterapkan untuk meningkatkan hasil pertanian yang optimal. Dalam paket
intensifikasi pertanian diterapkan berbagai teknologi, antara lain penggunan
agrokimia (bahan kimia sintetik). Penggunaan agrokimia, diperkenalkan
secara besar-besaran menggantikan kebiasan atau teknologi lama, baik dalam
hal pengendalian hama maupun pemupukan tanaman.
Penyemprotan pestisida yang tidak memenuhi aturan akan
mengakibatkan banyak dampak, diantaranya dampak kesehatan bagi manusia
yaitu timbulnya keracunan pada petani yang dapat dilakukan dengan jalan
memeriksa aktifitas kholinesterase darah. Faktor yang berpengaruh dengan
terjadinya keracunan pestisida adalah faktor dari dalam tubuh (internal) dan
dari luar tubuh (eksternal).
Faktor dari dalam tubuh antara lain umur, jenis kelamin, genetik,
status gizi, kadar hemoglobin, tingkat pengetahuan dan status kesehatan.
Sedangkan faktor dari luar tubuh mempunyai peranan yang besar. Faktor
tersebut antara lain banyaknya jenis pestisida yang digunakan, jenis pestisida,
dosis pestisida, frekuensi penyemprotan, masa kerja menjadi penyemprot,
lama menyemprot, pemakaian alat pelindung diri, cara penanganan pestisida,
kontak terakhir dengan pestisida, ketinggian tanaman, suhu lingkungan,
waktu menyemprot dan tindakan terhadap arah angin.
Pestisida golongan sintetik yang banyak digunakan petani di
Indonesia adalah golongan organofosfat. Dampak penggunaan pestisida
sering ditemui keluhan antara lain muntah-muntah, ludah terasa lebih banyak,
mencret, gejala ini dianggap oleh petani sebagai sakit biasa. Beberapa efek
kronis akibat dari keracunan pestisida adalah berat badan menurun, anorexia,
anemia, tremor, sakit kepala, pusing, gelisah, gangguan psikologis, sakit dada
dan lekas marah. Pestisida organofosfat yang masuk ke dalam tubuh manusia

1
mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan menghambat kerja enzim
kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam menghantarkan impuls
sepanjang serabut syaraf.
Golongan organofosfat mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan
menghambat kerja enzim kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam
mengantarkan impuls sepanjang serabut syaraf. Pengukuran tingkat
keracunan berdasarkan aktifitas enzim kholinesterase dalam darah dengan
menggunakan metode Tintometer Kit, tingkat keracunan adalah sebagai
berikut : 75% - 100 % kategori normal, 50% - 75% kategori keracunan
ringan, 25% - 50 kategori keracunan sedang dan 0% - 25% kategori
keracunan berat.
Menurut laporan kegiatan pemeriksaan aktifitas kholinesterase darah
petani Propinsi Jawa Tengah Tahun 2005 dari 240 orang yang diperiksa
menunjukkan bahwa keracunan pestisida 67,5% dengan rincian keracunan
berat 2,5%, keracunan sedang 8,75%, keracunan ringan 55,26% dan normal
32,5%, jenis pestisida yang digunakan sebagian besar golongan
organophospat. Berdasarkan keadaan tersebut diatas, diperlukan upaya untuk
mencegah dan mengendalikan faktor-faktor risiko terjadinya keracuan pada
petani.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat.
Organofosfat adalah kelompok senyawa yang memiliki potensi dan bersifat
toksik dalam menghambat cholinesterase yang mengakibatkan akumulasi
asetilkolin pada reseptor muskarinik, nikotinik, SSP sehingga dapat
menyebabkan kematian
Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara
lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari
organofosfat termasuklah insektisida (malathion, parathion, diazinon,
fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik (trichlorfon).
Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau
parenteral, per oral, inhalasi dan juga injeksi (Frances C Shaffo, 2018).

Gambar 2.1. Struktur umum organofosfat


Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang
tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini
paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah
golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau OC2H5. Organofosfat dapat
digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat,
fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya (Frances C Shaffo, 2018).

