Muara Sungai Tapak berada di wilayah Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota
Semarang. Aliran muara Sungai Tapak digunakan masyarakat sebagai area pertambakan,
industri keramik, pertanian, dan berbagai kegiatan domestik. Aktivitas industri di aliran
muara Sungai Tapak seperti PT Golden Manyaran serta kegiatan domestik dan dapat
mengandung salah satu logam Pb yang berbahaya bagi perairan. Logam Pb yang masuk ke
muara sungai Tapak akan terakumulasi pada air, sedimen maupun biota yang terdapat pada
muara. Penelitian mengenai akumulasi logam Pb pada air, sedimen dan kerang hijau di muara
Sungai Tapak, Kecamatan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang dilakukan pada bulan
Juli 2018. Pengambilan data pada lokasi penelitian terdiri atas parameter utama yaitu
kandungan logam Pb pada air, sedimen dan kerang hijau serta parameter pendukung berupa
parameter fisika kimia perairan. Hasil data pendukung yang diperoleh selama penelitian dapat
muara. Stasiun ini merupakan stasiun yang paling dekat dengan sumber cemaran yang berasal
dari industri keramik dan alumunium dibandingkan stasiun lainnya. Aliran air yang masuk
pada stasiun ini langsung berasal dari sumber cemaran yang limbahnya dibuang secara
langsung ke aliran tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran parameter pendukung pada stasiun
I yaitu temperatur berkisar 29-30oC dengan rataan 29oC, kekeruhan berkisar 387-399 NTU
dengan rataan 394 NTU, dan salinitas berkisar 9-15 ppt dengan rataan 11 ppt. Secara kimia
kondisi stasiun I memiliki nilai pH berkisar 7,21-7,71 dengan rataan 7,5, nilai oksigen terlarut
berkisar 2,1-3,76 mg/L dengan rataan 2,8 mg/L, BOD berkisar 90,4-120,4 mg/L dengan
rataan 102,9 mg/L, COD berkisar 97-208,82 mg/L dengan rataan 121,02 mg/L.
Stasiun II merupakan aliran Sungai Tapak yang memiliki jarak 800 m menuju muara
dari stasiun I. Pada stasiun ini sudah terdapat beberapa pohon mangrove dan beberapa
tambak. Stasiun II juga merupakan stasiun yang digunakan sebagai aliran masuk air menuju
tambak. Stasiun ini digunakan sebagai tempat berkumpul perahu yang digunakan nelayan
sebagai alat transportrasi di muara. Berdasarkan hasil parameter pendukung dari stasiun II
didapatkan nilai temperatur berkisar 28-29 oC dengan rataan 28oC, kekeruhan berkisar 272-
280 NTU dengan rataan 279, dan salinitas berkisar 27-29 ppt dengan rataan 28 ppt.
Berdsarakan parameter kimia stasiun II memiliki nilai pH berkisar 7,2-7,6 dengan rataan
7,32, oksigen terlarut berkisar 3-4 mg/L dengan rataan 3,4 mg/L, BOD berkisar 32,4-52,4
mg/L dengan rataan 44,2 mg/L, COD berkisar 56,4-141,8 mg/L dengan rataan 101,56 mg/L.
Gambar 8. Stasiun III (800 m ke arah muara Sungai Tapak dari stasiun II)
Stasiun III merupakan aliran Sungai Tapak yang memiliki jarak 800 m menuju muara
dari stasiun II atau 1.600 m dari stasiun I. Pada stasiun ini terdapat pohon mangrove dan
beberapa tambak. Stasiun III juga merupakan stasiun yang digunakan sebagai aliran masuk
air menuju tambak yang terdapat di muara. Staisun III merupakan stasiun yang digunakan
sebagai jalur utama transportasi yang digunakan oleh nelayan. Berdasarkan hasil parameter
pendukung pada stasiun III yaitu temperatur berkisar 29-30oC dengan rataan 29,5oC,
kekeruhan berkisar 98-106 NTU dengan rataan 102 NTU, dan salinitas berkisar 28-30 ppt
dengan rataan 29,5 ppt. Berdsarakan parameter kimia stasiun III memiliki nilai pH berkisar
6,7-7,6 dengan rataan 7,41, oksigen terlarut berkisar 3,1-4,1 mg/L dengan rataan 3,6 mg/L,
BOD berkisar 6,4-18,4 mg/L dengan rataan 10,4 mg/L, COD berkisar 9,21-17,5 mg/L dengan
Stasiun IV merupakan titik akhir muara Sungai Tapak dan stasiun yang paling jauh
dari sumber cemaran. Pada stasiun ini sudah tidak terdapat pohon mangrove, hanya terdapat
beberapa tambak. Stasiun IV juga bukan merupakan jalur utama perahu yang digunakan
nelayan. Stasiun IV hanya digunakan sebagai masukan air dari muara menuju tambak yang
berkisar 29-32oC dengan rataan 29,5oC, kekeruhan berkisar 80-84 NTU dengan rataan 83
NTU, dan salinitas berkisar 30-31 ppt dengan rataan 30,5 ppt. Berdsarakan parameter kimia
stasiun IV memiliki nilai pH berkisar 6,8-7,3 dengan rataan 7, oksigen terlarut berkisar 3,0-
4,8 mg/L dengan rataan 4 mg/L, BOD berkisar 2,6-3,9 mg/L dengan rataan 3,3 mg/L, COD
Hasil pengukuran logam Pb pada media air stasiun I berkisar 0,9862-0,9985 mg/L
dengan rataan 0,9913±0,0063 mg/L, pada stasiun II berkisar 0,4780-0,5622 mg/L dengan
rataan 0,5286±0,0446 mg/L, stasiun III berkisar 0,4315-0,5101 mg/L dengan rataan
0.8
KandunganPbair(mg/L)
0.5286 0.4668
0.6 a
0.4 0.2188
0.2 b
b c
0
I II III IV
Stasiun
Huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata
(P>0,05)
Gambar 10. Grafik rataan dan standar deviasi logam Pb air di muara Sungai Tapak,
Tugurejo Semarang.
Gambar 10 menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb pada media air antara
stasiun I dengan stasiun II, stasiun III, dan stasiun IV, antara stasiun II dengan stasiun IV,
serta antara stasiun III dengan stasiun IV berbeda nyata (P<0,05). Hal ini disebabkan karena
beberapa faktor yaitu lokasi pengambilan sampel, sedimentasi, dan salinitas. Lokasi
pengambilan sampel stasiun I berada di sekitar sumber cemaran yang berasal dari industri
keramik. Letak stasiun lainnya berada lebih jauh (800 m) dari sumber cemaran sehingga
kandungan logam berat akan semakin berkurang dari stasiun I menuju stasiun IV karena
pengenceran dari pola pasang surut. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Prasetyo et al
(2015) bahwa suatu perairan yang berada semakin jauh dari sumber cemaran maka nilai
cemaran akan menurun bahkan menghilang dari perairan karena mengalami pengenceran.
Wulandari (2012) juga menyatakan bahwa kecepatan dan arah pasang surut mempengaruhi
tingginya konsentrasi bahan organik dan logam berat di perairan dengan pengendapan dalam
sedimen. Keberadaan pola pergerakan arus laut juga berperan dalam penyebaran dan
Sedimentasi yang tinggi disebabkan oleh nilai kekeruhan (TSS). Nilai kekeruhan yang tinggi
dapat membentuk flok bahan organik dan logam berat yang kemudian akan mengendap di
perairan dan mengakibatkan penurunan kandungan logam (R= 0,7546) (Lampiran 14).
Sedimentasi yang terdapat pada stasiun I lebih kecil dibandingkan stasiun lainnya, hal ini
dikarenakan pada stasiun I logam berat hanya berada sesaat pada stasiun tersebut kemudian
akan terbawa arus menuju stasiun IV dan mengalami sedimentasi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Rochyatun et al (2006) bahwa Logam berat yang semula terlarut dalam air
sungai lama kelamaan akan diadsorbsi oleh partikel halus (suspended solid) dan oleh aliran
air sungai dibawa ke muara. Air sungai bertemu dengan arus pasang di muara sungai,
sehingga partikel halus tersebut mengendap di muara sungai. Rochyatun dan Rozak (2007)
juga menyatakan pada umumnya muara sungai mengalami proses sedimentasi, dimana logam
yang sukar mengalami proses pengenceran yang berada di kolom air lama kelamaan akan
Kandungan logam berat akan meningkat seiring dengan menurunnya salinitas. Salinitas
stasiun I (11 ppt) mengalami peningkatan di stasiun II, stasiun III, dan stasiun IV (28 ppt;
29,5 ppt; 30,5 ppt) karena semakin mendekati perairan muara, menurut analisis korelasi nilai
salinitas dengan kandungan logam Pb di air juga terdapat hubungan yang significant (R=
0,9018) (Lampiran 15). Hal ini sesuai dengan pernyataan Suryono (2016) bahwa perairan
yang mengandung salinitas dan klorida (Cl) yang tinggi dan bersifat basa, maka senyawa
logam dalam air laut umumnya berbentuk kompleks dengan klorida dan hidroksida maka
logam berat dalam air cenderung membentuk suatu ikatan sehingga akan mengendap ke dasar
bioakumulasi semakin besar karena ketersediaan logam berat tersebut semakin meningkat.
Berdasarkan kandungan logam Pb di perairan, stasiun I hingga stasiun IV sudah melebih
ambang baku, dan merupakan perairan tercemar logam berat Pb yang tidak mendukung bagi
Kandungan logam berat Pb antara sasiun II dengan stasiun III menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini karena jarak masing-masing stasiun relatif
berdekatan sehingga masih mengalami pengaruh dan karateristik yang sama oleh logam berat
pada tiap stasiun. Pasang surut, dan aliran arus juga membawa cemaran yang teraduk menuju
masing-masing stasiun menuju muara. Hal ini didukung oleh pernyataan Fathiyah et al
(2017) bahwa pola pasang surut dan aliran arus pada daerah estuari dapat mendistribusikan
cemaran menuju hilir sungai sampai menuju muara dengan pola spasial tertentu.
Akumulasi logam Pb pada media air pada berbagai muara dapat memiliki nilai yang
mengakibatkan meningkatnya akumulasi pada media sedimen dan biota yang berbahaya bagi
eksosistem muara. Penelitian Putri et al (2014) di muara Sungai Manyar, Gresik yang
menyatakan kandungan logam berat Pb pada media air berkisar 0,31–0,57 mg/L sedangkan
pada perairan muara Sungai Tapak kandungan logam Pb berkisar 0,2188-0,9963 mg/L. Hal
ini menunjukkan kondisi perairan di muara Sungai Tapak Tugurejo, Semarang memiliki
kandungan logam berat Pb lebih tinggi dibandingkan di muara Sungai Manyar, Gresik.
IV.2.2. Kandungan Logam Berat Pb pada Media Sedimen
Hasil pengukuran logam Pb pada media sedimen memiliki kisaran dan rataan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan logam Pb pada media air. Kisaran nilai logam
Pb pada sedimen pada stasiun I 3,4420-5,1152 mg/kg dengan rataan 4,3309±0,6964 mg/kg,
pada stasiun II berkisar 3,0440-4,1209 mg/kg dengan rataan 3,6508±0,5006 mg/kg, stasiun
III berkisar 2,0107-2,8150 mg/kg dengan rataan 2,2905±0,3620 mg/kg dan stasiun IV
sedimen di muara Sungai Tapak, Tugurejo Semarang disajikan pada Gambar 11.
6
4.3309
kandungan Pb sedimen (mg/kg)
5
3.6508
4
3 2.2905
1.9459
2
a
1 ab
bc c
0
I II III IV
Stasiun
Huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata
(P>0,05)
Gambar 11. Grafik rataan dan standar deviasi logam Pb pada air di muara Sungai Tapak,
Tugurejo Semarang.
Gambar 11 menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb pada media sedimen
antara stasiun I dengan stasiun III, antara stasiun I dengan stasiun IV, dan antara stasiun II
dengan stasiun IV menujukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Hal tersebut disebabkan
karena lokasi pengambilan sampel, kandungan logam berat air dan kandungan bahan organik
(COD). Jarak stasiun I berada di sekitar sumber cemaran sedangkan stasiun II (800 m), III
(1600 m) dan stasiun IV (2400 m) lebih jauh dari sumber cemaran. Hal ini menyebabkan
perbedaan kandungan logam berat sedimen antara stasiun I hingga stasiun IV. Sesuai dengan
pernyataan Ali et al (2013) bahwa semakin jauh dari sumber cemaran maka konsentrasi
Berdasarkan kandungan logam berat pada media air stasiun I hingga stasiun IV
meningkatkan logam berat sedimen karena logam berat mengalami pengendapan dan
sedimentasi (R = 0,7789) (Lampiran 8). Menurut Suryono (2016) bila diuji secara korelasi
menunjukkan logam berat dalam perairan tinggi maka akan diikuti tingginya logam berat
dalam sedimen dengan R= >0,5 maka menunjukkan bahwa terdapat kolerasi yang kuat. Dari
berbagai argumen para penliti sebelumya dan hasil penelitian di daerah Tugu Semarang dapat
disimpulkan bahwa terjadi konektifitas logam berat dalam air laut dan sedimen di wilayah
pesisir Tugu Semarang. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Supriyantini et al (2017)
bahwa sifat dari logam berat itu sendiri mudah berikatan dengan partikel-partikel yang pada
akhirnya akan mengendap dan bercampur dengan sedimen di dasar perairan. Logam berat
yang semula terlarut dalam air sungai diadsorbsi oleh partikel halus (suspended solid) dan
dibawa ke muara oleh aliran sungai. Air sungai bertemu dengan arus pasang di muara sungai,
sehingga partikel halus tersebut mengalami pengenceran, pengendapan dan dispersi di muara
sungai. Hal inilah yang menyebabkan kadar logam berat dalam sedimen muara lebih tinggi
dari laut lepas. Proses alami cenderung menghilangkan logam Pb dari air dan menyimpannya
dalam sedimen di mana ketersediaannya berbahaya untuk organisme akuatik (ILA, 2018).
Bahan organik juga mempengaruhi kandungan logam berat Pb pada sedimen yang
berasal dari kegiatan manusia. Hasil pengukuran kualitas air seperti COD menujukkan bahwa
pada stasiun I hingga stasiun IV memiliki bahan organik yang berbeda. Hal ini menyebabkan
kandungan logam berat Pb pada media sedimen juga mengalami perbedaan (R= 0,588)
(Lampiran 9). Sesuai dengan pernyataan Lubis (2014) bahwa koefisien korelasi yang
memiliki nilai >0,5–0,75 yang artinya antara dua variabel memiliki hubungan korelasi yang
kuat. Kinasih et al (2015) menyatakan logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke
dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi
permukaan sedimen, serta penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen sehingga
semakin tinggi bahan organik maka semakin tinggi kandungan logam berat pada sedimen.
Maslukah (2013) juga menyatakan bahwa bahan organik memiliki peranan penting dalam
destabilisasi logam berat dalam sedimen selain salinitas, proses destabilisasi mengakibatkan
karena gaya grafitasi. Proses destabilisasi ini mengakibatkan konsentrasi logam berat dalam
Kandungan logam berat Pb antara beberapa stasiun menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (P>0,05). Hal ini dikarenakan masing-masing stasiun memiliki tipe sedimen
yang hampir sama dengan ukuran tekstur yang berbeda dan karateristik lingkungan yang
hampir sama, sehingga kandungan logam berat yang terdapat pada masing-masing stasiun
juga tidak berbeda nyata. Maslukah (2013) menyatakan bahwa pada umumnya sedimen yang
mempunyai ukuran partikel yang lebih halus (dalam penelitian ini prosentase lumpur lebih
tinggi) akan diikuti dengan kenaikan jumlah bahan organiknya. Semakin halus sedimen,
kemampuan dalam mengakumulasi bahan organik semakin besar. Kandungan bahan organik
pada umumnya akan tinggi pada sedimen lumpur (campuran silt dan clay). Menurut Garvano
et al (2017) bahwa tipe sedimen dapat mempengaruhi logam berat dalam sedimen, dengan
kategori kandungan logam berat dalam lumpur > lumpur berpasir > berpasir. Pendapat
tersebut berbanding lurus dengan Erlangga (2007), bahwa konsentrasi logam tertinggi
terdapat dalam sedimen yang berupa lumpur, tanah liat, pasir berlumpur dan campuran dari
ketiganya dibanding dengan sedimen yang berupa pasir. Hal ini disebabkan karena ukuran
partikel yang halus memiliki luas permukaan yang besar sehingga mampu mengikat logam
berat lebih banyak daripada ukuran partikel sedimen yang lebih besar (Sahara, 2009).
Logam Pb yang terdapat pada sedimen dalam ekosistem akuatik memberikan efek
terburuk bagi organisme. Laporan efek beracun dari logam berat (Pb) memberikan dampak
mortalitas organisme di area kontaminan (Hilmi et al., 2017). Akumulasi logam Pb pada
sedimen pada berbagai muara juga dapat berbeda sesuai dengan kualitas dan kondisi masing-
masing muara. Penelitian Putri et al (2014) di muara Sungai Manyar, Gresik yang
menyatakan kandungan logam berat Pb pada media sedimen berkisar 2,7757 – 3,37264
mg/kg sedangkan kandungan logam Pb pada media seidmen di muara Sungai Tapak
Tugurejo, Semarang berkisar 1,9459-4,3309 mg/kg. Hal ini menunjukkan bahwa akumulasi
logam Pb pada media sedimen di perairan muara sungai Tapak, Tugurejo lebih tinggi
dibandingkan dengan akumulasi logam Pb pada media sedimen di muara Sungai Manyar,
Gresik.
akumulasi dengan berbagai cara yaitu dengan pernafasan, adsorbsi dan absorbsi. Sebagai
biota yang hidupnya terdapat di dasar perairan seperti kerang hijau dapat mengakumulasi
logam Pb pada ototnya. Hasil pengukuran logam Pb pada kerang hijau memiliki kisaran
stasiun I 0,3455-0,0,4455 mg/kg dengan rataan 0,387±0,0452 mg/kg, pada stasiun II berkisar
0,2124-0,3280 mg/kg dengan rataan 0,2533±0,0511 mg/kg, stasiun III berkisar 0,2122-
0,2989 mg/kg dengan rataan 0,2358±0,4213 mg/kg dan stasiun IV berkisar 0,1225-0,2901
mg/kg dengan rataan 0,2074±0,7155 mg/kg. Kandungan logam Pb pada kerang hijau di
0.2 a
0.15 ab
ab
0.1 b
0.05
0
I II III IV
Stasiun
Huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata
(P>0,05)
Gambar 12. Grafik rataan dan standar deviasi logam Pb pada kerang hijau di Muara Sungai
Tapak, Tugurejo Semarang.
Gambar 12 menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb pada kerang hijau
stasiun I dengan stasiun IV berbeda nyata (P<0,05). Hal ini dikarenakan oleh kandungan
logam pada media air dan kandungan logam berat pada media sedimen. Stasiun I merupakan
stasiun yang di sekitar sumber pencemar sehingga memiliki nilai logam Pb yang tinggi.
Logam berat yang yang masuk pada stasiun I kemudian mengalami pengendapan ke sedimen,
dan aliran air akan membawa logam Pb yang terkandung menuju stasiun IV dengan jumlah
kandungan logam berat pada masing-masing stasiun cenderung berkurang. Kandungan logam
berat yang terdapat pada kolom air secara langsung atau tidak langsung dapat terserap oleh
kerang hijau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riani (2009) bahwa kerang hijau mampu
menyerap beberapa logam berat seperti Pb secara pasif maupun aktif dengan menyimpannya
di dalam tubuh, sehingga kerang hijau juga dapat dimanfaatkan sebagai biofilter terhadap
logam berat. Kandungan logam Pb pada air stasiun I hingga IV mengalami penurunan sesuai
dengan kandungan logam berat Pb pada biota (R=0,6581) (Gambar 13) dan memiliki nilai
korelasi yang lemah. Sesuai dengan pernyataan Lubis (2014) bahwa koefisien korelasi yang
memiliki nilai >0,5-0,75 : memiliki hubungan korelasi yang kuat antara dua variabel tersebut.
Logam berat yang masuk secara pasif dapat mengakumulasi jaringan tubuh kerang hijau
melalui cangkang, karena cangkang kerang hijau tersebut memiliki stuktur kapur yang
berpori dan berbentuk hexagonal sehingga dapat menyerap logam berat yang berada di kolom
air, namun kerang hijau lebih aktif menyerap logam berat melalui sedimen karena merupakan
organisme filter feeder (Amriani et al., 2011). Semakin tinggi ketersediaan logam Pb di
perairan maka semakin tinggi pula tingkat bioakmulasinya, dan kecepatan penyerapan secara
0.45
Logam berat Pb pada kerang hiota
0.4
0.35 f(x) = 0.626025676848041 x + 0.0299140615254694
R² = 0.658140758412065
0.3
0.25
(mg/kg)
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6
Logam berat Pb pada air (mg/L)
Gambar 13. Hubungan kandungan logam Pb pada air dengan kandungan logam Pb
pada kerang hijau (Perna viridis)
Logam berat Pb yang terdapat pada sedimen juga dapat berpengaruh terhadap
akumulasi logam berat pada biota. Logam Pb pada sedimen mengalami penurunan dari
stasiun I hingga stasiun IV, hal ini menyebabkan terjadinya penurunan pada logam Pb pada
kerang hijau pada masing-masing stasiun (R= 0,458) (Gambar 14). Menurut pernyataan
Lubis (2014) bahwa koefisien korelasi yang memiliki nilai >0,26–0,5 memiliki hubungan
korelasi yang cukup antara dua variabel tersebut. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa
seiring dengan berjalannya waktu maka logam Pb juga akan terakumulasi di dalam tubuh
biota (kerang) yang hidup dan mencari makan di dalamnya (Amriani et al., 2011). Unsur
logam dapat masuk ke dalam tubuh biota laut melalui tiga cara yaitu, melalui rantai makanan,
insang, dan difusi melalui permukaan kulit (Rahmawati dan Nuryanti, 2015). Proses yang
terjadi adalah logam berat masuk melalui lapisan lipid dari dinding sel melalui proses
endosistosis. Saat masuk ke tubuh, organ tubuh memiliki kemampuan untuk mereduksi
logam berat. Logam berat yang masuk ke saluran pencernaan akan dibuang bersamaan
dengan feses. Pada darah, logam berat akan difagositasi oleh sel darah putih. Disisi lain,
karena afinitasnya yang tinggi, logam berat yang disimpan tersebut akan berikatan dengan
gugus sufhidril sehingga sukar untuk lepas, karena ikatannya bersifat irreversible (Ahalya et
al., 2004). Kerang hijau (P. viridis) memiliki cara makan filter feeder yaitu menyerap
makanan dengan menyaring sedimen masuk kedalam tubuhnya, sehingga logam berat Pb
yang terdapat pada sedimen dapat terakumulasi dalam tubuhnya (Supriyantini et al., 2016).
0.5
0.45
kandungan logam Pb pada
0.4
0.35 f(x) = 0.0535055020890566 x + 0.107656085654427
kerang (mg/kg)
0.3 R² = 0.458012828584501
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
kandungan logam Pb pada sedimen (mg/kg)
Gambar 14. Hubungan kandungan logam Pb pada sedimen dengan kandungan logam
Pb pada kerang hijau (Perna viridis)
Kandungan logam berat yang ada pada kerang juga dipengaruhi oleh kondisi perairan
termasuk nilai suhu. Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas perairan muara sungai
Tapak (Lampiran 1), nilai suhu mengalami peningkatan pada stasiun I (29oC) dan stasiun IV
(31oC). Semakin tinggi suhu, maka tingkat akumulasi logam berat dalam sedimen akan
semakin tinggi dengan konektifitas yang significant (R= 0,427) (Lampiran 16). Menurut
Hutagalung (1984) bahwa peningkatan suhu akan menyebabkan tingkat bioakumulasi akan
semaki tinggi. Diperkuat oleh pendapat Darmono (2001) bahwa semakin tinggi suhu air pada
suatu perairan, daya toksisitas semakin meningkat, sehingga kandungan logam berat Pb lebih
mudah diabsorbsi oleh kerang hijau sehingga kandungan logam berat Pb dalam tubuhnya
meningkat, dan sebaliknya semakin rendah suhu air maka daya toksisitasnya semakin
menurun. meningkatnya suhu pada perairan akan mempercepat reaksi dalam pembentukan
ion-ion logam berat. Menurut Kastoro (1988), suhu normal jenis kerang-kerangan daerah
tropis adalah 20-35oC, dengan fluktuasi tidak lebih dari 5 oC. Hal ini menunjukkan bahwa
kisaran suhu di perairan muara Sungai Tapak Semarang masih baik untuk pertumbuhan hidup
kerang hijau.
Kandungan logam berat Pb pada kerang hijau antara beberapa stasiun menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini dikarenakan masing-masing stasiun memiliki
ukuran kerang hijau yang relatif sama dengan karateristik lingkungan yang seimbang,
sehingga kandungan logam berat yang terdapat pada masing-masing stasiun juga tidak
berbeda nyata. Selain persamaan karateristik lingkungan, perbedaan kandungan logam berat
pada kerang juga dapat disebabkan oleh perbedaan umur kerang. Semakin tua umur kerang
terakumulasi di dalam tubuh kerangnya (Jalaluddin dan Ambeng, 2005). Selain itu perbedaan
kandungan logam Pb disebabkan oleh pengaruh perbedaan substrat atau habitat kerang
tersebut. Dibuktikan bahwa logam berat secara alami terdapat pada sedimen yang dibawa
oleh aliran sungai, erosi atau jatuhan dari udara, sehingga habitat yang mengandung logam-
logam dengan konsentrasi yang berbeda akan berpengaruh juga pada kerang yang hidup di
Kandungan logam Pb pada kerang hijau memiliki perbedaan pada berbagai muara
sesuai dengan kondisi dan kualitas perairan masing-masing. Kandungan tersebut dapat
(2014) menyatakan kandungan logam Pb pada kerang hijau di muara Sungai Banjir Kanal
Barat, Semarang berkisar 0,89-1,18 mg/kg sedangkan kandungan logam Pb pada kerang hijau
di muara Sungai Tapak Tugurejo, Semarang berkisar 0,2074-0,3870 mg/kg. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi kerang hijau di muara Sungai Tapak Tugurejo, memiliki nilai
membahayakan terhadap ekosistem. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat yang
selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah
tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang
dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam
skala waktu tertentu (Mulyaningsih et al., 2015). Nilai CF yang terdapat di sedimen muara
Sungai Tapak Tugurejo, Semarang pada stasiun I hingga IV sebesar 0,2156; 0,1828; 0,1145;
0,0972. Hasil perhitungan CF logam Pb pada sedimen di perairan muara sungai Tapak
0.3
0.25
0.2165
0.2 0.1825
Nilai CF
0.15
0.1145
0.0972
0.1
0.05
0
I II III IV
Stasiun
A B C D
Gambar 15. Grafik nilai Contamination Factor (CF) logam Pb pada sedimen di muara
sungai Tapak Tugurejo, Semarang.
Gambar 15 menunjukkan bahwa hasil perhitungan nilai CF pada stasiun I hingga
stasiun IV termasuk pada kategori kontaminasi tingkat rendah. Hal ini dikarenakan adanya
gerakan pasang surut yang menyebabkan pengenceran dan penyebaran logam berat. Menurut
Haryono et al (2017) muara sungai merupakan zona jebakan bagi semua komponen
pencemaran melalui peristiwa dinamika pasang surut, diharapkan pasang surut tersebut dapat
menyebarkan dan mengencerkan logam berat di perairan tersebut. Akumulasi logam berat
pada sedimen juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, tingkat garam, pH,
reaksi reduksi–oksidasi, bahan organik, padatan terlarut, aktivitas biologi dan sifat dasar
Nilai CF dari stasiun I hingga stasiun IV mengalami penurunan. Hal ini disebabkan
oleh jarak stasiun dengan sumber cemaran yang memiliki perbedaan. Stasiun I terletak di
sekitar sumber cemaran yang artinya sedimen dapat mengakumulasi secara langsung yang
dihasilkan dari industri, sedangkan stasiun lainnya berada pada jarak 800 m dari masing-
masing stasiun. Terdapat kawasan estuari dengan ekosistem mangrove di muara Sungai
Tapak. Industri di sekitar muara Sungai Tapak sendiri banyak menghasilkan berbagai limbah,
terutama limbah industri keramik yang menghasilkan logam Pb. Proses pada industri keramik
dapat menghasilkan limbah glasir, dalam proses pengglasiran, bahan mentah yang digunakan
terdiri dari bahan pembentuk, pelebur, pengental dan pewarna. Logam timbal biasanya
ditemukan pada bahan pelebur yang digunakan dalam bentuk timbal oksida (PbO) dan seng
oksida (ZnO) (Priadi, 2014). Logam Pb juga dapat berasal dari aktivitas kendaraan bermotor
di sekitar muara, asap dan tumpahan bahan bakar minyak di muara Sungai Tapak. Sesuai
dengan pernyataan Fajriah et al (2017) bahwa perairan yang berada di sekitar jalan raya dan
terdapat aktivitas kendaraan bermotor dapat terakumulasi logam Pb, karena logam Pb
merupakan salah satu bahan campuran penambah oktan pada bahan bakar.
cara yang paling sering digunakan dengan menggunakan Indeks Geoakumulasi (Igeo). Hasil
perhitungan nilai Igeo logam Pb di muara sungai Tapak Tugurejo, Semarang disajikan pada
Gambar 16. Nilai Igeo pada stasiun I hingga stasiun IV sebesar 0,0434; 0,0367; 0,023;
0,0196.
0.06
0.05
0.0434
0.04 0.0367
Nilai Igeo
0.03
0.023
0.0196
0.02
0.01
0
I II III IV
Stasiun
kelas 0 kelas 1 kelas 2 kelas 3 kelas 4
kelas 5 kelas 6
Gambar 16. Grafik nilai Indeks Geoakumulasi (Igeo) logam Pb pada sedimen di muara
sungai Tapak Tugurejo, Semarang.
Gambar 16 menunjukkan bahwa hasil perhitungan nilai Igeo pada stasiun I hingga
stasiun IV termasuk pada kategori tercemar ringan. Hal ini dikarenakan terjadinya aliran
pasang surut di area muara yang menyebabkan pengenceran dan penyebaran logam berat di
perairan. Menurut Haryono et al (2017) muara sungai merupakan zona jebakan bagi semua
komponen pencemaran melalui peristiwa dinamika pasang surut, diharapkan pasang surut
tersebut dapat menyebarkan dan mengencerkan logam berat di perairan tersebut. Tekstur
sedimen juga mempengaruhi kandungan logam berat yang terdapat pada sedimen, menurut
Rochyatun et al (2007) bahwa kandungan logam berat yang tinggi terdapat dalam sedimen
dengan tekstur lumpur dibandingkan dengan sedimen yang teksturnya bukan lumpur.
Umumnya lumpur kaya akan bahan organik dan mineral lempung. Logam mempunyai
kapasitas yang tinggi untuk membentuk kelat/ligand dengan senyawa organik (Sardan et al.,
2011). Edward (2014) menyatakan pengayaan logam terjadi dalam sedimen yang kaya bahan
organik, hal ini disebabkan karena adanya interaksi antara gugus fungsi senyawa organik
dengan logam.
Nilai Igeo dari stasiun I hingga stasiun IV mengalami penurunan. Hal ini disebabkan
oleh jarak stasiun dengan sumber cemaran yang memiliki perbedaan. Stasiun I terletak dekat
dengan sumber cemaran (50 m) yang artinya sedimen dapat mengakumulasi secara langsung
yang dihasilkan dari industri, sedangkan stasiun lainnya berada pada jarak 800 m dari
sungai Tapak. Kawasan ini banyak dimanfaatkan untuk budidaya tambak udang dan bandeng
tetapi adanya pembuangan limbah industri diduga dapat mencemari lingkungan perairan dan
organisme yang hidup di dalamnya (Pratama et al, 2014). Industri di sekitar muara sungai
Tapak sendiri banyak menghasilkan berbagai limbah, terutama limbah industri keramik yang
menghasilkan logam Pb. Proses pada industri keramik dapat menghasilkan limbah glasir,
dalam proses pengglasiran, bahan mentah yang digunakan terdiri dari bahan pembentuk,
pelebur, pengental dan pewarna. Logam timbal dan seng biasanya ditemukan pada bahan
pelebur yang digunakan dalam bentuk timbal oksida (PbO) dan seng oksida (ZnO) (Priadi,
2014). Logam Pb juga dapat berasal dari aktivitas kendaraan bermotor di sekitar muara, asap
dan tumpahan bahan bakar minyak di muara sungai Tapak. Sesuai dengan pernyataan Fajriah
et al (2017) bahwa perairan yang berada di sekitar jalan raya dan terdapat aktivitas kendaraan
bermotor maka dapat terakumulasi logam Pb, karena logam Pb merupakan salah satu bahan
IV.4. Bioakumulasi Logam Pb pada Kerang Hijau (Perna viridis) Berdasarkan nilai
Biokonsentrasi adalah proses masuknya logam berat kedalam tubuh organisme dan
lingkungan tempat hidup organisme tersebut. Selanjutnya, logam berat terakumulasi dan
tinggal di dalam jaringan tubuh organisme dalam jangka waktu lama sebagai racun
terakumulasi (Kolck et al., 2008). Faktor biokonsentrasi (BAF) merupakan faktor yang
unsur yang masuk kedalam tubuhnya dari kondisi lingkungan sekitar. Hasil perhitungan nilai
BAF logam Pb pada biota di muara sungai Tapak Tugurejo, Semarang disajikan pada
Gambar 17. Nila BAF pada stasiun I hingga IV sebesar 0,0893; 0,067; 0,103; 0,1065.
0.14
0.12
0.103 0.1065
0.1 0.0893
Nilai BAF
0.08
0.067
0.06
0.04
0.02
0
I II III IV
Stasiun
A B
Gambar 17. Grafik nilai Bioaccumulation factor (BAF) logam Pb pada biota di
muara sungai Tapak Tugurejo, Semarang.
memiliki nilai ≤ 1 sehingga dapat disimpulkan bahwa organisme yang ada di muara sungai
Tapak tersebut yaitu memiliki kemampuan yang kurang baik dalam mengakumulasi logam
dalam tubuhnya. Darmono (1995) berpendapat bahwa tanaman air dan jenis binatang lunak
(kerang dan keong) yang tidak bergerak atau mempunyai mobilitas lamban tidak dapat
meregulasi logam. Seperti organisme air lainnya sehingga dapat mengakumulasi logam berat
pada tubuhnya. Ahyar et al (2017) juga menyatakan bahwa setiap organisme memiliki
kemampuan berbeda dalam mengendalikan paparan logam berat tergantung pada kemampuan
organisme untuk mengakumulasi logam berat diperairan, sedimen, dan kebiasaan makan
organisme akuatik.
Rendahnya nilai BAF disebabkan karena ukuran kerang hijau dan pertumbuhan
kerang hijau yang didapatkan belum maksimal dalam mengakumulasi logam berat pada
tubuhnya. Sesuai dengan pernyataan Amriani et al (2011) bahwa besar cangkang suatu
makrofauna bentik biasanya diidentikkan dengan umur spesies tersebut. Artinya semakin
besar ukuran cangkang maka umur spesies tersebut juga lebih tua, sehingga waktu akumulasi
logam berat telah berlangsung lebih lama dibandingkan kerang dengan ukuran cangkang
kecil. Semakin besar ukuran biota air, maka akumulasi logam berat semakin meningkat.
Didukung oleh pernyataan Yonvitner dan Sukimin (2009) bahwa kemampuan akumulasi
logam oleh biota kerang akan terganggu jika keadaan laju pertumbuhan dan penempelan
biota itu sendiri terganggu. Semakin ke arah laut maka kerang hijau dapat tumbuh secara
maksimal dan hidup menempel pada jaring dan subtrat. Sedangkan makin ke arah sungai
maka tingkat bioakumulasi kerang terhadap logam berat akan berkurang karena lemahnya
sifat menempel pada subtrat. Hal ini didukung oleh pernyataan Setyobudiandi (2001) bahwa
jumlah kerang hijau akan terlihat banyak pada sisi masuk muara, namun tidak dapat
memaksimalkan pertumbuhannya dengan baik dibandingkan dengan kerang hijau yang hidup