Anda di halaman 1dari 32

TUGAS

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

RANGKUMAN ILMU PERUNDANG-UNDANGAN BUKU 1, BAB 4 DAN 5

Dosen : DR. DARWIN GINTING, S.H.,M.H.

Disusun Oleh : Diva Trahwangsa Jaya


Kelas : Khusus
NPM : 19.4301.172

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2021
BAB IV

SISTEM NORMA HUKUM DI REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-


UNDANG DASAR 1945

A. SISTEM NORMA HUKUM INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR


1945

Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya, serta


ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi, terbentuklah pula sistem norma
hukum Negara Republik Indonesia. Apabila dibandingkan dengan teori jenjang norma
(Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum (die Theorie vom
Stufentordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky, maka dapat dilihat adanya cerminan
dari kedua sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Dalam
sistem norma hukum Negara Republik Indonesia maka norma-norma hukum yang berlaku
berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-
kelompok, di mana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara
(Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia yaitu Pancasila.

Di dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan Norma
Fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, dan kemudian secara
berturut-turut diikuti oleh Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak
tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara (Staatsgrundgesetz), Undang-Undang (formell Gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan
Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom
lainnya (atau istilah yang dipakai oleh Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah, Peraturan Presiden sampai Peraturan Daerah, dan
sebagainya).
B. HUBUNGAN ANTARA PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR 1945

Pembahasan tentang hubungan antara Norma Fundamental Negara


(Staatsfundamentalnorm) Pancasila dan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara
(Verfassungsnorm) Undang-Undang Dasar 1945, dapat dilakukan dengan melihat dan
mencermati rumusan dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar 1945 Angka III yang
menentukan sebagai berikut:

"Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam


pembukaan di dalam pasal-pasalnya. Pokok pokok pikiran tersebut meliputi suasana
kebatinan dari Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran
ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik
hukum yang tertulis (Undang-Undang Desar) maupun hukum yang tidak tertulis.

Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini di dalam pasal-pasalnya."

Dari perumusan tersebut dapat dilihat bahwa kedudukan dari Pembukaan UUD 1945
adalah lebih utama daripada Batang Tubuh UUD 1945, oleh karena Pembukaan UUD 1945 itu
mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila.

Apabila "pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut
mencerminkan Pancasila yang menciptakan pasal pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945, dengan
demikian Pancasila merupa kan Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) yang
menjadi dasar dan sumber bagi Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Verfassungnorm)
yaitu Batang Tubuh UUD 1945. Selain daripada itu Penjelasan UUD 1945 juga menyebutkan
istilah 'cita-cita hukum (Rechtsidee)'. Istilah 'cita-cita hukum (Rechtsidee) di dalam Penjelasan
UUD 1945 ini menurut A. Hamid S. Attamimi dikatakan kurang tepat oleh karena istilah 'cita-
cita' itu berarti keinginan, kehendak, atau suatu harapan, sedangkan istilah 'Rechtsidee' sendiri
lebih tepat kalau diterjemahkan dengan Cita hukum.

'Cita hukum' ialah terjemahan dari Rechtsidee. Berbeda dengan terjemahan yang
digunakan dalam Penjelasan UUD 1945, penulis berpendapat Rechtsidee sebaiknya
diterjemahkan dengan 'Cita hukum' dan bukan dengan 'cita-cita hukum' mengingat cita
ialah ga-gasan, rasa, cipta, pikiran, sedangkan cita-cita ialah keinginan, kehendak,
harapan yang selalu ada di pikiran atau di hati
Selanjutnya dikemukakan bahwa 'Kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya
sebagai Cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
secara positif merupakan "bintang pemandu" yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam
semua kegiatan memberi isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif
merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut.
Terhadap isi peraturan perundang undangan sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan merupakan asas hukum umum'

Dengan uraian tersebut jelaslah bahwa Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara
(Staatsfundamentalnorm) dan sekaligus sebagai Cita hukum merupakan sumber dan dasar serta
pedoman bagi Batang Tubuh UUD 1945 sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara
(Verfassungsnorm) serta peraturan perundang-undangan lainnya.

C. HUBUNGAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DAN KETETAPAN MPR

1) Sebelum Perubahan UUD 1945

Apabila dilihat dari teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky, maka kelompok
norma dari Staatsgrundgesetz di Negara Republik In donesia terdiri dari Verfassungsnorm UUD
1945 yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, serta Hukum Dasar tidak
tertulis (Konvensi Ketatanegaraan).

Norma-norma hukum yang ada dalam Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yaitu
dalam Verfassungsnorm UUD 1945 dan dalam Ketetapan MPR merupakan norma-norma hukum
yang masih bersifat umum dan garis besar serta masih merupakan norma tunggal, jadi belum
dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Secara hierarkis kedudukan
Verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi daripada Ketetapan MPR, walaupun keduanya
dibentuk oleh lembaga yang sama yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga
tertinggi di Negara Republik Indonesia.
Selama ini (sebelum adanya Perubahan UUD 1945) masih banyak orang yang
mempersoalkan mengapa Ketetapan MPR mempunyai kedudukan setingkat lebih rendah
daripada Undang-Undang Dasar 1945, padahal keduanya dibentuk oleh sebuah lembaga yang
sama yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pertanyaan ini timbul oleh karena selama ini
banyak orang yang beranggapan bahwa ketiga fungsi dari Majelis Permusyawaratan Rakyat itu
mempunyai bobot yang sama, namun demikian, apabila diperhatikan secara seksama, ketiga
fungsi dari Majelis Permusyawaratan Rakyat itu bisa dibedakan dalam dua kualitas jaitu:

Fungsi I : Menetapkan Undang-Undang Dasar.


Fungsi II a: Menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara.
II b: Memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menjalankan fungsi yang pertama mempunyai


kedudukan yang lebih utama daripada dalam menjalankan fungsi yang kedua, oleh karena dalam
menjalankan fungsi yang pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kualitas sebagai
konstituante', yaitu menetapkan Undang-Undang Dasar yang hanya dilaksanakan apabila negara
benar-benar menghendaki, jadi tidak secara teratur, sedangkan dalam menjalankan fungsi yang
kedua itu dapat dilaksanakan secara teratur dalam jangka waktu lima tahun sekali, yaitu pada
waktu Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang.
Kedudukan Verfassungsnorm UUD 1945 yang berada di atas Ketetapan MPR ini menjadi
lebih jelas apabila dikaji dengan teori Pengikatan Diri (Selbtsbindungtheorie) dari George
Jellinek. Secara teori Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mempunyai kualitas utama sebagai
Konstituante itu mula-mula menjalankan fungsi yang pertama yaitu menetapkan Undang-
Undang Dasar Negara. Setelah Undang-Undang Dasar itu terbentuk, kemudian Majelis
Permusyawaratan Rakyat tersebut mengikatkan diri pada ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar yang ia bentuk (sesuai dengan Selbtsbindungtheorie). Selanjutnya dalam menjalankan
fungsinya yang kedua, yaitu menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, dan memilih
Presiden dan Wakil Presiden yang dituangkan dalam Ketetapan-ketetapan MPR, dan pada saat
itu Majelis Permusyawaratan Rakyat tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan dalam Undang-
Undang Dasar tersebut.
Selain dari kajian berdasarkan fungsinya, kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dapat
pula dikaji dari tata cara atau proses 'perubahannya'. Dalam hal perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 terdapat persyaratan-persyaratan formal yang tertuang dalam Pasal 37 UUD 1945
sebagai berikut:
Pasal 37
1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir
2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota
yang hadir.

Kemudian persyaratan-persyaratan formal lainnya yang ditentukan untuk perubahan


Undang-Undang Dasar 1945 adalah harus memenuhi ketentuan Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1983 tentang Referendum yang menentukan dalam Pasal 2 sebagai berikut:
Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang
Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui Referendum.
Di samping persyaratan formal tersebut, sebenarnya terdapat persyaratan-persyaratan
material yang lebih utama dan lebih esensial, yaitu: 'Perubahan UUD 1945 tidak boleh
"mengganggu" keselarasan dan harmoni kaidah-kaidah yang tercantum dalam Pembukaannya
sebagaimana terlihat pada Penjelasan Umum UUD 1945 Angka II yang berbunyi "Undang-
Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan di dalam
pasal-pasalnya".
Ini berarti bahwa norma-norma hukum yang tertuang dalam pasal pasal Batang Tubuh
UUD 1945 adalah "penciptaan" atau penge jawantahan dari pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan, yang menurut tafsiran Penjelasan UUD 1945 sendiri tidak lain
dan tidak bukan adalah Pancasila.
Apabila dilihat dari uraian tersebut, jelaslah bahwa dalam hal menetapkan, mengubah
ataupun mencabut Undang-Undang Dasar (dalam hal ini UUD 1945) diperlukan syarat yang
sangat berat, sedangkan dalam hal menetapkan, mengubah atau mencabut suatu Ketetapan MPR
tidak diperlukan persyaratan formal dan material seberat persyaratan bagi Undang-Undang
Dasar, dalam hal ini Batang Tubuh UUD 1945, oleh karena Ketetapan MPR itu tidak secara
langsung merupakan ‘penciptaan dalam pasal pasal' dari Norma Fundamental Negara atau
Pancasila, yan terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Dengan adanya perbedaan kualitas dari fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan
mengaitkan teori pengikatan diri (Selbtsbindungtheorie), serta perbedaan dalam hal penetapan,
perubahan dan pencabutan dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPP, jelas terlihat
bahwa kedudukan Verfassungsnorm UUD 1945 itu lebih tinggi daripada norma hukum
Ketetapan MPR yang ditetapkan setiap lima tahun itu.
Kedudukan Verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi daripada norma-norma hukum
dalam Ketetapan MPR, namun demikian keduanya termasuk dalam Aturan Dasar Negara/Aturan
Pokok Negara. Hubungan kedua norma hukum itu adalah sesuai dengan jenjang normanya.
Verfassungsnorm UUD 1945 merupakan sumber dan dasar dari pembentukan norma-norma
dalam Ketetapan MPR.
Apabila dikaji dari segi fungsi, Ketetapan MPR mempunyai fungsi untuk mengatur lebih
lanjut ketentuan dalam Verfassungsnorm UUD 1945 yang masih mengatur hal-hal yang pokok
saja. Selain itu di mana perlu menjabarkan lebih lanjut ketentuan dalam Verfassungsnorm UUD
1945 secara lebih terinci dan mengarahkan garis-garis besar daripada haluan negara sesuai
perkembangan negara Republik Indonesia yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

2) Sesudah Perubahan UUD 1945


Sesudah Perubahan UUD 1945, terdapat perubahan yang mendasar tentang fungsi
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Berdasarkan Perubahan UUD 1945, fungsi Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah:

Fungsi I : Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.


Fungsi II : Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Fungsi III a :Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD
III b : Memilih Wakil Presiden (dalam hal terjadi kekosongan),
IIIc : Memilih Presiden dan Wakil Presiden (dalam hal terjadi kekosongan).
Fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut secara rinci dirumuskan dalam pasal-
pasal sebagai berikut:
a. Pasal 3
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-
Undang Dasar.
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

b. Pasal 8
1) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lam batnya dalam waktu enam
puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih
Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
2) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis
Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
berakhir masa jabatannya.

c. Pasal 37

1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang


Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlahanggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat dihadiri oleh sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

D. HUBUNGAN PANCASILA, UUD 1945, DAN KETETAPAN MPR


Dilihat dari sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, maka
Staatsfundamentalnorm Pancasila, Verfassungsnorm UUD 1945, Grundgesetznorm Ketetapan
MPR, dan Gesetznorm Undang-Undang merupakan suatu bagian dari sistem norma hukum
Negara Republik Indo nesia, Staatsfundamentalnorm Pancasila yang merupakan pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dan dasar bagi
pembentukan pasal-pasal dalam Verfassungsnorm UUD 1945, sedangkan aturan yang ada dalam
Verfassungsnorm UUD 1945 merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan aturan-aturan
dalam Grundgesetznorm Ketetapan MPR dan juga sekaligus merupakan sumber dan dasar bagi
pembentukan Gesetznorm Undang-Undang. Oleh karena Grundgesetznorm Ketetapan MPR itu
juga merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang berada di atas Gesetznorm
Undang Undang, maka Grundgesetznorm Ketetapan MPR ini juga merupakan sumber bagi
pembentukan norma-norma hukum dalam Gesetznorm Undang-Undang yang merupakan
peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia.

