Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342492781

Pergerakan Pestisida Organofosfat di dalam Ekosistem

Article · June 2019

CITATIONS READS

0 2,572

1 author:

Yohanna Anisa Indriyani


Bogor Agricultural University
15 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pesticide View project

Microbial Fuel Cell View project

All content following this page was uploaded by Yohanna Anisa Indriyani on 01 September 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


9
PERGERAKAN PESTISIDA ORGANOFOSFAT DI DALAM EKOSISTEM*
(Yohanna Anisa Indriyani)
*Tugas Matakuliah Pergerakan Hara, Diampu oleh Dr. Budi Nugraha

PENDAHULUAN
Pertumbuhan populasi yang demikian pesat dibarengi dengan industrialisasi yang masif
menimbulkan terjadinya akumulasi sejumlah besar bahan-bahan kimia xenobiotik.
Pertumbuhan penduduk yang pesat juga mendorong peningkatan kebutuhan akan pangan,
sehingga memacu penggunaan berbagai bahan inorganik maupun organik di dalam upaya-
upaya intensifikasi pertanian. Pestisida merupakan senyawa xenobiotik yang penggunaannya
kian meningkat dan meluas di dalam praktik-praktik pertanian, untuk meminimalkan resiko
kehilangan hasil akibat serangan hama-penyakit. Hal ini karena hampir 30% produksi pertanian
hilang akibat serangan hama-penyakit (Hussain et al. 2009).
Penggunaan pestisida memang dapat mengurangi risiko kehilangan hasil pertanian,
namun penggunaannya yang masif membawa dampak berbahaya dan menimbulkan
permasalahan serius terhadap ekosistem. Pestisida merupakan sumber polutan yang sangat
membahayakan lingkungan, baik lingkungan perairan maupun lingkungan tanah; juga
membawa dampak serius bagi kehidupan biota. Pencemaran pestisida terjadi karena adanya
residu yang tertinggal di lingkungan fisik dan biotik, karena sifat pestisida yang persisten. Oleh
karena itu, pergerakan pestisida di dalam ekosistem (biotik maupun abiotik) penting diketahui
untuk memahami nasib senyawa ini di alam. Tulisan ini lebih difokuskan pada pembahasan
mengenai pestisida organofosfat, mengingat penggunaannya yang paling luas dan paling
banyak dibandingkan jenis pestisida lainnya.

PESTISIDA
Istilah pestisida mencakup senyawa yang beragam termasuk di dalamnya insektisida,
fungisida, herbisida, rodentisida, nematisida, dan sejenisnya. Penggunaan pestisida telah
menimbulkan masalah serius pada lingkungan tanah (baik di surface area maupun
groundwater) dan perairan. Penggunaan pestisida yang terus menerus juga memberikan
kontribusi terhadap menurunnya populasi organisme berguna dalam ekosistem tanah, seperti
cacing tanah, rayap, laba-laba, dekomposer, serta berbagai organisme predator (Singh et al.
2014). Pestisida organoklorin, karbamat, serta organofosfat merupakan jenis pestisida yang
paling intensif dan paling luas digunakan di seluruh dunia (Odukkathil dan Vasudevan 2013).

1. Pestisida Organoklorin
Pestisida organoklorin bersifat sangat persisten di alam. Kelompok pestisida ini meliputi
DDT, heksaklorobenzen (HCB), kelompok heksaklorosikloheksan (α-HCH, β-HCH, ϒ-HCH),
kelompok siklodiena (aldrin, dieldrin, endrin, chlordane, nonachlor, heptachlor, dan
heptachlor-epoxide), serta hidorkarbon terklorinasi (dodecachlorine, toxaphene, dan
chlordecone). Sifat toksik berbagai jenis pestisida organoklorin tidak selalu sama. Meskipun
toksisitas pestisida organoklorin dengan struktur sama adalah analog, misalnya heptachlor dan
chlordane, tingkat toksisitasnya dapat beragam dengan mengganti klor pada struktur molekul
pestisida.

Gambar 1 Struktur kimia berbagai pestisida kelompok organoklorin

DDT merupakan pestisida organoklorin yang sangat dikenal. Penggunaan DDT dimulai
sejak tahun 1939 ketika Paul Hermann Muller membuktikan DDT sebagai insektisida yang
efektif. Selama Perang Dunia (PD) II, bubuk DDT dibubuhkan pada kulit untuk mencegah
epidemik tipus yang ditransmisikan melalui kutu (lice). Insektisida tersebut juga digunakan di
beberapa negara untuk mengendalikan nyamuk penyebab malaria (Konradsen et al. 2004).
Penggunaan DDT untuk mengendalikan penyakit malaria ini mengantarkan Muller
mendapatkan nobel di bidang kedokteran pada 1948. Setelah PD II, DDT digunakan sebagai
pestisida, dan penggunaannya dalam pertanian mengalami peningkatan pesat. Pada tahun 1970
hingga 1980-an penggunaan DDT dalam pertanian mulai dilarang di negara-negara maju,
setelah pada akhir 1950-an seorang ahli biologi Rachel Carson mengumpulkan berbagai sampel
lingkungan yang rusak akibat penggunaan DDT (D'Amato et al. 2002).
DDT -juga aldrin, heptachlor, endosulfan- merupakan pestisida organoklorin yang
mendapat perhatian serius karena kecenderungannya terakumulasi di dalam jaringan hidup
serta dapat berdampak serius pada manusia karena menyebabkan penyakit dan gangguan
fungsional, termasuk sifatnya yang karsinogenik.

