Anda di halaman 1dari 16

LIMBAH PERTANIAN

Tugas makalah Pengendalian Pencemaran Perairan

Disusun oleh:
Kelompok : I (satu)
Kelas : MSP-A
Nama : 1. Winda Mega P. 26010117120001
2. Cindy Claresta 26010117140001
3. Meutia Molinda 26010117140002
4. Amelia Wijayanti 26010117120002
5. Mersi Liwau D. 26010117140003
6. Sharfina Amalia D. 26010117140004
7. Riyatun 26010117120005

DEPARTEMEN SUMBERDAYA AKUATIK


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Iklim tropis di Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki tanah yang
subur dan cocok untuk ditanami berbagai macam jenis tanaman. Dalam upaya
meningkatkan mutu dan produktivitas hasil pertanian, penggunaan pestisida untuk
membasmi hama tanaman sering tak terhindarkan. Pestisida yang digunakan
diharapkan dapat membantu petani dalam mendapatkan keuntungan yang
maksimal. Penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak terkendali seringkali
memberikan risiko keracunan pestisida bagi petani. Risiko keracunan pestisida ini
terjadi karena penggunaan pestisida pada lahan pertanian khususnya sayuran.
(Nugroho, A. 1997).
Penggunaan pestisida dengan dosis besar dan dilakukan secara terus
menerus akan menimbulkan beberapa kerugian, antara lain residu pestisida akan
terakumulasi pada produk-produk pertanian, pencemaran pada lingkungan
pertanian, penurunan produktivitas, keracunan pada hewan, keracunan pada
manusia yang berdampak buruk terhadap kesehatan.. Penelitian yang dilakukan
oleh Prihadi pada tahun 2007 menunjukkan bahwa sebesar 76,47 % petani di Desa
Sumberejo Kecamatan Ngablak mengalami keracunan akibat pestisida dan
60,29% petani menderita anemia. Salah satu masalah utama yang berkaitan
dengan keracunan pestisida adalah bahwa gejala dan tanda keracunan khususnya
pestisida dari golongan organofosfat (Maria et al .,2015).
Pestisida organofosfat dan karbamat menimbulkan efek pada serangga,
mamalia dan manusia melalui inhibisi asetilkoli nesterase pada saraf. Pestisida
organofosfat dan karbamat menghambat enzim asetilkolinesterase (AChE) melalui
proses fosforilasi bagian ester anion. Aktivitas AChE tetap dihambat sampai
enzim baru terbentuk kembali atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan.
Penumpukan ACh yang terjadi akibat terhambatnya enzim AChE inilah yang
menimbulkan gejala-gejala keracunan organofosfat. Gejala klinik baru akan
timbul bila aktivitas kolinesterase 50% dari normal atau lebih rendah. Akan tetapi
gejala dan tanda keracunan organofosfat juga tidak selamanya spesifik bahkan
cenderung menyerupai gejala penyakit biasa (Prabowo R dan Subantoro R. 2012).

2. Rumusan Masalah
Penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan standar keamanan yang
berlaku dapat menimbulkan keracunan pada petani. Prosedur penggunaan
pestisida yang aman akan dapat mengurangi terjadinya keracunan akibat pestisida
pada petani, misalnya menggunakan APD lengkap saat pengelolaan pestisida,
lama waktu saat penyemprotan, dosis dan toksisitas pestisida yang digunakan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat rumusan masalahfaktor-faktor yang
berhubungan dengan keracunan pestisida organofosfat, pada pengendalian
pencemaran limbah petanian?”.

3. Tujuan Penelitian
Mengetahui perubahan yang terjadi pada perairan apabila telah tercemar
oleh limbah pertanian, serta cara menanggulangi dan mengendalikan pencemaran
akibat limbah pertanian.

4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
terkait di dalamnya antara lain :
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan
kesehatan masyarakat tentang penggunaan pestisida organofosfat dan
karbamat serta dampak yang akan terjadi akibat penggunaannya.
2. Bagi Dinas Terkait
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu Dinas Terkait untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik lagi dan tepat sasaran
sehingga dampak negatif dari penggunaan pestisida organofosfat dan
karbamat dapat diminimalisir.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Limbah Pertanian
Limbah adalah buangan, berbentuk cair, padat, dan gas sebagai akibat
kegiatan manusia, makhluk hidup lainnya, dan proses-proses alam yang saat ini
belum dapat dimanfaatkan karena pengolahannya tidak ekonomis. Jika
nantinya buangan tersebut dapat dimanfaatkan lagi secara ekonomis karena
perkembangan teknologi, maka buangan tersebut sudah tidak dapat dikatakan
lagi sebagai limbah. Di dalam limbah terkandung zat-zat pencemar dengan
konsentrasi tertentu yang bila dimasukkan ke dalam lingkungan akan dapat
mengubah kualitas lingkungan ke arah yang lebih jelek berupa penurunan
kualitas lingkungan atau pencemaran lingkungan (Prabowo dan Subantoro,
2012).
Pencemaran lingkungan didefinisikan sebagai peristiwa kehadiran atau
penambahan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain secara sengaja
atau tidak disengaja ke dalam lingkungan oleh manusia atau proses alam,
sehingga kualitas lingkungan menurun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
peruntukannya. Oleh karena itu, kualitas lingkungan harus dikendalikan agar
masih sesuai atau masih mempunyai dayadukung terhadap lingkungan melalui
upaya-upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Bila penurunan kualitas
lingkungan masih sesuai dengan peruntukan lingkungannya, maka tidak dapat
dikatakan terjadi pencemaran lingkungan, tetapi hanya mengalami penurunan
kualitas lingkungan (Nugroho, 1997).
Limbah Cair Pertanian adalah air larian yang masih mengandung sisa pupuk
anorganik (N-P-K) dan pestisida yang tidak terserap dalam tanah. Pupuk
anorganik dan pestisida tidak semuanya terserap oleh tanah, sehingga sisanya
menjadi limbah yang sebagian terakumulasi dalam tanah dan sebagian lagi
terikut dalam air larian sehingga dapat menimbulkan limbah cair yang nantinya
akan masuk ke saluran, sungai, waduk dan sebagainya dan akhirnya akan
mengganggu kesehatan manusia dan kehidupan biota
perairan.Kegiatanpertanian terutama akibat menggunakan pestisida yang
berlebihan akan mempengaruhi kualitas air sungai melalui buangan dari lahan
pertanian yang masuk ke badan air.(Maria et al., 2015).
2. Pestisida
Secara harfiah, pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide:
membunuh). Dalam bidang pertanian banyak digunakan senyawa kimia, antara
lain sebagai pupuk tanaman dan pestisida. Berdasarkan SK Menteri Pertanian
RI No. 434.1/Kpts/TP.270/7/2001, tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran
Pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia atau bahan
lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan berikut :
a. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian;
b. Memberantas rerumputan;
c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman (tetapi tidak termasuk golongan pupuk).
Toksisitas atau daya racun adalah sifat bawaan pestisida yang
menggambarkan potensi pestisida untuk menimbulkan kematian langsung (atau
bahaya lainnya) pada hewan tingkat tinggi, termasuk manusia. Toksisitas
dibedakan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik, dan toksisitas subkronik.
Toksisitas akut merupakan pengaruh merugikan yang timbul segera setelah
pemaparan dengan dosis tunggal suatu bahan kimia atau pemberian dosis
ganda dalam waktu kurang lebih 24 jam. Toksisitas akut dinyatakan dalam
angka LD50, yaitu dosis yang bisa mematikan (lethal dose) 50% dari binatang
uji (umumnya tikus, kecuali dinyatakan lain) yang dihitung dalam mg/kg berat
badan. LD50 merupakan indikator daya racun yang utama, di samping
indikator lain. Dibedakan antara LD50 oral (lewat mulut) dan LD50 dermal
(lewat kulit). LD50 oral adalah potensi kematian yang terjadi pada hewan uji
jika senyawa kimia tersebut termakan, sedangkan LD50 dermal adalah potensi
kematian jika hewan uji kontak langsung lewat kulit dengan racun tersebut
(Nyoman dan Bieby, 2014).
Toksisitas kronik adalah pengaruh merugikan yang timbul akibat pemberian
takaran harian berulang dari pestisida atau pemaparan pestisida yang
berlangsung cukup lama (biasanya lebih dari 50% rentang hidup). Pada hewan
percobaan, ini berarti periode pemaparan selama 2 tahun. Sementara toksisitas
subkronik mirip dengan toksisitas kronik, tetapi untuk rentang waktu yang
lebih pendek, sekitar 10% dari rentang hidupnya, atau untuk hewan percobaan
adalah pemaparan selama 3 bulan. Parameter lain yang digunakan adalah LC50
inhalasi, yaitu konsentrasi (mg/l udara) pestisida yang mematikan 50% dari
binatang uji. LC50 juga digunakan untuk menguji daya racun pestisida (mg/l
air) terhadap hewan air misalnya ikan (Mariana, 2007).