E. HUBUNGAN NORMA HUKUM DASAR DAN NORMA PERUNDANG-


UNDANGAN
Hubungan norma Hukum Dasar (Verfassungsnorm) dan norma Perundang-undangan
(Gesetzgebungsnorm) dapat dipahami dari rumusan Penjelasan UUD 1945, khususnya pada
Angka IV yang menentukan sebagai berikut:
'Maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya memuat Aturan-aturan pokok,
hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain
penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan
sosial. Terutama bagi negara baru dan negara muda lebih baik hukum dasar yang tertulis
itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan
aturan pokok itu diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih mudah caranya
membuat, merubah dan mencabut."

Apabila membaca uraian tersebut, dapat dilihat bahwa berbagai ketentuan dalam Aturan-
aturan Pokok Negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat
dikembangluaskan atau diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang yang lebih mudah caranya
membuat, mengubah dan mencabut. Berdasarkan hal itu maka suatu Undang-Undang dapat
melaksanakan atau mengatur lebih lanjut hal-hal yang ditentukan secara tegas-tegas oleh
Undang-Undang Dasar 1945 maupun hal-hal yang secara tidak tegas-tegas menyebutkannya.
Selain itu, Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi di negara
Republik Indonesia, sehingga Undang-Undang juga merupakan sumber dan dasar bagi peraturan
perundang-undangan lain di bawahnya, yang merupakan peraturan pelaksanaan atau peraturan
otonom.
Apabila dilihat dari sifat norma hukumnya, dapat diketahui bahwa norma-norma hukum
dalam suatu Hukum Dasar itu masih merupakan norma hukum tunggal, masih mengatur hal-hal
umum dan secara garis besar atau masih merupakan norma-norma hukum yang pokok-pokok
saja, sehingga norma-norma dalam suatu Hukum Dasar itu belum dapat langsung berlaku
mengikat umum. Hal tersebut berbeda dengan norma-norma hukum yang ada dalam suatu
peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum itu
sudah lebih konkret, lebih jelas dan sudah dapat langsung berlaku mengikat umum, bahkan
dalam suatu peraturan perundang-undangan sudah dapat dilekati oleh sanksi pidana dan sanksi
pemaksa.
Setelah berlakunya Perubahan UUD 1945 terdapat pendapat bahwa Penjelasan UUD
1945 sudah tidak berlaku lagi. Pendapat tersebut biasanya dihubungkan dengan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 Perubahan, yang menyatakan bahwa, "Dengan ditetapkannya perubahan
Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal." Pendapat ini secara kajian Perundang-undangan adalah
tidak tepat, oleh karena ketentuan dalam Pasal II Aturan Tambahan tersebut tidak menyatakan
pencabutan secara tegas terhadap Penjelasan UUD 1945, selain itu Penjelasan adalah interpretasi
yang merupakan satu kesatuan dengan ketentuan yang dijelaskan dan bukan norma yang
berbeda.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa, agar supaya norma norma hukum yang
terdapat dalam Hukum Dasar (Verfassungsnorm) itu dapat berlaku sebagaimana mestinya, maka
norma-norma hukum itu harus terlebih dahulu dituangkan ke dalam Peraturan Perundang-
undangan (Gesetzgebungsnorm) oleh karena norma hukumnya bersifat umum dan dapat
mengikat seluruh warganegara. (Lihat Gambar 9).
BAB V
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA

A. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Sejak lahimya negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya, sampai
berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950,
Undang-Undang Dasar 1945, dan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 masalah hierarki peru
ang undangan tidak pernah diatur secara tegas.
Undang-Undang Dasar 1945 pada periode pertama berlaku (antara bulan Agustus 1945
sampai dengan 1949), kemudian pada periode kedua berlaku (5 Juli 1959 sampai dengan 19
Oktober 1999), dan periode ketiga berlaku, yaitu sejak Perubahan Pertama UUD 1945 pada 19
Oktober 1999 sampai saat ini hanya menetapkan tiga jenis peraturan, yang disebut Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), dan Peraturan Pemerintah,
yang masing-masing dirumuskan dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 5 ayat (1) - sebelum Perubahan UUD 1945:
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat, dan kemudian diubah menjadi:
Pasal 20-sesudah Perubahan UUD 1945:
1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

2. Pasal 22 ayat (1)- sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945: Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang, dan
3. Pasal 5 ayat (2)- sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945:
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya.

B. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (berdasarkan Undang-


Undang No. 1 Th. 1950)
Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-
Undang No. 1 Th. 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Pusat, yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950. Dalam Pasal 1 Undang-
Undang No. 1 Th. 1950 dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 1
Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
b. Peraturan Pemerintah,
c. Peraturan Menteri.

Pasal 2
Tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada
Pasal 1.
Berdasarkan rumusan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Peraturan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, yang terletak di
bawah Peraturan Pemerintah. Kedudukan Peraturan Menteri yang terletak di bawah Peraturan
Pemerintah (dan bukan di bawah Keputusan Presiden) secara hierarkhis dapat dimengerti, oleh
karena Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menganut sistem parlementer, sehingga Presiden
hanya bertindak sebagai Kepala Negara dan tidak mempunyai kewenangan untuk membentuk
keputusan yang bersifat mengatur.

C. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (berdasarkan Ketetapan


MPRS No. XX/MPRS/1966)
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memoran dum DPRGR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia, tidak disinggung hal-hal mengenai garis-garis besar tentang kebijakan Hukum
Nasional, tetapi Ketetapan MPR ini menentukan antara lain mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia, yaitu Pancasila yang dirumuskan sebagai Sumber dari segala sumber
Hukum, dan mengenai Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Dalam Ketetapan MPRS tersebut diuraikan lebih lanjut dalam Lampiran I bahwa
perwujudan sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia adalah:
1. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2. Dekrit 5 Juli 1959.
3. Undang-Undang Dasar Proklamasi. 4. Surat Perintah 11 Maret 1966

Selain itu, dalam Lampiran II tentang "Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan sebagai berikut:

a. BENTUK-BENTUK PERATURAN PERUNDANGAN

1. Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang


Dasar 1945 ialah sebagai berikut:
 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
 Ketetapan MPR,
 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, Peraturan
Pemerintah,
 Keputusan Presiden,
Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
 Peraturan Menteri,
 Instruksi Menteri,
 dan lain lainnya.

2. Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan authentik
Undang-Undang Dasar 1945, Undang Undang Dasar Republik Indonesia adalah bentuk
peraturan perundangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua
peraturan-peraturan bawahan dalam Negara.
3. Sesuai pula dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap peraturan perundangan harus
bersumber dan berdasar dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang
lebih tinggi tingkatnya.

b. 1. Undang-Undang Dasar.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal Undang Undang Dasar adalah
ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan Ketetapan
MPR Undang-Undang atau Keputusan Presiden.

1. Ketetapan MPR.
a) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif
dilaksanakan dengan undang-undang.
b) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.

2. Undang-Undang,
a) Undang-Undang adalah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar atau
Ketetapan MPR.
b) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan-peraturan sebagai pengganti Undang Undang,
1) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut.
2) Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus
dicabut.

3. Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang-
Undang.
4. Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar yang bersangkutan, Ketetapan MPR
dalam bidang eksekutif atau Peraturan Pemerintah.
5. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya
seperti:
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya, harus dengan tegas berdasar dan
bersumber pada peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
juga mengakui adanya suatu sistem norma hukum yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di
mana suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan diakui
pula adanya norma tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi norma-norma di bawahnya
seperti Grundnorm dalam teorinya Hans Kelsen dan Staatsfundamentalnorm dalam teorinya
Hans Nawiasky.
Norma-norma hukum yang termasuk dalam sistem norma menurut Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 adalah berturut-turut Undang Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi
Menteri dan lain-lainnya.

D. TANGGAPAN TERHADAP KETETAPAN MPRS NO.XX/ MPRS/1966


Kehadiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memo randum DPRGR
mengenal Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia merupakan suatu usaha dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
sebagai lembaga tertinggi negara dalam menangani masalah tertib hukum di Negara Republik
Indonesia, yang secara tidak langsung mengatur pula mengenai tata susunan norma hukum, dan
sekaligus menjadikannya sebaga dasar dalam kebijakan pengembangan perundang-undangan di
negara

Republik Indonesia selanjutnya. Walaupun Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 itu dirasakan
sangat besar kegunaannya dalam rangka penertiban bagi peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat itu, tetapi terlihat juga adanya hal-hal yang kurang pada tempatnya, bahkan
dirasakan terdapat kelemahan-kelemahan yang seharusnya tidak terjadi.
Kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilihat dalam Ketetapan MPR No. V/MPR/1973
tentang Peninjauan Produk-Produk Yang Berupa Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia, khususnya Pasal 3 dan Ketetapan MPR No. IX/
MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan Yang Termaktub Dalam Pasal 3 Ketetapan MPR
Nomor V/MPR/1973, khususnya Pasal 2 yang menetapkan bahwa, Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 dinyatakan "tetap berlaku" tetapi perlu disempurnakan'.
Ketentuan dalam kedua Ketetapan MPR tersebut dirasakan sangat kontroversial, sebab di
satu pihak Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/ 1966 tersebut dinyatakan tetap berlaku sebagai
pegangan, tetapi di lain pihak Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 itu harus disempurnakan.
Menurut kajian Perundang-undangan, hal-hal yang perlu disempurnakan dalam
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut antara lain adalah Lampiran IIA tentang Tata
Urutan Peraturan Perundangan. Berdasarkan kajian Perundang-undangan dapat diajukan
tanggapan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar 1945.


Undang-Undang Dasar 1945 tidak tepat kalau dikatakan sebagai peraturan perundang-
undangan, oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 itu dapat terdiri atas dua kelompok norma
hukum yaitu:
1) Pembukaan UUD 1945 yang merupakan Staatsfunda mentalnorm atau Norma Fundamental
Negara. Norma Funda mental Negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang bersifat
pre-supposed' dan merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar
bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis besar dan
masih bersifat umum, serta merupakan norma hukum tunggal, dalam arti tidak dilekati oleh
norma hukum yang berisi sanksi
2) Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara/Aturan
Pokok Negara yang merupakan garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara
untuk menggariskan tata cara membentuk Peraturan Perundang undangan yang mengikat
umum. Norma hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945 masih bersifat garis besar dan
merupakan norma hukum tunggal, jadi belum dilekati oleh norma hukum yang berisi sanksi.

2. Ketetapan MPR.
Ketetapan MPR merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara. Seperti juga dengan Batang Tubuh UUD 1945, maka Ketetapan MPR ini juga berisi
garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara, sifat norma hukumnya masih secara garis
besar, dan merupakan norma hukum tunggal dan tidak dilekati oleh norma hukum yang berisi
sanksi..
Batang Tubuh UUD 1945, serta Ketetapan MPR tidak termasuk dalam jenis Peraturan
Perundang-undangan, tetapi termasuk dalam Staatsgrundgesetz, sehingga menempatkan
keduanya ke dalam jenis Peraturan Perundang-undangan adalah sama dengan menempatkannya
terlalu rendah.
Batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR pada hakikatnya tidak dapat digolongkan
ke dalam peraturan perundang-undangan karena mengandung jenis norma yang lebih tinggi dan
berbeda daripada norma yang terdapat dalam Undang-Undang. Para ahli menyebut norma
semacam itu dengan Staatsgrundgesetz, yang diterjemahkan dengan Aturan Dasar Negara/Aturan
Pokok Negara.
Sifat-sifat norma dari Batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR sebagai norma
konstitusi yang mengatur lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi dalam negara, serta tata cara
pembentukannya, tata hubungan sesamanya, dan lingkup tugas masing-masing, serta mengatur
secara dasar tata hubungan antara warga negara dengan negara secara timbal-balik. Hal-hal
tersebut yang membedakannya dari norma Undang-Undang, oleh karena pengaturan dalam
Undang Undang dapat mengatur warga negara dan penduduk secara langsung, dan juga dapat
melekatkan sanksi pidana dan sanksi pemaksa terhadap pelanggaran norma-normanya. Para ahli
menyebut Undang-Undang dengan formell Gesetz
Sebagai catatan perlu dikemukakan bahwa norma-norma hukum yang terkandung dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dapat dibedakan antara norma yang terdapat dalam Pembukaan dan
norma yang terdapat dalam Batang Tubuh. Penjelasan UUD 1945 sendiri menegaskan, Pokok-
pokok Pikiran yang terkandung dalam Pembukaan yang tidak lain melainkan Pancasila itu di
satu pihak merupakan Cita Hukum (Rechtsidee) dan di lain pihak merupakan Norma Tertinggi
dalam negara yang oleh Hans Nawiasky disebut Staatsfundamentalnorm (diterjemahkan oleh
Prof. Notonagoro dengan kaidah Pokok Fundamentil Negara)
Norma yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara. Norma-norma yang terdapat dalam Ketetapan MPR juga
merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara, meskipun kedudukannya setingkat lebih
rendah daripada norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945. Hal itu disebabkan karena
norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945 dibentuk oleh MPR ketika Lembaga Negara
Tertinggi ini melaksanakan kewenangan selaku Konstituante yang berkedudukan "di atas" dalam
arti lebih tinggi daripada Undang Undang Dasar 1945, sedangkan norma-norma dalam Ketetapan
MPR dibentuk oleh MPR ketika Lembaga Negara Tertinggi ini melaksanakan kewenangan
selaku Lembaga Penetap Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, dan selaku Lembaga
Pemilih (Elektorat) Presiden dan Wakil Presiden yang menjalankan ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Ketetapan MPR berkedudukan "di bawah" dalam
arti lebih rendah daripada Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian sifat-sifat norma dalam
Batang Tubuh UUD dan dalam Ketetapan MPR sama jenisnya. Itu sebabnya pula norma
Ketetapan MPR dapat "mengisi" atau "melengkapi" norma UU.,55

3. Keputusan Presiden.
Di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini ditentukan bahwa Keputusan
Presiden yang termasuk dalam Peraturan Perundang-undangan adalah yang bersifat "einmahlig".
Penyebutan Keputusan Presiden yang "einmahlig" ini sebenarnya tidak tepat, oleh karena suatu
Keputusan Presiden itu dapat juga "dauerhaftig". Suatu Keputusan Presiden yang bersifat
"einmahlig" adalah yang bersifat "penetapan" (beschikking), di mana sifat normanya indi vidual,
konkret dan sekali-selesai (einmahlig), sedangkan norma dari suatu Peraturan Perundang-
undangan selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Dengan
demikian sebenarnya yang termasuk Peraturan Perundang-undangan adalah Keputusan Presiden
yang bersifat dauerhaftig (berlaku terus menerus).

4. Peraturan Menteri.
Istilah Peraturan Menteri adalah tidak tepat, dan sebaiknya diganti menjadi Keputusan
Menteri oleh karena dengan penyebutan Keputusan Menteri di sini dapat berarti secara luas
yaitu, baik yang berarti peraturan (regeling) dan juga yang berarti penetapan (beschikking).
Selain itu penyebutan Keputusan Menteri ini dirasakan lebih konsisten dengan Keputusan
Presiden.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 menyebutkan peraturan perundang-undangan
untuk Presiden dengan "Keputusan Presiden" dan untuk Menteri "Peraturan Menteri", dan di
bagian lain menyebutkan bahwa Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus
(einmahlig). Apakah hal itu berarti secara normatif terdapat perbedaan antara peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dan yang ditetapkan oleh seorang Menteri?
Apabila ya dalam hal apa?
Apabila kata "keputusan" diartikan bersifat einmahlig (sebaiknya diterjemahkan dengan
"sekali-selesai") maka Presiden tidak mengeluarkan peraturan, karena peraturan tidak bersifat
einmahlig melainkan dauerhaftig, terus-menerus, obyek normanya dapat ber ulang-ulang tidak
tertentu bilangannya. Dan apabila demikian, maka hal itu mengingatkan kita kepada Undang-
Undang Dasar 1950 yang menempatkan Presiden dalam kedudukan "tidak dapat diganggu gugat"
atau "can do no wrong", padahal menurut UUD 1945 Presiden adalah Penyelenggara Tertinggi
Pemerintahan Negara. Tetapi apabila yang dimaksud dengan "keputusan" ialah peraturan
perundang-undangan, maka sebaiknya digunakan istilah yang sama bagi peraturan yang
dikeluarkan oleh Presiden dan yang dikeluarkan oleh Menteri, yakni Keputusan Presiden dan
Keputusan Menteri atau Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri, meskipun untuk alternatif
terakhir ini dapat mengingatkan kita kepada PERPRES yang lahir ketika Presiden masih
menetapkan PENPRES PENPRES.
5. Instruksi Menteri
Penyebutan Instruksi Menteri sebagai Peraturan Perundang undangan adalah tidak tepat,
oleh karena suatu instruksi itu bersifat individual dan konkret serta harus ada hubungan atasan
dan bawahan secara organisatoris, sedangkan sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan adalah umum, abstrak dan berlaku terus-menerus.
Menurut Ruiter, sebuah norma, (termasuk norma hukum) mengandung unsur-unsur
berikut: cara keharusan berperilaku (modus van behoren), disebut operator norma; b. seorang
atau sekelompok orang adresat (normadressaat) disebut subyek norma; c. perilaku yang
dirumuskan (normgedrag), disebut obyek norma; dan d. syarat-syaratnya (normcondities),
disebut kondisi norma.
Dalam suatu instruksi, adresat atau subyek norma ialah orang atau orang-orang tertentu,
dan perilaku yang dirumuskan atau obyek norma bersifat sekali atau beberapa kali namun
tertentu bilangannya. Oleh karena itu dalam suatu instruksi adresat yang terkandung di dalamnya
bersifat konkret. Selain itu, dalam suatu instruksi terdapat hubungan organisasi antara yang
memberikan/mengeluarkan instruksi dan yang menerima instruksi, yaitu hubungan atasan
bawahan. Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan adresat atau subyek norma bersifat
abstrak. Dengan kata lain, dalam peraturan adresat atau subyek norma tidak tertentu dan perilaku
yang diatur/ dirumuskan atau obyek norma dapat berulang-ulang/tidak tertentu bilangannya".
Berdasarkan pertimbangan di atas maka suatu instruksi (baik Instruksi Presiden atau Instruksi
Menteri) tidak dapat digolongkan ke dalam peraturan perundang-undangan.'

