Disusun Oleh :
Kelompok 7
Limbah adalah sisa dari suatu usaha atau kegiatan. Limbah berbahaya dan beracun
adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang
karena sifat, konsentrasi, dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan, merusak lingkungan hidup, atau membahayakan lingkungan hidup
manusia serta makhluk hidup. Limbah cair pada umumnya merupakan bahan organik yang
akan terdekomposisi. Saat melakukan dekomposisi bahan organik dibutuhkan sejumlah
oksigen yang cukup, sehingga akan mengurangi kandungan oksigen untuk ikan, karenanya
perlu ditambah dengan aerasi. Aerasi merupakan salah satu cara untuk menambah oksigen
terlarut dalam suatu perairan sehingga konsentrasi oksigen bertambah sampai titik jenuh yang
digunakan oleh ikan untuk melakukan respirasi (Suharto, 2010).
Industri tahu merupakan salah satu industri yang berkembang pesat di Indonesia.
Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah padat maupun cair. Limbah
cair dihasilkan dari proses pencucian, perebusan, pengepresan dan percetakan tahu. Limbah
cair tahu (whey) mengandung banyak senyawa organik seperti protein 40-60%, karbohidrat
25-50%, lemak 10%. Karakteristik limbah cair tahu mengandung bahan organik tinggi dan
mempunyai derajat keasaman yang rendah yakni 4-5, dengan kondisi tersebut maka air
limbah tahu merupakan salah satu sumber pencemaran yang potensial apabila air limbah yang
dihasilkan langsung dibuang ke badan perairan (Anggraini, 2014).
Seiring dengan semakin bertambahnya pencemaran yang terjadi di areal budidaya,
maka kebutuhan untuk mengaplikasikan bioremediasi juga semakin bertambah. Upaya
penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kematian biota budidaya
adalah dengan cara bioremediasi, yaitu dengan menambahkan bahan bioremediasi seperti
Starbio dan EM-4 pada area kolam. Penambahan bahan bioremediasi tersebut dianggap dapat
mempercepat proses dekomposisi bahan organik dalam tambak. Penambahan aerator dapat
memberikan penambahan oksigen yang berada di dalam tambak. Adanya aerasi yang
diberikan penurunan oksigen terlarut akibat dari proses respirasi ikan atau perombakan bahan
organik akan segera teratasi. Aerasi diharapkan dapat mensuplai kebutuhan oksigen untuk
dekomposisi dan respirasi ikan. Parameter yang digunakan dalam penentuan pengaruh bahan
bioremediasi ini adalah nilai kandungan oksigen terlarut dan nilai Biological Oxygen Demand
(BOD) (Siregar, 2008).
I.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum penanganan limbah cair menggunakan bahan bioremediasi dan
aerasi ini adalah untuk:
1. Mengetahui pengaruh bahan remediasi dalam penanganan limbah cair.
2. Mengetahui pengaruh aerasi dalam penanganan limbah cair.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Limbah tahu terdiri dari 2 jenis, yaitu limbah padat dan cair (Kaswinarni, 2007 dalam
Indah et al, 2014). Limbah padat dapat digunakan sebagai pakan ternak sedangkan limbah
cair biasanya langsung dialirkan ke badan air tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Hal ini
tentu saja akan mencemari perairan melihat sifat limbah cair yaitu mengandung zat-zat
organik terlarut yang tinggi dan akan membusuk jika dibiarkan tergenang sampai beberapa
hari di tempat terbuka (Sarwono et al, 2004 dalam Indah et al, 2014).
Air limbah industri tahu memiliki berbagai kandungan bahan organik yang sangat
tinggi, dimana hal ini jika tidak dikelola dengan baik akan dapat memberikan pengaruh
negatif terhadap lingkungan. Secara umum air limbah industri tahu memiliki kadar BOD,
COD, N, P dan K yang sangat tinggi. Salah satu dampak akibat tingginya kadar N dan P bagi
perairan adalah terjadinya eutrofikasi (Widyastuti et al., 2015). Hal ini jika tidak
dikendalikan akan berakibat pada tumbuhnya alga yang tidak terkontrol (algae blooming)
(Siswoyo dan Joni, 2017).
Limbah tahu menghasilkan kadar BOD yang tinggi sebesar 3469,8 mg/l (Istikomah et
al., 2007 dalam Indah et al., 2014). Berdasarkan tingginya nilai BOD di atas bahwa limbah
cair industri tahu mengandung bahan organik tinggi, bila dibuang ke badan air tanpa
pengolahan terlebih dahulu akan beresiko mencemari perairan. Pengaruh utama limbah
organik yang masuk ke dalam air adalah menurunkan kandungan oksigen terlarut dan
meningkatkan BOD, COD, TSS dan TDS yang merupakan parameter utama pencemaran
perairan (Lestari, 2008 dalam Indah et al., 2014). Menurut Sugiharto (1987) dalam Indah et
al., 2014), jika bahan organik berkonsentrasi tinggi yang belum diolah dibuang ke badan air,
maka bakteri akan menggunakan oksigen terlarut dalam air untuk proses pembusukannya
sehingga dapat mematikan kehidupan dan menimbulkan bau busuk dalam air. Hal ini tentu
saja akan mempengaruhi kehidupan organisme di perairan.
II.2. Bioremediasi
Bioremediasi adalah salah satu teknik untuk menghilangkan atau mengurangi residu
polutan danlimbah berbahaya yang bersifat toksik dengan memanfaatkan metabolisme dari
organisme. Mekanisme bioremediasi tergantung pada mobilitas, kelarutan, dan penguraian
senyawa toksik tersebut. Bioremidiasi dapat diaplikasikan pada lingkungan darat ataupun
perairan. Penggunaan mikroba untuk proses bioremidiasi sangat diperlukan karena
mekanismenya yang efektif (Stepniewska dan Kuzniar, 2013 dalam Putrie, 2015).
Pemanfaatan mikroorganisme dalam bioremediasi dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu melalui pemanfaatan mikroorganisme alamiah yang ada dalam limbah dan
penempatan biakan mikroorganisme perombak polutan organik yang sudah diisolasi dan
dibiakkan di laboratorium ke dalam lingkungan yang tercemar (Gunalan, 1996 dalam Lestari,
2014).
Keunggulan dari bioremediasi adalah: proses alami yang dapat diterapkan ditempat
yang sulit dijangkau, lingkungan di bawah permukaan tanah, tidak mahal, tidak menghasilkan
limbah yang baru (masalah baru), dan ramah lingkungan. Hasil dari degradasi logam berat
oleh mikroorganisme adalah gas karbon dioksida, air, dan senyawa-senyawa sederhana yang
ramah lingkungan (Hanafiah et al. 2009 dalam Chairiyah, 2013).
II.3. Aerasi
Aerasi merupakan metode pengolahan dalam pengaturan penyediaan udara pada bak
aerasi, dimana bakteri aerob akan memakan bahan organik didalam air limbah dengan
bantuan oksigen. Penyediaan udara yang lancar dapat mencegah terjadinya pengendapan di
dalam bak aerasi. Aerasi juga merupakan suatu proses penambahan udara/oksigen dalam air
dengan membawa air dan udara ke dalam kontak yang dekat, dengan cara menyemprotkan air
ke udara (air ke dalam udara) atau dengan memberikan gelembung-gelembung halus udara
dan membiarkannya naik melalui air (udara ke dalam air) (Rahman dan Saleh, 2016).
Aerasi adalah upaya untuk meningkatkan oksigen terlarut yang dapat dilakukan
selama kondisi oksigen terlarut kritis untuk mencegah terjadinya kematian ikan.jika kondisi
oksigen rendah dapat mempengaruhi kegiatan makan ikan, konversi pakan, pertumbuhan dan
kesehatan ikan budidaya. Oksigen merupakan faktor kunci untuk kehidupan akuatik untuk
proses respirasi. Oksigen juga digunakan untuk dekomposisi bahan organik yang dapat
menghasilkan senyawa yang tidak berbahaya bagi biota perairan (Astuti et al., 2014).
Aerasi adalah satu pengolahan air dengan cara penambahan oksigen kedalam air.
Penambahan oksigen dilakuan sebagai salah satu usaha pengambilan zat pencemar yang
tergantung di dalam air, sehinggang konsentrasi zat pencemar akan hilang atau bahkan dapat
dihilangkan sama sekali. Pada prakteknya terdapat dua cara untuk menambahkan oksigen
kedalam air yaitu dengan memasukkan udara ke dalam air dan atau memaksa air ke atas
untuk berkontak dengan oksigen (Sugiharto, 1987 dalam Edahwati 2012).
III. MATERI DAN METODE
III.1. Materi
III.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol winkler (3), aerator, buret dan
statif, labu erlenmeyer, inkubator, dan gelas ukur 100 mL, bak plastik 20 L, botol mineral,
plastik bening 1 kg, pipet tetes.
III.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah adalah limbah cair perikanan,
akuades, larutan MnSO4, KOH-KI, H2SO4 pekat, indikator amilum 0.5 %, Na2S2O3 0.025 N,
Starbio, EM-4, dan limbah tahu.
III.2. Metode
Bak plastik diisi air sebanyak 30 liter air yang mengandung limbah dengan
kosenterasi 20%. Persiapan limbah cair dilakukan 2-3 hari sebelum praktikum. Kemudian
diukur kandungan oksigen terlarut dan BOD5 sebelum perlakuan dan setelah perlakuan
masing-masing perlakuan dilakukan selama 7 hari, dengan perlakuan yang diberikan adalah
pemberian starbio+aerasi, starbio+non aerasi, EM4+aerasi, EM4+nonaerasi, aerasi dan non
aerasi.
III.3. Waktu dan Tempat
Acara praktikum ini diadakan pada Tanggal, 19 September 2018, 24 September 2018,
dan 29 September 2018 di Laboratorium Pengajaran, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Jenderal Soedirman.
III.4. Analisis Data
Data praktikum yang diperoleh dianalisis dengan cara membandingkan nilai BOD5
yang diperoleh pada setiap praktikum pada saat sebelum dan sesudah perlakuan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil
Tabel 1.Hasil pengukuran BOD awal dan akhir perlakuan pada limbah cair industri tahu
IV.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum, pada perlakuan 1 nilai penurunan BOD adalah 97,55%.
Pada perlakuan 2 nilai penurunan BOD adalah 98,21%. Pada perlakuan 3 nilai penurunan
BOD adalah 98,30%. Pada perlakuan 4 nilai penurunan BOD adalah 98,80%. Pada perlakuan
5 nilai penurunan BOD adalah 97,97%. Pada perlakuan 6 nilai penurunan BOD adalah
95,07%. Pada perlakuan 7 nilai penurunan BOD adalah 88,01%. Pada perlakuan 8 nilai
penurunan BOD adalah 97,97%.
% Penurunan BOD
100
98
% Penuruna BOD
96
94
92
90 % Penurunan BOD
88
86
84
82
1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan
V.1. Kesimpulan
1. Pengaruh bahan remediasi yaitu dapat menurunkan kandungan bahan organik yang
cukup signifikan terutama EM4 dapat membantu mempercepat proses degradasi
bahan organik di dalam perairan.
2. Peran aerasi yaitu untuk membantu dalam degradasi bahan organik yang berada di
dalam limbah, agar proses oksidasi biologi oleh mikroba akan dapat berjalan dengan
baik dengan cara penambahan konsentrasi oksigen yang terkandung dalam limbah.
V.2. Saran
Pada praktikum ini, sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan pastikan aerasi terus
menyala dan ember tertutup rapat.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini., Sustiyana, M., Pratama, Y. 2014. Pengolahan Limbah Cair Tahu secara Anaerob
menggunakan Sistem Batch. Jurnal Institut Teknologi Nasional. 11(1): x-x.
Astuti et al. 2014. Effect of Aeration on the Rate of Biochemical Oxygen Demand (BOD) in
Floating Net Cages in Ir. H Djuanda Reservoir, West Java, Indonesia. Journal of
Chairiyah, Riri Rizki., Hardy Guchi., Abdul Rauf. 2013. Bioremediasi Tanah Tercemar
Logam Berat Cd, Cu, Dan Pb Dengan Menggunakan Endomikoriza. Jurnal Online
Pengolahan Air Limbah Industri Perikanan. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 1 (2) : 1-
5.
Gondok (Eichhornia sp.), Kangkung Air (Ipomea sp.), Dan Kayu Apu (Pistia sp.)
Indriani YH. 2004. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya. Dalam Ryan,
Adi. 2006. Pengaruh Penambahan Bahan Aktif EM4 dan Kotoran Ayam Pada Kompos
Kesutanan. IPB
Lestari, Purwaning Budi. 2014. Biodegradasi Limbah Cair Tahu Dari Mikroorganisme
1(2).
Putrie, Rahayu Fitriani Wangsa. 2015. Mikroba Endofitik Tanaman, Primadona Yang Tidak
Rasman dan Muh. Saleh. 2016. Penurunan Kadar Besi (Fe) Dengan Sistem Aerasi dan
Siregar, A. 2008. Manajemen Kualitas Air. Jurusan Perikanan dan kelautan, Fakultas Sains
Suharto. 2010. Limbah Kimia Dalam Pencemaran Air dan Udara. Yogyakarta.
Thamrin, A., et al. 2012. Bioremediasi Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Efektif
Mikroorganisme (EM4). Journal of Enviromental Science. 11 (4).
Verawaty, Dkk. 2014. Analisis Kadar BOD dan COD pada Pengolahan Limbah Cair di
Pabrik Kelapa Sawit PT. Lestari Tani Teladan (Ltt) di Provinsi Sulawesi Tengah.
Wardoyo, S.T.H. 1981.Kriteria Kualitas Air untuk Evaluasi Pertanian danPerikanan. Training
Wignyanto, Hidayat, N. Alfia, A. 2009. Bioremediasi Limbah Cair Sentra Industri Tempe
LAMPIRAN
1000
Kadar O2 terlarut = x p x q x 8 mg/l
100
Keterangan :
8= bobot setara O2
BOD
( A 0−A 5 ) −( S 0−S5 ) T
BOD=
P
Keterangan:
P = derajat pengenceran
Perlakuan
Blanko
DO0 = 6,4
DO5 = 4,2
Sampel
1000 1000
DO0 awal (a) = x p x q x8 = x 3,7 x 0,025 x 8 = 7,4
100 100
1000 1000
DO0 awal (b) = x p x q x8 = x 2,9 x 0,025 x 8 = 5,8
100 100
7,4+5,8 13,2
DO0 awal = = = 6,6
2 2
1000 1000
DO5 awal (a) = x p x q x8 = x 1,0 x 0,025 x 8 = 2,0
100 100
1000 1000
DO5 awal (b) = x p x q x8 = x 0,4 x 0,025 x 8 = 0,8
100 100
2,0+0,8 2,8
DO5 awal = = = 1,4
2 2
1. Starbio + aerasi
1000 1000
DO0 akhir = x p x q x8 = x 1,7 x 0,025 x 8 = 3,4 mg/l
100 100
1000 1000
DO5 akhir = x p x q x8 = x 1,5 x 0,025 x 8 = 3 mg/l
100 100
602,2−14,77
= x 100 %
602,2
587,43
= x 100 %
602,2
= 97,55= 97,55 %
1000 1000
DO5 akhir = x p x q x8 = x 0,8 x 0,025 x 8 = 1,6 mg/l
100 100
602,2−10,75
= x 100 %
602,2
591,45
= x 100 %
602,2
= 98,21 = 98,21 %
3. EM4 + Aerasi
1000 1000
DO0 akhir = x p x q x8 = x 2,6 x 0,025 x 8 = 5,2 mg/L
100 100
1000 1000
DO5 akhir = x p x q x8 = x 1,3 x 0,025 x 8 = 2,6 mg/L
100 100
602,2−10,2
= x 100 %
602,2
592
= x 100 %
602,2
= 98,30 = 98,30 %
1000 1000
DO5 akhir = x p x q x8 = x 1,1 x 0,025 x 8 = 2,2
100 100
602,2−7,2
= x 100 %
602,2
595
= x 100 %
602,2
= 98,80 = 98,80 %
1000
DO5 akhir = x 1,2 x 0,025 x 8 mg/l=2,4 mg/l
100
( A 0− A 5 ) −( S 0−S 5)T ( 5,4−2,4 )− (6,4−4,2 ) 0,92 3−2,024 0,976
BOD Akhir = = = = =
P 0,08 0,08 0,08
12,2 mg/L
602,2−12,2
= x 100 %
602,2
590
= x 100 %
602,2
= 97,97 = 97,97 %
1000
DO5 akhir = x 0,8 x 0,025 x 8 mg /l=1,6 mg/l
100
602,2−29,7
= x 100 %
602,2
572,5
= x 100 %
602,2
= 95,07 = 95,07 %
7. Aerasi
1000
DO0 akhir = x 3,8 x 0,025 x 8 mg/l=7,6 mg/l
100
1000
DO5 akhir = x 1,3 x 0,025 x 8 mg/l=2,6 mg/l
100
602,2−72,2
= x 100 %
602,2
530
= x 100 %
602,2
= 88,01 = 88,01 %
8. Non Aerasi
1000 1000
DO0 akhir = x p x q x8 = x 1,95 x 0,025 x 8 = 3,9 mg/l
100 100
1000 1000
DO5 akhir = x p x q x8 = x 0,8 x 0,025 x 8 = 1,6 mg/l
100 100
602,2−12,2
= x 100 %
602,2
590
= x 100 %
602,2
= 97,97 = 97,97 %
ACARA 2
I. PENDAHULUAN
Di Indonesia, zeolit sebagai salah satu penukar ion alami yang banyak tersedia, murah
dan mudah didapat. Zeolit sebagai ion exchanger telah diketahui dan digunakan sebagai
penghilang polutan kimia. beberapa peneliti banyak mempelajari prospek zeolit dalam
pengelolaan limbah industri. Contoh pemanfaatan zeolit yang telah diteliti diantaranya untuk
pemisahan ammonia atau ammonium ion dari air limbah industri, untuk pemisahan hasil fisi
dari limbah radioaktif. Zeolit juga digunakan antara lain pada proses pemurnian metil
khlorida dalam industri karet, pemurnian fraksi alkohol, metanol, benzen, xylene, LPG dan
LNG pada industri petrokimia, untuk hidrokarbon propellents-fillers aerosol untuk pengganti
freons, dan penyerap klorin,bromin dan fluorin (Arita et al., 2015).