B. Sumber Limbah Pertanian


Sumber limbah pertanian umumnya berasal dari sisa-sisa hasil pertanian
baik dari proses awal pemupukan hingga pemanenan pun menghasilkan limbah.
Limbah dari hasil pertanian ada yang bersifat positif ada juga yang bersifat
negatif. Dimana limbah yang bersifat positif ini masih dapat di manfaatkan oleh
makhluk hidup lainnya. Sedangkan limbah yang bersifat negatif umumnya
memberi dampat buruk terhadp lingkungan disekitarnya maupun makhluk hidup
yang ada di sekitarnya. Limbah pertanian secara umum berasal dari perkebunan
kelapa sawit, tebu, kelapa serta sisa panen dan lain-lainnya yang mencapai kira–
kira 40 milyar ton per-tahun (Saputra et al., 2007).

C. Karakteristik Limbah Pertanian


Limbah yang berasal dari pengolahan hasil pertanian secara umum ditandai
dengan tingginya kandungan protein, tingginya kandungan karbohidrat tapi
rendah protein, dan tingginya kandungan pati dengan kandungan serat yang
rendah. Limbah pertanian dan perkebunan dapat bersifat amba (bulky), berserat
(fibrous), kecernaan rendah (low digestibility), dan rendahnya kandungan protein
(low protein). Komponen berserat umumnya teridiri dari:
1. Selulosa: mempunyai bobot molekul tinggi, terdapat dalam jaringan
tanaman pada bagian dinding sel sebagai mikrofibril, terdiri dari rantai
glukan yang diletakkan oleh ikatan hirogen. Selulosa dicerna oleh enzim
selulase menghasilkan asam lemak terbang atau VFA(volatile fatty acid)
seperti asetat, propionat, dan butirat.
2. Hemiselulosa: terdapat bersama selulosa, terdiri dari pentosan, pectin, xylan
dan glikan. Hidrolisa oleh enzim hemiselulase menghasilkan lemak terbang.
3. Lignin: suatu substansi yang kompleks dan tidak dapat dicerna, terdapat
pada bagian kau dari tanaman (kulit gabah, bagian fibrosa akar, batang, dan
daun). Keberadaan lignin selalu bersama-sama dengan selulosa dan
hemiselulosa dalammenyusun dinding sel. Karena selalu bersama selulosa
dan hemiselulosa, lignin dikenal sebagai karbohirat, namun sesungguhnya
lignin berbeda dengankarbohirat. Perbedaan terletak pada atom karbon (C)
dimana aton karbon pada lignin lebih tinggi dan tidak proporsional.
Semakin tua tanaman kadar Lignin. Semakin tinggi akibatnya daya cerna
semakin menurun dengan semakin bertambahnya lignifikasi. Selain
mengikat sesulosa dan hemiselulosa, lignin juga mengikat protein dinding
sel. Lignin tidak dapat larut dalam cairan rumen oleh sebab itu lignin
merupakan penghambat bagi mikroorganisme rumen dan enzim untuk
mencerna tanaman tersebut.
4. Silika: kristal yang terdapat dalam dinding sel dan mengisi ruangantar sel.
Pada tanaman sereal kandungan, abu yang tinggi biasanya sejalan dengan
kadar silikanya (Irianto,2015) .

