Anda di halaman 1dari 21

i

PERTEMUAN KE - 5
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai, mahasiswa mampu:


 Membedakan hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan
Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 dengan Tap III/MPR/2000 dengan UU
No. 10 Tahun 2004 dan dengan UU No. 12 Tahun 2011.

B. URAIAN MATERI
Pengantar:
Pada pertemuan ke 5 ini kita akan berbicara tentang hierarki peraturan
perundang-undangan berdasarkan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Tap
III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004, dan UU No. 12 Tahun 2011
Menurut sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan (hukumtertulis)
disusun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan perundang-
undangan.

Di dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah penjenjangan setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan proklamasi kemerdekaannya,


sampai berlakunya Konstitusi RIS, UUDS, UUD 1945, dan Perubahan UUD 1945
masalah hierarki peraturan perundang-undangan tidak pernah diatur secara tegas.
Secara eksplisit, UUD 1945 hanya menyebutkan jenis peraturan perundang-
undanganan, yaitu Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan
i

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan


Daerah.

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah diatur dalam:
1. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang tentang Memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan RI;
2. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan;
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Saat ini hierarki perundang-undangan di Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
A. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Ketetapan
MPRS XX/MPRS/1966

Di dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR


mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia, dalam Lampiran II tentang “Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945
” dalam huruf A, disebutkan Tata Urutan Peraturan Perundangan sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia1945;
- Ketetapan MPR;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Keputusan Presiden;
- Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti:
 Peraturan Menteri
 Instruksi Menteri
 dan lain-lainnya.
i

Walaupun TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 itu dirasakan sangat besar


kegunaannya dalam rangka penertiban peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat itu, tetapi terlihat juga adanya hal-hal yang kurang pada
tempatnya, bahkan dirasakan terdapat kelemahan-kelemahan yang seharusnya
tidak terjadi.

Menurut Bagir Manan (1992:25), bentuk-bentuk atau jenis peraturan perundang-


undangan yang disebutkan dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 lebih luas
daripada yang disebutkan dalam UUD 1945, tetapi lebih sempit dibandingkan
dengan kenyataan yang ada. Dikatakan lebih luas, karena TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966, menyebutkan beberapa peraturan perundang-undangan yang
tidak secara tegas disebutkan dalam UUD 1945. UUD 1945 hanya menyebut
Undang-Undang (Pasal 5 ayat (1), Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2),
Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat (1) di
samping UUD 1945 sendiri. Sebaliknya, disebut lebih sempit dari kenyataan,
karena TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 hanya memuat peraturan perundang-
undangan tingkat pusat. Sedangkan dalam sistem peraturan perundang-undangan
Indonesia terdapat juga peraturan perundang-undangan tingkat daerah, seperti
Peraturan Daerah.

Menurut A. Hamid S. Attamimi (Ni’matul Huda, 2015:66-67), UUD 1945


semestinya tidak termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, melainkan
termasuk norma dasar (Grundnorm), yaitu Pembukaannya, dan termasuk aturan
dasar (Grundgesetz), yaitu Batang Tubuhnya.

“Menggolongkan UUD 1945 ke dalam peraturan perundang-undangan


sama dengan menempatkannya terlalu rendah. Padahal Pancasila yang
terkandung dalam Pembukaannya, baik dalam rumusannya maupun dalam
pokok-pokok pikiran di dalamnya adalah norma hukum yang paling tinggi,
sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 tidak dapat dipersamakan dengan
Undang-Undang Formal biasa karena selain lembaga pembentuknya tidak
sama juga kedudukannya tidak sama.”
i

Menurut Maria Farida Indrati (2007: 75-76), hal-hal yang perlu disempurnakan
antara lain:

Pertama, UUD 1945 tidak tepat kalau dikatakan sebagai peraturan perundang-
undangan oleh karena UUD 1945 itu dapat terdiri atas dua kelompok norma
hukum, yaitu:

a. Pembukaan UUD 1945 yang merupakan Staatsfundamentalnorm atau


Norma Fundamental Negara. Norma Fundamental Negara ini
merupakan norma hukum tertinggi yang bersifat “pre-supposed” dan
merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah
dasar bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya
masih secara garis besar dan masih bersifat umum, serta merupakan
norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh norma hukum
yang berisi sanksi.
b. Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan
Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang merupakan garis-garis besar
atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata
cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat
umum. Norma hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945 masih bersifat
garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, jadi belum dilekati
oleh norma hukum yang berisi sanksi.

