Anda di halaman 1dari 25

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KEJADIAN

DISMENORE PADA REMAJA PUTRI DI SMA NEGERI 1 PRINGSEWU


TAHUN 2022

PROPOSAL

Oleh:

PUTRI MEILIANA

2019206203030

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut WHO (Word Health Organization) remaja merupakan penduduk


dalam rentang waktu usia 10-19 tahun (Wulanda et al., 2020). Remaja atau
adolescence yang berarti proses tumbuh menjadi dewasa dimana tahap ini
terjadi antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Para ahli merumuskan
bahwa istilah ini menunjukan masa dimana awal pubertas sampai
tercapainya kematangan yang dimulai dari usia 14 tahun pada laki-laki dan
12 tahun pada perempuan. Salah satu pubertas pada remaja perempuan
adalah menstruasi (Wahyuni & Oktaviani, 2018).

Menstruasi merupakan ciri khas kematangan secara biologis seorang


perempuan dan salah satu perubahan siklik yang terjadi pada alat
kandungan sebagai persiapan untuk kehamilan. Menstruasi secara klinik
dibagi menjadi tiga pengertian; (1) siklus menstruasi yaitu jarak antara hari
pertama dengan hari pertama menstruasi berikutnya, (2) lama menstruasi
yaitu jarak dari menstruasi pertama sampai pendarahan menstruasi
berhenti, (3) jumlah atau volume darah yang keluar selama satu kali
menstruasi. Dapat dikatakan normal apabila siklus menstruasi 21-35 hari,
lama menstruasi 3-7 hari dengan jumlah darah selama menstruasi
berlangsung tidak melebihi 80 ml atau ganti pembalut 2-6 kali per hari
(Yulianik, 2022). Menstruasi dapat dikatakan masa dimana keluarnya
darah dan jaringan pada endometrium yang menyebabkan terjadinya suatu
gangguan. Salah satu gangguan yang sering terjadi pada saat menstruasi
adalah dismenore (Kurniati et al., 2019).
Dimenore yaitu munculnya rasa nyeri atau kram pada bagian bawah perut
yang terjadi ketika menstruasi. Dismenore atau nyeri haid merupakan
suatu gejala dan bukan suatu penyakit yang sering menyebabkan remaja
putri pergi ke dokter untuk melakukan konsultasi dan pengobatan.
Gangguan ini bersifat subyektif, berat atau intensitasnya sukar dinilai.
Frekuensi dismenore cukup tinggi, tetapi sampai sekarang patogenesisnya
masih belum dapat dipecahkan dengan memuaskan (Saifuddin, 2011
dalam Fajarsari & Purwanti, 2022).Dismenore terbagi atas dua jenis yaitu
dismenore primer dan dismenore sekunder. Dismenore primer yaitu nyeri
haid dimana kondisi patologis tidak dapat didasari. Sedangkan dismenore
sekunder yaitu nyeri yang didasari dengan kondisi patologis (Oktorika et
al., 2020). Dismenore yang paling sering terjadi adalah dismenore primer,
dengan kemungkinan lebih dari 50% wanita mengalami dan 10-15%
sebagian mengalami nyeri haid hebat sehingga mempengaruhi aktivitas
kehidupan sehari-hari (Bahri dkk, 2015 dalam Widiyanto et al., 2020).

Berdasarkan data yang didapat dari WHO (Word Health Organization)


menurut Aprillia & Zurrahmi pada tahun 2021 angka kejadian dismenore
di dunia sangat besar dengan jumlah rata-rata 50% perempuan disetiap
negara mengalami nyeri haid atau dismenore (Dismenorea & Kabupaten,
2022). Menurut Kemenkes RI tahun 2016 prevalensi remaja putri di
Indonesia mengalami kejadian nyeri haid sekitar 55%. Dari hasil data
penelitian di Indonesia angka kejadian dismenore sebesar 64,25% yang
terdiri dari 54,89% dismenore primer dan 9,36% dismenore sekunder
(Susanti, 2018 dalam Wulanda et al., 2020). Di provinsi lampung angka
kejadian dismenore merupakan masalah utama yang dikeluhkan oleh
wanita pada saat menstruasi sebesar 71,4% (Pengesti et al., 2019).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Fitri (2021) data yang di dapat dari
Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, jumlah penduduk perempuan di
Kabupaten Pringsewu usia 10-19 tahun yaitu sebanyak 67.797 jiwa atau
8,14% dari 857.421 jiwa penduduk. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Pringsewu (2020) jumlah kunjungan pasien
dengan kejadian dismenore yaitu sebanyak 142 kasus.

Berdasarkan dari data prevalensi diatas faktor penyebab dismenore salah


satunya adalah status gizi. Status gizi dikelompokan menjadi 3 bagian
yaitu gizi kurang, gizi normal dan gizi lebih. Remaja dengan status gizi
kurang akan terganggunya fungsi reproduksi. Hal ini berdampak pada
gangguan dismenore, maka akan lebih baik apabila asupan nutrisi baik
pula (Nataria, 2011 dalam SYAFRIANI, 2021). Status gizi seseorang
dapat diukur melalui indeks massa tubuh (IMT) (Kurniati, 2019).

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan
untuk menilai proposionalitas perbandingan antara tinggi badan (TB) dan
berat badan (BB) sehingga dapat menentukan kriteria tubuh seseorang
(Irawan et al., 2022). Menurut WHO (Word Health Organization) indeks
massa tubuh (IMT) dapat diklarifikasikan menjadi 4 tingkatan yaitu
underweight, normal, overweight dan obesitas (kurniati, 2019 dalam
Dismenorea & Kabupaten, 2022).

Dari hasil penelitian Ariesthi dkk (2020) didapatkan hasil bahwa ada
hubungan antara indeks massa tubuh dengan dismenore dari 144 orang
responden ditunjukan dengan analisa korelasi cross sectional nilai Sig. (2-
tailed) indeks massa tubuh sebesar 0,003 < 0,05. Serta nilai koefisien
korelasi indeks massa tubuh adalah 0,250 yang artinya terdapat hubungan
antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kejadian dismenore. Berbeda
dengan hasil penelitian Widiyanto dkk (2020) yang menyatakan bahwa
tidak adanya hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian dismenore.
Didapat hasil analisa korelasi Spearman Rank diketahui signifikasi 0,180 >
0,05 maka dapat diartikan tidak ada hubungan signifikan antara variable
IMT dengan Dismenore.
Berdasarkan hasil dari penelitian diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan
Kejadian Desminore pada Remaja Putri di SMA N 1 Pringsewu Tahun
2022”.

B. Rumusan Masalah

Masalah kesehatan pada saat menstruasi yang sering terjadi adalah


desminore. Desminore merupakan munculnya nyeri atau kram pada bagian
bawah perut yang terjadi ketika menstruasi sehingga mempengaruhi
aktivitas kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya dismenore adalah status gizi pada indeks massa tubuh (IMT).
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu: “Adakah Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan
Kejadian Desminore pada remaja Putri di SMA N 1 Pringsewu Tahun
2022?”

C. Tujuan Masalah

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Kejadian


Dismenore pada Remaja Putri di SMA N 1 Pringsewu Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik responden berdasarkan usia, berat badan


(BB) dan tinggi badan (TB) pada remaja putri di SMA N 1
Pringsewu Tahun 2022.
b. Mengetahui distribusi frekuensi responden berdasarkan dismenore
pada remaja putri di SMA N 1 Pringsewu Tahun 2022.

c. Mengetahui distribusi frekuensi responden berdasarkan indeks


massa tubuh pada remaja putri di SMA N 1 Pringsewu Tahun
2022.

d. Mengetahui Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kejadian


Desminore pada remaja putri di SMA N 1 Pringsewu Tahun 2022.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah metode korelasi dengan pendekatan cross


selectional.

2. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah remaja putri yang mengalami dismenore


saat menstruasi maupun sebelum menstruasi di SMA N 1 Pringsewu
Tahun 2022.

3. Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini akan dilakukan di SMA N 1 Pringsewu Tahun


2022.

4. Variabel Penelitian
Variable penelitian ini terdiri dari dua variable yaitu; variable
independen yaitu indeks massa tubuh (IMT) dan variabel dependen
yaitu kejadian dismenore.

E. Manfaat Penelitian

1. Aplikasi

a. Bagi Remaja (Responden)

Diharapkan responden dapat mengetahui tentang hubugan IMT


dengan kejadian dismenore, agar dapat dijadikan sebagai
pertimbangan dalam upaya mengurangi nyeri pada saat menstruasi
atau mengalami dismenore. Serta mengembangkan wawasan,
pengetahuan dan informasi sebagai referensi dan sumber bacaan
mengenai hubungan IMT dengan kejadian dismenore.

b. Bagi Pihak Sekolah

Diharapkan mampu memberikan penyuluhan terhadap siswi


tentang gangguan pada saat menstruasi khususnya dismenore. Hal
ini dilakukan agar siswi mendapatkan fasilitas pembelajaran dalam
pengetahuan kesehatan.

