Anda di halaman 1dari 67

ACARA 1

PENANGANAN LIMBAH CAIR MENGGUNAKAN BAHAN


BIOREMEDIASI DAN AERASI

Disusun Oleh :
Kelompok 7

Tesya Lintang Cahya G. L1B016003


R. Panji Sulaeman L1B016017
Veny Krisdayanti L1B016021
Asyiffa Septya S. L1B016024
Yola Vebiola L1B016025
Barlian Yanutama P. L1B016050
Yuli Astuti L1B016058
Fitri Ainun Sabila L1B016076
Ivan Arji Saputro L1B016077
Muhammad Prasta P. L1B016087

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Limbah adalah sisa dari suatu usaha atau kegiatan. Limbah berbahaya dan beracun
adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang
karena sifat, konsentrasi, dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan, merusak lingkungan hidup, atau membahayakan lingkungan hidup
manusia serta makhluk hidup. Limbah cair pada umumnya merupakan bahan organik yang
akan terdekomposisi. Saat melakukan dekomposisi bahan organik dibutuhkan sejumlah
oksigen yang cukup, sehingga akan mengurangi kandungan oksigen untuk ikan, karenanya
perlu ditambah dengan aerasi. Aerasi merupakan salah satu cara untuk menambah oksigen
terlarut dalam suatu perairan sehingga konsentrasi oksigen bertambah sampai titik jenuh yang
digunakan oleh ikan untuk melakukan respirasi (Suharto, 2010).
Industri tahu merupakan salah satu industri yang berkembang pesat di Indonesia.
Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah padat maupun cair. Limbah
cair dihasilkan dari proses pencucian, perebusan, pengepresan dan percetakan tahu. Limbah
cair tahu (whey) mengandung banyak senyawa organik seperti protein 40-60%, karbohidrat
25-50%, lemak 10%. Karakteristik limbah cair tahu mengandung bahan organik tinggi dan
mempunyai derajat keasaman yang rendah yakni 4-5, dengan kondisi tersebut maka air
limbah tahu merupakan salah satu sumber pencemaran yang potensial apabila air limbah yang
dihasilkan langsung dibuang ke badan perairan (Anggraini, 2014).
Seiring dengan semakin bertambahnya pencemaran yang terjadi di areal budidaya,
maka kebutuhan untuk mengaplikasikan bioremediasi juga semakin bertambah. Upaya
penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kematian biota budidaya
adalah dengan cara bioremediasi, yaitu dengan menambahkan bahan bioremediasi seperti
Starbio dan EM-4 pada area kolam. Penambahan bahan bioremediasi tersebut dianggap dapat
mempercepat proses dekomposisi bahan organik dalam tambak. Penambahan aerator dapat
memberikan penambahan oksigen yang berada di dalam tambak. Adanya aerasi yang
diberikan penurunan oksigen terlarut akibat dari proses respirasi ikan atau perombakan bahan
organik akan segera teratasi. Aerasi diharapkan dapat mensuplai kebutuhan oksigen untuk
dekomposisi dan respirasi ikan. Parameter yang digunakan dalam penentuan pengaruh bahan
bioremediasi ini adalah nilai kandungan oksigen terlarut dan nilai Biological Oxygen Demand
(BOD) (Siregar, 2008).
I.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum penanganan limbah cair menggunakan bahan bioremediasi dan
aerasi ini adalah untuk:
1. Mengetahui pengaruh bahan remediasi dalam penanganan limbah cair.
2. Mengetahui pengaruh aerasi dalam penanganan limbah cair.
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Limbah Industri Tahu

Limbah tahu terdiri dari 2 jenis, yaitu limbah padat dan cair (Kaswinarni, 2007 dalam
Indah et al, 2014). Limbah padat dapat digunakan sebagai pakan ternak sedangkan limbah
cair biasanya langsung dialirkan ke badan air tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Hal ini
tentu saja akan mencemari perairan melihat sifat limbah cair yaitu mengandung zat-zat
organik terlarut yang tinggi dan akan membusuk jika dibiarkan tergenang sampai beberapa
hari di tempat terbuka (Sarwono et al, 2004 dalam Indah et al, 2014).
Air limbah industri tahu memiliki berbagai kandungan bahan organik yang sangat
tinggi, dimana hal ini jika tidak dikelola dengan baik akan dapat memberikan pengaruh
negatif terhadap lingkungan. Secara umum air limbah industri tahu memiliki kadar BOD,
COD, N, P dan K yang sangat tinggi. Salah satu dampak akibat tingginya kadar N dan P bagi
perairan adalah terjadinya eutrofikasi (Widyastuti et al., 2015). Hal ini jika tidak
dikendalikan akan berakibat pada tumbuhnya alga yang tidak terkontrol (algae blooming)
(Siswoyo dan Joni, 2017).
Limbah tahu menghasilkan kadar BOD yang tinggi sebesar 3469,8 mg/l (Istikomah et
al., 2007 dalam Indah et al., 2014). Berdasarkan tingginya nilai BOD di atas bahwa limbah
cair industri tahu mengandung bahan organik tinggi, bila dibuang ke badan air tanpa
pengolahan terlebih dahulu akan beresiko mencemari perairan. Pengaruh utama limbah
organik yang masuk ke dalam air adalah menurunkan kandungan oksigen terlarut dan
meningkatkan BOD, COD, TSS dan TDS yang merupakan parameter utama pencemaran
perairan (Lestari, 2008 dalam Indah et al., 2014). Menurut Sugiharto (1987) dalam Indah et
al., 2014), jika bahan organik berkonsentrasi tinggi yang belum diolah dibuang ke badan air,
maka bakteri akan menggunakan oksigen terlarut dalam air untuk proses pembusukannya
sehingga dapat mematikan kehidupan dan menimbulkan bau busuk dalam air. Hal ini tentu
saja akan mempengaruhi kehidupan organisme di perairan.
II.2. Bioremediasi

Bioremediasi adalah salah satu teknik untuk menghilangkan atau mengurangi residu
polutan danlimbah berbahaya yang bersifat toksik dengan memanfaatkan metabolisme dari
organisme. Mekanisme bioremediasi tergantung pada mobilitas, kelarutan, dan penguraian
senyawa toksik tersebut. Bioremidiasi dapat diaplikasikan pada lingkungan darat ataupun
perairan. Penggunaan mikroba untuk proses bioremidiasi sangat diperlukan karena
mekanismenya yang efektif (Stepniewska dan Kuzniar, 2013 dalam Putrie, 2015).
Pemanfaatan mikroorganisme dalam bioremediasi dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu melalui pemanfaatan mikroorganisme alamiah yang ada dalam limbah dan
penempatan biakan mikroorganisme perombak polutan organik yang sudah diisolasi dan
dibiakkan di laboratorium ke dalam lingkungan yang tercemar (Gunalan, 1996 dalam Lestari,
2014).
Keunggulan dari bioremediasi adalah: proses alami yang dapat diterapkan ditempat
yang sulit dijangkau, lingkungan di bawah permukaan tanah, tidak mahal, tidak menghasilkan
limbah yang baru (masalah baru), dan ramah lingkungan. Hasil dari degradasi logam berat
oleh mikroorganisme adalah gas karbon dioksida, air, dan senyawa-senyawa sederhana yang
ramah lingkungan (Hanafiah et al. 2009 dalam Chairiyah, 2013).
II.3. Aerasi

Aerasi merupakan metode pengolahan dalam pengaturan penyediaan udara pada bak
aerasi, dimana bakteri aerob akan memakan bahan organik didalam air limbah dengan
bantuan oksigen. Penyediaan udara yang lancar dapat mencegah terjadinya pengendapan di
dalam bak aerasi. Aerasi juga merupakan suatu proses penambahan udara/oksigen dalam air
dengan membawa air dan udara ke dalam kontak yang dekat, dengan cara menyemprotkan air
ke udara (air ke dalam udara) atau dengan memberikan gelembung-gelembung halus udara
dan membiarkannya naik melalui air (udara ke dalam air) (Rahman dan Saleh, 2016).
Aerasi adalah upaya untuk meningkatkan oksigen terlarut yang dapat dilakukan
selama kondisi oksigen terlarut kritis untuk mencegah terjadinya kematian ikan.jika kondisi
oksigen rendah dapat mempengaruhi kegiatan makan ikan, konversi pakan, pertumbuhan dan
kesehatan ikan budidaya. Oksigen merupakan faktor kunci untuk kehidupan akuatik untuk
proses respirasi. Oksigen juga digunakan untuk dekomposisi bahan organik yang dapat
menghasilkan senyawa yang tidak berbahaya bagi biota perairan (Astuti et al., 2014).
Aerasi adalah satu pengolahan air dengan cara penambahan oksigen kedalam air.
Penambahan oksigen dilakuan sebagai salah satu usaha pengambilan zat pencemar yang
tergantung di dalam air, sehinggang  konsentrasi zat pencemar  akan hilang atau bahkan dapat
dihilangkan sama sekali. Pada prakteknya terdapat dua cara untuk menambahkan oksigen
kedalam air yaitu dengan memasukkan udara ke dalam air dan atau memaksa air ke atas
untuk berkontak dengan oksigen (Sugiharto, 1987 dalam Edahwati 2012).
III. MATERI DAN METODE

III.1. Materi

III.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol winkler (3), aerator, buret dan
statif, labu erlenmeyer, inkubator, dan gelas ukur 100 mL, bak plastik 20 L, botol mineral,
plastik bening 1 kg, pipet tetes.
III.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah adalah limbah cair perikanan,
akuades, larutan MnSO4, KOH-KI, H2SO4 pekat, indikator amilum 0.5 %, Na2S2O3 0.025 N,
Starbio, EM-4, dan limbah tahu.
III.2. Metode

Bak plastik diisi air sebanyak 30 liter air yang mengandung limbah dengan
kosenterasi 20%. Persiapan limbah cair dilakukan 2-3 hari sebelum praktikum. Kemudian
diukur kandungan oksigen terlarut dan BOD5 sebelum perlakuan dan setelah perlakuan
masing-masing perlakuan dilakukan selama 7 hari, dengan perlakuan yang diberikan adalah
pemberian starbio+aerasi, starbio+non aerasi, EM4+aerasi, EM4+nonaerasi, aerasi dan non
aerasi.
III.3. Waktu dan Tempat

Acara praktikum ini diadakan pada Tanggal, 19 September 2018, 24 September 2018,
dan 29 September 2018 di Laboratorium Pengajaran, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Jenderal Soedirman.
III.4. Analisis Data

Data praktikum yang diperoleh dianalisis dengan cara membandingkan nilai BOD5
yang diperoleh pada setiap praktikum pada saat sebelum dan sesudah perlakuan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil

Tabel 1.Hasil pengukuran BOD awal dan akhir perlakuan pada limbah cair industri tahu

BOD Awal BOD Akhir


Kelompok Perlakuan % Penurunan
(ppm) (ppm)
1 Starbio + aerasi 602,2 14,77 97,55
2 Starbio + nonaerasi 602,2 10,75 98,21
3 EM4 + aerasi 602,2 10,2 98,30
4 EM4 + nonaerasi 602,2 7,2 98,80
Starbio(70%) +
5 97,97
EM4(30%) 602,2 12,2
EM4(70%) +
6 95,07
Starbio(30%) 602,2 29,7
7 Aerasi 602,2 72,2 88,01
8 Nonaerasi 602,2 12,2 97,97

IV.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil praktikum, pada perlakuan 1 nilai penurunan BOD adalah 97,55%.
Pada perlakuan 2 nilai penurunan BOD adalah 98,21%. Pada perlakuan 3 nilai penurunan
BOD adalah 98,30%. Pada perlakuan 4 nilai penurunan BOD adalah 98,80%. Pada perlakuan
5 nilai penurunan BOD adalah 97,97%. Pada perlakuan 6 nilai penurunan BOD adalah
95,07%. Pada perlakuan 7 nilai penurunan BOD adalah 88,01%. Pada perlakuan 8 nilai
penurunan BOD adalah 97,97%.

