ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Di dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan Norma
Fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, dan kemudian secara
berturut-turut diikuti oleh Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak
tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara (Staatsgrundgesetz), Undang-Undang (formell Gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan
Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom
lainnya (atau istilah yang dipakai oleh Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah, Peraturan Presiden sampai Peraturan Daerah, dan
sebagainya).
B. HUBUNGAN ANTARA PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR 1945
Dari perumusan tersebut dapat dilihat bahwa kedudukan dari Pembukaan UUD 1945
adalah lebih utama daripada Batang Tubuh UUD 1945, oleh karena Pembukaan UUD 1945 itu
mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila.
Apabila "pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut
mencerminkan Pancasila yang menciptakan pasal pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945, dengan
demikian Pancasila merupa kan Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) yang
menjadi dasar dan sumber bagi Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Verfassungnorm)
yaitu Batang Tubuh UUD 1945. Selain daripada itu Penjelasan UUD 1945 juga menyebutkan
istilah 'cita-cita hukum (Rechtsidee)'. Istilah 'cita-cita hukum (Rechtsidee) di dalam Penjelasan
UUD 1945 ini menurut A. Hamid S. Attamimi dikatakan kurang tepat oleh karena istilah 'cita-
cita' itu berarti keinginan, kehendak, atau suatu harapan, sedangkan istilah 'Rechtsidee' sendiri
lebih tepat kalau diterjemahkan dengan Cita hukum.
'Cita hukum' ialah terjemahan dari Rechtsidee. Berbeda dengan terjemahan yang
digunakan dalam Penjelasan UUD 1945, penulis berpendapat Rechtsidee sebaiknya
diterjemahkan dengan 'Cita hukum' dan bukan dengan 'cita-cita hukum' mengingat cita
ialah ga-gasan, rasa, cipta, pikiran, sedangkan cita-cita ialah keinginan, kehendak,
harapan yang selalu ada di pikiran atau di hati
Selanjutnya dikemukakan bahwa 'Kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya
sebagai Cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
secara positif merupakan "bintang pemandu" yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam
semua kegiatan memberi isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif
merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut.
Terhadap isi peraturan perundang undangan sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan merupakan asas hukum umum'
Dengan uraian tersebut jelaslah bahwa Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara
(Staatsfundamentalnorm) dan sekaligus sebagai Cita hukum merupakan sumber dan dasar serta
pedoman bagi Batang Tubuh UUD 1945 sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara
(Verfassungsnorm) serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Apabila dilihat dari teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky, maka kelompok
norma dari Staatsgrundgesetz di Negara Republik In donesia terdiri dari Verfassungsnorm UUD
1945 yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, serta Hukum Dasar tidak
tertulis (Konvensi Ketatanegaraan).
Norma-norma hukum yang ada dalam Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yaitu
dalam Verfassungsnorm UUD 1945 dan dalam Ketetapan MPR merupakan norma-norma hukum
yang masih bersifat umum dan garis besar serta masih merupakan norma tunggal, jadi belum
dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Secara hierarkis kedudukan
Verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi daripada Ketetapan MPR, walaupun keduanya
dibentuk oleh lembaga yang sama yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga
tertinggi di Negara Republik Indonesia.
Selama ini (sebelum adanya Perubahan UUD 1945) masih banyak orang yang
mempersoalkan mengapa Ketetapan MPR mempunyai kedudukan setingkat lebih rendah
daripada Undang-Undang Dasar 1945, padahal keduanya dibentuk oleh sebuah lembaga yang
sama yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pertanyaan ini timbul oleh karena selama ini
banyak orang yang beranggapan bahwa ketiga fungsi dari Majelis Permusyawaratan Rakyat itu
mempunyai bobot yang sama, namun demikian, apabila diperhatikan secara seksama, ketiga
fungsi dari Majelis Permusyawaratan Rakyat itu bisa dibedakan dalam dua kualitas jaitu:
Dengan adanya perbedaan kualitas dari fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan
mengaitkan teori pengikatan diri (Selbtsbindungtheorie), serta perbedaan dalam hal penetapan,
perubahan dan pencabutan dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPP, jelas terlihat
bahwa kedudukan Verfassungsnorm UUD 1945 itu lebih tinggi daripada norma hukum
Ketetapan MPR yang ditetapkan setiap lima tahun itu.
Kedudukan Verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi daripada norma-norma hukum
dalam Ketetapan MPR, namun demikian keduanya termasuk dalam Aturan Dasar Negara/Aturan
Pokok Negara. Hubungan kedua norma hukum itu adalah sesuai dengan jenjang normanya.
