Anda di halaman 1dari 15

Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Sabtu/09 November 2019

m.k. Manajemen Kualitas Kelompok :4


Air dan Tanah Dosen : Dr. Yuni Puji H, S.Pi, M.Si
Andri Hendriana, S.Pi, M.Si
Henry Kasmanhadi S, S.Pi
Asisten dosen : Bhre Hagni Yuwono, S.Pi
Nabilla Putri E, A.Md

TEKNIK PENANGANAN FISIKA AIR (KEKERUHAN)


DAN LOGAM BERAT (Fe) MENGGUNAKAN TANAMAN AIR

Disusun oleh:
Kristin Novita S J3H218126

PROGRAM KEAHLIAN
TEKNOLOGI MANAJEMEN DAN PRODUKSI PERIKANAN
BUDIDAYA
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budidaya merupakan suatu kegiatan pemeliharan organisme dalam wadah


terkontrol yang dilakukan secara berkelanjutan untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam budidaya terutama budidaya perairan sering kali menghasilkan limbah
budidaya. Limbah-limbah ini dapat berasal dari sisa pakan yang tidak termakan,
feses, urine, dan dekomposisi jasad retnik di dalam perairan tersebut. Sehingga hal
ini dapat menurunkan kualitas air pada wadah budidaya tersebut. Penurunan
kualitas air ini sangat merugikan bagi pembudidaya dan lingkungan di sekitarnya,
sehingga perlu adanya penanggulangan yang tepat untuk memperbaikinya. Salah
satu hal yang dapat dilakukan yaitu dengan memperbaiki manajemen kualitas air
yang meliputi manajemen kualitas air fisik, kimia, dan biologi. Manajemen
kualitas air secara biologi dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman air.
Tanaman air merupakan tumbuhan yang hidup di air yang memerlukan adaptasi
khusus dalam pertumbuhannya. Dalam pertumbuhannya tanaman air ini
memerlukan nitrogen (N) dan karbondioksida (CO2). Tanaman air biasa
digunakan sebagai dekorasi alami dan juga berperan dalam keseimbangan
ekosistem dalam akuarium. Tanaman air berfungsi sebagai pelindung ikan dari
bahaya amonia dan logam berat, mengontrol pertumbuhan alga, menstabil pH
(Walstad 1999 dalam Yulianto 2001). Oleh karena itu, tanaman air baik
digunakan sebagai bahan dalam manejemen kualitas air.

Air merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup yang ada di
alam ini. Air digunakan manusia untuk memasak, menyuci, minum, dan lain
sebagainya. Jika air yang dikonsumsi manusia tidak layak lagi, maka akan
berdampak pada kesehatan manusia. Air juga bahan yang selalu terikat dengan
kehidupan ikan. Sifat air yang mengalir melewati tanah atau terpresipitasi melalui
hujan menjadikan air bersifat dinamis. Berbagai bahan limbah buangan dapat
masuk kedalam perairan dengan mudah kapan saja. Dalam akuakultur lingkungan
perairan harus diperhatikan karena ikan hidup ditempat ini dan tentunya
perubahan kualitas air akan mengganggu kelangsungan kehidupan ikan. Unsur
yang menjadi pencemar dalam lingkungan perairan adalah amoniak serta partikel
zat terlarut yang dapat menyebabkan kekeruhan. Teknologi pengolahan air limbah
greywater yang lain, dapat menggunakan tumbuhan (fitoteknologi) yang ditanam
pada sistem constructed wetland. Tujuan fitoteknologi adalah untuk mencegah
migrasi polutan ke tempat lain, mendegradasi, menstabilisasi dan menyerap
polutan menggunakan tumbuhan. Fitoteknologi memperhatikan dua hal pada
tumbuhan yaitu fisiologi dasar tumbuhan dan mekanisme penyerapan polutan oleh
tumbuhan. Tumbuhan akuatik yang sering digunakan antara lain eceng gondok
(Eichornia crassipes), kayu apu (Pistia stratiotes), duckweed (Lemna minor) ,
reed (Phragmites australis) dan cattail (Typha angustifolia) (Priyanto 2006).
Tanaman air yang berada dipermukaan air dapat menyerap amonia namun dengan
intensitas yang rendah, dibandingkan tanaman air yang berada di dasar perairan.
Tanaman yang berada di dasar perairan juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber
oksigen terlarut karena dapat melakukan aktivitas fotosintesis dengan baik.
Pengujian toksisitas suatu air limbah atau zat polutan dapat dilakukan dengan
tumbuhan tingkat tinggi, baik tumbuhan teristerial maupun tumbuhan akuatik,
misalnya lemna sp atau makrofita lain, alga dan hewan akuatik. Lemna telah
dipakai untuk menguji dampat senyawa farmasi, termasuk antibiotika, senyawa
fenol, hidrokarbon aromatik, dan asam haloasetat. Tumbuhan air ini telah
digunakan oleh Zhang dan Jin untuk menguji toksisitas air limbah dan toksisitas
logam lantanum (Sutrisno 2010).

Logam berat berbahaya bagi manusia karena dapat mengakibatkan efek


biotoksik pada manusia yang kemudian menimbulkan penyakit akut maupun
kronis. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menemukan
bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari keberadaan logam berat di rantai
makanan, meskipun dalam konsentrasi yang sangat kecil. Bahkan Badan
Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat/ USEPA (United States Environment
Protection Agency) mengklasifikasikan beberapa logam berat ke dalam daftar
“Top 20 Hazardous Substance Priority List” yang mereka rilis. Peringkat pertama
ditempati oleh arsenik sebagai substansi yang paling berbahaya (Srivastava 2010).
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan limbah logam berat di
lingkungan akuatik sangat mengancam keberlangsungan lingkungan dan
organisme.

Sebagian besar logam seperti Fe, Pb, Zn, Al & Cu mudah terlarut pada pH
< 5 (Stumn & Morgan 1996). Pada pH 6,5-7 adalah merupakan pH yang ideal.
Unsurunsur hara akan relative banyak tersedia pada pH tersebut. Sedangkan pada
pH rendah unsur-unsur seperti Al, Mn & Fe akan bersifat racun. Kadar besi (Fe) >
1 mg/L dianggap membahayakan kehidupan organisme akuatik (Moore 1991).
Logam Fe merupakan logam essensial yang keberadaannya dalam jumlah tertentu
sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah berlebih dapat
menimbulkan efek racun. Buangan industri yang mengandung persenyawaan
logam berat Fe bukan hanya bersifat toksik terhadap tumbuhan tetapi juga
terhadap hewan dan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat
yang sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan
dan keberadaannya secara alami sulit dihilangkan, dapat terakumulasi dalam biota
perairan termasuk kerang, ikan dan sedimen, memiliki waktu paruh yang tinggi
dalam tubuh biota laut serta memiliki nilai faktor konsentrasi yang besar dalam
tubuh organisme. Untuk mengatasi masalah tersebut, banyak penelitian yang
dilakukan untuk mengurangi kadar limbah terutama logam berat yang berada di
perairan melalui cara biologis yaitu dengan menggunakan tanaman enceng
gondok (Eichornia crassipes). Enceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan
salah satu tanaman yang mempunyai kemampuan sebagai biofilter. Dengan
adanya mikrobia rhizosfera pada akar dan didukung oleh daya absorbsi serta
akumulasi yang besar terhadap bahan pencemar tertentu, maka dapat
dimanfaatkan sebagai alternatif pengendali pencemaran di perairan. Oleh karena
itu, eceng gondok dapat digunakan sebagai penyerap bahan-bahan kimia yang
ada di perairan. Tanaman yang berada didasar perairan juga bisa dimanfaatkan
sebagai sumber oksigen terlarut karena dapat melakukan aktivitas fotosintesis
dengan baik.
Oksigen tersebut dapat dimanfaatkan oleh bakteri dalam proses oksidasi, karena
bakteri dapat memiliki peranan penting dalam menghilangkan partikel amonia
melalui proses nitrifikasi (Dauhan 2014). Tanaman eceng gondok memiliki
kelemehan dan kelebihan dalam mengurangi kadar logam berat pada perairan.
Kelebihan tanaman eceng gondok adalah mempunyai daya regenerasi yang cepat.
Hal itu dapat dilihat dari potongan-potongan vegetatifnya yang terbawa arus akan
terus berkembang menjadi eceng gondok dewasa. Eceng gondok juga sangat peka
terhadap keadaan unsur hara didalam air apabila kurang mencukupi, tetapi
responnya terhadap kadar unsur hara yang tinggi juga besar. Proses regenerasi
yang cepat dan toleransinya terhadap lingkungan yang cukup besar, menyebabkan
eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai pengendali pencemaran lingkungan.
(Soerjani 1974). Setiap sepuluh tanaman enceng gondok mampu berkembangbiak
menjadi 600.000 tanaman baru dalam waktu delapan bulan. Hal ini sangat
membantu dalam mengurangi kadar logam berat dengan cepat. Namun, di
samping memiliki manfaat untuk mengurangi kadar logam berat pada perairan
tanaman ini juga memiliki kelemahan, yaitu dapat mengurangi jumlah oksigen
dalam air karena pertumbuhan yang begitu cepat pada tanaman ini bisa menutupi
seluruh perairan, akibatnya jumlah cahaya yang masuk ke dalam air akan semakin
berkurang dan tingkat ke-larutan oksigen pun akan berkurang. Selain itu, perairan
menjadi dangkal karena eceng gondok yang telah mati akan menumpuk sedikit
demi sedikit ke permukaan, sehingga seiring berjalannya waktu perairan pun akan
menjadi dangkal. Juga mengurangi jumlah air karena tanaman eceng gondok bisa
menyebar hingga ke seluruh permukaan air.

Hal ini menyebabkan evapotranspirasi yang berarti jumlah kehilangan air akan
bertambah akibat pertumbuhan eceng gondok yang begitu cepat dan memiliki
daun yang lebar

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui efektivitas media


tanaman air terhadap sifat fisika air yaitu kekeruhan serta pada logam berat (Fe).
Juga untuk menentukan jenis tanaman yang paling baik dalam menyerap Fe dan
kekeruhan. Juga memahami dan mempelajari cara pemanfaatan tanaman untuk
perbaikan kualitas air budidaya.
II. METODOLOGI

1.1. Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 2019 sampai dengan 25


Oktober 2019 pada pukul 07.00-11.00 WIB yang dilaksanakan di BAK Perikanan
Gunung Gede Sekolah Vokasi IPB.

1.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada kegiatan praktikum adalah sebagai
berikut dengan bahan ikan nila ukuran benih 72 ekor, pakan pelet, eceng gondok,
hydrilla dan air. Alat-alat yang digunakan antara lain akuarium dua belas buah,
aerasi, filter undergravel dua belas buah, selang filter dua belas buah, pH meter,
DO meter, turbidity meter, thermometer, TDS dan EC meter dan timbangan
digital.

1.3. Prosedur Kerja

Pertama-tama disiapkan tiga akuarium untuk masing-masing kelompok


dan kemudian akuarium diisi dengan air dengan ketinggian air sebesar 20 cm
kemudian masukan Fe sebanyak 5 gram kedalam masing-masing akuarium (saat
minggu pertama) dan 50 gram pada sepuluh hari pertama. Lalu, letakkan filter yang
digunakan di akuarium per kelompok yaitu eceng gondok, hydrilla dan tiga
akuarium sebagai kontrol (tidak diberikan treatment). Selanjutnya, masukkan enam
ekor ikan yang sudah ditimbang bobot dan diukur panjang tubuh sebelumnya per
akuarium. Kemudian, lakukan pengukuran teratur (pH, suhu, DO, TDS dan
konduktivitas) saat pagi dan sore hari, pengukuran kekeruhan saat hari ke-0, 7 dan
10 serta pemberian pakan dengan frekuensi tiga kali sehari.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Tabel 1. Data nilai hasil pengukuran beberapa parameter kimia air pada
treatment menggunakan tumbuhan air.
Parameter
Perlakuan DO TDS Konduktivitas
pH Suhu (℃)
(mg/L) (ppm) [S/m]

Eceng gondok 6.0-8.3 24.1-32 1.5-6.3 75-180 151-359

Kontrol 6.0-7.9 24-31 1.3-8.7 75-189 150-381


Hydrilla 6.0-8.3 24.4-31.1 1.9-7 74-184 123-366
Hydrilla 6.0-8.2 24.2-31.8 1.5-7.5 72-157 145-314

Interpretasi : Berdasarkan Tabel 1. Data nilai hasil pengukuran beberapa


parameter kimia air pada treatment menggunakan tumbuhan air,
dapat diketahui bahwa nilai rata-rata pH yang dihasilkan pada
seluruh treatment (eceng gondok, hidyrilla dan kontrol) sebesar 8,2.
Nilai pH tertinggi terdapat pada treatment eceng gondok dan
hydrilla dengan nilai sebesar 8,3. Sedangkan nilai pH terendah ada
pada treatment kontrol dengan nilai yang dihasilkan sebesar 7,9.
Selanjutnya, nilai rata-rata suhu yang dihasilkan oleh keempat
tanaman air tersebut sebesar 24,2 - 31,5 C. Nilai DO, TDS dan
konduktivitas yang tertinggi terdapat pada treatment kontrol
masing-masing sebesar 1.3-8.7 mg/L, 75-189 ppm dan 150-381
S/m. Sedangkan, nilai terendahnya ada pada treatment tanaman air
hydrilla dengan nilai yang dihasilkan sebesar 72-157 ppm untuk
TDS dan 145-314 S/m untuk nilai konduktivitasnya. Selain itu,
nilai terendah kandungan oksigen terlarutnya ditemukan pada
treatment eceng gondok dengan nilai sebesar 1.5 - 6.3 mg/L.

Tabel 2. Nilai hasil pengukuran kekeruhan pada penanganan menggunakan


tumbuhan air.
Kekeruhan (ppm)
Kelompok
H0 H7 H10
Eceng gondok - 3.86 4.76
Kontrol - 3.03 2.4
Hydrilla - 2.03 3.58
Hydrilla - 3.56 4.48
Interpretasi : Berdasarkan Tabel 2. Nilai hasil pengukuran kekeruhan pada
penanganan menggunakan tumbuhan air, dapat dilihat terdapat
nilai kekeruhan mulai dari yang tertinggi hingga terendah yang
dihasilkan pada seluruh treatment (eceng gondok, hidyrilla dan
kontrol) saat tujuh dan sepuluh hari pertama. Nilai kekeruhan
tertinggi terdapat pada treatment eceng gondok sebesar 3.86 ppm
dan mengalami peningkatan pada hari kesepuluh menjadi 4.76
ppm. Sedangkan nilai kekeruhan terendah yang dihasilkan oleh
beberapa tumbuhan air terdapat pada treatment hydrilla dengan
nilai yang dihasilkan sebesar 2.03 ppm pada minggu pertama
serta mengalami peningkatan nilai kekeruhan menjadi 3.58 ppm
saat sepuluh hari pertama.

Tabel 3. Nilai hasil pengukuran kandungan logam berat (Fe) pada treatment
menggunakan tumbuhan air.
Fe (ppm)
Kelompok
H0 H7 H10
Eceng gondok <0 0 0.25
Kontrol <0 0.1 0.5
Hydrilla <0 1 0,5
Hydrilla <0 - 1

Interpretasi : Berdasarkan Tabel 3. Nilai hasil pengukuran kandungan logam


berat (Fe) pada treatment menggunakan tumbuhan air, dapat
diketahui bahwa nilai rata-rata Fe yang dihasilkan pada treatment
(eceng gondok, hidyrilla dan kontrol) sebesar 0.4 mg/L. Nilai Fe
tertinggi terdapat pada treatment hydrilla sebesar 1 mg/L untuk
tujuh dan sepuluh hari pertama. Sedangkan nilai Fe terendah
terdapat pada treatment eceng gondok dengan nilai yang dihasilkan
sebesar 0 mg/l untuk minggu pertama serta 0.25 mg/L untuk
sepuluh hari pertama.

3.2. Pembahasan

Limbah akuakultur yang masuk ke lingkungan akuatik terdiri dari nutrien,


berbagai macam bahan organik dan anorganik seperti ammonium, fosfor, karbon
organik terlarut dan bahan organik (Piedrahita 2003; Sugiura et al., 2006).
Menurut Frid (2002), dari 100% pakan yang diberikan hanya sekitar 80% saja
yang dikonsumsi, sedangkan sisanya 20% akan terbuang (tidak termakan). Dari
80% yang dikonsumsi, hanya sekitar 25% saja yang diretensi, sedangkan sisanya
10% akan terbuang melalui feses dan 65% akan terekskresi sebagai urin. Semua
limbah yang dihasilkan baik dari sisa pakan maupun feses dan urin dapat
meningkatkan kandungan bahan organik terlarut maupun tersuspensi yang dapat
berdampak negatif terhadap ikan bahkan pada dosis tertentu bersifat toksik.
Disamping itu, limbah N dan P dapat mempengaruhi parameter kualitas air seperti
menurunnya konsentrasi kandungan oksigen terlarut, dan meningkatnya
konsentrasi karbon dioksida, ammonia, nitrit dan nitrat. Parameter kualitas air
yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan dan sintasan adalah nitrit, nitrat,
ammonia, oksigen terlarut dan fosfat. Kandungan Fe di bumi sekitar 6.22%, di
tanah sekitar 0.5 – 4.3%, di sungai sekitar 0.7 mg/l, di air tanah sekitar 0.1 – 10
mg/l, air laut sekitar 1 – 3 ppb sedangkan pada air minum tidak lebih dari 200
ppb. Pada air permukaan biasanya kandungan zat besi relatif rendah yakni jarang
melebihi 1 mg/L sedangkan konsentrasi besi pada air tanah bervariasi mulai dan
0,01 mg/l sampai dengan ± 25 mg/L. Di alam biasanya banyak terdapat di dalam
biji besi hematite, magnetite, taconite, limonite, goethite, siderite dan
pyrite (FeS), sedangkan di dalam air umumnya dalam bentuk terlarut sebagai
senyawa garam ferri (Fe3+) atau garam ferro (Fe2+), tersuspensi sebagai butir
koloidal (diameter < 1 mm) atau lebih besar seperti Fe(OH)3 dan tergabung
dengan zat organik atau zat padat yang anorganik (seperti tanah liat dan partikel
halus terdispersi). Senyawa ferro dalam air yang sering dijumpai adalah FeO,
FeSO4, FeSO4, 7 H2O, FeCO3, Fe(OH)2, FeCl2 sedangkan senyawa ferri yang
sering dijumpai yaitu FePO4, Fe2O3, FeCl3, Fe(OH)3. Besi (Fe) adalah logam
berwarna putih keperakan, liat dan dapat dibentuk. Fe di dalam susunan unsur
berkala termasuk logam golongan VIII, dengan berat atom 55,85 g/mol, nomor
atom 26, berat jenis 7.86 g/cm3 dan umumnya mempunyai valensi 2 dan 3 (selain
1, 4, 6). Besi (Fe) adalah logam yang dihasilkan dari biji besi dan jarang dijumpai
dalam keadaan bebas, untuk mendapatkan unsur besi, campuran lain harus
dipisahkan melalui penguraian kimia. Besi digunakan dalam proses produksi besi
baja yang bukan hanya unsur besi saja tetapi dalam bentuk alloy (campuran
beberapa logam dan bukan logam, terutama karbon). Penggunaan logam berat
dalam kehidupan sehari-hari baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mencemari lingkungan. Logam-logam berat diketahui terkumpul di dalam tubuh
suatu organisme dan tetap tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama
sebagai racun yang terakumulasi. Akumulasi (tingkat penyerapan) logam berat
pada tanaman di perngaruhi oleh banyak faktor antara lain; karakteristik fisika,
kimia dan media pertumbuhan yang digunakan. Faktor-faktor tersebut meliputi
pH, kapasitas tukar ion, kejenuhan basa, pertukaran kation dan lain-lain.
Kandungan Fe diperairan dapat direduksi menggunakan filter fisik dan juga
biologi filter biologi sering dimanfaatkan untuk mereduksi logam berat diperairan
yaitu dengan cara menyerap kandungan logam berat tersebut melalui akar dan
batang yang dimiliki oleh tumbuhan air. Prosedur analisa logam berat besi dapat
dilakukan dengan metode spektrofotometri.

Tanah yang telah tercemar logam berat dapat ditanggulangi secara fisik
melalui pencucian dan penggunaan bahan organik. Prinsip dari metode ini adalah
dengan penghilangan logam berat dengan pencucian atau dengan membuat logam
berat itu tidak aktif dengan bahan organik. Pencucian dilakukan dengan
memasukkan air irigasi yang tidak tercemar logam berat ke tanah yang sedang
diolah, kemudian membuang air tersebut melalui saluran drinase. Selain
penanggulangan pencemaran logam berat secara fisik ada juga penanggulangan
pencemaran logam berat secara kimia. Ada dua metode yang dapat digunakan
dalam penaggulangan secara kimia ini, yaitu dengan metode pengapuran.
Cara kimia yang bisa digunakan adalah dengan metode pengapuran. Sebagian dari
unsure logam berat terutama Pb dapat larut ditanah atau tersedia bagi tanaman
dalam keadaan tanah masam, sehingga dapat menyebabkan tanaman menyerap Pb
secara berlebihan dan bersifat racun bagi tanaman itu sendiri. Dengan pengapuran
tanah tidak akan terlalu masam sehingga logam berat seperti Pb tidak akan berada
ditanah dalam bentuk tersedia bagi tanaman (Tan 1991). Dalam keadaan basa
terjadi penambahan muatan negatif jadi, peningkatan pH tanah umumnya akan
meningkatkan muatan negatif sehingga kemapuan koloid tanah dalam menjerap
kation akan meningkat. Selain cara kimia dan fisik ada pula cara biologi yang
dapat digunakan sebagai alternative cara penaggulangan pencemaran logam berat
di tanah. Penanggulangan pencemaran logam berat secara biologi di bagi dua
yaitu metode Fitoremediasi (menggunakan tumbuhan untuk menyerap logam
berat) dan metode Bioremediasi (menggunakan mikrobia). Metode Fitoremediasi
dapat dilakukan dengan memanfaatkan tumbuhan yang dapat menyerap logam
berat didalam air. Salah satu tumbuhan yang dapat menyerap logam berat adalah
Eceng Gondok (Eichormia crassipes). Walaupun dalam petanian Eceng Gondok
dikenal sebagi gulma namun tumbuhan ini dapat menyerap logam berat dan
resisten terhadap toksisitas logam berat tersebut. Selain eceng gondok,
pemanfaatan tumbuhan yang dapat menyerap logam berat di perairan adalah
ludwigia, lemna sp., hydrilla, kamboba dan lain-lain.

Berdasarkan Tabel 1. Data nilai hasil pengukuran beberapa parameter


kimia air pada treatment menggunakan tumbuhan air, dapat diketahui bahwa nilai
rata-rata pH yang dihasilkan pada seluruh treatment (eceng gondok, hidyrilla dan
kontrol) sebesar 8,2. Nilai pH tertinggi terdapat pada treatment eceng gondok dan
hydrilla dengan nilai sebesar 8,3. Sedangkan nilai pH terendah ada pada treatment
kontrol dengan nilai yang dihasilkan sebesar 7,9. Selanjutnya, nilai rata-rata suhu
yang dihasilkan oleh keempat tanaman air tersebut sebesar 24,2 - 31,5 C. Nilai
DO, TDS dan konduktivitas yang tertinggi terdapat pada treatment kontrol
masing-masing sebesar 1.3-8.7 mg/L, 75-189 ppm dan 150-381 S/m. Sedangkan,
nilai terendahnya ada pada treatment tanaman air hydrilla dengan nilai yang
dihasilkan sebesar 72-157 ppm untuk TDS dan 145-314 S/m untuk nilai
konduktivitasnya. Selain itu, nilai terendah kandungan oksigen terlarutnya
ditemukan pada treatment eceng gondok dengan nilai sebesar 1.5 - 6.3 mg/L.

Menurut Henggar (2009) bahwa tumbuhan yang memiliki ukuran lebih


besar lebih baik dalam mengolah kontaminan. Menurut Malik & Biswas (2012)
bahwa Hydrilla verticillata merupakan tumbuhan hiperakumulator. Menurut
Lakitan (2004) bahwa logam berat dapat mempengaruhi tumbuhan dengan cara
menghambat enzim sehingga protein akan mengalami denaturasi yang dapat
memutuskan ikatan hidrogen. Dalam akumulasi logam berat oleh tumbuhan,
logam harus dibawa ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) agar terjadi
penyerapan oleh akar. Dimana senyawa-senyawa yang larut dalam air akan
diambil oleh akar bersama air, dan senyawa – senyawa hidrofobik diserap oleh
permukaan akar. Selain itu juga, translokasi logam dari akar ke bagian tanaman
lain merupakan proses akumulasi logam berat oleh tumbuhan dimana setelah
logam menembus endodermis akar, logam berat akan mengikuti aliran transpirasi
ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut ke bagian tanaman lainnya.
Supaya logam tidak menghambat metabolisme tanaman terjadi lokalisasi logam
pada sel dan jaringan. Ini menunjukkan tumbuhan mempunyai mekanisme
detoksifikasi dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti akar
sebagai bentuk pertahanan keracunan terhadap sel (Suresh dan Ravinskar 2004).
Selain itu temperature air juga akan mendukung tingginya kelarutan besi dalam
air. Temperatur yang tinggi menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut
(DO) dalam air. Kenaikan temperature air dapat menguraikan derajat kelarutan
mineral sehingga kelarutan Fe pada air tinggi.Kelarutan logam berat juga
dipengaruhi oleh kondisi DO diperairan. Menurut Rozak dan Rochyatun (2007),
konsentrasi DO yang rendah menyebabkan kelarutan logam berat rendah sehingga
mudah mengendap ke dasar sedimen. Menurut hasil penelitian Mance (1987)
yang menyatakan bahwa kandungan logam berat di sedimen jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan yang ada pada kolom perairan, disebabkan karena logam
berat yang masuk kedalam kolom perairan akan diserap oleh partikelpartikel
tersuspensi. Sesuai dengan pendapat Boehm (1987), pada sedimen terdapat
hubungan antara ukuran partikel sedimen dengan kandungan bahan organik. Pada
sedimen yang halus, presentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang
kasar. Hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan pengendapan sedimen
lumpur yang diikutioleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Sedangkan
pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah karena
partikel yang lebih halus tidak mengendap. Demikian pula dengan bahan
pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada partikel
sedimen yang halus. Semakin tinggi suhu, maka tingkat akumulasi logam berat
dalam sedimen akan semakin tinggi. Menurut Hutagalung (1984) bahwa kenaikan
suhu akan menyebabkan tingkat bioakumulasi akan semaki tinggi. Diperkuat oleh
pendapat Darmono (2001) bahwa semakin tinggi suhu air pada suatu perairan,
daya toksisitas semakin meningkat dan sebaliknya semakin rendah suhu air maka
daya toksisitasnya semakin menurun. Naiknya suhu pada perairan akan
mempercepat reaksi dalam pembentukan ion-ion logam berat. pH air berpengaruh
terhadap kesadahan kadar besi dalam air, apabila pH air rendah akan berakibat
terjadinya proses korosif sehingga menyebabkan larutnya besi dan logam lain
dalam air. Menurut Begum et al., (2009 a), pH < 7 dapat melarutkan logam.
Dalam keadaan pH rendah besi yang ada dalam air berbentuk ferro (Fe2+) dan ferri
(Fe3+), dimana bentuk ferri akan mengendap dan tidak larut dalam air serta tidak
dapat dilihat dengan mata sehingga mengakibatkan air menjadi berwarna, berbau
dan berasa. Hal ini juga didukung oleh kecepatan arus yang sangat rendah.
Kecepatan arus yang rendah, mendukung kation ferri (Fe 3+) semakin mudah
terdeposit dalam sedimen terutama pada clay dan silt (Johnson et al., 2005).

Berdasarkan Tabel 2. Nilai hasil pengukuran kekeruhan pada penanganan


menggunakan tumbuhan air, dapat dilihat terdapat nilai kekeruhan mulai dari
yang tertinggi hingga terendah yang dihasilkan pada seluruh treatment (eceng
gondok, hidyrilla dan kontrol) saat tujuh dan sepuluh hari pertama. Nilai
kekeruhan tertinggi terdapat pada treatment eceng gondok sebesar 3.86 ppm dan
mengalami peningkatan pada hari kesepuluh menjadi 4.76 ppm.
Sedangkan nilai kekeruhan terendah yang dihasilkan oleh beberapa tumbuhan air
terdapat pada treatment hydrilla dengan nilai yang dihasilkan sebesar 2.03 ppm
pada minggu pertama serta mengalami peningkatan nilai kekeruhan menjadi 3.58
ppm saat sepuluh hari pertama. Peningkatan bahan organik total dapat
mempengaruhi kekeruhan. Bahan Organik Total (TOM) merupakan kandungan
bahan organik total suatu perairan yang terdiri atas bahan organik terlarut,
tersuspensi dan koloid. Peningkatan bahan organik total tersebut mengakibatkan
adanya endapan di dalam wadah pemeliharaan. Menurut Boyd (1992),
peningkatan bahan organik akan berdampak seperti meningkatnya unsur hara.
Unsur hara yang umumnya berupa nitrogen dan fosfor yang terakumulasi di
media pemeliharaan. Kandungan bahan organik di perairan yaitu sebaiknya < 55
mg L-1 (Effendi 2003). Menurut Stickney (1979), kekeruhan dapat terjadi karena
meningkatnya padatan tersuspensi di dalam air. Padatan tersuspensi berasal dari
sisa pakan dan sisa metabolisme ikan. Peningkatan nilai kekeruhan ini diduga
karena banyaknya padatan tersuspensi yang terkumpul di dalam wadah
pemeliharaan. Menurut Llyod (1985), nilai kekeruhan optimal untuk budidaya
ikan yaitu < 25 NTU. Nilai kekeruhan selama penelitian masih berada dalam
kisaran optimal untuk ikan.

Salah satu aspek penting dalam pemanfaatan tanaman eceng gondok dan
Hydrilla verticillata di media budidaya adalah perbaikan kualitas air. Kualitas air
dikatakan tidak baik apabila terdapat senyawa-senyawa beracun seperti amonia
dan nitrit. Pembentukan senyawa-senyawa tersebut dari bahan organik dan
anorganik yang berasal dari sisa metabolisme ikan dan sisa pakan yang tidak
termakan. Tanaman air yang digunakan sebagai filter biologis dapat mengubah
bentuk nitrogen anorganik yang berbahaya bagi ikan seperti amonia dan nitrit
menjadi bentuk yang tidak berbahaya yaitu nitrat. Tanaman tersebut menjadi
suatu substrat sebagai tempat penempelan bakteri nitrifikasi. Menurut Boyd
(1990), oksidasi amonia menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri kemoautotrof.
Bakteri yang dimaksud yaitu Nitrosomonas dan Nitrobacter. Bakteri tersebut
memanfaatkan amonia dan nitrit untuk dijadikan bahan makanannya yang
kemudian akan membentuk nitrat.

Berdasarkan Tabel 3. Nilai hasil pengukuran kandungan logam berat (Fe)


pada treatment menggunakan tumbuhan air, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata
Fe yang dihasilkan pada treatment (eceng gondok, hidyrilla dan kontrol) sebesar
0.4 mg/L. Nilai Fe tertinggi terdapat pada treatment hydrilla sebesar 1 mg/L untuk
tujuh dan sepuluh hari pertama. Sedangkan nilai Fe terendah terdapat pada
treatment eceng gondok dengan nilai yang dihasilkan sebesar 0 mg/l untuk
minggu pertama serta 0.25 mg/L untuk sepuluh hari pertama.

Logam Fe merupakan logam essensial yang keberadaannya dalam jumlah


tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah berlebih
dapat menimbulkan efek racun. Tingginya kandungan logam Fe akan berdampak
terhadap kesehatan manusia diantaranya bisa menyebabkan keracunan (muntah),
kerusakan usus, penuaan dini hingga kematian mendadak, radang sendi, cacat
lahir, gusi berdarah, kanker, sirosis ginjal, sembelit, diabetes, diare, pusing,
mudah lelah, hepatitis, hipertensi, insomnia (Parulian 2009).
Menurut Begum et al., (2009a) dikatakan bahwa pencemaran berat apabila kadar
DO antara 0,1-2 mg/L. Rendahnya Oksigen terlarut ini diduga dipakai oleh
bakteri untuk menguraikan zat pencemar tersebut agar bahan buangan yang ada
dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia, sehingga akan berdampak pada
penurunan kadar oksigen terlarut.

IV. KESIMPULAN

Jenis filter yang paling efektif pada perlakuan teknik penanganan logam berat
(Fe) dengan tumbuhan air adalah tumbuhan hydrilla. Lama waktu treatment
paling efektif untuk menurunkan kadar Fe hingga mencapai 0.5 mg/l adalah
selama tiga hari. Pemanfaatan tanaman eceng gondok dan hydrilla verticillata
efektif digunakan sebagai fitoremediator untuk perbaikan kualitas air media
pemeliharaan.
V. DAFTAR PUSTAKA

Begum, A., Krishna, H., Irfanulla, K., 2009a, Analysis of Heavy Metals in Water,
Sediments and Fish Samples of Madivala Lakes of Bangalore, Karnataka.
International Journal of ChemTechResearch, Vol.1, No.2, pp. 245-249.

Boehm, P. D. 1987. Transport and transformation process regarding hydrocarbon


and metal pollution in offshore sedimenary environment in: Long term
effect of shore oil and gas development. D. F. Boesch and N. N. Rabalai.
Elsivier applied science. London.
Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham (AL):
Birmingham Publishing Co.
Boyd CE. 1992. Water Quality Management for Pond Fish Culture.: Development
in Aquaculture and Fisheries Science. Auburn University Agriculture
Experiment Station. Alabama (US): Elsevier.

Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Universitas Indonesia,


Jakarta.

Dauhan, R. E. S., Eko E. dan Suparmono. 2014. Efektifitas Sistem Akuaponik


Dalam Mereduksi Konsentrasi Amonia Pada Sistem Budidaya Ikan. Jurnal
Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. Vol. III No 1: 297-302.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan dan Sumberdaya
Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Frid C, Dobson M. 2002. Ecology of aquatic management. Prentice Hall. Pearson


Education.

Henggar, H. 2009. Potensi Tanaman Dalam Mengakumu-lasi Logam Cu pada


Media Tanah Terkontaminasi Lim-bah Padat Industri Kertas. BS, Vol. 44,
No. 1, Juni 2009 : 27 –40. Diakses tanggal 15 Mei 2013.

Hutagalung, H.P. 1984. Logam Berat dalam Lingkungan Laut. Oseanologi Vol IX
No:LP3O-LIPI, Jakarta.
Johnson, V., Peterson, R., Olsen, K., 2005, Heavy Metal Transport and Behavior
In The Lower ColumbiaRiver, USA, Environmental Monitoring and
Assessment (Springer), Vol. 110, pp. 271–289.

Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Edisi 1, Cet.5. PT.


RajaGrafindo Persada. Jakarta. 206 hlm.
Llyod DS. 1985. Turbidity in Freshwater Habitats of Alaska. A Review of
Published and Unpublished Literature Relevant to the use of Turbidity as a
Water Quality Standard. Juneau, Alaska: Alaska Department of Fish and
Game Habitat Division. hlm 3-4.

Malik, N & Biswas, A.K. 20012. Role Of Higher PlantsIn Remediation Of Metal
Contaminated Sites. Scientific Re-views & Chemical
Communications2(2): 141 –146.

Mance, G. 1987. Pollution Trreat of Heavy Metals in Aquatic Environmens. Page


Bross Limited. Great Britain.

Moore, J.W. 1991. Inorganic Contaminant of Surface Water Springer Verlag,


New York.

Parulian, A. 2009. Monitoring dan Analisis Kadar Aluminium (Al) dan Besi (Fe)
Pada Pengolahan Air Minum PDAM Tirtanadi Sunggal. Medan :
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU).

Piedrahita RH. 2003. Reducing the potensial environment impact of tank


aquaculture effluents through intensification and recirculation.
Aquaculture 226, 35-44.

Priyanto Budhi. 2006. Uji Toksisitas Air Limbah Penyamakan Kulit Menggnakan
Metode Penghambatan Pertumbuhan Lemna Sp. [Jurnal Tknologi
Lingkungan] Vol.7 No.2. Hal.212-218. ISSN 1441-318X.

Rozak, A., dan Rochyatun, E. 2007. Pemantauan Kadar Logam Berat dalam
Sedimen di Perairan Teluk Jakarta. Makara Sains, 11(1): 28 36.

Setyowati, S, Nanik Heru Suprapti, dan Erry Wiryani. 2005. Kandungan Logam
tembaga (Cu) dalam Eceng Gondok (Eichhornia crassipes Solms.),
Perairan dan Sedimen Berdasarkan Tata Guna Lahan di Sekitar Sungai
Banger, Pekalongan. Lab. Ekologi & Biosistematik, Jurusan Biologi,
FMIPA. UNDIP.
Soerjani, M. J. V. 1974. “Aquatic Weed Problems and Control in Southeast Asia
Tropical Pest Biologi“. Seameo – Biotrop. Bogor, Indonesia.
Stickney RR. 1979. Principles of Warmwater Aquaculture. Canada (USA): Texas
A & M University.

Stumn, W and J.J. Morgan. 1996. Aquatic Chemistry: Chemical Equilibria and
Rates in Natural Waters. John Wiley & Sons, New York.

Sugiura SH, Marchant DD, Wigins T, Ferraris RP. 2006. Effluent profile of
commercially used low-phosphorus fish feeds. Environ Pollut. 140, 95-
101.

Suresh B., and G.A. Ravishankar. 2004. Phytoremediation –Anovel and


Promising Approach for Environmental Clean-up. Critical Reviews in
Biotechnology 24, 2-3:97 –110.

Sutrisno Endro, Sri Sumiyati dan Nurdiansyah2. 2010. Pengaruh Tanaman


Rumput Bebek (Lemna minor) Terhadap Penurunan Bod Dan Co Limbah
Cair Domestik. [Jurnal Presipitasi] Vol. 7 No.1 Maret 2010, ISSN 1907-
187X.

Tan, K.H. 1991. Dasar-dasar Kimia Tanah. Penerbit Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

Yulianto,V. 2001. Aquascape: Menata Tanaman Dalam Aquarium. Jakarta:


Aromedia pustaka.

Anda mungkin juga menyukai