B. Epidemiologi
Diperkirakan ribuan petani setiap hari teracuni oleh pestisida dan
jutaan orang yang terlibat pada sektor pertanian mengalami keracunan. WHO
mencatat pada tahun 2014 terjadi sebanyak 600.000 kasus dan 60.000

3
kematian terjadi di India yang diakibatkan oleh paparan pestisida secara
langsung ataupun tidak langsung. Hal ini banyak terjadi pada anak – anak,
perempuan, pekerja sektor informal serta petani. Menurut WHO (2014)
diperkirakan sekitar 5000 – 10.000 orang mengalami dampak dari keracunan
pestisida tersebut seperti kanker, cacat tubuh, penyakit liver dan jumlahnya
akan semakin meningkat di negara – negara berkembang. Terbaru pada tahun
2017 terjadi di negara Kamboja sebanyak 88% petani diketahui mengalami
dampak akut dari keracunan pestisida, sedangkan di China terjadi 53.000
hingga 123.000 kasus keracunan pestisida setiap tahunnya. Sedangkan di
Indonesia diperkirakan sekitar 12.000 kasus kematian setiap tahunnya
diakibatkan oleh keracunan pestisida akut (PANAP, 2017).

C. Faktor Resiko
Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida
adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal),
faktor-faktor tersebut adalah
1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain :

a. Umur
Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang
hidup maka usia pun akan bertambah. Seiring dengan pertambahan
umur maka fungsi metabolisme tubuh juga menurun. Semakin tua
umur maka rata-rata aktivitas kolinesterase darah semakin rendah,
sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida (Frances
C Shaffo, 2018).
b. Status gizi
Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya
daya tahan tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi.
Kondisi gizi yang buruk, protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas
dan enzim kolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan
enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang

4
memiliki tingkat gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata
kolinesterase lebih besar (Frances C Shaffo, 2018).
c. Jenis kelamin
Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-
rata 4,4μg/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan
menunjukkan bahwa tiap-tiap individu mempertahankan kadarnya
dalam plasma hingga relatif konstan dan kadar ini tidak meningkat
setelah makan atau pemberian oral sejumlah besar kholin. Ini
menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan
kholin dalam plasma pada kadar yang konstan. Jenis kelamin sangat
mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase, jenis kelamin laki-laki
lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada
perempuan lebih banyak kandungan enzim kolinesterase, meskipun
demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot dengan menggunakan
pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata kolinesterase
cenderung turun (Frances C Shaffo, 2018).
d. Tingkat pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan
tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang
pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika dibandingkan dengan
tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan
pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik (Frances C Shaffo,
2018).

2. Faktor di luar tubuh (eksternal)


a. Dosis
Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar
semakin mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna
pestisida. Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya
keracunan pestisida, hal ini ditentukan dengan lama pajanan. Untuk

5
dosis penyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat,
dosis yang dianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha (DA perwitasari, 2017).
b. Lama kerja
Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering
kontak dengan pestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida
semakin tinggi. Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma darah
karena keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar
hingga 2 minggu setelah melakukan penyemprotan (DA perwitasari,
2017).
c. Tindakan penyemprotan pada arah angin
Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan
penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angin
dengan kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada
saat menyemprot melawan arah angin akan mempunyai resiko lebih
besar dibanding dengan petani yang saat menyemprot searah dengan
arah angin (DA perwitasari, 2017).
d. Frekuensi penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi
pula resiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai
dengan ketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dengan
pestisida maksimal 5 jam perhari (DA perwitasari, 2017).
e. Jumlah jenis pestisida
Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam
waktu penyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar
bila dibanding dengan penggunaan satu jenis pestisida karena daya
racun atau konsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga
memberikan efek samping yang semakin besar (DA perwitasari, 2017
f. Toksisitas
Merupakan kesanggupan pestisida untuk membunuh sasarannya.
Pestisida yang mempunyai daya bunuh tinggi dalam penggunaan dengan
kadar yang rendah menimbulkan gangguan lebih sedikit bila dibandingkan

6
dengan pestisida dengan daya bunuh rendah tetapi dengan kadar tinggi.
Toksisitas pestisida dapat diketahui dari LD 50 oral dan dermal yaitu dosis
yang diberikan dalam makanan hewan-hewan percobaan yang menyebabkan
50% dari hewan-hewan tersebut mati. (IPCS,2015)

D. Patofisiologi
Organofosfat berasal dari H3PO4 (asam fosfat). Pestisida golongan
organofosfat merupakan golongan insektisida yang cukup besar,
menggantikan kelompok chlorinated hydrocarbon yang mempunyai
sifat:
a. Efektif terhadap serangga yang resisten terhadap
b. chorinatet hydrocarbon.
c. Tidak menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan untuk
jangka waktu yang lama
d. Kurang mempunyai efek yang lama terhadap non target organisme
e. Lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang,
jika dibandingkan dengan organoklorine.
f. Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzym cholinesterase.

Lebih dari 50.000 komponen organofosfat telah disynthesis dan


diuji untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih
dari 500 jenis saja dewasa ini. Semua produk organofosfat tersebut berefek
toksik bila tertelan, dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya
untuk membunuh serangga. Beberapa jenis insektisida digunakan untuk
keperluan medis misalnya fisostigmin, edroprium dan neostigmin yang
digunakan utuk aktivitas kholinomimetik (efek seperti asetyl kholin). Obat
tersebut digunakan untuk pengobatan gangguan neuromuskuler seperti
myastinea gravis. Fisostigmin juga digunakan untuk antidotum pengobatan
toksisitas ingesti dari substansi antikholinergik (mis: trisyklik anti
depressant, atrophin dan sebagainya). Fisostigmin, ekotiopat iodide dan

7
organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada
mata yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata.
Organophosphat disintesis pertama di Jerman pada awal perang
dunia ke II. Bahan tersebut digunakan untuk gas saraf sesuai dengan
tujuannya sebagai insektisida. Pada awal synthesisnya diproduksi senyawa
tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat
efektif sebagai insektisida, tetapi juga cukup toksik terhadap mamalia.
Penelitian berkembang terus dan ditemukan komponen yang poten terhadap
insekta tetapi kurang toksik terhadap orang (mis: malathion), tetapi masih
sangat toksik terhadap insekta.
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara
jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang.
Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian,
tetapi diperlukan lebih dari beberapa miligram untuk dapat menyebabkan
kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi
pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah
merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis
asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat,
mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan
reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal
tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada
seluruh bagian tubuh.
Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophospat
melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.
Seseorang yang keracunan pestisida organophospat akan
mengalami gangguan fungsi dari saraf-saraf tertentu. Sebagai bagian vital
dalam tubuh, susunan saraf dilindungi dari toksikan dalam darah oleh
suatu mekanisme protektif yang unik, yaitu sawar darah otak dan sawar
darah saraf. Meskipun demikian, susunan saraf masih sangat rentan
terhadap berbagai toksikan. Hal ini dapat dikaitkan dengan kenyataan
bahwa neuron mempunyai suatu laju metabolisme yang tinggi dengan

8
sedikit kapasitas untuk metabolisme anaerobik. Selain itu, karena dapat
dirangsang oleh listrik, neuron cenderung lebih mudah kehilangan
integritas membran sel. Panjangnya akson juga memungkinkan susunan
saraf menjadi lebih rentan terhadap efek toksik, karena badan sel harus
memasok aksonnya secara struktur maupun secara metabolisme.
Susunan saraf terdiri atas dua bagian utama, yaitu susunan
saraf pusat (CNS) dan susunan saraf tepi (PNS). CNS terdiri atas otak dan
sumsum tulang belakang, dan PNS mencakup saraf tengkorak dan saraf
spinal, yang berupa saraf sensorik dan motorik. Neuron saraf spinal
sensorik terletak pada ganglia dalam radiks dorsal. PNS juga terdiri atas
susunan saraf simpatis, yang muncul dari neuron sumsum tulang
belakang di daerah thoraks dan lumbal, dan susunan saraf parasimpatis
yang berasal dari serat saraf yang meninggalkan SSP melalui saraf
tengkorak dan radiks spinal sakral.

E. Manifestasi Klinis
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala
yang timbul sangat bergantung pada adanya stimilasi asetilkholin persisten
atau depresi yang diikuti oleh stimulasi.saraf pusat maupun perifer. Efek
muskarinik, nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas organofosfat.
a. Muskarinik
- Salivasi, lacrimasi, urinasi dan diare (SLUD)
- Kejang perut
- Nausea dan vomitus
- Bradicardia
- Miosis
- Berkeringat
b. Nikotinik
- Pegal-pegal, lemah
- Tremor

9
- Paralysis
- Dyspnea
- Tachicardia
c. Sistem saraf pusat
- Bingung, gelisah, insomnia, neurosis
- Sakit kepala
- Emosi tidak stabil
- Bicara terbata-bata
- Kelemahan umum
- Convulsi
- Depresi respirasi dan gangguan jantung
- Koma
Gejala awal seperti SLUD terjadi pada keracunan organofosfat
secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga
kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan otot
polos.
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan
atau 12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
perubahan secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari
perubahan/pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar
melalui urine. Adapun gejala keracunan pestisida golongan organofosfat
adalah (Katz, 2012):
1. Gejala awal
Gejala awal akan timbul mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas, sakit
kepala dan gangguan penglihatan.
2. Gejala lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan,
pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui hidung),
kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan,
kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.

10
3. Gejala sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan, hilangnya
reflek, kejang dan koma.
4. Kematian
Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian
dikarenakan kelumpuhan otot pernafasan.

E. Penegakan Diagnosis
Kriteria diagnosis pada keracunan adalah (Budiawan, 2008) :
1. Anamnesa kontak antara korban dengan racun.
2. Adanya tanda – tanda serta gejala yang sesuai dengan tanda dan gejala
dari keracunan racun yang diduga.
3. Dari sisa benda bukti harus dapat dibuktikan bahwa na benda bukti
tersebut memang racun yang dimaksud.
4. Dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang
sesuai dengan keracunan dari racun yang diduga serta dari bedah mayat
tidak ditemukan adanya penyebab kematian lain.
5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik , harus dapat dibuktikan
adanya racun serta metabolitnya dalam tubuh atau cairan tubuh korban ,
secara sistemik.
Dalam menentukan jenis zat toksis yang menyebabkan keracunan,
seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi di
tubuh manusia. Salah satu hal yang dapaat digunakan untuk
mengindentifikasi adalah dengan pemeriksaan biomarker zat toksik.
Biomarker dari suatu paparan zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri,
metabolit dari suatu bahan yang mengalami perubahan (metabolism) dalam
tubuh (dalam darah, urin, udara, dan udara pernafasan) contohnya aktifitas
asetilkolinesterase dalam darah untuk investigasi kasus keracunan
organofosfat (Budiawan, 2008).

11
G.Penatalaksanaan
1. Stabilisasi Pasien
Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan
evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda
dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan
terhadap saluran pernafasan dan intubasi endotrakeal harus
dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan
kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien
harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung.
Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan
oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini
harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum (Katz et al.,
2011).
2. Dekontaminasi
Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami
keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harus segera
dibersihkan dengan sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada
ruangan yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari
kontaminasi sekunder dari udara (Katz et al., 2011).
Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi
toksikan yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa
digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran
pencernaan. Dekontaminasi pada saluran cerna harus dilakukan setelah
kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui
pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan diharapkan masih
berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika organofosfat
dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang
mengalami muntah (Katz et al., 2011).

12
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap
toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan
setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami
pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat
berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik (Katz et al.,
2011).
3. Pemberian Antidotum
a. Agen Antimuskarinik
Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat,
dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena
keracunan organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah
Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin
melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat
pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan
bronkorea (Gunawan, 2000).
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan
setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis
awalnya 0,05mg/kg BB yang digandakan setiap 2-3 menit sampai
teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi penanganan keracunan
organofosfat dengan Atropin (Gunawan, 2000).
b. Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan
untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat.
Terapi ini diperlukan karena Atropine tidak berpengaruh pada efek
nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat
mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang fosforil
organofosfat dari sisi aktif enzim (Gunawan, 2000).
Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada
regimen dosis tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam),
Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine total dan
mengurangi jumlah penggunaan ventilator (Gunawan, 2000).

13
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian
Pralidoxime meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness,
nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi,
penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping
tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan
Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat (Gunawan,
2000).
c. Pemberian anti-kejang
Dazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas,
gelisah (dosis: 5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk
mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20 mg IV) (Gunawan, 2000).

H. Komplikasi
1. Gagal nafas
2. Kejang
3. Pneumonia aspirasi
4. Kematian

14

Anda mungkin juga menyukai