Verfassungsnorm UUD 1945 merupakan sumber dan dasar dari pembentukan norma-norma
dalam Ketetapan MPR.
Apabila dikaji dari segi fungsi, Ketetapan MPR mempunyai fungsi untuk mengatur lebih
lanjut ketentuan dalam Verfassungsnorm UUD 1945 yang masih mengatur hal-hal yang pokok
saja. Selain itu di mana perlu menjabarkan lebih lanjut ketentuan dalam Verfassungsnorm UUD
1945 secara lebih terinci dan mengarahkan garis-garis besar daripada haluan negara sesuai
perkembangan negara Republik Indonesia yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
b. Pasal 8
1) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lam batnya dalam waktu enam
puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih
Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
2) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis
Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
berakhir masa jabatannya.
c. Pasal 37
Apabila membaca uraian tersebut, dapat dilihat bahwa berbagai ketentuan dalam Aturan-
aturan Pokok Negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat
dikembangluaskan atau diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang yang lebih mudah caranya
membuat, mengubah dan mencabut. Berdasarkan hal itu maka suatu Undang-Undang dapat
melaksanakan atau mengatur lebih lanjut hal-hal yang ditentukan secara tegas-tegas oleh
Undang-Undang Dasar 1945 maupun hal-hal yang secara tidak tegas-tegas menyebutkannya.
Selain itu, Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi di negara
Republik Indonesia, sehingga Undang-Undang juga merupakan sumber dan dasar bagi peraturan
perundang-undangan lain di bawahnya, yang merupakan peraturan pelaksanaan atau peraturan
otonom.
Apabila dilihat dari sifat norma hukumnya, dapat diketahui bahwa norma-norma hukum
dalam suatu Hukum Dasar itu masih merupakan norma hukum tunggal, masih mengatur hal-hal
umum dan secara garis besar atau masih merupakan norma-norma hukum yang pokok-pokok
saja, sehingga norma-norma dalam suatu Hukum Dasar itu belum dapat langsung berlaku
mengikat umum. Hal tersebut berbeda dengan norma-norma hukum yang ada dalam suatu
peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum itu
sudah lebih konkret, lebih jelas dan sudah dapat langsung berlaku mengikat umum, bahkan
dalam suatu peraturan perundang-undangan sudah dapat dilekati oleh sanksi pidana dan sanksi
pemaksa.
Setelah berlakunya Perubahan UUD 1945 terdapat pendapat bahwa Penjelasan UUD
1945 sudah tidak berlaku lagi. Pendapat tersebut biasanya dihubungkan dengan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 Perubahan, yang menyatakan bahwa, "Dengan ditetapkannya perubahan
Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal." Pendapat ini secara kajian Perundang-undangan adalah
tidak tepat, oleh karena ketentuan dalam Pasal II Aturan Tambahan tersebut tidak menyatakan
pencabutan secara tegas terhadap Penjelasan UUD 1945, selain itu Penjelasan adalah interpretasi
yang merupakan satu kesatuan dengan ketentuan yang dijelaskan dan bukan norma yang
berbeda.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa, agar supaya norma norma hukum yang
terdapat dalam Hukum Dasar (Verfassungsnorm) itu dapat berlaku sebagaimana mestinya, maka
norma-norma hukum itu harus terlebih dahulu dituangkan ke dalam Peraturan Perundang-
undangan (Gesetzgebungsnorm) oleh karena norma hukumnya bersifat umum dan dapat
mengikat seluruh warganegara. (Lihat Gambar 9).
BAB V
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
2. Pasal 22 ayat (1)- sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945: Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang, dan
3. Pasal 5 ayat (2)- sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945:
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya.
Pasal 1
Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
b. Peraturan Pemerintah,
c. Peraturan Menteri.
Pasal 2
Tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada
Pasal 1.
Berdasarkan rumusan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Peraturan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, yang terletak di
bawah Peraturan Pemerintah. Kedudukan Peraturan Menteri yang terletak di bawah Peraturan
Pemerintah (dan bukan di bawah Keputusan Presiden) secara hierarkhis dapat dimengerti, oleh
karena Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menganut sistem parlementer, sehingga Presiden
hanya bertindak sebagai Kepala Negara dan tidak mempunyai kewenangan untuk membentuk
keputusan yang bersifat mengatur.