6. Peraturan Daerah

Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini tidak dimasukkan Peraturan Daerah
sebagai Peraturan Perundang undangan, padahal Peraturan Daerah adalah juga termasuk dalam
jenis Peraturan Perundang-undangan dan tidak selalu merupakan peraturan pelaksanaan saja.

7. Peristilahan:
Selain tanggapan tersebut di atas terdapat peristilahan yang harus diperbaiki, yaitu:
a. Istilah "tata urutan" sebaiknya diganti dengan istilah "tata susunan" atau "hierarki",
oleh karena istilah "tata susunan" lebih mencer minkan suatu "hierarki" yang
merupakan suatu tingkatan atau jenjang dari peraturan perundang-undangan yang
mengandung suatu fungsi dan materi muatan yang berbeda.
b. Istilah "bentuk" peraturan perundang-undangan sebaiknya diganti dengan istilah
"jenis" peratuan perundang-undangan, oleh karena istilah bentuk lebih menunjuk
pada ciri-ciri lahiriah, sedangkan "jenis" berarti "macam" dari peraturan perundang
undangan.
c. Istilah "perundangan" adalah tidak tepat, sebaiknya digunakan istilah "perundang-
undangan", oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan kata Undang-
Undang untuk peraturan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Apabila kata "wet" dipersamakan dengan "Undang Undang", maka kata "wettelijke
regeling" dapat diter jemahkan dengan peraturan-peraturan berdasarkan Undang Undang atau
peraturan yang bersifat perundang-undangan.
Istilah "perundang-undangan" yang digunakan ialah terjemahan istilah Belanda
"wettelijke regeling". Kata "wettelijk" berarti sesuai dengan Wet atau berdasarkan Wet. Kata wet
pada umumnya diterjemahkan dengan "undang undang" dan bukan dengan "undang".
Sehubungan dengan kata dasar "undang-undang", maka terjemahan wettelijke regeling ialah
"peraturan perundang-undangan".
Keberatan terhadap istilah "peraturan perundangan" sebagai terjemahan istilah wettelijke
regeling ialah karena arti kata "undang" dewasa ini tidak mempunyai kaitan lagi dengan
pengertian hukum kecuali kata "pengundangan" dalam arti pengumuman suatu peraturan negara
dalam suatu terbitan khusus untuk itu dan dilakukan dengan cara yang khusus pula, yang apabila
tidak demikian peraturan itu kehilangan kekuatan mengikatnya (afkondiging, promulgation)

d. Istilah "dan lain-lainnya" adalah tidak tepat, oleh karena istilah tersebut dapat
diartikan secara luas, atau apakah yang dimaksud di sini termasuk juga Keputusan
Badan Negara atau Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah?
'Dalam rumusannya mengenai jenis peraturan perundang undangan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 tidak menyebut secara limitatif apa saja yang tergolong
di dalamnya Ia hanya mengata-kan "dan lain-lainnya" sehingga menimbulkan kesan
seolah-olah tidak terbatas jumlahnya dan peraturan peraturan lain pun disamakan
dengan peraturan perundang undanga
Kiranya perlu diperhatikan, peraturan perundang-undangan hanya dapat dibentuk
oleh lembaga-lembaga yang memperoleh kewenangan perundang-undangan
(wetgevingsbevoegdheid), yaitu kekuasaan untuk membentuk hukum
(rechtsvorming). Dan mengenai itu tidak semua lembaga memperolehnya.
Pembentukan hukum tidak tertulis memang dilakukan oleh Kepala-kepala Adat
melalui putusan-putusan (beslissingen), tetapi pembentukan hukum tertulis dilakukan
melalui keputusan keputusan (besluiten) yang terikat oleh suasana kewajiban yang
ditimbulkan oleh undang-undang dan peraturan perundangan undangan yang
mengaturnya.
Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua Keputusan
Menteri yang berisi peraturan selalu merupakan peraturan perundang-undangan; tidak
semua Keputusan Direktur Jenderal yang berisi peraturan merupakan peraturan
perundang-undangan. Demikian juga tidak semua Keputusan Gubernur Kepala
Daerah yang berisi peraturan dan semua Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah yang berisi peraturan merupakan peraturan perundang-undangan Untuk itu
diperlukan atribu dan delegasi kewenangan perundang-undangan yang jelas.
Ketetapan MPRS No. XX
MPRS/1966 menyebutkan
harus bersumber dan berdasar
dengan tegas pada peraturan
perundang-undangan yang
berlaku, yang lebih tinggi
tingkatannya. '59 (Lihat
Gambar 10, 11 & 12).
H. TANGGAPAN TERHADAP UNDANG-UNDANGAN NO. 10 TH. 2004
Berdasarkan rumusan Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, maka Penulis mengajukan beberapa hal yang perlu diluruskan
dan dipermasalahkan untuk mendapatkan suatu pemahaman dan penjernihan terhadap masalah
jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar

Seperti tanggapan terhadap Ketetapan MPRS No. XX/ MPRS/1966 dan Ketetapan No.
III/MPR/2000, maka Penulis berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak tepat kalau
dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat
dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan oleh karena alasan sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945 di itu terdiri atas kelompok norma hukum yaitu:
Pembukaan UUD 1945 merupakan Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental
Negara Norma Fundamental Negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang
bersifat 'pre-sup posed' dan merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung
kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya
masih secara garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum
dilekati oleh norma hukum yang berisi sanksi.
2) Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara yang merupakan garis-garis besar atau pokok-pokok
kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata cara membentuk Peraturan Perundang
undangan yang mengikat umum. Sifat dari norma hukumnya masih bersifat garis
besar dan pokok dan merupakan norma hukum tunggal, jadi belum dilekati oleh
norma sanksi, oleh karena itu menempatkan Batang Tubuh UUD 1945 ke dalam jenis
Peraturan Perundang-undangan adalah tidak tepat, oleh karena menempatkannya
terlalu rendah. (lihat juga hal. 75 dan hal. 89)
3) Selain itu, dalam Undang-Undang No. 10 Th. 2004 Pasal 2 di tetapkan bahwa
Pancasila merupakan sumber hukum negara, dan dalam Pasal 3 ditetapkan bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar dalam Peraturan Perundang
undangan, sehingga tidak benar apabila Undang-Undang Dasar 1945 dimasukkan
dalam jenis Peraturan Perundang-undangan.

Ketetapan MPR

a. Ketetapan MPR merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara


(Staatsgrundgesetz). Seperti juga dengan Batang Tubuh UUD 1945, maka Ketetapan
MPR ini juga berisi garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara, sifat norma
hukumnya masih secara garis besar, dan merupakan norma hukum tunggal dan tidak
dilekati oleh norma sanksi. Dengan demikian, Ketetapan MPR tidak termasuk dalam
Peraturan Perundang-undangan, tetapi termasuk dalam Atiran Dasar Negara/Aturan
Pokok Negara (Staatsgrundgesetz).

b. Ketetapan MPR pada hakikatnya tidak dapat digolongkan ke dalam peraturan


perundang-undangan karena mengandung jenis norma yang lebih tinggi dan berbeda
daripada norma yang terdapat dalam Undang-Undang. Sifat norma hukum dalam
Ketetapan MPR adalah setingkat lebih rendah daripada norma norma dalam Batang
Tubuh UUD 1945.

c. Apabila Undang-Undang Dasar 1945 dimasukkan dalam jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan, mengapa Ketetapan MPR tidak juga dimasukkan di dalamnya,
oleh karena berdasarkan Ketetapan MPR No. 1/MPR/2003 Pasal 2 dan

Peraturan Presiden
Istilah Peraturan Presiden sebagai pengganti istilah Keputusan Presiden adalah tidak
tepat, dan saat ini telah menimbulkan berbagai permasalahan. Istilah "keputusan" dalam arti luas
biasanya dibagi menjadi dua jenis, yaitu keputusan yang bersifat mengatur (regeling) dan
keputusan yang bersifat menetapkan (beschikking). Istilah "keputusan" merupakan pernyataan
kegendak yang bersifat netral, yang secara kajian di bidang Perundang-undangan dapat
dibedakan sebagai keputusan yang merupakan peraturan perundang-undangan (wetgeving),
keputusan yang merupakan peraturan perundang undangan semu (beleidsregel, pseudo-
wetgeving), keputusan tata usaha negara (beschikking), maupun keputusan yang berentang
umum lainnya (besluiten van algemene strekking).
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, seringkali dibentuk suatu keputusan yang hanya
bersifat mengatur sehingga dapat disebut peraturan, atau suatu keputusan yang hanya bersifat
menetapkan, yang dapat disebut penetapan; namun demikian seringkali pula terdapat suatu
keputusan yang di dalamnya terdiri atas ketentuan yang mengatur dan sekaligus ketentuan yang
bersifat menetapkan. Untuk contoh yang ketiga, apabila Presiden akan membuat suatu keputusan
yang terdiri atas 50% (lima puluh persen) ketentuan yang bersifat mengatur dan 50% (lima puluh
persen) ketentuan yang bersifat menetapkan, akan disebut apakah ketentuan yang dibuat Presiden
tersebut, PERPENPRES (Peraturan dan Penetapan Presiden) atau PENPERPRES (Penetapan dan
Peraturan Presiden)? Apakah untuk hal tersebut tidak lebih tepat untuk disebut KEPPRES atau
Keputusan Presiden, yang di dalamnya berisi peraturan dan sekaligus penetapan?
Apabila pemahaman tentang istilah "peraturan" adalah keputusan yang bersifat mengatur,
dan istilah "penetapan" adalah keputusan yang bersifat penetapan, mengapa dalam
pelaksanaannya tidak secara konsisten dipakai sebutan PERPRES (Peraturan Presiden) untuk
keputusan Presiden yang bersifat mengatur, dan PENPRES (Penetapan Presiden) untuk
keputusan Presiden yang bersifat menetapkan, seperti peristilahan yang dipakai pada masa Orde
Lama (antara tahun 1959 s/d 1969)?

Peraturan Desa
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf c menetapkan bahwa Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama kepala desa, ke
dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Apabila hal ini dihubungkan dengan definisi Peraturan Perundang undangan dalam Pasal
angka 2 yang menetapkan bahwa, "Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
dibentuk oleh Lembaga Negara atau Pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum", maka
siapakah yang dimaksud sebagai lembaga negara dan pejabat yang berwenang, apakah badan
perwakilan desa atau kepala desa?
Penulis berpendapat bahwa, menetapkan Peraturan Desa sebagai Peraturan Perundang-
undangan adalah tidak tepat, dan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 32
Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan pendapat tersebut bukan berarti bahwa badan perwakilan desa atau nama lainnya
bersama kepala desa tidak boleh atau tidak dapat membentuk suatu peraturan desa atau nama
lainnya, badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama kepala desa tetap dapat membentuk
suatu Peraturan Desa, yang bersifat mengatur (dan mengikat umum), dalam arti peraturan di
bidang penyelenggaraan pemerintahan saja, tetapi tidak sebagai Peraturan Perundang undangan,