Perkembangan budidaya kini banyak menggunakan sistem budidaya intensif yaitu
dengan memanfaatkan penebaran dan dosis pakan yang tinggi, maka akan berdamapak pada
menurunnya kualitas perairan budidaya yang didomiminasi dengan peningkatan kadar
ammonia (Diansari et al.,2013). Gas amoniak disebabkan bertambahnya tingkat buangan dari
sisa pakan dan kotoran. Secara alami amoniak dapat terbentuk dari hasil peruraian protein
(Banon dan Suharto, 2008).
Amoniak dapat diserap dan diikat di dalam pori-pori zeolit. Keuntungan lain
penggunaan zeolit terletak pada sifat lemahnya ikatan ion-ion logam alkali/alkalitanah yang
dapat diganti oleh amonium. Ion-ion amonium yang terikat pada permukaan kerangka
struktur zeolit melalui proses kalsinasi dapat diubah menjadi ion-ion H+, yang pada
gilirannya akan membuat zeolit bersifat asam, sehingga zeolit aktif dapat digunakan sebagai
katalis (Banon dan Suharto, 2008).
I.2. Tujuan
Praktikum acara Penggunaan Zeolit pada Pengelolaan Kualitas Air Budidaya yaitu
untuk mengetahui afektifitas zeolit dalam mengurangi kandungan amoniak pada air budidaya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Zeolit merupakan mineral yang memiliki rongga atau pori yang selektif dalam
melakukan filtrasi. Istichori (2015) dalam Utama et al., (2017) menyatakan bahwa zeolit
merupakan mineral tektosilikat yang tersusun dari molekul air dan logam alkali dan alkali
tanah sehingga zeolit memiliki muatan negatif pada seluruh permukaan struktur molekulnya.
Kemampuan zeolit sebagai katalis berkaitan dengan tersedianya pusat-pusat aktif dalam
saluran antar zeolit (Majid et al., 2012).
Zeolit memiliki kemampuan menghilangkan ammonia dari air karena pada struktur
pori zeolit terdapat ion natrium sebagai pengganti ion ammonia yang diserap. Struktur kristal
zeolit yang tidak teratur pada permukaan dan luas permukaan yang tinggi membuatnya
menjadi perangkap yang sangat efektif untuk partikulat halus dan ion amonia. Selain itu,
media zeolit mikroporous berisi area permukaan besar untuk penjeratan partikel berukuran
koloid. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit dapat digunakan sebagai filter air untuk
menurunkan konsentrasi ammonia (Diansari et al., 2013).
Zeolit sangat baik digunakan sebagai absorbsen ammonia dengan aliran air cukup,
namun zeolit tidak efektif pada penggunaan di air laut. Ada dua macam zeolit yang dapat
digunakan yaitu zeolit alam dan zeolit sintetis. Seperti halnya penggunaan zeolit akan
mencapai tingkat kejenuhan, untuk itu perlu ada pengontrolan filter dan penjadwalan
pencucian agar daya kerjanya tetap baik. Bila perlu sebaiknya diganti jika memang sudah
jenuh agar kesehatan ikan tetap terjamin (Diansari et al., 2013).
2.3 Cara Kerja Zeolit
Aktivasi zeolit alam dapat dilakukan baik secara fisika maupun secara kimia. Aktivasi
secara fisika dilakukan melalui pengecilan ukuran butir, pengayakan, dan pemanasan pada
suhu tinggi, tujuannya untuk menghilangkan pengotorpengotor organik, memperbesar pori,
dan memperluas permukaan. Sedangkan aktivasi secara kimia dilakukan melalui
pengasaman. Modifikasi zeolit alam lebih lanjut dilakukan untuk mendapatkan bentuk kation
dan komoposisi kerangka yang berbeda. Modifikasi ini biasanya dilakukan melalui
pertukaran ion, dealuminasi, dan substisuti isomorfis (Lestari, 2010).
Cara kerja zeolit dapat mengabsorpi zeolit dengan cara pertama-tama molekul
amoniak teradsorpsi pada poripori zeolit, yang dipermukaannya terdapat ion-ion logam alkali
atau hidrogen. Selanjutnya molekulmolekul amoniak berinteraksi secara kimia dengan sisisisi
aktif pada permukaan zeolit dan mensubstitusi ionion alkali atau hidrogen, sehingga
membentuk gugus amonium pada permukaan zeolit aktif. Ikatan antara gugus amonium dan
sisi aktif permukaan zeolit bersifat rentan terhadap pemanasan (Banon dan Suharto, 2008).
Mekanisme zeolit dalam menyerap ion Pb melalui ikatan ion yang terjadi di dalam
proses pertukaran kation-kation. Mineral zeolit termasuk ke dalam golongan mineral
tektosilikat, yaitu senyawa silikat yang strukturnya merupakan alumina silikat, dimana atom-
atom oksigen yang mengelilingi baik atom Al ataupun atom Si membentuk jaringan tiga
dimensi. Timbal dalam perairan akan berikatan dengan ion-ion yang berada dalam perairan
dalam bentuk Pb2+ dan memiliki muatan positif sehingga akan terjadi penukaran ion (Utama
et al., 2017).
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada praktikum Penggunakan Zeolit Pada Pengelolaan Kualitas
Air Budidaya Ikan yaitu, akuarium bervolume 60-40 L, water pump, busa dackron.
3.1.2. Bahan
3.2. Metode
4.1 Hasil
MSP 5&6
MSP 7&8
BDP 1&2
BDP 3&4
BDP 5&6
BDP 7&8
4.2 Pembahasan
3.5
3
2.5 Sebelum
2 Setelah
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan
Zeolit adalah bahan yang berbentuk kristal sebagai penyerap ion NH 3, Fe, Mn dan air
(Aquarista et al., 2012). Zeolit dilaporkan memiliki kemampuan dalam mengikat berbagai
senyawa kimia, termasuk senyawa beracun, serta mampu menekan aktivitas mikrobiologis.
Zeolit dilaporkan sangat efektif dalam menyerap nitrat dan amoniak, mengurangi pelepasan
N dan P, serta memperbaiki konversi pakan, meningkatkan pH rumen dan menurunkan
jumlah E-coli, serta menekan Salmonella dan memperbaiki pertumbuhan broiler (Wardana,
2016). Selain itu struktur kristal zeolit memiliki rongga-rongga yang biasanya berisi kation-
kation yang dapat dipertukarkan. Hal yang demikian menjadikan zeolit banyak digunakan
sebagai pengemban (Badriyah et al., 2012).
Kemampuan filter zeolit berkurang dikarenakan adanya pengaruh oksigen terlarut
yang mengurangi konsentrasi amonia, sehingga jumlah yang tereduksi menjadi lebih sedikit
(Norjanna, 2015). Zeolit mempunyai sifat kimia dasar yang membuatnya mampu bertindak
sebagai penukar ion yang baik. Selain itu zeolit mempunyai luas permukaan besar dengan
distribusi ukuran pori yang kecil (Wicaksana, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Arita, Susila. R. P. Sari. dan I. Liony. 2015. Purifikasi Limbah Spent Acid Dengan Proses
Adsorpsi Menggunakan Zeolit Dan Bentonit. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 4(21) : 65-72.
Banon, C. dan T.E. Suharto. 2008. Adsorpsi Amoniak Oleh Adsorben Zeolit Alam Yang
Diaktivasi Dengan Larutan Amonium Nitrat. Jurnal Gradien. Vol. 4(2) : 354-360.
Diansari, R.V.R., E.arini. dan T. Eifitasari. 2013. Pengaruh Kepadatan Yang Berbeda
Terhadap Kelulus Hidupan Dan Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pada
Sistem Tesirkulasi Dengan Filter Zeolit. Journal of Aquaculture Management and
Technology. Vol. 2(3) : 37-45.
Febrianto, Johanes. 2016. Studi Unit Pengolah Air Limbah Sisa Pemeliharaan Budidaya Ikan
Dengan Sistem Anaerob. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Kuncoro, E.B. 2011. Sukses Budidaya Ikan Hias Air Tawar. Lily Publisher. Yogyakarta.
Lestari, D.Y. 2010. Kajian Modifikasi dan Karakterisasi Zeloit alam dari berbagai negara.
Prosiding Seminar Naional Kimia dan Pendidikan Kimia. Yogyakarta.
2012. Karakterisasi dan Uji Aktivitas Katalitik Zeolit Alam Indonesia pada
Utama, M.P., R. Kusdarwati. dan A.M. Sahidu. 2017. Pengaruh Penggunaan Filtrasi Zeolit
dan Arang Aktif terhadap Penurunan Logam Berat Timbal (Pb) Air Tambak
Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Journal of Marine and Coastal Science. Vol. 6(1) :19-30.
ACARA 3
KLORINASI
Disusun Oleh:
Kelompok 7
2018
I. PENDAHULUAN
Air merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia. Kehidupan hewan dan
tumbuh tumbuhan juga sangat dipengaruhi oleh air. Oleh karena itu, air merupakan
kebutuhan yang sangat penting di bumi (Supriyadi, 2016). Upaya pemenuhan kebutuhan air
oleh manusia dipenuhi melalui proses pengambilan air dari dalam tanah, air permukaan (air
sungai, air danau, dan air laut), atau langsung dari air hujan. Saat ini, sebagian besar
kebutuhan air dipenuhi melalui pengambilan air permukaan, khususnya air sungai. Alasan
penggunaan air permukaan (air sungai) diantaranya adalah jumlah ketersediaan air
permukaan cukup besar, tahapan pengolahan sederhana dan mudah (Cheremisinoff, 1995
dalam Supriyadi, 2016).