% Penurunan BOD
100
98
% Penuruna BOD

96
94
92
90 % Penurunan BOD
88
86
84
82
1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan

Gambar 1. Grafik Penurunan BOD


Keterangan: Perlakuan 1 (starbio+aerasi), Perlakuan 2 (starbio+nonaerasi) , Perlakuan
3( EM4+aerasi), Perlakuan 4 (EM4+non aerasi) , perlakuan 5 (Starbio 70%
+EM4 30%) , Perlakuan 6 (EM4 70%+Starbio 30%), Perlakuan 7 (aerasi),
Perlakuan 8 (non aerasi)
Pada grafik terlihat nilai tertinggi terdapat pada perlakuan 4 yaitu perlakuan dengan
penambahan EM4 + non aerasi dan nilai terendah terdapat pada perlakuan 7 yaitu perlakuan
dengan aerasi. Penurunan BOD tinggi disebabkan oleh adanya proses aerasi, hal ini sesuai
dengan pernyataan bahwa pada proses pengolahan secara aerobik menunjukkan penurunaan
kadar BOD. Persentase penurunan BOD relatif kecil, akan tetapi seiring dengan
bertambahnya waktu proses bioremediasi (hari) menyebabkan penurunan konsentrasi BOD
semakin meningkat, karena tempat kontak antara mikroorganisme dan limbah cair tahu
tersedia cukup banyak (Agustina et al., 2010 dalam Verawaty, 2014).
Penurunan nilai BOD5 menurut Sofyan (2011) dalam Doraja et al., (2012) terjadi
karena terdegradasinya sebagian bahan organik yang sebelumnya tidak terurai pada proses
anaerob menjadi sel-sel baru yang tersuspensi dan dipisahkan dengan cara pengendapan.
Menurut Takwayana (2012) dalam Munawaroh et al., (2013), yaitu mikroorganisme
merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti CO 2 dan NH3,
sehingga dengan adanya penguraian senyawa yang lebih sederhana ini secara tidak langsung
akan menurunkan nilai BOD5.
Aerasi merupakan suatu usaha penambahan konsentrasi oksigen yang terkandung
dalam limbah, agar proses oksidasi biologi oleh mikroba akan dapat berjalan dengan baik.
Prinsip aerasi yaitu memasukkan udara atau oksigen murni ke dalam air limbah melalui
benda porous atau nozzle. Aerasi meningkatkan kecepatan pemindahan oksigen dari fase gas
ke sel mikrobia. Jika kecepatan aerasi tinggi, maka aliran air semakin besar sehingga suplai
oksigen juga semakin tinggi karena menghasilkan gelembung yang kecil. Kecepatan aerasi
mempunyai pengaruh yang nyata terhadap efisiensi transfer oksigen di dalam fermentasi.
Kondisi lingkungan fisik seperti temperatur dan aerasi serta faktor mekanik seperti
pengadukan juga sangat mempengaruhi besarnya persentase degradasi. Semakin besar
kecepatan aerasi yang diberikan sampai batas tertentu, semakin efektif untuk menurunkan
nilai polutan di dalam limbah (Wigyanto et al 2009).
Pengurai limbah berprinsip pada biodegradasi antara lain starbio plus, dextran, bio
organik dan lain-lain. Juga terdapat produk kultur campuran dari berbagai mikroorganisme
yang selama ini digunakan untuk pupuk, campuran makanan ternak, dan untuk perikanan
yakni EM-4 (Effective Microorganism-4) yang dikondisikan agar dapat menumbuhkan
mikroorganisme yang menguntungkan dan dapat menekan mikroorganisme yang merugikan
(Mahtuti, 2017). Penggunaan mikroorganisme efektif (EM4) merupakan salah satu teknologi
yang dapat digunakan dalam usaha pengelolaan pertanian yang mampu mengurangi pengaruh
negatif terhadap lingkungan.[13] Komposisi EM4 adalah beberapa mikroorganisme dan
unsur hara. Mikroorganisme yang terdapat pada EM4 adalah total plate count: 2,8 x 106,
bakteri pelarut fosfat : 3,4 x 105, Lactobacillus 3,0 x 105, yeast 1,95 x 103, Actinomycetes,
dan bakteri fotosintesis. Mikroorganisme yang terdapat pada EM4 mampu meningkatkan
dekomposisi senyawa organik. Selain itu, EM4 mikroorganisme yang terdapat pada EM4
juga dapat dimanfaatkan untuk menghambat pertumbuhan patogen (Maemunah, 2016).
Starbio merupakan salah satu probiotik. Probiotik adalah “feed supplement” mikroba hidup
yang secara menguntungkan mempengaruhi induk semang melalui perbaikan keseimbangan
mikroorganisme saluran pencernaan. Starbio merupakan pakan tambahan yang membantu
meningkatkan nilai cerna pakan karena mengandung koloni mikroba (bakteri fakultatif) yang
bersifat lignolitik, selulotik, proteolitik dan fiksasi nitrogen non simbiotik (Suwitary, 2018).
Dari semua perlakuan yang terbaik adalah perlakuan 4 (EM4+aerasi) nilai penurunan
BOD 98,80%, karena adanya proses aerasi. Menurut referensi juga mengatakan penurunan
BOD tinggi disebabkan oleh adanya proses aerasi, hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa
pada proses pengolahan secara aerobik menunjukkan penurunaan kadar BOD. Persentase
penurunan BOD relatif kecil, akan tetapi seiring dengan bertambahnya waktu proses
bioremediasi (hari) menyebabkan penurunan konsentrasi BOD semakin meningkat, karena
tempat kontak antara mikroorganisme dan limbah cair tahu tersedia cukup banyak (Agustina
et al., 2010 dalam Verawaty, 2014). Jadi kesimpulan yang dapat diambil adalah semakin
tinggi nilai BOD nya semakin baik karena adanya proses aerasi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

1. Pengaruh bahan remediasi yaitu dapat menurunkan kandungan bahan organik yang
cukup signifikan terutama EM4 dapat membantu mempercepat proses degradasi
bahan organik di dalam perairan.
2. Peran aerasi yaitu untuk membantu dalam degradasi bahan organik yang berada di
dalam limbah, agar proses oksidasi biologi oleh mikroba akan dapat berjalan dengan
baik dengan cara penambahan konsentrasi oksigen yang terkandung dalam limbah.
V.2. Saran

Pada praktikum ini, sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan pastikan aerasi terus
menyala dan ember tertutup rapat.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini., Sustiyana, M., Pratama, Y. 2014. Pengolahan Limbah Cair Tahu secara Anaerob
menggunakan Sistem Batch. Jurnal Institut Teknologi Nasional. 11(1): x-x.
Astuti et al. 2014. Effect of Aeration on the Rate of Biochemical Oxygen Demand (BOD) in

Floating Net Cages in Ir. H Djuanda Reservoir, West Java, Indonesia. Journal of

Applied Biotechnology. 11 (2):82-90.

Chairiyah, Riri Rizki., Hardy Guchi., Abdul Rauf. 2013. Bioremediasi Tanah Tercemar

Logam Berat Cd, Cu, Dan Pb Dengan Menggunakan Endomikoriza. Jurnal Online

Agroteknologi. 2 (1): 349-361.


Endahwati, L. Dan Suprihatin. 2012. Kombinasi Proses Aerasi, Adsorpsi, dan Filtrasi Pada

Pengolahan Air Limbah Industri Perikanan. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 1 (2) : 1-

5.

Indah, Lutfiana Sari., Boedi Hendrarto., Prijadi Soedarsono. 2014. KemampuanEceng

Gondok (Eichhornia sp.), Kangkung Air (Ipomea sp.), Dan Kayu Apu (Pistia sp.)

Dalam Menurunkan Bahan Organik Limbah Industri Tahu (Skala Laboratorium) .

Diponegoro Journal Of Maquares. 3 (1): 1-6

Indriani YH. 2004. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya. Dalam Ryan,

Adi. 2006. Pengaruh Penambahan Bahan Aktif EM4 dan Kotoran Ayam Pada Kompos

Alng-Alng Terhadap Pertumbuhan Semai Gmelina arborea. Skripsi. Fakultas

Kesutanan. IPB

Lestari, Purwaning Budi. 2014. Biodegradasi Limbah Cair Tahu Dari Mikroorganisme

Indigen Sebagai Bahan Ajar Mikrobiologi Lingkungan Di Perguruan Tinggi. Jurnal

Edukasi Matematika dan Sains. 2 (1): 84-94

Munawaroh, Ulum,Sutisna, Mumu, dan Kancitra Pharmawati. 2013. Penyisihan Parameter

Pencemar Lingkungan pada Limbah Cair Industri Tahu menggunakan Efektif

Mikroorganisme 4 (EM4) serta Pemanfaatannya. Jurnal Institut Teknologi Nasional.

1(2).

Putrie, Rahayu Fitriani Wangsa. 2015. Mikroba Endofitik Tanaman, Primadona Yang Tidak

Kasat Mata. BioTrends. 1 (1): 9-13

Rasman dan Muh. Saleh. 2016. Penurunan Kadar Besi (Fe) Dengan Sistem Aerasi dan

Filtrasi Pada Air Sumur Gali (Eksperimen). Higiene. 2 (3): 159-167

Siregar, A. 2008. Manajemen Kualitas Air. Jurusan Perikanan dan kelautan, Fakultas Sains

dan Teknik, Universitas jenderal Soedirman, Purwokerto.


Siswoyo, Eko dan Joni Hermana. 2017. Pengaruh Air Limbah Industri Tahu Terhadap Laju

Pertumbuhan Tanaman Bayam Cabut (Amaranthus Tricolor) .Jurnal Sains dan

Teknologi Lingkungan. 9(2):105-113

Suharto. 2010. Limbah Kimia Dalam Pencemaran Air dan Udara. Yogyakarta.

Thamrin, A., et al. 2012. Bioremediasi Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Efektif
Mikroorganisme (EM4). Journal of Enviromental Science. 11 (4).
Verawaty, Dkk. 2014. Analisis Kadar BOD dan COD pada Pengolahan Limbah Cair di

Pabrik Kelapa Sawit PT. Lestari Tani Teladan (Ltt) di Provinsi Sulawesi Tengah.

Penelitian. Universitas Gorontalo.

Wardoyo, S.T.H. 1981.Kriteria Kualitas Air untuk Evaluasi Pertanian danPerikanan. Training

Analisa Dampak Lingkungan, PPLH-UNDD-PSL, IPB Bogor.

Wignyanto, Hidayat, N. Alfia, A. 2009. Bioremediasi Limbah Cair Sentra Industri Tempe

Sanan Serta Perencanaan Unit Pengolahannya (Kajian Pengaturan Kecepatan Aerasi

dan Waktu Inkubasi. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi

Pertanian: Universitas Brawijaya.

LAMPIRAN

1.1 Lampiran Gambar


Titrasi BOD hari ke-0 Pemberian EM4 kedalam limbah cair

Proses penghomogenan limbah cair Proses penutupan limbah cair


menggunakan plastik

1.2 Lampiran Perhitungan

1000
Kadar O2 terlarut = x p x q x 8 mg/l
100
Keterangan :

p= jumlah ml Na2S2O3 yang terpakai

q= normalitas larutan Na2S2O3

8= bobot setara O2

BOD

( A 0−A 5 ) −( S 0−S5 ) T
BOD=
P

Keterangan:

A0=oksigen terlarut sampel pada nol hari

A5=oksigen terlarut sampel pada lima hari

S0=oksigen terlarut blanko pada nol hari

S5=oksigen terkarut blanko pada lima hari

T = persen perbandingan antara A0:S0 (1-P)

P = derajat pengenceran

Perlakuan

Blanko

DO0 = 6,4

DO5 = 4,2

Sampel

1000 1000
DO0 awal (a) = x p x q x8 = x 3,7 x 0,025 x 8 = 7,4
100 100

1000 1000
DO0 awal (b) = x p x q x8 = x 2,9 x 0,025 x 8 = 5,8
100 100

7,4+5,8 13,2
DO0 awal = = = 6,6
2 2

1000 1000
DO5 awal (a) = x p x q x8 = x 1,0 x 0,025 x 8 = 2,0
100 100

1000 1000
DO5 awal (b) = x p x q x8 = x 0,4 x 0,025 x 8 = 0,8
100 100
2,0+0,8 2,8
DO5 awal = = = 1,4
2 2

( A 0− A 5 ) −(S 0−S 5)T ( 6,6−1,4 )−( 6,4−4,2 ) 0,995 5,2−2,189 3,011


BOD Awal = = = = =
P 0,005 0,005 0,005
602,2 mg/L

1. Starbio + aerasi
1000 1000
DO0 akhir = x p x q x8 = x 1,7 x 0,025 x 8 = 3,4 mg/l
100 100

1000 1000
DO5 akhir = x p x q x8 = x 1,5 x 0,025 x 8 = 3 mg/l
100 100

( A 0− A 5 ) −( S 0−S 5)T ( 3,4−3 )−( 6,4−4,2 ) 0 , 825 4,4−1,815 2,585


BOD Akhir = = = = =
P 0,05 0,175 0,175
14,77 mg/L

BOD Awal−BOD Akhir


% Penurunan = x 100 %
BOD awal

602,2−14,77
= x 100 %
602,2

587,43
= x 100 %
602,2

= 97,55= 97,55 %

2. Starbio + non aerasi


1000 1000
DO0 akhir = x p x q x8 = x 4 x 0,025 x 8 = 8 mg/l
100 100

1000 1000
DO5 akhir = x p x q x8 = x 0,8 x 0,025 x 8 = 1,6 mg/l
100 100

( A 0− A 5 ) −( S 0−S 5)T ( 8−1,6 )−( 6,4−4,2 ) 0,96


BOD Akhir = = = 10,75 mg/L
P 0,04

BOD Awal−BOD Akhir


% Penurunan = x 100 %
BOD awal

602,2−10,75
= x 100 %
602,2

591,45
= x 100 %
602,2

= 98,21 = 98,21 %
3. EM4 + Aerasi
1000 1000
DO0 akhir = x p x q x8 = x 2,6 x 0,025 x 8 = 5,2 mg/L
100 100

1000 1000
DO5 akhir = x p x q x8 = x 1,3 x 0,025 x 8 = 2,6 mg/L
100 100

( A 0− A 5 ) −(S 0−S 5)T ( 5,2−2,6 ) −( 6,4−4,2 ) 0,95


BOD akhir = = = 10,2 mg/L
P 0,05

BOD Awal−BOD Akhir


% Penurunan = x 100 %
BOD awal

602,2−10,2
= x 100 %
602,2

592
= x 100 %
602,2

= 98,30 = 98,30 %

4. EM4 + Non aerasi


1000 1000
DO0 akhir = x p x q x8 = x 2,3 x 0,025 x 8 = 4,6
100 100

1000 1000
DO5 akhir = x p x q x8 = x 1,1 x 0,025 x 8 = 2,2
100 100

( A 0− A 5 ) −( S 0−S 5)T ( 4,6−2,2 )−( 6,4−4,2 ) 0 , 96 2,4−2,112 0,288


BOD Akhir = = = = =
P 0,04 0,04 0,04
7,2 mg/L

BOD Awal−BOD Akhir


% Penurunan = x 100 %
BOD awal

602,2−7,2
= x 100 %
602,2

595
= x 100 %
602,2

= 98,80 = 98,80 %

5. Starbio (70%) + EM4 (30%)


1000
DO0 akhir = x 2,7 x 0,025 x 8 mg /l=5,4 mg/l
100

1000
DO5 akhir = x 1,2 x 0,025 x 8 mg/l=2,4 mg/l
100
( A 0− A 5 ) −( S 0−S 5)T ( 5,4−2,4 )− (6,4−4,2 ) 0,92 3−2,024 0,976
BOD Akhir = = = = =
P 0,08 0,08 0,08
12,2 mg/L

BOD Awal−BOD Akhir


% Penurunan = x 100 %
BOD awal

602,2−12,2
= x 100 %
602,2

590
= x 100 %
602,2

= 97,97 = 97,97 %

6. Starbio (30%) + EM4 (70%)


1000
DO0 akhir = x 3 x 0,025 x 8 mg /l=6 mg/l
100

1000
DO5 akhir = x 0,8 x 0,025 x 8 mg /l=1,6 mg/l
100

( A 0− A 5 ) −( S 0−S 5)T ( 6−1,6 )−( 6,4−4,2 ) 0,92 4,4−2,024 2,376


BOD Akhir = = = = =
P 0,08 0,08 0,08
29,7 mg/L

BOD Awal−BOD Akhir


% Penurunan = x 100 %
BOD awal

602,2−29,7
= x 100 %
602,2

572,5
= x 100 %
602,2

= 95,07 = 95,07 %

7. Aerasi
1000
DO0 akhir = x 3,8 x 0,025 x 8 mg/l=7,6 mg/l
100

1000
DO5 akhir = x 1,3 x 0,025 x 8 mg/l=2,6 mg/l
100

( A 0− A 5 ) −( S 0−S 5)T ( 7,6−2,6 )−( 6,4−4,2 ) 0,96 5−2,112 2,888


BOD Akhir = = = = =
P 0,04 0,04 0,04
72,2 mg/L
BOD Awal−BOD Akhir
% Penurunan = x 100 %
BOD awal

602,2−72,2
= x 100 %
602,2

530
= x 100 %
602,2

= 88,01 = 88,01 %

8. Non Aerasi
1000 1000
DO0 akhir = x p x q x8 = x 1,95 x 0,025 x 8 = 3,9 mg/l
100 100

1000 1000
DO5 akhir = x p x q x8 = x 0,8 x 0,025 x 8 = 1,6 mg/l
100 100

( A 0− A 5 ) −( S 0−S 5)T ( 3,9−1,6 )−( 6,4−4,2 ) 0,99 2,3−2,178 0,122


BOD Akhir = = = = =
P 0,01 0,01 0,01
12,2 mg/L

BOD Awal−BOD Akhir


% Penurunan = x 100 %
BOD awal

602,2−12,2
= x 100 %
602,2

590
= x 100 %
602,2

= 97,97 = 97,97 %

ACARA 2

PENGGUNAAN ZEOLIT PADA PENGELOLAAN KUALITAS


AIR BUDIDAYA IKAN
Disusun Oleh :
Kelompok 7

Tesya Lintang Cahya G. L1B016003


R. Panji Sulaeman L1B016017
Veny Krisdayanti L1B016021
Asyiffa Septya S. L1B016024
Yola Vebiola L1B016025
Barlian Yanutama P. L1B016050
Yuli Astuti L1B016058
Fitri Ainun Sabila L1B016076
Ivan Arji Saputro L1B016077
Muhammad Prasta P. L1B016087

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Di Indonesia, zeolit sebagai salah satu penukar ion alami yang banyak tersedia, murah
dan mudah didapat. Zeolit sebagai ion exchanger telah diketahui dan digunakan sebagai
penghilang polutan kimia. beberapa peneliti banyak mempelajari prospek zeolit dalam
pengelolaan limbah industri. Contoh pemanfaatan zeolit yang telah diteliti diantaranya untuk
pemisahan ammonia atau ammonium ion dari air limbah industri, untuk pemisahan hasil fisi
dari limbah radioaktif. Zeolit juga digunakan antara lain pada proses pemurnian metil
khlorida dalam industri karet, pemurnian fraksi alkohol, metanol, benzen, xylene, LPG dan
LNG pada industri petrokimia, untuk hidrokarbon propellents-fillers aerosol untuk pengganti
freons, dan penyerap klorin,bromin dan fluorin (Arita et al., 2015).
Perkembangan budidaya kini banyak menggunakan sistem budidaya intensif yaitu
dengan memanfaatkan penebaran dan dosis pakan yang tinggi, maka akan berdamapak pada
menurunnya kualitas perairan budidaya yang didomiminasi dengan peningkatan kadar
ammonia (Diansari et al.,2013). Gas amoniak disebabkan bertambahnya tingkat buangan dari
sisa pakan dan kotoran. Secara alami amoniak dapat terbentuk dari hasil peruraian protein
(Banon dan Suharto, 2008).
Amoniak dapat diserap dan diikat di dalam pori-pori zeolit. Keuntungan lain
penggunaan zeolit terletak pada sifat lemahnya ikatan ion-ion logam alkali/alkalitanah yang
dapat diganti oleh amonium. Ion-ion amonium yang terikat pada permukaan kerangka
struktur zeolit melalui proses kalsinasi dapat diubah menjadi ion-ion H+, yang pada
gilirannya akan membuat zeolit bersifat asam, sehingga zeolit aktif dapat digunakan sebagai
katalis (Banon dan Suharto, 2008).
I.2. Tujuan

Praktikum acara Penggunaan Zeolit pada Pengelolaan Kualitas Air Budidaya yaitu
untuk mengetahui afektifitas zeolit dalam mengurangi kandungan amoniak pada air budidaya.
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Air Budidaya Ikan

Budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di


lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit). Akuakultur berasal
dari bahasa Inggris aquaculture (aqua = perairan; culture = budidaya) dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi budidaya perairan atau budidaya perikanan. Oleh karena itu,
akuakultur dapat didefinisikan menjadi campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk
meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang
dimaksud adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (reproduksi), menumbuhkan
(growth), serta meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan (Kuncoro,
2011).
Produksi budidaya perikanan yang dilakukan di darat memanfaatkan air sebagai
sumber bahan baku produksinya. Sebesar 20% dari total volume air per kolam budidaya per
hari dibuang langsung ke badan air untuk mengurangi kotoran yang tertumpuk di dasar. air
budidaya ikan ini memiliki porsi yang relatif besar dan menggandung bahan organik yang
tinggi. Tingginya bahan organik pada media pemeliharan ikan dikarenakan adanya sisa-sisa
pakan yang tidak termakan serta sisa-sisa metabolisme ikan seperti urin dan feses (Febrianto,
2016).
Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk
kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang
sering diamati antara lain suhu, kecerahan, pH, DO, CO2, alkalinitas, kesadahan, phosfat,
nitrogen dan lainnya. Amoniak dalam sistem budidaya diawali dengan nitrogen yang berasal
dari pakan yang diberikan ke ikan, pakan yang tidak termakan, feses dan hasil metabolisme
yang masuk ke perairan. Tingginya kadar nitrit berkaitan erat dengan bahan organik,
diantaranya penguraian bahan organik oleh mikroorganisme memerlukan oksigen dalam
jumlah yang banyak, namun bila oksigen tersebut tidak cukup maka oksigen tersebut diambil
dari senyawa nitrat berubah menjadi senyawa nitrit (Febrianto, 2016).
2.2 Zeolit

Zeolit merupakan mineral yang memiliki rongga atau pori yang selektif dalam
melakukan filtrasi. Istichori (2015) dalam Utama et al., (2017) menyatakan bahwa zeolit
merupakan mineral tektosilikat yang tersusun dari molekul air dan logam alkali dan alkali
tanah sehingga zeolit memiliki muatan negatif pada seluruh permukaan struktur molekulnya.
Kemampuan zeolit sebagai katalis berkaitan dengan tersedianya pusat-pusat aktif dalam
saluran antar zeolit (Majid et al., 2012).
Zeolit memiliki kemampuan menghilangkan ammonia dari air karena pada struktur
pori zeolit terdapat ion natrium sebagai pengganti ion ammonia yang diserap. Struktur kristal
zeolit yang tidak teratur pada permukaan dan luas permukaan yang tinggi membuatnya
menjadi perangkap yang sangat efektif untuk partikulat halus dan ion amonia. Selain itu,
media zeolit mikroporous berisi area permukaan besar untuk penjeratan partikel berukuran
koloid. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit dapat digunakan sebagai filter air untuk
menurunkan konsentrasi ammonia (Diansari et al., 2013).
Zeolit sangat baik digunakan sebagai absorbsen ammonia dengan aliran air cukup,
namun zeolit tidak efektif pada penggunaan di air laut. Ada dua macam zeolit yang dapat
digunakan yaitu zeolit alam dan zeolit sintetis. Seperti halnya penggunaan zeolit akan
mencapai tingkat kejenuhan, untuk itu perlu ada pengontrolan filter dan penjadwalan
pencucian agar daya kerjanya tetap baik. Bila perlu sebaiknya diganti jika memang sudah
jenuh agar kesehatan ikan tetap terjamin (Diansari et al., 2013).
2.3 Cara Kerja Zeolit

Aktivasi zeolit alam dapat dilakukan baik secara fisika maupun secara kimia. Aktivasi
secara fisika dilakukan melalui pengecilan ukuran butir, pengayakan, dan pemanasan pada
suhu tinggi, tujuannya untuk menghilangkan pengotorpengotor organik, memperbesar pori,
dan memperluas permukaan. Sedangkan aktivasi secara kimia dilakukan melalui
pengasaman. Modifikasi zeolit alam lebih lanjut dilakukan untuk mendapatkan bentuk kation
dan komoposisi kerangka yang berbeda. Modifikasi ini biasanya dilakukan melalui
pertukaran ion, dealuminasi, dan substisuti isomorfis (Lestari, 2010).
Cara kerja zeolit dapat mengabsorpi zeolit dengan cara pertama-tama molekul
amoniak teradsorpsi pada poripori zeolit, yang dipermukaannya terdapat ion-ion logam alkali
atau hidrogen. Selanjutnya molekulmolekul amoniak berinteraksi secara kimia dengan sisisisi
aktif pada permukaan zeolit dan mensubstitusi ionion alkali atau hidrogen, sehingga
membentuk gugus amonium pada permukaan zeolit aktif. Ikatan antara gugus amonium dan
sisi aktif permukaan zeolit bersifat rentan terhadap pemanasan (Banon dan Suharto, 2008).
Mekanisme zeolit dalam menyerap ion Pb melalui ikatan ion yang terjadi di dalam
proses pertukaran kation-kation. Mineral zeolit termasuk ke dalam golongan mineral
tektosilikat, yaitu senyawa silikat yang strukturnya merupakan alumina silikat, dimana atom-
atom oksigen yang mengelilingi baik atom Al ataupun atom Si membentuk jaringan tiga
dimensi. Timbal dalam perairan akan berikatan dengan ion-ion yang berada dalam perairan
dalam bentuk Pb2+ dan memiliki muatan positif sehingga akan terjadi penukaran ion (Utama
et al., 2017).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1. Alat

Alat yang digunakan pada praktikum Penggunakan Zeolit Pada Pengelolaan Kualitas
Air Budidaya Ikan yaitu, akuarium bervolume 60-40 L, water pump, busa dackron.

3.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan untuk praktikum Penggunakan Zeolit Pada Pengelolaan


Kualitas Air Budidaya Ikan yaitu batuan zeolit 200 gr, 400 gr, 600 gr dan 800 gr dan air
limbah budidaya ikan.

3.2. Metode

Metode yang digunakan untuk praktikum Penggunakan Zeolit Pada Pengelolaan


Kualitas Air Budidaya Ikan yaitu, baongkahan batu zeolit dipecahkan menjadi batuan kecil,
kemudian di timbang sesuai dengan dosis perlakuan selanjutnya ditata diatas filtrasi akuarium
yang dibawahnya dilapisi oleh busa dackron. Selanjutnya water pump dinyalakan sehingga
membentuk sirkulasi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 2. Hasil pengukuran kadar amoniak air budidaya ikan


Kadar Amoniak (ppm)
Kelompok Kadar Zeolit (gram)
Sebelum Setelah
MSP 1&2
MSP 3&4

MSP 5&6

MSP 7&8

BDP 1&2

BDP 3&4

BDP 5&6

BDP 7&8

4.2 Pembahasan

Berdasarkan praktikum yang dilakukan maka didapatkan hasil pengukuran kadar


zeolit pada kadar 0 gram (sebagai kontrol) kadar amoniak menjadi ppm. Kadar zeolit gram,
kadar amoniak akhir menjadi ppm. Kadar zeolit gram, kadar amoniak akhir menjadi ppm.
Kadar zeolit gram, kadar amoniak akhir menjadi ppm. Kadar zeolit gram, kadar amoniak
akhir menjadi ppm.
Kadar Amoniak
4.5
4
Kadar Amoniak (ppm)

3.5
3
2.5 Sebelum
2 Setelah
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan

Gambar 2.Grafik kadar amoniak sebelum dan setelah perlakuan


Keterangan : Perlakuan 1 (…..), Perlakuan 2 (………), dst

Zeolit adalah bahan yang berbentuk kristal sebagai penyerap ion NH 3, Fe, Mn dan air
(Aquarista et al., 2012). Zeolit dilaporkan memiliki kemampuan dalam mengikat berbagai
senyawa kimia, termasuk senyawa beracun, serta mampu menekan aktivitas mikrobiologis.
Zeolit dilaporkan sangat efektif dalam menyerap nitrat dan amoniak, mengurangi pelepasan
N dan P, serta memperbaiki konversi pakan, meningkatkan pH rumen dan menurunkan
jumlah E-coli, serta menekan Salmonella dan memperbaiki pertumbuhan broiler (Wardana,
2016). Selain itu struktur kristal zeolit memiliki rongga-rongga yang biasanya berisi kation-
kation yang dapat dipertukarkan. Hal yang demikian menjadikan zeolit banyak digunakan
sebagai pengemban (Badriyah et al., 2012).
Kemampuan filter zeolit berkurang dikarenakan adanya pengaruh oksigen terlarut
yang mengurangi konsentrasi amonia, sehingga jumlah yang tereduksi menjadi lebih sedikit
(Norjanna, 2015). Zeolit mempunyai sifat kimia dasar yang membuatnya mampu bertindak
sebagai penukar ion yang baik. Selain itu zeolit mempunyai luas permukaan besar dengan
distribusi ukuran pori yang kecil (Wicaksana, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Arita, Susila. R. P. Sari. dan I. Liony. 2015. Purifikasi Limbah Spent Acid Dengan Proses
Adsorpsi Menggunakan Zeolit Dan Bentonit. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 4(21) : 65-72.