Peraturan-peraturan lainnya.
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) dirumuskan berbagai jenis peraturan yang dianggap
sebagai Peraturan Perundang-undangan dari berbagai lembaga negara dan pejabat yang
berwenang. Jika rumusan tersebut dikaji berdasarkan fungsi dan kewenangan dari lembaga
negara atau pejabat yang dirumuskan di dalamnya, Penulis berpendapat bahwa, tidak semua
lembaga negara dan pejabat tersebut mempunyai kewenangan untuk menmbentuk peraturan yang
bersifat umum, dan berlaku ke luar sebagai Peraturan Perundang undangan. Dari berbagai
lembaga negara atau pejabat yang berwenang tersebut dapat diajukan kajian sebagai berikut:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam UUD 1945 Perubahan, khususnya Pasal 3 dan Pasal 8 dirumuskan bahwa
fungsi dan wewenang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah:
1) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
4) memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan.
5) memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hak terjadi kekosongan jabatan.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang undangan, oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mempunyai tugas
untuk mengatur rakyat.
b. Dewan Perwakilan Rakyat
Dalam UUD 1945 Perubahan antara lain dirumuskan sebagai berikut:
1) Dewan Perwakilan Rakyat membentuk undang-undang
denganpersetujuan bersama Presiden - Pasal 20.
2) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan, hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat. - Pasal 21. Berdasarkan fungsi dan wewenang
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak
mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat
membentuk Undang Undang dengan persetujuan Presiden, yang
merupakan Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi.

Dewan Perwakilan Daerah


Sesuai ketentuan dalam Pasal 22D UUD 1945 Perubahan, Dewan Perwakilan Daerah dapat:
1) mengajukan rancangan undang-undang ke Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan
dengan otonomi daerah.
2) ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, dan
3) melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan
Daerah tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-
undangan.

Mahkamah Agung
Dalam Pasal 24A ayat (1) dirumuskan bahwa, Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undang di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, maka keputusan yang dibentuk oleh
Mahkamah Agung adalah keputusan di bidang peradilan, sehingga keputusan tersebut bersifat
suatu penetapan yang individual, konkret, dan sekali-selesai (final). Dengan demikian
Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum; namun demikian Mahkamah Agung
tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).
Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 24C UUD 1945 Perubahan dirumuskan bahwa:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, maka keputusan yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi adalah keputusan di bidang peradilan, sehingga keputusan tersebut
bersifat suatu penetapan yang individual, konkret, dan sekali-selesai (final). Oleh karena itu,
Mahkamah Konstitusi juga tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum; namun demikian Mahkamah
Konstitusi tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).
Badan Pemeriksa Keuangan.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23E UUD 1945 Perubahan, maka Badan Pemeriksa
Keuangan. berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara, dan menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara tersebut kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Badan Pemeriksa
Keuangan. tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang
undangan atau peraturan yang mengikat umum, namun demikian Badan Pemeriksa Keuangan
tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).

Bank Indonesia.

Dalam Pasal 23D UUD 1945 Perubahan ditetapkan bahwa, Negara memiliki suatu bank
sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan indepen densinya diatur
dengan undang-undang,

Kemudian dalam Undang-Undang No. 23 Th. 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah
diubah dengan Undang-Undang No.3 Th. 2004 dirumuskan dalam Pasal 1 angka 8 bahwa,
Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan
mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 8 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Bank Indonesia
mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan
berdasarkan wewenang atribusi.

Menteri.
Tidak semua Menteri mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, oleh karena Menteri Koordinator, dan Menteri Negara tidak merupakan
lembaga-lembaga pemerintah dalam perundang-undangan Menteri yang dapat membentuk
peraturan yang mengikat umum adalah hanya Menteri Departemen, sedangkan Menteri
Koordinator dan Menteri Negara hanya dapat membuat peraturan yang bersifat intern, dalam
lingkungannya sendiri, jadi tidak berwenang membentuk peraturan yang mengikat umum.

Kepala badan, lembaga, atau komisi Yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang
atau pemerintah atas perintah undang undang.
Pada dasamya tidak semua badan, lembaga, atau komisi tersebut mempunyai
kewenangan membentuk peraturan yang mengikat umum. Badan, lembaga, atau komisi yang
dapat membentuk peraturan yang mengikat umum hanyalah yang merupakan Lembaga
Pemerintah Non Departemen, misalnya, Badan Pusat Statistik, Lembaga Administrasi Negara.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.


Dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dirumuskan bahwa, salah satu tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
adalah membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat
persetujuan bersama, dan selain itu tidak ada wewenang lain dalam fungsi pengaturan yang
mengikat umum. Sebagai wakil yang dipilih oleh rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi tidak mempunyai kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang
mengatur rakyat.

Gubernur.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 146 Undang-Undang No. 32 Th. 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi dapat menetapkan
peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah, untuk melaksanakan Peraturan Daerah
Provinsi, atau atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan demikian Gubernur dapat membentuk peraturan perundang-undangan
berdasarkan delegasi dari Peraturan Daerah Provinsi atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Seperti tanggapan dalarn hurufj di atas, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota.juga tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan.

Bupati/Walikota.
Seperti tanggapan pada huruf k di atas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 146 Undang-
Undang No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bupati/Walikota sebagai Kepala Daerah
Kabupaten/Kota dapat menetapkan peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah, untuk
melaksanakan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, atau atas peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian Bupati/Walikota dapat membentuk peraturan perundang-undangan
berdasarkan delegasi dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.

Kepala Desa atau yang setingkat.


Sesuai dengan tanggapan dalam nomor 4 tentang Peraturan Desa, Penulis berpendapat
bahwa Kepala Desa tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang undangan, tetapi sebatas peraturan yang bersifat administratif.

Berdasarkan tanggapan di atas, terlihat bahwa sejak berlakunya Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, kemudian Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan, sampai dengan berlakunya Undang-Undang No. 10 Th. 2004, tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, permasalahan tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia tersebut belum berakhir; oleh karena itu diskusi panjang dan kajian
terhadap permasalahan tersebut perlu dilakukan, agar kepastian hukum dapat dicapai dengan
maksimal.

Anda mungkin juga menyukai