Selain itu, dalam Lampiran II tentang "Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan sebagai berikut:
2. Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan authentik
Undang-Undang Dasar 1945, Undang Undang Dasar Republik Indonesia adalah bentuk
peraturan perundangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua
peraturan-peraturan bawahan dalam Negara.
3. Sesuai pula dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap peraturan perundangan harus
bersumber dan berdasar dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang
lebih tinggi tingkatnya.
b. 1. Undang-Undang Dasar.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal Undang Undang Dasar adalah
ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan Ketetapan
MPR Undang-Undang atau Keputusan Presiden.
1. Ketetapan MPR.
a) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif
dilaksanakan dengan undang-undang.
b) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
2. Undang-Undang,
a) Undang-Undang adalah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar atau
Ketetapan MPR.
b) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan-peraturan sebagai pengganti Undang Undang,
1) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut.
2) Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus
dicabut.
3. Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang-
Undang.
4. Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar yang bersangkutan, Ketetapan MPR
dalam bidang eksekutif atau Peraturan Pemerintah.
5. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya
seperti:
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya, harus dengan tegas berdasar dan
bersumber pada peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
juga mengakui adanya suatu sistem norma hukum yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di
mana suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan diakui
pula adanya norma tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi norma-norma di bawahnya
seperti Grundnorm dalam teorinya Hans Kelsen dan Staatsfundamentalnorm dalam teorinya
Hans Nawiasky.
Norma-norma hukum yang termasuk dalam sistem norma menurut Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 adalah berturut-turut Undang Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi
Menteri dan lain-lainnya.
Republik Indonesia selanjutnya. Walaupun Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 itu dirasakan
sangat besar kegunaannya dalam rangka penertiban bagi peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat itu, tetapi terlihat juga adanya hal-hal yang kurang pada tempatnya, bahkan
dirasakan terdapat kelemahan-kelemahan yang seharusnya tidak terjadi.
Kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilihat dalam Ketetapan MPR No. V/MPR/1973
tentang Peninjauan Produk-Produk Yang Berupa Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia, khususnya Pasal 3 dan Ketetapan MPR No. IX/
MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan Yang Termaktub Dalam Pasal 3 Ketetapan MPR
Nomor V/MPR/1973, khususnya Pasal 2 yang menetapkan bahwa, Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 dinyatakan "tetap berlaku" tetapi perlu disempurnakan'.
Ketentuan dalam kedua Ketetapan MPR tersebut dirasakan sangat kontroversial, sebab di
satu pihak Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/ 1966 tersebut dinyatakan tetap berlaku sebagai
pegangan, tetapi di lain pihak Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 itu harus disempurnakan.
Menurut kajian Perundang-undangan, hal-hal yang perlu disempurnakan dalam
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut antara lain adalah Lampiran IIA tentang Tata
Urutan Peraturan Perundangan. Berdasarkan kajian Perundang-undangan dapat diajukan
tanggapan sebagai berikut:
2. Ketetapan MPR.
Ketetapan MPR merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara. Seperti juga dengan Batang Tubuh UUD 1945, maka Ketetapan MPR ini juga berisi
garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara, sifat norma hukumnya masih secara garis
besar, dan merupakan norma hukum tunggal dan tidak dilekati oleh norma hukum yang berisi
sanksi..
Batang Tubuh UUD 1945, serta Ketetapan MPR tidak termasuk dalam jenis Peraturan
Perundang-undangan, tetapi termasuk dalam Staatsgrundgesetz, sehingga menempatkan
keduanya ke dalam jenis Peraturan Perundang-undangan adalah sama dengan menempatkannya
terlalu rendah.
Batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR pada hakikatnya tidak dapat digolongkan
ke dalam peraturan perundang-undangan karena mengandung jenis norma yang lebih tinggi dan
berbeda daripada norma yang terdapat dalam Undang-Undang. Para ahli menyebut norma
semacam itu dengan Staatsgrundgesetz, yang diterjemahkan dengan Aturan Dasar Negara/Aturan
Pokok Negara.