Banon, C. dan T.E. Suharto. 2008. Adsorpsi Amoniak Oleh Adsorben Zeolit Alam Yang
Diaktivasi Dengan Larutan Amonium Nitrat. Jurnal Gradien. Vol. 4(2) : 354-360.

Diansari, R.V.R., E.arini. dan T. Eifitasari. 2013. Pengaruh Kepadatan Yang Berbeda
Terhadap Kelulus Hidupan Dan Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pada
Sistem Tesirkulasi Dengan Filter Zeolit. Journal of Aquaculture Management and
Technology. Vol. 2(3) : 37-45.

Febrianto, Johanes. 2016. Studi Unit Pengolah Air Limbah Sisa Pemeliharaan Budidaya Ikan
Dengan Sistem Anaerob. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Kuncoro, E.B. 2011. Sukses Budidaya Ikan Hias Air Tawar. Lily Publisher. Yogyakarta.

Lestari, D.Y. 2010. Kajian Modifikasi dan Karakterisasi Zeloit alam dari berbagai negara.
Prosiding Seminar Naional Kimia dan Pendidikan Kimia. Yogyakarta.

Majid. A.B., M. Trisunaryanti., Y. Priastomo. E. Febriyanti., S. Hasyyati dan A. Nugroho.

2012. Karakterisasi dan Uji Aktivitas Katalitik Zeolit Alam Indonesia pada

Hidrorengkah Ban Bekas dengan Preparasi Sederhana. Prosiding Seminar Nasional

Kimia Unesa. Yogyakarta.

Utama, M.P., R. Kusdarwati. dan A.M. Sahidu. 2017. Pengaruh Penggunaan Filtrasi Zeolit

dan Arang Aktif terhadap Penurunan Logam Berat Timbal (Pb) Air Tambak

Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Journal of Marine and Coastal Science. Vol. 6(1) :19-30.
ACARA 3
KLORINASI

Disusun Oleh:
Kelompok 7

Tesya Lintang Cahya G. L1B016003


R. Panji Sulaeman L1B016017
Veny Krisdayanti L1B016021
Asyiffa Septya S. L1B016024
Yola Vebiola L1B016025
Barlian Yanutama P. L1B016050
Yuli Astuti L1B016058
Fitri Ainun Sabila L1B016076
Ivan Arji Saputro L1B016077
Muhammad Prasta P. L1B016087

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Air merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia. Kehidupan hewan dan
tumbuh tumbuhan juga sangat dipengaruhi oleh air. Oleh karena itu, air merupakan
kebutuhan yang sangat penting di bumi (Supriyadi, 2016). Upaya pemenuhan kebutuhan air
oleh manusia dipenuhi melalui proses pengambilan air dari dalam tanah, air permukaan (air
sungai, air danau, dan air laut), atau langsung dari air hujan. Saat ini, sebagian besar
kebutuhan air dipenuhi melalui pengambilan air permukaan, khususnya air sungai. Alasan
penggunaan air permukaan (air sungai) diantaranya adalah jumlah ketersediaan air
permukaan cukup besar, tahapan pengolahan sederhana dan mudah (Cheremisinoff, 1995
dalam Supriyadi, 2016).
Salah satu cara penanganan kualitas air adalah dengan penambahan klorin pada air
yang mengandung bakteri atau mikroorganisme. Pada tahun 1850, desinfektan sudah dipakai
dengan menggunakan metode klorinasi. Selama itu hipoklorit digunakan sebagai desinfektan
sebelum adanya penelitian. Pada tahun 1912, penggunaan klorin sebagai desinfektan,
penambahannya dilakukan secara sembarangan atau tidak sesuai dengan dosis yang tepat
sehingga malah mengakibatkan penyakit. Penyakit yang terjadi seperti typhus, infeksi
hepatitis dan juga bisa karena protozoa. Dari sini maka Persatuan Negara melakukan
penelitian dan menghasilkan kesimpulan bahwa penambahan desinfektan harus melalui
perhitungan (Sawyer, C.N., et al., 2003 dalam Herawati 2017).
Desinfektan merupakan bahan selektif yang digunakan untuk merusak penyakit yang
disebabkan oleh organisme yang berasal dari bakteri, virus, dan amoeba. Pada proses ini
organisme belum mati seluruhnya, berbeda dengan strerilisasi yang mana dapat membunuh
seluruh organisme yang ada . Penyakit yang timbul misalnya thypus, kolera, parathypus,
disentri, polimielitis dan infeksi hepatitis, sehingga diperlukan desinfektan dalam
pembersihan air. Desinfektan umumnya diperoleh dari bahan kimia, bahan fisika, mekanik
dan radiasi. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah klorin dimana unsur ion-ionnya
terdapat dalam senyawa kaporit. Desinfektan dari bahan fisika dapat berasal dari cahaya
matahari. Radiasi ultraviolet sangat berguna dalam sterilisasi kualitas kecil pada air karena
dapat membunuh molekul dari organik dan juga organisme. Sedangkan desinfeksi secara
radiasi menggunakan sinar gamma pada cara sterilisasi (Tchobanoglous, G., 1991 dalam
Herawati 2017).
I.2. Tujuan

Tujuan dari acara klorinasi adalah untuk mengetahui:


1. Pengaruh klorin terhadap ikan Nilem (Osteochilus hasselti)
2. Pengaruh Na2S2O3 yang berbeda dalam penetralan klorin
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Klorinasi

Klorinasi adalah salah satu teknik pengolahan limbah yang sering digunakan untuk
membunuh bakteri koliform patogenik (Shovitri, 2011). Klorin adalah desinfektan yang
paling banyak digunakan karena efektif pada konsentrasi rendah, murah, dan membentuk
residual jika diigunakan pada dosis yang tepat. Penggunaan klorida (Cl 2) untuk membunuh
bakteri dalam air diperkenalkan oleh John L. Leal dengan pengunaan Ca(OCl) 2 untuk proses
desinfeksi air dalam pipa. Kini klor sebagai desinfektan selain digunakan sebagai kalsium
diklorida Ca(OCl)2 dapat juga ditemui berbentuk sebagai gas (Cl2), natrium klorida (NaOCl)
ataupun sebagai hipoklorit (HOCl) (Fuadi, 2012).
Menurut Fuadi (2012) kemampuan desinfeksi klorin berasal dari sifat propertisnya
sebagai oksidator kuat. Klorin mengoksidasi enzim yang berfungsi sebagai proses metabolis
pada mikroorganisme. Ada dua jenis reaksi yang terjadi jika klorin dibubuhkan kedalam air,
yaitu hidrolisi dan ionisasi. Reaksi hidrolisi yang terjadi adalah :

Cl2 + H2O HOCl + HCl

Dan reaksi ionisasi yang terjadi adalah:

HOCl OCl- + H+

II.2. Manfaat Klorin

Klor (Cl) dari kaporit berfungsi sebagai oksidator limbah organik dan anorganik.
Selain itu, Klor (Cl) memiliki fungsi sebagai desinfektan yang efektif membunuh
mikroorganisme patogen, seperti Escherichia coli, Legionella, Streptococcus, Bacillus,
Clostridium, Amoeba dan harganya terjangkau (Shovitri, 2011).
Senyawa Klor atau Klorin yang berfungsi sebagai biosida pengoksidasi dapat berasal
dari gas Cl2, atau dari garam-garam NaOCl dan Ca(OCl) 2 (kaporit) (Lestari, 2008).
Kaporit/kalsium hipoklorit adalah senyawa kimia bersifat korosif pada kadar tinggi, dan pada
kadar rendah biasanya digunakan sebagai penjernih air (Alaert dan Sumestri, 1987). Klor
merupakan disinfektan yang efektif terhadap virus dan bakteri, tetapi untuk tingkat yang lebih
rendah terhadap protozoa. Payment (1999) dalam (Fuadi, 2012) menunjukkan bahwa
konsentrasi disinfektan seperti yang digunakan dalam sistem distribusi hanya memiliki efek
terbatas pada patogen.
II.3. Cara Kerja Klorin

Kaporit ketika dilarutkan dalam air akan berubah menjadi asam hipoklorit (HOCl) dan
ion hipoklorit (OCl-) yang memiliki sifat desinfektan. HOCl dan ion OCl- bersifat sangat
reaktif terhadap berbagai komponen sel bakteri. Selanjutnya HOCl dan ion OCl- disebut
sebagai klor aktif. Klor mampu melakukan reaksi hidrolisis dan deaminasi dengan berbagai
komponen kimia bakteri seperti peptidoglikan lipid, dan protein yang dapat menimbulkan
kerusakan fisiologis dan mempengaruhi mekanisme seluler (Berg, 1986 dalam Rosyidi,
2012). Klor aktif juga bereaksi kuat dengan lipid dan peptidogikan membran sel. Hal ini
dapat mempengaruhi konsentrasi yang sangat tinggi antara lingkungan ekstrasel dan
lingkungan intrasel yang berpotensi mengganggu tekanan osmotic di dalam sel dan dapat
mengancam terjadinya lisis/kehancuran sel. Baker (1926) dalam Rosyidi (2012) dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa klor membunuh bakteri dengan mengikat protein untuk
membentuk senyawa N-chloro.
III. MATERI DAN METODE

III.1. Materi

3.3.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah ember 30 L, aerator, selang aerator 2
meter, batu aerasi, terminal listrik, plastik kresek/ trash bag, dan gunting.
3.3.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah air, Klorin dosis 40 ml, 10 ekor
ikan Nilem (Osteochilus hasselti) dan Na2S2O3 dosis 0 ppm, 5, 10, 155, 20, 25, 30, 35 dan 40
ppm.

III.2. Metode

Ember plasik diisi dengan 15 liter air dan menggunakan aerasi untuk proses
pengadukan. Pemberian desinfeksi dilakukan menggunakan klorin dosis 40 ml selama 24
jam. Penetralan klorin dilakukan dengan menggunakan Na2S2O3 dengan dosis 0 ppm, 5, 10,
155, 20, 25, 30, 35 dan 40 ppm. Untuk mengetahui indikator adanya klorin yang tersisa
menggunakan 10 ekor ikan Nilem (Osteochilus hasselti) yang dipelihara selama 24 jam
setelah penetralan dan hitung mortalitas ikan Nilem (Osteochilus hasselti) menggunakan
rumus:
Nt
Mortalitas = x 100%
No

Keterangan :

Nt = Jumlah ikan akhir

N0 = Jumlah ikan awal

III.3. Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada tanggal

III.4. Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis dengan mengamati dan mencatat kenampakan air dan
bau air sebelum dan sesudah diberi perlakuan menggunakan diagram batang.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil

Tabel Hasil Pengamatan Mortalitas ikan Nilem (Osteochilus hasselti)


Tabel 4. Rancangan dan Tabulasi Data Acara 3 Klorinasi
Dosis Na2S2O3 Jumlah Ikan Mortalitas
(ppm) Total Mati (%)
0 10 10 100
5 10 1 10
10 10 1 10
15 10 0 0
20 10 0 0
25 10 0 0
30 10 0 0
35 10 0 0

IV.2. Pembahasan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil yaitu pada pemberian
Na2S2O3 dosis 0 ppm mortalitas sebesar 100%, pada Na2S2O3 5 dan 10 ppm moraltas sebesar
10 % dengan kematian 1 ekor ikan, untuk pemberian Na 2S2O3 15, 20, 25, 30, dan 35 ppm
mortalitas sebesar 0%.

Mortalitas ikan
12
10 10 10 10 10 10 10 10
10
8
Motalitas

6 Akhir
Awal
4
2 1 1
0 0 0 0 0
0
0 5 10 15 20 25 30 35
ppm

Grafik 1. Grafik mortalitas ikan Nilem (Osteochilus hasselti)

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa mortalitas tertinggi terdapat pada


pemberian Na2S2O3 0 ppm yaitu 100% dengan total kematian ikan 10 ekor. Sedangkan
mortalitas terendah pada pemberian Na2S2O3 15, 20, 25, 30, dan 35 ppm yaitu 0% dengan
tidak ada ikan yang mati. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin banyak dosis yang diberikan
tingkat mortalitas akan semakin rendah.
Hal tersebut terjadi karena pemberian klorin pada air akan mematikan organisme baik
dan jahat. Kandungan klorin dapat menjadi racun bagi ikan. Senyawa organokhlorin yang
bersifat lipofilik dan mudah terserap ke dalam tubuh ikan. Senyawa organoklorin yang
bersifat lipofilik tersebut dapat mengganggu proses fosforilasi oksidatif pada respirasi sel
yang menyebabkan terhambatnya pembentukan ATP (Ramamoorthy, 1997). Tubuh ikan
merespon kekurangan ATP tersebut sebagai kekurangan oksigen sehingga menimbulkan
reaksi fisiologis yaitu dengan meningkatkan FGO untuk menambah pasokan oksigen ke
dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Bella (2006) yang
mendedahkan ikan mas (Cyprinus carpio L.) dalam senyawa monokhlorofenol. Peningkatan
FGO pada ikan dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan insang dan hipoksia yang
berdampak pada kematian (Bailey, 2004 dalam Soetopo 2017)
Faktor yang mempengaruhi klorinasi berjalan dengan baik yaitu suhu. Suhu
merupakan faktor yang penting, karena proses klorinasi berjalan dengan optimum pada suhu
diatas 250C. Selain suhu, faktor keberhasilan klorin yaitu dosis yang diberikan untuk
menghilangkan bakteri patogen, semakin besar dosis klorin yang diberikan maka akan
semakin besar kemungkinan hilangnya patogen yang berada dalam air (Amen, 2012).
Kenampakan air sebelum dilakukan klorinasi dan sesudah dilakukan klorinasi tidak
berwarna. Kenampakan bau sebelum diklorin tidak memiliki bau yang menyengat atau bau
yang asing. Akan tetapi setelah pemberian klorin bau pada air berubah menjadi bau yang
menyengat, hal ini mengindikasikan bahwa klorin dapat merubah sifat kimia air yang ada.
Perubahan bau terjadi karena kandungan bahan klorin itu sendiri, sehingga untuk
menghilangkannya juga dilakukan penetralan. Setelah penetralan dilakukan dan ditunggu 24
jam bau yang tercium sudah normal kembali. Akan tetapi bau air berubah menjadi busuk
setelah banyak ikan yang mati.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil pada praktikum kali ini adalah :


1. Klorin mematikan organisme baik maupun jahat. Maka klorin berbahaya bagi ikan
sehingga menimbulkan kematian pada ikan. Pemberian klorin 40 ml pada air 15 liter
membuat 10 ikan mati total
2. Na2S2O3 memiliki pengaruh sebagai penetral klorin mampu mencegah kematian pada
ikan. Pemberian klorin dari 15 ppm mampu mencegah kematian ikan.
V.2. Saran

Sebaiknya, dalam melakukan pengamatan terhadap mortalitas ikan dilakukan dengan


teliti agar mendapatkan hasil yang valid.
DAFTAR PUSTAKA

Amen, Oktaviannus. 2012. Efisiensi Penggunaan Ca(Ocl)2 Dan Naocl Sebagai Desinfektan

Pada Air Hasil Olahan PDAM Tirta Pakuan. Skripsi. Program Studi Kimia Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan Bogor.