Salah satu cara penanganan kualitas air adalah dengan penambahan klorin pada air
yang mengandung bakteri atau mikroorganisme. Pada tahun 1850, desinfektan sudah dipakai
dengan menggunakan metode klorinasi. Selama itu hipoklorit digunakan sebagai desinfektan
sebelum adanya penelitian. Pada tahun 1912, penggunaan klorin sebagai desinfektan,
penambahannya dilakukan secara sembarangan atau tidak sesuai dengan dosis yang tepat
sehingga malah mengakibatkan penyakit. Penyakit yang terjadi seperti typhus, infeksi
hepatitis dan juga bisa karena protozoa. Dari sini maka Persatuan Negara melakukan
penelitian dan menghasilkan kesimpulan bahwa penambahan desinfektan harus melalui
perhitungan (Sawyer, C.N., et al., 2003 dalam Herawati 2017).
Desinfektan merupakan bahan selektif yang digunakan untuk merusak penyakit yang
disebabkan oleh organisme yang berasal dari bakteri, virus, dan amoeba. Pada proses ini
organisme belum mati seluruhnya, berbeda dengan strerilisasi yang mana dapat membunuh
seluruh organisme yang ada . Penyakit yang timbul misalnya thypus, kolera, parathypus,
disentri, polimielitis dan infeksi hepatitis, sehingga diperlukan desinfektan dalam
pembersihan air. Desinfektan umumnya diperoleh dari bahan kimia, bahan fisika, mekanik
dan radiasi. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah klorin dimana unsur ion-ionnya
terdapat dalam senyawa kaporit. Desinfektan dari bahan fisika dapat berasal dari cahaya
matahari. Radiasi ultraviolet sangat berguna dalam sterilisasi kualitas kecil pada air karena
dapat membunuh molekul dari organik dan juga organisme. Sedangkan desinfeksi secara
radiasi menggunakan sinar gamma pada cara sterilisasi (Tchobanoglous, G., 1991 dalam
Herawati 2017).
I.2. Tujuan
II.1. Klorinasi
Klorinasi adalah salah satu teknik pengolahan limbah yang sering digunakan untuk
membunuh bakteri koliform patogenik (Shovitri, 2011). Klorin adalah desinfektan yang
paling banyak digunakan karena efektif pada konsentrasi rendah, murah, dan membentuk
residual jika diigunakan pada dosis yang tepat. Penggunaan klorida (Cl 2) untuk membunuh
bakteri dalam air diperkenalkan oleh John L. Leal dengan pengunaan Ca(OCl) 2 untuk proses
desinfeksi air dalam pipa. Kini klor sebagai desinfektan selain digunakan sebagai kalsium
diklorida Ca(OCl)2 dapat juga ditemui berbentuk sebagai gas (Cl2), natrium klorida (NaOCl)
ataupun sebagai hipoklorit (HOCl) (Fuadi, 2012).
Menurut Fuadi (2012) kemampuan desinfeksi klorin berasal dari sifat propertisnya
sebagai oksidator kuat. Klorin mengoksidasi enzim yang berfungsi sebagai proses metabolis
pada mikroorganisme. Ada dua jenis reaksi yang terjadi jika klorin dibubuhkan kedalam air,
yaitu hidrolisi dan ionisasi. Reaksi hidrolisi yang terjadi adalah :
HOCl OCl- + H+
Klor (Cl) dari kaporit berfungsi sebagai oksidator limbah organik dan anorganik.
Selain itu, Klor (Cl) memiliki fungsi sebagai desinfektan yang efektif membunuh
mikroorganisme patogen, seperti Escherichia coli, Legionella, Streptococcus, Bacillus,
Clostridium, Amoeba dan harganya terjangkau (Shovitri, 2011).
Senyawa Klor atau Klorin yang berfungsi sebagai biosida pengoksidasi dapat berasal
dari gas Cl2, atau dari garam-garam NaOCl dan Ca(OCl) 2 (kaporit) (Lestari, 2008).
Kaporit/kalsium hipoklorit adalah senyawa kimia bersifat korosif pada kadar tinggi, dan pada
kadar rendah biasanya digunakan sebagai penjernih air (Alaert dan Sumestri, 1987). Klor
merupakan disinfektan yang efektif terhadap virus dan bakteri, tetapi untuk tingkat yang lebih
rendah terhadap protozoa. Payment (1999) dalam (Fuadi, 2012) menunjukkan bahwa
konsentrasi disinfektan seperti yang digunakan dalam sistem distribusi hanya memiliki efek
terbatas pada patogen.
II.3. Cara Kerja Klorin
Kaporit ketika dilarutkan dalam air akan berubah menjadi asam hipoklorit (HOCl) dan
ion hipoklorit (OCl-) yang memiliki sifat desinfektan. HOCl dan ion OCl- bersifat sangat
reaktif terhadap berbagai komponen sel bakteri. Selanjutnya HOCl dan ion OCl- disebut
sebagai klor aktif. Klor mampu melakukan reaksi hidrolisis dan deaminasi dengan berbagai
komponen kimia bakteri seperti peptidoglikan lipid, dan protein yang dapat menimbulkan
kerusakan fisiologis dan mempengaruhi mekanisme seluler (Berg, 1986 dalam Rosyidi,
2012). Klor aktif juga bereaksi kuat dengan lipid dan peptidogikan membran sel. Hal ini
dapat mempengaruhi konsentrasi yang sangat tinggi antara lingkungan ekstrasel dan
lingkungan intrasel yang berpotensi mengganggu tekanan osmotic di dalam sel dan dapat
mengancam terjadinya lisis/kehancuran sel. Baker (1926) dalam Rosyidi (2012) dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa klor membunuh bakteri dengan mengikat protein untuk
membentuk senyawa N-chloro.
III. MATERI DAN METODE
III.1. Materi
3.3.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah ember 30 L, aerator, selang aerator 2
meter, batu aerasi, terminal listrik, plastik kresek/ trash bag, dan gunting.
3.3.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah air, Klorin dosis 40 ml, 10 ekor
ikan Nilem (Osteochilus hasselti) dan Na2S2O3 dosis 0 ppm, 5, 10, 155, 20, 25, 30, 35 dan 40
ppm.
III.2. Metode
Ember plasik diisi dengan 15 liter air dan menggunakan aerasi untuk proses
pengadukan. Pemberian desinfeksi dilakukan menggunakan klorin dosis 40 ml selama 24
jam. Penetralan klorin dilakukan dengan menggunakan Na2S2O3 dengan dosis 0 ppm, 5, 10,
155, 20, 25, 30, 35 dan 40 ppm. Untuk mengetahui indikator adanya klorin yang tersisa
menggunakan 10 ekor ikan Nilem (Osteochilus hasselti) yang dipelihara selama 24 jam
setelah penetralan dan hitung mortalitas ikan Nilem (Osteochilus hasselti) menggunakan
rumus:
Nt
Mortalitas = x 100%
No
Keterangan :
Data yang diperoleh dianalisis dengan mengamati dan mencatat kenampakan air dan
bau air sebelum dan sesudah diberi perlakuan menggunakan diagram batang.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil
IV.2. Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil yaitu pada pemberian
Na2S2O3 dosis 0 ppm mortalitas sebesar 100%, pada Na2S2O3 5 dan 10 ppm moraltas sebesar
10 % dengan kematian 1 ekor ikan, untuk pemberian Na 2S2O3 15, 20, 25, 30, dan 35 ppm
mortalitas sebesar 0%.
Mortalitas ikan
12
10 10 10 10 10 10 10 10
10
8
Motalitas
6 Akhir
Awal
4
2 1 1
0 0 0 0 0
0
0 5 10 15 20 25 30 35
ppm
V.1. Kesimpulan
Amen, Oktaviannus. 2012. Efisiensi Penggunaan Ca(Ocl)2 Dan Naocl Sebagai Desinfektan
Pada Air Hasil Olahan PDAM Tirta Pakuan. Skripsi. Program Studi Kimia Fakultas
Fuadi., A. 2012. Pengaruh Residual Klorin Terhadap Kualitas Mikrobiologi Pada Jaringan
Distribusi Air Bersih (Studi Kasus : Jaringan Distribusi Air Bersih Ipa Cilandak).
Herawati., D. Dan Anton., Y. 2017. Penentuan Dosis Kaporit Sebagai Desinfektan Dalam
Soetopo., R. S., Purwati., S., Yusup., S., Krisna., S. 2017. TINGKAT TOKSISITAS AIR
Supriyadi, Indro Sumantri dan Indah Hartat. 2016. Pengaruh Dosis Klorin Pada Pertumbuhan
Bakteri Coliform Total Dan Escherichia Coli Pada Sungai Kreo, Sungai Garang Dan
PENGAPURAN
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Air merupakan sumberdaya alam yang yang penting karena diperlukan oleh semua
makhluk hidup. Lingkungan perairan yang optimal dapat mendukung pertumbuhan ikan
dengan baik. Salah satu faktor pendukung pertumbuhan ikan terkait media pemeliharaannya
adalah kondisi tekanan osmotik dan ionik air, baik air sebagai media internal maupun
eksternal (Darwisito, 2008 dalam Scabra, 2016).