2. Teoris

a. Bagi Institusi Pendidikan

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah


pengetahuan dan memberikan referensi tentang informasi ilmiah
dalam bidang kesehatan mengenai hubungan indeks massa tubuh
(IMT) dengan kejadian dismenore pada remaja putri.

b. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan penelitian ini meningkatkan kemampuan dan wawasan


dalam upaya melaksanakan penelitian serta hasil dapat digunakan
sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Disminore

1. Pengertian Dismenore

Secara etimologi dimenore berasal dari bahasa yunani yaitu; kata dya
artinya sulit, sakit, nyeri dan abnormal; meno artinya bulan; dan orrea
artinya aliran. Dysmenorrhea kondisi medis yang terjadi sewaktu haid
atau menstruasi yang dapat mengganggu aktivitas dan memerlukan
pengobatan yang ditandai dengan nyeri atau rasa sakit di daerah perut
atau panggul (Judha, 2012 dalam Natassia, 2022).

Dismenore merupakan masalah umum yang sering terjadi pada wanita


remaja dimana rasa nyeri muncul ketika menstruasi (Widagodo, 2017
dalam Harianti BR Ginting, 2021). Dismenore atau nyeri haid yaitu
suatu gejala yang sering menyebabkan remaja putri pergi kedokter
untuk melakukan konsultasi dan pengobatan karena adanya gangguan
yang bersifat subyektif, berat atau intensitasnya sukar dinilai
(Prawirohardjo, 2011 dalam Natassia 2022).

Dismenore adalah nyeri yang muncul ketika menstruasi dan


merupakan masalah umum yang terjadi pada wanita usia reproduksi
(Nurfadilah, 2021 dalam Dismenorea & Kabupaten, 2022). Dismenore
menyebabkan penderita merasakan kram dan nyeri pada bagian bawah,
punggung bawah dan paha yang dapat timbul sebelum atau saat
menstruasi. Salah satu faktor penyebab terjadinya dismenore yaitu
akibat tingginya jumlah prostaglandin dalam endometrium sehingga
menyebabkan kontraksi myometrium dan menyebabkan pembuluh
darah menyempit karena terjadinya iskemia menyebabkan nyeri
(Kurniati, 2019).

Beberapa uraian para ahli diatas peneliti berpendapat bahwa dismenore


merupakan salah satu masalah yang sering dialami remaja putri pada
saat menstruasi yang menimbulkan nyeri pada bagian bawah perut,
punggung bawah dan paha. Hal ini menyebabkan remaja putri sering
melakukan pengobatan dan konsultasi kedokter karena adanya
gangguan.

2. Klasifikasi Dismenore

Adapun klasifikasi dismenore menurut Anwar (2011) dalam Natassia


(2022) antaranya yaitu:

a. Dismenore Primer

Dismenore Primer merupakan nyeri haid tanpa ditemukan keadaan


patologi pada panggul. Dismenore primer berhubungan dengan
siklus ovulasi dan disebabkan oleh kontraksi myometrium
sehingga terjadinya iskemia akibat adanya prostaglandin yang
diproduksi oleh endrometrium fase sekresi. Molekul yang berperan
dalam dismenore yaitu prostaglandin F2a, yang selalu
menstimulasi kontraksi uterus, sedangkan prostaglandin E
menghambat kontraksi uterus. Terdapat peningkatan kadar
postagladin lebih tinggi dibandingkan perempuan tanpa keluhan
dismenore. Peningkatan kadar prostaglandin tertinggi saat haid
terjadi 48 jam pertama. Hal ini sejalan dengan awal munculnya dan
besarnya intensitas keluhan nyeri haid. Keluhan yang sering terjadi
yaitu mual, muntah, nyeri kepala atau diare sering menyertai
dismenore yang diduga karena masuknya prostaglandin ke
sirkulasi sistemik.

b. Dismenore Sekunder

Desminore sekunder merupakan nyeri haid yang berhubungan


dengan berbagai keadaan patologis diorgan genitalia seperti
endometriosis, adenomiosis, miomi uteri, stenosis servik, penyakit
radang panggul, perlekatan panggul atau irritable bowel syndrome.
Dismenore sekunder dapat terjadi kapan saja setelah haid pertama,
tetapi yang sering muncul di usia 20-30 tahunan dan setelah tahun-
tahun normal siklus tanpa nyeri. Peningkatan prostaglandin dapat
berperan pada dismenore sekunder, namun penyakit pelvis yang
sering menyertai haruslah ada.

3. Tanda dan Gejala Dismenore

Tanda dan gejala dismenore menurut Justia (2018) dalam Fitri (2021)
yaitu nyeri pada perut bagian bawah yang bisa menjalar ke punggung
bagian bawah dan tungkai, nyeri hilang tibul yang dirasakan saat
terjadinya kram atau nyeri yang muncul terus-menerus dan dapat
berlangsung dalam waktu beberapa jam maupun hari. Gejala yang
menyertainya adalah mual, muntah, sakit kepala, diare dan perubahan
emosional.

4. Penyebab Dismenore

Penyebab terjadinya dismenore berdasarkan klasifikasi menurut


Saraswati (2015) dalam (Harianti , 2021) yaitu:

a. Penyebab Dismenore Primer


1) Faktor endokrin adalah rendahnya kadar progesteron pada
akhir fase corpus luteum. Hormon progesteron menghambat
atau mencegah kontraktilitas rahim, sedangkan hormon
estrogen merangsang kontraktilitas rahim. Di sisi lain,
endometrium pada fase sekretorik menghasilkan prostaglandin
yang menyebabkan kontraksi otot polos. Jika kadar
prostaglandin berlebihan masuk ke dalam peredaran darah,
selain dismenore, dapat juga terjadi efek lain seperti mual,
muntah, diare, flushing (tidak terkontrol) pada sistem saraf
yang memicu pelebaran kapiler kulit, yang dapat berupa
pelebaran pembuluh darah kapiler. warna kemerahan atau
sensasi panas.
2) Kelainan organik seperti retrofleksi uterus (tata letak abnormal
dari arah anatomi uterus), hipoplasia uterus (perkembangan
uterus yang tidak sempurna), obstruksi saluran serviks
(obstruksi jalan lahir, mioma submukosa bertangkai dan polip
endometrium).
3) Faktor kejiwaan atau gangguan psikis seperti rasa bersalah,
ketakutan seksual, takut hamil, atau immaturitas (belum
mencapai kematangan).
4) Faktor konstitusi seperti anemia dan penyakit menahun juga
dapat mempengaruhi timbulnya dismenore.
5) Faktor alergi adalah toksin haid.

b. Penyebab Dismenore Sekunder


1) Endometriosis
2) Fibroid
3) Adenomiosis
4) Peradangan tuba fallopi
5) Perlengketan abnormal antara organ di dalam perut
6) Pemakaian IUD.

5. Pengukuran Dismenore

Menurut Potter (2005), karakakteristik paling subyektif pada nyeri


adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Hal ini dapat
dideskripsikan sebagai nyeri ringan, sedang atau parah. Skala
deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang
lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal atau Verbal Deskriptor Scale
(VDS) yaitu sebuah garis yang terdiri dari 3-5 kata yang dipakai untuk
mendeskripsikan rasa nyeri yang dialami. Pendeskripsi ini dapat
diskalakan dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan.
Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scale, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.

Gambar 1
Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana menurut Potter (2005)

6. Tingkatan Dismenore

Tingkatan menurut Asma’ulludin (2016) dapat ditinjau dari berat


ringannya rasa nyeri. Dismenore dapat dibagi menjadi 3 jenis, antara
lain:

a. Dismenore ringan
Dismenore dengan rasa nyeri yang berlangsung beberapa saat
sehingga perlu istirahat sejenak untuk menghilangkan nyeri tanpa
disertai pemakaian obat.

b. Dismenorea sedang
Dismenore yang memerlukan obat untuk menghilangkan rasa
nyeri, tanpa perlu meninggalkan aktivitas sehari-hari.

c. Dismenore berat
Dismenore yang memerlukan istirahat sedemikian lama dengan
akibat meninggalkan aktivitas sehari-hari selama 1 hari atau lebih.

7. Komplikasi Dismenore

Meskipun dismenore primer tidak mengancam nyawa tetapi bukan


berarti dapat dibiarkan begitu saja. Dismenore primer yang dibiarkan
tanpa penanganan akan menimbulkan suatu gejala. Dismenore primer
tanpa penanganan dapat menyebabkan; (1) Depresi; (2) Infertilitas; (3)
Gangguan fungsi seksual (4) Penurunan kualitas hidup akibat tidak
bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya; (5) Dapat memicu
kenaikan angka kematian (Titilayo et al. 2009). Dismenore primer
akan menurunkan kualitas hidup dan merugikan penderita apabila
tidak ditangani.

Menurut Alifa (2022) pada komplikasi dismenore sekunder terjadi


tergantung pada etiologi yang mendasari. Komplikasi yang mungkin
terjadi pada dismenore sekunder yaitu infertilitas, prolapse organ
panggul, pendarahan berat dan anemia.

8. Faktor yang Berhubungan dengan Dismenore


Faktor yang berhubungan dengan desminore primer menururt Novita
dan Puspita (2008;100-102) diantaranya yaitu:

a. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya dismenore primer.

b. Wanita yang belum menikah


Wanita yang sudah menikah mempunyai resiko lebih kecil untuk
mengalami nyeri saat menstruasi, karena keberadaan sperma suami
dalam organ reproduksi yang memiliki manfaat alami untuk
mengurangi produksi prostaglandin atau zat seperti hormon yang
menyebabkan otot rahim berkontraksi dan merangsang nyeri saat
menstruasi. Selain itu pada saat wanita melakukan hubungan
seksual otot rahim mengalami kontraksi yang mengakibatkan leher
rahim menjadi lebar.

Fakor yang berhubungan dengan terjadinya dismenore primer menurut


Andriani (2015) dalam Harianti (2021) diantaranya yaitu:

a. Indeks Massa Tubuh (IMT)


Seorang wanita dengan tubuh tidak ideal memiliki resiko lebih
besar terhadap kejadian dismenore. Tubuh yang ideal bukanlah
tubuh yang terlalu kurus ataupun yang terlalu gemuk. Seorang
wanita dengan tubuh terlalu kurus ataupun terlalu gemuk sangat
berpotensi mengalami dismenore, karena semakin rendah Indeks
massa tubuh maka tingkat dismenore akan semakin berat dan
sebaliknya, karena saat wanita semakin gemuk, timbunan lemak
memicu pembuatan hormon terutama estrogen.

b. Tingkat Stess
Stres seringkali terjadi secara tiba-tiba karena persoalan yang harus
dihadapi dalam kehidupan. Peningkatan tingkat stres menyebabkan
pengaruh negative pada kesehatan tubuh. Stres merupakan
penyebab timbulnya dismenore. Semakin tinggi tingkat stres maka
akan semakin tinggi pula tingkat dismenore.

c. Aktifitas Fisik
Dalam kehidupan sehari-hari sangat dianjurkan untuk melakukan
aktivitas fisik untuk kepentingan kesehatan. Aktifitas fisik jika
dilakukan dengan benar akan memberikan manfaat bagi tubuh.
Semakin rendah aktifitas fisik maka tingkat dismenore akan
semakin berat dan sebaliknya.

9. Dampak Dismenore

Menurut penelitan Fitri (2021) dampak yang terjadi pada gangguan


dismenore antara lain yaitu gangguan aktivitas hidup sehari-hari,
gelisah, depresi, menstruasi yang bergerak mundur (regtrograde)
kemandulan (infertilitas), kehamilan tak terdeteksi, etopik pecah, kista
pecah, perforasi rahim dari IUD dan infeksi.

10. Penatalaksanaan Dismenore

Menurut Anurogo (2011) dalam Muhammad (2017) penatalaksanaan


dismenore primer meliputi penatalaksanaan farmakologi dan non
farmakologi, yaitu:

a. Terapi Farmakologi
Penanganan dismenore yang dialami oleh individu dapat melalui
intervensi farmakologi. Terapi farmakologi, penanganan dismenore
meliputi beberapa upaya. Upaya farmakologi pertama yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan obat analgetik yang
berfungsi sebagai penghilang rasa sakit. Obat obatan paten yang
beredar dipasaran antara lain novalgin, ponstan, acetaminophen
dan sebagainya. Upaya farmakologi kedua yang dapat dilakukan
adalah dengan pemberian terapi hormonal. Tujuan terapi hormonal
adalah menekan ovulasi, bersifat sementara untuk membuktikan
bahwa gangguan yang terjadi benar-benar dismenore primer.
Tujuan ini dapat dicapai dengan memberikan salah satu jenis pil
kombinasi kontrasepsi.

b. Terapi Non Farmakologi


Selain terapi farmakologi, upaya untuk menangani dismenore
adalah terapi non farmakologi. Terapi nonfarmakologi merupakan
terapi alternatifkomplementer yang dapat dilakukan sebagai upaya
menangani dismenore tanpa menggunakan obat-obatan kimia.
Tujuan dari terapi non farmakologi adalah ntuk meminimalisir efek
dari zat kimia yang terkandung dalam obat. Penanganan nyeri
secara nonfarmakologi terdiri dari:
1) Terapi es dan panas
Terapi es dan terapi panas dapat dilakukan menggunakan air
hangat atau es batu yang dimasukkan ke dalam wadah
kemudian dikompreskan pada bagian yang terasa nyeri. Terapi
es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat
sensitifitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera
dengan menghambat proses inflamasi. Sedangkan terapi panas
mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu
area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan
memprcepat penyembuhan.
2) Penjelasan dan Nasehat
Penjelasan dan nasehat merupakan upaya penambahan
wawasan untuk penderita dismenore. Memberikan edukasi
kepada klien merupakan tugas seorang perawat. Menurut Judha
(2012) pemberian edukasi mengenai dismenore, meliputi apa
saja yang dapat menyebabkan bertambahnya nyeri, teknik apa
saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri. Selain
itu dapat dilakukan dengan cara berdiskusi mengenai pola
makan yang benar dan makanan yang sehat, istirahat yang
cukup, serta menentukan olahraga yang sesuai.
3) Pengobatan Herbal
Pengobatan herbal tergolong pengobatan yang paling diminati
oleh masyarakat. Disamping biaya yang murah, pengobatan
herbal bisa dilakukan dengan mudah. Menurut Anurogo (2011)
pengobatan herbal dapat dilakukan dengan membuat minuman
dari tumbuhtumbuhan seperti kayu manis (mengandung asam
sinemik untuk meredakan nyeri), kedelai (mengandung
phytoestrogens untuk menyeimbangkan hormon), cengkeh,
ketumbar, kunyit, bubuk pala, jahe.
4) Relaksasi
Sama seperti pengobatan herbal, saat ini relaksasi merupakan
cara yang banyak dipilih untuk digunakan. Relaksasi cukup
mudah untuk dilakukan kapan saja dan dimana saja. Relaksasi
merupakan teknik pengendoran atau pelepasan ketegangan.
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas abdomen
dengan frekuensi lambat, berirama, teknik relaksasi nafas
dalam (contoh: bernafas dalam-dalam dan pelan). Berbagai
cara untuk relaksasi diantaranya adalah dengan meditasi, yoga,
mendengarkan musik, dan hipnotherapy. Relaksasi juga dapat
dilakukan untuk mengontrol sistem saraf.

B. Konsep Indeks Massa Tubuh (IMT)


1. Pengertian Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks masa tubuh (IMT) merupakan salah satu pengukuran status gizi
dengan hasil perhitungan diperoleh dari perbandingan BB (Berat
Badan) dan TB (Tinggi Badan) melalui rumus BB/TB2(kg/m2). Wanita
dengan indeks masa tubuh (IMT) kurang dari berat badan normal dan
kelebihan berat badan (overweight) lebih mungkin untuk menderita
dismenore jika dibandingkan dengan wanita dengan IMT normal
(Nurul Yuda Putra et, 2016 dalam Putri & Lulianthy, 2022). Status gizi
berkaitan erat dengan tingkat kejadian dismenore. Pada wanita dengan
IMT kurang dari berat normal dapat menjadi salah satu faktor
konstitusi yang dapat menyebabkan kurangnya daya tahan tubuh
terhadap rasa nyeri sehingga dapat terjadi dismenore.(Larasati, T. A. &
Alatas, 2016 dalam Putri & Lulianthy, 2022).

Penggunaan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai para meter dalam


menentukan total lemak tubuh seseorang memiliki beberapa
keuntungan dan kekurangandibandingkan dengan cara yang lain.
Pengukuran ini dapat memperkirakan total lemak tubuh dengan
perhitungan yang sederhana, cepad dan mudah dalam populasi
tertentu. Pengukuran indeks massa tubuh yang sering digunakan dan
dilakukan dalam studi epidemiologi. Indeks massa tubuh memiliki
kelemahan yaitu tidak dapat menjelaskan tentang distribusi lemak
dalam tubuh seperti obesitas sentral, obesitas abdominal maupun
menggambarkan jaringan lemak viseral (Thang et al, 2006 dalam
Akbar, 2016 dalam Fitri, 2021).

2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT)

Berdasarkan antropometri Kemenkes (2015) dalam Fitri (2021)


klasifikasi pada indeks massa tubuh antara lain, yaitu:
Table 2.1
Klasifkasi Indeks Massa Tubuh

No Indeks Massa Tubuh Klasifikasi


1 <18,5 Kurus (Kurang)
2 18,5-22,9 Normal (Ideal)
3 23-29,9 Kelebihan (Overweight)
4 30-34,9 Kegemukan (Obesitas) Tingkat I
5 35-39,9 Kegemukan (Obesitas) Tingkat II
6 >40 Kegemukan (Obesitas) Tingkat III
Sumber: Kemenkes (2015) dalam Fitri (2021)

Pengukuran indeks massa tubuh (IMT) yang digunakan pada remaja


yaitu umur anak 5-18 tahun (Kemenkes, 2015)

3. Komponen Indeks Massa Tubuh (IMT)

Komponen dalam indeks massa tubuh (IMT) menurut Arisman (2011)


dalam Akbar (2016) dalam Fitri (2021) diantaranya yaitu:
a. Tinggi badan (TB)
Tinggi badan seseorang dapat diukur dengan posisi keadaan badab
berdiri tegak lurus tanpa menggunakan alas kaki, kedua tangan
merapat ke badan dalam keadaan menggantung relaks di samping
badan, punggung dan bokong menempel pada dinding serta
pandangan mengarah kedepan. Bagian pengukur yang dapat
bergerak sejajar dengan bagian atas kepala (vertex) dan harus di
perkuat pada rambut kepala yang tebal.

b. Berat badan (BB)


Penimbangan berat badan dapat dilakukan pada pagi hari pada saat
bangun sebelum sarapan sesudah 10-12 jam pengosongan
lambung. Pada timbangan badan perlu dikolaborasi pada angka nol
sebagai permulaan dan memiliki ketelitian 0,1 kg. berat badan
(BB) dapat dijadikan sebagai ukuran terpercaya dengan
mengkombinasikan dan pertimbangannya terhadap parameter
lainnya seperti tinggi badan, dimensi kerangka tubuh, proporsi
lemak, otot, tulang dan komponen berat patologis yaitu seperti
edeme dan splenomegali.

4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan indeks massa tubuh

Beberapa faktor yang berhubungan dengan indeks massa tubuh (IMT)


menurut Akbar (2016) dalam Fitri (2021) antara lain, yaitu:

a. Usia
Pada usia remaja tidak semua memiliki kategori indeks massa
tubuh (IMT) yang sama terkadang ada yang memiliki kategori
normal, kurus dan obesitas. Subjek penelitia pada kelompok usia
remaja akhir. Keadaan ini dicurigai karena lambatnya proses
alternative, berkurangnya aktivitas fisik dan frekuensi konsumsi
makanan yang berlebih.

b. Jenis kelamin
Kategori kelebihan berat badan pada indeks massa tubuh lebih
banyak ditemukan pada laki-laki. Akan tetapi, angka kejadian
obesitas lebih tinggi banyak ditemukan pada perempuan.

c. Genetik
Hasil beberapa penelitian terdahulu menunjukan bahwa terdapat
lebih dari 40% variasi indeks massa tubuh (IMT) dijelaskan karena
faktor genetic yang berhubungan dengan generasi pertama
keluarga. Studi lain yang berfokus pada pola keturunan dan gen
spesifik telah menemukan sebesar 80% bahwa keturunan dari
orang tua yang obesitas juga mengalami obesitas dan kurang dari
10% memiliki berat badab normal.

d. Pola makan
Pola makan berkenaan dengan jenis, proporsi dan kombinasi
makanan yang dimakan oleh seorang individu, masyarakat atau
sekelompok populasi tertentu. Memakan makanan cepat saji
berkontribusi sangant besar terhadap peningkatan indeks massa
tubuh (IMT) sehingga seseorang dapat menjadi obesitas. Hal ini
terjadi karena kandungan lemak dan gula yang tinggi masuk
kedalam tubuh pada makanan cepat saji.

e. Aktivitas fisik
Pada aktivitas fisik menggambarkan gerakan tubuh seseorang
disebabkan oleh kontraksi otot yang menghasilkan energi
ekspenditur. Menjaga kesehatan tubuh perlu membutuhkan
aktivitas sedang atau bertenaga dan dilakukan kurang lebih 30
menit setiap harinya dalam seminggu.

5. Cara Menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT)

Menurut WHO (Word Health Organization) (2011) dalam Akbar


(2016) metode pengukuran indeks massa tubuh (IMT) pada sampel
maka dilakukan dengan cara yaitu sampel ukur terlebih dahulu diukur
melalui berat badan dengan timbangan kemudian di ukur tinggi badan
dan masukan kedalam rumusan di bawah ini.

Tabel 2.2
Rumusan Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) = Berat Badan (BB)


[Tinggi Badan (TB)]2

Kemudian interpretasi hasil indeks massa tubuh (IMT) yang didapat


kedalam klasifikasi IMT menurut WHO (Word Health Organization)
di atas.

C. Kerangka Teori

Menurut Arikunoto (2016), kerangka teori merupakan wadah yang


menerangkan variable atau pokok permasalahan yang terkandung dalam
penelitian. Teori-teori tersebut digunakan sebagai bahan acuan untuk
pembahasan selanjutnya. Dengan demikian, kerangka teori disusun agar
penelitian diyakinni kebenarannya.