Sifat-sifat norma dari Batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR sebagai norma
konstitusi yang mengatur lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi dalam negara, serta tata cara
pembentukannya, tata hubungan sesamanya, dan lingkup tugas masing-masing, serta mengatur
secara dasar tata hubungan antara warga negara dengan negara secara timbal-balik. Hal-hal
tersebut yang membedakannya dari norma Undang-Undang, oleh karena pengaturan dalam
Undang Undang dapat mengatur warga negara dan penduduk secara langsung, dan juga dapat
melekatkan sanksi pidana dan sanksi pemaksa terhadap pelanggaran norma-normanya. Para ahli
menyebut Undang-Undang dengan formell Gesetz
Sebagai catatan perlu dikemukakan bahwa norma-norma hukum yang terkandung dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dapat dibedakan antara norma yang terdapat dalam Pembukaan dan
norma yang terdapat dalam Batang Tubuh. Penjelasan UUD 1945 sendiri menegaskan, Pokok-
pokok Pikiran yang terkandung dalam Pembukaan yang tidak lain melainkan Pancasila itu di
satu pihak merupakan Cita Hukum (Rechtsidee) dan di lain pihak merupakan Norma Tertinggi
dalam negara yang oleh Hans Nawiasky disebut Staatsfundamentalnorm (diterjemahkan oleh
Prof. Notonagoro dengan kaidah Pokok Fundamentil Negara)
Norma yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara. Norma-norma yang terdapat dalam Ketetapan MPR juga
merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara, meskipun kedudukannya setingkat lebih
rendah daripada norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945. Hal itu disebabkan karena
norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945 dibentuk oleh MPR ketika Lembaga Negara
Tertinggi ini melaksanakan kewenangan selaku Konstituante yang berkedudukan "di atas" dalam
arti lebih tinggi daripada Undang Undang Dasar 1945, sedangkan norma-norma dalam Ketetapan
MPR dibentuk oleh MPR ketika Lembaga Negara Tertinggi ini melaksanakan kewenangan
selaku Lembaga Penetap Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, dan selaku Lembaga
Pemilih (Elektorat) Presiden dan Wakil Presiden yang menjalankan ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Ketetapan MPR berkedudukan "di bawah" dalam
arti lebih rendah daripada Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian sifat-sifat norma dalam
Batang Tubuh UUD dan dalam Ketetapan MPR sama jenisnya. Itu sebabnya pula norma
Ketetapan MPR dapat "mengisi" atau "melengkapi" norma UU.,55
3. Keputusan Presiden.
Di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini ditentukan bahwa Keputusan
Presiden yang termasuk dalam Peraturan Perundang-undangan adalah yang bersifat "einmahlig".
Penyebutan Keputusan Presiden yang "einmahlig" ini sebenarnya tidak tepat, oleh karena suatu
Keputusan Presiden itu dapat juga "dauerhaftig". Suatu Keputusan Presiden yang bersifat
"einmahlig" adalah yang bersifat "penetapan" (beschikking), di mana sifat normanya indi vidual,
konkret dan sekali-selesai (einmahlig), sedangkan norma dari suatu Peraturan Perundang-
undangan selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Dengan
demikian sebenarnya yang termasuk Peraturan Perundang-undangan adalah Keputusan Presiden
yang bersifat dauerhaftig (berlaku terus menerus).
4. Peraturan Menteri.
Istilah Peraturan Menteri adalah tidak tepat, dan sebaiknya diganti menjadi Keputusan
Menteri oleh karena dengan penyebutan Keputusan Menteri di sini dapat berarti secara luas
yaitu, baik yang berarti peraturan (regeling) dan juga yang berarti penetapan (beschikking).
Selain itu penyebutan Keputusan Menteri ini dirasakan lebih konsisten dengan Keputusan
Presiden.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 menyebutkan peraturan perundang-undangan
untuk Presiden dengan "Keputusan Presiden" dan untuk Menteri "Peraturan Menteri", dan di
bagian lain menyebutkan bahwa Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus
(einmahlig). Apakah hal itu berarti secara normatif terdapat perbedaan antara peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dan yang ditetapkan oleh seorang Menteri?
Apabila ya dalam hal apa?
Apabila kata "keputusan" diartikan bersifat einmahlig (sebaiknya diterjemahkan dengan
"sekali-selesai") maka Presiden tidak mengeluarkan peraturan, karena peraturan tidak bersifat
einmahlig melainkan dauerhaftig, terus-menerus, obyek normanya dapat ber ulang-ulang tidak
tertentu bilangannya. Dan apabila demikian, maka hal itu mengingatkan kita kepada Undang-
Undang Dasar 1950 yang menempatkan Presiden dalam kedudukan "tidak dapat diganggu gugat"
atau "can do no wrong", padahal menurut UUD 1945 Presiden adalah Penyelenggara Tertinggi
Pemerintahan Negara. Tetapi apabila yang dimaksud dengan "keputusan" ialah peraturan
perundang-undangan, maka sebaiknya digunakan istilah yang sama bagi peraturan yang
dikeluarkan oleh Presiden dan yang dikeluarkan oleh Menteri, yakni Keputusan Presiden dan
Keputusan Menteri atau Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri, meskipun untuk alternatif
terakhir ini dapat mengingatkan kita kepada PERPRES yang lahir ketika Presiden masih
menetapkan PENPRES PENPRES.
5. Instruksi Menteri
Penyebutan Instruksi Menteri sebagai Peraturan Perundang undangan adalah tidak tepat,
oleh karena suatu instruksi itu bersifat individual dan konkret serta harus ada hubungan atasan
dan bawahan secara organisatoris, sedangkan sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan adalah umum, abstrak dan berlaku terus-menerus.
Menurut Ruiter, sebuah norma, (termasuk norma hukum) mengandung unsur-unsur
berikut: cara keharusan berperilaku (modus van behoren), disebut operator norma; b. seorang
atau sekelompok orang adresat (normadressaat) disebut subyek norma; c. perilaku yang
dirumuskan (normgedrag), disebut obyek norma; dan d. syarat-syaratnya (normcondities),
disebut kondisi norma.
Dalam suatu instruksi, adresat atau subyek norma ialah orang atau orang-orang tertentu,
dan perilaku yang dirumuskan atau obyek norma bersifat sekali atau beberapa kali namun
tertentu bilangannya. Oleh karena itu dalam suatu instruksi adresat yang terkandung di dalamnya
bersifat konkret. Selain itu, dalam suatu instruksi terdapat hubungan organisasi antara yang
memberikan/mengeluarkan instruksi dan yang menerima instruksi, yaitu hubungan atasan
bawahan. Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan adresat atau subyek norma bersifat
abstrak. Dengan kata lain, dalam peraturan adresat atau subyek norma tidak tertentu dan perilaku
yang diatur/ dirumuskan atau obyek norma dapat berulang-ulang/tidak tertentu bilangannya".
Berdasarkan pertimbangan di atas maka suatu instruksi (baik Instruksi Presiden atau Instruksi
Menteri) tidak dapat digolongkan ke dalam peraturan perundang-undangan.'
6. Peraturan Daerah
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini tidak dimasukkan Peraturan Daerah
sebagai Peraturan Perundang undangan, padahal Peraturan Daerah adalah juga termasuk dalam
jenis Peraturan Perundang-undangan dan tidak selalu merupakan peraturan pelaksanaan saja.
7. Peristilahan:
Selain tanggapan tersebut di atas terdapat peristilahan yang harus diperbaiki, yaitu:
a. Istilah "tata urutan" sebaiknya diganti dengan istilah "tata susunan" atau "hierarki",
oleh karena istilah "tata susunan" lebih mencer minkan suatu "hierarki" yang
merupakan suatu tingkatan atau jenjang dari peraturan perundang-undangan yang
mengandung suatu fungsi dan materi muatan yang berbeda.
b. Istilah "bentuk" peraturan perundang-undangan sebaiknya diganti dengan istilah
"jenis" peratuan perundang-undangan, oleh karena istilah bentuk lebih menunjuk
pada ciri-ciri lahiriah, sedangkan "jenis" berarti "macam" dari peraturan perundang
undangan.
c. Istilah "perundangan" adalah tidak tepat, sebaiknya digunakan istilah "perundang-
undangan", oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan kata Undang-
Undang untuk peraturan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Apabila kata "wet" dipersamakan dengan "Undang Undang", maka kata "wettelijke
regeling" dapat diter jemahkan dengan peraturan-peraturan berdasarkan Undang Undang atau
peraturan yang bersifat perundang-undangan.
Istilah "perundang-undangan" yang digunakan ialah terjemahan istilah Belanda
"wettelijke regeling". Kata "wettelijk" berarti sesuai dengan Wet atau berdasarkan Wet. Kata wet
pada umumnya diterjemahkan dengan "undang undang" dan bukan dengan "undang".
Sehubungan dengan kata dasar "undang-undang", maka terjemahan wettelijke regeling ialah
"peraturan perundang-undangan".
Keberatan terhadap istilah "peraturan perundangan" sebagai terjemahan istilah wettelijke
regeling ialah karena arti kata "undang" dewasa ini tidak mempunyai kaitan lagi dengan
pengertian hukum kecuali kata "pengundangan" dalam arti pengumuman suatu peraturan negara
dalam suatu terbitan khusus untuk itu dan dilakukan dengan cara yang khusus pula, yang apabila
tidak demikian peraturan itu kehilangan kekuatan mengikatnya (afkondiging, promulgation)
d. Istilah "dan lain-lainnya" adalah tidak tepat, oleh karena istilah tersebut dapat
diartikan secara luas, atau apakah yang dimaksud di sini termasuk juga Keputusan
Badan Negara atau Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah?
'Dalam rumusannya mengenai jenis peraturan perundang undangan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 tidak menyebut secara limitatif apa saja yang tergolong
di dalamnya Ia hanya mengata-kan "dan lain-lainnya" sehingga menimbulkan kesan
seolah-olah tidak terbatas jumlahnya dan peraturan peraturan lain pun disamakan
dengan peraturan perundang undanga
Kiranya perlu diperhatikan, peraturan perundang-undangan hanya dapat dibentuk
oleh lembaga-lembaga yang memperoleh kewenangan perundang-undangan
(wetgevingsbevoegdheid), yaitu kekuasaan untuk membentuk hukum
(rechtsvorming). Dan mengenai itu tidak semua lembaga memperolehnya.
Pembentukan hukum tidak tertulis memang dilakukan oleh Kepala-kepala Adat
melalui putusan-putusan (beslissingen), tetapi pembentukan hukum tertulis dilakukan
melalui keputusan keputusan (besluiten) yang terikat oleh suasana kewajiban yang
ditimbulkan oleh undang-undang dan peraturan perundangan undangan yang
mengaturnya.
Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua Keputusan
Menteri yang berisi peraturan selalu merupakan peraturan perundang-undangan; tidak
semua Keputusan Direktur Jenderal yang berisi peraturan merupakan peraturan
perundang-undangan. Demikian juga tidak semua Keputusan Gubernur Kepala
Daerah yang berisi peraturan dan semua Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah yang berisi peraturan merupakan peraturan perundang-undangan Untuk itu
diperlukan atribu dan delegasi kewenangan perundang-undangan yang jelas.
Ketetapan MPRS No. XX
MPRS/1966 menyebutkan
harus bersumber dan berdasar
dengan tegas pada peraturan
perundang-undangan yang
berlaku, yang lebih tinggi
tingkatannya. '59 (Lihat
Gambar 10, 11 & 12).
H. TANGGAPAN TERHADAP UNDANG-UNDANGAN NO. 10 TH. 2004
Berdasarkan rumusan Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, maka Penulis mengajukan beberapa hal yang perlu diluruskan
dan dipermasalahkan untuk mendapatkan suatu pemahaman dan penjernihan terhadap masalah
jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar
Seperti tanggapan terhadap Ketetapan MPRS No. XX/ MPRS/1966 dan Ketetapan No.
III/MPR/2000, maka Penulis berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak tepat kalau
dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat
dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan oleh karena alasan sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945 di itu terdiri atas kelompok norma hukum yaitu:
Pembukaan UUD 1945 merupakan Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental
Negara Norma Fundamental Negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang
bersifat 'pre-sup posed' dan merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung
kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya
masih secara garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum
dilekati oleh norma hukum yang berisi sanksi.
2) Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara yang merupakan garis-garis besar atau pokok-pokok
kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata cara membentuk Peraturan Perundang
undangan yang mengikat umum. Sifat dari norma hukumnya masih bersifat garis
besar dan pokok dan merupakan norma hukum tunggal, jadi belum dilekati oleh
norma sanksi, oleh karena itu menempatkan Batang Tubuh UUD 1945 ke dalam jenis
Peraturan Perundang-undangan adalah tidak tepat, oleh karena menempatkannya
terlalu rendah. (lihat juga hal. 75 dan hal. 89)
3) Selain itu, dalam Undang-Undang No. 10 Th. 2004 Pasal 2 di tetapkan bahwa
Pancasila merupakan sumber hukum negara, dan dalam Pasal 3 ditetapkan bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar dalam Peraturan Perundang
undangan, sehingga tidak benar apabila Undang-Undang Dasar 1945 dimasukkan
dalam jenis Peraturan Perundang-undangan.