D. Proses Limbah Pertanian pada Perairan

Limbah pertanian merupakan salah satu penyebab pencemaran air. Limbah


pertanian antara lain adalah jerami, sekam padi, pupuk organik, sisa batang, buah
dan sayur busuk dan lain–lain. Limbah pertanian tersebut biasanya dibuang ke
aliran sungai tanpa melalui proses pengolahan, sehingga dapat menyebabkan
pencemaran air.Limbah pertanian mengandung berbagai macam zat pencemar
seperti pupuk dan pestisida yang bersifat beracun bagi organisme perairan, burung
maupun manusia. Limbah cair yang dihasilkan dari pertanian banyak mengandung
bahan-bahan organik seperti karbohidrat, lemak dan protein, sehingga mudah
membusuk serta memunculkan persoalan polusi air. Selanjutnya adalah limbah
pertanian gas adalah limbah yang dihasilkan dari aktivitas dan pengolahan
pertanian yang memiliki bentuk gas. Limbah gas ini dikeluarkan pada saat
pengolahan hasil-hasil pertanian, apabila gas yang muncul berupa uap air pada
pelaksanaan pengurangan kadar air selama pelaksanaan pelayuan teh dan juga
pelaksanaan pengeringannya. Limbah pertanianmengandungbanyak bahan
lignoselulosa yang dapat didegradasi oleh selulase. Bahan lignoselulosa tersebut
merupakan komponen organik yang berlimpah di alam (Anindyawati, 2010).
Pestisida untuk mencapai perairan terdapat empat jalur utama yaitu: Terbang
ke area di luar yang disemprotkan, melalui perkolasi menuju ke dalam tanah,
dibawa oleh aliran air permukaan, atau ditumpahkan secara sengaja maupun tidak.
Pestisida juga bergerak di perairan bersama dengan erositanah. Faktor yang
mempengaruhi kemampuan pestisida dalam mengkontaminasi perairan antara lain
mencakup tingkat kelarutan, jarak pengaplikasian pestisida dari badan air, cuaca,
jenis tanah, keberadaan tanaman di sekitar, dan metode yang digunakan dalam
mengaplikasikannya. Selain itu fraksi halus sedimen penyusun dasar perairan juga
berperan dalam persebaran pestisida DDT dan turunannya. Apabila residu
pestisida telah mencapai konsentrasi tertentu makaperairan yang tercemar tersebut
akan sangat berpengaruh terhadap lingkungan dan organisme akuatik yang hidup
di dalamnya (Taufik, 2011).
Salah satu yang dapat merusak ekosistem air adalah penguraian sampah
organik dimana proses penguraiannya memerlukan banyak oksigen sehingga
kandungan oksigen dalam air menjadi sedikit yang mengakibatkan ikan dan
organisme dalam air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian.
Bahan pencemar organik yang tidak dapat diurai mikroorganisme sehingga akan
menumpuk dan mencemari air dan menggangu makhluk hidup di dalamnya.
Terjadinya proses eutrofikasi dari limbah fosfat yang merupakan nutrisi bagi
tumbuhan alga seperti eceng gondok sehingga menyebabkan kadar oksigen dan
sinar matahari menjadi terhalang dan menggangu kehidupan akuatik. Peningkatan
suhu air karena pemanasan global, dan bahan pencemar berupa endapan sedimen
yang menyebabkan air menjadi keruh sehingga menggangu kehidupan akuatik. air
dengan kekeruhan tinggi akan sulit untuk didisinfeksi (Widiyantio et al., 2015).