Kedua, TAP MPR merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar


Negara/Aturan Pokok Negara. Seperti halnya Batang Tubuh UUD 1945 , TAP
MPR ini juga berisi garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara,
sifat norma hukumnya masih secara garis besar dan merupakan norma hukum
tunggal dan tidak dilekati oleh norma hukum sekunder.

Ketiga, Di dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 ditentukan bahwa Keputusan


Presiden (Kepres) yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan adalah
yang bersifat einmahlig. Penyebutan Kepres yang einmahlig sebenarnya tidak
tepat, karena suatu Kepres itu dapat juga dauerhaftig.

Suatu Kepres yang bersifat einmahlig adalah yang bersifat penetapan


(beschikking), di mana sifat normanya individual, konkret, dan sekali selesai
(einmahlig), sedangkan norma dari suatu peraturan perundang-undangan selalu
bersifat umum, abstak, dan berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Dengan
i

demikian, sebenarnya yang termasuk peraturan perundang-undangan adalah


Kepres yang bersifat dauerhaftig (berlaku terus-menerus).

Keempat, Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 menyebutkan peraturan perundang-


undangan untuk Presiden dengan “Keputusan Presiden” dan untuk Menteri
dengan “Peraturan Menteri” serta di bagian lain menyebutkan bahwa Keputusan
Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmahlig).

Apabila kata “keputusan” diartikan bersifat einmahlig (sebaiknya diterjemahkan


dengan “sekali selesai”), maka Presiden tidak mengeluarkan peraturan, karena
peraturan tidak bersifat einmahlig melainkan dauerhaftig, terus-menerus, objek
normanya dapat berulang-ulang tidak tertentu bilangannya.

Tetapi apabila yang dimaksud dengan “keputusan” ialah peraturan perundang-


undangan, maka sebaiknya digunakan istilah yang sama bagi peraturan yang
dikeluarkan oleh Presiden dan yang dikeluarkan oleh Menteri, yakni Keputusan
Presiden dan Keputusan Menteri atau Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri.

Penyebutan Instruksi Menteri sebagai peraturan perundang-undanga tidak tepat


karena suatu instruksi itu bersifat individual, konkret, serta harus ada hubungan
atasan dan bawahan secara organisatoris, sedangkan sifat dari suatu norma
hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum, abstrak, dan berlaku
terus menerus.

Kelima, Dalam Tap MPR ini Peraturan Daerah tidak dimasukkan sebagai jenis
peraturan perundang-undangan, padahal Peraturan Daerah juga termasuk dalam
jenis peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut Maria Farida Indrati Soeprapto (2007:80-82) mengemukakan bahwa
selain tanggapan tersebut terdapat peristilahan yang harus diperbaiki, yaitu:
a. Istilah “tata urutan” sebaiknya diganti dengan istilah “tata susunan” atau
“hierarki”, karena istilah “tata susunan” lebih mencerminkan suatu “hierarki”
yang merupakan suatu tingkatan atau jenjang dari peraturan perundang-
undangan yang mengandung suatu fungsi dan materi muatan yang berbeda.
i

b. Istilah “bentuk” peraturan perundang-undangan sebaiknya diganti dengan


istilah “jenis” peraturan perundang-undangan, istilah bentuk lebih menunjuk
pada ciri-ciri lahiriah sedangkan “jenis” berarti “macam” dari peraturan
perundang-undangan.

c. Istilah “perundangan” tidak tepat sebaiknya digunakan istilah perundang-


undangan, karena UUD 1945 menyebutkan kata Undang-Undang untuk
peraturan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Apabila kata wet dipersamakan dengan “Undang-Undang”, maka kata
wettelijke regeling dapat diterjemahkan dengan peraturan-peraturan
berdasarkan UU atau peraturan yang bersifat perundang-undangan.
Istilah “peraturan perundang-undangan” yang digunakan ialah terjemahan
istilah Belanda wettelijke regeling. Kata wettelijk berarti sesuai dengan wet
atau berdasarkan wet.
Kata wet pada umumnya diterjemahkan dengan “Undang-Undang” dan
bukan dengan “undang”. Sehubungan dengan dengan kata dasar “Undang-
Undang”, maka terjemahan wettelijke regeling ialah “peraturan perundang-
undangan”.
Keberatan terhadap istilah “peraturan perundangan” sebagai terjemahan
istilah wettelijke regeling, karena arti kata “undang” saat ini tidak mempunyai
kaitan lagi dengan pengertian hukum, kecuali kata “pengundangan” dalam
arti pengumuman suatu peraturan negara dalam suatu terbitan khusus untuk
itu dan dilakukan dengan cara yang khusus pula, yang apabila tidak demikian
peraturan itu kehilangan kekuatan mengikatnya.
d. Istilah “dan lain-lain” tidak tepat, karena istilah tersebut dapat diartikan
secara luas. sehingga menimbulkan kesan seolah-olah tidak terbatas
jumlahnya dan peraturan lain pun dapat disamakan dengan peraturan
perundang-undangan.

Baik berdasarkan UUD 1945, Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Undang-Undang


No. 5 Tahun 194 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan berbagai
praktik, pada saat itu dijumpai peraturan perundang-undangan berikut: UUD
i

1945, TAP MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, Permen, Kepmen, Perda Tk. I,
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Perda Tingkat II, dan Keputusan
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat I.

B. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPR


No. III/MPR/2000)

Melalui Sidang Tahunan MPR RI 7 Agustus 2000, MPR telah mengeluarkan TAP
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan. Dengan dtetapkannya TAP MPR tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
dan TAP MPR No. IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang
Termaktup dalam Pasal 3 ayat (1) TAP MPR No. V/MPR/1973 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 2 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan tata urutan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pem erintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.

Meskipun TAP MPR tersebut dimaksudkan untuk menyempurnakan TAP MPRS


No. XX/MPRS/1966, namun perumusan jenis dan tata urutan peraturan
perundang-undangan tersebut masih kurang sempurna dan mengandung beberapa
kelemahan, antara lain:
Pertama, Masalah sumber hukum tata susunan peraturan perundang-
undangan
i

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3) tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 2,
karena:
a. dalam Pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa sumber hukum adalah sumber yang
dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan dan ayat
(3) menentukan sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila (Pembukaan
UUD 1945) dan batang tubuh UUD 1945, tetapi dalam Pasal 2 UUD 1945
dimasukkan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Selain
itu, dalam Pasal 3 ayat (1) ditentukan bahwa UUD 1945 merupakan hukum
dasar tertulis.
b. Jika Pancasila dan UUD 1945 merupakan sumber dari peraturan perundang-
undangan, dan merupakan hukum dasar tertulis, seharusnya tidak termasuk
dalam salah satu jenis dari hierarki peraturan perundang-undangan.
Kedua, Masalah jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Menurut Bagir Manan (Yuliandri, 2009:61), penempatan Perpu di bawah UU
merupakan kekeliruan yang cukup fatal, karena Perpu berdasarkan ketentuan
Pasal 22 UUD 1945 mempunyai kedudukan yang sama dengan Undang-Undang
(dalam penamaan disebutkan pengganti, yang bermakna sama), yang ditetapkan
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Lebih lanjut, Bagir Manan (2000: 8) mengemukakan beberapa konsekuensi
hukum penempatan Perpu di bawah UU sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan di atas, materi
muatan Perpu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UU. Sedangkan salah
satu fungsi Perpu adalah “mengganti” atau “mengubah” UU yang sudah ada, di
samping mungkin menciptakan sesuatu yang baru.
Kedua, sesuai dengan ketentuan mengenai pengujian, berarti Perpu dapat diuji
(dinyatakan tidak sah atau dibatalkan MA) seperti diatur dalam UU No. 14 Tahun
1970, UU No. 14 Tahun 1985, bahkan dimuat dalam TAP MPR No.
III/MPR/2000 (Pasal 5 ayat (3).
Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menegaskan: “Pasal ini mengenai
“noodverordeningsrecht” Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan
agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan
i

yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.
Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam Pasal ini yang
kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.” Dengan Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 tersebut jelaslah
bahwa, Perpu mempunyai kedudukan setingkat dengan UU, tetapi dibentuk oleh
Presiden tanpa persetujuan DPR, disebabkan terjadinya “hal ihwal kegentingan
memaksa.” Dengan demikian, Tap MPR ini telah mengubah kedudukan Perpu
berada di bawah UU jelas bertentangan dengan UUD 1945.
b. Permasalahan yang berhubungan dengan Peraturan dan Keputusan
lainnya.
Dalam Pasal 4 ayat (2) Tap MPR disebutkan: “Peraturan atau Keputusan MA,
BPK, Menteri, Bank Indonesia, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang
termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini.” Ketentuan dalam
Pasal 4 ayat (2) Tap MPR ini menimbulkan beberapa masalah, antara lain:

1. Peraturan atau Keputusan Badan, Lembaga, atau Komisi. Penyebutan badan,


lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah dalam
Pasal 4 ayat (2) Tap MPR ini dapat ditafsirkan secara luas. Hal ini dapat
menimbulkan permasalahan, karena terdapat badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah sebagai suatu Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND), misalnya, Badan Pusat Statistik,
Lembaga Sandi Negara sehingga mereka diberikan pula kewenangan untuk
membentuk keputusan yang mengatur umum, tetapi terdapat pula badan,
lembaga, atau komisi yang tidak merupakan suatu LPND, misalnya, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jimly Ashiddiqie (Ni’matul Huda &
Nazriyah, 2011:76) antara lain dengan mempertanyakan:
a. Apakah Peraturan dan Keputusan yang ditetapkan oleh lembaga tinggi
negara, seperti, MA dan BPK dianggap sederajat dengan Peraturan dan
i

Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri, BI, dan bahkan badan,


lembaga, atau Komisi sederajat yang dibentuk oleh Pemerintah?
b. Apakah Peraturan MA dan Peraturan BPK tidak boleh bertentangan
dengan PP, tidak boleh bertentangan dengan Kepres, dan bahkan tidak
boleh bertentangan dengan Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan
Peraturan Desa?
c. Apakah Keputusan MA dalam menyelesaikan suatu perkara kasasi tidak
boleh bertentangan dengan semua peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya di bawah UU?

Menurut Jimly Asshiddiqie (Ni’matul Huda & Nazriyah, 2011:77-78), penegasan


dalam Pasal 4 ayat (2) apabila dibaca secara harfiah dapat mengandung 2 (dua)
norma sekaligus, yaitu:
Pertama, segala peraturan yang ditetapkan oleh MA, BPK, Menteri, Bank
Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh
Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan tersebut;
Kedua, segala keputusan yang ditetapkan oleh badan-badan atau lembaga-
lembaga tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata
urutan perundang-undangan tersebut.
Apabila kita memahami perbedaan antara arti peraturan (regels) dan keputusan
(beschikking), ketentuan Pasal 4 ayat (2) tersebut tidaklah paralel, sehingga tidak
dapat ditafsirkan mengandung kedua norma itu secara paralel pula.
Jika kedua norma tersebut dipahami secara paralel, tentu dapat timbul masalah,
misalnya, dikatakan bahwa “Keputusan MA tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah atau pun dengan Keputusan Presiden.” Padahal, istilah
“Keputusan MA selama ini mempunyai konotasi pengertian yang terkait dengan
putusan atau vonis kasasi MA. Jika ketentuan Pasal 4 ayat (2) TAP MPR tersebut
diartikan demikian hal tersebut merupakan malapetaka yang luar biasa.
Oleh karena itu, perkataan “Peraturan atau Keputusan” dalam Pasal 4 ayat (2)
TAP MPR No. III/MPR/2000 tersebut seyogyanya tidak dipahami bersifat
paralel. Penggunaannya sebagai subjek kalimat yang terkait dengan kata-kata
selanjutnya tergantung kepada kenyataan praktik di lapangan, nomenklatur apakah
i

yang dipakai oleh organ atau lembaga yang menetapkannya, “peraturan” atau
“keputusan”.
Pembedaan antara peraturan perundang-undangan dengan keputusan administratif
sangat penting karena peraturan perundang-undangan yang berisifat abstrak dan
umum dapat menjadi objek judicial review, sedangkan keputusan yang berisi
norma yang bersifat konkret dan individual hanya dapat dijadikan objek peradilan
tata usaha negara.
Di samping itu, pembedaan antara peraturan umum dan peraturan khusus juga
penting, karena peraturan umum tidak boleh melanggar prinsip hierarki norma
sesuai tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditentukan, sedangkan
peraturan yang bersifat khusus tunduk kepada prinsip lex specialis derogat lex
generalis, yaitu bahwa noma hukum yang bersifat khusus dapat mengabaikan
norma hukum yang bersifat umum.
Misalnya, meskipun Peraturan Bank Indonesia (PBI) tidak berada dalam derajat
yang sama dengan PP, karena kedudukan Presiden tetap lebih tinggi daripada
Gubernur Bank Indonesia, tetapi baik PP maupun PBI dapat sama-sama
diterapkan untuk atau dalam rangka melaksanakan UU. Kedua-duanya tidak
saling berhubungan satu sama lain dan karena itu tidak dapat dinilai berdasarkan
ketentuan tata urutan peraturan perundang-undangan.
Perbedaan antara materi PBI dan materi PP atau pun materi PBI dan Kepres tidak
dapat dijadikan alasan oleh hakim untuk melakukan pengujian materiil (judicial
review secara materii) atas PBI tersebut terhadap PP, meskipun kedua-duanya
memang nampak lebih tinggi daripada PBI.

c. Keputusan Menteri
Tidak dicantumkannya Kepmen dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan, dalam praktik banyak menimbulkan permasalahan, terutama terkait
dengan pelaksanaan pemerintahan daerah. Terdapat anggapan bahwa pemerintah
daerah tidak terikat dengan ketentuan dalam Kepmen.
Oleh karena itu, untuk menghilangkan ketidakjelasan atau keragu-raguan
bagaimana posisi dari Kepmen (yang bersifat mengatur), maka Menteri
Kehakiman mengeluarkan surat tanggal 23 Februari 2001 Nomor
i

M.UM.01.06.27, yang ditujukan kepada para Menteri dan Pimpinan Lembaga


Pemerintah Non Departemen (LPND). Isinya menyatakan bahwa Keputusan
Menteri yang bersifat mengatur tetap diakui keberadaannya dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam TAP MPR No.
III/MPR/2000, dengan kedudukan di antara Keputusan Presiden dan Peraturan
Daerah.
Menurut Bagir Manan (Ni’matul Huda & R. Nazriyah, 2011:79), dalam sistem
ketatanegaraan di manapun, wewenang Menteri membuat peraturan (adminitratif)
diakui dan mempunyai sifat peraturan perundang-undangan. Menteri selain
sebagai pejabat publik adalah pejabat administrasi negara, Menteri –untuk
melksanakan hak dan kewajibannya atau wewenang kementeriannya- berhak
membuat aturan-aturan.

d. Peraturan Daerah
Pasal 3 ayat (7) Tap MPR ini menyebutkan, “Peraturan Daerah merupakan
peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi
khusus dari daerah yang bersangkutan, terdiri atas Perda Provinsi, Perda
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa (Perdes).”
Bagaimana kedudukan Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Perdes apakah
masing-masing mempunyai kedudukan yang sederajat, ataukah berbeda?
Kedudukan masing-masing tersebut penting dalam kaitannya dengan Pasal 4 ayat
(1) Tap MPR No. III/MPR/2000 di mana kedudukan terkait erat dengan derajat
kekuatan masing-masing peraturan.
UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) menegaskan: “Daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan daerah kota, masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai
hubungan hierarki satu sama lain.” Maksudnya adalah daerah provinsi tidak
membawahi daerah kabupaten dan daerah kota, tetapi dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja sama,
dan/atau kemitraan dengan daerah kabupaten dan daerah kota dalam
kedudukannya masing-masing sebagai daerah otonom. Sementara itu, dalam
kedudukan sebagai wilayah administratif, gubernur selaku wakil pemerintah
i

melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah kabupaten


dan daerah kota.
Menurut Maria Farida Indrati, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota tetap
memiliki hierarkis. Jika ada tugas pembantuan dari pusat, Perda Provinsi dan
Perda Kabupaten/Kota tunduk pada Perda Provinsi.

C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 2004

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan, maka Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan tidak berlaku
lagi.
Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 menentukan hierarki peraturan perundang-
undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
provinsi bersama gubernur.
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainya bersama dengan kepala desa atau nama lainynya.

Di dalam UU No. 10 Tahun 2004 , TAP MPRS/MPR dihapuskan dari hierarki


peraturan perundang-undangan dan mengembalikan kedudukan Perpu setingkat
UU.
Penghapusan TAP MPR karena adanya kebijakan hukum yang menghapuskan
seluruh TAP MPRS/MPR sejak tahun 1960 sampai 2002, kecuali yang masih
dinyataan tetap berlaku melalui TAP MPR No. I/MPR/2003.
i

Penghapusan sumber hukum TAP MPR dinilai tepat karena menurut A. Hamid S.
Attamimi TAP MPR tidak tepat dikategorikan sebagai peraturan perundang-
undangan. Yang termasuk peraturan perundang-undangan adalah UU ke bawah,
UUD dan Tap MPR harus dilepaskan dalam pengertian peraturan perundang-
undangan (Ni’matul Huda (ed), 2015, 110).
Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 menentukan: “Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”

Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) ini disebutkan: “Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain di dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga. atau komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah
undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.”

Dengan tidak diaturnya secara tegas di mana letak “peraturan yang diakui
keberadaanya” {Pasal 7 ayat (4)} yang dalam penjelasan Pasal tersebut ditulis
antara lain “Peraturan Menteri” maka kontroversi mengenai peraturan tersebut
sebagai akibat ketentuan dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 yang juga tidak
menyebut jenis “Peraturan Menteri” dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan, belum mendapat kejelasan bagaimana penyelesaiannya.

Selain itu, ketentuan dalam ayat (4) akan menyulitkan bagi Pimpinan
Departemen/Lembaga Pemerintah NonDepartemen, atau lembaga lainnya yang
mempunyai kewenangan untuk mengatur hal-hal yang secara teknis menjadi
lingkup tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya, karena dibatasi “sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
i

Bagaimana kedudukan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus,


misalnya, Peraturan Bank Indonesia (PBI), Peraturan Mahkamah Agung (Perma),
atau Peraturan Komisi Pemilihan Umum? Menurut Jimly Asshiddiqie: (Ni’matul
Huda & R. Nazriyah, 2011:79)
“Penentuan tinggi rendahnya kedudukan peraturan perundang-undangan
yang bersifat khusus itu tidak dapat ditentukan secara formal seperti untuk
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Untuk peraturan
perundang-undangan yang bersifat khusus, yang dapat dijadikan faktor
penentu mengenai tinggi rendahnya hierarki adalah sumber legalitas
substantif, yaitu sebagai peraturan primer (primary legislation), peraturan
sekunder (secondary legislation), atau sebagai peraturan tertier (tertiary
legislation). Baik peraturan yang bersifat umum maupun yang khusus
adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan UU. Sepanjang
dimaksudkan untuk menjalankan perintah UU, dapat disebut sebagai
peraturan pelaksana UU yang bersifat khusus “implementing acts” dan
oleh karenanya dapat disebut sebagai executing act.”
Pembentukan peraturan pelaksana UU didasarkan atas kewenangan yang
didelegasikan dari UU (legislative delegation of rule making fower) oleh
pembentuk UU. Karena itu, sebagai sesama peraturan perundang-
undangan –terlepas dari perbedaan kedudukan lembaga pembentuknya-
kedudukan hukum peraturan-peraturan tersebut secara materiil atau
substantif dapat dikatakan sederajat satu sama lain, yaitu sama-sama
merupakan peraturan sekunder (secondary legislation) terhadap UU
(primary legislation).”

D. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2011

Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diganti dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011.
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, jenis dan hierarki perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
i

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;


c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemeritah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Di samping jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut, UU No. 12 Tahun


2011 [Pasal 8 UU ayat (1)] juga mengakui keberadaan Peraturan Perundang-
undangan lain yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh UU
atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi; Gubernur; DPRD
Kabupaten/Kota; Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat
Peraturan-peranturan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan (Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011).
Terkait dengan Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 terdapat
permasalahan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, antara
lain:
Pertama, Tap MPR yang di dalam UU No. 10 Tahun 2004 dihapuskan dari
hierarki peraturan perundang-undangan, dalam UU No. 12 Tahun 2011
dimunculkan kembali dan berada di bawah UUDNRI Tahun 1945 seperti yang
pernah diatur dalam Tap MPR No. III/MPR/2000.
1. Jika dikaitkan dengan definisi peraturan perundang-undangan, maka
penetapan TAP MPR (walaupun dibatasi pada Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR
No. I/MPR/2003) dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,
sebenarnya tidak tepat, antara lain, jika dikaitkan dengan unsur “mengikat
secara umum”. Hal ini dikarenakan ketentuan dalam Tap-Tap tersebut bukan
dalam kapasitas mengikat secara umum (mengikat siapa pun/mengikat setiap
orang), tetapi lebih kepada arahan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Jika dikaitkan dengan lembaga yang berwenang menguji, juga secara yuridis
formal tidak terdapat ketentuan yang mengaturnya, karena Pasal 24A
UUDNRI Tahun 1945, MA berwenang menguji peraturan perundang-
i

undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan Pasal


24C ayat (1) UUDNRI Tahun 1945, MK berwenang menguji Undang-
Undang terhadap UUD. Dengan demikian, untuk pengujian Tap MPRS/MPR
tidak terdapat dasar hukum lembaga mana yang berwenang melakukan
pengujian.

Kedua, UU No. 12 Tahun 2011 mengubah penjenjangan Perda, tidak lagi


menggunakan terminologi meliputi yang artinya berkedudukan sama, tetapi
menghierarkikan dengan ketentuan Perda Provinsi lebih tinggi dari Perda
Kabupaten/Kota. Sebagai konsekuensinya adalah Perda Kabupaten/Kota tidak
boleh bertentangan dengan Perda Provinsi.
Kedudukan Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan oleh pemerintah daerah yang
menyelenggarakan otonomi dan masing-masing berhak menetapkan Perdanya
sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) UUDNRI
Tahun 1945: “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat”, serta “Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.”
Penjenjangan Perda ini perlu mendapatkan penegasan dalam kaitan dengan
konsep negara kesatuan. Pasal 18 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 mengatur
tentang hal itu dengan menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Repulik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten
dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah.
Sebagai peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Perda
Kabupaten/Kota secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena
tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan perundang-undangan tingkat
pusat yang tak terhitung jumlahnya, ditambah lagi dengan Perda Provinsi.
Ketiga, isi ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 ini sesungguhnya
sama dengan isi Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004. UU No. 12 Tahun 2011
i

juga tidak menentukan secara pasti bagaimana penjenjangan atau hierarki dari
peraturan-peraturan tersebut dan bagaimana kedudukan peraturan-peraturan
tersebut terhadap peraturan yang telah ditetapkan penjenjangannya dalam Pasal 7
ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.

Oleh karena pengaturan dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 ada
kemiripan dengan pengaturan dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004,
Ni’matul Huda dan R. Nazriyah (2011: 89) mencoba mendekati persoalan tersebut
dengan mengutip pendapat Jimly Asshiddiqie ketika menganalisis ketentuan Pasal
7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004. Menurut Jimly Asshiddiqie:
“Sangatlah rumit dan banyak masalah yang dapat timbul dari pengaturan
yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tersebut.
Sehingga jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam
Pasal 7 ayat (1) menjadi demikian banyak dan mungkin saja menimbulkan
kebingungan akibat tidak menentunya bentuk, jenis, materi muatan, daya
ikat, dan hierarkinya. Di samping itu, antara bunyi teks pasal dan
penjelasannya juga belum tentu sejalan.”
Menurut Jimly Asshiddiqie (2010b: 287-288), di samping Menteri ada pejabat
setingkat Menteri seperti Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian RI,
Panglima TNI, dan Jaksa Agung, yang dapat pula diberi kewenangan regulasi.
Termasuk dalam kategori ini adalah lembaga yang bersifat independen seperti
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Badan atau lembaga seperti ini dapat
mengeluarkan peraturan tersendiri, asalkan kewenangan regulatif itu diberikan
oleh UU. Jika lembaga itu diberi kewenangan regulatif, maka nama produk
regulatif yang dihasilkan sebaiknya disebut peraturan.
Seringkali bentuk-bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga yang bersifat
khusus atau independen tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan
umum yang tunduk kepada prinsip hierarki hukum berdasarkan tata urutan
peraturan perundang-undangan yang lazim. Produk hukum pengaturan yang
ditetapkan oleh pejabat tertentu yang secara protokoler sederajat tidak dapat
dikatakan selalu mengikuti tingkatan pejabat yang menetapkannya. Misalnya,
Gubernur Bank Indonesia memang secara protokoler sederajat dengan Menteri,
akan tetapi produk peraturan yang ditetapkannya sama seperti Peraturan
i

Pemerintah, yaitu menjalankan UU. Oleh karena itu, kedudukan peraturan-


peraturan yang ditetapkan oleh lembaga khusus itu lebih tepat disebut juga
sebagai peraturan yang bersifat khusus (lex specialis). Semua peraturan yang
ditetapkan oleh lembaga khusus dan independen itu dapat diperlakukan sebagai
bentuk peraturan khusus yang tunduk pada prinsip lex specialis derogat lex
generalis. Termasuk kategori ini, misalnya, Peraturan Mahkamah Agung,
Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan KPU,
Peraturan KPI, Peraturan Komnas HAM, Peraturan PPATK, dan sebagainya.
Untuk itu, menurut Ali Abdurahman dan Rahayu Prasetianingsih dalam Ni’matul
Huda & R. Nazriyah (2011: 90-91) beberapa jenis peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh lembaga negara selain DPR dan Presiden sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dapat dikelompokkan
ke dalam beberapa jenis peraturan perundang-undangan:
1. Peraturan lembaga yang mempunyai daya ikat hanya internal mengikat
organisasi, diantaranya, peraturan tata tertib lembaga, peraturan
mengenai susunan organisasi dan yang sejenis.
2. Peraturan lembaga yang sebenarnya mengikat internal, namun dalam
pelaksanaannya banyak berhubungan dengan subjek-subjek lain di luar
organisasi yang akan terkait bila hendak melalukan perbuatan hukum
tertentu yang berkaitan dengan lembaga tersebut, diantaranya, Peraturan
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Konstitusi, terutama untuk
berbagai peraturan mengenai pedoman beracara.
3. Peraturan lembaga yang mempunyai kekuatan mengikat umum yang
lebih luas, misalnya, Peraturan Bank Indonesia tentang mata uang.
C. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 hanya mengatur hierarki peraturan
perundang-undangan tingkat pusat. Peraturan Daerah sebagai peraturan
perundang-undangan tingkat daerah tidak dimasukkan. Tepatkah
Peraturan Daerah tidak dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-
undangan? Jelaskan jawaban Saudara!
2. TAP MPR No. III/MPR/2000 telah menggeser kedudukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang tadinya setingkat
i

dengan Undang-Undang (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966) menjadi


setingkat lebih rendah dari Undang-Undang? Tepatkah Perpu berada di
bawah Undang-Undang? Jelaskan jawaban Saudara!
3. Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, TAP MPR/MPRS
dihapuskan dari hierarki peraturan perundang-undangan. Apakah menurut
Sdr. penghapusan TAP MPR/MPRS ini sudah tepat? Jelaskan jawaban
Saudara!
4. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 bebunyi:
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Jelaskan maksud ketentuan
Pasal 8 ayat (2) tersebut!
D. DAFTAR PUSTAKA
Buku

Asshiddiqie, Jimly. 2010b. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:


Sinar Grafika.
Huda, Ni’matul & R. Nazriyah. 2011. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-
undangan. Bandung: Nusamedia.
Huda, Ni’matul ed. 2015. Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-
undangan Indonesia. Yogakarta: FH UII Press.
Manan, Bagir. 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Ind-
Hill.Co.
Soeprapto,Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi,
dan Materi Muatan). Yogyakarta: Kanasius.
Yuliandri. 2009. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
Baik. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
Makalah
Manan, Bagir. 2000. Tertib Peraturan Perundang-undangan Menurut
Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000.

Peraturan Perundang-undangan
i

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan.
Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dn Status
Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Anda mungkin juga menyukai