Apabila air limbah dibuang ke media lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu maka
dapat menyebabkan pencemaran lingkungan terutama ekosistem perairan. Pengelolaan
kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas yang diinginkan yaitu
menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya. Adapun yang dapat dilakukan
dalam mengelola kualitas ais suatu perairan pengelolaan tanah dasar, pengapuran, dan
pemupukan. Penggunaan kapur merupakan aksi yang penting dalam memperbaiki kesuburan
tanah kolam terutama yang bermasalah dengan kemasaman tanah (Kurniawan, 2013).
Pemberian kapur dapat membunuh hama dan parasit ikan di kolam. Selain itu
pengapuran dilakukan untuk menstabilkan pH kolam yang baru selesai dibuat dengan
menebarkan kapur dolomit (CaCO3) yang berperan sebagai buffer untuk menaikkan pH.
Dalam pengapuran dosis kapur yang akan ditebarkan harus tepat karena jika berlebihan kapur
akan menyebabkan kolam tidak subur, sedangkan bila kekurangan kapur dalam kolam akan
menyebabkan tanah dasar kolam menjadi asam (Muslih, 2016). Oleh karena itu praktikum
pengapuran dilakukan agar dapat mengelola kualitas air dengan kapur dan mengetahui dosis
penggunaannya.
1.2 Tujuan
2.1. Pengapuran
Kapur merupakan salah satu batuan yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan pH
secara praktis, murah dan aman sekaligus dapat menggurangi kandungan-kandungan logam
berat yang terkandung dalam air asam tambang. Ada beberapa macam kapur yang dapat
digunakan, yaitu kapur pertanian (CaCO3), kapur tohor (CaO), kapur tembok
(Ca(OH)2), dolomite (CaMg(CO3)2) dan kapur silika (CaSiO3). Namun kapur yang sering
digunakan dalam tambak adalah CaCO3 dan kapur tohor (Heynes, 2009 dalam Herlina,
2014).
Penggunaan kapur tohor (CaO) pada saluran keluar (outlet) dari kolam pengendap
lumpur dapat menaikkan nilai pH agar sesuai dengan baku mutu lingkungan. Pengapuran
tidak hanya dilakukan disaluran outlet, tetapi juga di saluran masuk (inlet) pada kolam
pengendap lumpur. Penambahan kapur tohor yang dilakukan secara terus menerus dan
dengan dosis yang tepat dapat menaikan pH air (Herlina, 2014).
Penggunaan kapur merupakan aksi yang penting dalam memperbaiki kesuburan tanah
kolam terutama yang bermasalah dengan keasaman tanah (Limbong, 2017). Pengapuran
bertujuan untuk meningkatkan pH tanah sehingga pHnya ≥ 6 sehingga pupuk dapat bekerja
lebih efektif. Pengapuran dilakukan dengan cara disebarkan dan diaduk ke dalam tanah.
Setelah kapur ditebar kedalam masingmasing unit penelitian maka langkah berikutnya yaitu
pembuatan pupuk organik (Harni, 2017).
2.2. pH
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter kualitas air yang dapat
berobah dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti oksigen, amonia, nitrit, bahan organik.
Pada hakekatnya pH adalah negatif dari logaritma konsentrasi ion hidrogen (H+) (Mangampa,
2014). Nilai pH dalam suatu perairan merupakan suatu indikasi terganggunya perairan
tersebut. pH normal untuk suatu perairan adalah 7. Berkurangnya nilai pH dalam suatu
periaran ditandai dengan semakin meningkatnya senyawa organik di perairan tersebut
(Megawati, 2014).
Nilai pH tanah akan berpengaruh pada kesuburan perairan karena kelarutan unsur
hara dalam air ditentukan oleh derajat keasaman tanah dan air. Tanah yang asam akan
mempengaruhi pH air, dengan demikian perlu upaya menetralisasi. Tanah tambak bisa
memiliki pH kurang dari 4 atau lebih dari 9, namun pH tanah yang ideal untuk tambak adalah
pH 6-8. Angka ini merupakan kondisi pH yang optimal bagi keberadaan phosfor di dalam
tanah, serta sangat cocok untuk berbagai mikroorganisme dekomposer seperti bakteri (Boyd
et al., 2002 dalam Bahri, 2014).
Menurut Manurung et al., (2014), bahwa peningkatan pH tanah akan terjadi apabila
bahan organik yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena bahan
organik yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa.
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi asam di dalam tanah tambak
tersebut yaitu dengan cara melakukan pengapuran pada dasar tanah.
2.3. DMA
Daya Menggabung Asam (DMA) dapat disebut sebagai nilai alkalinitas suatu perairan
yang menunjukkan kapasitas penyangga perairan (buffer capacity) terhadap perubahan pH
dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menduga kesuburannya (Bintoro, 2014). DMA
adalah kapasitas air untuk menerima proton, sama dengan larutan buffer. Besar kecilnya nilai
DMA suatu perairan dapat menunjukkan kapasitas penyangga dan tingkat kesuburannya
(Siregar, 2000).
Alkalinitas merupakan kemampuan air dalam menetralkan asam. Air yang
mengandung karbondioksida dapat mengakibatkan tingginya nilai alkalinitas. Tingginya nilai
alkalinitas dapat menyebabkan lambatnya dekomposisi ozon, akibat ion karbonat dan
bikarbonat yang mengakibatkan waktu paruh ozon meningkat ( Sari, 2013 ).
Menurut Soeseno (1974) dalam Tohir (2018), daya menggabung asam dapat
digunakan untuk menentukan baik buruknya perairan sebagai lingkungan hidup, yaitu
berkisar antara 2 – 2,5 mg/L. Apabila daya penggabung asam terlalu rendah, maka perairan
itu kurang baik daya penyangganya (soft water). Sebaliknya apabila daya menggabung
asamnya tinggi maka daya produksinya secara hayati (biogenic capacity) cukup besar. Dalam
pengukuran oksigen terlarut menggunakan Methyl Orange (MO) sebagai larutan indikator,
dan H2SO4 sebagai pentitrasi.
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum acara Pengapuran adalah ember (30 Liter),
botol winkler, pengaduk, milimeter blok laminating dan pH meter.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum acara Pengapuran adalah air cuka (40 ml), air
kran (10 L), CaCO3 dan tissue.
3.2. Metode
Disiapkan ember plastik berkapasitas 30 L, kemudian campurkan air cuka (40 ml)
dengan air kran sebanyak 10 L. Campuran air cuka dan air kran dimasukkan ke dalam ember
plastik, lalu diaduk dan diukur pH awalnya. Lalu ditambahkan CaCO3 ke dalam ember plastik
dengan dosis yang telah ditentukan, aduk dan di dibiarkan selama 24 jam, lalu diukur pH
akhir dengan pH meter. Hasil yang diperoleh dicatat.
3.3. Waktu dan Tempat
Analisis data dilakukan dengan analisis statis hubungan dosis pengapuran dengan
nilai pH, DMA, kualitas air dan hasil panen.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.2. Pembahasan
pH
8
7
6
5
4 Sebelum
pH
3 Setelah
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan
Gambar 4.Grafik nilai pH sebelum dan setelah perlakuan
Keterangan : Perlakuan 1 (CaCO3 0 ppm), Perlakuan 2 (CaCO3 5 ppm), Perlakuan 3 (CaCO3
10 ppm ), Perlakuan 4 (CaCO3 15 ppm), Perlakuan 5 (CaCO3 20 ppm), Perlakuan 6 (CaCO3
25 ppm), Perlakuan 7 (CaCO3 30 ppm), Perlakuan 8 (CaCO3 35 ppm)
Berdasarkan grafik di atas, diketahui bahwa nilai pH paling tinggi pada perlakuan 6
yaitu dengan pemberian dosis CaCO3 25 ppm. Sedangkan nilai pH paling rendah pada
perlakuan 1 yaitu tanpa pemberian CaCO3. Semakin tinggi dosis CaCO3 yang diberikan untuk
limbah cair maka nilai pH tinggi, sedangkan limbah cair tanpa pemberian CaCO3 memiliki
nilai pH rendah. Hal ini sesuai dengan referensi yang ada bahwa penambahan CaCO3 akan
meningkatkan nilai pH seiring dengan dosis CaCO 3 yang ditambahkan pada media (Kadarini,
2015). Referensi lain menjelaskan dengan pemberian amelioran berupa kapur CaCO3 dapat
meningkatkan pH akibat dari bahan-bahan kapur dan mikroba yang terdapat dalam amelioran
(Anggoro, 2017).
Proses kimia dan biologi dari bahan-bahan mineral menghasilkan sulfat dengan
tingkat keasaman yang tinggi (Indrajaya, 2018). Sedangkan rendahnya pH air dapat
dipengaruhi oleh rendahnya pH tanah dan bahan organik yang tidak terurai dengan sempurna
oleh bakteri anaerob membentuk asam organik yang dapat menurunkan pH. Penyebab lain
adalah penguraian Fe yang terkandung dalam tanah dasar menjadi FeO2 yang bersifat asam
dan dapat menurunkan pH air (Mangampa, 2014).
Dengan penambahan kalsium karbonat CaCO3 maka nilai pH semakin tinggi, hal ini
dikarenakan kalsium karbonat di perairan bereaksi dengan karbon dioksida akan membentuk
bikarbonat (HCO3). Bikarbonat dapat bersifat asam dan basa karena dapat mengalami
hidrolisis menghasilkan OH- dan mempunyai kapasitas sebagai buffer (Kadarini, 2015). Hal
ini juga dijelaskan oleh Boyd (1982) dalam Heriadi (2016) keberadaan kalsium dalam air
bereaksi dengan (H+) akibatnya pH akan meningkat. Penambahan kalsium karbonat dapat
menyebabkan kenaikan pada pH media pemeliharaan karena pengapuran bersifat
menetralkan keasaman sehingga pH air akan meningkat setelah pemberian kapur . Adapun
reaksi penetralan asam dengan bahan yang mengandung kapur adalah sebagai berikut (Said,
2014):
Ca(OH)2 + H2SO4 <==> CaSO4 + 2 H2O (3.1)
Ca(OH)2 + FeSO4 <==> Fe(OH)2 + CaSO4 (3.2)
3 Ca(OH)2 + Fe2(SO4)3 <==> 2 Fe(OH)3 + 3 CaSO4
Air kolam yang sedikit masam dan tanah dasar kolam yang telah dikapur
menunjukkan reaksi yang basa, kondisi basa ini dapat menetralisir air sehingga pH air kolam
naik (Hasibuan, 2012). Proses pengapuran juga dapat membunuh sisa-sisa jasad renik,
meningkatkan pH sehingga tidak menyebabkan kematian pada saat pemeliharaan ikan (Marie
et al., 2018). Dengan pengapuran dapat menambah unsur Ca dan Mg, menambah
ketersediaan unsur hara N, P dan Mo, mengurangi keracunan unsur Fe, Al dan Mn, serta
memperbaiki kehidupan mikroorganisme (Hasibuan, 2016).
Dari semua perlakuan, pemberian CaCO3 dosis 10 ppm merupakan perlakuan terbaik.
Hal ini karena hasil nilai pH mendekati netral yaitu 7,02. pH tersebut dalam kisaran normal
dan baik untuk pertumbuhan kehidupan organisme perairan. Sesuai dengan pernyataan
Hardjowigewo (1986) dalam Anggoro (2017) menyatakan bahwa kapur dapat meningkatkan
pH dan menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap. Pada pH netral yaitu 7
sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air.
DMA
12
DMA (ppm)
10
8
6 Sebelum
Setelah
4
2
0
1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan
Dari data grafik di atas, menunjukkan bahwa hasil DMA terendah yaitu pada
perlakuan 1 yaitu 1 mg/L , sedangkan nilai DMA tertinggi pada perlakuan 8 yaitu 11 mg/L.
Hal ini sesuai dengan pendapat (Scabra, 2016), bahwa kalsium karbonat (CaCO3) yang
terlarut pada media akan terpecah menjadi unsur Ca, yang merupakan sumber kalsium
perairan serta unsur CO3 yang merupakan karbonat penyusun alkalinitas. Kalsium merupakan
kation terpenting di antara seluruh ion anorganik yang berperan dalam proses fisiologis
organisme akuatik (France, 1981 dalam Taqwa, 2014). Kalsium juga dapat menaikkan pH
terutama kalsium karbonat dan kalsium oksida yang disebabkan terhidrolisisnya karbonat
menjadi ion hidroksil sehingga meskipun media adaptasi menggunakan air rawa namun tetap
meminimalisir tingkat keasaman tersebut (Zaidy, 2007 dalam Taqwa, 2014).
Kesadahan total biasanya berhubungan dengan alkalinitas total karena anion dari
alkalinitas dan kation dari kesadahan berasal dari peluruhan mineral karbonat. Dengan
penambahan kalsium karbonat CaCO3 maka nilai pH semakin tinggi, hal ini dikarenakan
kalsium karbonat di perairan bereaksi dengan karbon dioksida akan membentuk bikarbonat
(HCO3) (Mochtar, 2014). Menurut Kurniasih (2014), faktor yang mempengaruhi DMA yaitu
alkalinitas air dipengaruhi oleh konsenterasi basa dalam air, diantaranya kalsium karbonat
(CaCO3), (NaCl), Na2CO3.
Pelepasan ion kalsium dan bikarbonat dari kapur CaCO3 yang larut dalam tanah
berlangsung lambat, sebagaimana yang terlihat pada reaksi kimia pada DMA berikut: CaCO3
(s) + H2O(l) + CO2(g) Ca2+(aq) + 2HCO3 - (aq) (1) Bikarbonat yang terbentuk dapat
menetralisir ion hidronium di dalam larutan tanah, sambil ion kalsium mengantikan ion
hidronium dan aluminium yang berikatan pada muatan negatif permukaan humus dan partikel
(Primaryadi, 2015). Penjumlahan dari jumlah titran yang terpakai pada penentuan nilai
alkalinitas phenolphalein dengan jumlah titran pada pembentukan asam karbonat pada reaksi
tersebut, merupakan nilai alkalinitas total (Effendi, H. 2003 dalam Sembiring et al, 2012).
Jenis kapur yang dapat diaplikasikan menurut Rachimi (2016) yaitu kapur karbonat,
kapur oksida dan kapur hidrat.
Kapur karbonat : kapur karbonat diperoleh dengan menggiling batu kapur tanpa
pemanasan. yang tergolong kapur karbonat adalah: Kalsit (CaCO 3) dan dolomit
(CaMg(CO3)2).
Kapur oksida : kapur ini diproduksi setelah pemanasan kapur karbonat. kapur oksida
dikenal pula sebagai kapur bakar atau kapur tohor (CaO).
Kapur hidrat : kapur ini diperoleh dengan menambahkan air pada kapur oksida. kapur
hidrat dikenal pula dengan nama kapur bangunan atau kapur tembok Ca(OH)2.
Cara pengapuran pada kolam yaitu, tanah yang bersih dimasukkan ke dalam semua
wadah dengan ketinggian 20 cm dari dasar wadah, karena menurut (Boyd, 1979 dalam
Hasibuan, 2013) kapur dan pupuk akan bekerja sampai pada kedalaman 15 cm dari
permukaan tanah dasar kolam. Kemudian dilakukan penentuan tekstur tanah, pH dan
hardness. Jika pH < 6 dan hardness < 20 ppm, maka dilakukan pengapuran menurut (Boyd,
1979 dalam Hasibuan, 2013). Sebelum dipupuk, kolam terlebih dahulu dikapur dengan
CaCO3 dosis 168,00 g/m2.
Sebelum tanah kolam pada wadah yang telah disiapkan diberi kapur, tanah
dilumpurkan terlebih dahulu. Kapur yang telah ditentukan dosisnya (Hasibuan, 2013) ditebar
secara merata pada setiap wadah penelitian, kemudian diaduk dengan sendok semen yang
sudah disiapkan. Setelah kapur tercampur secara merata pada tanah pengadukan dihentikan.
Pemberian kapur CaCO3 dapat meningkatkan konsentrasi kalsium air yang merupakan unsur
penting untuk pertumbuhan ikan dan kesehatan agar mendapatkan pertumbuhan yang baik
(de Holanda Cavalcante et al., 2009 dalam Hastuti 2016). Pemberian kapur hanya dilakukan
sekali, yaitu pada awal penelitian. Pengapuran dilakukan pada siang hari, hal ini bertujuan
untuk mempercepat reaksi kapur dengan tanah karena kandungan CO2 bebas yang tinggi
pada pagi hari (Hasibuan, 2013).
Dari semua perlakuan, pemberian CaCO3 dosis 30 ppm merupakan perlakuan terbaik.
Hal ini karena nilai DMA tidak terlalu tinggi sebesar 5,7. DMA tersebut dalam kisaran
normal dan baik untuk pertumbuhan kehidupan organisme didalam perairan. Sesuai dengan
pernyataan Rachimi (2016), menyatakan bahwa DMA yang dibutuhkan oleh organisme
tawar, khususnya ikan ialah tidak terlau tinggi dan terlalu rendah yaitu seebsar 4,56, karena
apabila ikan tidak mendapatkan zat kapur maka akan terganggu homeostatisnya. Dan untuk
udang dapat berfungsi sebagai pembenukan khitin secara cepat.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dalam pengukuran DMA diharapkan dapat lebih cermat dan teliti lagi agar hasil yang
didapatkan bisa lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Rachimi., Eka, I. R., Didin, A. P. 2016. Pengaruh Penambahan Kapur Tohor (Cao) pada
Media Budidaya Bersalinitas Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Lobster Air Tawar (Cherax Quadricarinatus). Jurnal Ruaya. 4 (1): 24-28.
Said, N. I. 2014. Teknologi Pengolahan Air Asam Tambang Batubara “Alternatif Pemilihan
Teknologi”. Jurnal Air Indonesia. 7 (2): 119 – 138.
Sammut J Dr., Mustafa A Ir., MS. 2011. Teknik Pengapuran Pada Pematang Tambak Tanah
Sulfat Masam. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.Maros
Sari, N. N., M. Rangga, S., Kancitra, P. 2013. Efek Perlakuan pH pada Ozonisasi. JURNAL
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL. 1(1): 1-12.
Scabra, A.R., Tatag, B., Daniel, D. 2016. Kinerja Produksi Anguilla Bicolor Bicolor dengan
Penambahan CaCO3 pada Media Budidaya. Jurnal Akuakultur Indonesia. 15 (1) : 1-
7.
Siregar, A. 2000. Transparasi Limnologi. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Taqwa, F. H., Ade, D. S., Khadiful, H., Eni, K., Abdul, K. G. 2014. Penambahan Kalsium
pada Air Rawa sebagai Pengencer Salinitas Media Pemeliharaan Pascalarva Udang
Galah Terhadap Sintasan, Tingkat Kerja Osmotik, dan Konsumsi Oksigen. Jurnal Ris
Akuakultur. 9 (2): 229-236.
Tohir. 2018. Artikel: Pengukuran Kualitas Perairan. Chyrun.com (diakses 27 Oktober 2018).
LAMPIRAN
ACARA 5
PENGELOLAAN BLOOMING ALGAE
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Fitoplankton adalah tumbuhan alga bersel satu (unicellular) yang terdapat di perairan
ekosistem laut dan juga air tawar. Beberapa dari spesies fitoplankton mampu menghasilkan
toksin. Toksin tersebut dapat dipindahkan melaui rantai makanan, dimana dapat
mengakibatkan dampak negatif atau kematian terhadap organisme yang berada pada
kedudukan yang lebih tinggi dari sistem rantai makanan seperti zooplankton, kerang-
kerangan, ikan, burung, mamalia dan juga manusia (Turner dan Turner, 1997 dalam
Weliyadi, 2013).
Blooming algae merupakan salah satu yang dapat menyebabkan pencemaran pada air
permukaan. Blooming algae mengakibatkan kematian hewan-hewan didalam air, karena
kekurangan oksigen terlarut dan zat beracun yang dihasilkan oleh algae bloom. Blooming
algae berdampak pada kualitas air secara langsung dapat mempengaruhi kesehatan dan
pertumbuhan organisme yang dibudidayakan. Kualitas air yang buruk akan menimbulkan
stress, penyakit, dan pada akhirnya menimbulkan kematian hewan-hewan akuatik.
Pengendalian kondisi lingkungan budidaya agar tetap stabil dan optimal bagi organisme
perairan termasuk hewan budidaya menjadi sangat perlu dilakukan (Irawan, 2015).
Menurut Widiarti et al., (2012), untuk mengatasi keadaan suatu perairan yang terkena
blooming alga, dapat dilakukan dengan cara fisik maupun kimia. Cara fisik, yaitu dengan
menurunkan volume air secara bertahap, lalu menginokulasi bibit plankton yang
menguntungkan dari kolam yang berbeda. Cara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan
algisida (CuSO4, diuron, dan simazine). Penggunaan algisida (CuSO4) dalam percobaan ini
diharapkan dapat digunakan sebagai pengendalian blooming alga atau plankton, yang
selanjutnya akan bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum acara pengelolaan blooming algae adalah untuk mengetahui
berbagai dosis penggunaan algasida untuk menanggulangi blooming algae pada kolam
budidaya.
1.3
II. TINJAUAN PUSTAKA
Alga adalah tumbuhan nonvascular yang memilika bentuk thalli yang beragam,
uniseluler atau multiseluler, dan berpigmen fotosintetik. Alga bentik (makroalga) dapat
hiduup di perairan tawar dan laut (Bold dan Wynne, 1978 dalam Paransa et al., 2014).
Menurut Bold and Wynne (1985) dalam Paransa et al., (2014), alga diklasifikasikan dalam
empat kelas besar yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Cyanophyceae (alga hijau-biru),
Phaeophyceae (alga coklat) dan Rhodophyceae (alga merah). Setiap kelas alga memiliki ciri
warna tertentu, karena adanya jenis pigmen yang dikandungnya. Alga mengandung tiga jenis
pigmen utama yaitu : klorofil, karotenoid, dan fikobilin.
Blooming algae adalah Pengkayaan unsur hara (eutrofication) di suatu perairan akibat
penumpukan limbah organik atau anorganik yang berasal dari aktivitas manusia misalnya
dari usaha budidaya laut, pertanian dan rumah tangga berpotensi menyebabkan ledakan
populasi fitoplankton (WHO dan European Commission, 2002; Karydis, 2009). Ledakan
populasi fitoplankton dari jenis tertentu telah menyebabkankasus kematian massal ikan-ikan
budidaya dan keracunan pada manusia akibat mengkonsumsi kekerangan yang
terkontaminasi alga beracun, fenomena ini dikenal sebagai Harmful Alga Blooming atau
HAB (Panggabean, 2006 dalam Kusumaningsih, 2014).
Faktor yang mempengaruhi terjadinya blooming alga yaitu kandungan fospat (PO4)
dan nitrat (NO3), ditandai pada nilai korelasi menunjukkan PO4 dan NO3 keberadaannya
secara bersama-sama saling mendukung dan saling menguatkan pengaruhnya terhadap
kelimpahan fitoplankton. PO4 dan NO3 merupakan zat hara yang penting bagi pertumbuhan
dan metabolisme fitoplankton yang merupakan indikator untuk mengevaluasi kualitas dan
tingkat kesuburan perairan (Ferianita et al., 2005 dalam Sholihin, 2014). Lalu pH, pH
berperan penting dalam peningkatan kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan
jasad renik. pH tinggi akan meningkatkan produktifitas perairan. Hal sebaliknya, untuk pH
rendah (keasaman tinggi) dapat meurunkan produktifitas perairan dan membunuh organisme
akuatik (Gufron et al., 2007 dalam Sholihin, 2014). Faktor lainnya yaitu nitrit (NO2), nitrit
(NO2) berperan dalam mendukung terjadi kelimpahan plankton karena rendahnya nilai NO 2,
diduga akibat proses oksidasi nitrit (NO2) menjadi nitrat (NO3) berjalan dengan baik dengan
didukung pH dan oksigen dalam kondisi yang mencukupi. Sehingga, Proses perubahan
berlangsung dengan cepat yang mengakibatkan ketersediaan NO2 berkurang, sedangkan NO3
relatif tinggi. Secara tidak langsung ketersediaan NO2 berperan dalam mendukung terjadi
kelimpahan (Hasani et al., 2012 dalam Sholihin, 2014).
II.2. Algisida
Algisida atau senyawa logam Cu merupaka salah satu cara yang efektif untuk
menanggulangi blooming alga pada perairan. Logam Cu ini dapat merusak susunan
fotosintesan dan menghambat proses penyerapan bahan organic penyusun fotosintesa seperti
N, P. Kemampuan algisida tersebut yang dimanfatkan manusia untuk menangani masalah
blooming algae. Selain karena faktor tersebut, algisida merupakan bahan yang mudah
dijumpai dan memiliki sifat yang ramah lingkungan terhadap manusia (Qian et.al., 2010).
Algisida yang biasa digunakan dalam mengurangi jumlah alga adalah CuSO4. CuSO4
adalah bahan kimia yang mempunyai sifat melarut sempurna dalam air dan sedikit larut
dalam etanol (Fitzgerald dan Faust, 1963 dalam Zulfiah, 2009). CuSO4 (25% Cu) digunakan
untuk mengendalikan lumut/alga untuk kolam ikan. Respon dari spesies alga untuk CuSO4
dapat bervariasi tergantung pada keadaan air yang mempengaruhi dan karakteristik dari
spesies alga. Pemberian dosis berlebihan akan bersifat racun dan berbahaya bagi biota
perairan seperti ikan. Dosis optimal pemberian CuSO4 dalam kolam yang mengandung
tanaman air (mikroalga) adalah 0,5gr/liter (Hasani, 2012).
Toksisitas untuk alga/ganggang yang dihasilkan oleh tembaga adalah karena afinitas
yang tinggi tembaga yang mengandung sulfur pada permukaan sel-sel ganggang, sehingga
menyebabkan terganggunya fungsi metabolisme dan reaksi biokimia alga normal,
menyebabkan protoplas rusak seperti kloroplas, karena itu tertahan produksi alga (Liu, 2002
dalam Pang, et al., 2013). Bahan kimia khususnya cupri sulfat untuk menjadi algisida harus
memenuhi persyaratan tertentu yaitu konsentrasi bahan kimia tersebut harus dapat membunuh
semua alga yang diberi perlakuan (Fitzgerald dan Faust, 1963 dalam Zulfiah, 2009).
II.3. Aplikasi Pengunaan Algisida
III.1. Materi
III.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah akuarium, aerator, selang aerasi, batu
aerasi, botol vial, mikroskop binokuler, cover glass dan pipet tetes.
III.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah air kolam budidaya yang
mengalami blooming algae dan algisida (CuSO4).