2. Pestisida Karbamat
Karbamat diperkenalkan sebagai pestisida pada awal tahun 1950-an dan masih digunakan
secara luas sebagai pengendali hama. Hal ini karena karbamat memiliki efektivitas yang tinggi
serta spektrum aktivitas biologis yang luas (sebagai insektisida, fungisida, herbisida). Polaritas,
solubilitas, serta toksisitas akut yang tinggi, merupakan karakteristik pestisida karbamat.
Karbamat akan tertransformasi menjadi beragam produk sebagai akibat dari beberapa proses
yang dialaminya, seperti hidrolisis, biodegradasi, oksidasi, fotolisis, biotransformasi, serta
reaksi-reaksi metabolik lain di dalam tubuh makhluk hidup (Soriano et al. 2001).

Gambar 2 Struktur umum pestisida karbamat

Secara kimiawi, pestisida karbamat merupakan ester dari karbamat dan senyawa organik
turunan asam karbamat. Kelompok pestisida ini meliputi benzimidazole-, N-methyl-, N-
phenyl-, dan thiocarbamates. Senyawa-senyawa turunan dari asam karbamat adalah insektisida
dengan range aktivitas biosida yang paling luas (Sogorb dan Vilanova 2002). Karbamat
merupakan inhibitor enzim asetilcholinesterase (AChE) dan bertanggung jawab atas sejumlah
besar keracunan (Oliveira-Silva et al. 2001).

3. Pestisida Organofosfat
Organofosfat adalah senyawa kimia yang awalnya diproduksi melalui reaksi antara
alkohol dan asam fosfat. Di antara kelompok pestisida yang digunakan di seluruh dunia,
pestisida organofosfat merupakan yang paling banyak dan paling luas penggunaannya, yakni
lebih dari 36% dari total pasar dunia, terutama setelah adanya pelarangan terhadap berbagai
jenis pestisida organoklorin. Di Amerika Serikat, misalnya, terdapat lebih dari 25.000 merk
pestisida organofosfat yang penggunaannya dimonitor oleh Environmental Protection Agency
(EPA).
Pestisida organofosfat merupakan semua ester dari asam fosforik yang meliputi turunan
alifatik, fenil, dan heterosiklik. Jenis pestisida organofosfat yang banyak dipakai di antaranya
parathion, methyl parathion, chlorpyriphos, malathion, monochrotophos, diazinon,
fenitrothione, dan dimethoate.

Gambar 3 Struktur kimia berbagai pestisida kelompok organofosfat

Pestisida organofosfat digunakan untuk mengendalikan beragam jenis serangga


penghisap, pengunyah, dan pengebor; juga tungau, kutu daun, dan berbagai hama yang
menyerang tanaman kapas, tebu, kacang tanah, tembakau, sayur-sayuran, buah-buahan, serta
tanaman hias. Pestisida organofosfat banyak dipasarkan oleh perusahaan-perusahaan besar
agrokimia dunia (Singh dan Walker 2006).
Pestisida organofosfat memiliki aktivitas efektif terhadap serangga dikarenakan
karakteristiknya yang menghambat secara irreversibel enzim asetilcholinesterase (AChE) di
dalam sistem syaraf pada insekta maupun mamalia. Pada manusia, organofosfat terserap
melalui beragam jalur, mencapai konsentrasi yang tinggi pada jaringan lemak, hati, ginjal,
kelenjar saliva, tiroid, pankreas, paru-paru, usus; serta dengan konsentrasi lebih rendah pada
sistem syaraf pusat serta otot. Namun demikian, organofosfat tidak akan terakumulasi lama di
dalam tubuh manusia mengingat senyawa ini akan mengalami biotransformasi di dalam hati.
Ekskresi serta metabolisme senyawa-senyawa tersebut sangatlah cepat, hampir seluruhnya
dibuang dari dalam tubuh dalam bentuk urin, atau dalam jumlah yang kecil melalui feses;
umumnya dalam 48 jam. Tingkat ekskresi terbesar berlangsung 24 jam sejak terjadinya
absorpsi (Griza et al. 2008).
Hampir seluruh jenis pestisida organofosfat dapat didegradasi oleh mikrob di lingkungan
terkontaminasi, di mana pestisida tersebut digunakan mikrob sebagai sumber fosfor dan/atau
karbon. Enzim yang berperan dalam hidrolisis dan detoksifikasi pestisida organofosfat adalah
karboksilesterase dan fosfotriesterase. Namun demikian, meskipun pestisida ini terdegradasi
dengan cepat di dalam air, terdapat kemungkinan adanya residu ataupun byproduct yang masih
tertinggal, yang secara relatif dapat berada dalam level membahayakan organisme
(Ragnarsdottir 2000).