E. Dampak Limbah Pertanian


Dampak yang terjadi akibat adanya limbah pertanian pada lingkungan dan
mahluk hidup pastinya akan memberikan efek tersendiri bagi organisme maupun
ekosistem yang ada di sekitarnya. Salah satu sumber limbah pertanian adalah
pupuk pestisida masih diperlukan dalam kegiatan pertanian. Penggunaan pestisida
sendiri jika tidak bijaksana dan tidak sesuai dengan aturannya akan menimbulkan
dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Bahan kimia seperti
‘sida’ yang diaplikasikan ke alam sekitar sering kali akan terakumulasi di dalam
tanah, air tanah serta bagian dari tanaman atau hewan dan akhirnya akan
berdampak kepada manusia itu sendiri (Aryantha, 2015).
Menurut Adriyani (2017), berikut ini diuraikan beberapa dampak negatif
yang mungkin sering kali timbul akibat penggunaan pupuk pestisida dalam bidang
pertanian, yang tidak sesuai dengan aturan diantaranya:
1. Pencemaran air dan tanah
Di ekosistem perairan, pencemaran air oleh pupuk pestisida terutama terjadi
melalui media aliran air dari tempat antropogenik yang menggunakan pestisida
dalam usaha mena- ikkan produksi pertanian dan peternakan. Jenis-jenis pupuk
pestisida yang persisten (DDT, Aldrin, Dieldrin) tidak mengalami degradasi
dalam tanah, akan teteapi malah berakumulasi. Dalam perairan, pestisida akan
mengakibatkan biology magnification, dimana pada pestisida yang persisten
dapat mencapai komponen terakhir, artinya manusia melalui rantai makanan.
Pestisida dengan formulasi granula, akan mengalami proses dalam tanah dan
air sehingga ada kemungkinan untuk mencemari ekosistem tanah dan air.
2. Pencemaran udara
Pestisida yang disemprotkan akan segera bercampur dengan udara dan
langsung terkena sinar matahari. Sehingga pestisida dapat mengalami
fotodekomposisi di udara. Pestisida itu sendiri mengalami perkolasi atau turut
serta terbang mengikuti aliran angin. Semakin halus butiran larutannya maka
semakin besar kemungkinan yang ikut perkolasi serta semakin jauh ikut
diterbangkan arus angin.
3. Timbulnya spesies hama yang resisten
Spesies hama yang akan dibasmi dapat menjadi toleran terhadap pestisida,
sehingga populasinya tidak terkendali. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah
individu yang mati sedikit sekali atau tidak ada yang mati, meskipun telah
disemprot dengan pestisida yang dosis normal atau dengan dosis lebih tinggi
sekalipun. Populasi dari spesies hama dapat pulih kembali dengan cepat dari
efek racun pestisida itu sendiri serta dapat menimbulkan tingkat resistensi
pestisida tertentu pada populasi baru yang lebih tinggi, hal ini biasanya
disebabkan oleh adanya pestisida golongan organoklorin.
4. Timbulnya spesies hama baru atau ledakan hama sekunder
Dengan penggunaan pestisida yang ditujukan untuk membasmi jenis hama
tertentu, bahkan dapat menyebabkan munculnya jenis hama yang lain. Ledakan
hama sekunder tersebut terjadi beberapa saat setelah penggunaan pestisida,
atau pada akhir musim tanam atau pada musim tanam berikutnya. Ledakan
hama sekunder ini dapat lebih merusak daripada hama sasaran sebelumnya
yang ada.
5. Resurgensi
Resurgensi merupakan fenomena bila suatu jenis hama setelah memperoleh
perlakuan pestisida berkembang menjadi lebih banyak dibanding dengan yang
tanpa perlakuan pestisida. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya resurgesi
antara lain adalah:
(a) butir semprotan pestisida tidak sampai pada tempat hama berkumpul
dan makan;
(b) kurangnya pengaruh residu pestisida untuk membunuh nimfa hama yang
menetas sehingga resisten terhadap pestisida;
(c) predator alam mati terbunuh pestisida;
(d) pengaruh fisiologis insektisida kepada kesuburan hama dimana hama
akan bertelur lebih banyak dengan angka kematian hama yang
menurun;
(e) pengaruh fisiologis pestisida kepada tanaman sedemikian rupa sehingga
hama dapat hidup lebih subur.

6. Merusak keseimbangan ekosistem


Penggunaan pupuk pestisida seperti insektisida, fungisida dan herbisida
yaitu untuk memberantas hama tanaman, hewan, dan gulma (tanaman benalu)
yang dapat mengganggu produksi tanaman sering menimbulkan komplikasi
lingkungan. Penekanan terhadap populasi insekta hama tanaman yaitu
menggunakan insektisida, juga mempengaruhi predator dan parasitnya,
termasuk serangga lainnya yang memangsa spesies hama juga dapat terbunuh.
Misalnya, burung dan vertebrata lain pemakan spesies yang terkena insektisida
akan terancam kehidupannya. Sehingga dengan demikian bersamaan dengan
menurunnya jumlah individu spesies hama, menurun pula parasitnya.
7. Dampak terhadap kesehatan masyarakat
Penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian yang tidak sesuai dapat
mengakibatkan dampak negatif pada kesehatan manusia, diantaranya ada:
(a) terdapat residu pestisida pada produk pertanian;
(b) bioakumulasi dan biomagnifikasi melalui rantai makanan.
Manusia sebagai makhluk hidup yang menempati letak paling ujung dari
rantai makanan dimana dapat memperoleh efek biomagnifikasi yang paling
besar.

F. Pengendalian Pencemaran Pada Limbah Pertanian


Pengendalian pencemaran perlu dilakukan karena menjamin kualitas air
agar sesuai dengan baku mutu air. Pegendalian dapat dilakukan melalui upaya
pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air.
Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat potensi pemanfaatan
atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas
maupun kuantitasnya. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
melakukan pengendalian pencemaran air yang berasal dari limbah pertanian:
1. Pengelolaan Pestisida
Tindakan pengelolaan terhadap pestisida bertujuan untuk agar manusia
terbebas dari keracunan dan pencemaran oleh pestisida. Beberapa tindakan
pengelolaan yang perlu diambil untuk mencegah keracunan dan pencemaran
oleh pestisida ialah penyimpanan, pembuangan serta pemusnahan limbah
pestisida. Penyimpanan pestisida sebagai barang berbahaya harus diperhatikan.
Pestisida harus disimpan pada tempat yang aman.
Menurut Adriyani (2006), limbah pestisida biasanya berupa pestisida sisa
yang berada dalam kemasan. Pembuangan yang tidak benar selain dapat
mencemari lingkungan juga merupakan potensi bagi orang untuk terpapar
secara tidak langsung dengan pestisida. Pembuangan dan pemusnahan limbah
pestisida, yang perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Sampah pestisida sebelum dibuang harus dirusak terlebih dahulu sehingga
tidak dapat digunakan lagi.
b) Pembakaran wadah pestisida harus dilakukan di suatu tempat yang
letaknya jauh dari rumah untuk mencegah terhirupnya asap yang
ditimbulkan panas pembakaran tersebut.
c) Pembuangan sampah atau limbah pestisida sebaiknya harus ditempat
khusus, bukan di tempat pembuangan sampah atau limbah umum.
d) Lokasi tempat pembuangan dan pemusnahan sampah atau limbah pestisida
harus terletak pada jarak yang aman dari daerah pemukiman dan badan air.
e) Untuk melakukan pemusnahan pestisida, pilihlah tempat yang permukaan
air tanahnya pada musim hujan tidak lebih tinggi dari 3,25 meter di bawah
permukaan tanah.
f) Tempat penguburan pestisida letaknya harus jauh dari sumber air, sumur,
kolam ikan dan saluran air minum (100 meter atau lebih).
g) Jarak antara 2 (dua) lubang tidak boleh kurang dari 10 meter.