Fuadi., A. 2012. Pengaruh Residual Klorin Terhadap Kualitas Mikrobiologi Pada Jaringan

Distribusi Air Bersih (Studi Kasus : Jaringan Distribusi Air Bersih Ipa Cilandak).

Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia. Depok. 114 Hal.

Herawati., D. Dan Anton., Y. 2017. Penentuan Dosis Kaporit Sebagai Desinfektan Dalam

Menyisihkan Konsentrasi Ammonium Pada Air Kolam Renang. Jurnal SainHealth.

1(2): 13- 22.

Soetopo., R. S., Purwati., S., Yusup., S., Krisna., S. 2017. TINGKAT TOKSISITAS AIR

LIMBAH PROSES PEMUTIHAN PULP KERTAS TERHADAP IKAN MAS

(Cyprinus carpio L). http://lib.kemenperin.go.id/neo/download_artikel.php?id=129

Supriyadi, Indro Sumantri dan Indah Hartat. 2016. Pengaruh Dosis Klorin Pada Pertumbuhan

Bakteri Coliform Total Dan Escherichia Coli Pada Sungai Kreo, Sungai Garang Dan

Sungai Tugu Suharto. Momentum. 12(1): 30-35.


ACARA 4

PENGAPURAN

Disusun Oleh :
Kelompok 7

Tesya Lintang Cahya G. L1B016003


R. Panji Sulaeman L1B016017
Veny Krisdayanti L1B016021
Asyiffa Septya S. L1B016024
Yola Vebiola L1B016025
Barlian Yanutama P. L1B016050
Yuli Astuti L1B016058
Fitri Ainun Sabila L1B016076
Ivan Arji Saputro L1B016077
Muhammad Prasta P. L1B016087

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air merupakan sumberdaya alam yang yang penting karena diperlukan oleh semua
makhluk hidup. Lingkungan perairan yang optimal dapat mendukung pertumbuhan ikan
dengan baik. Salah satu faktor pendukung pertumbuhan ikan terkait media pemeliharaannya
adalah kondisi tekanan osmotik dan ionik air, baik air sebagai media internal maupun
eksternal (Darwisito, 2008 dalam Scabra, 2016).
Apabila air limbah dibuang ke media lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu maka
dapat menyebabkan pencemaran lingkungan terutama ekosistem perairan. Pengelolaan
kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas yang diinginkan yaitu
menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya. Adapun yang dapat dilakukan
dalam mengelola kualitas ais suatu perairan pengelolaan tanah dasar, pengapuran, dan
pemupukan. Penggunaan kapur merupakan aksi yang penting dalam memperbaiki kesuburan
tanah kolam terutama yang bermasalah dengan kemasaman tanah (Kurniawan, 2013).
Pemberian kapur dapat membunuh hama dan parasit ikan di kolam. Selain itu
pengapuran dilakukan untuk menstabilkan pH kolam yang baru selesai dibuat dengan
menebarkan kapur dolomit (CaCO3) yang berperan sebagai buffer untuk menaikkan pH.
Dalam pengapuran dosis kapur yang akan ditebarkan harus tepat karena jika berlebihan kapur
akan menyebabkan kolam tidak subur, sedangkan bila kekurangan kapur dalam kolam akan
menyebabkan tanah dasar kolam menjadi asam (Muslih, 2016). Oleh karena itu praktikum
pengapuran dilakukan agar dapat mengelola kualitas air dengan kapur dan mengetahui dosis
penggunaannya.
1.2 Tujuan

Tujuan praktikum acara Pengapuran adalah:


1. Mengetahui hubungan dosis pengapuran dengan nilai pH dan alkalinitas
2. Mengetahui pengaruh pengapuran terhadap pH dan alkalinitas
3. Mengetahui pengaruh pengapuran terhadap kualitas air dan hasil panen secara umum
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengapuran

Kapur merupakan salah satu batuan yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan pH
secara praktis, murah dan aman sekaligus dapat menggurangi kandungan-kandungan logam
berat yang terkandung dalam air asam tambang. Ada beberapa macam kapur yang dapat
digunakan, yaitu kapur pertanian (CaCO3), kapur tohor (CaO), kapur tembok
(Ca(OH)2), dolomite (CaMg(CO3)2) dan kapur silika (CaSiO3). Namun kapur yang sering
digunakan dalam tambak adalah CaCO3 dan kapur tohor (Heynes, 2009 dalam Herlina,
2014).
Penggunaan kapur tohor (CaO) pada saluran keluar (outlet) dari kolam pengendap
lumpur dapat menaikkan nilai pH agar sesuai dengan baku mutu lingkungan. Pengapuran
tidak hanya dilakukan disaluran outlet, tetapi juga di saluran masuk (inlet) pada kolam
pengendap lumpur. Penambahan kapur tohor yang dilakukan secara terus menerus dan
dengan dosis yang tepat dapat menaikan pH air (Herlina, 2014).
Penggunaan kapur merupakan aksi yang penting dalam memperbaiki kesuburan tanah
kolam terutama yang bermasalah dengan keasaman tanah (Limbong, 2017). Pengapuran
bertujuan untuk meningkatkan pH tanah sehingga pHnya ≥ 6 sehingga pupuk dapat bekerja
lebih efektif. Pengapuran dilakukan dengan cara disebarkan dan diaduk ke dalam tanah.
Setelah kapur ditebar kedalam masingmasing unit penelitian maka langkah berikutnya yaitu
pembuatan pupuk organik (Harni, 2017).
2.2. pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter kualitas air yang dapat
berobah dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti oksigen, amonia, nitrit, bahan organik.
Pada hakekatnya pH adalah negatif dari logaritma konsentrasi ion hidrogen (H+) (Mangampa,
2014). Nilai pH dalam suatu perairan merupakan suatu indikasi terganggunya perairan
tersebut. pH normal untuk suatu perairan adalah 7. Berkurangnya nilai pH dalam suatu
periaran ditandai dengan semakin meningkatnya senyawa organik di perairan tersebut
(Megawati, 2014).
Nilai pH tanah akan berpengaruh pada kesuburan perairan karena kelarutan unsur
hara dalam air ditentukan oleh derajat keasaman tanah dan air. Tanah yang asam akan
mempengaruhi pH air, dengan demikian perlu upaya menetralisasi. Tanah tambak bisa
memiliki pH kurang dari 4 atau lebih dari 9, namun pH tanah yang ideal untuk tambak adalah
pH 6-8. Angka ini merupakan kondisi pH yang optimal bagi keberadaan phosfor di dalam
tanah, serta sangat cocok untuk berbagai mikroorganisme dekomposer seperti bakteri (Boyd
et al., 2002 dalam Bahri, 2014).
Menurut Manurung et al., (2014), bahwa peningkatan pH tanah akan terjadi apabila
bahan organik yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena bahan
organik yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa.
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi asam di dalam tanah tambak
tersebut yaitu dengan cara melakukan pengapuran pada dasar tanah.
2.3. DMA

Daya Menggabung Asam (DMA) dapat disebut sebagai nilai alkalinitas suatu perairan
yang menunjukkan kapasitas penyangga perairan (buffer capacity) terhadap perubahan pH
dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menduga kesuburannya (Bintoro, 2014). DMA
adalah kapasitas air untuk menerima proton, sama dengan larutan buffer. Besar kecilnya nilai
DMA suatu perairan dapat menunjukkan kapasitas penyangga dan tingkat kesuburannya
(Siregar, 2000).
Alkalinitas merupakan kemampuan air dalam menetralkan asam. Air yang
mengandung karbondioksida dapat mengakibatkan tingginya nilai alkalinitas. Tingginya nilai
alkalinitas dapat menyebabkan lambatnya dekomposisi ozon, akibat ion karbonat dan
bikarbonat yang mengakibatkan waktu paruh ozon meningkat ( Sari, 2013 ).
Menurut Soeseno (1974) dalam Tohir (2018), daya menggabung asam dapat
digunakan untuk menentukan baik buruknya perairan sebagai lingkungan hidup, yaitu
berkisar antara 2 – 2,5 mg/L. Apabila daya penggabung asam terlalu rendah, maka perairan
itu kurang baik daya penyangganya (soft water). Sebaliknya apabila daya menggabung
asamnya tinggi maka daya produksinya secara hayati (biogenic capacity) cukup besar. Dalam
pengukuran oksigen terlarut menggunakan Methyl Orange (MO) sebagai larutan indikator,
dan H2SO4 sebagai pentitrasi.
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum acara Pengapuran adalah ember (30 Liter),
botol winkler, pengaduk, milimeter blok laminating dan pH meter.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum acara Pengapuran adalah air cuka (40 ml), air
kran (10 L), CaCO3 dan tissue.
3.2. Metode

Disiapkan ember plastik berkapasitas 30 L, kemudian campurkan air cuka (40 ml)
dengan air kran sebanyak 10 L. Campuran air cuka dan air kran dimasukkan ke dalam ember
plastik, lalu diaduk dan diukur pH awalnya. Lalu ditambahkan CaCO3 ke dalam ember plastik
dengan dosis yang telah ditentukan, aduk dan di dibiarkan selama 24 jam, lalu diukur pH
akhir dengan pH meter. Hasil yang diperoleh dicatat.
3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum Pengapuran dilaksanakan pada tanggal 17 - 18 September 2018 di


Laboratorium Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
3.4. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan analisis statis hubungan dosis pengapuran dengan
nilai pH, DMA, kualitas air dan hasil panen.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 4. Hasil pengukuran pH dan DMA sebelum dan setelah perlakuan

Dosis CaCO3 Sebelum Sesudah


(gram) pH DMA pH DMA
0  4,20 1 mg/L 4,26 1 mg/L
5  4,20 1 mg/L 7,06  5 mg/L
10  4,20 1 mg/L 7,02 2 mg/L
15  4,20 1 mg/L 7,24 5,3 mg/L
20  4,20 1 mg/L 7,11 5 mg/L
25  4,20 1 mg/L 7,33  4,7 mg/L
30  4,20 1 mg/L 6,99  5,7 mg/L
35  4,20 1 mg/L 7,08  11 mg/L

4.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan pH dan DMA sebelum dan sesudah


pengapuran dengan diberi perlakuan CaCO3. Nilai pH sebelum pengapuran pada masing –
masing perlakuan adalah 4,20. Sedangkan nilai pH sesudah pengapuran pada pemberian dosis
CaCO3 0 gr, 5 gr, 10 gr, 15 gr, 20 gr, 25 gr, 30 gr, dan 35 gr adalah 4,26; 7,06; 7,02; 7,24;
7,11; 7,33; 6,99; 7,08. Nilai DMA sebelum pengapuran pada masing – masing perlakuan
adalah 1 mg/L. Sesudah pengapuran pada pemberian dosis CaCO3 0 gr, 5 gr, 10 gr, 15 gr, 20
gr, 25 gr, 30 gr, dan 35 gr adalah 1 mg/L; 5 mg/L; 2 mg/L; 5,3 mg/L; 5 mg/L; 4,7 mg/L; 5,7
mg/L; 11 mg/L.