III.2. Metode
Analisis statistik perubahan kelimpahan plankton awal dan akhir perlakuan pada
masing-masing dosis dan jenis algisida. Perhitungan kelimpahan awal dan akhir dengan
rumus:
Kelimpahan = N x F
Q1 V 1 1 1
F= x x x
Q2 V 2 P W
Keterangan : N = jumlah plankton rataan pada setiap preparat
Q1 = luas gelas penutup 18x18 (324 mm2)
Q2 = luas lapang pandang (1,11279 mm2)
V1 = volume air dalam botol penampung (25 ml)
V2 = volume air dibawah gelas penutup (1 tetes = 0,05 ml)
P = jumlah lapang pandang yang diamati
W = volume air yang disaring (liter)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Pembahasan
50,000
Kelimpahan Individu/L
40,000
Sebelum Perlakuan
30,000
Setelah Perlakuan
20,000
10,000
0
0 1 2 3 4 5 6 7
Dosis Algisida/5 L
Berdasarkan grafik diatas kelimpahan plankton tertinggi adalah 50.080 ind/L setelah
pemberian Algasida 0 ppm. Sedangkan kelimpahan plankton terendah adalah 8.735 ind/L
setelah pemberian Algasida 0,7 ppm. Untuk kelimpahan plankton sebelum pemberian
Algasida pada masing – masing perlakuan adalah 39.598 ind/L. Menurut hasil yang
didapatkan pada masing-masing perlakuan semakin tinggi dosis yang diberikan maka
semakin tinggi penurunan kelimpahan plankton. Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan
dipengaruhi oleh beberapa parameter lingkungan dan karakteristik fisiologisnya. Komposisi
dan kelimpahan fitoplankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon terhadap
perubahan-perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia, maupun biologi (Agustini dan
Madyowati, 2014). Ketersedian nutrien, cahaya, pengadukan,masa tinggal air (water
residence time) dan suhu adalah faktor utama yang menentukan pertumbuhan dan komposisi
fitoplankton di waduk (Siagian, 2012). Hasil kelimpahan plankton secara keseluruhan
menunjukkan bahwa Spirulina sp. adalah spesies yang mendominasi. Kemungkinan hal
tersebut disebabkan karena keadaan perairan yang cocok sebagai habitat dari Spirulina sp.
sehingga dapat berkembang dengan baik. Cyanophyta lebih banyak dijumpai di daerah
dengan intensitas cahaya yang tinggi, terutama pada pertengahan musim kemarau. Selain itu,
cahaya juga berfungsi dalam memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu pada perairan,
dimana semakin lama dan besar intensitas cahaya, maka suhu air akan semakin meningkat.
Perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat, karena setiap
organisme perairan memiliki kisaran suhu minimum dan maksimum bagi kehidupannya
(Closs et al., 2006 dalam Retnaningdyah et al 2011).
Menurut Lei (2013), konsentrasi mikromolekul Cu dapat secara efektif menekan
sintesis klorofil, fiksasi N2 dan perkembangan komunitas fitoplankton. Penggunaan algasida
CuSO4 dapat menurunkan kelimpahan plankton karena terjadi penekanan sintesis klorofil dan
fiksasi N2, sehingga fitoplankton tidak dapat melakukan fotosintesis dan menghambat
perkembangan fitoplankton tersebut. Cara penghambatan larutan CuSO4 terhadap
pertumbuhan alga yaitu CuSO4 akan segera menembus ke dalam plasma sel alga dan
mengurangi laju fotosintesis. Hal tersebut menyebabkan terjadinya keracunan alat fotosintesis
sehingga fotosintesis dari fitoplankton tidak berjalan sempurna dan mengakibatkan kematian
fitoplankton sehingga kelimpahan fitoplanktonya menurun (Nielsen et al., 1969 dalam
Zulfiah, 2009).
Konsentrasi logam yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan sel karena sistem
perlindungan organisme tidak mampu mengimbangi efek toksisitas logam.mengakibatkan
kematian sel akibat keracunan diawali proses rusaknya kloroplas. Kerusakan kloroplas
menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis. Terganggunya aktivitas fotosintesis
menyebabkan kemampuan sel untuk memperbanyak diri menjadi berkurang. Hal ini
menyebabkan pertumbuhan dan pertambahan jumlah sel menjadi terhambat (Perales Vela et
al., 2007 dalam Pranajaya, 2014).
Dari masing – masing perlakuan hasil terbaik yang didapatkan adalah 8.735 ind/ L
dengan pemberian Algasida 0,7 ppm. Hal ini tidak sesuai dengen refrensi Cu yang terlarut
dalam badan
perairan dapat terbioakumulasi dan menjadi racun bagi organisme budidaya, dan
dapat menyebabkan kontaminasi ekosistem dari buangan budidaya (Carvalho & Fernandes,
2008 dalam Sihono et.al., 2014). Kandungan maksimum Cu pada air untuk aktivitas
budidaya menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air adalah 0,02 ppm.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Saat praktikum berlangsung, sebaiknya diakukan dengan metode yang baik dan
benar. Hal ini agar hasil yang didapatkan sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, D,M., J,M, Burkholder., W,P, Cochlan., P,M, Gilbert., C,J, Gobler., C,A, Heil.,
R,M, Kudela., M,L, Parsons., J,E, Jack Rensel., D,W, Townsend., V,L, Trainer., G,A,
Vargo., 2008, Harmful algall blooms and eutrophication: Examining linkages from
selected coastal region of the United Stated, Harmful Algae., 8 (1): 39-53.
Kusumaningtyas.,M.A, Bramawanto.,A , Daulat., A dan W S. Pranowo. 2014. Kualitas
perairan Natuna pada musim transisi. Debik. 3 (1): 10-20.
Greenfield, Dianne I., Ashley Duquette., Abby Goodson., Charles J. Keppler., Sarah H.
Williams., Larissa M. Brock., Krista D. Stackley., David White and Susan B. Wilde.
2014. The Effects of Three Chemical Algaecides on Cell Numbers and Toxin Content
of the Cyanobacteria Microcystis aeruginosa and Anabaenopsis sp., Environmental
Management. 54:1110–1120.
Hasani, Q, Adiwilaga, E.M and Pratiwi, N.T.M. 2012. The Relationship between the Harmful
Algal Blooms (HABs) Phenomenon with Nutrients at Shrimp Farms and Fish Cage
Culture Sites in Pesawaran District Lampung Bay. Makara Journal of Science. 1 (3):
183–191.
Irawan A., Hasani Q., dan Yulianto H. 2015. Fenomena Harmful Algal Blooms (HABs) di
Pantai Ringgung Teluk Lampung, Pengaruhnya dengan Tingkat Kematian Ikan yang
Dibudidayakan pada Karamba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan
Vol. 15 (1): 48-53.
Jin, Zeng., Liuyan Yang,Z And Wen-Xiong Wang. 2010. High Sensitivity Of
Cyanobacterium Microcystis Aeruginosa To Copper And The Prediction Of Copper
Toxicity, Environmental Toxicology And Chemistry. 29(10): 2260–2268.
Lei, Zhongkai, Shuizhou Ke, Yi Tao, Jia Zhu, Xihui Zhang. 2013. Effect of CuSO4 and H2O2
on Controlling AlgalBiomass in Two Landscape Lakes. APEC Conference on Low-
carbon Towns and Physical Energy Storage. 5 (3):388–393.
Pang, Cui-chao., Xin-jian Fan., Jie Zhou., Shi-qiang Wu. 2013. Optimal dosing time of acid
algaecide for restraining algal growth. Water Science and Engineering Journal. 6 (4):
402-408
Paransa, Darus S. J., Kurnia K, Antonius P. Rumengan dan Desy M. H. M. 2014. Analisis
Jenis Pigmen dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Pigmen Xantofil Pada Alga
Coklat Sargassum polycystum (C.Agardh). Jurnal LPPM Bidang Sains dan
Teknologi. 1 (1): 90-96.
Qian, Haifeng, Shuqiong Yu, Zhengqi Sun, Xiucai Xie,Weiping Liu, Zhengwei Fu. 2010.
Effects of Copper Sulfate, Hydrogen Peroxide and N-Phenyl-2-Naphthylamine on
Oxidative Stress and The Expression of Genes Involved Photosynthesis and
Microcystin Disposition in Microcystis aeruginosa. Aquatic Toxicology. 1-8.
Sholihin, A., Qadar H., Herman Y. 2015. Hubungan Perubahan Kualitas Air Dan
Pertumbuhan Fitoplankton Berbahaya Pada Lingkungan Budidaya Ikan Di Perairan
Ringgung Teluk Lampung. Aquasains. 3 (2): 289-296.
Weliyadi Encik. 2013. Identifikasi Spesies Fitoplankton Penyebab Harmful Alga Bloom
(HAB) di Perairan Tarakan. Jurnal Harpodon Borneo. Vol.6(1) : 27-35.
Widiarti, Riani, Fitrian Anggraini. 2012. Distribusi Dinoflagellata Toksik pada Lamun
Enhalus acoroides di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. 4(2) : 259-266.
Widiyanti, N. L. P. M., I G. A N. Setiawan., I. A. P. Suryanti. 2015. Pengaruh Garam Dapur
Dan Cupri Sulphat Terhadap Pertumbuhan Alga Cyanophyta Yang Diisolasi Dari
Batu Bata Bangunan Pura Di Desa Tejakula Buleleng. Jurnal Sains dan Teknologi. 4
(2): 608-620.
Zulfiyah, E. 2009. Pencemaran Air Permukaan oleh Alga. Jurusan Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS. Surabaya.
LAMPIRAN