J3H218126
IKN
A1
Perubahan ketiga dari UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 2001 memang
meniadakan dokumen formal GBHN dalam pelaksanaan kenegaraan. Namun,
sebenarnya fungsi arah perencanaan seperti GBHN tidaklah sepenuhnya hilang. Justru,
GBHN digantikan oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). RPJP ini
disusun sebagai rencana pembangunan nasional dalam jangka dua puluh tahun
dilengkapi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam periode
lima tahunan. Seperti GBHN, RPJM juga disusun guna menentukan rencana
pembangunan dalam periode waktu lima tahun dengan mengacu pada RPJP. Lantas,
jika Indonesia telah memiliki sistem pembangunan jangka panjang berupa RPJP
mengapa wacana kembalinya GBHN tetap digulirkan oleh MPR dan beberapa partai
politik?
Di Indonesia, GBHN pada mulanya menjadi wewenang MPR untuk disusun dan
diberlakukan olehnya. Kembalinya wewenang tersebut bisa jadi memiliki konsekuensi
politik tertentu. Menteri-menteri terkait memiliki wewenang untuk menyiapkan susunan
perencanaan tersebut sehingga membuat lembaga legislatif tidak memiliki pengaruh
besar dalam menentukan arah pembangunan. Apabila pemberlakuan GBHN berpotensi
menghidupkan peran MPR dalam penentuan rencana pembangunan, bukan tidak
mungkin partai politik akan lebih leluasa menentukan arah pemerintahan. Masalahnya
adalah partai-partai politik di Indonesia bisa dibilang lebih banyak dipengaruhi oleh
elite dan oligarki politik sendiri. Yang menjadi masalah adalah, partai-partai tersebut
kini tengah memperebutkan posisi pimpinan MPR. Hal tersebut dapat mengindikasikan
bahwa partai politik memang memiliki agenda spesifik terkait kembalinya GBHN di
negeri ini. GBHN bukanlah urgensi utama bagi pembangunan Indonesia.
Berakhirnya rezim Orde Baru (Orba) menjadi titik awal mulainya era Reformasi.
Sejumlah agenda reformasi yang dilaksanakan secara cepat di antaranya adalah tuntutan
melakukan amendemen terhadap UUD 1945. Saat itu, ada beberapa alasan untuk
melakukan amendemen terhadap UUD 1945, yakni melemahnya sistem checks and
balances dalam institusi ketatatanegaraan dan adanya executive heavy yang didominasi
oleh Presiden.
Akhirnya, pada kurun waktu tahun 1999 hingga tahun 2002, amendemen terhadap UUD
1945 dilakukan sebanyak 4 kali. Setelah amendemen UUD 1945 dilaksanakan, terdapat
berbagai perubahan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Konsekuensinya
MPR bukan lagi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dari kedaulatan rakyat.
Penyerahan kedaulatan rakyat kepada MPR dulu menyebabkan kekuasaan pemerintahan
seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat. Setelah amendemen UUD 1945,
kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan Undang-
Undang Dasar.
Oleh karena itu, lebih bijak jika melakukan sinkronisasi dan harmonisasi
terhadap peraturan perundang-undangannya sehingga dapat melahirkan produk hukum
yang lebih komprehensif, partisipatif dan sustainable sebagai pedoman program
pembangunan nasional ke depan. Di samping relasi antara pusat dengan daerah menjadi
sinergi, akan terjalin relasi antar daerah yang saling menguntungkan (relasi
mutualisme).