PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan disegala bidang yang diselenggarakan oleh bangsa Indonesia
sejak kepemimpinan nasional pertama Presiden Soekarno, diera ode lama, hingga
kini dalam kepemimpinan Joko Widodo, diera reformasi, merupakan sebuah
upaya pelaksanaan dari amanat konstitusi UUD Tahun 1945, yang sejak awal
diadakan sebagai panduan dasar dalam dimensi nomatif dan/atau yuridis oleh
negara Republik Indonesia. Artinya pembangunan yang diselenggarakan oleh
pemerintah merupakan pelaksanaan dari amanat UUD Tahun 1945, bahwa
pembangunan yang dilaksanakan tersebut didasarkan atas arahan norma-norma
atau kaidah-kaidah yang terdapat dalam konstitusi Republik Indonesia.
Negara Indonesia sebagai negara yang masih berkembang memerlukan
suatu arah pembangunan yang jelas dan konkret untuk mewujudkan pembangunan
yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat Indonesia serta menjadikan Indonesia
sebagai negara yang adidaya. Perencanaan pembangunan di Indonesia merupakan
suatu keniscayaan yang mutlak keberadaanya, karena tanpa diawali suatu
perencanaan maka tidak akan mungkin dapat memberikan pembangunan sesuai
dengan apa yang telah diharapkan. Itu artinya perencanaan pembangunan adalah
ujung tombak manajemen dalam mengelola pembangunan di suatu negara terkait
dalam menentukan tindakan yang akurat dan tepat di masa depan melalui urutan
skala prioritas dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Selain itu
juga, tanpa adanya pembangunan yang terarah tidak mungkin tujuan negara yang
tertuang pada alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 dapat tercapai. Mengingat
pentingnya arti pembangunan maka diperlukan suatu sistem perencanaan
pembangunan nasional yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia
saat ini.
Faktanya instrumen hukum perencanaan pembangunan nasional telah
mengalami berbagai macam dinamika sesuai dengan perkembangan dan
perubahan pada zamannya. Perubahan yang sangat fundamental pernah terjadi
pada saat amandemen UUD 1945, dimana pada saat sebelum reformasi
perencanaan pembangunan nasional dilakukan berdasarkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara atau yang selanjutnya disebut dengan GBHN. Kemudian,
memasuki era reformasi pembangunan nasional kini tidak lagi didasarkan pada
GBHN melainkan melalui Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
yang diejawantahkan lebih lanjut menjadi rencana pembangunan jangka panjang
(RPJP), rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) dan rencana pembangun
tahunan (RPT).i Salah satu alasan perubahan tersebut disebabkan karena adanya
harapan untuk menghasilkan rencana pembangunan melalui hasil proses politik
yang lebih sehat (public choice theory of planning) dan konsekuensi logis dari
MPR yang sudah tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara.
Sekaitan dengan UUD, bahwa setiap UUD mencerminkan konsep-konsep dan
alam pikiran dari masa dimana ia dilahirkan, dan merupakan hasil dari keadaan
material dan spiritual dari masa ia dibuat. Oleh para penyusun UUD diusahakan
agar ketentuan-ketentuan dalam UUD yang dibuat tidak lekas usang dan
mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu seringkali ketentuan-ketentuan
dalam UUD hanya mengatur dan mencakup hal-hal dalam garis besar saja.
Konstitusi tertulis Republik Indonesia yang menjadi fondasi yuridis
diselenggarakannya kekuasaan negara, juga mengindikasikan negara moderen
Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum, atau dalam
padanannya dapat dikatakan sebagai negara hukum. Indonesia sebagai negara
hukum, tentu menyelenggarakan kekuasaan negara berdasarkan atas norma-norma
yuridis sehingga tidak terjadi kesewenangwenangan penyelenggaraan atas
kekuasaan. Dalam konteks demikian, pelaksanaan pembangunan nasional disegala
bidang sebagai upaya pemerintahan mencapai cita-cita ideal negara, dilaksanakan
berdasarkan kesadaran dan kerangka sebuah sistem hukum. Artinya kebijakan
pembangunan tersebut terformat dalam dimensi normatifisme dengan UUD Tahun
1945 sebagai acuan norma dasar yang tertinggi.
Sepanjang sejarah ketatanegaraan moderen Republik Indonesia sejak
periode sebelum amandemen UUD 1945 hingga sesudah amandemen, di
Indonesia dikenal 2 (dua) model perencanaan pembangunan nasional yang
berdimensi waktu jangka panjang, yakni yang dikenal dengan nama Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN). Model RPJPN, yang dianggap sebagai pengganti GBHN,
dilaksanakan dalam sistem ketatanegaraan setelah diadakan perubahan terhadap
UUD Tahun 1945 pada tahun 1999 hingga 2002, dalam 4 (empat) tahap
amandemen. Model perencanaan pembangunan nasional sepanjang sejarah
ketatanegaraan Indonesia, baik GBHN maupun RPJPN, memuat materi-materi
pembangunan disegala bidang kehidupan nasional, termasuk didalamnya
pembangunan nasional bidang hukum.
i
B. Rumusan Masalah
Mengapa penting perencanaan pembangunan nasional model GBHN berbasis kolaboratif ?
BAB II
PEMBAHASAN
Tema mengenai Bentuk hukum dari perencanaan pembangunan nasional model GBHN
tampak cukup sederhana, namun jika didalami dapat memantik perdebatan paradikmatik yang jauh
lebih dalam dan lebih luas tentang sistem ketatanegaraan.
Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan selama ini, terdapat 3 (tiga) pandangan
mengenai bentuk hukum dari GBHN, yakni : (1) Dinormasikan di dalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) diwadahi dalam ketetapan MPR; dan (3) Diwadahi
dalam Undang-undang. Pertanyaan sederhana yang patut dijawab adalah apa kelebihan dan
kekurangan dari pilihan-pilihan bentuk hukum tersebut?.
Rumusan arah kebijakan pembangunan hukum dalam RPJPN, terdiri atas beberapa
komponen kebijakan, yakni komponen umum, rumusannya menyatakan pembangunan hukum
diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada pancasila
dan UUD Tahun 1945. Komponen Materi hukum, terdiri atas beberapa rumusan yakni (1) diarahkan
untuk melanjutkan pembaharuan hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan
warisan kolonial, yang mencakup perencanaan hukum, pembentukan hukum dan pengembangan
hukum dan (2) pembentukan hukum diselenggarakan melalui poses terpadu dan demokratis,
sehingga kelebihan mengenai perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN yang
dinormasikan di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni perencanaan
pembangunan nasional model GBHN tersebut mampu menghasilkan produk hukum beserta
peraturan pelaksanaan dengan didukung oleh penelitian dan pengembangan hukum yang didasarkan
pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Sejalan dengan diamandemennya UUD 1945 telah banyak perubahan yang terjadi dalam
konteks ketatanegaraan di Indonesia. Salah satunya adalah diterapkannya sistem baru yang
dinamakan sebagai mekanisme checks and balances. Mekanisme ini sejatinya merupakan salah satu
tuntutan reformasi karena pada masa sebelumnya terdapat sejarah kelam adanya pemusatan
kekuasaan pada satu lembaga tertentu saja. Tujuan dari adanya sistem checks and balances adalah
untuk mengatur hubungan antara satu lembaga dengan lembaga negara lainnya agar tercipta suatu
kondisi yang saling mengimbangi dan mengawasi agar mampu menghindari terjadinya pemusatan
kekuasaan yang berpotensi menimbulkan otoriterisme serta penyalahgunaan kekuasaan dan
wewenang.
Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya GBHN bukan semata-mata berfungsi sebagai arah
pembangunan nasional saja, akan tetapi didalamnya terkandung juga mekanisme kontrol kepada
Presiden agar membangun sesuai dengan apa yang telah disepakati. Dengan adanya mekanisme ini
tentunya akan menstimulus Presiden agar tidak melakukan program pembangunan yang asal-asalan
dan sewenang-wenang dari arah roda pemerintahan yang telah disusun oleh MPR. Lebih lanjut,
dengan situasi Presiden yang terus selalu merasa diawasi untuk mengikuti arah pembangunan sesuai
dengan GBHN tentunya akan memotivasi Presiden untuk melakukan pembangunan yang semata-
mata hanya berorientasi kepada kesejahteraan rakyat karena apabila terbukti menyeleweng dari
GBHN terdapat sanksi yang tegas berupa impeachment kepada Presiden dengan dalih telah
melakukan tindakan yang inkonstitusional.
Selain itu dengan menempatkan materi GBHN dalam UUD NRI Tahun 1945, status
hukumnya akan sangat kuat, dan kedudukan GBHN pun menjadi supreme.
Menurut Jean Bodin dalam bukunya Six Livres de la Republique pada tahun 1675 bahwa
kedaulatan adalah summa in cives ac subditos legibusque soluta potestas atau yang jika diartikan
bermakna sebagai kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Menurut Profesor Jimly Pasal tersebut harus dimaknai bahwa
rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara. Maka dari itu salah satu
bentuk konsekuensi dari paham kedaulatan rakyat yang Indonesia anut adalah mengikutsertakan
rakyat atau perwakilannya dalam menentukan arah pembangunan nasional karena pada dasarnya
pembangunan itu pada akhirnya ditujukan kepada rakyat juga, sehingga pastilah yang mengetahui
kebutuhan dasar faktualnya adalah rakyat itu sendiri.
Namun sayangnya baik secara konseptual maupun empirik, 250 Juta rakyat Indonesia tidak
akan mungkin bisa semuanya melakukan pembahasan untuk menentukan arah pembangunan
nasional sehingga dibutuhkanlah lembaga yang mewakili aspirasi rakyat itu sendiri dan perwujudan
rakyat yang paling representatif dan institusional sejatinya terletak di lembaga Majelis Perwakilan
Rakyat. Mengapa MPR? karena pada dasarnya MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kedua lembaga tersebut merupakan organ yang
merepresentasikan rakyat dari dua perspektif yang berbeda yakni dari aspirasi politik dan aspirasi
daerah sehingga mampu dikatakan sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia (Ver-
tretungsorgan des willens des Staatsvolkes). Terlebih lagi proses pembentukan RPJP dan
turunannya saat ini sama sekali tidak mencerminkan perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat
yang hakiki karena proses penyusunannya yang hanya dilakukan oleh Presiden dan timnya saja,
tanpa adanya keterlibatan dari unsur masyarakat lainnya, sehingga tidak heran apabila SPPN dan
turunannya disebut sebagai executive perspective saja. Presiden juga tidak dapat dikatakan sebagai
bukti nyata dari penjewantahan prinsip kedaulatan rakyat karena Presiden terpilih sejatinya
hanyalah Presiden yang bersuara mayoritas, bukan representasi 100% rakyat Indonesia.
Hal ini tentunya berbeda apabila GBHN kembali diterapkan dan diletakan pada kewenangan
MPR. Dimana kedaulatan rakyat itu dapat lebih tercermin dan terasa dari proses pembentukan
GBHN yang dilakukan oleh MPR selaku lembaga negara yang identik dengan kedaulatan rakyat
karena didalamnya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki nilai representatif
tinggi dari sudut politik dan daerah. Maka dari itu GBHN patut untuk diterapkan kembali sebagai
penjewantahan prinsip kedaulatan rakyat yang hakiki dengan melibatkan peran serta masyarakat
yang diasosiasikan melalui MPR, bukan dengan oleh Presiden semata melalui SPPN nya.
Dengan bentuk hukum TAP MPR, GBHN bisa menjadi alat kendali untuk mengukur
ketepatan perencanaan pembangunan jangka menengah dalam bentuk RPJMN yang disahkan
melalui Undang Undang (UU). Selain itu, GBHN juga bisa jadi batu uji dalam konteks pengujian
Konstitusional, karena TAP MPR merupakan aturan dasar bernegara sama seperti UUD.
Namun pilihan bentuk hukum ini memiliki kekurangan, dimana Indonesia sebagai negara
yang dengan tegas menganut sistem pemerintahan presidensil dalam pelaksanaanya kerap menuai
banyak halangan dan permasalahan, menghadirkan perencanaan pembangunan nasional dengan
model Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang kini digagas MPR tidak akan
menguntungkan dalam pemerintahan presidensial, karena akan dijadikan alat untuk meminta
pertanggungjawaban presiden. Ini akan mengacaukan sistem hukum kita yang menganut sistem
presidensial. Dimana dengan adanya GBHN membuat semangat sistem pemerintah presidensil yang
dianut di Indonesia menjadi tercederai.
Jika dikorelasikan dengan karakteristik sistem pemerintahan presidensil butir-A dari sini saja
penerapan GBHN sudah tidak valid dengan sistem pemerintahan presidensil karena menyebabkan
Presiden harus bertanggungjawab kepada MPR bukan kepada rakyat secara langsung.
Lebih lanjut lagi dengan adanya GBHN akan membuat Presiden menjadi tersandera karena
Presiden hanya berwenang untuk melaksanakan isi dari GBHN saja, bukan sebagai Presiden yang
seutuhnya dengan melaksanakan program-program pembangunan yang sejatinya ia yakini. Itu
artinya dengan adanya GBHN akan membuat tekanan politik yang tidak sehat kepada Presiden
karena Presiden tidak mampu untuk kreatif dan mandiri dalam merencanakan dan menjalankan
pembangunan. Kesalahan sistem GBHN ini tentunya akan berdampak dengan tidak sesuainya
program pembangunan yang ingin direalisasikan oleh MPR dengan apa yang sejatinya diinginkan
oleh Presiden. Jika dilihat dari perspektif ketatanegaraan pun, sekarang ini Presiden bukan lagi
sebagai mandataris dari MPR akan tetapi sebaga mandataris langsung dari rakyat sehingga itu
artinya tidak ada lagi hubungan kausalitas antara Presiden dan MPR selain daripada masalah
sumpah jabatan dan pelantikan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Rumusan arah kebijakan pembangunan hukum, baik yang tedapat dalam perencanaan
pembangunan nasional model GBHN maupun model RPJPN, secara subtansial dapat dikatakan
relevan dengan amanat konstitusi yang berlaku pada konteks periode masing-masing. Pada level
tertentu, khusunya dalam konteks pembangunan hukum sebagai sistem, terdapat dinamika rumusan
arah kebijakan pembangunan hukum secara kronologis dari perencanaan pembangunan nasional
model GBHN era orde baru sampai pada model RPJPN era reformasi.
Perencanaan pembangunan nasional harus berbasis kedaulatan rakyat. Untuk itu, MPR RI,
sebagai lembaga negara yang terdiri dari anggota DPR dan DPD berwenang menetapkan GBHN,
dalam bentuk hukum Ketetapan MPR (TAP MPR).
Adapun materi GBHN diatur melalui UU, beralasan eksekutif perlu dilibatkan dalam
perumusan GBHN. Dengan melalui UU, maka Presiden bisa ikut mengkaji, membahas bersama
DPR dan DPD. Dengan demikian tercermin keterlibatan unsur legislatif, yudikatif dan eksekutif.
Keterlibatan ketiga unsur lembaga tinggi negara (NKRI) ini akan melahirkan model GBHN
kolaboratif aspiratif dan reformis yang dapat mencerminkan nilai-nilai demokrasi pancasila.
Selain itu ada dua bentuk hukum lainnya yang pas bagi sistem perencanaan pembangunan
model GBHN ini. Pertama, memasukkan materi GBHN dalam rumusan pasal-pasal UUD NRI
Tahun 1945. Kedua, materi GBHN diatur melalui UU.
Dengan menempatkan materi GBHN dalam UUD NRI Tahun 1945, status hukumnya akan
sangat kuat, dan kedudukan GBHN pun menjadi supreme.
Rumusan arah kebijakan pembangunan nasional bidang hukum yang dimuat dalam
perencanaan pembangunan nasional yang besifat jangka panjang, sebaiknya merupakan rumusan
yang lahir dari sebuah paradigma pembangunan hukum yang bersifat ideal. Berkenaan dengan
strategi penyusunan perencanaan pembangunan nasional yang berdimensi jangka panjang sebagai
dokumen hukum, yang juga memuat perencanaan arah kebijakan pembangunan hukum nasional,
status hirarkisnya secara yuridis seharusnya lebih tinggi dari sekedar UU, karena sifatnya
merupakan pedoman bagi presiden yang terpilih, oleh karenanya perencanaan pembangunan
nasional model GBHN sebaiknya dipertimbangkan kembali untuk digunakan.