Anda di halaman 1dari 21

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Muara Sungai Tapak berada di wilayah Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota

Semarang. Aliran muara Sungai Tapak digunakan masyarakat sebagai area pertambakan,

industri keramik, pertanian, dan berbagai kegiatan domestik. Aktivitas industri di aliran

muara Sungai Tapak seperti PT Golden Manyaran serta kegiatan domestik dan dapat

menyebabkan muara Sungai Tapak menjadi tercemar. Limbah PT Golden Manyaran

mengandung salah satu logam Pb yang berbahaya bagi perairan. Logam Pb yang masuk ke

muara sungai Tapak akan terakumulasi pada air, sedimen maupun biota yang terdapat pada

muara. Penelitian mengenai akumulasi logam Pb pada air, sedimen dan kerang hijau di muara

Sungai Tapak, Kecamatan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang dilakukan pada bulan

Juli 2018. Pengambilan data pada lokasi penelitian terdiri atas parameter utama yaitu

kandungan logam Pb pada air, sedimen dan kerang hijau serta parameter pendukung berupa

parameter fisika kimia perairan. Hasil data pendukung yang diperoleh selama penelitian dapat

dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 6. Stasiun I (Perairan sekitar sumber cemaran dari PT Golden Manyaran


Semarang yang merupakan industri keramik).
Stasiun I merupakan daerah aliran Sungai Tapak yang masuk paling awal pada aliran

muara. Stasiun ini merupakan stasiun yang paling dekat dengan sumber cemaran yang berasal

dari industri keramik dan alumunium dibandingkan stasiun lainnya. Aliran air yang masuk

pada stasiun ini langsung berasal dari sumber cemaran yang limbahnya dibuang secara

langsung ke aliran tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran parameter pendukung pada stasiun

I yaitu temperatur berkisar 29-30oC dengan rataan 29oC, kekeruhan berkisar 387-399 NTU

dengan rataan 394 NTU, dan salinitas berkisar 9-15 ppt dengan rataan 11 ppt. Secara kimia

kondisi stasiun I memiliki nilai pH berkisar 7,21-7,71 dengan rataan 7,5, nilai oksigen terlarut

berkisar 2,1-3,76 mg/L dengan rataan 2,8 mg/L, BOD berkisar 90,4-120,4 mg/L dengan

rataan 102,9 mg/L, COD berkisar 97-208,82 mg/L dengan rataan 121,02 mg/L.

Gambar 7. Stasiun II (800 m ke arah muara Sungai Tapak dari stasiun I)

Stasiun II merupakan aliran Sungai Tapak yang memiliki jarak 800 m menuju muara

dari stasiun I. Pada stasiun ini sudah terdapat beberapa pohon mangrove dan beberapa

tambak. Stasiun II juga merupakan stasiun yang digunakan sebagai aliran masuk air menuju

tambak. Stasiun ini digunakan sebagai tempat berkumpul perahu yang digunakan nelayan

sebagai alat transportrasi di muara. Berdasarkan hasil parameter pendukung dari stasiun II

didapatkan nilai temperatur berkisar 28-29 oC dengan rataan 28oC, kekeruhan berkisar 272-

280 NTU dengan rataan 279, dan salinitas berkisar 27-29 ppt dengan rataan 28 ppt.
Berdsarakan parameter kimia stasiun II memiliki nilai pH berkisar 7,2-7,6 dengan rataan

7,32, oksigen terlarut berkisar 3-4 mg/L dengan rataan 3,4 mg/L, BOD berkisar 32,4-52,4

mg/L dengan rataan 44,2 mg/L, COD berkisar 56,4-141,8 mg/L dengan rataan 101,56 mg/L.

Gambar 8. Stasiun III (800 m ke arah muara Sungai Tapak dari stasiun II)

Stasiun III merupakan aliran Sungai Tapak yang memiliki jarak 800 m menuju muara

dari stasiun II atau 1.600 m dari stasiun I. Pada stasiun ini terdapat pohon mangrove dan

beberapa tambak. Stasiun III juga merupakan stasiun yang digunakan sebagai aliran masuk

air menuju tambak yang terdapat di muara. Staisun III merupakan stasiun yang digunakan

sebagai jalur utama transportasi yang digunakan oleh nelayan. Berdasarkan hasil parameter

pendukung pada stasiun III yaitu temperatur berkisar 29-30oC dengan rataan 29,5oC,

kekeruhan berkisar 98-106 NTU dengan rataan 102 NTU, dan salinitas berkisar 28-30 ppt

dengan rataan 29,5 ppt. Berdsarakan parameter kimia stasiun III memiliki nilai pH berkisar

6,7-7,6 dengan rataan 7,41, oksigen terlarut berkisar 3,1-4,1 mg/L dengan rataan 3,6 mg/L,

BOD berkisar 6,4-18,4 mg/L dengan rataan 10,4 mg/L, COD berkisar 9,21-17,5 mg/L dengan

rataan 13,78 mg/L.