Ketetapan MPR
c. Apabila Undang-Undang Dasar 1945 dimasukkan dalam jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan, mengapa Ketetapan MPR tidak juga dimasukkan di dalamnya,
oleh karena berdasarkan Ketetapan MPR No. 1/MPR/2003 Pasal 2 dan
Peraturan Presiden
Istilah Peraturan Presiden sebagai pengganti istilah Keputusan Presiden adalah tidak
tepat, dan saat ini telah menimbulkan berbagai permasalahan. Istilah "keputusan" dalam arti luas
biasanya dibagi menjadi dua jenis, yaitu keputusan yang bersifat mengatur (regeling) dan
keputusan yang bersifat menetapkan (beschikking). Istilah "keputusan" merupakan pernyataan
kegendak yang bersifat netral, yang secara kajian di bidang Perundang-undangan dapat
dibedakan sebagai keputusan yang merupakan peraturan perundang-undangan (wetgeving),
keputusan yang merupakan peraturan perundang undangan semu (beleidsregel, pseudo-
wetgeving), keputusan tata usaha negara (beschikking), maupun keputusan yang berentang
umum lainnya (besluiten van algemene strekking).
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, seringkali dibentuk suatu keputusan yang hanya
bersifat mengatur sehingga dapat disebut peraturan, atau suatu keputusan yang hanya bersifat
menetapkan, yang dapat disebut penetapan; namun demikian seringkali pula terdapat suatu
keputusan yang di dalamnya terdiri atas ketentuan yang mengatur dan sekaligus ketentuan yang
bersifat menetapkan. Untuk contoh yang ketiga, apabila Presiden akan membuat suatu keputusan
yang terdiri atas 50% (lima puluh persen) ketentuan yang bersifat mengatur dan 50% (lima puluh
persen) ketentuan yang bersifat menetapkan, akan disebut apakah ketentuan yang dibuat Presiden
tersebut, PERPENPRES (Peraturan dan Penetapan Presiden) atau PENPERPRES (Penetapan dan
Peraturan Presiden)? Apakah untuk hal tersebut tidak lebih tepat untuk disebut KEPPRES atau
Keputusan Presiden, yang di dalamnya berisi peraturan dan sekaligus penetapan?
Apabila pemahaman tentang istilah "peraturan" adalah keputusan yang bersifat mengatur,
dan istilah "penetapan" adalah keputusan yang bersifat penetapan, mengapa dalam
pelaksanaannya tidak secara konsisten dipakai sebutan PERPRES (Peraturan Presiden) untuk
keputusan Presiden yang bersifat mengatur, dan PENPRES (Penetapan Presiden) untuk
keputusan Presiden yang bersifat menetapkan, seperti peristilahan yang dipakai pada masa Orde
Lama (antara tahun 1959 s/d 1969)?
Peraturan Desa
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf c menetapkan bahwa Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama kepala desa, ke
dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Apabila hal ini dihubungkan dengan definisi Peraturan Perundang undangan dalam Pasal
angka 2 yang menetapkan bahwa, "Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
dibentuk oleh Lembaga Negara atau Pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum", maka
siapakah yang dimaksud sebagai lembaga negara dan pejabat yang berwenang, apakah badan
perwakilan desa atau kepala desa?
Penulis berpendapat bahwa, menetapkan Peraturan Desa sebagai Peraturan Perundang-
undangan adalah tidak tepat, dan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 32
Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan pendapat tersebut bukan berarti bahwa badan perwakilan desa atau nama lainnya
bersama kepala desa tidak boleh atau tidak dapat membentuk suatu peraturan desa atau nama
lainnya, badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama kepala desa tetap dapat membentuk
suatu Peraturan Desa, yang bersifat mengatur (dan mengikat umum), dalam arti peraturan di
bidang penyelenggaraan pemerintahan saja, tetapi tidak sebagai Peraturan Perundang undangan,
Peraturan-peraturan lainnya.
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) dirumuskan berbagai jenis peraturan yang dianggap
sebagai Peraturan Perundang-undangan dari berbagai lembaga negara dan pejabat yang
berwenang. Jika rumusan tersebut dikaji berdasarkan fungsi dan kewenangan dari lembaga
negara atau pejabat yang dirumuskan di dalamnya, Penulis berpendapat bahwa, tidak semua
lembaga negara dan pejabat tersebut mempunyai kewenangan untuk menmbentuk peraturan yang
bersifat umum, dan berlaku ke luar sebagai Peraturan Perundang undangan. Dari berbagai
lembaga negara atau pejabat yang berwenang tersebut dapat diajukan kajian sebagai berikut:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam UUD 1945 Perubahan, khususnya Pasal 3 dan Pasal 8 dirumuskan bahwa
fungsi dan wewenang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah:
1) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
4) memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan.
5) memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hak terjadi kekosongan jabatan.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang undangan, oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mempunyai tugas
untuk mengatur rakyat.
b. Dewan Perwakilan Rakyat
Dalam UUD 1945 Perubahan antara lain dirumuskan sebagai berikut:
1) Dewan Perwakilan Rakyat membentuk undang-undang
denganpersetujuan bersama Presiden - Pasal 20.
2) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan, hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat. - Pasal 21. Berdasarkan fungsi dan wewenang
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak
mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat
membentuk Undang Undang dengan persetujuan Presiden, yang
merupakan Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi.
Mahkamah Agung
Dalam Pasal 24A ayat (1) dirumuskan bahwa, Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undang di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, maka keputusan yang dibentuk oleh
Mahkamah Agung adalah keputusan di bidang peradilan, sehingga keputusan tersebut bersifat
suatu penetapan yang individual, konkret, dan sekali-selesai (final). Dengan demikian
Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum; namun demikian Mahkamah Agung
tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).
Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 24C UUD 1945 Perubahan dirumuskan bahwa:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, maka keputusan yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi adalah keputusan di bidang peradilan, sehingga keputusan tersebut
bersifat suatu penetapan yang individual, konkret, dan sekali-selesai (final). Oleh karena itu,
Mahkamah Konstitusi juga tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum; namun demikian Mahkamah
Konstitusi tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).
Badan Pemeriksa Keuangan.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23E UUD 1945 Perubahan, maka Badan Pemeriksa
Keuangan. berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara, dan menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara tersebut kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Badan Pemeriksa
Keuangan. tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang
undangan atau peraturan yang mengikat umum, namun demikian Badan Pemeriksa Keuangan
tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).
Bank Indonesia.
Dalam Pasal 23D UUD 1945 Perubahan ditetapkan bahwa, Negara memiliki suatu bank
sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan indepen densinya diatur
dengan undang-undang,
Kemudian dalam Undang-Undang No. 23 Th. 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah
diubah dengan Undang-Undang No.3 Th. 2004 dirumuskan dalam Pasal 1 angka 8 bahwa,
Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan
mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 8 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Bank Indonesia
mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan
berdasarkan wewenang atribusi.
Menteri.
Tidak semua Menteri mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, oleh karena Menteri Koordinator, dan Menteri Negara tidak merupakan
lembaga-lembaga pemerintah dalam perundang-undangan Menteri yang dapat membentuk
peraturan yang mengikat umum adalah hanya Menteri Departemen, sedangkan Menteri
Koordinator dan Menteri Negara hanya dapat membuat peraturan yang bersifat intern, dalam
lingkungannya sendiri, jadi tidak berwenang membentuk peraturan yang mengikat umum.
Kepala badan, lembaga, atau komisi Yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang
atau pemerintah atas perintah undang undang.
Pada dasamya tidak semua badan, lembaga, atau komisi tersebut mempunyai
kewenangan membentuk peraturan yang mengikat umum. Badan, lembaga, atau komisi yang
dapat membentuk peraturan yang mengikat umum hanyalah yang merupakan Lembaga
Pemerintah Non Departemen, misalnya, Badan Pusat Statistik, Lembaga Administrasi Negara.
Gubernur.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 146 Undang-Undang No. 32 Th. 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi dapat menetapkan
peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah, untuk melaksanakan Peraturan Daerah
Provinsi, atau atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan demikian Gubernur dapat membentuk peraturan perundang-undangan
berdasarkan delegasi dari Peraturan Daerah Provinsi atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Seperti tanggapan dalarn hurufj di atas, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota.juga tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Bupati/Walikota.
Seperti tanggapan pada huruf k di atas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 146 Undang-
Undang No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bupati/Walikota sebagai Kepala Daerah
Kabupaten/Kota dapat menetapkan peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah, untuk
melaksanakan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, atau atas peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian Bupati/Walikota dapat membentuk peraturan perundang-undangan
berdasarkan delegasi dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Berdasarkan tanggapan di atas, terlihat bahwa sejak berlakunya Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, kemudian Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan, sampai dengan berlakunya Undang-Undang No. 10 Th. 2004, tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, permasalahan tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia tersebut belum berakhir; oleh karena itu diskusi panjang dan kajian
terhadap permasalahan tersebut perlu dilakukan, agar kepastian hukum dapat dicapai dengan
maksimal.