Anda di halaman 1dari 6

Kontra adanya MPR

MPR adalah lembaga negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), MPR adalah
lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Dengan tidak adanya
lembaga tertinggi negara maka tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi negara dan
lembaga tertinggi negara. Semua lembaga yang disebutkan dalam UUD 1945 adalah
lembaga negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan lembaga
pelaksana kedaulatan rakyat oleh karena anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) adalah para wakil rakyat yang berasal dari pemilihan umum. MPR bukan
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat
(2) UUD 1945 ,perubahan ketiga bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Ketentuan mengenai keanggotaan MPR
tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut:
MPR mempunyai tugas dan wewenang utama diantaranya mengubah dan menetapkan
undang-undang dasar, mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil presiden.
Dari uraian tersebut maka Lembaga MPR secara memiliki urgensi dalam
ketatanegaraan yang ada akan tetapi sebenarnya bisa disiapkan secara adhock saja
sewaktu waktu sesuai kebutuhan tanpa harus adanya sebuah lembaga resmi.
Konsekuensi dengan adanya Resmi adalah budgeting anggaran terhadap setiap
kegiatan yang dilakukan dalam lembaga tersebut. Sebagaimana kita ketahui sekarang
setelah keluarnya UU MD3 yang diatur secara jelas didalamnya MPR dapat membuat
angaran tersendiri yang dikelola sendiri oleh sekertariat jendral MPR. Pengelolaan
angaran tersebut sebenarnya membebani keuangan negara yang seharusnya bisa di
efektifkan kepada penanganan hal lain. Selain itu keanggotaan MPR yang terdiri dari
DPR dan DPD merupakan pemborosan anggaran karena double job dan double
paymen bagi anggota DPR dan DPD.
MPR dalam melaksanakan tugas terkait perubahan dan penetapan UUD tidak setiap
waktu dilakukan karena memerlukan banyak usaha pemikiran dan waktu yang tidak
sedikit sehingga jika pembayaran terhadap anggota MPR digelontorkan bahkan setiap
bulan dan tahunnya sedangkan pekerjaannya belum tentu ada setiap tahun akan
merugian keuangan negara. Mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil
presiden bukan angenda tahunan bahkan mungkin lima tahunan sekali sehingga
keberadaan MPR hanya seperti lembaga adhock bahkan seperti sekedar forum saja.
Keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD sehingga dapat
menimbulkan tumpang tindih pekerjaan yang dapat menyebabkan ketidak konsen bagi
DPR dan DPD yang dapat mempengaruhi program legeslasi nasional yang ada.
Romantisme MPR sebagai Lembaga jug sudah dibuktikan secara sejarah yang dengan
dibelakukanya beberapa amandemen yang menjadikan MPR tidak lagi sebagai
lembaga tertinggi dalam negara Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut MPR sudah
tidak lagi mempunyai kekuasan dan kewenangan yang super power atas lembaga
negara lainnya. Kesejajaran dalam kedudukan MPR dalam ketatanegaraan di
Indonesia membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat juga menurun atas lembaga
MPR. Bukti historis terkait MPR setelah reformasi sudah dapat menjadi lasan konkrit
bagi bangsa indonesia untuk berbenah terkait sistem pemerintahan dan sistem
ketatanegaraan. Sebagaimana yang terjadi di jaman presiden Soeharto yang tidak
memiliki taring apapu atas yang terjadi pada waktu itu. Kemudian saat Presiden
Habibie dimana MPR menolak pertanggungjawabannya yang menyebabkan
kehilangan putra terbaik bangsa, kemudian di era Presiden Gusdur yang mana
dilaksanakan sidang luar bisa. Sidang tersebut membuat Gusdur lengser dari jabatan
Presiden dengan alsan tidak sesuai dan sejalan dengan GBHN. Alsan tersebut
bukanlah alsan yang secara ketatanegaran diatur dan sanksi tersebut merupakan
bentuk super powernya MPR.
Kembali kepada keanggotaan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD selama ini terlitaht
tidak akur dan menonjolkan ego sektoral yang menyebabkan kuorum dalam MPR juga
tidak dapat berfungsi secara baik dalam menjalakan tugas dan wewenang yang telah
diamanatkan oleh UUD dan UU. Dalam perjalannya DPR dan DPD memiliki tugas lain
yanglebih terkait legislasi, budgeting dan pengawasan yang sudah menyita waktu dan
tenaga sehingga jika dimasukan mereka kedalam MPR akan meperburuk kinerja
legislasi. Selain itu penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan anggota MPR
masih belum terasa ke masyarakat grassroot karena kebanyakan hanya menyesuaikan
dengan daerah dimana ia terpilih dan hanya untuk beberapa kelompok. Penyerapan
aspirasi in sangat penting karena dapat digunakan dalam dasar dari adanya perubahan
dan penetapan UUD yang disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.
Kelembagaan MPR yang terbaru berdasarkan UU MD3 mempunyai tugas lain seperti
dalam Pembuatan TAP MPR yang diakomodir dalam UU 12 tahun 2011 terkait hirarki
peraturan perundangan menyebabkan kebingungan dalam sistem legislasi karena
sebelumnya Tap MPR sudah dihapus karena dirasa tidak perlu lagi karena sudah ada
DPR,DPD dan pemerintah yang melaksanakan pembuatan undang-undang yang
berlaku. Dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundangundangan
tersebut, tentu saja membawa implikasi atau akibat hukum yang membutuhkan
penjelasan rasional, agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda. Jika
ditarik dalam konteks sistem perundang-undangan Indonesia, maka suatu produk
hukum dalam setiap tingkatan kelembagaan Negara dapat dikatakan sebagai bagian
dari peraturan perundang-undangan, jika memenuhi unsur peraturan (regeling). aspek
ketentuan yang mengatur (regeling) dengan sifat berlaku umum, tidak kongkrit dan
ditujukan untuk publik. Hal tersebut berbeda dengan sifat yang melekat dalam suatu
keputusan (becshikking) yang bersifat kongret, individual dan berlaku sekali waktu
(einmalig). Kedudukan TAP MPR sangat ditentukan oleh pengaturan kedudukan dan
kewenangan MPR sebelum dan sesudah amandemen. MPR tidak lagi memiliki
kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat mengatur (regelling). MPR pasca
perubahan UUD 1945 hanya diberikan kewenangan dalam membuat ketetapan yang
bersifat keputusan (beshickking). Dihilangkannya kewenangan MPR untuk menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara
singular atau tunggal yang bertumpu kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945. MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di
luar UUD NKRI Tahun 1945 yang bersifat mengatur. Pengujian norma diantara
peraturan perundang-undangan lainnya Oleh karena itu maka MPR yang memiliki TAP
MPR ini harus dibuat lebih jelas dan lebih cermat terkait apa saja yang akan diatur
secara jelas. Sehingga masyarakat dan lembaga negara lainya dapat menafsirkan Tap
MPR tersebut secara baik dan benar.
Akibat dimasukkannya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka
muncul persoalan dalam hal pengujian norma diantara peraturan perundang-undangan
lainnya. Hal ini dapat terjadi jika TAP MPR bertentangan dengan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Dan terdapat UU yang bertentangan dengan TAP MPR. Melihat
sistem kekuasaan kehakiman Indonesia, uji materi dibebankan kepada Mahkamah
Konstitusi. Akan tetapi kewenangan Mahkamah Konsitusi sebatas uji materi UU
terhadap UUD. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tata cara pengujian TAP
MPR terhadap UUD atapun UU terhadap TAP MPR. Mahkamah Konstitusi tidak boleh
serta merta melakukan pengujian terhadap TAP MPR, kecuali Mahkamah Konstitusi
melakukan upaya hokum progresif.
Kembali lagi membahas terkait kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai lembaga
tertinggi Negara, maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi cendrung
menjadi “joint sesion” antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi
bersifat lembaga konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-
undang Dasar. eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan jika berkenaan dengan
kewenangan yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagaimana pendapat Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ MPR itu
sendiri baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau functie-nya
sedang dilaksanakan. Dalam pola Negara kesatuan sebagaimana dianut oleh
Indonesia, supremasi parlemen yang memegang fungsi legislasi, hanya ada ditangan
DPR dan DPD bukan ditangan MPR lagi. Sehingga secara fungsi MPR tidak diperlukan
lagi. Selain itu dimasing anggota baik DPR dan DPD memmentingkan kepentingan
kelompok masinhg masing sehingga MPR tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Dua kekuatan legislatif bikameral, DPR dan DPD menyebabkan malfungsinya MPR
sehingga lebih baik untuk ditiadakan.
MPR hanya seperti petugas sisoalisasi terhadap empat Pilar. Begitu banyak anggaran
yang dikeluarkan hanya untuk lembaga mensosialisasikan empat pilar tersebut.