PERGERAKAN/NASIB PESTISIDA DI ALAM


Cara kerja pestisida mengacu pada mekanisme di mana senyawa ini berinteraksi dengan
organisme target. Pestisida kontak (contact pesticide) membunuh organisme target dengan
melemahkan atau merusak membran sel terlebih dahulu sehingga kematian organisme target
dapat berlangsung sangat cepat. Sementara itu, pestisida sistemik (sistemic pesticide) harus
diserap atau dicerna oleh organisme target sehingga akan mengganggu proses fisiologis atau
metabolismenya. Karenanya, pestisida sistemik umumnya berefek lambat (Pal et al. 2006).
Tingkat toksisitas pestisida tergantung pada dosis, jangkauan paparan, dan rute absorpsi oleh
organisme (Al-Hattab dan Ghaly 2012).
Ketika pestisida diaplikasikan ke tanaman atau tanah, ia akan memasuki ekosistem yang
dinamis dan dengan cepat akan berpindah dari satu bagian sistem menuju bagian lainnya,
terdegradasi in situ, atau keluar dari suatu sistem menuju sistem lainnya. Pestisida dapat hilang
dari lingkungan tanah melalui volatilisasi, leaching, run off, diambil oleh tanaman, atau
berpindah karena menempel pada organisme tanah. Pada tanaman, pathway yang
memungkinkan hilangnya pestisida adalah volatilisasi residu pestisida, keluarnya pestisida
menuju tanah bersama dengan eksudat akar, atau berpindah karena tanaman dipanen (Edwards
1966 dalam Edwards 1980).
Pestisida cenderung lebih persisten di dalam tanah dibandingkan di dalam jaringan
tanaman atau binatang. Persistensi ini bisa sampai beberapa tahun di dalam tanah (Gambar 4).
Tanaman dan binatang hidup dapat memetabolisme atau melarutkan residu pestisida dengan
relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan tanah yang relatif lebih statis, di mana pestisida
teradsorbsi kuat oleh berbagai fraksi tanah dan bahkan bisa persisten sangat lama pada
permukaan yang tidak reaktif. Hilangnya pestisida dari tanah atau tanaman dapat berlangsung
berdasarkan hukum kinetika orde 1, namun umumnya dengan dua atau lebih tahap reaksi
dengan fase awal yang disebut 'dissipation' dan fase yang lebih lambat yang disebut
'persistence'. Fase pertama disebabkan karena adanya volatilisasi, adsorpsi atau translokasi;
sedangkan fase kedua oleh degradasi kimia, fotokimia, atau degradasi mikrobial (Ahemad dan
Khan 2013).

Gambar 4 Persistensi pestisida di dalam tanah

Umumnya, pestisida tetap berada di area aplikasinya dalam waktu cukup lama untuk
menghasilkan efek yang diinginkan, dan kemudian terdegradasi menjadi senyawa non-toksik
atau justru lebih toksik dibandingkan senyawa asal (parent pesticide compound) (USDA
1998). Pestisida yang ideal haruslah berefek lethal terhadap organisme target, bersifat
biodegradabel di alam, dan sedikit mengalami leaching ke dalam geosfer. Sayangnya, semua
ini hampir tidak pernah terjadi. Adapun persistensi pestisida di alam dipengaruhi oleh
(Edwards 1980):
1) Karakteristik pestisida : stabilitas (baik parent compound-nya maupun metabolites-nya),
volatilitas, solubilitas, formulasi, serta metode dan lokasi aplikasi
2) Karakteristik tanah : struktur tanah, kandungan bahan organik, kandungan mineral klei, pH
tanah, serta populasi mikrob tanah
3) Faktor-faktor lingkungan : suhu, kelembaban, angin
4) Karakteristik tanaman : spesies, fase pertumbuhan tanaman
Pergerakan/nasib pestisida di alam setidaknya dipengaruhi oleh ke-4 faktor di atas
(Gambar 5 dan Tabel 1) (Silver dan Riley 2001). Di dalam tanah, pestisida dapat mengalami
3 macam degradasi : [1] degradasi biologis yang dimediasi mikrob tanah, [2] degradasi kimia
melalui reaksi kimia, misalnya reaksi hidrolisis/redoks, dan [3] degradasi fotokimia, yakni oleh
cahaya ultraviolet atau cahaya tampak (Aktar et al. 2009, Pal et al. 2006, Karpouzas et al.
2005, Aldrich 2011).
Adsorpsi adalah proses utama untuk menahan pestisida pada permukaan partikel tanah
dan hal ini tergantung pada sifat-sifat fisiko-kimia pestisida (kelarutannya di dalam air,
polaritas, tekanan uap) serta sifat-sifat tanah (kandungan bahan organik dan mineral klei, pH,
muatan permukaan, permeabilitas) (Aktar et al. 2009). Untuk sebagian besar pestisida, bahan
organik adalah sifat tanah paling penting yang mengontrol tingkat adsorpsi (Pal et al. 2006).

Gambar 5 Nasib pestisida di alam

Tabel 1 Proses-proses di mana pestisida dapat mengkontaminasi lingkungan (Silver dan Riley 2001)
Proses Definisi Dampak
Drift Pestisida terbawa jauh dari area target oleh Drift dapat menyebabkan kehilangan pestisida yang
angin atau udara diaplikasikan sebanyak 2-25%, di mana pestisida
dapat menyebar hingga beberapa meter sampai
beberapa ratus mil dari lokasi aplikasi
Volatilisasi Pestisida menguap dari tanah, dedaunan, atau Volatilisasi adalah rute pembuangan (dissipation)
air permukaan. Uap (vapours) tersebut dapat utama bagi kebanyakan pestisida. Hampir 90%
berpindah dari lokasi aplikasi hingga bagian dari pestisida tertentu dapat menguap dari
diendapkan kembali pada tanah atau vegetasi tanah, tanaman, dan air permukaan dalam beberapa
non-target hari setelah aplikasi, serta dapat menyebabkan
fitotoksis (phytotoxic) pada tanaman lain di
sekitarnya
Leaching Pergerakan pestisida pada tanah akibat adanya Leaching dapat menyebabkan kontaminasi air tanah
pergerakan air oleh senyawa-senyawa pestisida
Run-off Limpasan air hujan dan aktivitas penyiraman Run off dari tanah-tanah tempat aplikasi pestisida
menyebabkan pestisida tercuci dari tanah, dapat mencemari air permukaan. Hingga 90% bagian
tanaman, atau dari partikel-partikel tanah yang dari beberapa pestisida yang diaplikasikan dapat
terkontaminasi pestisida, ke saluran-saluran hilang dalam beberapa jam akibat run off
drainase dan saluran air terdekat

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERGERAKAN ORGANOFOSFAT


Terdapat 4 faktor utama yang mempengaruhi pergerakan/nasib pestisida di dalam tanah
maupun di dalam jaringan tubuh tanaman (Gambar 6), yakni faktor-faktor fisiko-kimia
pestisida, faktor-faktor tanaman, faktor-faktor tanah, serta faftor-faktor lingkungan (Edwards
1980).
Gambar 6 Interaksi berbagai faktor yang mempengaruhi persistensi pestisida di dalam sistem
tanah dan tanaman

1. Faktor-faktor Kimia Pestisida


A. Stabilitas kimia
1) Stabilitas struktural
Kisaran stabilitas pestisida sangatlah beragam, mulai dari tidak stabil hingga sangat
stabil. Struktur dasar pestisida sangat berpengaruh pada tingkat persistensinya di alam.
Beberapa pestisida dapat terdegradasi secara parsial, yang kemudian menjadi sangat
persisten di alam. Sebagai contoh, aldrin yang mengalami epokidasi menjadi dieldrin atau
heptaklor yang tertransformasi menjadi heptaklor epoksida bersifat lebih stabil daripada
senyawa asalnya (parent compound).
Di antara banyak jenis pestisida organofosfat, klorpirifos mampu bertahan lebih lama
di alam, yakni lebih dari satu tahun. Adapun pestisida-pestisida organofosfat yang lain
memiliki waktu degradasi yang lebih singkat dibandingkan klorpirifos : profenofos memiliki
waktu degradasi 7-8 hari, diazinon yang diaplikasikan akan hilang dalam 14 hari, fenitotrion
terdegradasi dalam 10 hari di alam, malation dan metidation terdegradasi dalam 3 hari,
sedangkan paration pada kondisi lingkungan akan terhidrolisis dalam hitungan jam (EPA
1999).
2) Volatilisasi
Terdapat korelasi antara tekanan uap pestisida dengan persistensinya di alam, di mana
difusi dan mass flow berpengaruh terhadap proses volatilisasi ini. Pada suhu 25°C, pestisida
dengan tekanan uap > 10-3 mmHg sangat mudah menguap, sementara pestisida dengan
tekanan uap antara 10-4 dan 10-6 mmHg bersifat kurang mobile. Adapun pestisida dengan
tekanan uap < 10-7 mmHg (misalnya triazin) lebih persisten di dalam tanah. Kelembaban
udara di atas permukaan tanah mempengaruhi tingkat kehilangan air dan ini berpengaruh
terhadap tingkat volatilisasi pestisida.
3) Solubilitas
Pestisida dengan kelarutan dalam air > 25 mg.L-1 (misalnya organofosfat) bersifat
persisten di alam, sementara pestisida dengan kelarutan < 25 mg.L-1 (seperti organoklorin)
cenderung terimobilisasi oleh tanah dan terkonsentrasi di dalam jaringan organisme. Selain
itu, pestisida anionik dan pestisida non-ionik bersifat mobile di dalam tanah, sedangkan
pestisida kationik teradsorpsi kuat ke partikel tanah yang umumnya memiliki net-charge
negatif.
B. Metode aplikasi
1) Lokasi aplikasi
Pestisida dapat bereaksi dan teradsorbsi oleh berbagai jenis bahan, sehingga sangat
menentukan persistensinya di alam. Bagian tanaman serta fraksi tanah yang berbeda
memiliki kemampuan absorbsi dan adsorbsi berbeda terhadap pestisida.
2) Metode aplikasi
Metode paling umum dalam aplikasi pestisida ke tanaman adalah dengan memperkecil
ukuran partikel, misalnya dalam bentuk dust, spray, mist, atau fog. Namun demikian,
masing-masing ukuran partikel pestisida memiliki risiko masing-masing. Sebagai contoh,
pestisida dengan ukuran kecil dapat hilang karena terbawa angin atau air, sementara
pestisida dengan ukuran partikel besar mudah hilang karena run off.
3) Formulasi
Pestisida dengan formulasi larut air lebih mudah tercuci dari tanaman oleh hujan, dan
wettable powder bertahan lebih lama karena kurang terabsorpsi ke dalam tanaman, sedikit
mengalami fotodekomposisi pada permukaan tanaman, serta tidak terlalu mudah
tervolatilisasi. Bentuk granul dan mikrokapsul secara khusus dirancang untuk mengurangi
release dan degradasi pestisida. Di dalam tanah, laju adsorpsi ke berbagai fraksi tanah,
terutama bahan organik, berbanding terbalik dengan ukuran partikel pestisida dalam
formulasinya.
2. Faktor-faktor Tanaman
A. Spesies tanaman
1) Struktur tanaman
Bentuk tanaman (erect, spreading, prostate), bentuk daun (broad, narrow, large, short,
linear), posisi dan densitas daun (horizontal, upright, penduluous), serta permukaan dan
tepi daun (hairy waxy, sculptured) mempengaruhi distribusi, retensi, dan pengambilan
pestisida.
2) Sifat tanaman
Tanaman tidak hanya menumbuhkan dedaunan, tetapi juga buah-buahan dan biji-
bijian, serta bagian bawah tanah seperti simpanan akar, rhizoma, atau umbi. Ketika terjadi
translokasi nutrisi dari daun ke organ-organ lainnya, berlangsung pula translokasi pestisida
ke berbagai organ tersebut. Karenanya, organ-organ penyimpanan (storage organs)
cenderung mengandung residu pestisida paling banyak. Residu-residu tersebut dapat
tersimpan pada kulit buah atau lapisan terluar organ-organ penyimpanan.
3) Kemudahan penetrasi
Pestisida yang disemprotkan ke bagian daun, batang, biji, buah, atau melalui akar,
hanya akan terabsorpsi apabila pertama-tama mampu berpenetrasi melalui kutikula
tanaman. Masuknya pestisida dapat berlangsung melalui stomata, modifikasi sel epidermis
yang terletak pada permukaan jaringan, melalui rekahan pada kutikula, melalui area
kutikula yang terluka, melalui plasmodesmata, atau luka-luka protoplasmik. Sebagai contoh
: residu residu demethon methyl terabsorpsi melalui akar dan persisten di dalam jaringan
tanaman selama lebih dari 1 bulan, phorate > 47 hari, schradan sekitar 10 hari, dimethoate
42 hari, dan disulfoton 86 hari. Beberapa organofosfat sistemik (misalnya dimethoate dan
phorate) dapat berada di dalam nektar bunga selama 20 hari atau lebih.

B. Aktivitas metabolik
1) Tingkat pengambilan (rate of uptake)
Tingkat pengambilan pestisida oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan misalnya cahaya, kelembaban, dan temperatur. Sebagai contoh, pestisida relatif
lebih mudah berpenetrasi pada tanaman ercis yang ditumbuhkan dalam kondisi gelap;
beberapa pestisida organofosfat diabsorpsi lebih banyak oleh tanaman pada kondisi tanah
kapasitas lapang daripada kondisi mendekati titik layu permanen atau pada tanah-tanah
tergenang.
Tingkat pengambilan ini juga dipengaruhi oleh jenis tanah. Sebagai misal, tanaman
gandum, alfalfa, serta jagung yang ditumbuhkan pada tanah pasir dapat mengandung
dieldrin yang terakumulasi 2-6 kali dibandingkan spesies-spesies sama yang ditumbuhkan
pada tanah klei.
2) Fase pertumbuhan
Residu pestisida akan semakin luas tersebar dengan makin tumbuhnya area permukaan
daun dan organ-organ tanaman lainnya. Jika bobot tanaman bertambah dua kali lipat, maka
konsentrasi pestisida di dalam tanaman tersebut akan menjadi setengahnya.
3) Translokasi
Ketika pestisida telah terpenetrasi ke dalam tanaman -baik melalui kutikula daun, area
serapan akar, maupun beberapa site pengambilan lainnya- ia akan ditranslokasikan ke
berbagai jaringan tanaman melalui beberapa mekanisme : (1) melalui sel-sel mati dinding
sel [apoplas], (2) melalui sel-sel hidup protoplasmik [simplas], atau (3) melalui jaringan
mesofil daun menuju floem kemudian ditranslokasikan pada jalur asimilasi.
Translokasi pestisida dapat berlangsung secara upward atau lateral (acropetal) dan
downward (basipetal). Pergerakan pestisida secara upward lebih umum terjadi karena
karena umumnya kebanyakan pestisida diaplikasikan pada tanah. Translokasi pestisida
secara upward berlangsung melalui xilem, sementara translokasi downward dimediasi
melaui floem. Pestisida dapat bergerak secara cepat di dalam jaringan tanaman. Contoh :
demeton mengalami translokasi secara upward dengan kecepatan 10 cm/jam dan secara
downward dengan kecepatan 2.5 cm/jam. Kecepatan translokasi ini dipengaruhi oleh
tingkat transpirasi dan metabolisme tanaman, sifat fisiko-kimia pestisida, serta temperatur.
4) Ekskresi
Beberapa pestisida dapat terekskresikan dari berbagai organ tanaman melalui gutasi
daun atau eksudat akar. Pestisida yang terekskresi melalui gutasi daun di antaranya lindane
(pada gandum dan tanaman pangan lainnya), schradan (pada gandum, strawberi, dan
kecambah), dan chloramben (pada rerumputan). Adapun pestisida yang terekskresi bersama
dengan eksudat akar misalnya diazinon (pada buncis) dan picloram (pada maple).

3. Faktor-faktor Tanah
A. Jenis tanah
Pestisida dapat teradsorpsi oleh berbagai partikel tanah; menjadikannya persisten di
dalam tanah. Interaksi berbagai partikel tanah ini dengan pestisida dapat berupa (1) adsorpsi
fisik, (2) adsorpsi kimia [misalnya pertukaran ion atau protonasi], (3) ikatan hidrogen, serta
(4) ikatan koordinasi [kompleks logam].
1) Struktur tanah
Struktur tanah berpengaruh terhadap tingkat leaching pestisida dari tanah, karena
ukuran pori dan distribusi pori sangat berpengaruh terhadap pergerakan air di dalam tanah.
Lamanya suatu pestisida organofosfat persisten di dalam tanah berbeda pada struktur tanah
yang berbeda. Sebagai contoh : thionazin yang diaplikasikan ke dalam tanah organik, sandy
loam, silty loam, dan clay loam, membutuhkan waktu berturut-turut 10, 6, 4, dan 1.5 minggu
agar hilang 50%-nya.
2) Kandungan klei
Klei menyediakan luas permukaan spesifik yang besar dan reaktif bagi adsorpsi
pestisida serta berbagai reaksi kimia lainnya. Mekanisme adsorpsi pada klei dipengaruhi
oleh jenis mineral klei, muatan permukaan klei, juga konstanta disosiasi pestisida, ukuran
molekul pestisida, dan sebagainya.
3) Kandungan bahan organik
Bahan organik tanah (terutama senyawa humus) sangatlah penting dalam adsorpsi
pestisida di dalam tanah. Humus memiliki KTK tinggi, memiliki beragam gugus fungsional
yang menyediakan banyak site untuk pengikatan pestisida, misalnya melalui hydrogen
bonding.
Pengaruh ekotoksikologis pestisida organik terhadap ekosistem air dan tanah sangat
tergantung pada perilaku senyawa ini di dalam tanah. Velona et al. (2008) menguji serapan
2 jenis insektisida organofosfat -parathion dan cadusafos- pada tanah Vertisols dan
Andosols. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa cadusafos kurang teradsorpsi pada
kedua jenis tanah tersebut (nilai Kd 7.6-12.7 L.kg-1) dibandingkan dengan parathion (nilai
Kd 38.6-74.9 L.kg-1), meski keduanya memiliki nilai log Kow yang sama.
Cadusafos menunjukkan reversibilitas serapan yang lebih besar dibandingkan parathion
pada kedua jenis tanah. Penurunan konsentrasi insektisida tersedia pada cadusafos dan
parathion adalah lebih tinggi pada tanah Andosols dibandingkan Vertisols. Hal ini
menunjukkan bahwa bahan organik tanah berpengaruh nyata terhadap perilaku serapan dan
ketersediaan pestisida, khususnya parathion. Di sisi lain, serapan cadusafos lebih
dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah lainnya seperti kandungan klei dan KTK. Penghitungan
tingkat residu insektisida di dalam larutan tanah menunjukkan bahwa kedua insektisida
tersebut memiliki efek toksik yang persisten pada tanah Andosol dan Vertisol.
4) Konsentrasi H+ (pH)
pH terutama berpengaruh terhadap stabilitas mineral-mineral klei, KTK (terutama pada
tanah-tanah dengan muatan bergantung pH), serta kecepatan reaksi biokimia oleh mikrob
tanah.
B. Aktivitas Metabolik
1) Mikroorganisme tanah
Degradasi pestisida oleh mikrob, yang berlangsung melalui suatu seri reaksi kimia yang
cukup kompleks, merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar bahan-
bahan berbahaya di lingkungan. Dalam proses degradasinya, mikrob menggunakan senyawa
pestisida tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya.
Metil parathion merupakan salah satu jenis pestisida organofosfat yang paling banyak
digunakan di dunia, di mana residunya secara umum ditemukan pada buah-buahan dan
sayuran. Bakteri-bakteri dengan kemampuan mendegradasi metil parathion telah diisolasi.
Gen metil parathion hidrolase, mpd, bertanggung jawab dalam menghidrolisis metil
parathion menjadi p-nitrofenol dan dimetil fosforotioat.

Gambar 7 Pathway biodegradasi metil parathion oleh konsorsium mikrob

Protein rekombinan MPH (metil parathion hidrolase) pada E. coli menunjukkan


aktivitas degradasi enzimatis yang tinggi terhadap penggunaan pestisida organofosfat pada
sayuran. Selanjutnya, konsorsium dua spesies -E. coli dan Orchrobactrum sp. (pendegradasi
p-nitrofenol [PNP])- memiliki potensi besar untuk digunakan dalam mineralisasi pestisida
organofosfat. Metil parathion [MP] dapat didegradasi oleh konsorsium tersebut melalui jalur
MP  PNP  hidroquinon  masuk siklus Krebs (Gambar 7) (Zhang et al. 2008).
Contoh lain dari pestisida organofosfat yang juga dipakai secara luas adalah fenamiphos
(FEN), nematisida yang digunakan untuk melindungi tanaman hortikultura. Di dalam tanah,
FEN secara bertahap teroksidasi menjadi bentuk sulfoksida (FSO) dan sulfona (FSO2) yang
juga memiliki aktivitas nematisida tinggi serta bersifat toksik terhadap vertebrata non-target.
FEN dan bentuk oksidasinya dapat terakumulasi di dalam tanah dan mengalami leaching ke
dalam air tanah. Keberadaan senyawa-senyawa tersebut di dalam air tanah bersifat persisten
Pseudomonas putida dan Acinetobacter rhizosphaerae diketahui mampu mendegradasi
FEN. Kedua bakteri ini menggunakan FEN sebagai sumber C dan N. Keduanya mampu
menghidrolisis FEN menjadi fenamipos fenol dan etil hidrogen isopropilfosforamidate
(IPEPAA), yang kemudian ditransformasi lebih lanjut oleh P. putida (Gambar 8). Studi
cross-feeding menggunakan pestisida lainnya menunjukkan bahwa P. putida dapat
mendegradasi pestisida organofosfat dengan ikatan P-O-C (Chanika et al. 2011).
Gambar 8 Jalur metabolisme FEN oleh bakteri

2) Invertebrata tanah
Kebanyakan pestisida juga dapat terabsorpsi ke dalam jaringan invertebrata tanah
melalui kutikula atau melalui jarring-jaring makanan. Beberapa pestisida terdegradasi
secara parsial di dalam tubuh berbagai organisme ini.
3) Enzim tanah
Eksoenzim tanah dapat disekresikan oleh organisme-organisme yang hidup di dalam
tanah, dan dapat pula diekskresikan oleh organisme-organisme yang telah mati (baik
tanaman maupun hewan). Eksoenzim dapat berupa enzim yang terimobilisasi oleh koloid
tanah, ataupun berupa free enzyme yang masih aktif. Enzim tanah memiliki peran penting
dalam degradasi pestisida di dalam tanah, yakni dalam memutus ikatan-ikatan di dalam
struktur pestisida.

4. Faktor-faktor Lingkungan
A. Temperatur
Proses-proses kimia pada tanah maupun biokimia pada tanaman dan organisme tanah
sangat terpengaruh oleh perubahan temperatur, bahkan dapat berhenti pada tanah-tanah
dengan temperatur sangat rendah. Karenanya, aktivitas dan proses degradasi pestisida di
dalam tanah sangat terpengaruh oleh temperatur. Peningkatan temperatur juga akan
berpengaruh terhadap kenaikan radiasi, yang akan berpengaruh besar terhadap faktor-faktor
iklim lainnya seperti pergerakan angin dan presipitasi.
B. Presipitasi
Hujan, hujan es, dan salju, dapat berpengaruh langsung pada presipitasi karena efek
mekanisnya terhadap tanaman dan hilangnya soil moisture, atau berpengaruh tidak
langsung karena efeknya terhadap kelembaban (humidity) tanah dan udara. Perubahan
kelembaban yang disebabkan oleh presipitasi dapat mempengaruhi hilangnya pestisida
dengan beberapa mekanisme. Ketika kelembaban udara tinggi, terjadi penguapan yang
tinggi dari permukaan tanaman. Namun demikian, stomata akan lebih banyak terbuka
sehingga memungkinkan transportasi pestisida lebih tinggi ke tanaman dan ini relatif tidak
hilang oleh ekskresi daun (gutasi).
Kelembaban udara juga sangat berpengaruh terhadap volatilisasi pestisida dari tanah.
Semakin tinggi kelembaban, semakin sedikit pestisida yang menguap. Hal ini juga
mempengaruhi difusi pestisida di dalam tanah. Ketika udara di atas tanah kering, terjadi
difusi melalui tanah ke permukaan; dan ketika udara di atas tanah sangat lembab dan tanah
kering, terjadi difusi pestisida dari permukaan tanah ke bagian lapisan tanah yang lebih
dalam.
C. Radiasi
Degradasi beberapa pestisida dipengaruhi oleh radiasi. Di samping itu, radiasi dapat
meningkatkan volatilisasi kebanyakan pestisida dari permukaan daun. Hal ini dapat
menurunkan uptake pestisida melalui permukaan daun, meskipun dapat meningkatkan
translokasi senyawa ini di dalam jaringan tanaman.
D. Pergerakan udara
Pergerakan udara (misalnya dalam bentuk angin) berpengaruh terhadap volatilisasi
pestisida dari permukaan tanaman dan tanah. Di samping itu, angin dapat menyapu secara
fisik pestisida yang menempel pada permukaan dedaunan. Angin juga dapat menurunkan
tingkat uptake pestisida oleh permukaan tanaman karena menyebabkan penutupan stomata
sehingga mencegah difusi melalui permukaan tanaman.