pH
8
7
6
5
4 Sebelum
pH

3 Setelah
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan
Gambar 4.Grafik nilai pH sebelum dan setelah perlakuan
Keterangan : Perlakuan 1 (CaCO3 0 ppm), Perlakuan 2 (CaCO3 5 ppm), Perlakuan 3 (CaCO3
10 ppm ), Perlakuan 4 (CaCO3 15 ppm), Perlakuan 5 (CaCO3 20 ppm), Perlakuan 6 (CaCO3
25 ppm), Perlakuan 7 (CaCO3 30 ppm), Perlakuan 8 (CaCO3 35 ppm)
Berdasarkan grafik di atas, diketahui bahwa nilai pH paling tinggi pada perlakuan 6
yaitu dengan pemberian dosis CaCO3 25 ppm. Sedangkan nilai pH paling rendah pada
perlakuan 1 yaitu tanpa pemberian CaCO3. Semakin tinggi dosis CaCO3 yang diberikan untuk
limbah cair maka nilai pH tinggi, sedangkan limbah cair tanpa pemberian CaCO3 memiliki
nilai pH rendah. Hal ini sesuai dengan referensi yang ada bahwa penambahan CaCO3 akan
meningkatkan nilai pH seiring dengan dosis CaCO 3 yang ditambahkan pada media (Kadarini,
2015). Referensi lain menjelaskan dengan pemberian amelioran berupa kapur CaCO3 dapat
meningkatkan pH akibat dari bahan-bahan kapur dan mikroba yang terdapat dalam amelioran
(Anggoro, 2017).
Proses kimia dan biologi dari bahan-bahan mineral menghasilkan sulfat dengan
tingkat keasaman yang tinggi (Indrajaya, 2018). Sedangkan rendahnya pH air dapat
dipengaruhi oleh rendahnya pH tanah dan bahan organik yang tidak terurai dengan sempurna
oleh bakteri anaerob membentuk asam organik yang dapat menurunkan pH. Penyebab lain
adalah penguraian Fe yang terkandung dalam tanah dasar menjadi FeO2 yang bersifat asam
dan dapat menurunkan pH air (Mangampa, 2014).
Dengan penambahan kalsium karbonat CaCO3 maka nilai pH semakin tinggi, hal ini
dikarenakan kalsium karbonat di perairan bereaksi dengan karbon dioksida akan membentuk
bikarbonat (HCO3). Bikarbonat dapat bersifat asam dan basa karena dapat mengalami
hidrolisis menghasilkan OH- dan mempunyai kapasitas sebagai buffer (Kadarini, 2015). Hal
ini juga dijelaskan oleh Boyd (1982) dalam Heriadi (2016) keberadaan kalsium dalam air
bereaksi dengan (H+) akibatnya pH akan meningkat. Penambahan kalsium karbonat dapat
menyebabkan kenaikan pada pH media pemeliharaan karena pengapuran bersifat
menetralkan keasaman sehingga pH air akan meningkat setelah pemberian kapur . Adapun
reaksi penetralan asam dengan bahan yang mengandung kapur adalah sebagai berikut (Said,
2014):
Ca(OH)2 + H2SO4 <==> CaSO4 + 2 H2O (3.1)
Ca(OH)2 + FeSO4 <==> Fe(OH)2 + CaSO4 (3.2)
3 Ca(OH)2 + Fe2(SO4)3 <==> 2 Fe(OH)3 + 3 CaSO4
Air kolam yang sedikit masam dan tanah dasar kolam yang telah dikapur
menunjukkan reaksi yang basa, kondisi basa ini dapat menetralisir air sehingga pH air kolam
naik (Hasibuan, 2012). Proses pengapuran juga dapat membunuh sisa-sisa jasad renik,
meningkatkan pH sehingga tidak menyebabkan kematian pada saat pemeliharaan ikan (Marie
et al., 2018). Dengan pengapuran dapat menambah unsur Ca dan Mg, menambah
ketersediaan unsur hara N, P dan Mo, mengurangi keracunan unsur Fe, Al dan Mn, serta
memperbaiki kehidupan mikroorganisme (Hasibuan, 2016).
Dari semua perlakuan, pemberian CaCO3 dosis 10 ppm merupakan perlakuan terbaik.
Hal ini karena hasil nilai pH mendekati netral yaitu 7,02. pH tersebut dalam kisaran normal
dan baik untuk pertumbuhan kehidupan organisme perairan. Sesuai dengan pernyataan
Hardjowigewo (1986) dalam Anggoro (2017) menyatakan bahwa kapur dapat meningkatkan
pH dan menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap. Pada pH netral yaitu 7
sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air.

DMA
12
DMA (ppm)

10
8
6 Sebelum
Setelah
4
2
0
1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan

Gambar 5.Grafik nilai DMA sebelum dan setelah perlakuan


Keterangan : Perlakuan 1 (CaCO3 0 ppm), Perlakuan 2 (CaCO3 5 ppm), Perlakuan 3
(CaCO3 10 ppm ), Perlakuan 4 (CaCO 3 15 ppm), Perlakuan 5 (CaCO3 20 ppm), Perlakuan 6
(CaCO3 25 ppm), Perlakuan 7 (CaCO3 30 ppm), Perlakuan 8 (CaCO3 35 ppm)

Dari data grafik di atas, menunjukkan bahwa hasil DMA terendah yaitu pada
perlakuan 1 yaitu 1 mg/L , sedangkan nilai DMA tertinggi pada perlakuan 8 yaitu 11 mg/L.
Hal ini sesuai dengan pendapat (Scabra, 2016), bahwa kalsium karbonat (CaCO3) yang
terlarut pada media akan terpecah menjadi unsur Ca, yang merupakan sumber kalsium
perairan serta unsur CO3 yang merupakan karbonat penyusun alkalinitas. Kalsium merupakan
kation terpenting di antara seluruh ion anorganik yang berperan dalam proses fisiologis
organisme akuatik (France, 1981 dalam Taqwa, 2014). Kalsium juga dapat menaikkan pH
terutama kalsium karbonat dan kalsium oksida yang disebabkan terhidrolisisnya karbonat
menjadi ion hidroksil sehingga meskipun media adaptasi menggunakan air rawa namun tetap
meminimalisir tingkat keasaman tersebut (Zaidy, 2007 dalam Taqwa, 2014).
Kesadahan total biasanya berhubungan dengan alkalinitas total karena anion dari
alkalinitas dan kation dari kesadahan berasal dari peluruhan mineral karbonat. Dengan
penambahan kalsium karbonat CaCO3 maka nilai pH semakin tinggi, hal ini dikarenakan
kalsium karbonat di perairan bereaksi dengan karbon dioksida akan membentuk bikarbonat
(HCO3) (Mochtar, 2014). Menurut Kurniasih (2014), faktor yang mempengaruhi DMA yaitu
alkalinitas air dipengaruhi oleh konsenterasi basa dalam air, diantaranya kalsium karbonat
(CaCO3), (NaCl), Na2CO3.
Pelepasan ion kalsium dan bikarbonat dari kapur CaCO3 yang larut dalam tanah
berlangsung lambat, sebagaimana yang terlihat pada reaksi kimia pada DMA berikut: CaCO3
(s) + H2O(l) + CO2(g) Ca2+(aq) + 2HCO3 - (aq) (1) Bikarbonat yang terbentuk dapat
menetralisir ion hidronium di dalam larutan tanah, sambil ion kalsium mengantikan ion
hidronium dan aluminium yang berikatan pada muatan negatif permukaan humus dan partikel
(Primaryadi, 2015). Penjumlahan dari jumlah titran yang terpakai pada penentuan nilai
alkalinitas phenolphalein dengan jumlah titran pada pembentukan asam karbonat pada reaksi
tersebut, merupakan nilai alkalinitas total (Effendi, H. 2003 dalam Sembiring et al, 2012).
Jenis kapur yang dapat diaplikasikan menurut Rachimi (2016) yaitu kapur karbonat,
kapur oksida dan kapur hidrat.
 Kapur karbonat : kapur karbonat diperoleh dengan menggiling batu kapur tanpa
pemanasan. yang tergolong kapur karbonat adalah: Kalsit (CaCO 3) dan dolomit
(CaMg(CO3)2).
 Kapur oksida : kapur ini diproduksi setelah pemanasan kapur karbonat. kapur oksida
dikenal pula sebagai kapur bakar atau kapur tohor (CaO).
 Kapur hidrat : kapur ini diperoleh dengan menambahkan air pada kapur oksida. kapur
hidrat dikenal pula dengan nama kapur bangunan atau kapur tembok Ca(OH)2.
Cara pengapuran pada kolam yaitu, tanah yang bersih dimasukkan ke dalam semua
wadah dengan ketinggian 20 cm dari dasar wadah, karena menurut (Boyd, 1979 dalam
Hasibuan, 2013) kapur dan pupuk akan bekerja sampai pada kedalaman 15 cm dari
permukaan tanah dasar kolam. Kemudian dilakukan penentuan tekstur tanah, pH dan
hardness. Jika pH < 6 dan hardness < 20 ppm, maka dilakukan pengapuran menurut (Boyd,
1979 dalam Hasibuan, 2013). Sebelum dipupuk, kolam terlebih dahulu dikapur dengan
CaCO3 dosis 168,00 g/m2.
Sebelum tanah kolam pada wadah yang telah disiapkan diberi kapur, tanah
dilumpurkan terlebih dahulu. Kapur yang telah ditentukan dosisnya (Hasibuan, 2013) ditebar
secara merata pada setiap wadah penelitian, kemudian diaduk dengan sendok semen yang
sudah disiapkan. Setelah kapur tercampur secara merata pada tanah pengadukan dihentikan.
Pemberian kapur CaCO3 dapat meningkatkan konsentrasi kalsium air yang merupakan unsur
penting untuk pertumbuhan ikan dan kesehatan agar mendapatkan pertumbuhan yang baik
(de Holanda Cavalcante et al., 2009 dalam Hastuti 2016). Pemberian kapur hanya dilakukan
sekali, yaitu pada awal penelitian. Pengapuran dilakukan pada siang hari, hal ini bertujuan
untuk mempercepat reaksi kapur dengan tanah karena kandungan CO2 bebas yang tinggi
pada pagi hari (Hasibuan, 2013).
Dari semua perlakuan, pemberian CaCO3 dosis 30 ppm merupakan perlakuan terbaik.
Hal ini karena nilai DMA tidak terlalu tinggi sebesar 5,7. DMA tersebut dalam kisaran
normal dan baik untuk pertumbuhan kehidupan organisme didalam perairan. Sesuai dengan
pernyataan Rachimi (2016), menyatakan bahwa DMA yang dibutuhkan oleh organisme
tawar, khususnya ikan ialah tidak terlau tinggi dan terlalu rendah yaitu seebsar 4,56, karena
apabila ikan tidak mendapatkan zat kapur maka akan terganggu homeostatisnya. Dan untuk
udang dapat berfungsi sebagai pembenukan khitin secara cepat.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Proses pengapuran dengan penambahan CaCO3 mempengaruhi nilai pH dan DMA.


Semakin tinggi dosis CaCO3 yang ditambahkan, maka semakin tinggi kenaikan nilai pH dan
itu mempengaruhi nilai DMA. Pengapuran yang dilakukan dapat digunakan untuk
pengelolaan kualitas air di suatu perairan dalam peningkatkan pH, dari pH masam menjadi
pH netral atau mungkin akan menjadi basa.
5.2 Saran

Dalam pengukuran DMA diharapkan dapat lebih cermat dan teliti lagi agar hasil yang
didapatkan bisa lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, H., Syafriadiman, S., Niken, A. P. 2017. The Utilization of Ameliorant in


Formulation with a Dose of Different to Improve the Abudance Fitoplankton in the
Media the Peat Soil. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Riau. 3(2): 1–10.
Bahri, S., Indra, Muyassir. 2014. Kualitas Lahan Tambak dan Sosial Ekonomi pada Budidaya
Udang dan Ikan di Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara. Jurnal Manajemen
Sumberdaya Lahan. 3 (1): 41 2-420.
Bintoro, A., Mukhtarul, A. 2014. Pengukuran Total Alkalinitas di Perairan Estuari
Sungai Indragiri Provinsi Riau. BTL. 11 (1): 11 – 14.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius, Yogyakarta.
Harni, H., Syafriadiman, S., Saberina, H. 2017. Pemanfaatan Vermikompos yang Berbeda
terhadap Kelimpahan Zooplankton pada Media Tanah Gambut. Jurnal Online
Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Hasibuan, S., Pamukas, N. A., Sirait, S. R. 2013. Perbaikan Kualitas Kimia Tanah Dasar
Kolam Podsolik Merah Kuning dengan Pemberian Pupuk Campuran Organik dan
Anorganik. Berkala Perikanan Terubuk. 41 (2): 92-110.
Hasibuan, S., Syafiradiman., Tardilus. 2012. Penggunaan Kapur CaCO3 Pada Tanah Dasar
Kolam Ikan Berbeda Umur di Desa Koto Mesjid Kabupaten Kampar.
BerkalaPerikanan Terubuk. 40 (2) : 34-46.
Hasibuan, S., Syafriadiman, S.,Tardilus, T. 2016. Karakteristik Tanah Dasar Kolam Podsolik
Merah Kuning Menurut Pengelompokan Umur dengan Pemberian Kapur CaCO 3.
Jurnal Dinamika Pertanian. 32 (3): 1 – 12.
Hastuti, Y. P., Chandra, Y., Kukuh, N., Wildan, N., Kurnia, F. 2016. Pemberian Caco3 pada
Media Bersalinitas 3 G/L untuk Pertumbuhan Ikan Bawal Air Tawar. Jurnal
Akuakultur Indonesia. 15 (1): 32-40.
Heriadi, F., Mulyadi, M., Iskandar, P. 2016. Increasing Calcium Carbonate (CaCO 3) to Growt
and Survival Rate Vannamei Shrimp (Litopenaeus Vannamei)). Jurnal Online
Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. 3 (2): 1 – 8.
Herlina, A., Harminuke, E. H., Hartini, I. 2014. Pengaruh Fly Ash dan Kapur Tohor pada
Netralisasi Air Asam Tambang terhadap Kualitas Air Asam Tambang (Ph, Fe & Mn)
di Iup Tambang Air Laya PT. Bukit Asam (Persero),Tbk. Jurnal Ilmu Teknik.
Universitas Sriwijaya.
Indrajaya, F., Yustinus, H. W., Meri, K. S. 2018. Pengolahan Kualitas Air Limbah
Menggunakan Kapur Tohor (CaO) pada Area Settling Pond di PT. Senamas
Energindo Mineral Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal
Teknik Pertambangan. 16 (1): 62 – 73.
Kadarini, T., Siti, Z. M., Siti, S., Bambang, P. 2015. Pengaruh Penambahan Kalsium
Karbonat (CaCO3 ) dalam Media Pemeliharaan Ikan Rainbow Kurumoi
(Melanotaenia parva) Terhadap Pertumbuhan Benih dan Produksi Larvanya . Jurnal
Riset Akuakultur. 10 (2): 187 – 197.
Kurniasih, D. 2014. Penambahan Nutrisi Magnesium dari Magnesium Sulfat (Mgso4.7h2o)
dan Nutrisi Kalsium dari Kalsium Karbonat (Caco3) pada Kultivasi Tetraselmis chuii
untuk Mendapatkan Kandungan Lipid Maksimum. SNTMUT. 1-6 hal.
Kurniawan, M. W., Purwanto, P., Sudarno, S. 2013. Strategi Pengelolaan Air Limbah Sentra
UMKM Batik yang Berkelanjutan di Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Ilmu Lingkungan.
11 (2): 62 – 72.
Limbong, E. O., Syafriadiman, S., Saberina, H. 2017. Influence of Biofertilizer Different on
Some Parameters of Chemistry in Ground Peat Pond. Jurnal Online Mahasiswa
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Mangampa, M., Burhannudin. 2014. Uji Lapang Teknologi Polikultur Udang Windu
(Penaeus Monodon Fabr.), Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) dan Rumput Laut
(Gracilaria Verrucosa) di Tambak Desa Borimasunggu Kabupaten Maros. Jurnal
Saintek Perikanan. 10 (1): 30 – 36.
Manurung, R. H., Lahuddin, M., Fauzi. 2014. Pengaruh Pemberian Kompos Kulit Durian
pada Typic Hydraquent, Umbrik Dystrudept, dan Typic Kandiudult Terhadap
Beberapa Aspek Kesuburan Tanah (pH, C Organik, dan N Total Serta Produksi
Tanaman Jagung (Zea mays L.). Jurnal Online Agroteknologi. 2 (3): 1 – 21.
Marie, R. Mochammad, A. S., Seto, S. P. R. 2018. Teknik Pembesaran Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) dengan Pemberian Pakan Limbah Roti. Jurnal Sumberdaya
Alam dan Lingkungan. 5 (1): 1 – 6.
Megawati, C., M. Yusuf., Lilik, M. Sebaran Kualitas Perairan Ditinjau dari Zat Hara,
Oksigen Terlarut dan pH di Perairan Selat Bali Bagian Selatan. JURNAL
OSEANOGRAFI. 3 (2): 142-150.
Mochtar, N. E., Yulianto, F. E., Rendy, T. S. 2014. Pengaruh Usia Stabilisasi pada Tanah
Gambut Berserat yang distabilisasi dengan Campuran CaCO3 dan Pozolan. Jurnal
Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil. 21 (1): 57-64.
Muslih, K., Indra, A. S. 2016. Teknologi Domestikasi Ikan Tapah di Desa Tanah Bawah
Kabupaten Bangka. Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat. Universitas Bangka
Belitung.
Primaryadi, N. B., Anggraeni, A. A. M. D., Wartini, N. M. 2015. Pengaruh Penambahan
Magnesium Sulfat Heptahidrat dan Feri Klorida pada Blue Green Medium- 11
Terhadap Konsentrasi Biomassa Mikroalga Tetraselmis chuii. Jurnal Rekayasa dan
Manajemen Agroindustri. 3 (2): 92-100.

Rachimi., Eka, I. R., Didin, A. P. 2016. Pengaruh Penambahan Kapur Tohor (Cao) pada
Media Budidaya Bersalinitas Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Lobster Air Tawar (Cherax Quadricarinatus). Jurnal Ruaya. 4 (1): 24-28.
Said, N. I. 2014. Teknologi Pengolahan Air Asam Tambang Batubara “Alternatif Pemilihan
Teknologi”. Jurnal Air Indonesia. 7 (2): 119 – 138.
Sammut J Dr., Mustafa A Ir., MS. 2011. Teknik Pengapuran Pada Pematang Tambak Tanah
Sulfat Masam. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.Maros
Sari, N. N., M. Rangga, S., Kancitra, P. 2013. Efek Perlakuan pH pada Ozonisasi. JURNAL
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL. 1(1): 1-12.
Scabra, A.R., Tatag, B., Daniel, D. 2016. Kinerja Produksi Anguilla Bicolor Bicolor dengan
Penambahan CaCO3 pada Media Budidaya. Jurnal Akuakultur Indonesia. 15 (1) : 1-
7.
Siregar, A. 2000. Transparasi Limnologi. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Taqwa, F. H., Ade, D. S., Khadiful, H., Eni, K., Abdul, K. G. 2014. Penambahan Kalsium
pada Air Rawa sebagai Pengencer Salinitas Media Pemeliharaan Pascalarva Udang
Galah Terhadap Sintasan, Tingkat Kerja Osmotik, dan Konsumsi Oksigen. Jurnal Ris
Akuakultur. 9 (2): 229-236.
Tohir. 2018. Artikel: Pengukuran Kualitas Perairan. Chyrun.com (diakses 27 Oktober 2018).
LAMPIRAN

Diambil larutan cuka Larutan cuka 40 ml, Ukur perubahan pH dan


sebanyak 40 ml. dicampurkan dengan 10 DMA sesudah dan
liter air didalam ember. sebelum diberikan
Kemudian diaduk. CaCO3

Ambil 100 ml campuran Diberikan larutan metil Dicatat hasil titrasi


cuka dan air, kemudian orange dan H2SO4
dilakukan titrasi

ACARA 5
PENGELOLAAN BLOOMING ALGAE

Disusun Oleh :
Kelompok 7

Tesya Lintang Cahya G. L1B016003


R. Panji Sulaeman L1B016017
Veny Krisdayanti L1B016021
Asyiffa Septya S. L1B016024
Yola Vebiola L1B016025
Barlian Yanutama P. L1B016050
Yuli Astuti L1B016058
Fitri Ainun Sabila L1B016076
Ivan Arji Saputro L1B016077
Muhammad Prasta P. L1B016087

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Fitoplankton adalah tumbuhan alga bersel satu (unicellular) yang terdapat di perairan
ekosistem laut dan juga air tawar. Beberapa dari spesies fitoplankton mampu menghasilkan
toksin. Toksin tersebut dapat dipindahkan melaui rantai makanan, dimana dapat
mengakibatkan dampak negatif atau kematian terhadap organisme yang berada pada
kedudukan yang lebih tinggi dari sistem rantai makanan seperti zooplankton, kerang-
kerangan, ikan, burung, mamalia dan juga manusia (Turner dan Turner, 1997 dalam
Weliyadi, 2013).
Blooming algae merupakan salah satu yang dapat menyebabkan pencemaran pada air
permukaan. Blooming algae mengakibatkan kematian hewan-hewan didalam air, karena
kekurangan oksigen terlarut dan zat beracun yang dihasilkan oleh algae bloom. Blooming
algae berdampak pada kualitas air secara langsung dapat mempengaruhi kesehatan dan
pertumbuhan organisme yang dibudidayakan. Kualitas air yang buruk akan menimbulkan
stress, penyakit, dan pada akhirnya menimbulkan kematian hewan-hewan akuatik.
Pengendalian kondisi lingkungan budidaya agar tetap stabil dan optimal bagi organisme
perairan termasuk hewan budidaya menjadi sangat perlu dilakukan (Irawan, 2015).
Menurut Widiarti et al., (2012), untuk mengatasi keadaan suatu perairan yang terkena
blooming alga, dapat dilakukan dengan cara fisik maupun kimia. Cara fisik, yaitu dengan
menurunkan volume air secara bertahap, lalu menginokulasi bibit plankton yang
menguntungkan dari kolam yang berbeda. Cara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan
algisida (CuSO4, diuron, dan simazine). Penggunaan algisida (CuSO4) dalam percobaan ini
diharapkan dapat digunakan sebagai pengendalian blooming alga atau plankton, yang
selanjutnya akan bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum acara pengelolaan blooming algae adalah untuk mengetahui
berbagai dosis penggunaan algasida untuk menanggulangi blooming algae pada kolam
budidaya.
1.3
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Blooming Algae

Alga adalah tumbuhan nonvascular yang memilika bentuk thalli yang beragam,
uniseluler atau multiseluler, dan berpigmen fotosintetik. Alga bentik (makroalga) dapat
hiduup di perairan tawar dan laut (Bold dan Wynne, 1978 dalam Paransa et al., 2014).
Menurut Bold and Wynne (1985) dalam Paransa et al., (2014), alga diklasifikasikan dalam
empat kelas besar yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Cyanophyceae (alga hijau-biru),
Phaeophyceae (alga coklat) dan Rhodophyceae (alga merah). Setiap kelas alga memiliki ciri
warna tertentu, karena adanya jenis pigmen yang dikandungnya. Alga mengandung tiga jenis
pigmen utama yaitu : klorofil, karotenoid, dan fikobilin.
Blooming algae adalah Pengkayaan unsur hara (eutrofication) di suatu perairan akibat
penumpukan limbah organik atau anorganik yang berasal dari aktivitas manusia misalnya
dari usaha budidaya laut, pertanian dan rumah tangga berpotensi menyebabkan ledakan
populasi fitoplankton (WHO dan European Commission, 2002; Karydis, 2009). Ledakan
populasi fitoplankton dari jenis tertentu telah menyebabkankasus kematian massal ikan-ikan
budidaya dan keracunan pada manusia akibat mengkonsumsi kekerangan yang
terkontaminasi alga beracun, fenomena ini dikenal sebagai Harmful Alga Blooming atau
HAB (Panggabean, 2006 dalam Kusumaningsih, 2014).
Faktor yang mempengaruhi terjadinya blooming alga yaitu kandungan fospat (PO4)
dan nitrat (NO3), ditandai pada nilai korelasi menunjukkan PO4 dan NO3 keberadaannya
secara bersama-sama saling mendukung dan saling menguatkan pengaruhnya terhadap
kelimpahan fitoplankton. PO4 dan NO3 merupakan zat hara yang penting bagi pertumbuhan
dan metabolisme fitoplankton yang merupakan indikator untuk mengevaluasi kualitas dan
tingkat kesuburan perairan (Ferianita et al., 2005 dalam Sholihin, 2014). Lalu pH, pH
berperan penting dalam peningkatan kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan
jasad renik. pH tinggi akan meningkatkan produktifitas perairan. Hal sebaliknya, untuk pH
rendah (keasaman tinggi) dapat meurunkan produktifitas perairan dan membunuh organisme
akuatik (Gufron et al., 2007 dalam Sholihin, 2014). Faktor lainnya yaitu nitrit (NO2), nitrit
(NO2) berperan dalam mendukung terjadi kelimpahan plankton karena rendahnya nilai NO 2,
diduga akibat proses oksidasi nitrit (NO2) menjadi nitrat (NO3) berjalan dengan baik dengan
didukung pH dan oksigen dalam kondisi yang mencukupi. Sehingga, Proses perubahan
berlangsung dengan cepat yang mengakibatkan ketersediaan NO2 berkurang, sedangkan NO3
relatif tinggi. Secara tidak langsung ketersediaan NO2 berperan dalam mendukung terjadi
kelimpahan (Hasani et al., 2012 dalam Sholihin, 2014).
II.2. Algisida

Algisida atau senyawa logam Cu merupaka salah satu cara yang efektif untuk
menanggulangi blooming alga pada perairan. Logam Cu ini dapat merusak susunan
fotosintesan dan menghambat proses penyerapan bahan organic penyusun fotosintesa seperti
N, P. Kemampuan algisida tersebut yang dimanfatkan manusia untuk menangani masalah
blooming algae. Selain karena faktor tersebut, algisida merupakan bahan yang mudah
dijumpai dan memiliki sifat yang ramah lingkungan terhadap manusia (Qian et.al., 2010).
Algisida yang biasa digunakan dalam mengurangi jumlah alga adalah CuSO4. CuSO4
adalah bahan kimia yang mempunyai sifat melarut sempurna dalam air dan sedikit larut
dalam etanol (Fitzgerald dan Faust, 1963 dalam Zulfiah, 2009). CuSO4 (25% Cu) digunakan
untuk mengendalikan lumut/alga untuk kolam ikan. Respon dari spesies alga untuk CuSO4
dapat bervariasi tergantung pada keadaan air yang mempengaruhi dan karakteristik dari
spesies alga. Pemberian dosis berlebihan akan bersifat racun dan berbahaya bagi biota
perairan seperti ikan. Dosis optimal pemberian CuSO4 dalam kolam yang mengandung
tanaman air (mikroalga) adalah 0,5gr/liter (Hasani, 2012).
Toksisitas untuk alga/ganggang yang dihasilkan oleh tembaga adalah karena afinitas
yang tinggi tembaga yang mengandung sulfur pada permukaan sel-sel ganggang, sehingga
menyebabkan terganggunya fungsi metabolisme dan reaksi biokimia alga normal,
menyebabkan protoplas rusak seperti kloroplas, karena itu tertahan produksi alga (Liu, 2002
dalam Pang, et al., 2013). Bahan kimia khususnya cupri sulfat untuk menjadi algisida harus
memenuhi persyaratan tertentu yaitu konsentrasi bahan kimia tersebut harus dapat membunuh
semua alga yang diberi perlakuan (Fitzgerald dan Faust, 1963 dalam Zulfiah, 2009).
II.3. Aplikasi Pengunaan Algisida