2. Pengawasan Terhadap Penggunaan Pestisida


Penggunaan pestisida baik pada bidang kesehatan masyarakat untuk
pemberantasan vector penyakit ataupun pada bidang pertanian harus dimonitor
oleh perwakilan WHO pada tingkat nasional untuk membantu pengembangan
strategi manajemen resistensi dan petunjuk penggunaan pestisida secara aman
dan terbatas, dan perjanjian penggunaan pestisida pada tingkat internasional
(WHO 2001).

3. Sistem Pertanian Back To Nature


Sistim pertanian dengan konsep back to nature merupakan salah satu solusi
yang menarik untuk mengurangi penggunaan pestisida dalam bidang pertanian.
Dalam konsep ini dikembangkan system pertanian yang tidak menggunakan
pestisida dalam mengendalikan hama tanaman. Cara yang dapat ditempuh
untuk mencegah dan mengurangi serangan hama antara lain mengatur jenis
tanaman dan waktu tanam, memilih varietas yang tahan hama, memanfaatkan
predator alami, menggunakan hormone serangga, memanfaatkan daya tarik
seks pada serangga (Adriyani, 2006).
Penggunaan pestisida alami atau disebut juga pestisida nabati adalah bahan
aktif tunggal atau majemuk yang dapat digunakan untuk mengendalikan
organisme pengganggu tumbuhan, dengan bahan dasar yang berasal dari
tumbuhan. Pestisida nabati ini relative aman bagi lingkungan, mudah dibuat
dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Pestisida nabati dapat
berfungsi sebagai penolak, penarik, anti fertilitas (pemandul), pembunuh dan
bentuk lainnya. Keuntungan penggunaan pestisida nabati antara lain: bersifat
mudah terurai (bio-degradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan,
relative aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang,
dan relative mudah dibuat oleh masyarakat.

4. Teknologi Pengolahan Limbah


Setiap jenis limbah mempunyai kekhususan dalam teknologi, tergantung
jenis limbah yang akan diolah dan tingkat kesulitan dalam pengolahan.
Teknologi pengolahan limbah yang ada di pasar, sebagian besar merupakan
paket teknologi, oleh Karena itu didalam pemilihan teknologi, sebaiknya
dilakukan dahulu semacam penelitian untuk mengetahui karakter limbah yang
akan diolah. Dengan mengetahui karakter limbah kita akan menentukan proses
pengolahan limbahyang akan dilakukan, waktu yang dibutuhkan untuk proses
pengolahan, bahan dan energy yang akan digunakan, biaya konstruksi dan
operasi yang akan dikeluarkan. Pengetahuan akan teknologi pengolahan limbah
penting agar tidak terjadi pemborosan yang berakibat kerugian (Herlambang,
2006).
5. Pemanfaatan Kembali Menjadi Pupuk Organik
Limbah pertanian dapat diolah kembali menjadi pupuk organik yang dapat
dimanfaatkan untuk pertanian. Pupuk organic adalah pupuk yang terbuat dari
bahan organic atau makhluk hidup yang telah mati. Bahan organic akan
mengalami pembusukan microorganism sehingga sifat fisiknya akan berbeda
dari semula (Mulasari et al., 2018).

6. Penegakan Hukum
Pemberian izin pembuangan air limbah kesungai dapat diizinkan dengan
catatan memperhatikan kondisi daya tamping beban pencemaran air pada
sungai setempat, serta perlu dilakukannya penegakan hokum terhadap pelaku
usaha pada bidang pertanian apabila melanggar ataupun melebihi standard
baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan (Alyandri et al., 2019).

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Perubahan-perubahan yang umum terjadi pada perairan apabila telah
terkontaminasi oleh limbah pertanian yaitu perubahan kualitas pada air dan juga
tanah, terjadinya pencemaran udara, timbulnya spesies hama yang resisten,
timbulnya spesies hama baru ataupun terjadinya ledakan hama sekunder,
resurgensi atau pertambahan jumlah hama yang lebih banyak, dapat merusak
keseimbangan ekosistem dan juga yang terpenting adalah dapat mempengaruhi
kesehatan masyarakat. Perubahan-perubahan ini dapat dicegah dan dikendalikan
dengan beberapa cara yaitu dengan melakukan pengelolaan pestisida dengan baik,
melakukan pengawasan terhadap penggunaan pestisida, mengubah system
pertanian menjadi sistem yang Back To Nature, mengubah atau mengembangkan
teknologi pengolahan limbah, pemanfaatan kembali menjadi pupuk organik, serta
melakukan penegakan hokum terhadap pelaku usaha ataupun jasa pada bidang
pertanian.

2. Saran
Saran yang dapat diberikan yaitu sebaiknya diperlukan pemantauan dan
pengawasan yang ketat dalam pembuangan limbah pertanian keperairan, dengan
memperhatikan daya tamping beban pencemar perairan tersebut. Perlu juga
dilakukan perubahan teknik pengolahan dan pengelolaan limbah pertanian dari
pelaku usaha pada bidang pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Adriyani, Retno. 2006. Usaha Pengendalian Pencemaran Lingkungan Akibat


Penggunaan Pestisida Petanian. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 3(1): 95-
106.

Alyandri, F. H., N. Mulya, R. R. Sari, S. I. Nofrilianti, F. Oktari, E. S. Permanadan


F. Novendri. 2019. Analisis Kualitas Air dan Strategi Pengendalian
Pencemaran Air Sungai Tiga Titik di Kecamatan Kota Padang. Jurnal
Kapita Selekta Geografi. 2(5): 13-24.

Anindyawati, T. 2010. Potensi Selulase Dalam Mendegradasi Lignoselulosa


Limbah Pertanian Untuk Pupuk Organik. Jurnal Selulosa, 45(2) : 70 - 77.
Aryantha, I N.P. 2015. Membangun Sistim Pertanian Berkelanjutan. Jurnal
ResearchGate KPP Ilmu Hayati. 1(10): 1-13.

Herlambang, Arie. 2006. Pencemaran Air dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal


Air Indonesia. 2(1): 16-29.

Irianto, K. 2015. Buku Ajar Pengolahan Limbah Pertanian. Fakultas Pertanian


Program Studi Agroteknologi Universitas Warmadewa.

Maria, G., Catur, Y., dan Budi W., Henna, R. S. 2015. Analisis Risiko Pajanan
Pestisida Terhadap Kesehatan petani. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 10
(2): 239-245.

Mariana, R. 2007. Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan


Pestisida. Media Litbang Kesehatan xvi i(3).

Mulasari, S. A., F. Tentama, Sulistyawati dan T. W. Sukesi. 2018. Pengolahan


Limbah Pertanian Menjadi Briket, Bokashi, Silase, dan Kompos Cascing
di Desa Sidorejo Godean. Jurnal Bagimu Negri. 2(2): 95-104.

Nugroho, A. 1997. Teknologi Pengolahan Limbah Cair Lanjut Bagian I. Jurusan


Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang

Nyoman, N.Y.L dan Bieby V. T. 2014 .Uji Toksisitas Akut Insektisida Diazinon
dan Klorpirifos Terhadap Biota Uji Ikan Guppy (Poecillia reticulate) dan
(Pistiastratiotes). Seminar Nasional Pascasarjana. Xivi.

Prabowo , R, dan Subantoro R. 2012. Kualitas Air Beban Pencemaran Pestisida di


Sungai Babon Kota Semarang. 8(1): 9-17.

Saputra, E.,S. Bahri dan Edward Hs. 2007. Bio-Oil dari Limbah Padat Sawit.
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 6(2): 45-49.

Taufik, I. 2011. Pencemaran Pestisida Pada Perairan Perikanan Di Sukabumi Jawa


Barat. Jurnal Media Akuakultur. 6(1) : 69-75

Widiyanto, A.F., S. Yuniarno dan Kuswanto. 2015. Polusi Air Tanah Akibat
Limbah Industri dan Limbah Rumah Tangga. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 10 (2) : 46-54.

Anda mungkin juga menyukai