KESIMPULAN
Pertumbuhan penduduk yang kian pesat mendorong meningkatnya kebutuhan akan
pangan. Upaya-upaya untuk meningkatkan produksi pangan pun dilakukan, salah satunya
melalui intensifikasi pertanian. Dalam intensifikasi pertanian ini, berbagai bahan/senyawa
organik maupun inorganik diaplikasikan untuk meningkatkan produksi berbagai produk
pertanian, serta menurunkan kehilangan hasil-hasil pertanian yang mencapai hampir 30%
akibat serangan hama-penyakit tanaman. Dari sinilah penggunaan pestisida kian meningkat,
dan potensinya dalam menyebabkan kerusakan/ketidakstabilan ekosistem kian nyata.
Salah satu jenis pestisida yang paling banyak dan paling luas dipakai adalah kelompok
pestisida organofosfat. Pestisida ini merupakan pestisida sistemik yang melumpuhkan jaringan
syaraf organisme target. Hanya saja, dampaknya terhadap organisme non-target serta
pergerakan senyawa pestisida ini di lingkungan tanah harus mendapat perhatian. Terdapat 4
faktor utama yang mempengaruhi pergerakan/nasib pestisida -termasuk organofosfat- di dalam
tanah : (1) faktor-faktor fisiko-kimia pestisida, (2) faktor-faktor tanaman, (3) faktor-faktor
tanah, serta (4) faktor-faktor lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahemad M, Khan MS. 2013. Pesticides as antagonists of Rhizobia and the legume-Rhizobium
symbiosis : a paradigmatic and mechanistic outlook. Biochem. Mol Biol. 1(4):63-75.
Aktar MW, Sengupta D, Chowdhury A. 2009. Impact of pesticides use in agriculture: their
benefits and hazards. Interdisc Toxicol. 2:1-12.
Aldrich S. 2011. Material Safety Data Sheets. Sigma-Aldrich. Oakville. Ontario.
Al-Hattab MT, Ghaly AE. 2012. Sequential remediation processes for a low level pesticide
wastewater. Environ. Protec. 3:150-163.
D’Amato C, Torres JPM, Malm O. 2002. DDT (dichloro-difenil-tricloroetane): toxicidade e
contaminação ambiental -Uma Revisão. Química Nova. 25(6):995-1002.
Edwards CA. 1980. Factors that affect the persistence of pesticide in plants and soils.
Rothamsted Experimental Station. Harpenden, Herts. UK. pp. 39-56.
Griza FT, Ortiz KS, Geremias G, Thiesen FV. 2008. Avaliação da Contaminação por
Organofosforados em Águas Superficiais no Município de Rondinha-Rio Grande do Sul.
Quimica Nova. 31(7):1631-1635.
Hussain S, Siddique T, Arshad M, Saleem M. 2009. Bioremediation and phytoremediation of
pesticides: Recent Advances. Critical Review. Environ. Sci. Tech. 39(10):843-907.
Karpouzas DG, Fotopoulou A, Menkissoglu-Spiroudi U, Singh BK. 2005. Non-specific
biodegradation of the organophosphorus pesticides, cadusafos and ethoprophos, by two
bacterial isolates. Microbiol. Ecol. 53:369-378.
Konradsen F, Van der Hoek W, Amerasinghe FP, Mutero C, Boelee E. 2004. Engineering and
malaria control: learning from the past 100 years. Acta Tropica. 89(2): 99-108.
Odukkathil G, Vasudevan N. 2013. Toxicity and bioremediation of pesticides in agricultural
soil. Rev. Environ. Sci. Biotechnol. 12:421-444.
Oliveira-Silva JJ, Alves SR, Meyer A, Perez F, Sarcinelli PN, Mattos RCOC, Moreira JC.
2001. Influence of social-economic factors on the pesticine poisoning. Brazil. Revista de
Saúde Pública. 35(2):130-135.
Pal R, Chakrabarti K, Chakraborty A, Chowdhury A. 2006. Degradation and effects of
pesticides on soil microbiological parameters: a review. Int. J. Agric. Res. 1:240-258.
Ragnarsdottir K. 2000. Environmental fate and toxicology of organophosphate pesticides.
Geol. Soc. London. 157(4):859-876.
Silver, Riley B. 2001. Environmental impact of pesticides commonly used on urban
landscapes. Northwest Coalition for Alternatives to Pesticides (NCAP). pp. 8-16.
Singh BK, Walker A. 2006. Microbial degradation of organophosphorus compounds. FEMS
Microbiol. 30(3):428-471.
Singh R, Singh P, Sharma R. 2014. Microorganism as a tool of bioremediation technology for
cleaning environment : A review. Proceedings. Ecol. Environ. Sci. 4(1):1-6.
Sogorb MA,Vilanova E. 2002. Enzymes involved in the detoxification of organophosphorus,
carbamate and pyrethroid insecticides through hydrolysis. Toxicol. Lett. 128:215-228.
Soriano JM, Jiménez B, Font G, Moltó JC. 2001. Analysis of carbamate pesticides and their
metabolites in water by solid phase extraction and liquid chromatography: A Review. Anal.
Chem. 31(1):19-52.
USDA. 1998. Soil quality concerns: pesticides, Natural Resources Conservation Service. U. S.
Department of Agriculture. USA.
Velona AO, Benoit P, Barriuso E, Hernandez LO. 2008. Sorption and des- orption of
organophosphate pesticides, parathion and cadusafos, on tropical agricultural soils.
Agronomy for Sustainable Development. Springer Verlag/EDP Sciences/INRA.
28(2):231-238.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai