NPM : 170410140028
Mata Kuliah : Proses Legislatif di Indonesia
Tugas : Menyelesaikan Soal Latihan
Selasa, 13 September 2016
Dosen : Prof. Dr. H. M. Nandang Alamsah D., S.H., M.Hum
Prof. Dr. Drs. Samugyo Ibnu Redjo, M.A
Antik Bintari. S.IP., M.T.
Soal Latihan
Jawaban
2.A Menurut saya dalam Hirearki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia lebih tepat dengan
adanya Ketetapan MPR. Namun ada beberapa pengecualian mengenai TAP yang berlaku ini
karena kedudukannya yang menjadi perdebatan. Sebelumnya mari kita bahas mengapa TAP
MPR ini menjadi perdebatan kedudukannya.
Secara garis besar, TAP MPR dikategorikan sebagai aturan dasar Negara (staatsgrundgesetz)
atau dapat juga disebut sebagai norma dasar (grundnorm). Akan tetapi kategorisasi yang
dilakukan oleh Attamimi ini dilakukan disaat kedudukan MPR masih sebagai lembaga
tertinggi Negara atau sebelum perubahan UUD 1945. Kedudukan TAP MPR sebelum
perubahan UUD, memang menjadi salah satu produk hukum yang berada setingkat dengan
UUD. Hal tersebut mengacu kepada kewenangan dan kedudukan MPR sebagai lembaga
perwujudan kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini sejalan dengan
penjelasan Pasal 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa, Oleh karena Majelis
Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak
terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis memperhatikan
segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan
apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.
Dalam periode era reformasi, TAP MPR dianggap sebagai perpanjangan tangan dari
kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan tertentu yang menguntungkan atau
meligitimasi kepentingan kekuasaan. Untuk itu kemudian muncul istilah sunset clouse,
yakni upaya sedikit demi sedikit untuk menghapus TAP MPR sebagai sumber hukum dalam
sistem perundang-undangan Indonesia. Ini juga yang mendasari proyek evaluasi yang disertai
penghapusan secara besar-besaran terhadap TAP MPR(S) ditahun 2003 melalui Sidang
Umum (SU) MPR. Mahfud MD menyebut agenda ini sebagai Sapu Jagat, yakni TAP MPR
yang menyapu semua TAP MPR(S) yang pernah ada untuk diberi status baru.
Puncak dari agenda sunset clouse dan sapu jagat ini adalah diterbitkannya Undang-
undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
tidak memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum. Namun apakah tidak
dimasukkannya TAP MRP dalam undang-undang tersebut, berarti roh dan keberadaan TAP
MPR benar-benar hilang sama sekali dalam sistem perundang-undangan Indonesia? Tidak.
Eksistensi TAP MPR seharusnya tetap diakui meskipun dengan sifat dan norma yang
berbeda.
Ada 3 (tiga) pertanyaan penting terkait dimasukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki
peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pertama, sesungguhnya
apa roh atau asbabun nuzul dimasukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-
undangan? Kedua, TAP MPR yang manakah yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7
Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan? Ketiga, bagaimana konsekuensi pengujian materi atau norma dalam TAP MPR
yang bertentangan dengan peraturan perundanga-undangan lainnya dan sebaliknya?
Harus dipahami bahwa TAP MPR masih diakui sebagai sumber hukum dalam sistem
perundang-undangan Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada bagian Aturan Tambahan Pasal I yang menyatakan
bahwa, Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap
materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.
TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui
penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, Yang dimaksud dengan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7
Agustus 2003. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang mana saja TAP
MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak tahun 1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak
berlaku lagi.
Dari penjelasan di atas tentunya sudahlah jelas jika TAP MPR yang berlaku adalah TAP yang
sesuai dengan ketentuan di atas dan saat ini MPR tidak berwenang untuk membuat TAP
karena TAP yang dibuat setelah tahun 2003 keduduknya tidak diakui dalam konstitusi.
Namun sebenarnya apabila kita melihat kedudukan MPR saat ini. Boleh saja MPR membuat
TAP baru untuk mengatur ketentuan ketentuan tertentu. Mengutip pendapat Mahfud MD,
bahwa TAP MPR tetap saja boleh ada dan dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya
untuk penetapan yang bersifat beschikking (kongret dan individual) seperti TAP tentang
pengangkatan Presiden, TAP tentang pemberhentian Presiden dan sebagainya. Bahkan TAP
MPR tetap dijadikan sebagai sumber hukum yang bersifat materiil. Sebagaimana yang
ditegaskan oleh Mahfud MD, bahwa sebagai sumber hukum, TAP MPR dapat dijadikan
sebagai sumber hukum materiil (bahan pembuatan hukum), namun bukan sumber hukum
formal (peraturan perundang-undangan). Sebagai sumber hukum materiil, TAP MPR bisa
menjadi bahan hukum seperti halnya nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat, keadaan social dan ekonomi masyarakat, warisan sejarah dan budaya
bangsa dan lain-lain.
2.B Menurut Saya dalam Hirearki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia lebih tepat
Peraturan Presiden dibandingkan Keputusan Presiden karena ada beberapa alasan mengapa
Peraturan Presiden lebih tepat dibandingkan Keputusan Presiden. Mari kita bahas alasan
tersebut berikut ini:
Oleh karena itu menurut Jimly (hal. 10), ada tiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan
yang dapat dibedakan dengan penggunaan istilah peraturan, keputusan/ketetapan dan
tetapan, menurut Jimly istilah-istilah tersebut sebaiknya hanya digunakan untuk:
1. Istilah peraturan digunakan untuk menyebut hasil kegiatan pengaturan yang
menghasilkan peraturan (regels).
2. Istilah keputusan atau ketetapan digunakan untuk menyebut hasil kegiatan
penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).
3. Istilah tetapan digunakan untuk menyebut penghakiman atau pengadilan yang
menghasilkan putusan (vonnis).
Namun, sebagaimana dijelaskan Jimly (hal. 11) memang penggunaan istilah-istilah tersebut
dalam praktik tidak terjadi suatu keseragaman, misalnya dalam menyebut tetapan
menggunakan istilah keputusan hakim.
Dari penjelasan Jimly di atas tersebut maka dapat kita simpulkan pengertian istilah
keputusan dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian istilah keputusan
yang luas, di dalamnya terkandung juga pengertian peraturan/regels,
keputusan/beschikkings dan tetapan/vonnis. Sedangkan, dalam istilah keputusan dalam
arti yang sempit, berarti adalah suatu hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan
administratif (beschikkings).
Dari pemaparan di atas sudahlah jelas mengenai ketepatan antara Keputusan Presiden dengan
Peraturan Presiden. Lebih tepat adalah Peraturan Presiden karena selalu bersifat umum
dan abstrak (general and abstract). Yang dimaksud bersifat general and abstract, yaitu
keberlakuannya ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah umum.
Sementara jika Keputusan Presiden selalu bersifat individual dan kongkrit (individual and
concrete) atau bisa dikatakan hanya untuk di tujukan kepada perseorangan saja.
3. Tentang kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Menurut Saya memang
baiknya kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang itu sejajar
dengan Undang-Undang. Terdapat alasan mengapa saya berpendapat demikian, alasan
tersebut antara lain:
Penetapan Perpu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka
4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (UU 12/2011) yang berbunyi:
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa.
Kemudian daripada itu mari kita lihat letak/kedudukan Perpu dalam peraturan perundang-
undangan. Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Jika dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan di atas kita dapat mengetahui bahwa
UU dan Perpu itu memiliki kedudukan yang sejajar/sederajat. Lalu, kapan suatu Perpu
kadang-kadang dianggap/dikatakan berada di bawah UU dan kapan suatu Perpu kadang-
kadang dianggap/dikatakan berada sejajar/sederajat UU? Untuk menjawab Anda ini, kami
mengacu pada pendapat Marida Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., dalam bukunya
yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya.
Maria menjelaskan bahwa Perpu mempunyai hierarki setingkat dengan UU. Akan tetapi,
menurut Maria, Perpu ini kadang-kadang dikatakan tidak sama dengan UU karena belum
disetujui oleh DPR.
Masih mengenai kedudukan Perpu ini, Maria Farida dalam buku lainnya berjudul Ilmu
Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya mengatakan bahwa selama ini
UU selalu dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau
menurut Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perpu dibentuk oleh Presiden tanpa
persetujuan DPR karena adanya suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa..
Dari penjelasan Maria dari dua bukunya di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya
UU dan Perpu dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang memiliki kedudukan
yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. UU dibentuk
oleh Presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan DPR, sedangkan Perpu dibentuk
oleh Presiden dalam keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah
yang kemudian membuat kedudukan Perpu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-
kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah UU.
Maria juga menjelaskan bahwa Perpu ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat
mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya.
Apabila Perpu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan UU. Sedangkan,apabila Perpu itu tidak
disetujui oleh DPR, akan dicabut. Karena itu, hierarkinya adalah setingkat/sama dengan
Undang-Undang sehingga fungsi maupun materi muatan Perpu adalah sama dengan
fungsi maupun materi muatan Undang-Undang. Jadi, saat suatu Perpu telah disetujui oleh
DPR dan dijadikan UU, saat itulah biasanya Perpu dipandang memiliki kedudukan
sejajar/setingkat dengan UU. Hal ini disebabkan karena Perpu itu telah disetujui oleh DPR,
walaupun sebenarnya secara hierarki perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya
memiliki kedudukan yang sama meski Perpu belum disetujui oleh DPR.
4. Tentang Peraturan Daerah, sekarang ini Peraturan Desa tidak merupakan bagian dari Peraturan
Daerah Akan tetapi, kedudukan Peraturan Desa sebenarnya masih termasuk peraturan
perundang-undangan. Alasannya antara lain:
Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Setelah berlakunya UU 12/2011, Peraturan Desa tidak lagi disebutkan secara eksplisit sebagai
salah satu kategori Peraturan Daerah yang termasuk jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan. Akan tetapi, kedudukan Peraturan Desa sebenarnya masih termasuk
peraturan perundang-undangan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 8 UU 12/2011:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan olehMajelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dengan demikian, peraturan desa sebagai peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa
merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sumber Bacaan:
Buku:
Kansil, C.S.T. 1983. Praktek Hukum Peraturan Perundangan di Indonesia. Jakarta: Erlangga
Ali, Faried. 1997. Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia. Jakarta: Rajawali
Press
Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi dan Materi Muatan.
Yogyakarta: Kanisius.
Jurnal:
Safaat, Muchamad Ali.2013. Kedudukan Ketetapan MPR Dalam Sistem Peraturan Perundang-
Undangan Indonesia. safaat.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/KEDUDUKAN-KETETAPAN-
MPR.pdf
Internet: