PERTEMUAN KE - 5
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
B. URAIAN MATERI
Pengantar:
Pada pertemuan ke 5 ini kita akan berbicara tentang hierarki peraturan
perundang-undangan berdasarkan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Tap
III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004, dan UU No. 12 Tahun 2011
Menurut sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan (hukumtertulis)
disusun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan perundang-
undangan.
Di dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah penjenjangan setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut Maria Farida Indrati (2007: 75-76), hal-hal yang perlu disempurnakan
antara lain:
Pertama, UUD 1945 tidak tepat kalau dikatakan sebagai peraturan perundang-
undangan oleh karena UUD 1945 itu dapat terdiri atas dua kelompok norma
hukum, yaitu:
Kelima, Dalam Tap MPR ini Peraturan Daerah tidak dimasukkan sebagai jenis
peraturan perundang-undangan, padahal Peraturan Daerah juga termasuk dalam
jenis peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut Maria Farida Indrati Soeprapto (2007:80-82) mengemukakan bahwa
selain tanggapan tersebut terdapat peristilahan yang harus diperbaiki, yaitu:
a. Istilah “tata urutan” sebaiknya diganti dengan istilah “tata susunan” atau
“hierarki”, karena istilah “tata susunan” lebih mencerminkan suatu “hierarki”
yang merupakan suatu tingkatan atau jenjang dari peraturan perundang-
undangan yang mengandung suatu fungsi dan materi muatan yang berbeda.
i
1945, TAP MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, Permen, Kepmen, Perda Tk. I,
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Perda Tingkat II, dan Keputusan
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat I.
Melalui Sidang Tahunan MPR RI 7 Agustus 2000, MPR telah mengeluarkan TAP
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan. Dengan dtetapkannya TAP MPR tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
dan TAP MPR No. IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang
Termaktup dalam Pasal 3 ayat (1) TAP MPR No. V/MPR/1973 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 2 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan tata urutan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pem erintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3) tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 2,
karena:
a. dalam Pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa sumber hukum adalah sumber yang
dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan dan ayat
(3) menentukan sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila (Pembukaan
UUD 1945) dan batang tubuh UUD 1945, tetapi dalam Pasal 2 UUD 1945
dimasukkan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Selain
itu, dalam Pasal 3 ayat (1) ditentukan bahwa UUD 1945 merupakan hukum
dasar tertulis.
b. Jika Pancasila dan UUD 1945 merupakan sumber dari peraturan perundang-
undangan, dan merupakan hukum dasar tertulis, seharusnya tidak termasuk
dalam salah satu jenis dari hierarki peraturan perundang-undangan.
Kedua, Masalah jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Menurut Bagir Manan (Yuliandri, 2009:61), penempatan Perpu di bawah UU
merupakan kekeliruan yang cukup fatal, karena Perpu berdasarkan ketentuan
Pasal 22 UUD 1945 mempunyai kedudukan yang sama dengan Undang-Undang
(dalam penamaan disebutkan pengganti, yang bermakna sama), yang ditetapkan
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Lebih lanjut, Bagir Manan (2000: 8) mengemukakan beberapa konsekuensi
hukum penempatan Perpu di bawah UU sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan di atas, materi
muatan Perpu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UU. Sedangkan salah
satu fungsi Perpu adalah “mengganti” atau “mengubah” UU yang sudah ada, di
samping mungkin menciptakan sesuatu yang baru.
Kedua, sesuai dengan ketentuan mengenai pengujian, berarti Perpu dapat diuji
(dinyatakan tidak sah atau dibatalkan MA) seperti diatur dalam UU No. 14 Tahun
1970, UU No. 14 Tahun 1985, bahkan dimuat dalam TAP MPR No.
III/MPR/2000 (Pasal 5 ayat (3).
Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menegaskan: “Pasal ini mengenai
“noodverordeningsrecht” Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan
agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan
i
yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.
Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam Pasal ini yang
kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.” Dengan Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 tersebut jelaslah
bahwa, Perpu mempunyai kedudukan setingkat dengan UU, tetapi dibentuk oleh
Presiden tanpa persetujuan DPR, disebabkan terjadinya “hal ihwal kegentingan
memaksa.” Dengan demikian, Tap MPR ini telah mengubah kedudukan Perpu
berada di bawah UU jelas bertentangan dengan UUD 1945.
b. Permasalahan yang berhubungan dengan Peraturan dan Keputusan
lainnya.
Dalam Pasal 4 ayat (2) Tap MPR disebutkan: “Peraturan atau Keputusan MA,
BPK, Menteri, Bank Indonesia, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang
termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini.” Ketentuan dalam
Pasal 4 ayat (2) Tap MPR ini menimbulkan beberapa masalah, antara lain:
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jimly Ashiddiqie (Ni’matul Huda &
Nazriyah, 2011:76) antara lain dengan mempertanyakan:
a. Apakah Peraturan dan Keputusan yang ditetapkan oleh lembaga tinggi
negara, seperti, MA dan BPK dianggap sederajat dengan Peraturan dan
i
yang dipakai oleh organ atau lembaga yang menetapkannya, “peraturan” atau
“keputusan”.
Pembedaan antara peraturan perundang-undangan dengan keputusan administratif
sangat penting karena peraturan perundang-undangan yang berisifat abstrak dan
umum dapat menjadi objek judicial review, sedangkan keputusan yang berisi
norma yang bersifat konkret dan individual hanya dapat dijadikan objek peradilan
tata usaha negara.
Di samping itu, pembedaan antara peraturan umum dan peraturan khusus juga
penting, karena peraturan umum tidak boleh melanggar prinsip hierarki norma
sesuai tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditentukan, sedangkan
peraturan yang bersifat khusus tunduk kepada prinsip lex specialis derogat lex
generalis, yaitu bahwa noma hukum yang bersifat khusus dapat mengabaikan
norma hukum yang bersifat umum.
Misalnya, meskipun Peraturan Bank Indonesia (PBI) tidak berada dalam derajat
yang sama dengan PP, karena kedudukan Presiden tetap lebih tinggi daripada
Gubernur Bank Indonesia, tetapi baik PP maupun PBI dapat sama-sama
diterapkan untuk atau dalam rangka melaksanakan UU. Kedua-duanya tidak
saling berhubungan satu sama lain dan karena itu tidak dapat dinilai berdasarkan
ketentuan tata urutan peraturan perundang-undangan.
Perbedaan antara materi PBI dan materi PP atau pun materi PBI dan Kepres tidak
dapat dijadikan alasan oleh hakim untuk melakukan pengujian materiil (judicial
review secara materii) atas PBI tersebut terhadap PP, meskipun kedua-duanya
memang nampak lebih tinggi daripada PBI.
c. Keputusan Menteri
Tidak dicantumkannya Kepmen dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan, dalam praktik banyak menimbulkan permasalahan, terutama terkait
dengan pelaksanaan pemerintahan daerah. Terdapat anggapan bahwa pemerintah
daerah tidak terikat dengan ketentuan dalam Kepmen.
Oleh karena itu, untuk menghilangkan ketidakjelasan atau keragu-raguan
bagaimana posisi dari Kepmen (yang bersifat mengatur), maka Menteri
Kehakiman mengeluarkan surat tanggal 23 Februari 2001 Nomor
i
d. Peraturan Daerah
Pasal 3 ayat (7) Tap MPR ini menyebutkan, “Peraturan Daerah merupakan
peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi
khusus dari daerah yang bersangkutan, terdiri atas Perda Provinsi, Perda
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa (Perdes).”
Bagaimana kedudukan Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Perdes apakah
masing-masing mempunyai kedudukan yang sederajat, ataukah berbeda?
Kedudukan masing-masing tersebut penting dalam kaitannya dengan Pasal 4 ayat
(1) Tap MPR No. III/MPR/2000 di mana kedudukan terkait erat dengan derajat
kekuatan masing-masing peraturan.
UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) menegaskan: “Daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan daerah kota, masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai
hubungan hierarki satu sama lain.” Maksudnya adalah daerah provinsi tidak
membawahi daerah kabupaten dan daerah kota, tetapi dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja sama,
dan/atau kemitraan dengan daerah kabupaten dan daerah kota dalam
kedudukannya masing-masing sebagai daerah otonom. Sementara itu, dalam
kedudukan sebagai wilayah administratif, gubernur selaku wakil pemerintah
i
Penghapusan sumber hukum TAP MPR dinilai tepat karena menurut A. Hamid S.
Attamimi TAP MPR tidak tepat dikategorikan sebagai peraturan perundang-
undangan. Yang termasuk peraturan perundang-undangan adalah UU ke bawah,
UUD dan Tap MPR harus dilepaskan dalam pengertian peraturan perundang-
undangan (Ni’matul Huda (ed), 2015, 110).
Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 menentukan: “Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) ini disebutkan: “Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain di dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga. atau komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah
undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.”
Dengan tidak diaturnya secara tegas di mana letak “peraturan yang diakui
keberadaanya” {Pasal 7 ayat (4)} yang dalam penjelasan Pasal tersebut ditulis
antara lain “Peraturan Menteri” maka kontroversi mengenai peraturan tersebut
sebagai akibat ketentuan dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 yang juga tidak
menyebut jenis “Peraturan Menteri” dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan, belum mendapat kejelasan bagaimana penyelesaiannya.
Selain itu, ketentuan dalam ayat (4) akan menyulitkan bagi Pimpinan
Departemen/Lembaga Pemerintah NonDepartemen, atau lembaga lainnya yang
mempunyai kewenangan untuk mengatur hal-hal yang secara teknis menjadi
lingkup tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya, karena dibatasi “sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
i
juga tidak menentukan secara pasti bagaimana penjenjangan atau hierarki dari
peraturan-peraturan tersebut dan bagaimana kedudukan peraturan-peraturan
tersebut terhadap peraturan yang telah ditetapkan penjenjangannya dalam Pasal 7
ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.
Oleh karena pengaturan dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 ada
kemiripan dengan pengaturan dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004,
Ni’matul Huda dan R. Nazriyah (2011: 89) mencoba mendekati persoalan tersebut
dengan mengutip pendapat Jimly Asshiddiqie ketika menganalisis ketentuan Pasal
7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004. Menurut Jimly Asshiddiqie:
“Sangatlah rumit dan banyak masalah yang dapat timbul dari pengaturan
yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tersebut.
Sehingga jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam
Pasal 7 ayat (1) menjadi demikian banyak dan mungkin saja menimbulkan
kebingungan akibat tidak menentunya bentuk, jenis, materi muatan, daya
ikat, dan hierarkinya. Di samping itu, antara bunyi teks pasal dan
penjelasannya juga belum tentu sejalan.”
Menurut Jimly Asshiddiqie (2010b: 287-288), di samping Menteri ada pejabat
setingkat Menteri seperti Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian RI,
Panglima TNI, dan Jaksa Agung, yang dapat pula diberi kewenangan regulasi.
Termasuk dalam kategori ini adalah lembaga yang bersifat independen seperti
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Badan atau lembaga seperti ini dapat
mengeluarkan peraturan tersendiri, asalkan kewenangan regulatif itu diberikan
oleh UU. Jika lembaga itu diberi kewenangan regulatif, maka nama produk
regulatif yang dihasilkan sebaiknya disebut peraturan.
Seringkali bentuk-bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga yang bersifat
khusus atau independen tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan
umum yang tunduk kepada prinsip hierarki hukum berdasarkan tata urutan
peraturan perundang-undangan yang lazim. Produk hukum pengaturan yang
ditetapkan oleh pejabat tertentu yang secara protokoler sederajat tidak dapat
dikatakan selalu mengikuti tingkatan pejabat yang menetapkannya. Misalnya,
Gubernur Bank Indonesia memang secara protokoler sederajat dengan Menteri,
akan tetapi produk peraturan yang ditetapkannya sama seperti Peraturan
i
Peraturan Perundang-undangan
i