Gambar 9. Stasiun IV (800 m dari stasiun III merupakan muara Sungai Tapak)

Stasiun IV merupakan titik akhir muara Sungai Tapak dan stasiun yang paling jauh

dari sumber cemaran. Pada stasiun ini sudah tidak terdapat pohon mangrove, hanya terdapat

beberapa tambak. Stasiun IV juga bukan merupakan jalur utama perahu yang digunakan

nelayan. Stasiun IV hanya digunakan sebagai masukan air dari muara menuju tambak yang

ada di sekitarnya. Berdasarkan parameter pendukung pada stasiun IV yaitu temperatur

berkisar 29-32oC dengan rataan 29,5oC, kekeruhan berkisar 80-84 NTU dengan rataan 83

NTU, dan salinitas berkisar 30-31 ppt dengan rataan 30,5 ppt. Berdsarakan parameter kimia

stasiun IV memiliki nilai pH berkisar 6,8-7,3 dengan rataan 7, oksigen terlarut berkisar 3,0-

4,8 mg/L dengan rataan 4 mg/L, BOD berkisar 2,6-3,9 mg/L dengan rataan 3,3 mg/L, COD

berkisar 11-14,2 mg/L dengan rataan 12,42 mg/L.

IV.2. Kandungan Logam Berat Pb pada Perairan

IV.2.1. Kandungan Logam Berat Pb pada Media Air

Hasil pengukuran logam Pb pada media air stasiun I berkisar 0,9862-0,9985 mg/L

dengan rataan 0,9913±0,0063 mg/L, pada stasiun II berkisar 0,4780-0,5622 mg/L dengan

rataan 0,5286±0,0446 mg/L, stasiun III berkisar 0,4315-0,5101 mg/L dengan rataan

0,4668±0,0398 mg/L dan stasiun IV berkisar 0,1463-0,2987 mg/L dengan rataan


0,2186±0,0746 mg/L. Kandungan logam Pb pada media air di Muara sungai Tapak, Tugurejo

Semarang disajikan pada Gambar 10.

NAB 0,008 mg/L


1.2 0.9913

0.8
KandunganPbair(mg/L)

0.5286 0.4668
0.6 a

0.4 0.2188

0.2 b
b c
0
I II III IV
Stasiun
Huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata
(P>0,05)
Gambar 10. Grafik rataan dan standar deviasi logam Pb air di muara Sungai Tapak,
Tugurejo Semarang.
Gambar 10 menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb pada media air antara

stasiun I dengan stasiun II, stasiun III, dan stasiun IV, antara stasiun II dengan stasiun IV,

serta antara stasiun III dengan stasiun IV berbeda nyata (P<0,05). Hal ini disebabkan karena

beberapa faktor yaitu lokasi pengambilan sampel, sedimentasi, dan salinitas. Lokasi

pengambilan sampel stasiun I berada di sekitar sumber cemaran yang berasal dari industri

keramik. Letak stasiun lainnya berada lebih jauh (800 m) dari sumber cemaran sehingga

kandungan logam berat akan semakin berkurang dari stasiun I menuju stasiun IV karena

pengenceran dari pola pasang surut. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Prasetyo et al

(2015) bahwa suatu perairan yang berada semakin jauh dari sumber cemaran maka nilai

cemaran akan menurun bahkan menghilang dari perairan karena mengalami pengenceran.

Wulandari (2012) juga menyatakan bahwa kecepatan dan arah pasang surut mempengaruhi

tingginya konsentrasi bahan organik dan logam berat di perairan dengan pengendapan dalam

sedimen. Keberadaan pola pergerakan arus laut juga berperan dalam penyebaran dan

pengenceran senyawa kimia di laut (Prasetyo et al., 2015).


Sedimentasi juga dapat menyebabkan penurunan logam Pb pada media air.

Sedimentasi yang tinggi disebabkan oleh nilai kekeruhan (TSS). Nilai kekeruhan yang tinggi

dapat membentuk flok bahan organik dan logam berat yang kemudian akan mengendap di

perairan dan mengakibatkan penurunan kandungan logam (R= 0,7546) (Lampiran 14).

Sedimentasi yang terdapat pada stasiun I lebih kecil dibandingkan stasiun lainnya, hal ini

dikarenakan pada stasiun I logam berat hanya berada sesaat pada stasiun tersebut kemudian

akan terbawa arus menuju stasiun IV dan mengalami sedimentasi. Hal ini sesuai dengan

pernyataan dari Rochyatun et al (2006) bahwa Logam berat yang semula terlarut dalam air

sungai lama kelamaan akan diadsorbsi oleh partikel halus (suspended solid) dan oleh aliran

air sungai dibawa ke muara. Air sungai bertemu dengan arus pasang di muara sungai,

sehingga partikel halus tersebut mengendap di muara sungai. Rochyatun dan Rozak (2007)

juga menyatakan pada umumnya muara sungai mengalami proses sedimentasi, dimana logam

yang sukar mengalami proses pengenceran yang berada di kolom air lama kelamaan akan

turun ke dasar dan mengendap dalam sedimen.

Salinitas berpengaruh dalam peningkatan kandungan logam berat pada air.

Kandungan logam berat akan meningkat seiring dengan menurunnya salinitas. Salinitas

stasiun I (11 ppt) mengalami peningkatan di stasiun II, stasiun III, dan stasiun IV (28 ppt;

29,5 ppt; 30,5 ppt) karena semakin mendekati perairan muara, menurut analisis korelasi nilai

salinitas dengan kandungan logam Pb di air juga terdapat hubungan yang significant (R=

0,9018) (Lampiran 15). Hal ini sesuai dengan pernyataan Suryono (2016) bahwa perairan

yang mengandung salinitas dan klorida (Cl) yang tinggi dan bersifat basa, maka senyawa

logam dalam air laut umumnya berbentuk kompleks dengan klorida dan hidroksida maka

logam berat dalam air cenderung membentuk suatu ikatan sehingga akan mengendap ke dasar

perairan. Menurut Hutagalung (1991), penurunan salinitas dapat menyebabkan tingkat

bioakumulasi semakin besar karena ketersediaan logam berat tersebut semakin meningkat.
Berdasarkan kandungan logam Pb di perairan, stasiun I hingga stasiun IV sudah melebih

ambang baku, dan merupakan perairan tercemar logam berat Pb yang tidak mendukung bagi

kehidupan biota akuatik.

Kandungan logam berat Pb antara sasiun II dengan stasiun III menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini karena jarak masing-masing stasiun relatif

berdekatan sehingga masih mengalami pengaruh dan karateristik yang sama oleh logam berat

pada tiap stasiun. Pasang surut, dan aliran arus juga membawa cemaran yang teraduk menuju

masing-masing stasiun menuju muara. Hal ini didukung oleh pernyataan Fathiyah et al

(2017) bahwa pola pasang surut dan aliran arus pada daerah estuari dapat mendistribusikan

cemaran menuju hilir sungai sampai menuju muara dengan pola spasial tertentu.

Akumulasi logam Pb pada media air pada berbagai muara dapat memiliki nilai yang

berbeda sesuai dengan kondisi perairan masing-masing. Akumulasi logam Pb dapat

mengakibatkan meningkatnya akumulasi pada media sedimen dan biota yang berbahaya bagi

eksosistem muara. Penelitian Putri et al (2014) di muara Sungai Manyar, Gresik yang

menyatakan kandungan logam berat Pb pada media air berkisar 0,31–0,57 mg/L sedangkan

pada perairan muara Sungai Tapak kandungan logam Pb berkisar 0,2188-0,9963 mg/L. Hal

ini menunjukkan kondisi perairan di muara Sungai Tapak Tugurejo, Semarang memiliki

kandungan logam berat Pb lebih tinggi dibandingkan di muara Sungai Manyar, Gresik.
IV.2.2. Kandungan Logam Berat Pb pada Media Sedimen

Hasil pengukuran logam Pb pada media sedimen memiliki kisaran dan rataan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan logam Pb pada media air. Kisaran nilai logam

Pb pada sedimen pada stasiun I 3,4420-5,1152 mg/kg dengan rataan 4,3309±0,6964 mg/kg,

pada stasiun II berkisar 3,0440-4,1209 mg/kg dengan rataan 3,6508±0,5006 mg/kg, stasiun

III berkisar 2,0107-2,8150 mg/kg dengan rataan 2,2905±0,3620 mg/kg dan stasiun IV

berkisar 1,6895-2,0990 mg/kg dengan rataan 1,9459±1932 mg/kg. Kandungan logam Pb

sedimen di muara Sungai Tapak, Tugurejo Semarang disajikan pada Gambar 11.

6
4.3309
kandungan Pb sedimen (mg/kg)

5
3.6508
4

3 2.2905
1.9459

2
a
1 ab
bc c
0
I II III IV
Stasiun
Huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata
(P>0,05)
Gambar 11. Grafik rataan dan standar deviasi logam Pb pada air di muara Sungai Tapak,
Tugurejo Semarang.
Gambar 11 menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb pada media sedimen

antara stasiun I dengan stasiun III, antara stasiun I dengan stasiun IV, dan antara stasiun II

dengan stasiun IV menujukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Hal tersebut disebabkan

karena lokasi pengambilan sampel, kandungan logam berat air dan kandungan bahan organik

(COD). Jarak stasiun I berada di sekitar sumber cemaran sedangkan stasiun II (800 m), III

(1600 m) dan stasiun IV (2400 m) lebih jauh dari sumber cemaran. Hal ini menyebabkan

perbedaan kandungan logam berat sedimen antara stasiun I hingga stasiun IV. Sesuai dengan
pernyataan Ali et al (2013) bahwa semakin jauh dari sumber cemaran maka konsentrasi

cemaran akan mengalami pengenceran dan mengalami penurunan.

Berdasarkan kandungan logam berat pada media air stasiun I hingga stasiun IV

mengalami penurunan (Gambar 10). Meningkatnya logam berat di perairan akan

meningkatkan logam berat sedimen karena logam berat mengalami pengendapan dan

sedimentasi (R = 0,7789) (Lampiran 8). Menurut Suryono (2016) bila diuji secara korelasi

menunjukkan logam berat dalam perairan tinggi maka akan diikuti tingginya logam berat

dalam sedimen dengan R= >0,5 maka menunjukkan bahwa terdapat kolerasi yang kuat. Dari

berbagai argumen para penliti sebelumya dan hasil penelitian di daerah Tugu Semarang dapat

disimpulkan bahwa terjadi konektifitas logam berat dalam air laut dan sedimen di wilayah

pesisir Tugu Semarang. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Supriyantini et al (2017)

bahwa sifat dari logam berat itu sendiri mudah berikatan dengan partikel-partikel yang pada

akhirnya akan mengendap dan bercampur dengan sedimen di dasar perairan. Logam berat

yang semula terlarut dalam air sungai diadsorbsi oleh partikel halus (suspended solid) dan

dibawa ke muara oleh aliran sungai. Air sungai bertemu dengan arus pasang di muara sungai,

sehingga partikel halus tersebut mengalami pengenceran, pengendapan dan dispersi di muara

sungai. Hal inilah yang menyebabkan kadar logam berat dalam sedimen muara lebih tinggi

dari laut lepas. Proses alami cenderung menghilangkan logam Pb dari air dan menyimpannya

dalam sedimen di mana ketersediaannya berbahaya untuk organisme akuatik (ILA, 2018).

Bahan organik juga mempengaruhi kandungan logam berat Pb pada sedimen yang

berasal dari kegiatan manusia. Hasil pengukuran kualitas air seperti COD menujukkan bahwa

pada stasiun I hingga stasiun IV memiliki bahan organik yang berbeda. Hal ini menyebabkan

kandungan logam berat Pb pada media sedimen juga mengalami perbedaan (R= 0,588)

(Lampiran 9). Sesuai dengan pernyataan Lubis (2014) bahwa koefisien korelasi yang

memiliki nilai >0,5–0,75 yang artinya antara dua variabel memiliki hubungan korelasi yang
kuat. Kinasih et al (2015) menyatakan logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke

dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi

permukaan sedimen, serta penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen sehingga

semakin tinggi bahan organik maka semakin tinggi kandungan logam berat pada sedimen.

Maslukah (2013) juga menyatakan bahwa bahan organik memiliki peranan penting dalam

destabilisasi logam berat dalam sedimen selain salinitas, proses destabilisasi mengakibatkan

partikel padatan tersuspensi membentuk agregasi yang disusul terjadinya pengendapan

karena gaya grafitasi. Proses destabilisasi ini mengakibatkan konsentrasi logam berat dalam

estuari mengalami penurunan dan menambah konsentrasinya dalam sedimen.

Kandungan logam berat Pb antara beberapa stasiun menunjukkan hasil yang tidak

berbeda nyata (P>0,05). Hal ini dikarenakan masing-masing stasiun memiliki tipe sedimen

yang hampir sama dengan ukuran tekstur yang berbeda dan karateristik lingkungan yang

hampir sama, sehingga kandungan logam berat yang terdapat pada masing-masing stasiun

juga tidak berbeda nyata. Maslukah (2013) menyatakan bahwa pada umumnya sedimen yang

mempunyai ukuran partikel yang lebih halus (dalam penelitian ini prosentase lumpur lebih

tinggi) akan diikuti dengan kenaikan jumlah bahan organiknya. Semakin halus sedimen,

kemampuan dalam mengakumulasi bahan organik semakin besar. Kandungan bahan organik

pada umumnya akan tinggi pada sedimen lumpur (campuran silt dan clay). Menurut Garvano

et al (2017) bahwa tipe sedimen dapat mempengaruhi logam berat dalam sedimen, dengan

kategori kandungan logam berat dalam lumpur > lumpur berpasir > berpasir. Pendapat

tersebut berbanding lurus dengan Erlangga (2007), bahwa konsentrasi logam tertinggi

terdapat dalam sedimen yang berupa lumpur, tanah liat, pasir berlumpur dan campuran dari

ketiganya dibanding dengan sedimen yang berupa pasir. Hal ini disebabkan karena ukuran

partikel yang halus memiliki luas permukaan yang besar sehingga mampu mengikat logam

berat lebih banyak daripada ukuran partikel sedimen yang lebih besar (Sahara, 2009).
Logam Pb yang terdapat pada sedimen dalam ekosistem akuatik memberikan efek

terburuk bagi organisme. Laporan efek beracun dari logam berat (Pb) memberikan dampak

mortalitas organisme di area kontaminan (Hilmi et al., 2017). Akumulasi logam Pb pada

sedimen pada berbagai muara juga dapat berbeda sesuai dengan kualitas dan kondisi masing-

masing muara. Penelitian Putri et al (2014) di muara Sungai Manyar, Gresik yang

menyatakan kandungan logam berat Pb pada media sedimen berkisar 2,7757 – 3,37264

mg/kg sedangkan kandungan logam Pb pada media seidmen di muara Sungai Tapak

Tugurejo, Semarang berkisar 1,9459-4,3309 mg/kg. Hal ini menunjukkan bahwa akumulasi

logam Pb pada media sedimen di perairan muara sungai Tapak, Tugurejo lebih tinggi

dibandingkan dengan akumulasi logam Pb pada media sedimen di muara Sungai Manyar,

Gresik.

IV.2.3. Kandungan Logam Berat Pb pada Kerang Hijau (Perna viridis)

Logam berat yang terdapat di dasar perairan memungkinkan biota mengalami

akumulasi dengan berbagai cara yaitu dengan pernafasan, adsorbsi dan absorbsi. Sebagai

biota yang hidupnya terdapat di dasar perairan seperti kerang hijau dapat mengakumulasi

logam Pb pada ototnya. Hasil pengukuran logam Pb pada kerang hijau memiliki kisaran

stasiun I 0,3455-0,0,4455 mg/kg dengan rataan 0,387±0,0452 mg/kg, pada stasiun II berkisar

0,2124-0,3280 mg/kg dengan rataan 0,2533±0,0511 mg/kg, stasiun III berkisar 0,2122-

0,2989 mg/kg dengan rataan 0,2358±0,4213 mg/kg dan stasiun IV berkisar 0,1225-0,2901

mg/kg dengan rataan 0,2074±0,7155 mg/kg. Kandungan logam Pb pada kerang hijau di

muara Sungai Tapak, Tugurejo Semarang disajikan pada Gambar 12.


NAB 0,3 mg/kg
0.45 0.387
0.4
0.35
0.2553 0.2358
0.3 0.2074
0.25
KandunganPbbiota(mg/kg)

0.2 a
0.15 ab
ab
0.1 b
0.05
0
I II III IV
Stasiun
Huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata
(P>0,05)
Gambar 12. Grafik rataan dan standar deviasi logam Pb pada kerang hijau di Muara Sungai
Tapak, Tugurejo Semarang.
Gambar 12 menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb pada kerang hijau

stasiun I dengan stasiun IV berbeda nyata (P<0,05). Hal ini dikarenakan oleh kandungan

logam pada media air dan kandungan logam berat pada media sedimen. Stasiun I merupakan

stasiun yang di sekitar sumber pencemar sehingga memiliki nilai logam Pb yang tinggi.

Logam berat yang yang masuk pada stasiun I kemudian mengalami pengendapan ke sedimen,

dan aliran air akan membawa logam Pb yang terkandung menuju stasiun IV dengan jumlah

kandungan logam berat pada masing-masing stasiun cenderung berkurang. Kandungan logam

berat yang terdapat pada kolom air secara langsung atau tidak langsung dapat terserap oleh

kerang hijau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riani (2009) bahwa kerang hijau mampu

menyerap beberapa logam berat seperti Pb secara pasif maupun aktif dengan menyimpannya

di dalam tubuh, sehingga kerang hijau juga dapat dimanfaatkan sebagai biofilter terhadap

logam berat. Kandungan logam Pb pada air stasiun I hingga IV mengalami penurunan sesuai

dengan kandungan logam berat Pb pada biota (R=0,6581) (Gambar 13) dan memiliki nilai

korelasi yang lemah. Sesuai dengan pernyataan Lubis (2014) bahwa koefisien korelasi yang

memiliki nilai >0,5-0,75 : memiliki hubungan korelasi yang kuat antara dua variabel tersebut.

Logam berat yang masuk secara pasif dapat mengakumulasi jaringan tubuh kerang hijau
melalui cangkang, karena cangkang kerang hijau tersebut memiliki stuktur kapur yang

berpori dan berbentuk hexagonal sehingga dapat menyerap logam berat yang berada di kolom

air, namun kerang hijau lebih aktif menyerap logam berat melalui sedimen karena merupakan

organisme filter feeder (Amriani et al., 2011). Semakin tinggi ketersediaan logam Pb di

perairan maka semakin tinggi pula tingkat bioakmulasinya, dan kecepatan penyerapan secara

langsung untuk beberapa logam sesuai dengan tingkatan ketersediaannya (konsentrasi) di

lingkungannya (Prasetya dan Widowati, 2006).

0.45
Logam berat Pb pada kerang hiota

0.4
0.35 f(x) = 0.626025676848041 x + 0.0299140615254694
R² = 0.658140758412065
0.3
0.25
(mg/kg)

0.2
0.15
0.1
0.05
0
0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6
Logam berat Pb pada air (mg/L)

Gambar 13. Hubungan kandungan logam Pb pada air dengan kandungan logam Pb
pada kerang hijau (Perna viridis)
Logam berat Pb yang terdapat pada sedimen juga dapat berpengaruh terhadap

akumulasi logam berat pada biota. Logam Pb pada sedimen mengalami penurunan dari

stasiun I hingga stasiun IV, hal ini menyebabkan terjadinya penurunan pada logam Pb pada

kerang hijau pada masing-masing stasiun (R= 0,458) (Gambar 14). Menurut pernyataan

Lubis (2014) bahwa koefisien korelasi yang memiliki nilai >0,26–0,5 memiliki hubungan

korelasi yang cukup antara dua variabel tersebut. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa

seiring dengan berjalannya waktu maka logam Pb juga akan terakumulasi di dalam tubuh

biota (kerang) yang hidup dan mencari makan di dalamnya (Amriani et al., 2011). Unsur

logam dapat masuk ke dalam tubuh biota laut melalui tiga cara yaitu, melalui rantai makanan,

insang, dan difusi melalui permukaan kulit (Rahmawati dan Nuryanti, 2015). Proses yang
terjadi adalah logam berat masuk melalui lapisan lipid dari dinding sel melalui proses

endosistosis. Saat masuk ke tubuh, organ tubuh memiliki kemampuan untuk mereduksi

logam berat. Logam berat yang masuk ke saluran pencernaan akan dibuang bersamaan

dengan feses. Pada darah, logam berat akan difagositasi oleh sel darah putih. Disisi lain,

karena afinitasnya yang tinggi, logam berat yang disimpan tersebut akan berikatan dengan

gugus sufhidril sehingga sukar untuk lepas, karena ikatannya bersifat irreversible (Ahalya et

al., 2004). Kerang hijau (P. viridis) memiliki cara makan filter feeder yaitu menyerap

makanan dengan menyaring sedimen masuk kedalam tubuhnya, sehingga logam berat Pb

yang terdapat pada sedimen dapat terakumulasi dalam tubuhnya (Supriyantini et al., 2016).

0.5
0.45
kandungan logam Pb pada

0.4
0.35 f(x) = 0.0535055020890566 x + 0.107656085654427
kerang (mg/kg)

0.3 R² = 0.458012828584501
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
kandungan logam Pb pada sedimen (mg/kg)

Gambar 14. Hubungan kandungan logam Pb pada sedimen dengan kandungan logam
Pb pada kerang hijau (Perna viridis)
Kandungan logam berat yang ada pada kerang juga dipengaruhi oleh kondisi perairan

termasuk nilai suhu. Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas perairan muara sungai

Tapak (Lampiran 1), nilai suhu mengalami peningkatan pada stasiun I (29oC) dan stasiun IV

(31oC). Semakin tinggi suhu, maka tingkat akumulasi logam berat dalam sedimen akan

semakin tinggi dengan konektifitas yang significant (R= 0,427) (Lampiran 16). Menurut

Hutagalung (1984) bahwa peningkatan suhu akan menyebabkan tingkat bioakumulasi akan

semaki tinggi. Diperkuat oleh pendapat Darmono (2001) bahwa semakin tinggi suhu air pada

suatu perairan, daya toksisitas semakin meningkat, sehingga kandungan logam berat Pb lebih
mudah diabsorbsi oleh kerang hijau sehingga kandungan logam berat Pb dalam tubuhnya

meningkat, dan sebaliknya semakin rendah suhu air maka daya toksisitasnya semakin

menurun. meningkatnya suhu pada perairan akan mempercepat reaksi dalam pembentukan

ion-ion logam berat. Menurut Kastoro (1988), suhu normal jenis kerang-kerangan daerah

tropis adalah 20-35oC, dengan fluktuasi tidak lebih dari 5 oC. Hal ini menunjukkan bahwa

kisaran suhu di perairan muara Sungai Tapak Semarang masih baik untuk pertumbuhan hidup

kerang hijau.

Kandungan logam berat Pb pada kerang hijau antara beberapa stasiun menunjukkan

hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini dikarenakan masing-masing stasiun memiliki

ukuran kerang hijau yang relatif sama dengan karateristik lingkungan yang seimbang,

sehingga kandungan logam berat yang terdapat pada masing-masing stasiun juga tidak

berbeda nyata. Selain persamaan karateristik lingkungan, perbedaan kandungan logam berat

pada kerang juga dapat disebabkan oleh perbedaan umur kerang. Semakin tua umur kerang

tersebut akan memungkinkan semakin meningkatnya kandungan logam berat yang

terakumulasi di dalam tubuh kerangnya (Jalaluddin dan Ambeng, 2005). Selain itu perbedaan

kandungan logam Pb disebabkan oleh pengaruh perbedaan substrat atau habitat kerang

tersebut. Dibuktikan bahwa logam berat secara alami terdapat pada sedimen yang dibawa

oleh aliran sungai, erosi atau jatuhan dari udara, sehingga habitat yang mengandung logam-

logam dengan konsentrasi yang berbeda akan berpengaruh juga pada kerang yang hidup di

habitat tersebut (Rahmawati dan Nuryanti, 2015).

Kandungan logam Pb pada kerang hijau memiliki perbedaan pada berbagai muara

sesuai dengan kondisi dan kualitas perairan masing-masing. Kandungan tersebut dapat

mengakibatkan proses biomagnifikasi dan berbahaya bagi kehidupan manusia. Wardani et al

(2014) menyatakan kandungan logam Pb pada kerang hijau di muara Sungai Banjir Kanal

Barat, Semarang berkisar 0,89-1,18 mg/kg sedangkan kandungan logam Pb pada kerang hijau
di muara Sungai Tapak Tugurejo, Semarang berkisar 0,2074-0,3870 mg/kg. Hal ini

menunjukkan bahwa kondisi kerang hijau di muara Sungai Tapak Tugurejo, memiliki nilai

bioakumulasi logam Pb yang lebih rendah dibandingkan bioakumulasi logam Pb di muara

Sungai Banjir Kanal Barat, Semarang.

IV.3. Tingkat pencemaran logam berat Pb pada sedimen

IV.3.1. Contamination Factor (CF)

Keberadaan logam berat di perairan, secara langsung maupun tidak langsung

membahayakan terhadap ekosistem. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat yang

sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan

keberadaannya secara alami sulit terurai. Terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya

selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah

tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang

dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam

skala waktu tertentu (Mulyaningsih et al., 2015). Nilai CF yang terdapat di sedimen muara

Sungai Tapak Tugurejo, Semarang pada stasiun I hingga IV sebesar 0,2156; 0,1828; 0,1145;

0,0972. Hasil perhitungan CF logam Pb pada sedimen di perairan muara sungai Tapak

Tugurejo, Semarang disajikan pada Gambar 15.

0.3

0.25
0.2165
0.2 0.1825
Nilai CF

0.15
0.1145
0.0972
0.1

0.05

0
I II III IV
Stasiun
A B C D

Gambar 15. Grafik nilai Contamination Factor (CF) logam Pb pada sedimen di muara
sungai Tapak Tugurejo, Semarang.
Gambar 15 menunjukkan bahwa hasil perhitungan nilai CF pada stasiun I hingga

stasiun IV termasuk pada kategori kontaminasi tingkat rendah. Hal ini dikarenakan adanya

gerakan pasang surut yang menyebabkan pengenceran dan penyebaran logam berat. Menurut

Haryono et al (2017) muara sungai merupakan zona jebakan bagi semua komponen

pencemaran melalui peristiwa dinamika pasang surut, diharapkan pasang surut tersebut dapat

menyebarkan dan mengencerkan logam berat di perairan tersebut. Akumulasi logam berat

pada sedimen juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, tingkat garam, pH,

reaksi reduksi–oksidasi, bahan organik, padatan terlarut, aktivitas biologi dan sifat dasar

logam itu sendiri (Ismarti et al, 2015).

Nilai CF dari stasiun I hingga stasiun IV mengalami penurunan. Hal ini disebabkan

oleh jarak stasiun dengan sumber cemaran yang memiliki perbedaan. Stasiun I terletak di

sekitar sumber cemaran yang artinya sedimen dapat mengakumulasi secara langsung yang

dihasilkan dari industri, sedangkan stasiun lainnya berada pada jarak 800 m dari masing-

masing stasiun. Terdapat kawasan estuari dengan ekosistem mangrove di muara Sungai

Tapak. Industri di sekitar muara Sungai Tapak sendiri banyak menghasilkan berbagai limbah,

terutama limbah industri keramik yang menghasilkan logam Pb. Proses pada industri keramik

dapat menghasilkan limbah glasir, dalam proses pengglasiran, bahan mentah yang digunakan

terdiri dari bahan pembentuk, pelebur, pengental dan pewarna. Logam timbal biasanya

ditemukan pada bahan pelebur yang digunakan dalam bentuk timbal oksida (PbO) dan seng

oksida (ZnO) (Priadi, 2014). Logam Pb juga dapat berasal dari aktivitas kendaraan bermotor

di sekitar muara, asap dan tumpahan bahan bakar minyak di muara Sungai Tapak. Sesuai

dengan pernyataan Fajriah et al (2017) bahwa perairan yang berada di sekitar jalan raya dan

terdapat aktivitas kendaraan bermotor dapat terakumulasi logam Pb, karena logam Pb

merupakan salah satu bahan campuran penambah oktan pada bahan bakar.

IV.3.2. Indeks Geoakumulasi (Igeo)


Prediksi pengayaan sedimen oleh unsur logam dapat dengan berbagai cara. Salah satu

cara yang paling sering digunakan dengan menggunakan Indeks Geoakumulasi (Igeo). Hasil

perhitungan nilai Igeo logam Pb di muara sungai Tapak Tugurejo, Semarang disajikan pada

Gambar 16. Nilai Igeo pada stasiun I hingga stasiun IV sebesar 0,0434; 0,0367; 0,023;

0,0196.

0.06

0.05
0.0434
0.04 0.0367
Nilai Igeo

0.03
0.023
0.0196
0.02

0.01

0
I II III IV
Stasiun
kelas 0 kelas 1 kelas 2 kelas 3 kelas 4
kelas 5 kelas 6

Gambar 16. Grafik nilai Indeks Geoakumulasi (Igeo) logam Pb pada sedimen di muara
sungai Tapak Tugurejo, Semarang.

Gambar 16 menunjukkan bahwa hasil perhitungan nilai Igeo pada stasiun I hingga

stasiun IV termasuk pada kategori tercemar ringan. Hal ini dikarenakan terjadinya aliran

pasang surut di area muara yang menyebabkan pengenceran dan penyebaran logam berat di

perairan. Menurut Haryono et al (2017) muara sungai merupakan zona jebakan bagi semua

komponen pencemaran melalui peristiwa dinamika pasang surut, diharapkan pasang surut

tersebut dapat menyebarkan dan mengencerkan logam berat di perairan tersebut. Tekstur

sedimen juga mempengaruhi kandungan logam berat yang terdapat pada sedimen, menurut

Rochyatun et al (2007) bahwa kandungan logam berat yang tinggi terdapat dalam sedimen

dengan tekstur lumpur dibandingkan dengan sedimen yang teksturnya bukan lumpur.

Umumnya lumpur kaya akan bahan organik dan mineral lempung. Logam mempunyai

kapasitas yang tinggi untuk membentuk kelat/ligand dengan senyawa organik (Sardan et al.,
2011). Edward (2014) menyatakan pengayaan logam terjadi dalam sedimen yang kaya bahan

organik, hal ini disebabkan karena adanya interaksi antara gugus fungsi senyawa organik

dengan logam.

Nilai Igeo dari stasiun I hingga stasiun IV mengalami penurunan. Hal ini disebabkan

oleh jarak stasiun dengan sumber cemaran yang memiliki perbedaan. Stasiun I terletak dekat

dengan sumber cemaran (50 m) yang artinya sedimen dapat mengakumulasi secara langsung

yang dihasilkan dari industri, sedangkan stasiun lainnya berada pada jarak 800 m dari

masing-masing stasiun. Terdapat kawasan estuari dengan ekosistem mangrove di muara

sungai Tapak. Kawasan ini banyak dimanfaatkan untuk budidaya tambak udang dan bandeng

tetapi adanya pembuangan limbah industri diduga dapat mencemari lingkungan perairan dan

organisme yang hidup di dalamnya (Pratama et al, 2014). Industri di sekitar muara sungai

Tapak sendiri banyak menghasilkan berbagai limbah, terutama limbah industri keramik yang

menghasilkan logam Pb. Proses pada industri keramik dapat menghasilkan limbah glasir,

dalam proses pengglasiran, bahan mentah yang digunakan terdiri dari bahan pembentuk,

pelebur, pengental dan pewarna. Logam timbal dan seng biasanya ditemukan pada bahan

pelebur yang digunakan dalam bentuk timbal oksida (PbO) dan seng oksida (ZnO) (Priadi,

2014). Logam Pb juga dapat berasal dari aktivitas kendaraan bermotor di sekitar muara, asap

dan tumpahan bahan bakar minyak di muara sungai Tapak. Sesuai dengan pernyataan Fajriah

et al (2017) bahwa perairan yang berada di sekitar jalan raya dan terdapat aktivitas kendaraan

bermotor maka dapat terakumulasi logam Pb, karena logam Pb merupakan salah satu bahan

campuran penambah oktan pada bahan bakar.

IV.4. Bioakumulasi Logam Pb pada Kerang Hijau (Perna viridis) Berdasarkan nilai

Bioaccumulation Factor (BAF)

Biokonsentrasi adalah proses masuknya logam berat kedalam tubuh organisme dan

lingkungan tempat hidup organisme tersebut. Selanjutnya, logam berat terakumulasi dan
tinggal di dalam jaringan tubuh organisme dalam jangka waktu lama sebagai racun

terakumulasi (Kolck et al., 2008). Faktor biokonsentrasi (BAF) merupakan faktor yang

digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan organisme dalam mengakumulasi suatu

unsur yang masuk kedalam tubuhnya dari kondisi lingkungan sekitar. Hasil perhitungan nilai

BAF logam Pb pada biota di muara sungai Tapak Tugurejo, Semarang disajikan pada

Gambar 17. Nila BAF pada stasiun I hingga IV sebesar 0,0893; 0,067; 0,103; 0,1065.

0.14

0.12
0.103 0.1065
0.1 0.0893
Nilai BAF

0.08
0.067
0.06
0.04

0.02

0
I II III IV
Stasiun
A B

Gambar 17. Grafik nilai Bioaccumulation factor (BAF) logam Pb pada biota di
muara sungai Tapak Tugurejo, Semarang.

Gambar 17 menunjukkan hasil perhitungam BAF pada stasiun I hingga staisun IV

memiliki nilai ≤ 1 sehingga dapat disimpulkan bahwa organisme yang ada di muara sungai

Tapak tersebut yaitu memiliki kemampuan yang kurang baik dalam mengakumulasi logam

dalam tubuhnya. Darmono (1995) berpendapat bahwa tanaman air dan jenis binatang lunak

(kerang dan keong) yang tidak bergerak atau mempunyai mobilitas lamban tidak dapat

meregulasi logam. Seperti organisme air lainnya sehingga dapat mengakumulasi logam berat

pada tubuhnya. Ahyar et al (2017) juga menyatakan bahwa setiap organisme memiliki

kemampuan berbeda dalam mengendalikan paparan logam berat tergantung pada kemampuan

organisme untuk mengakumulasi logam berat diperairan, sedimen, dan kebiasaan makan

organisme akuatik.
Rendahnya nilai BAF disebabkan karena ukuran kerang hijau dan pertumbuhan

kerang hijau yang didapatkan belum maksimal dalam mengakumulasi logam berat pada

tubuhnya. Sesuai dengan pernyataan Amriani et al (2011) bahwa besar cangkang suatu

makrofauna bentik biasanya diidentikkan dengan umur spesies tersebut. Artinya semakin

besar ukuran cangkang maka umur spesies tersebut juga lebih tua, sehingga waktu akumulasi

logam berat telah berlangsung lebih lama dibandingkan kerang dengan ukuran cangkang

kecil. Semakin besar ukuran biota air, maka akumulasi logam berat semakin meningkat.

Didukung oleh pernyataan Yonvitner dan Sukimin (2009) bahwa kemampuan akumulasi

logam oleh biota kerang akan terganggu jika keadaan laju pertumbuhan dan penempelan

biota itu sendiri terganggu. Semakin ke arah laut maka kerang hijau dapat tumbuh secara

maksimal dan hidup menempel pada jaring dan subtrat. Sedangkan makin ke arah sungai

maka tingkat bioakumulasi kerang terhadap logam berat akan berkurang karena lemahnya

sifat menempel pada subtrat. Hal ini didukung oleh pernyataan Setyobudiandi (2001) bahwa

jumlah kerang hijau akan terlihat banyak pada sisi masuk muara, namun tidak dapat

memaksimalkan pertumbuhannya dengan baik dibandingkan dengan kerang hijau yang hidup

pada laut lepas.

Anda mungkin juga menyukai