Kerangka teori yang dalam penelitian ini, yaitu:

Table 3.1
Kerangka Teori

Desminore
Faktor yang semakin rendah Indeks
mempengaruhi: massa tubuh maka tingkat
dismenore akan semakin
1. Riwayat keluarga
Faktor yang berat dan sebaliknya,
2. Wanita yang belum mempengaruhi: karena saat wanita
menikah semakin gemuk,
1 Usia timbunan lemak memicu
3. Indeks Massa Tubuh .
pembuatan hormon
(IMT) 2 Jenis
. kelamin terutama estrogen.
3 Genetik
.
4 Pola
. makan
4. Tingkat stress
5. Aktivits fisik
Indeks Massa Tubuh
(IMT)
Sumber:

DAFTAR PUSTAKA

Ariesthi, K. D., Fitri, H. N., & Paulus, A. Y. (2020). Pengaruh Indeks Massa
Tubuh (IMT) dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Dismenore pada
Remaja Putri di Kota Kupang. Chmk Health Journal, 4(2), 166–172.
Dismenorea, K., & Kabupaten, D. I. (2022). Hubungan indeks massa tubuh (imt)
dengan kejadian dismenorea di kabupaten bulukumba. 4(1), 39–45.
Fajarsari, D., & Purwanti, S. (2022). Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
dismenorea pada siswi smk citra bangsa mandiri purwokerto di masa
pandemi Covid-19. Jurnal Bina Cipta Husada, 18(1), 118–130.
http://jurnal.stikesbch.ac.id/index.php/jurnal/article/view/65
HARIANTI BR GINTING, F. (2021). Hubungan Aktivitas Fisik Dan Status Gizi
Dengan Keluhan Dismenore Pada Remaja Putri.
Irawan, Q. P., Utami, K. D., & Reski, S. (2022). Hubungan Indeks Massa Tubuh (
IMT ) dengan Kadar HbA1c pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di
Rumah Sakit Abdoel Wahab Sjahranie. 1(5), 459–468.
Kurniati, B., Amelia, R., & Oktora, M. Z. (2019). Hubungan Indeks Massa Tubuh
dengan Kejadian Dismenore pada Mahasiswi Angkatan 2015 Fakultas
Kedokteran Universitas Baiturrahmah Padang. Health & Medical Journal,
1(2), 07–11. https://doi.org/10.33854/heme.v1i2.234
Muhammad, J. (2017). Pengaruh Hypnotherapi terhadap Dismenore. Study
Mahasiswa S1 Keperawatan UMM, 4(1), 12–98.
Oktorika, P., Indrawati, & Sudiarti, P. E. (2020). Hubungan Index Masa Tubuh
(Imt) dengan Skala Nyeri Dismenorea pada Remaja Putri dii Sma Negeri 2
Kampar. Jurnal Ners Research & Learning in Nursing Science, 4(23), 122–
129. https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/ners/article/view/
1138
Pengesti, A., Pranajaya, R., & Nurchairina, N. (2019). Stres Pada Remaja Puteri
Yang Mengalami Dysmenorrhea Di Kota Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Sai Betik, 14(2), 141. https://doi.org/10.26630/jkep.v14i2.1297
Putri, D. K., & Lulianthy, E. (2022). RELATIONSHIP OF THE BODY MASS
INDEX ( BMI ) OF ADOLESCENTS AND. 8.
SYAFRIANI, S. (2021). Hubungan Status Gizi Dan Umur Menarche Dengan
Kejadian Dismenore Pada Remaja Putri Di Sman 2 Bangkinang Kota 2020.
Jurnal Ners, 5(1), 32–37. https://doi.org/10.31004/jn.v5i1.1676
Wahyuni, R. S., & Oktaviani, W. (2018). Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan
Dismenore pada Remaja Putri SMP PGRI Pekanbaru. Jurnal Endurance,
3(3), 618. https://doi.org/10.22216/jen.v3i3.2723
Widiyanto, A., Uti, A. D. L., & Sab’ngatun. (2020). HUBUNGAN INDEKS
MASSA TUBUH DENGAN DISMENOREA Relationship Between Body
Mass Index And Dysmenorrhea. Journal of Health Research, 3(2), 131–141.
Wulanda, C., Luthfi, A., & Hidayat, R. (2020). Efektifitas Senam Disminore Pada
Pagi Dan Sore Hari Terhadap Penanganan Nyeri Haid Pada Remaja Putri
Saat Haid Di SMPN 2 Bangkinang Kota Thun 2019. Jurnal Kesehatan
Tambusai, 1(1), 1–11.
Kesehatan Reproduksi Remaja. (2022). (n.p.): Get Press.
Monograf: Aromaterapi Lavender untuk Dismenore. N.p., Media Sains
Indonesia, 2022.

Anda mungkin juga menyukai