Cupri sulphat (CuSO4) atau algasida dinyatakan sebagai penghambat mikroorganisme


antara lain jamur, alga, dan bakteri (Suheryanto, 2010 dalam Widiyanti et al., 2015), anti
lumut pada kolam renang (Sukma, 2013 dalam Widiyanti et al., 2015). Luptakova (2007)
dalam Widiyanti et al. (2015) menyatakan bahwa sulfat ini dapat direduksi oleh
mikroorganisme yaitu Desulfovibrio desulfuricans yang dapat mengurangi sulfat dalam
keadaan anaerob dan dapat membentuk logam sulfida bila atom S berikatan dengan kation
dan logam yang bebas air. Ini berarti bakteri memanfaatkan sulfat dalam pertumbuhannya.
Konsentrasi cuprum yang tinggi menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan mikroalga
cyanophyta, seperti yang dikemukakan oleh Tokarnia et al., (2000) dalam Widiyanti et al.,
(2015) yang menyatakan bahwa keracunan dari logam Cu dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain kadar logam yang terkonsumsi, lamanya mengkonsumsi, umur, spesies, jenis
kelamin dan kebiasaan makan makanan tertentu.
Pengendalian blooming alga pada perairan secara kimiawi dapat menggunakan
algisida ataupun dengan copper sulfate (CuSO4) (Greenfield et al., 2014). Aplikasi
pemakaiannya dapat dilakukan dengan melarutkan dalam air dan disemprotkan atau metode
perendaman. Algisida berfungsi untuk menghambat proses fotosintesis pada fitoplankton
sehingga pertumbuhan dan perkembangannya terhambat (Widiarti et al., 2012). Tembaga
sulfat (CuSO4) merupakan bahan yang umum digunakan sebagai algasida karena harganya
murah dan cyanobacteria lebih sensitif terhadap konsentrasi tembaga yang tinggi daripada
fitoplankton lainnya (Le Jeune et al., 2006 dalam Greenfield et al., 2014). Tembaga (Cu)
merupakan racun bagi fitoplankton apabila digunakan dalam konsentrasi tinggi dan akan
mempengaruhi pertumbuhan. Toksisitas tembaga untuk fitoplankton adalah dengan hambatan
pertumbuhan, fotosintesis, respirasi, aktivitas enzim, dan sintesis pigmen (Jin, et al., 2010).
III. MATERI DAN METODE

III.1. Materi

III.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah akuarium, aerator, selang aerasi, batu
aerasi, botol vial, mikroskop binokuler, cover glass dan pipet tetes.
III.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah air kolam budidaya yang
mengalami blooming algae dan algisida (CuSO4).
III.2. Metode

Akuarium bervolume ± 10 L diisi dengan air sebanyak 5 L. Kemudian air sampel


diambil menggunakan botol vial dan dihitung kelimpahan plankton awal dengan dibawah
mikroskop. Setelah itu ditambahkan algasida dengan dosis 0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5; 0,6; dan
0,7 ppm dan didiamkan selama 1 hari. Setelah didiamkan selama 1 hari, air sampel diambil
dengan botol vial dan dihitung kelimpahan plankton akhir dengan metode yang sama
III.3. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilakukan pada tanggal September 2018 di Laboratorium Pemanfaatan


Sumberdaya Perikanan Fakultaas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto.
III.4. Analisis Data

Analisis statistik perubahan kelimpahan plankton awal dan akhir perlakuan pada
masing-masing dosis dan jenis algisida. Perhitungan kelimpahan awal dan akhir dengan
rumus:
Kelimpahan = N x F
Q1 V 1 1 1
F= x x x
Q2 V 2 P W
Keterangan : N = jumlah plankton rataan pada setiap preparat
Q1 = luas gelas penutup 18x18 (324 mm2)
Q2 = luas lapang pandang (1,11279 mm2)
V1 = volume air dalam botol penampung (25 ml)
V2 = volume air dibawah gelas penutup (1 tetes = 0,05 ml)
P = jumlah lapang pandang yang diamati
W = volume air yang disaring (liter)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil

Tabel 6. Hasil perhitungan kelimpahan plankton sebelum dan setelah perlakuan

Dosis Nama Spesies Kelimpahan (ind/L)


Kelompok
Algasida(mg/L) Dominan Sebelum Setelah
1 0 Spirulina sp. 39.598 50.080

2 0,1 Spirulina sp. 39.598 36.686

3 0,2 Spirulina sp. 39.598 23.293

4 0,3 Spirulina sp. 39.598 15.140

5 0,4 Spirulina sp. 39.598 14.558

6 0,5 Scenedesmus sp. 39.598 13.976


4.2.
7 0,6 Spirulina sp. 39.598 9.899

8 0,7 Spirulina sp. 39.598 8.735

Pembahasan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil kelimpahan plankton


sebelum pemberian dosis Algasida adalah 39.598 (ind/L). Setelah pemberian Algasida pada
dosis 0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5; 0,6 dan 0,7 ppm adalah 50.080; 36.686; 23.293; 15.140;
14.558; 13.976; 9.899; 8.735 (ind/L). Spesies plankton dominan yang didapatkan adalah
Spirulina sp. pada perlakuan 0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,6; 0,7 ppm dan Scenedesmus sp. pada
perlakuan 0,5 ppm.
Kelimpahan Plankton
60,000

50,000
Kelimpahan Individu/L

40,000
Sebelum Perlakuan
30,000
Setelah Perlakuan
20,000

10,000

0
0 1 2 3 4 5 6 7
Dosis Algisida/5 L

Gambar 6. Grafik Kelimpahan Plankton di Kolam BBI Pandak/FPIK

Berdasarkan grafik diatas kelimpahan plankton tertinggi adalah 50.080 ind/L setelah
pemberian Algasida 0 ppm. Sedangkan kelimpahan plankton terendah adalah 8.735 ind/L
setelah pemberian Algasida 0,7 ppm. Untuk kelimpahan plankton sebelum pemberian
Algasida pada masing – masing perlakuan adalah 39.598 ind/L. Menurut hasil yang
didapatkan pada masing-masing perlakuan semakin tinggi dosis yang diberikan maka
semakin tinggi penurunan kelimpahan plankton. Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan
dipengaruhi oleh beberapa parameter lingkungan dan karakteristik fisiologisnya. Komposisi
dan kelimpahan fitoplankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon terhadap
perubahan-perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia, maupun biologi (Agustini dan
Madyowati, 2014). Ketersedian nutrien, cahaya, pengadukan,masa tinggal air (water
residence time) dan suhu adalah faktor utama yang menentukan pertumbuhan dan komposisi
fitoplankton di waduk (Siagian, 2012). Hasil kelimpahan plankton secara keseluruhan
menunjukkan bahwa Spirulina sp. adalah spesies yang mendominasi. Kemungkinan hal
tersebut disebabkan karena keadaan perairan yang cocok sebagai habitat dari Spirulina sp.
sehingga dapat berkembang dengan baik. Cyanophyta lebih banyak dijumpai di daerah
dengan intensitas cahaya yang tinggi, terutama pada pertengahan musim kemarau. Selain itu,
cahaya juga berfungsi dalam memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu pada perairan,
dimana semakin lama dan besar intensitas cahaya, maka suhu air akan semakin meningkat.
Perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat, karena setiap
organisme perairan memiliki kisaran suhu minimum dan maksimum bagi kehidupannya
(Closs et al., 2006 dalam Retnaningdyah et al 2011).
Menurut Lei (2013), konsentrasi mikromolekul Cu dapat secara efektif menekan
sintesis klorofil, fiksasi N2 dan perkembangan komunitas fitoplankton. Penggunaan algasida
CuSO4 dapat menurunkan kelimpahan plankton karena terjadi penekanan sintesis klorofil dan
fiksasi N2, sehingga fitoplankton tidak dapat melakukan fotosintesis dan menghambat
perkembangan fitoplankton tersebut. Cara penghambatan larutan CuSO4 terhadap
pertumbuhan alga yaitu CuSO4 akan segera menembus ke dalam plasma sel alga dan
mengurangi laju fotosintesis. Hal tersebut menyebabkan terjadinya keracunan alat fotosintesis
sehingga fotosintesis dari fitoplankton tidak berjalan sempurna dan mengakibatkan kematian
fitoplankton sehingga kelimpahan fitoplanktonya menurun (Nielsen et al., 1969 dalam
Zulfiah, 2009).
Konsentrasi logam yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan sel karena sistem
perlindungan organisme tidak mampu mengimbangi efek toksisitas logam.mengakibatkan
kematian sel akibat keracunan diawali proses rusaknya kloroplas. Kerusakan kloroplas
menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis. Terganggunya aktivitas fotosintesis
menyebabkan kemampuan sel untuk memperbanyak diri menjadi berkurang. Hal ini
menyebabkan pertumbuhan dan pertambahan jumlah sel menjadi terhambat (Perales Vela et
al., 2007 dalam Pranajaya, 2014).
Dari masing – masing perlakuan hasil terbaik yang didapatkan adalah 8.735 ind/ L
dengan pemberian Algasida 0,7 ppm. Hal ini tidak sesuai dengen refrensi Cu yang terlarut
dalam badan
perairan dapat terbioakumulasi dan menjadi racun bagi organisme budidaya, dan
dapat menyebabkan kontaminasi ekosistem dari buangan budidaya (Carvalho & Fernandes,
2008 dalam Sihono et.al., 2014). Kandungan maksimum Cu pada air untuk aktivitas
budidaya menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air adalah 0,02 ppm.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilakukan kelimpahan plankton sebelum pemberian


Algasida adalah 39.598 ind/L, sedangkan setelah pemberian Algasida dosis 0,7 ppm adalah
8.735 ind/L. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi dosis pemberian Algasida semakin
baik dalam menghambat kelimpahan plankton.
5.2 Saran

Saat praktikum berlangsung, sebaiknya diakukan dengan metode yang baik dan
benar. Hal ini agar hasil yang didapatkan sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D,M., J,M, Burkholder., W,P, Cochlan., P,M, Gilbert., C,J, Gobler., C,A, Heil.,
R,M, Kudela., M,L, Parsons., J,E, Jack Rensel., D,W, Townsend., V,L, Trainer., G,A,
Vargo., 2008, Harmful algall blooms and eutrophication: Examining linkages from
selected coastal region of the United Stated, Harmful Algae., 8 (1): 39-53.
Kusumaningtyas.,M.A, Bramawanto.,A , Daulat., A dan W S. Pranowo. 2014. Kualitas
perairan Natuna pada musim transisi. Debik. 3 (1): 10-20.
Greenfield, Dianne I., Ashley Duquette., Abby Goodson., Charles J. Keppler., Sarah H.
Williams., Larissa M. Brock., Krista D. Stackley., David White and Susan B. Wilde.
2014. The Effects of Three Chemical Algaecides on Cell Numbers and Toxin Content
of the Cyanobacteria Microcystis aeruginosa and Anabaenopsis sp., Environmental
Management. 54:1110–1120.
Hasani, Q, Adiwilaga, E.M and Pratiwi, N.T.M. 2012. The Relationship between the Harmful
Algal Blooms (HABs) Phenomenon with Nutrients at Shrimp Farms and Fish Cage
Culture Sites in Pesawaran District Lampung Bay. Makara Journal of Science. 1 (3):
183–191.
Irawan A., Hasani Q., dan Yulianto H. 2015. Fenomena Harmful Algal Blooms (HABs) di
Pantai Ringgung Teluk Lampung, Pengaruhnya dengan Tingkat Kematian Ikan yang
Dibudidayakan pada Karamba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan
Vol. 15 (1): 48-53.
Jin, Zeng., Liuyan Yang,Z And Wen-Xiong Wang. 2010. High Sensitivity Of
Cyanobacterium Microcystis Aeruginosa To Copper And The Prediction Of Copper
Toxicity, Environmental Toxicology And Chemistry. 29(10): 2260–2268.
Lei, Zhongkai, Shuizhou Ke, Yi Tao, Jia Zhu, Xihui Zhang. 2013. Effect of CuSO4 and H2O2
on Controlling AlgalBiomass in Two Landscape Lakes. APEC Conference on Low-
carbon Towns and Physical Energy Storage. 5 (3):388–393.
Pang, Cui-chao., Xin-jian Fan., Jie Zhou., Shi-qiang Wu. 2013. Optimal dosing time of acid
algaecide for restraining algal growth. Water Science and Engineering Journal. 6 (4):
402-408
Paransa, Darus S. J., Kurnia K, Antonius P. Rumengan dan Desy M. H. M. 2014. Analisis
Jenis Pigmen dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Pigmen Xantofil Pada Alga
Coklat Sargassum polycystum (C.Agardh). Jurnal LPPM Bidang Sains dan
Teknologi. 1 (1): 90-96.
Qian, Haifeng, Shuqiong Yu, Zhengqi Sun, Xiucai Xie,Weiping Liu, Zhengwei Fu. 2010.
Effects of Copper Sulfate, Hydrogen Peroxide and N-Phenyl-2-Naphthylamine on
Oxidative Stress and The Expression of Genes Involved Photosynthesis and
Microcystin Disposition in Microcystis aeruginosa. Aquatic Toxicology. 1-8.
Sholihin, A., Qadar H., Herman Y. 2015. Hubungan Perubahan Kualitas Air Dan
Pertumbuhan Fitoplankton Berbahaya Pada Lingkungan Budidaya Ikan Di Perairan
Ringgung Teluk Lampung. Aquasains. 3 (2): 289-296.
Weliyadi Encik. 2013. Identifikasi Spesies Fitoplankton Penyebab Harmful Alga Bloom
(HAB) di Perairan Tarakan. Jurnal Harpodon Borneo. Vol.6(1) : 27-35.
Widiarti, Riani, Fitrian Anggraini. 2012. Distribusi Dinoflagellata Toksik pada Lamun
Enhalus acoroides di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. 4(2) : 259-266.
Widiyanti, N. L. P. M., I G. A N. Setiawan., I. A. P. Suryanti. 2015. Pengaruh Garam Dapur
Dan Cupri Sulphat Terhadap Pertumbuhan Alga Cyanophyta Yang Diisolasi Dari
Batu Bata Bangunan Pura Di Desa Tejakula Buleleng. Jurnal Sains dan Teknologi. 4
(2): 608-620.
Zulfiyah, E. 2009. Pencemaran Air Permukaan oleh Alga. Jurusan Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS. Surabaya.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai