Anda di halaman 1dari 6

Kristin Novita Simanihuruk

J3H218126

IKN

A1

Dwi Retno Ayu, M.Pd

PANDANGAN TERHADAP RENCANA PERUBAHAN


KEWENANGAN MPR DAN KEMBALINYA GBHN
Rencana amandemen terbatas Undang-undang Dasar 1945 dan menghidupkan
kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
menuai pro dan kontra. GBHN yang digagas oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) RI berpotensi mengunci presiden dalam menjalankan pemerintahan.
Pengembalian kewenangan MPR akan membawa perubahan konstitusi serta
mengacaukan sistem tata negara dan pemerintahan yang berlaku saat ini, yakni sistem
presidensial. Dengan dikembalikannya kewenangan MPR untuk menyusun dan
menetapkan GBHN maka akan berimplikasi pada kedudukan lembaga tinggi negara
tersebut. Setelah reformasi, Indonesia menganut sistem presidensial dengan memilih
presiden secara langsung oleh rakyat. Padahal, presiden terpilih tentu memiliki agenda
politik, sosial dan ekonomi berdasakran visi misi yang telah dikampenyakan. Kalau
produk GBHN cuma ditentukan dua lembaga yaitu DPR dan DPD yang ada di dalam
MPR, dikhawatirkan arah kebijakan pembangunan yang disusun dalam GBHN tidak
bisa dilaksanakan dengan baik lantaran pemerintah selaku eksekutor tak dilibatkan
dalam penyusunannya. Paradigmanya sudah berubah karena paradigma bernegara kita
tidak lagi menganut supremasi MPR, tapi sudah menganut supremasi konstitusi.
Sehingga, GBHN sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam pemerintahan masa
kini. Poin-poin yang terkandung dalam GBHN masih bisa diakomodir lewat Undang-
undang.
Perubahan itu menyebabkan tidak hanya kerumitan sistem yang akan dihadapi,
namun juga soal kekuasaan. Kondisi akan berbeda, apabila terjadi ketika Soekarno dan
Soeharto menjalankan GBHN saat menjadi presiden. Sebab, keduanya dapat
mengendalikan kursi di parlemen. Di kondisi sekarang, tidak ada lagi kendali presiden
yang sekuat Bung Karno dan Pak Harto. Dengan demikian, kembalinya kewenangan
MPR itu akan menimbulkan komplikasi politik karena mau tidak mau posisi MPR akan
lebih tinggi dari lembaga negara lainnya.
GBHN merupakan hal penting untuk pembangunan di Indonesia. Namun, juga
harus mengingat supaya kedudukan MPR sebagai lembaga juga perlu diperhatikan.
Pasalnya, saat ini presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR. Sehingga,
pengembalian kewenangan itu jangan sampai membawa kembalinya kedudukan MPR
sebagai lembaga tertinggi negara seperti yang terjadi di masa orde baru.
Rencana-rencana pembangunan seperti GBHN sebenarnya ditujukan untuk menjadi
panduan bagi arah pelaksanaan dan pembangunan negara. Di negara-negara lain,
panduan-panduan seperti ini disebut sebagai directive principles. Prinsip-prinsip
tersebut dituangkan ke dalam konstitusi, sehingga membuat lembaga pemerintahan
manapun memiliki tanggung jawab politik guna mengikuti panduan itu. Namun,
prinsip-prinsip tersebut hanya mengandung poin-poin yang transformatif tanpa
mengharuskan dilaksanakannya kebijakan yang nyata. Sebenarnya, dokumen acuan
pembangunan Indonesia tidak hanya sebatas bentuk directive principles. Sistem
perencanaan Indonesia telah mencakup perencanaan lebih menyeluruh yang diatur
dalam perundang-undangan.

Perubahan ketiga dari UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 2001 memang
meniadakan dokumen formal GBHN dalam pelaksanaan kenegaraan. Namun,
sebenarnya fungsi arah perencanaan seperti GBHN tidaklah sepenuhnya hilang. Justru,
GBHN digantikan oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). RPJP ini
disusun sebagai rencana pembangunan nasional dalam jangka dua puluh tahun
dilengkapi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam periode
lima tahunan. Seperti GBHN, RPJM juga disusun guna menentukan rencana
pembangunan dalam periode waktu lima tahun dengan mengacu pada RPJP. Lantas,
jika Indonesia telah memiliki sistem pembangunan jangka panjang berupa RPJP
mengapa wacana kembalinya GBHN tetap digulirkan oleh MPR dan beberapa partai
politik?

Di Indonesia, GBHN pada mulanya menjadi wewenang MPR untuk disusun dan
diberlakukan olehnya. Kembalinya wewenang tersebut bisa jadi memiliki konsekuensi
politik tertentu. Menteri-menteri terkait memiliki wewenang untuk menyiapkan susunan
perencanaan tersebut sehingga membuat lembaga legislatif tidak memiliki pengaruh
besar dalam menentukan arah pembangunan. Apabila pemberlakuan GBHN berpotensi
menghidupkan peran MPR dalam penentuan rencana pembangunan, bukan tidak
mungkin partai politik akan lebih leluasa menentukan arah pemerintahan. Masalahnya
adalah partai-partai politik di Indonesia bisa dibilang lebih banyak dipengaruhi oleh
elite dan oligarki politik sendiri. Yang menjadi masalah adalah, partai-partai tersebut
kini tengah memperebutkan posisi pimpinan MPR. Hal tersebut dapat mengindikasikan
bahwa partai politik memang memiliki agenda spesifik terkait kembalinya GBHN di
negeri ini. GBHN bukanlah urgensi utama bagi pembangunan Indonesia.

Berakhirnya rezim Orde Baru (Orba) menjadi titik awal mulainya era Reformasi.
Sejumlah agenda reformasi yang dilaksanakan secara cepat di antaranya adalah tuntutan
melakukan amendemen terhadap UUD 1945. Saat itu, ada beberapa alasan untuk
melakukan amendemen terhadap UUD 1945, yakni  melemahnya sistem checks and
balances dalam institusi ketatatanegaraan dan adanya executive heavy yang didominasi
oleh Presiden.
Akhirnya, pada kurun waktu tahun 1999 hingga tahun 2002, amendemen terhadap UUD
1945 dilakukan sebanyak 4 kali. Setelah amendemen UUD 1945 dilaksanakan, terdapat
berbagai perubahan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Konsekuensinya
MPR bukan lagi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dari kedaulatan rakyat.
Penyerahan kedaulatan rakyat kepada MPR dulu menyebabkan kekuasaan pemerintahan
seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat. Setelah amendemen UUD 1945,
kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan Undang-
Undang Dasar.

Sejak amendemen ketiga UUD 1945, sistem pemerintahan presidensil menjadi


lebih tegas, murni dan konsisten. Adapun sistem pemerintahan presidensil hanya
mengenal satu eksekutif. Disamping itu, sebagai mandataris MPR, Presiden dalam
menjalankan program pembangunan nasional harus sesuai dengan GBHN. Sebab,
sewaktu-waktu, mandat tersebut dapat ditarik kembali oleh MPR. Sifat
pertanggungjawaban kepada MPR yang seperti ini memperlihatkan adanya unsur
parlementer dalam sistem pemerintahan presidensil. Namun, setelah amendemen UUD
1945, pelaksanaan sistem pemerintahan presidensil memiliki kendala. Hal ini
disebabkan adanya konstruksi politik multipartai. Penerapan sistem multipartai
berimplikasi pada tingkat pelembagaan kepartaian yang rendah dan kekuatan politik di
parlemen cenderung terfragmentasi. Kondisi ini semakin menegaskan, bahwa antara
teori dan praktik tidak harus koheren sehingga penyusunan kabinet cenderung diwarnai
oleh konsensus politik yang mengandung kompromi dan akomodatif. Tujuannya adalah
agar Presiden memperoleh dukungan mayoritas dari parlemen untuk merealisasikan
program-programnya. Akibatnya, hak prerogatif presiden tersandera oleh kepentingan
parpol koalisi pemerintah. Presiden tidak lagi mandiri dan independen dalam membuat
kebijakan. Meskipun terdapat kekurangan dalam implementasinya, sistem pemerintahan
presidensil pasca-amendemen UUD 1945 tetap menjadi pilihan yang ideal dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia.

Teori hukum pambangunan banyak mengandung atensi apabila dijabarkan


terdapat beberapa aspek secara global. Pertama, tolok ukur dimensi teori hukum
pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Jika diaplikasikan, maka akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia
yang pluralistik. Artinya, pembangunan nasional akan sesuai dengan kebutuhan bangsa
dan negara Indonesia. Secara dimensional teori hukum pembangunan memakai
kerangka acuan pada pandangan hidup masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan
Pancasila. Fungsi hukum dalam pembangunan nasional tidak saja berkiprah untuk
memelihara ketertiban dan ketenteraman, akan tetapi berfungsi juga sebagai sarana
perubahan masyarakat atau sarana pembangunan. Fungsi hukum pembangunan menjadi
acuan standar tentang arah, sarana dan kebijaksanaan pembangunan bidang hukum yang
dirumuskan. Perencanaan pembangunan hukum saat ini bisa dikatakan lebih baik jika
dibandingkan dengan perencanaan pembangunan hukum yang sebelumnya.
Di dalam melaksanakan program pembangunan nasional, terdapat periodesasi
yang jelas, terukur dan terarah sehingga Presiden tidak memiliki visi dan misi. Sebab,
program perencanaan pembangunan nasional sudah ditentukan dalam GBHN. Presiden
hanya menjalankan apa yang tertuang di dalam GBHN. Eksistensi GBHN pada masa
Orba memiliki peran penting dan strategis karena Presiden – sebagai mandataris MPR –
harus menjalankan roda pemerintahan harus sesuai dengan GBHN. Jika tidak sesuai
atau melanggar GBHN, maka secara konstitusional MPR dapat memberhentikan
Presiden. Akan tetapi, semenjak era Reformasi, eksistensi GBHN dihilangkan. Presiden
dalam menjalankan perencanaan pembangunan nasional mengacu pada UU No. 25
Tahun 2004 tentang SPPN.  Dalam UU tersebut, Presiden diberikan ruang yang lebih
besar untuk menjalankan program perencanaan pembangunan nasional. RPJPN
merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia yang
tercantum dalam pembukaan UU 1945 dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan
nasional. Dilihat dari proses penyusunan dan penetapannya, penyusunan RPJPN bersifat
lebih demokratis. Pertama, RPJPN disiapkan secara matang oleh Menteri dan dibahas
melalui serangkaian proses Musrenbang Jangka Panjang. Kedua, proses itu melibatkan
seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik unsur-unsur penyelenggara
negara maupun keterlibatan publik (masyarakat). Ketiga, RPJPN ditetapkan dalam
bentuk UU yang berarti proses pembahasan dan penetapannya melibatkan Presiden
dengan DPR RI. Dilihat dari isi atau materinya, RPJPN ini lebih bersifat visioner dan
hanya memuat hal-hal yang mendasar sehingga memberi keleluasaan yang cukup bagi
penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya. Oleh karena itu, sistem
pembangunan nasional berdasarkan RPJPN lebih sesuai dengan harapan rakyat. Negara
Indonesia harus memiliki pedoman dalam melaksanakan pembangunan nasional yang
suistainable dalam bentuk apapun sehingga siapapun yang menjadi Presiden tetap
melanjutkan pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah sebelumnya.

Gagasan re-eksistensi GBHN akan berimplikasi terhadap sistem ketatanegaran


Republik Indonesia, setidaknya dalam hubungan antara MPR dan Presiden yang mana
keduanya adalah lembaga negara yang sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat.
Kedudukan di antara keduanya adalah sederajat atau sama-sama kuat. Artinya, diantara
kedua lembaga negara tersebut tidak boleh saling intervensi. Apalagi mengintervensi
kewenangan yang dimiliki oleh Presiden. Problematikanya adalah bagaimana caranya
mengimplementasikan ke dalam sistem pemerintahan presidensil. Apa implikasinya jika
Presiden bertentangan dengan atau tidak melaksanakan GBHN? Konsekuensi hukum
apakah yang akan diterima Presiden? Apakah nantinya Presiden dapat diinterupsi atau
diberhentikan dari jabatannya? Apakah laporan pertanggungjawabannya dapat ditolak
sementara Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat? Demikian juga MPR yang
dipilih langsung oleh rakyat. Apakah tidak akan menimbulkan problematika hukum
baru dalam sistem ketatanegaran Republik Indonesia?
Sebenarnya saat ini pun haluan negara itu sudah ada, hanya saja bentuknya
bukan berupa GBHN. Hari ini kedaulatan rakyat bukan hanya terletak pada MPR. DPR,
DPD dan Presiden juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Rakyat memberikan mandat
secara langsung kepada tiga lebaga tersebut. Dalam arti ketika hendak menentukan
sebuah haluan suatu negara, maka ketiga lembaga tersebut yang berhak untuk
menentukannya. Tidak hanya berpusat kepada MPR saja, karena sekarang yang
memegang mandat menentukan haluan suatu negara ada di tiga kelembagaan yaitu
DPR, DPD dan Presiden dalam bentuk undang-undang. Sehingga tidak diperlukannya
amandemen UUD 1945 yang membahas mengenai MPR adalah lembaga tertinggi
sehingga memiliki fungsi menciptakan GBHN karena sekarang sudah ada sebuah
haluan, namun berbeda bentuk saja dengan GBHN.

Banyak pihak yang menyebut model perencanaan pembangunan banyak dianut


oleh negara-negara sosialis karena adanya dominasi negara dalam persoalan ekonomi
dibandingkan negara-negara liberal yang lebih menyerahkan persoalan pembangunan ke
mekanisme pasar. Hal tersebut memang menjadi diskursus mengenai hubungan antara
peran negara dengan kondisi politik, ekonomi dan sosial. Bertalian dengan dasar
kedaulatan rakyat, kematangan berdemokrasi serta model demokrasi konsensus yang
menjadi ciri demokrasi Indonesia, membutuhkan panduan pelaksanaannya. Karena itu,
ide menghidupkan kembali GBHN sebagai panduan pembangunan menemui
relevansinya. Pertanyaannya, bagaimana model penghidupan kembali GBHN yang
masih sejalan dengan sistem presidensil yang hendak dianut? Prinsip-prinsip
dimaksudkan sebagai sebuah aturan yang mengikat yang harus dipatuhi oleh pemerintah
dalam melaksanakan berbagai tindakan, termasuk pembentukan aturan, sedangkan
kebijakan-kebijakan merupakan petunjuk bagi orientas negara.

Pada hakikatnya, secara substansial eksistensi RPJPN memiliki fungsi yang


sama dengan GBHN. Bahkan, memiliki nilai lebih yaitu adanya kesempatan bagi daerah
untuk menggali potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing. Dapat dikatakan
bahwa urgensi untuk re-eksistensi GBHN menjadi tidak relevan. Sebab, eksistensinya
telah digantikan oleh RPJPN. Problematika pembangunan nasional saat ini sebenarnya
terletak pada inkonsistensi dan tidak adanya sinergitas antara RPJPN dengan program
pembangunan turunannya.

Ketentuan tersebut sebenarnya dapat dikatakan sebagai sebuah haluan negara,


walaupun tidak diberikan judul “Garis-Garis Besar Haluan Negara”. Namun, pada
praktiknya sering kali dilanggar, misalnya dalam hal prioritas anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan APBD, penguasaan cabang-
cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara yang ternyata diprivatisasi, maupun fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
dipelihara oleh negara.
Atas dasar hal tersebut, semestinya ketentuan-ketentuan ini ditegaskan sebagai
sebuah haluan negara disertai penyempurnaan-penyempurnaan sehingga dapat dijadikan
pedoman pembangunan yang berkelanjutan serta dapat dilakukan penegakannya.
Sebagai negara kekeluargaan, maka sudah selayaknya pembangunan nasional tidak
dirumuskan sendiri, tetapi harus dirumuskan bersama. Dengan demikian GBHN yang
merupakan pedoman pembangunan berkelanjutan merupakan hasil konsensus bersama
dari seluruh warga negaranya. Karenanya, selain menempatkan GBHN dalam UUD
NRI Tahun 1945, patut pula dipikirkan agar MPR dapat kembali merepresentasikan
seluruh kelompok kepentingan yang ada, mengingat saat ini MPR hanya
merepresentasikan perwakilan politik dan daerah. Padahal, MPR yang dulu diidealkan
para pendiri bangsa, menampung seluruh perwakilan baik politik, daerah maupun
fungsional, sehingga ketika MPR melakukan permusyawaratan ia hendak menghadirkan
negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai
pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan
mengakui adanya “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.

Oleh karena itu,  lebih bijak jika melakukan sinkronisasi dan harmonisasi
terhadap peraturan perundang-undangannya sehingga dapat melahirkan produk hukum
yang lebih komprehensif, partisipatif dan sustainable sebagai pedoman program
pembangunan nasional ke depan. Di samping relasi antara pusat dengan daerah menjadi
sinergi, akan terjalin relasi antar daerah yang saling menguntungkan (relasi
mutualisme).

Anda mungkin juga menyukai