Padahal diindonesia sendiri sudah ada berasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun
2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. BPIP ini memiliki tujuan untuk
menanamkan nilai nilai luhur pancasila kepada seluruh masyarakat Indonesia. Tugas
legislasi sudah pula diamanatkan kepada DPR dan DPD bersma pemerintahan, terkait
perencanaan pembangunan nasional yang dahulu kewengan MPR dala GBHN sudah
diberikan kepada badan perencanaan pembangunan nasional sebagaimana amanah
undang-undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam uu
Undang Undang No 25 Tahun 2004 ditambah munculnya PERPRES No. 81 Tahun
2021 sebagai dasar dari Bappenas sehingga fungsi vital dari MPR sekarang ini sudah
terbagi dengan berbagai lembaga negara lain maupun badan badan khusus yang
dibentuk untuk melakukan tugas dan kewenangan tersebut. Sehingga jika MPR masih
diadakan akan menyebabkan ketidak efektifan dan kefisiesian anggaran negara. MPR
yang melakukan tugas dari lembaga lain pun dapat menyebabkan tingkat trust
masyarakat terhadap pemerintahan yang berjalan menurun karena dianggap
pemerintahan tidak dapat menjalankan pemerintahan secara baik.
Sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensil yang mana Presiden
bertanggung jawab kepada rakyat langsung tidak kepada MPR menjadi bukti kuat
bahwa MPR tidak lagi dijadikan sebagai pengemban amanat rakyat dan tidak lagi
sebagai bentuk keterwakilan masyarakat. Hilangnya funsi dan wewenang dalam
pembuatan GBHN juga secara tidak langsung merupakan alasan tidak lagi
diperlukanya MPR dalam tatanan bernegara. Jika MPR ada dan semakin kuat maka
perubahan sistem pemerintahan akan semakin condong kearah parlementer.
Sedangkan didalam MPR banyak sekali oknum-oknum yang hanya akan
memperjuangkan keinginan pribadi dan kelompok bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Susunan keanggotaan MPR juga memerlukan perhatian serius karena selama ini
hanya diisi dari kalangan elit politis didalam DPR dan DPD serta belum mencerminkan
keterlibatan peran seluruh elemen masyarakat. sebaiknya ada utusan/perwakilan
eksekutif (TNI/POLRI), Tokoh Agama dan kelompok cendikiawan lainnya yang mewakili
kebhinekaan Indonesia. MPR hanya bersidang 5 tahun sekali atau dalam hal adanya
perkara impeachment, sehingga utusan-utusan MPR di luar DPR dan DPD harus berisi
dari orang dan komposisinya disesuaikan
Kedudukan MPR sekarang tidak dapat menunjukan chek and balance karena sudah
ada lembaga lain yang melakukan tugas dan fungsi tersebut. Keberadaan MPR
tersebut hanya sebagai lembaga yang membersamain DPR dan DPD. Pembagian
kekuasaan antara MPR, DPR dan DPD belum begitu optimal dalam mewujudkan
sistem ketatanegaran yang berkedaulatan rakyat. Hal ini terjadi karena struktur
kekuasaan parlemen yang dimiliki bersifat tiga kamar jika dilihat dari kekuasaan yang
dimiliki oleh masing-masing lembaga perwakilan.Belum optimalnya pelaksanaan
kedaulatan dalam pembagian kekuasaan di Indonesia juga disebabkan kerena
kekuasaan DPR masih jauh lebih besar dan lebih luas dibandingkan dengan
kekuasaan yang dimiliki DPD. kecilnya kekuasaan yang dimiliki oleh DPD berarti
tingkat perwakilan yang lebih mendekatkan pada prinsip kedaulatan rakyat tentunya
tidak maksimal untuk dijalankan dan dilaksanakan berdasarkan inisiatif dari DPD
sendiri. Sifat perwakilan yang dijalankan oleh DPD tidak tercermin secara penuh dalam
pengaturannya.
Permasalahan yang terjadi dari bentuk hubungan antara ketiga lembaga tersebut telah
memberikan kemungkinan terjadinya kecenderungan “super power” dari DPR dan
DPD. Maka perwakilan yang diemban oleh kedua lembaga tersebut dalam
hubungannya memungkinkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis. MPR
mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas karena merupakan penjelmaan seluruh
rakyat. Kewenangan yang demikian besar tidak memungkinkan terjadinya kontrol,
pengawasan, dan keseimbangan oleh lembaga negara lain sebagaimana dianut dalam
sistem demokrasi (checks and balances system). Dengan demikian dampaknya jelas
akan merugikan rakyat karena demokrasi tidak berkembang secara baik dan terbuka
pelanggaran HAM. Sehingga jika adanya MPR yang super power dapat menyebabkan
ketidakstabilan dalam pemerintahan yang berjalan.
Perubahan struktur keanggotaan MPR yang terdiri menjadi anggota DPR dan anggota
DPD membuat keberadaan MPR lebih tidak berarti. Peran DPD yang sangat terbatas
sebagai wakil masyarakat daerah mengakibatkan mustahil dapat terjadi
permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia di dalam tubuh MPR yang diwakilkan oleh
DPR dan DPD. Pasca amandemen tentang pencabuatan dan pengurangan terkait
tugas dan fungsi MPR menjadikan menjadikan lembaga tersebut tidak lebih berarti dari
lembaga lain yang ada. Keberadaan MPR sekarang dipandang menjadi benalu dalam
sistem ketata negaraan karena kurang memiliki peran dan hanya dipandang sebagai
petugas sosialiasasi empat pilar. Yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh lembaga
eksekutif lain yang telah dibentuk. Kepercayaan masyarakat juga semakin menurun
terkait keberadaan MPR karena berbgai tindakan yang diambil selama ini dan tidak
pula merepresentasikan masyarakat.
Berdasarkan dari beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan beberapa alasan
mengapa MPR tidak diperlukan antara lain;
1. Tidak adanya kinerja yang pasti dari pihak MPR
2. Keanggotaan yang hanya dari DPR dan MPR yang tidak memberikan
keterwakilan bagi masyarakat
3. Pemborosan anggaran negara yang seharusnya bisa diterapkan untuk bidang
lembaga lain
4. Menyebabkan ketidakstabilan terhadap sistem pemerintahan presidensil jika
diberikan kewenganan yang berlebih
5. Banyaknya oknum dalam MPR yang hanya mementingkan keuntungan pribadi
dan golongan
6. Sudah ada lembaga lain yang memiliki tugas serupa dengan MPR
7. Secara sejarah MPR sudah beberapa kali mengeluarkan keputusan yang
kontrofersial yang mencedarai beberapa elemen bangsa Indonesia
8. Memperburuk jalanya legislasi sistem hukum karena hirarkinya berada di atas
perpu dan UU yang dapat menyebebkan multitafsir
9. Memunculkan adanya upaya perubahan sistem pemerintahan dari presidensil ke
parlementer
10. Tidak terpenuhinya amanat masyarakat yang selama ini diemban sehingga
menimbulkan kekecewaan bagi rakyat
Daftar Bacaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar Dan
Pembentukannya . Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1998; h. 26
Padmo Wahjono. Ilmu Negara. Jakarta. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 1966;
h.26
Satjipto Rahardjo, 2012. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke VII.
Hal. 83-84
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap Mpr) Dalam Perundang-Undangan
Di Indonesia Oleh: Fitri Meilany Langi
Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III No. 2 Mei - Agustus 2016 penyalahgunaan
wewenang atau pelanggaran konstitusi oleh lembaga negara
https://mpr.go.id/tentang-mpr/Kedudukan,-Tugas,-dan-Wewenang
https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-tap-mpr-dapat-dipersamakan-dengan-
uud-1945-atau-uu-lt56668c1d168a3
https://setjen.mpr.go.id/detailBerita/121/Sesjen-MPR-:-Sosialisasi-Empat-Pilar-MPR-
Merupakan-Tugas-Mulia
https://mpr.go.id/tentang-mpr/Visi,-Misi,-dan-Tujuan#:~:text=MPR%20sebagai
%20pengawal%20kedaulatan%20rakyat,penyelenggaraan%20kenegaraan%20dan
%20kemasyarakatan%20sesuai
https://www.mpr.go.id/berita/Syarief-Hasan:-Sosialisasi-Empat-Pilar-Sangat-
Dibutuhkan-Rakyat,-Tingkatkan-Kualitas-Materi,-Metode-dan-Sasaran-Di-Tahun-2023
http://repository.iainbengkulu.ac.id/10030/1/SAPNA%20SASMITA-1811150005-
KEDUDDUKAN%20MPR%20DALAM%20SISTEM%20PEMERIN.pdf

Anda mungkin juga menyukai